Anda di halaman 1dari 27

Memahami Interaksi Sosial Anak Autis di Sekolah Luar Biasa Tunas Mulia

Melalui Penuturan Orang Tua dan Guru Teori Pilihan Interaksionalisme


Simbolik George Mead & Blummer
(Studi di Sekolah Luar Biasa Tunas Mulia, Surabaya)

JURNAL

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk


Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial
(S.Sos) dalam Bidang Sosiologi

Oleh:
M. Dimas Myzan Maulidy
NIM. I03217008

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAR ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
MARET 2021
MEMAHAMI INTERAKSI SOSIAL ANAK AUTIS DI SEKOLAH LUAR
BIASA TUNAS MULIA MELALUI PENUTURAN ORANG TUA DAN
GURU STUDI KASUS SEKOLAH LUAR BIASA TUNAS MULIA
SURABAYA (TEORI PILIHAN INTERAKSIONALISME SIMBOLIK
GEORGE MEAD & BLUMMER)

M. Dimas Myzan Maulidy1/ Dr. Dwi Setianingsih, M.pd I2


Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
dimasmyzan@gmail.com1
dwisetia@uinsby.ac.id2

ABSTRAK
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana interaksi sosial yang
terjadi antara anak autis dengan sesama anak autis, anak autis dengan guru, dan anak
autis dengan orang tua serta keluarga di rumah. Interaksi yang ditemukan oleh peneliti
selain mengguakan verbal anak autis menggunakan metode interaksi simbolik untuk
mempermudah dan membantu mereka dalam melakukan interaksi, karena keterbatasan
mereka sehingga dibantu dengan adanya interaksi simbolik. Metode interaksi simbolik
ini juga digunakan oleh guru dalam pembelajaran untuk mempermudah anak dalam
memahami suatu hal, hal ini juga di gunakan ketika dirumah di aplikasikan dengan
kegiatan keseharian kaena sudah terbiasa dengan metode interaksi simbolik yang
memudahkan mereka, meskipun tetap menggunakan verbal tapi juga di sisipi meode
interaksi sosial tersebut. Anak autis juga memiliki hubungan yang erat dalam
pertemanan, memiliki komunikasi yang sangat baik dan dekat dengan guru, dan aktif
dalam berinteraksi di rumah. Anak autis juga memiliki rasa kepedulian, kasih dan sayang
terhadap saudara di rumah, daam penelitian ini juga dijelaskan kedekatan antara anak
autis dengan kedua orang tua mereka.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif
dan menggunakan teori Interaksi Simbolik. Penggunaan metode ini dengan alasan bahwa
fokus dalam penelitian ini adalah interaksi pada anak penyandang autisme melalui
penuturan secara langsung dari orang tua dan guru. Sementara, pendekatan deskriptif
dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana interaksi sosial anak autis baik dengan
teman, guru, dan orang tua.
Dari hasil penelitian menemukan bahwa (1) Interaksi Simbolik bagi anak autis di Sekolah
Luar Biasa Sememi adalah sebuah pola interaksi yang biasa dilakukan dalam keseharian
mereka di sekolah sehingga mempermudah jalinan interaksi baik antara sesama maupun
dengan guru. Baik itu dalam hal kerja sama, atau mempermudah guru dalam
menyampaikan pembelajaran. (2) Dengan adanya kekurangan serta keterbatasan yang
berbeda-beda disetiap individu anak autis, tidak menghambat mereka untuk tetap saling
berinteraksi. Mereka bisa membangun hubungan kesetiakawanan yang baik dan hangat
juga tidak memandang seberapa kurangnya mereka, mereka akan tetap berteman dengan
baik. (3) Interaksi dengan orang tua dan keluarga terjalin sangat baik, mereka berinteraksi
dengan Bahasa yang biasa mereka gunakan ketika dirumah dan tidak jarang
menggunakan pola Interaksi simbolik seperti yang dilakukan disekolahan. Meskipun
demikian orang tua selalu mencoba untuk mengajak serta interaksi dengan verbal agar
mereka dapat terbiasa untuk itu. Selain itu mereka juga memiliki rasa kasih sayang
kepada orang tua dan saudara.

Kata Kunci : Memahami Interaksi Sosial, Anak Autis, Sekolah Luar Biasa Tunas Mulia
MEMAHAMI INTERAKSI SOSIAL ANAK AUTIS DI SEKOLAH LUAR
BIASA TUNAS MULIA MELALUI PENUTURAN ORANG TUA DAN
GURU STUDI KASUS SEKOLAH LUAR BIASA TUNAS MULIA
SURABAYA (TEORI PILIHAN INTERAKSIONALISME SIMBOLIK
GEORGE MEAD & BLUMMER)

M. Dimas Myzan Maulidy1/ Dr. Dwi Setianingsih, M.pd I2


Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
dimasmyzan@gmail.com1
dwisetia@uinsby.ac.id2

ABSTRACT

The problems examined in this study are how the social interactions that occur between
autistic children and fellow autistic children, autistic children and teachers, and autistic
children with their parents and family at home. The interactions found by the researchers
in addition to using verbal autistic children used the symbolic interaction method to
facilitate and assist them in interacting, because of their limitations so that it was helped
by the existence of symbolic interactions. This symbolic interaction method is also used
by teachers in learning to make it easier for children to understand something, this is also
used when at home it is applied to daily activities because it is used to symbolic
interaction methods that make it easier for them, even though they still use verbal but also
include methods these social interactions. Autistic children also have close friendships,
have excellent and close communication with teachers, and are active in interactions at
home. Autistic children also have a sense of care, love and affection for siblings at home,
in this study the closeness between autistic children and their parents is also explained.
This study uses a qualitative research method with a descriptive approach and uses
Symbolic Interaction theory. The use of this method is on the grounds that the focus in
this study is the interaction of children with autism through direct narrative from parents
and teachers. Meanwhile, the descriptive approach is intended to describe how autistic
children social interactions with friends, teachers, and parents. From the results of the
study found that (1) Symbolic Interaction for children with autism in Sememi Special
Schools is a pattern of interaction that is usually carried out in their daily lives at school
so that it facilitates interaction between each other and the teacher. Whether it's in terms
of cooperation, or making it easier for teachers to convey learning. (2) The existence of
different weaknesses and limitations in each individual child with autism, does not
prevent them from continuing to interact with each other. They can build a good and
warm friendly relationship and no matter how lacking they are, they will still be good
friends. (3) Interaction with parents and family is very good, they interact with the
language they usually use at home and often use symbolic interaction patterns like what is
done in school. Even so, parents always try to invite verbal interaction so that they can
get used to it. In addition, they also have compassion for their parents and siblings.

