Anda di halaman 1dari 20

PERAWATAN AKHIR KEHIDUPAN UNTUK PASIEN

DI UNIT PERAWATAN INTENSIF

Oleh:
Arrys Prabowo
130121160004

REFERAT ICU

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian stase Intensive Care Unit
Program Pendidikan Dokter Spesialis Spesialis Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2019
PERAWATAN AKHIR KEHIDUPAN UNTUK PASIEN
DI UNIT PERAWATAN INTENSIF

END OF LIFE CARE FOR PATIENT


IN INTENSIVE CARE UNIT

Oleh:
Arrys Prabowo
130121160004

REFERAT ICU

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian stase Intensive Care Unit
Program Pendidikan Dokter Spesialis Spesialis Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Telah disetujui oleh Pembimbing pada tanggal


Seperti tertera di bawah ini

Bandung, Juni 2019

dr. Dhany Budipratama Sp.An, KIC


NIP. 19790615 201412 1002
PERAWATAN AKHIR KEHIDUPAN UNTUK PASIEN
DI UNIT PERAWATAN INTENSIF
Arrys Prabowo, Dhany Budipratama

Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas


Padjadjaran
Rumah Sakit Hasan Sadikin

Abstract
Unit perawatan intensif (ICU) adalah tempat pasien diberikan beberapa perawatan penunjang
kehidupan yang secara teknologi paling maju, dan di mana keputusan sulit dibuat mengenai
manfaat dari perawatan tersebut. Variabilitas batasan substansial dalam keputusan etis ini adalah
hasil dari banyak faktor, termasuk keyakinan agama dan budaya. Karena mayoritas pasien sakit
kritis tidak memiliki kapasitas untuk membuat keputusan, keluarga dan individu lain sering
bertindak sebagai pengganti pembuat keputusan, dan di banyak daerah komunikasi antara dokter
dan keluarga menjadi pusat dari pengambilan keputusan di ICU. Di tempat lain, keterlibatan
keluarga berkurang dan keterlibatan dokter meningkat. Perawatan akhir kehidupan terkait dengan
adanya peningkatan rasa lelah dan tertekan di antara dokter yang bekerja di ICU. Karena banyak
kematian di ICU diawali dari keputusan untuk menahan atau menarik dukungan kehidupan,
pengambilan keputusan berkualitas tinggi dan perawatan akhir kehidupan penting di semua aspek,
yang dapat meningkatkan perbaikan kondisi pasien dan keluarga serta dokter yang bekerja di ICU.
Untuk membuat keputusan seperti itu diperlukan pelatihan yang memadai, komunikasi yang baik
antara dokter dan keluarga, dan kolaborasi tim dari antar disiplin ilmu yang berfungsi dengan baik.

Kata kunci: perawatan akhir kehidupan, unit perawatan intensif.

END OF LIFE CARE FOR PATIENT


IN INTENSIVE CARE UNIT

Abstract
The intensive care unit (ICU) is where patients are given some of the most technologically
advanced life-sustaining treatments, and where difficult decisions are made about the usefulness
of such treatments. The substantial regional variability in these ethical decisions is a result of
many factors, including religious and cultural beliefs. Because most critically ill patients lack the
capacity to make decisions, family and other individuals often act as the surrogate decision
makers, and in many regions communication between the clinician and family is central to

3
decision making in the ICU. Elsewhere, involvement of the family is reduced and that of the
physicians is increased. End-of-life care is associated with increased burnout and distress among
clinicians working in the ICU. Since many deaths in the ICU are preceded by a decision to
withhold or withdraw life support, high-quality decision making and end-of-life care are essential
in all regions, and can improve patient and family outcomes, and also retention of clinicians
working in the ICU. To make such a decision requires adequate training, good communication
between the clinician and family, and the collaboration of a well functioning interdisciplinary
team.

Keywords: end of life care, intensive care unit.

Pendahuluan
Perawatan kritis adalah bagian integral dari perawatan rumah sakit, dan unit
perawatan intensif (ICU) adalah tempat di mana pasien diberi perawatan
penunjang kehidupan yang paling berteknologi maju. Perawatan ini mahal dan
membutuhkan banyak sumber daya, tetapi dapat mempertahankan hidup
meskipun disfungsi organ multipel dan berat. Namun demikian, ICU juga
merupakan tempat di mana kematian merupakan hal biasa dan perawatan akhir
kehidupan sering diberikan. Karena fokus dalam ICU adalah pada
mempertahankan hidup, pemberian perawatan akhir kehidupan berkualitas tinggi
bisa sangat menantang, dan dokter sering menemukan kesulitan dalam memiliki
tanggung jawab ganda, yaitu untuk menyelamatkan kehidupan dan memberikan
perawatan akhir kehidupan.
Perawatan tersebut bersifat kritis, keputusan yang sulit mengenaimanfaat
perawatan yang menunjangkehidupan seringkali perlu dibuat, tidak hanya dalam
hal kemungkinan bertahan hidup tetapi juga kualitas hidup yang terkait dengan
kelangsungan hidup. Keputusan sulit juga perlu dibuat mengenai keadilan dari
pengeluaran sumber daya yang substansial pada satu pasien. 1 Lebih lanjut, karena
sebagian besar pasien sakit kritis tidak memiliki kapasitas untuk membuat
keputusan, keluarga sering terlibat dalam diskusi tentang tujuan perawatan dan
sering mewakili nilai-nilai dan preferensi pasien.2 Sejauh mana keluarga terlibat