Keywords: Understanding Social Interaction, Autistic Children, Tunas Mulia Special


School.
A. Pendahuluan

Autisme merupakan gangguan perkembangan pada anak yang


sudah ada sejak dahulu telah menjadi misteri di dunia kedokteran. Autisme
bukan gangguan atau penyakit baru melainkan sudah ada sejak lama, tetapi
belum terdeteksi autis. Orang dulu menganggap ‘aneh’ kepada anak autis
ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan pada masa itu sehingga
orang dulu menyimpulkan kalua autis adalah anak yang aneh karena dari
lahir mereka sudah menunjukkan gejala yang berbeda dengan anak yang
baru lahir pada umumnya. Masyarakat lebih sering memandang mereka
aneh, tidak normal dan terkadang takut terhadap anak autis padahal anak
autis itu sendiri tidak mengancam orang lain atau berbuat brutal kepada
orang lain. Dalam kehidupan sosial bermasyarakat anak autis juga
memiliki kekurangan pada aspek berinteraksi dan berkmunikasi dengan
orang lain, sehingga menyebabkan mereka tidak dapat membangun
hubungan yang baik dengan masyarakat umum.

Sama halnya dengan anak lain, anak autis juga merupakan


makhluk sosial dimana mereka membutuhkan orang lain didalam
kehidupannya, hanya saja dengan cara yang berbeda. Dalam pengertian
sosiologi proses interaksi biasanya terdapat adanya kontak mata, respon
timbal balik dan lain sebagainya agar proses interaksi sosial dapat terjadi,
berbeda dengan anak-anak autis mereka cenderung tidak melakukan itu
ataupun melakukan tetapi tidak se-intens apa yang dilakukan anak atau
msyarakat umum. Dalam masyarakat anak autis merupakan bukti dari
kemajemukan sebuah susunan masyarakat dimana anak autis yang
memiliki bermacam-macam kekurangan dan keterbatasan mereka tetap
bisa melakukan interaksi sosial dengan sesama anak autis maupun anak
normal lainnnya meskipun proses interaksi yang mereka lakukan tidak
seperti orang normal lain lakukan.1

1
Andri Priyatna, Amazing Autism,( Bandung, Merdeka Post, 2011). Hal. 13
Dalam hal komunikasi anak autis dengan sesama anak autis
terkadang terdapat model interaksi yang berbeda dengan anak normal yang
lainya, seperti hal nya menggunakan symbol-simbol tertentu atau untuk
menyuruh anak tersebut melalui tunjuk jari, tunjuk jari yang dimaksudkan
disini seperti menunjuk suatu objek seperti sapu agar anak autis itu paham.
Jumlah penderita autis di negara ini terus mengalami pertumbuhan setiap
tahunnya. Dari Judarwanto Widodo yang berprofesi sebagai dokter anak
memperkirakan jumlah penderita atis mungkin saja dapat bertambah dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2015 di Indonesia terdapat 1 dari 250 anak
memiliki gangguan autis, dan sebanyak kurang lebih 12.800 anak
penyandang autis dan 134.0000 orang penyandang autis yang ada di
Indonesia.

Namun disayangkan di Indonesia belum ada data yang akurat


tentang jumlah anak autis pada setiap tahunnya. Hal tersebut berhubungan
terhadap pemahaman masyarakat mengenai pemahaman dan pengetahuan
terhadap anak penyandang autis. Para orang tua rata-rata tidak paham dan
cenderung menganggap remeh disaat anak memperlihatan gejala autis, itu
menjadi penyebab kepastian data anak autis di Indonesia masih belum
akurat. Menurut hasi penelitian, yang menunjukkan mengenai jumlah autis
diperkirakan mencapai 4 sampai 5 dari 10.000 anak. Beberapa peneliti
yang menggunakan definisi dari autisme itu sendiri memperkirakan kurang
lebih 10-11 dari 10.000 anak yang memiliki gangguan autis. Mengacu
pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Philip, beliau adalah seseorang
yang turut berperan dalam terlahirnya Lembaga indocare yaitu sebuah
komunitas percontohan yang bergerak khusus pada bidang autisme yang
ada di Indonesia menyatakan, bahwa di Indonesia diperkirakan jumlah
anak autis kurang lebih mencapai 475.000 anak, artinya 1 dari 500 anak
ada di Indonesia merupakan anak yang menyandang autis.2

2
www. Sinar Harapan.Co.id, diakses 2 November 2020
Tetapi, menurut catatan yang terdapat pada YAI (Yayasan Autisme
Indonesia), bahwa pertumbuhan jumlah anak autis selalu meningkat pada
setiap tahunnya, namun hingga saat ini data survey resmi mengenai jumlah
pasti anak yang menderita autis di Indonesia masih belum ada. World
Health Organization atau WHO sendiri telah memperkirakan bahwa
penderita autis di dunia atau dilihat secara global telah mencapai jumlah
62 daari 10.000 atau 1 dari 160 kelahiran.3 Jumlah anak autis di Indonesia
setiap tahunnya selalu mengalami peningkat, namun jumlah sekolah
khusus anak autis yang tersedia masih sangat kurang. Karena pada
dasarnya tidak ada orang tua yang ingin melahirkan anak dengan
gangguan autis demikian pula tidak ada orang yang ingin dilahirkan dalam
keadaan memiliki gangguan autis.

Demikian dengan anak yang menderita autis, pada dasarnya


mereka tidak menginginkan adanya gangguan mental pada diri mereka,
memiliki kekurangan yang ada pada dirinya sehingga membedakan antara
dia dengan anak lain, kenyataanya bahwa autis itu dapat terjadi pada
semua elemen kelompok masyarakat, kaya, miskin, berpendidikan atau
tidak, serta pada kelompok etnis dan budaya di dunia memiliki
kemungkinan menyandang autis itu sendiri. seorang anak harusnya
menikmati masa-masa bermain, belajar, membangun pertemanan juga
bersahabat dengan anak seusianya.

Kota Surabaya pelayanan dalam Pendidikan anak autis masih


belum dapat dibilang sempurna, dibuktikan dengan adanya keterbatasan
fasilitas pendidikan yang belum lengkap, selain itu persebaran sekolah luar
biasa khusus anak autis dan tempat terapi untuk anak autis tidak merata.
Autisme merupakan suatu gangguan dalam perkembangan otak secara
normal, yang berupa gangguan pemahaman atau gangguan fungsi otak
yang bersifat pervasif, dan bukan merupakan bentuk penyakit mental.
Gangguan perkembangan fungsi otak yang bersifat pervasive (inco) yang
3
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/09/mkz2un-112000anak-indonesia-
diperkirakan-menyandang-autisme. diakses pada tanggal 2 November 2020 pukul 08:48
meliputi gangguan kognitif (kemampuan), Bahasa perilaku komunikasi,
dan gangguan interaksi sosial.4

Di SLB Tunas Mulia ini terdapat 2 jenis kelas yang terdiri dari
Tuna Rungu dan Tuna Graita dimana tuna graita adalah kelas yang
didalamnya khusus untuk anak autis saja. Dalam pengelompokan kelas
tersebut terdapat 6 siswa autis yang masuk kelas khusus yaitu kelas Tuna
Graita, yakni terdiri dari 1 siswa kelas 1 SD, 2 siswa kelas 4 SD, 1 siswa
kelas 5 SD, 1 siswa kelas 1 SMP, 1 siswa kelas 1 SMA. Dalam hal ini
pembalajaran dibedakan pada setiap jenjang siswanya, contoh dalam satu
hari terdapat mata pelajaran Bahasa Indonesia maka setiap siswa akan
menerima materi sesuai jenjang kelas masing-masing. Baik di dalam
kegiatan belajar mengajar di sekolah maupun pekerjaan rumah, dalam
keadaan pandemi sekarang ini SLB Tunas Mulia sama halnya seperti
sekolah anak normal lainnya yaitu belajar daring dari rumah masing-
masing yang setiap harinya juga dipantau oleh guru-guru atau wali kelas
masing-masing.

Dalam hal ini peneliti tertarik bagaimana cara para siswa


berinteraksi baik dengan satu sama lain, guru, dan orang tua. Di sekolah
itu sendiri saya pernah mendapatai cara mereka berinteraksi dengan guru
mereka. Terdapat satu anak yang masuk ke sekolah dan bersalaman
dengan gurunya setelah itu guru tersebut mnyuruh untuk siswa itu masuk
dan siswa itu bertanya kepada gurunya tentang seorang anak apakah sudah
masuk apa belum dengan cara dia sendiri yaitu menyebut nama siswa yang
dimaksud dengan intonasi dan penyebutan kurang jelas sambal menunjuk
ruang kelas dan guru itu pun menjawab kalau siswa yang dimaksud sudah
masuk ke kelas, sebuah pemandangan yang bagi saya sangat menarik
untuk di teliti dan dipelajari.

Di sekolahan tersebut untuk menjalin interaksi antar siswa autis


yang berbeda-beda karakteristiknya pihak sekolah tidak jarang untuk

4
Bonny Danuatmaja, Terapi Anak Autis di Rumah. (Surakarta:Garis 2014) hal. 25
melakukan kegiatan di luar sekolah, seperti outbond, rekreasi, dan
mengikutsertakan para siswanya dalam perlombaan perlombaan. Selain
kegiatan di luar sekolah, pihak sekolah uga melakukan kegiatan di dalam
sekolah selain belajar untuk melatih para siswa nya untuk berinteraksi,
kerjasama, dan melatih bakat diri para siswa. Di setiap kegiatan di sekolah
contohnya lomba kecil-kecilan pihak sekolah selalu memberikan hadiah
kepada setiap siswa agar termotifasi untuk menang dan dapat mendapatkan
hadiah tersebut. Di dalam kelas sendiri hubungan antar siswa sangat baik,
akur, setia kawan, dan saling bersahabat satu sama lain meskipun masih
didapati kadang ada yang bertengkar tapi selebihnya semua berjalan baik-
baik saja, dalam hal ini saya melihat bahwa ikatan pertemanan mereka
sangat tulus dan saling menyayangi. Hubungan antara murid dan guru juga
sangat baik, posisi guru disini sangat membantu dalam proses interaksi
mereka dan membantu untuk belajar. Pada dasarnya anak autis itu tidak
bisa untuk dikerasi dalam hal apapun terlebih dalam proses pembelajaran
baik dalam pembelajaran materi maupun non materi.

B. Metode Penelitian

Metode yang dipilih oleh peneliti pada penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif menggunakan pendekatan secara deskriptif. Dalam
penggunan metode ini memiliki tujuan yang fokus dalam penelitian ini
adalah interaksi sosial pada anak autis. Sementara, pendekatan deskriptif
yang dimaksudkan bertujuan menggambarkan bagaimana interaksi sosial
anak autis yang terjadi antara sesama anak autis, guru, dan orang tua.
Penelitian kualitatif dipilih peneliti dkarenakan mampu menampilkan
data deskriptif yang berbentuk ungkapan tertulis atau ucapan secara lisan
dari perilaku orang yang diteliti. Sehingga dalam meneliti “Mengetahu
Interaksi Sosial Anak Autis di Sekolah Luar Biasa Tunas Mulia Surabaya
Melalui Penuturan Orang Tua dan Guru” penelitian kualitatif diperlukan
agar dapat mendapatkan data yang deskriptif. Istilah populasi pada
penelitian kualitatif tidak dikenal karena penelitian kualitatif menggunakan
istilah “sosial situation” yang memiliki berarti situasi sosial. Situasi sosial
tersebut mempunyai tiga elemen yang terdiri dari, yaitu lokasi, subjek, dan
aktivitas yang berhubungan. Situasi sosial ini dapat katakan sebagai
subyek penelitian yang dapat dipahami dengan detail tentang apa yang
terjadi pada sesuatu yang ingin atau akan diteliti.

Subyek yang diambil pada penelitian ini dengan menggunakan


teknik sampling. Pada teknik ini, anggota sampel yang diambil
merupakan dari subyek yang sesuai dengan tujuan penelitian agar dapat
mendapatkan sumber data yang sebenarnya dengan memperlihatkan
sifat-ifat dan penyebaran populasi agar didapatkannya sampel yang
representative dengan cara menentukan sampel yang jumlahnya sesuai
dengan ukuran sapel yang akan dijadikan sebagai sumber data. Untuk
itu, subyek harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi, syarat
tersebut adalah:

- Subyek adalah wali murid siswa autis, dan guru yang ada di
Sekolah Luar Biasa Tunas Mulia.
- Subyek memiliki pengetahuan dan pengalaman bersama anak autis.
Bersedia menjadi subyek penelitian

C. Hasil dan Pembahasan

Sekolah Luar Biasa Tunas Mulia merupakan sekolah untuk anak yang
berkebutuhan khusus, terletak di Sememi Jaya Selatan II A no.25, Kecamatan
Benowo, Kota Surabaya. Tepatnya seperti di daerah perkampungan warga
yang berhadapan langsung dengan rumah-rumah warga. Sekolah ini terdiri
dari 2 lantai dan memiliki teras lumayan luas yang juga terdapat pagar supaya
aman bagi siswa bermain di teras dan tidak berbahaya. Sekolahan ini sendiri
tidak seperti sekolah lain pada umumnya, yang biasanya berbentuk gedung
sekolahan tetapi Sekolah Luar Biasa Tunas Mulia ini memiliki bangunan
seperti rumah. Kegiatan belajar mengajar disekolah mulai pukul 07.30 sampai
12.00 dan pada pukul 09.00 sampai 09.30 ada jam untuk istirahat. Keadaan
ruang kelas yang memiliki berbagai macam hiasan dan hasta karya dari para
siswa membuat mereka selalu bersemangat untuk belajar.
Di sekolah ini terdapat beberapa kelas yang juga dibagi beberapa jenjang
sekolah yaitu TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB. Berikut data siswa dari
Sekolah Luar Biasa Tunas Mulia.

Tabel 1.1

NO JENJANG SEKOLAH JUMLAH USIA


SISWA

1. TKLB 1 6 tahun

2. SDLB 20 8-13 tahun

3. SMPLB 11 12-15 tahun

4. SMALB 3 15-18 tahun

Sumber: Data kesiswaan Sekolah Luar Biasa Tunas Mulia 2020-2021

Dari data tersebut, siswa Sekolah Luar Biasa Tunas Mulia dengan usia 5-8
tahun jenjang sekolah TKLB sebanyak 1 siswa, usia 6 tahun jenjang sekolah
SDLB sebanyak 20 siswa, usia 12-15 tahun jenjang sekolah SMPLB sebanyak
11 siswa, usia 15-18 tahun jenjang sekolah SMALB sebanyak 3 siswa.