4
langsung dalam keputusan tersebut bervariasi sesuai dengan negara dan budaya; 3

Namun, komunikasi yang baik antara dokter dan keluarga sangat penting untuk
kualitas perawatan akhir-hidup di ICU, terlepas dari lokasinya.4
Data dari penelitian observasional menunjukkan bahwa perawatan akhir
kehidupan di ICU sangat bervariasi antar negara.5–9 Alasan variabilitas ini belum
didefinisikan secara jelas, tetapi mungkin beragam, termasuk perbedaan dalam
agama,10 undang-undang dan budaya,10,11 peraturan dalam perawatan di ICU,7,12
sikap dokter terhadap perawatan akhir kehidupan,10 keparahan penyakit dan kasus
kematian,7 dan prediksi dokter tentang prognosis dan kualitas hidup di masa
depan.11 Variabilitas juga ada di negara-negara12 dan antara intensivists (dokter
konsultan perawatan intensif) dalam rumah sakit.2

Keputusan Masuk Rawat Inap (Admission) dan Triase


Ketersediaan sumber daya ICU bervariasi secara substansial di negara-negara
yang berbeda, dan keputusan tentang admission (masuk rawat inap), triase, dan
perawatan akhir kehidupan bervariasi sesuai dengan negara masing-masing.
Misalnya, perawatan ICU tidak tersedia di banyak negara di negara berkembang
dan di daerah pedesaan di negara maju. Bahkan ketika perawatan ICU tersedia,
proporsi tempat tidur rumah sakit yang merupakan tempat tidur ICU berbeda
antarrumah sakit.1 Ketersediaan tempat tidur di ICU, berdasarkan kebutuhan, akan
mempengaruhi keputusan tentang indikasi untuk perawatan di ICU; pernyataan ini
didukung oleh hubungan antara angka kematian di ICU dan ketersediaan tempat
tidur di ICU.2 Namun, ketersediaan tempat tidur tidak boleh mempengaruhi
prinsip etika yang menjadi acuan dalampelaksanaan perawatan intensif.
Bagian integral dari etika perawatan kritis adalah proses yang digunakan
untuk pengambilan keputusan tentang siapa yang membutuhkan perawatan di
ICU, dan pada saat apa perawatan tersebut tidak lagi diindikasikan. Perawatan
mungkin dinilai tidak diindikasikan karena pasien tidak cukup sakit untuk
perawatan di ICU, atau karena mereka terlalu sakit dan perawatan seperti itu tidak
mungkin memberikan manfaat. American Thoracic Society telah menguraikan
beberapa prinsip penting yang harus menjadi acuan dalam pengambilan keputusan

5
tentang admission dan triase.1 Tugas utama tim ICU adalah untuk memastikan
kesejahteraan pasien dan perawatan di ICU, bila sesuai, merupakan perawatan
medis dasar (panel 1). Tugas tim ICU untuk memberikan manfaat kepada pasien
memiliki keterbatasan ketika penyediaan perawatan untuk pasien tersebut secara
tidak adil dapat membahayakan perawatan bagi orang lain.

Tabel 1. Prinsip Alokasi Sumber Daya yang Adil di ICU


Dikutip dari Cohen dkk.3

1. Kehidupan setiap individu sangat berharga dan setara.


2. Menghormati otonomi pasien, sebagaimana diwakili oleh informed consent, adalah prinsip
utama untuk penyediaan perawatan kesehatan, termasuk perawatan di ICU.
3. Peningkatan kesejahteraan pasien, dengan penyediaan sumber daya yang memenuhi
kebutuhan medis individu dan yang dianggap pasien sebagai manfaat, adalah tugas utama
penyedia layanan kesehatan.
4. Perawatan ICU, bila sesuai secara medis, merupakan komponen penting dari paket dasar
layanan perawatan kesehatan yang harus tersedia untuk semua pasien.
5. Tugas penyedia layanan kesehatan untuk memberikan manfaat kepada pasien memiliki
keterbatasan ketika melakukan hal itu dengan tidak adil mengkompromikan ketersediaan
sumber daya yang dibutuhkan oleh pasien lain.

Rekomendasi bahwa setiap ICU harus memiliki kriteria eksplisit dan tertulis
untuk pasien dapat masuk dan keluar dari rumah sakityang didukung oleh
pernyataan dari profesional perawatan intensif.3 Kebanyakan ICU memiliki
kriteria seperti itu, tetapi mereka umumnya memerlukan interpretasi lebih dalam
aplikasi untuk pasien per individu, dan intensivist (dokter konsultan perawatan
intensif) melaporkan bahwa kriteria ini tidak secara eksplisit digunakan untuk
memutuskan status admission atau triase pada sebagian besar pasien. Ketersediaan
sumber daya ICU di suatu daerah akan memiliki efek penting pada keputusan
tentang admission dan triase. Yang penting, keputusan ini harus diatur oleh
prinsip etika, terlepas dari ketersediaan tempat tidur di ICU.
Populasi lansia di banyak negara akan meningkatkan pentingnya masalah ini
di masa depan. Di AS, misalnya, proporsi semua kematian yang terjadi di ICU
hampir 20%, dan proporsi ini tidak menurun seiring bertambahnya usia hingga

6
diatas 85 tahun.4 Proporsi semua kematian pada orang tua yang didahului oleh
resusitasi jantung paru semakin meningkat.2 Negara-negara dan masyarakatnya
perlu mengembangkan pendekatan untuk menentukan pemberian perawatan
intensif yang tepat terhadap peningkatan populasi lansia, terutama mereka yang
menderita penyakit kronis. Pendekatan-pendekatan ini mungkin akan bervariasi
sesuai dengan negara dan sistem layanan kesehatan, tetapi prinsip-prinsip etika
harus serupa dan banyak daerah akan memiliki kesenjangan yang sama dan perlu
ditangani.
Komunikasi tentang perawatan akhir kehidupan pada rawat jalan antara
dokter dan pasien dengan penyakit yang membatasi hidup (life-limiting disease)
tidak memiliki keterkaitan dengan tingkat stres pasien, dan justru berkaitan
dengan peningkatan keberhasilan dalam pelaksanaan perawatan untuk
mempertahankan hidup, peningkatan kualitas hidup, dan penurunan dalam biaya
perawatan kesehatan di akhir kehidupan. 2 Arahan dan perencanaan perawatan
lanjutan baru-baru ini telah terbukti dikaitkan dengan pasien yang menerima
perawatan yang sesuai dengan preferensi mereka, dan juga telah terbukti dikaitkan
dengan perawatan yang kurang agresif pada akhir kehidupan dan dengan peran
keluarga yang lebih baik pada perawatan akhir kehidupan.2-3 Meskipun diskusi ini
umumnya bukan bidang intensivists, upaya untuk meningkatkan kualitas dan
kuantitas diskusi ini ketika pasien stabil cenderung meningkatkan kemampuan
kita untuk memaksimalkan efektivitas perawatan intensif, dan mengurangi beban
perawatan akhir kehidupan di ICU pada pasien, keluarga, dan sistem perawatan
kesehatan.

Keputusan pada Akhir Kehidupan


Komunikasi antar Disiplin Ilmu
Perawatan akhir kehidupan di sebagian besar rangkaian disampaikan oleh tim
antar disiplin ilmu yang mencakup perawat dan dokter. Idealnya, keputusan akhir
kehidupan harus dibuat setelah diskusi antara semua anggota tim antar disiplin
ilmu. Namun, kolaborasi antar disiplin ilmu tentang perawatan akhir kehidupan
seringkali tidak baik dan cukup bervariasi di berbagai negara. 3 Misalnya, dalam

7
survei prospektif di 113 ICU Prancis, keputusan akhir kehidupan dibuat oleh satu
dokter dalam 12% kasus, oleh staf medis saja dalam 34% kasus, dan oleh staf
medis dan keperawatan pada 54% pasien.2 Dalam sebuah penelitian di ICU di
Lebanon, perawat tidak terlibat dalam 26% keputusan akhir kehidupan. 3 Di
sebuah studi kuesioner terhadap 1961 intensivists dari 21 negara, untuk pasien
hipotetis tanpa keluarga, 62% dokter dari Eropa utara dan tengah akan melibatkan
perawat dalam diskusi akhir kehidupan dibandingkan dengan hanya 32% dokter di
Eropa selatan, 39% di Jepang, 38% di Brazil, dan 29% di AS. 5 Pasien dan
keluarga melaporkan bahwa kolaborasi antar disiplin ilmu adalah bagian penting
dari perawatan akhir kehidupan yang baik.6 Kolaborasi antar disiplin ilmu yang
buruk tentang perawatan akhir kehidupan dikaitkan dengan peningkatan gejala
kelelahan, depresi, dan stress pasca trauma di antara dokter yang bekerja di ICU. 3
Selain itu, konflik antara dokter di ICU adalah umum, meningkat dengan
pemberian perawatan akhir kehidupan, dan dikaitkan dengan peningkatan stres
kerja.7 Oleh karena itu, peningkatan kolaborasi interdisipliner untuk perawatan
akhir kehidupan di ICU penting untuk peningkatan kualitas perawatan dan
lingkungan kerja bagi dokter.