Di sekolah diperbolehkan untuk membawa bekal dari rumah dengan


bertujuan supaya para siswa makan makanan rumah yang sudah terjamin
kebersihan dan kesehatannya dari pada harus jajan diluar, meskipun tidak
jarang para siswa untuk jajan di luar tetapi mereka lebih sering untuk
membawa bekal sendiri dari rumah. Selain itu para siswa juga menjalin
keakraban baik antar siswa atau guru yaitu dengan bermain bersama pada
waktu jam istirahat. Juga adanya kegiatan-kegiatan di sekolah seperti
perlombaan yang mengahruskan untuk saling kerja sama membuat tumbuh
kembang para siswa menjadi lebih baik. belajar sambil bermain dan
kontekstual learning yang diterapkan oleh pihak sekolah dalam program
belajar di Sekolah Luar Biasa tersebut, karena di usia mereka usia prasekolah
adalah masa-masa penuh eksplorasi bagi mereka, rasa ingin tahu yang besar
dan rasa ingin mencoba sesuatu yang baru dengan adanya kesempatan untuk
berkreasi, berkarya diharapkan anak-anak lebih kreatif bisa mengembangkan
bakat mereka.

1. Interaksi anak autis dengan sesama anak autis

Pada bagian ini peneliti mendapatkan gambaran dari setiap informan


tentang bagaimana objek peneletian atau anak autis saling berinteraksi
dengan temannya yang sesama anak autis ketika disekolah. Gambaran
interaksi ini berupa objek-objek yang mampu berinteraksi dengan teman
sesamanya baik dengan menggunakan simbol, jarang berinteraksi karena
emosi dan moodnya tidak stabil, maupun hanya interaksi kecil karena
objek yang pemalu atau insecure, dan objek yang pendiam karena belum
bisa berkominukasi dua arah. Selain itu gambaran interaksi berupa kerja
sama antar satu dengan yang lainnya.

Dalam rumusan masalah yang pertama ini peneliti juga mendapatkan


gambaran dari pihak guru tentang interaksi anak autis dengan sesama anak
autis ketika disekolah. Dengan berbeda-bedanya kekurangan pada anak
autis, peneliti mendapat gambaran yang pertama yaitu anak autis
berinteraksi dengan sesamanya tergantung pada mood anak itu sendiri. Hal
ini seperti yang disampaikan oleh Ibu Haryati dan Ibu Elly kepada peneliti
sebagai berikut:

“Kevin masih belum bisa untuk berinteraksi dengan temannya, dia


cenderung duduk dengan saya agak menjauh dari teman karena
kadang emosi atau moodnya tidak stabil, jadi saya istilahnya
mencegah agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan misalnya
tiba-tiba memukul atau mendorong anak lain. Jadi Kevin tetap
harus ada pendampingan karena ya itu kadang-kadng emosin atau
moodnya belum stabil.”5
“Rafi berinteraksinya cukup baik, kadang-kadang mau bermain
dengan temannya, kadang cuma melihat temannya yang sedang
bermain, tergantung sama moodnya dia”6
Dari wawancara bersama ibu Haryati dan ibu Elly menjelaskan bahwa
subjek akan dapat berinteraksi tergantung suasana hati. Akan tidak ada
interaksi apabila suasana hati mereka tidak dalam keadaan baik. Meskipun
sama-sama tergantung pada suasana hati tetapi dalam kasus antara Kevin
dan Rafi terdapat perbedaan, Kevin lebih memilih menjauh dari teman dan
lebih memilih untuk duduk berdua dengan ibunya karena Kevin memiliki
kondisi emosi yang tidak stabil jadi dia harus selalu membutuhkan
pendampingan untuk memastikan agar emosi dan moodnya bisa stabil.
Sedangkan Rafi dia akan lebih memilih untuk diam ketika suasana hatinya
tidak baik.

Anak autis memiliki keadaan yang berbeda-beda tidak jarang anak autis
akan merasa malu dan insecure karena dia kesulitan dalam hal
berkomunikasi. Apalagi ketika dia lebih kesulitan daripada teman autis
lainnya itu akan semakin membuat dia menutup diri dan sedikit berbicara,
jadi dapat dibilang hal ini akan berdampak buruk apabila tidak diperhatikan.
Jangankan dengan orang normal bahkan dengan sesama temannya sendiri dia
akan menutup diri atau bahkan tidak melakukan interaksi sama sekali,
padahal anak autis sangat butuh untuk berkominikasi. Kasus ini seperti yang
di ungkapkan oleh ibu Ida dan ibu Rahmi, ibu Ida mengatakan bahwa anak
nya memiliki kendala dalam hal berinteraksi dan sangat sedikit sekali
berinteraksi karena malu atau insecure Selain itu dalam hal bekerja sama dia
nyaris tidak bisa tanpa arahan atau bantuan dari guru ataupun orang tua, tetapi
lambat laun dia sudah lumayan bisa untuk diajak kerja sama sedangkan ibu
Rahmi mengatakan bahwa anaknya pendiam karena belum bisa
berkomunikasi dua arah.
5
Wawancara dengan ibu Haryati ibunda Kevin, Rabu 6 Januari 2020
6
Wawancara dengan Ibu Elly ibunda Rafi, Sabtu 9 Januari 2020
“Nazril cenderung tidak ingin ngobrol atau bermain dengan
temannya, tapi dia akan tetap merespon kalau ada orang yang
ngajak bicara, bahkan saat pelajaran olahraga dia cenderung
menepi dan menunggu dipanggil gurunya di pinggir, meskipun dia
jarang ngobrol tapi dia cukup sering interaksi menggunakan benda
atau sesuatu yang mau dia maksud. Mungkin antara malu dan
insecure ya mas, karena dia belum bisa ngomong dengan jelas, dia
takut kalau kenapa-kenapa dia tidak bisa membela diri. Untuk
kerjasama antara dia dengan temannya sendiri nyaris tidak bisa
tanpa arahan dan bantuan guru atau orang tuanya, sekarang sih
sudah lumayan bisa diajak kerjasama”7
“Kalau disekolah cenderung diam karena belum bisa
berkomunikasi du arah tapi mau membaur dengan temannya jadi
hanya melihat tingkah laku teman-temannya”8
Dari wawancara bersama ibu Ida, diketahui bahwa penyebab Nazril
merasa malu dan insecure ketika berinteraksi adalah karena dia belum bisa
berbicara dengan jelas. Ibu Ida menjelaskan bahwa Nazril takut apabila
terjadi sesuatu dia tidak bisa membela diri dan takut apabila apa yang dia
maksud tidak dapat tersampaikan. Dapat diambil kesimpulan bahwa
proses interaksi antara Nazril dan teman-temannya terbilang kurang baik
karena kendala yang dimiliki oleh Nazril yaitu rasa malu dan insecure
akan dirinya yang belum bisa berbicara dengan jelas, tetapi ada poin
baiknya pada diri Nazril yaitu dia akan selalu merespon apabila diajak
bicara. Sedangkan pada wawancara dengan ibu Rahmi diketahui bahwa
penyebab kurang baiknya interaksi antara Hafidz dan teman-temannya
karena dia belum bisa berkomunikasi dua arah, tetapi mau membaur
dengan temannya walaupun hanya dengan melihat tingkah lakunya.