Nilai prognosis dan kepastian hidup

Nilai preferensi keluarga dalam pengambilan keputusan

Terapkan strategi berdasarkan faktor pasien dan keluarga

Peran keluarga dalam pengambilan keputusan

Parentalism atau Autonomi atau


klinisi yang keluarga yang
memutuskan memutuskan
Pengambilan keputusan bersama

8
Gambar 1. Pendekatan tiga langkah untuk pengambilan keputusan berpusat pada
pasien dan berpusat pada keluarga.
Dikutip dari Azoulay dkk.7

9
Komunikasi antara Dokter dan Keluarga
Dokter yang merawat orang dengan penyakit kritis berkewajiban untuk
mengungkapkan informasi tentang kondisi dan prognosis pasien kepada pasien
dan keluarga pasien. Keluarga individu yang sakit kritis adalah sumber informasi
penting tentang nilai-nilai dan preferensi perawatan pasien. Pada tahun 2005, lima
organisasi perawatan intensif internasional mengeluarkan pernyataan konsensus
yang mengadvokasi pengambilan keputusan bersama tentang perawatan yang
menunjang kehidupan di ICU.3 Dalam pernyataan ini, keputusan bersama
didefinisikan sebagai salah satu di mana “tanggung jawab untuk mengambil
keputusan dimiliki bersama oleh dokter yang merawat dan keluarga pasien”. 4
Pedoman untuk perawatan akhir kehidupan juga menekankan pentingnya
melibatkan pasien (bila mungkin) dan keluarga.8 Namun demikian, ada perbedaan
internasional yang substansial dalam jumlah keterlibatan pasien dan keluarga pada
proses akhir kehidupan. Selain itu, meskipun sebagian besar keluarga
menginginkan dokter dan tim ICU untuk memberikan rekomendasi tentang perlu
tidaknya dalam membatasi pemberian dukungan hidup,9 namun terdapat beberapa
keluarga lain tidak ingin terlibat dalam pembuatan keputusan seperti itu atau
bahkan ada yang ingin membuat keputusan tanpa rekomendasi dari dokter.4-5
Secara tradisional, keluarga lebih terlibat dalam pengambilan keputusan
akhir kehidupan di AS daripada di Eropa.4 Dalam studi Ethicus6 yang dilakukan di
37 ICU pada 17 negara Eropa, keputusan akhir kehidupan yang diambil oleh
keluarga lebih umum di utara (84%) dan tengah (66%) daripada di selatan (47%)
Eropa. Variasi besar telah dilaporkan dalam keterlibatan keluarga — dari 100% di
India, 98% di Hong Kong, 79% di Lebanon, 72% di Spanyol, hingga hanya 44%
di Prancis.10 Dalam sebuah studi kuesioner tentang para Intensivists di Italia, 19%
dokter mengatakan keluarga dekat tidak pernah terlibat dalam keputusan seperti
itu dan 56% tidak akan pernah melibatkan pasien bahkan jika kompeten.
Dokter perlu menyadari keragaman dan kompleksitas sifat yang ada dalam
masyarakat kita semakin multikultural, dan perlu mengadaptasi pendekatan
mereka terhadap situasi. Terdapat serangkaian peran dokter dalam pengambilan
keputusan, mulai dari parentalisme dimana dokter membuat keputusan hingga