Pada sesi wawancara dengan para narasumber, peneliti mendapatkan


fakta bahwa objek penelitian atau anak autis juga memiliki sikap
individualis dan segala sesuatu ingin dikerjakan sendirian meskipun dalam
kesulitan. Selain itu anak autis juga memiliki sikap penyendiri sehingga
jarang untuk berinteraksi dengan temannya. Seperti yang dijelaskan oleh

7
Wawancara dengan Ibu Ida Ibunda Nazril, Rabu 6 Januari 2020
8
Wawancara dengan Ibu Rahmi ibunda Hafidz, Minggu 10 Januari 2020
ibu Eka yang anaknya memiliki sikap individualis dan ibu Maryani yang
anaknya memiliki sikap penyendiri sebagai berikut:

“Reyza selalu bermain sendiri, kalau mau mengajak teman lainnya


bermain dia selalu menggunakan simbol seperti memegang bola
mempraktekkan seperti petak umpet. Dia juga lebih sering untuk
tidak merespon siapa saja yang mengajaknya ngobrol. Kalau
tentang kerja sama dia seperti individualis dana pa-apanya
dilakukan sendiri selagi bisa kalaupun dia kesusahan melakukan
suatu hal dia mengamati temannya lalu dia mencoba dengan usaha
sendiri, kalau ada kegiatan dia seringnya tidak mau untuk
berkelompok hanya sesekali saja”9
“Dia cenderung suka sendiri kak, karena dia memang dari kecil
suka sendiri jadi jarang ngobrol kecuali dia ditanya”10
Dari wawarncara bersama ibu Eka dapat diambil kesimpulan bahwa
Reyza memiliki interaksi yang kurang baik dengan temannya yang
disebabkan oleh sikap individualisnya. Sedangkan yang dialami oleh Tanti
penyebab dia memiliki interaksi kurang baik adalah karena dia sudah dari
kecil suka sendiri dan jarang untuk berbicara kecuali dipancing untuk
berbicara, Tanti akan berbicara apabila ada yang memancingnya untuk
berbicara.

Dari banyaknya perbedaan cara berinteraksi anak-anak autis diatas


mereka semua akan memilih cara berinteraksi secara simbolik. Tidak
terlepas dari kekurangan mereka masing-masing cara berinteraksi seperti
ini lah yang mereka pilih untuk melengkapi keterbatasan mereka. Hal ini
dapat dibuktikan sebagai berikut.

“Tapi sejauh ini yang saya lihat kadang kevin juga menggunakan
seperti simbol mas contohnya untuk mengajak temannya main bola
kevin nunjuk bola atau megang bola”11
“ Rafi juga terkadang berinteraksinya dengan menunjuk sesuatu
seperti menunjuk sapu, papan tulis, ataupun buku”12

9
Wawancara dengan ibu Eka ibunda Reyza, Sabtu 9 Januari 2020
10
Wawancara dengan ibu Maryani ibunda Tanti, Jumat 8 Januari 2020
11
Wawancara dengan ibu Haryati ibunda Kevin, Rabu 6 Januari 2020
12
Wawancara dengan Ibu Elly ibunda Rafi, Sabtu 9 Januari 2020
“Meskipundia dia jarang ngobrol tapi dia cukup sering interaksi
menggunakan benda atau sesuatu yang mau dia maksud”13
“Kalau diajak bermain menggunakan Bahasa tubuh dipegang
tangannya missal bermain bola”14
“Kalau mau mengajak teman lainnya bermain dia selalu
menggunakan simbol seperti memegang bola mempraktekkan
seperti petak umpet”15
“Dia kalau mau apa-apa selalu nunjuk sesuatunya mas kalau
disekolah sering saya lihat kalau mau nyuruh temannya menyapu
dia nanti nunjuk sapu biasanya memanggil nama terus nunjuk sapu
gitu.”16
Dari penjabaran yang telah dijelaskan diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa ada proses interaksi sosial simbolik pada anak autis di
Sekolah Luar Biasa Tunas Mulia untuk salng berinteraksi satu sama lain.
Ini juga dikuatkan dengan wawancara dengan guru yang dijelaskan
sebagai berikut:

“Untuk interaksi anak-anak sendiri disekolah cukup beragam ya


mas karena beda-beda sifat dan cara mereka untuk saling
berinteraksi ada yang malu-malu, ada yang memang tidak mau
ngobrol, ada yang anaknya cerewet, ada juga kalau tidak dipancing
tidak ngomong. Menurut saya juga anak-anak lebih enak kalau
diajak berinteraksi menggunakan simbol mas mereka langsung bisa
menangkap dan bisa langsung mengerjakan sesuatu Tapi semua
anak-anak itu komunikasinya baik dan selalu ada perkembangan
yang baik disetiap harinya, ke akraban mereka juga sangat baik
karena mereka merasa mereka sama dan dari yang saya lihat
pertemanan mereka itu tulus tidak ada saling bermusuhan atau
mendominasi. Soal kerja sama memang sekolah sering
mengadakan kegiatan seperti perlombaan untuk mengasah
kemampuan para siswanya mereka juga selalu bisa bekerja sama
denan baik istilahnya saling melengkapi karna masing-masing
mereka memiliki kekurangan dan kelebihan ya mas tetapi tetap
selalu diberi arahan dan bimbingan agar mereka bisa bekerja sama
dengan baik dan benar”17

13
Wawancara dengan Ibu Ida Ibunda Nazril, Rabu 6 Januari 2020
14
Wawancara dengan Ibu Rahmi ibunda Hafidz, Minggu 10 Januari 2020
15
Wawancara dengan ibu Eka ibunda Reyza, Sabtu 9 Januari 2020
16
Wawancara dengan ibu Maryani ibunda Tanti, Jumat 8 Januari 2020

17
Wawancara dengan ibu Asmiyah, selaku wali kelas Tuna Grahita, Senin 11 Januari 2020
“Anak-anak kalau disekolah dari yang saya lihat hubungan
pertmananya sangat erat ya mas, meskipun memiliki keterbatasan
masing-masing tapi hubungannya sangat baik selalu mau
berinteraksi meskipun juga ada yang pendiam sekali, tidak mau
berbaur dengan teman-teman tapi tidak menyebabkan dia dimusuhi
gitu. Dalam hal kerja sama mereka juga bisa kompak mas tidak ada
yang paling mendominasi semua mau buat kerja sama. Dari
pandangan saya mereka lebih aktif berkomunikasi dengan sesuatu
istilahnya seperti simbol untuk berkomunikasi seperti
memahamkan satu sama lain kan kadang A memberi suatu intruksi
atau membuka pembicaraan dan B tidak paham atau malah salah
paham apa yang dimaksud oleh si Atersebut nah A memperjelas
dengan menunjuk sesuatu atau bisa dibilang simbol agar si B
memahami maksudnya dan akhirnya dia bisa paham apa yang di
maksud si A”18
Dengan penjelasan dari hasil wawancara dengan guru Sekolah Luar
Biasa Tunas Mulia ini dapat dilihat bahwa meskipun dengan berbagai
macam kekurangan dan keterbatasan yang ada pada masing-masing
individu mereka tetap dapat menjalin pertemanan yang baik. Cara
berinteraksi mereka pun secara verbal maupun interaksi secara simbolik.