10
secara otonomi di mana pasien atau keluarga yang membuat keputusan dengan
pengambilan keputusan bersama dengan dokter.5 Gambaran ini menunjukkan
pendekatan yang potensial untuk mencocokkan peran dokter dengan kebutuhan
pasien dan keluarga pasien.
Pengambilan keputusan bersama adalah posisi standar yang dimodifikasi
dalam tiga langkah.4 Pertama, ketika prognosisnya memburuk dan kepastian
prognosisnya meningkat, demikian juga dengan kesediaan dokter untuk
menanggung beban pengambilan keputusan. Kedua, peran pengambilan keputusan
keluarga akan dinilai. Terakhir, pendekatan ini disesuaikan dengan faktor-faktor
pasien dan keluarga yang diidentifikasi pada langkah pertama dan kedua. Agar
pendekatan ini berhasil, komunikasi antara dokter dan keluarga perlu optimal.
Namun, komunikasi antara dokter dan keluarga di ICU sering tidak memadai;
dalam satu studi, hanya setengah dari keluarga pasien di ICU memahami
informasi dasar tentang diagnosa, prognosis, atau perawatan pasien setelah diskusi
dengan dokter.
Fokus pada komunikasi dengan keluarga dari semua pasien dengan penyakit
kritis adalah penting, bukan hanya bagi mereka yang diperkirakan akan
meninggal. Apakah pasien dengan penyakit kritis akan bertahan hidup itu
seringkali tidak secara jelas disampaikan pada saat komunikasi antara dokter dan
keluarga. Selain itu, meskipun kematian pasien merupakan faktor risiko untuk
adanya perburukan kondisi psikologis di antara keluarga, namun keluarga dari
pasien yang bertahan hidup juga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami gejala ini. Keluarga dari pasien yang bertahan hidup seringkali kurang
puas dengan komunikasi dari dokter ICU dibandingkan dengan keluarga yang dari
pasien yang meninggal.11
Diskusi antara dokter di ICU dan keluarga tentang tujuan perawatan dan
pengambilan keputusan medis sering terjadi selama konferensi antara tim antar
disiplin ilmu dan keluarga (tabel 2). Fitur-fitur dalam konferensi ini seringkali
terkait dengan adanya pengalaman keluarga yang lebih banyak atau penilaian
komunikasi telah diidentifikasi dalam beberapa penelitian (tabel 3). Sebagai
contoh, hasil luaran yang lebih baik berkaitan dengan komunikasi keluarga di

11
tempat yang cukup private dan dengan komunikasi yang konsisten oleh semua
anggota tim.12 Keluarga lebih puas ketika dokter menghabiskan lebih banyak
waktu untuk mendengarkan dan lebih sedikit waktu untuk berbicara. 12 Fitur lain
dari komunikasi dokter terkait dengan pengalaman keluarga yang lebih baik
termasuk jaminan bahwa pasien tidak akan ditinggalkan sebelum kematian;
jaminan bahwa pasien tidak akan menderita; dan dukungan eksplisit untuk
keputusan keluarga.6 Pernyataan empati oleh dokter juga dikaitkan dengan
peningkatan kepuasan keluarga.5 Ketika ada konflik antara staf dan keluarga,
konsultasi etika telah menguntungkan.12

Tabel 2. Usulan praktik terbaik untuk etika dan perawatan akhir hidup di unit
perawatan intensif (ICU)
Dikutip dari Sprung 11

Kebijakan ICU
• Kebijakan eksplisit untuk masuk dan kriteria transfer.
• Kebijakan eksplisit untuk pengiriman perawatan paliatif dan akhir kehidupan.
• Pelatihan untuk dokter ICU di etika, komunikasi, dan perawatan akhir hidup.
Komunikasi antar disiplin ilmu
• Semua pasien termasuk dalam putaran interdisipliner sehari-hari.
• Komunikasi antar-disiplin harian tentang tujuan perawatan.
Komunikasi dengan keluarga
• Jam kunjungan terbuka untuk anggota keluarga.
• Izinkan kehadiran keluarga selama putaran ICU.
• Interdisiplin rutin berdiskusi dengan keluarga dalam waktu 48-72 jam untuk keluarga pasien
yang berisiko tinggi kematian atau yang akan dirawat lebih lama.
Menahan atau menarik dukungan hidup
• Kebijakan eksplisit tentang menahan dan menarik dukungan hidup.
• Protokol untuk menarik dukungan kehidupan.
• Melatih dokter dari semua disiplin ilmu mengenai etika dan komunikasi tentang menahan
dan menarik tunjangan hidup.
• Dukungan staf program tentang perawatan di akhir kehidupan, dan menahan atau menarik
dukungan kehidupan.

12
Tabel 3. Tahapan penting untuk peningkatan komunikasi selama konferensi
keluarga
interdisipliner di unit perawatan intensif
Dikutip dari Sprung 11

Sebelum
• Merencanakan detail spesifik lokasi dan pengaturan: tempat sepi, pribadi.5
• Melakukan pra-konferensi dengan dokter untuk mengembangkan konsensus dan
memastikan konsistensi informasi yang diberikan.
Selama
• Menggunakan metode mendengarkan secara aktif dan memberikan keluarga waktu yang
cukup untuk berbicara.5
• Menggunakan pernyataan empatik untuk memberikan dukungan untuk keluarga: 5 kesulitan
memiliki orang sakit kritis yang dicintai; kesulitan pengambilan keputusan pengganti;
kehilangan orang yang dicintai yang akan datang.
• Mengakui dan mengatasi emosi keluarga.6
• Menggali dan fokus pada nilai-nilai pasien dan preferensi pengobatan.6
• Pastikan tidak ada yang saling meninggalkan satu sama lain antara pasien dan keluarga. 6
Penyelesaian
• Meringkas informasi dan keputusan.
• Meminta pertanyaan, dan memberikan waktu keluarga untuk mempertimbangkan
pertanyaan.6
• Tanggapi dan dukung keluarga sehubungan dengan keputusan mereka.6