2. Interaksi anak autis dengan guru

Pada bagian ini peneliti mendapatkan gambaran bagaimana objek


berinteraksi dengan guru yang ada disekolah berupa respon dan tanggapan
subjek ketika diajak untuk berinteraksi dengan guru, ini sama hal nya
dengan rumusan masalah yang pertama. Gambaran interaksi ini berupa
objek yang mampu berinteraksi dengan guru baik itu dengan simbol
ataupun secara verbal. Dengan bermacam-macam karakteristik objek yang
diteliti pasti juga memiliki cara atau pola interaksi yang berbeda setiap
objeknya. Seperti yang dikatakan oleh ibu Ida ibunda dari Nazril dan ibu
Elly ibnda dari Rafi sebagai berikut:

“Nazril selalu merespon kalau diajak bicara oleh gurunya mau itu
ditanya tentang pelajaran ataupun diajak ngobrol biasa, dia selalu
mencoba untuk memperkaya kata. Tetapi kadang dia masih
teralihkan fokusnya ntah dengan apapun, missal dia pernah waktu
18
Wawancara dengan Pak Muhid, selaku kepala sekolah SLB Tunas Mulia, Senin 11 Januari 2020
masuk sekolah itu bertemu dengan bu As di depan sekolah waktu
ditanyai awalnya dia merespon dengan baik tetapi setelahnya dia
meihat temannya yang ada didalam dia langsung tidak focus ketika
di tanyai oleh bu As. Bisa dibilang meskipun nazril fokusnya
terkadang teralihkan tapi interaksi sama gurunya cukup baik mas”19
“Respon dari Rafi cukup kooperatif dan mengerti jika diajak
ngobrol sama gurunya, karna memang dasarnya Rafi itu anaknya
supel dan kepo jadi apa-apa tanya sama gurunya dan gurunya juga
senang sama Rafi karna mau memulai untuk berinteraksi meskipun
dia ngomongnya tidak jelas tapi dia tetap beusaha untuk membuka
obrolan dan apabila gurunya tidak paham dia langsung
menunjukan sesuatu yang mau dia tanyakan. Dari gurunya juga
sangat memahami Rafi jadi interaksi antara guru dan Rafi saya
lihat sangat bagus”20
Dari hasil waancara tersebut dapat dilihat bahwa meskipun dengan
keterbatasan yang mereka miliki, Nazril dan Rafi dapat berinteraksi
dengan baik dengan para guru di sekolah. Terlihat dari cara mereka
merespon guru ketika diajak berbicara atau ditanyai tentang suatu hal di
kelas. Dan apabila guru tidak mengerti apa yang mereka katakan, mereka
akan berusaha untuk menjelaskan dengan cara menunjuk sesuatu yang
dimaksud.

Tetapi kembali seperti yang dijelaskan oleh peneliti bahwa anak-anak


autis di Sekolah Luar Biasa Tunas Mulia memiliki keterbatasan masing-
masing dan tidak semuanya dapat berinteraksi dengan baik dengan para
guru. Seperti yang disampaikan oleh ibu Maryani bahwa anaknya
memiliki interaksi yang kurang baik dengan gurunya:

“Menurut yang saya lihat ketika Tanti mencoba berinteraksi


dengan guru kadang dia suka menanyakan sesuatu yang dia suka
namun terkadang guru punya kendala karena Tanti tu ngomongnya
cepat sekali jadi gurunya kurang paham Tanti itu ngomong apa.
Dan itu menyebabkan tanti jadi malas buat berinteaksi karena dia
merasa tidak dipahami, tapi gurunya mencoba buat mengerti dan
akhirnya lama-lama terbiasa dan inteaksi keduanya berjalan baik
kak.”21

19
Wawancara dengan Ibu Ida Ibunda Nazril, Rabu 6 Januari 2020
20
Wawancara dengan Ibu Elly ibunda Rafi, Sabtu 9 Januari 2020
21
Wawancara dengan ibu Maryani ibunda Tanti, Jumat 8 Januari 2020
Disini menunjukkan bahwa penyebab kurang baiknya interaksi antara
Tanti dengan gurunya karena Tanti berbicara dengan cepat sehingga
menyebabkan guru sulit memahami apa yang dikatakan oleh Tanti. Hal
tersebut menyebabkan Tanti malas untuk berbicara sehingga tidak
terjadinya proses interaksi antara Tanti dan guru. Namun seiring
berjalannya waktu ketika guru mulai memahami apa yang dikatakan oleh
Tanti, dan dia merasa dipahami sehingga Tanti mulai mau membuka diri
dan berinteraksi dengan guru.

Diantara objek atau anak autis yang diteliti di Sekolah Luar


Biasa Tunas Mulia juga terdapat anak yang tidak dapat berinteraksi
dengan baik dengan para guru di sekolah. Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan tertentu yang dimiliki masing-masing individu.
Dibenarkan oleh informan atau orang tua wali sebagai berikut:

“Kevin di sekolah itu waktu diajak ngomong sama gurunya tidak


merespon,”22
“Tidak merespon mas, Reyza kalau diajak bicara sama gurunya dia
lebih sering untuk diam tetapi kalau diperintah sesuatu dia selalu
melaksanakan. Tapi ya itu dia melaksanakannya tanpa banyak
omong ngelakuin perintah sambal diam, misalkan disuruh untuk
menyapu atau menghapus papan tulis dia langsung mengerjakan
dengan diam tanpa banyak omongan atau merespon perintah
gurunya itu mas”23
“Kalo ditanya cenderung tidak menjawab tapi ketika guru bertanya
tentang tugas Hafidz langsung mengelluarkan buku tugasnya.
Kekurangan hafidz itu verbalnya kurang baik tapi kalau diperintah
dia selalu mengerjakan”24

Dari ketiga objek atau anak autis diatas dapat dilihat bahwa mereka
memiliki kendala yang sama yaitu tidak adanya respon ketika diajak bicara
oleh guru, meskipun demikian mereka tetap melakukan apa yang
diperintahkan oleh guru meskipun tanpa adanya interaksi. Dapat dilihat

22
Wawancara dengan ibu Haryati ibunda Kevin, Rabu 6 Januari 2020
23
Wawancara dengan ibu Eka ibunda Reyza, Sabtu 9 Januari 2020
24
Wawancara dengan Ibu Rahmi ibunda Hafidz, Minggu 10 Januari 2020
hasil wawancara bersama orang tua wali murid bahwa dalam berinteraksi
dengan guru tidak semuanya memilii interaksi yang baik, hal ini dikuatkan
oleh hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada guru di Sekolah
Luar Biasa Tunas Mulia sebagai berikut:

“Anak-anak interaksi dengan guru sangat baik, selalu ada feed back
dari mereka meskipun tidak semua siswa memiliki interaksi yang baik
tapi guru selalu berusaha supaya anak itu terbiasa dan mau untuk
diajak ngobrol sama gurunya. Juga supaya mereka bisa nyaman dan
tidak takut sama guru menanamkan pada mereka itu bahwa posisi guru
juga sebagai orang tua yang selalu mengajak ngobrol karena sudah
pasti guru itu saying sama mereka, saya sudah anggap mereka itu
seperti anak saya mas jadi saya selalu membimbing mereka meskipun
satu dengan yang lainnya itu berbeda penanganannya. Anak-anak juga
jika diberikan perintah atau diajak bicara gitu lebih nyambungnya
menggunakan bantuan simbol sih mas seperti contohnya tentang PR
atau berusaha memahamkan anak tentang sesuatu karena menurut saya
mereka akan lebih cepat menangkan ketika dibantu dengan simbol-
simbol tersebut”25
“Anak-anak dengan gurunya itu sayang mas, unteraksi keduanya juga
selalu baik karena guru selalu mencoba untuk berinteraksi dengan anak
selain untuk melatih agar anak itu mau berbicara untuk ngomong dan
berinteraksi juga untuk menumbuhkan kedekatan antara guru dengan
anak sehingga anak tidak takut karena anak autis sendiri itu butuh
kedekatan agar merasa nyaman dan mau untuk berinteraksi. Meskipun
tidak semuanya baik tetapi guru selalu mecoba untuk mengajak
berinteraksi Jadi kalau unteraksi tidak melulu guru yang memulai,
anak juga memulai ngajak gurunya ngobrol apapun itu meskipun susah
dan per anak itu berbeda guru tetap mencoba untuk memahami dan
alhamdulillah guru bisa memahami juga bentuk interaksi saya lihat
guru menggunakan simbol untuk mempermudah dalam berinteraksi
maupun belajar karena menurut saya simbol lah metode yang baik
untuk bisa melatih dan membimbing anak karena bagi mereka ya
simbol itu sesuatu yang menarik daripada penjelasan dari guru melalui
mulut akan lebih membosankan”26
Hasil wawancara diatas menguatkan argumen tentang interaksi anak
autis Sekolah Luar Biasa Tunas Mulia bahwa tidak semua interaksi atara
keduanya berjalan baik meskipun demikian guru selalu berusaha untuk
menjalin interaksi dengan anak-anak agar terbiasa dan mau untuk

25
Wawancara dengan ibu Asmiyah, selaku wali kelas Tuna Grahita, Senin 11 Januari 2020
26
Wawancara dengan Pak Muhid, selaku kepala sekolah SLB Tunas Mulia, Senin 11 Januari 2020
berinteraksi dengan guru. Di wawancara diatas guru juga menjelaskan
bahwa interaksi simbolik dilakukan dalam metode pembelajaran karena
dinilai lebih menarik dan asik juga sebagai bantuan agar anak dapat
memahami suatu materi.

3. Interaksi anak autis dengan orang tua

Hasil wawancara dari rumusan masalah yang ke-tiga ini mendapatkan


gambaran tentang interaksi anak autis dengan orang tuanya. Gambaran
tersebut seperti kedekatan anak dengan orang tua, juga bagaimana bila
mereka meminta sesuatu. Dalam rumusan masalah ini tidak hanya
gambaran tentang interaksi anak autis dengan orang tua saja melainkan
juga dengan saudara atau keluarga yang lainnya. Sama halnya dengan
rumusan masalah di atas bahwa anak autis Sekolah Luar Biasa Tunas
Mulia juga memiliki kendala tertentu dalam berinteraksi dengan orang tua
maupun keluarga. Sebagaimana peneliti dapatkan dari wawancara bersama
ibu Haryanti dan ibu Maryani ssebagai berikut:

“Kalau dengan saya, saya sudah paham mas kalau dengan ayahnya
dia kurang dekat karena ayahnya jarang dirumah. Dia kalau minta
sesuatu itu sambil mempraktekan mas atau nunjuk apa yang dia
maksud misalkan minta makan dia seperti menyuapi diri sendiri
sambal bilang “maem” atau kalau mau bermain dia menggeret saya
terus nunjuk sepeda atau yang lain. Kalau sama saudara atau
kerabat yang tau benar kondisi kevin ya ngajak main sesekali.
Karena saya berusaha untuk mendekatkan tali silaturahmi dengan
saudara maupun kerabat, agar mereka juga memahami kondisi
keluarga kami”27
“Dia kalau sama keluarga jarang sekali komunikasi kecuali dia
butuh apa atau saya tanya baru dia mau jawab, sama saudarapun
sama. Tapi saya tetap selalu ngajak dia ngobrol supaya dia mau
dan berlatih buat banyak ngomong karena dia kalau dirumah dulu
seringnya menggunakan simbol mas karena mungkin sudah
terbiasa di sekolah, tapi sekarang sudah alhamdulillah mulai mau
buat ngomong meskipun tidak banyak”28

27
Wawancara dengan ibu Haryati ibunda Kevin, Rabu 6 Januari 2020
28
Wawancara dengan ibu Maryani ibunda Tanti, Jumat 8 Januari 2020
Dari penjelasan ibu Haryati dan ibu Maryani dapat disimpulkan bahwa
Kevin dan Tanti lebih mudah berinteraksi dengan kedua orang tua
dibanding dengan keluarga lainnya. Kurangnya kedekatakan antara Kevin
dan Tanti dengan keluarga lainnya yang menyebabkan mereka susah
berinteraksi disebabkan karena sedikitnya intensitas pertemuan antara
mereka. Sedangkan ketika dengan orang tua Kevin dan Tanti mampu
berinteraksi secara verbal maupun dengan simbol.

Berbeda dengan Kevin dan Tanti, ketiga objek atau anak autis Sekolah
Luar Biasa lainnya yaitu Nazril, Rafi dan Hafidz mereka justru sangat
mudah berinteraksi dengan orang tua maupun keluarga lainnya. Hal ini
diketahui berdasarkan pernyataan dari masing-masing ibunda anak
tersebut, sebagai berikut:

“Kalau dengan saya dan ayahnya memang dari dia terdeteksi saya
usahakan selalu ngajak ngobrol. Dari dia ga respon sampai sekarang
dia lumayan bisa diajakin ngobrol, sama kakaknya juga
komunikasinya baik udah mulai menggunakan bahasa verbal daripada
body language atau seperti menunjuk sesuatu gitu mas seperti
sebelumya”29
“Cukup kooperatif, sangat familier sama keluarganya juga sangat care
sama saudaranya. Rafi sangat dekat kalau sama keluarga dirumah atau
keluarga besar, kalau sama orang tuanya dia selalu membuka obrolan
dan mau untuk ngobrol. Malah hampir setiap hari Rafi selalu cerewet
sama orang tuanya. Tapi tidak jarang ketika Rafi ngomong dan tidak
paham dia bakal memperlihatkan sesuatu yang dia maksud”30
“Kalo interaksi drumah cukup baik sama saudara maupun orang tua
meskipun harus ekstra ngomongnya dalam arti diulang setiap ngomong
sama Hafidz, kadang kala juga sulit kalau sudah emosi”31
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa anak-anak autis tersebut dapat
menjalin hubungan yang baik dengan orang tua maupun keluarga lainnya
dengan selalu mau diajak dan mengajak ngobrol, cerewet, memiliki rasa
kasih sayang terhadap saudaranya, meskipun dengan keterbatasan yang
29
Wawancara dengan Ibu Ida Ibunda Nazril, Rabu 6 Januari 2020
30
Wawancara dengan Ibu Elly ibunda Rafi, Sabtu 9 Januari 2020
31
Wawancara dengan Ibu Rahmi ibunda Hafidz, Minggu 10 Januari 2020
mereka miliki. Tidak semua anak autis di Sekolah Luar Biasa Tunas Mulia
benar-benar bisa dekat dengan orang tua mereka sebagai contoh Reyza
yang dijelaskan oleh ibu Eka selaku ibunda Reyza sebagai berikut

“Reyza sukanya sama saya mas kalau sama ayahnya dia tidak begitu
dekat karena ayahnya kerja jadi waktu luangnya sedikit yang dihabisin
sama reyza. Jadi sama ayahnya kurang bisa berinteraksi dengan baik”32

Dari apa yang dikatakan oleh ibu Eka bahwa Reyza tidak dekat dengan
ayahnya karena bekerja sehingga tidak memiliki watu luang yang banyak
untuk dihabiskan bersama Reyza, menyebabkan kurangnya kedekatan
antara Reyza dengan ayahnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa kurangnya
interaksi Reyza dengan ayahnya bukan karena ketidakmampuannya tetapi
karena kurangnya waktu untuk dihabiskan bersama.

D. Kesimpulan

Dari hasil penelitian diatas yang dipadukan dengan analisis data


maka penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Interaksi Simbolik bagi anak autis di Sekolah Luar Biasa


Sememi adalah sebuah pola interaksi yang biasa dilakukan
dalam keseharian mereka di sekolah sehingga mempermudah
jalinan interaksi baik antara sesama maupun dengan guru. Baik
itu dalam hal kerja sama, atau mempermudah guru dalam
menyampaikan pembelajaran.
2. Dengan adanya kekurangan serta keterbatasan yang berbeda-
beda disetiap individu anak autis, tidak menghambat mereka
untuk tetap saling berinteraksi. Mereka bisa membangun
hubungan kesetiakawanan yang baik dan hangat juga tidak
memandang seberapa kurangnya mereka, mereka akan tetap
berteman dengan baik.

32
Wawancara dengan ibu Eka ibunda Reyza, Sabtu 9 Januari 2020
3. Interaksi dengan orang tua dan keluarga terjalin sangat baik,
mereka berinteraksi dengan Bahasa yang biasa mereka gunakan
ketika dirumah dan tidak jarang menggunakan pola Interaksi
simbolik seperti yang dilakukan disekolahan. Meskipun
demikian orang tua selalu mencoba untuk mengajak serta
interaksi dengan verbal agar mereka dapat terbiasa untuk itu.
Selain itu mereka juga memiliki rasa kasih sayang kepada
orang tua dan saudara.
4. Pada diri anak autis memiliki beberapa gangguan yang dengan
diperhatikan sangat baik oleh sekolah dengan menerapkan
kebiasaan membawa bekal dari rumah.
5. Sekolah Luar Biasa Tunas Mulia juga melakukan penanganan
yang secara tidak langsung dengan menerapkan terapi-terapi
yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan pada diri anak
penderita autis.
6. Dalam proses interaksi sosial anak autis memiliki interaksi
yang baik dengan sesama dan orang lain meskipun dengan
keterbatasan yang mereka miliki.
7. Anak autis selalu memiliki perkembangan setiap harinya dan
tidak stagnan dalam keadaan yang itu-itu saja.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU

Ahmadi, Abu. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2004


Ardy Wiyani, Novan. Penanganan Anak Usia Dini Berkebutuhan Khusus.
Yogyakarta : ArRuzz Media, 2014
Andi, Priyatna. Amazing Autism. Bandung : Merdeka Post, 2011
A. Veskarisyant, Galih. 12 terapi Autis Paling Efektif dan Hemat.
Yogyakarta : Pustaka Anggrek, 2008
Danuatmaja, Bonny. Terapi Anak Autis di Rumah. Surakarta : Garis, 2014
Indrastuti, Oktariana. Mengenal Autisme dan Penanganannya. Jakarta :
Pustaka Bumi, 2017
Koentjaranigrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT RINEKA
CIPTA, 2009
Maulana, Mirza. Anak Autis. Yogyakarta : Katahati, 2007
Prasetyono,D.S. Mengenal Manfaat dan Pengaruh positif Permainan bagi
Perkembangan Psikologi Anak. Yogyakarta : Diva Press, 2007
Raho, Bernard. Sosiologi – Sebuah Pengantar. Surabaya : Buku Kita,
2004

Soekanto, Soejono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja


Grafindo Persada, 1990
Sastry, Anjali, & Aguirre, Blaise. Parenting Anak Dengan Autisme
(Solusi, Strategi dan sasaran praktis untuk membantu keluarga
anda). Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2014
Wilcox, & Lynn. Personality Psyehotherapy. Yogjakarta : Terjemahan
Kumalahadi, 2006
Yuwono, Joko. Memahami Anak Autistik (Kajian Teoritik dan Empirik).
Bandung : CV.
Alfabeta, 2012
JURNAL dan SKRIPSI
Azisah, Nurul. Penanganan Interaksi Sosial Anak Autis di Sekolah Luar
Biasa (SLB)
Negeri 1 Mappakasunggu Kab,Takalar, Skripsi UIN Alauddin Makassar,
2016
Jurnal ilmu sosial fakultas ISIPOL UMA, Kajian Tentang Interaksi
Simbolik, 2011

Khoirunnisa, R.N., & Nursalim, Mochammad. Studi Kasus Dinamika


Emosi Pada Anak Autis. Jurnal Universitas Negeri Surabaya,
2012

Rahmah, I.M. Peran Orang Tua Untuk Meningkatkan Komunikasi Anak


Autis,
Jurnal Psikilogi Universitas Mulawarman, 2014

Rahayu, Fitria. Kemampuan komunikasi anak autis dalam interaksi sosial


(Kasus Anak Autis di Sekolah Inklusi, SD Negeri Giwangan
Kotamadya Yogyakarta), Skripsi: Universitas Negeri Yogyakarta,
2014

Tri Astuti, Yuli. Pola Interaksi Anak Autis di Sekolah Khusus Autis”,
Skripsi: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008

WEBSITE
Anak Indonesia Diperkirakan Menyandang Autisme,
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/09/mkz2un-
112 000anak-indonesia-diperkirakan-menyandang-autisme, diakses
pada tanggal 2 November 2020 pukul 8:48

Mesra, Ferizal. Autisme Gangguan Perkembangan Anak. www.


Tempo.com, diakses 10 November 2020

Anda mungkin juga menyukai