Ketika komunikasi terjadi lintas budaya atau bahasa, kemungkinan


miskomunikasi meningkat; keterlibatan pemimpin agama atau komunitas dan
penerjemah profesional spesifik keluarga dapat membantu.6 Kesalahan dalam
komunikasi adalah umum bahkan dengan penerjemah medis profesional dan
mungkin memengaruhi pemahaman, pengambilan keputusan, dan dukungan
emosional.6 Beberapa langkah sederhana dapat meningkatkan komunikasi ini:
dokter dapat bertemu secara singkat dengan penerjemah sebelum konferensi,
berbicara perlahan memberikan waktu untuk interpretasi, membatasi jumlah
percakapan simultan, dan menggunakan gambar atau gambar jika mungkin.
bagian penting dari perawatan di ICU adalah menilai kebutuhan spiritual keluarga
dan kemudian menawarkan mereka perawatan spiritual jika diinginkan. Kepuasan
keluarga mengenai perawatan akan meningkat jika kebutuhan perawatan spiritual
dinilai cukup penting, dan perawatan spiritual memang disediakan oleh penyedia
perawatan spiritual.7

13
14
Menahan atau Menarik Bantuan Kehidupan
Sebagian besar pasien yang meninggal di ICU biasanya terjadi setelah keputusan
telah dibuat untuk membatasi perawatan yang mendukung kehidupan,6-8 tetapi ada
perbedaan besar dalam proporsi kematian yang didahului dengan menahan atau
menarik dukungan kehidupan secara internasional. Dalam studi Ethicus, 6
penarikan perawatan yang mempertahankan hidup dilaporkan lebih umum (47%
vs 18%, p<0,001) di negara-negara Eropa utara (Denmark, Finlandia, Irlandia,
Belanda, Swedia, dan Inggris) daripada di yang ada di Eropa selatan (Yunani,
Israel, Italia, Portugal, Spanyol, dan Turki). Dalam sebuah analisis terhadap
14.488 pasien dari 282 ICU di tujuh wilayah geografis yang berbeda, kematian
terjadi setelah keputusan untuk membatasi perawatan yang mempertahankan
hidup bervariasi dari 26% di Amerika Tengah dan Selatan hingga 48% di Eropa
Tengah dan Barat.7 Dukungan hidup ditarik atau ditahan pada 59% pasien yang
tidak bertahan hidup di Hong Kong,5 53% di Perancis,2 45% di Lebanon,3 41% di
Swedia,7 35% di Spanyol,2 dan 49% di India.4 Perbedaan agama dan latar
belakang budaya mungkin menjadi salah satu alasan utama perbedaan
internasional ini.
Meskipun banyak ahli etika dan masyarakat perawatan intensif menyatakan
bahwa tidak ada perbedaan etika antara menahan atau menarik perawatan yang
menunjang kehidupan,5,7 perspektif ini tidak diterima secara universal, dan
beberapa ahli etika dan intensif percaya bahwa ada perbedaan penting antara
menahan dan menarik perawatan yang mempertahankan kehidupan.7 Di Israel,
misalnya, hukum Yahudi ortodoks memungkinkan perawatan yang menunjang
kehidupan ditahan, tetapi penarikan intervensi terus-menerus dilarang karena
dianggap sebagai tindakan untuk mempersingkat kehidupan.7 Namun, penarikan
perawatan berkelanjutan seumur hidup diizinkan karena itu dilihat sebagai
perawatan berikutnya yang ditahan daripada penarikan yang sekarang.7
Agama adalah penentu penting dari sikap terhadap kematian, kematian, dan
perawatan akhir kehidupan, termasuk agama pasien, keluarga mereka, dan dokter
mereka. Misalnya, dalam studi Ethicus,11 dibandingkan dengan perawatan yang
ditarik, perawatan yang ditahan lebih sering terjadi jika dokter itu Yahudi (81%),

15
ortodoks Yunani (78%), atau Muslim (63%), sedangkan penarikan lebih sering
terjadi ketika dokter Katolik (53%), Protestan (49%), atau tidak memiliki
hubungan agama (47%). Agama juga merupakan penentu penting dari penerimaan
kematian otak, suatu keadaan yang diterima secara luas, tetapi tidak secara
universal.2
Dengan banyaknya jumlah kematian yang sekarang terjadi dapat terkait
dengan keputusan untuk menahan atau menarik perawatan yang menunjang
kehidupan serta perbaikan proses terhadap penentuan perawatan penunjang hidup
mana yang ditahan atau ditarik merupakan aspek penting dalam meningkatkan
kualitas perawatan ICU.5 Terdapat beberapa data yang dapat menjadi panduan
bagi dokter pada aspek praktis dalam menarik perawatan yang mempertahankan
kehidupan.8 Penarikan perawatan ini merupakan sebuah prosedur klinis yang
layak memiliki prosedur persiapan dan harapan kualitas yang sama seperti
prosedur lainnya.5 Keputusan ini dapat menjadi rutin bagi dokter yang bekerja di
ICU, dan, dengan demikian, dokter harus berhati-hati terhadap adanya tekanan
dari kelembagaan untuk menarik perawatan yang mempertahankan hidup. 9 Alasan
dari diambilnya keputusan untuk menarik dukungan hidup harus dicatat dalam
catatan medis. Rencana eksplisit untuk prosedur harus dikembangkan: pasien
harus dalam keadaan yang sesuai dengan dihapuskannya pemantauan yang tidak
relevan; proses harus didokumentasikan dengan hati-hati dalam catatan medis,
termasuk alasan mengapa sedasi atau analgesia meningkat; dan hasil harus dinilai.
Rencana tersebut juga harus didiskusikan seksama dengan pasien (jika
memungkinkan) dan keluarga untuk memastikan mereka memahami proses yang
direncanakan, gejala potensial, dan rencana untuk perawatan gejala.9
Setelah keputusan dibuat untuk menarik perawatan penunjangkehidupan,
berapa lama waktu penghentian perawatan harus ditentukan oleh seberapa besar
potensi ketidaknyamanan ketika pengobatan dihentikan. Satu-satunya alasan
utama mengapa perawatan yang menunjang kehidupan menjadi penting dalam
kondisi ini adalah untuk memberikan waktu untuk mengobati gejala pasien.
Ventilasi mekanis adalah salah satu dari sedikit perawatan penunjang kehidupan
yang penghentiannya secara tiba-tiba menyebabkan ketidaknyamanan (tabel 4).

16
Biasanya, transisi dari dukungan ventilasi penuh ke T-piece atau ekstubasi harus
memakan waktu kurang dari 10-20 menit. Obat-obatan, termasuk opioid dan
benzodiazepin, sering digunakan untuk mengobati ketidaknyamanan pasien dan
ada beberapa bukti pengamatan yang menunjukkan bahwa penggunaan yang tepat
dari obat-obatan ini tidak mempercepat kematian.9 Terdapat beberapa data yang
mendukung apakah pasien perlu diekstubasi setelah ventilasi mekanis dihentikan
penggunaannya. Tidak ada perbedaan signifikan yang tercatat dalam kenyamanan
pasien, dalam penelitian kecil, yang tidak memiliki kekuatan hubungan untuk
mendeteksi perbedaan penting secara klinis.10 Keluarga menilai kualitas kematian
lebih tinggi ketika pasien diekstubasi, tetapi kesimpulan perusahaan tidak dapat
ditarik karena sifat pengamatan dari penelitian tersebut. 12 Oleh karena itu,
keputusan untuk melakukan ekstubasi harus dibuat secara individual, tergantung
pada waktu yang diperkirakan akan mati dan preferensi keluarga tentang
keberadaan tabung endotrakeal dan potensi bunyi pernapasan yang mengganggu.
Seperti banyak aspek perawatan kritis, protokol untuk menahan atau
menarik perawatan yang mempertahankan hidup, jika dikembangkan dengan hati-
hati untuk mengakomodasi standar lokal, dapat memberikan kesempatan untuk
meningkatkan perawatan dan mengurangi variabilitas yang tidak perlu dalam
perawatan. Formulir pemesanan kamar ICU untuk penarikan dukungan hidup
yang telah dinilai dalam studi sebelum dan sesudah, termasuk persiapan sebelum
penarikan perawatan penunjangkehidupan (seperti penghentian tes laboratorium
rutin), dan protokol untuk analgesia dan sedasi dalam konteks ini, serta dalam
penarikan ventilator.11 Dokter dan perawat berpendapat bahwa formulir
pemesanan sangat membantu, dan penerapannya dikaitkan dengan peningkatan
penggunaan benzodiazepine dan obat-obatan opiat pada jam sebelum dan jam
setelah penarikan ventilator, tetapi tanpa pengurangan terkait waktu dari
penarikan ventilator sampai mati, menyarankan pendekatan ini dapat
meningkatkan penggunaan obat untuk kenyamanan pasien tanpa mempercepat
kematian.

17
Tabel 4. Pendekatan delapan langkah untuk penarikan terminal ventilasi mekanis.
Dikutip dari Sprung 11
1. Berkomunikasi proses penarikan dengan pasien (jika dapat berkomunikasi), keluarga
pasien, dan tim unit perawatan intensif, dan mendokumentasikan pengambilan keputusan
dan komunikasi dalam catatan medis.
2. Jelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa kemungkinan perjalanan waktu,
ketidakpastian perjalanan waktu itu, dan kemungkinan gejala serta rencana perawatan
untuk gejala ketika menarik perawatan yang mempertahankan hidup.
3. Kaji kenyamanan pasien dan tindak ketidaknyamanan seperlunya, seringkali dengan obat
opiat atau benzodiazepine, tergantung pada gejala yang teridentifikasi.
4. Matikan tekanan positif akhir ekspirasi, dan putar fraksi oksigen inspirasi ke udara kamar.
5. Tinjau kembali kenyamanan pasien, dan tindak ketidaknyamanan seperlunya.
6. Kurangi dukungan ventilasi sekitar 50%.
7. Ulangi langkah 5 dan 6 sampai dukungan ventilator dihentikan.
8. Lepaskan ventilator mekanis, dan ekstubasikan pasien atau pasang T-piece dengan udara
lembab.

SIMPULAN
Terdapat variabilitas regional dan internasional yang substansial dalam
pendekatan perawatan akhir kehidupan. Beberapa variabilitas ini akan berkurang
ketika konsensus global tentang etika perawatan kritis dikembangkan, tetapi
beberapa variabilitas pasti akan tetap ada karena variasi regional dalam perspektif
agama dan budaya tentang perawatan akhir kehidupan, dan juga variasi dalam
ketersediaan sumber daya pada ICU. Pengembangan konsensus global tentang
perawatan akhir kehidupan, sejauh mungkin, akan memerlukan diskusi terbuka
dan berkelanjutan tentang masalah ini di forum internasional. Di semua wilayah,
dilakukannya perawatan intensif yang etis dan berkualitas tinggi memerlukan
pelatihan dan perhatian penuh dalam pengambilan keputusan etis, komunikasi dan
kolaborasi di seluruh tim antar disiplin ilmu, komunikasi yang efektif dengan
pasien dan keluarga, dan identifikasi dan resolusi konflik dalam tim dan dengan
pasien dan keluarga.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. American Thoracic Society. Fair allocation of intensive care unit resources.


Am J Respir Crit Care Med 1997; 156: 1282–301.
2. Prendergast TJ, Luce JM. Increasing incidence of withholding and
withdrawal of life support from the critically ill. Am J Respir Crit Care Med
1997; 155: 15–20.
3. Cohen S, Sprung C, Sjokvist P, et al. Communication of end-of-life decisions
in European intensive care units. Intensive Care Med 2005; 31: 1215–
21.Elwood T, Sarathy PV, Geiduschek JM, Ulma GA, Karl HW.
Respiratorycomplications during anaesthesia in Apert syndrome. Paediatr
Anaesth2001; 11: 701–3
4. Curtis JR, White DB. Practical guidance for evidence-based ICU family
conferences. Chest 2008; 134: 835–43.
5. Vincent JL. Forgoing life support in western European intensive care units:
results of an ethical questionnaire. Crit Care Med 1999; 16: 1626–33
6. Sprung CL, Cohen SL, Sjokvist P, et al. End-of-life practices in European
intensive care units: the Ethicus Study. JAMA 2003; 290: 790–97.
7. Azoulay E, Metnitz B, Sprung CL, et al. End-of-life practices in 282 intensive
care units: data from the SAPS 3 database. Intensive Care Med 2009; 35:
623–30.
8. van der Heide A, Deliens L, Faisst K, et al. End-of-life decisionmaking in six
European countries: descriptive study. Lancet 2003; 362: 345–50.
9. Yaguchi A, Truog RD, Curtis JR, et al. International Diff erences in End-of-
Life Attitudes in the Intensive Care Unit: Results of a Survey. Arch Intern
Med 2005; 165: 1970–75.
10. Bulow HH, Sprung CL, Reinhart K, et al. The world’s major religions’ points
of view on end-of-life decisions in the intensive care unit. Intensive Care Med
2008; 34: 423–30.

19
11. Sprung CL, Maia P, Bulow HH, et al. The importance of religious affiliation
and culture on end-of-life decisions in European intensive care units.
Intensive Care Med 2007; 33: 1732–39.
12. Keenan SP, Busche KD, Chen LM, Esmail R, Inman KJ, Sibbald WJ.
Withdrawal and withholding of life support in the intensive care unit: a
comparison of teaching and community hospitals. Crit Care Med 1998; 26:
245–51.

20

Anda mungkin juga menyukai