Anda di halaman 1dari 25

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGEMBANGAN TEORI
KOLABORASI INTERPROFESI TERINTEGRASI

Diajukan sebagai tugas mata kuliah


Pengembangan Teori Keperawatan
Pengampu: Prof. Achir Yani S. Hamid, D.N.Sc

Wiwin Wiarsih
NPM 1806261553
Progam Studi Ilmu Keperawatan
Program Doktor
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Depok, Mei 2019

1
Bab 1
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Layanan primer menjadi pusat perhatian pemerintah dalam pembangunan kesehatan,
tercermin dari arah kebijakan Kementrian Kesehatan yang mendukung tujuan tiga
Sustainable Developmental Goals (SDGs) (Kemenkes, 2015). Kebijakan layanan primer
Indonesia telah mendesain Perkesmas sebagai pendekatan pelayanan program puskesmas
sejak terbitnya Peraturan Mentri Kesehatan (PMK) Nomor 279 tahun 2006 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Upaya Keperawatan Kesehatan Masyarakat di Puskesmas.
Renstra Kemenkes tahun 2015-2019 melahirkan PMK Nomor 39 tahun 2016 tentang
Program Indonesia Sehat dimana pendekatan keluarga merupakan perluasan dari program
perkesmas (Kemenkes, 2016). Perluasan program perkesmas memiliki makna jangkauan
sasaran dan akses layanan keluarga menjadi tanggungjawab seluruh elemen Puskesmas
sehingga capaian indikator PIS dipengaruhi oleh kualitas kolaborasi tenaga kesehatan di
Puskesmas. Kebijakan tersebut harus disikapi dengan penguatan dan penataan sistem
layanan kesehatan primer melalui kolaborasi interprofesi.

Kolaborasi interprofesi diasumsikan sebagai strategi untuk mencapai kualitas sistem


pelayanan. Kolaborasi interprofesi penting ketika layanan kesehatan primer menjadi lebih
kompleks dan satu profesi kesehatan tidak mampu memenuhi kebutuhan klien (Ontario
Health Technology Assessment Series, 2013). Kolaborasi membutuhkan klarifikasi peran
setiap anggota tim sebagai alasan utama dapat memahami dan menghargai praktik setiap
profesi (Allender, Rector, & Warner, 2014).

Kolaborasi interprofesi memberikan dampak pada kualitas kesehatan pasien dan kinerja
profesi. Kolaborasi antarprofesi adalah salah satu faktor yang dapat meningkatkan hasil
dan pelayanan kesehatan bagi populasi (D'Amour, Ferrada-Videla, Rodriguez, &
Beaulieu, 2009). Pelayanan kesehatan yang menggunakan kolaborasi antarprofesi dapat
meningkatkan banyak hal seperti efisiensi, layanan yang holistik, skills mix, responsif,
inovasi dan kreatifitas, serta pelayanan yang terpusatkan pada klien (Littlechild & Smith,
2013). World Health Organization (WHO) juga telah membuktikan adanya keterkaitan
antara kolaborasi antarprofesi dengan hasil yang lebih baik pada kesehatan keluarga.
Hasil systematic review Matthys, Remmen, dan Van Bogaert (2017) mengidentifikasi
2
tekanan darah, kepuasan pasien, dan hospitalisasi lebih baik ketika ada kolaborasi antara
dokter dan perawat; penelitian juga menyimpulkan kolaborasi antara dokter dan perawat
sebagai strategi efektif dan efisien untuk mencapai kualitas hasil dalam sistem kesehatan
yang terintegrasi walaupun masih menunjukan hasil yang bervariasi. Penelitian Zhang,
Huang, Liu, Yan, dan Li (2016) menunjukan kolaborasi antara perawat dan dokter
berkorelasi positif dengan kepuasan kerja dan berkorelasi negatif dengan intensitas
pergantian perawat.

Perawat memiliki potensi mengembangkan kemampuan kolaborasi interprofesi karena


memiliki sikap positif terhadap kolaborasi dan memiliki nilai tambah mampu mengatasi
kekurangan tenaga medis. Perawat di layanan primer Italia dan Singapura memiliki sikap
lebih positif terhadap kolaborasi daripada dokter (Vegesna, Coschignano, Hegarty,
Karagiannis, Polenzani, Messina, & Maio, 2016; Zheng, Sim, & Koh, 2016). Layanan
dikoordinasi perawat dan protocol dikelola perawat mempunyai efek positif pada tekanan
darah dan penurunan level kolesterol LDL (Matthys, Remmen, & Van Bogaert, 2017).
Perawat memiliki kemampuan melakukan peran dokter dengan hasil yang sama
kualitasnya dengan pekerjaan yang dihasilkan dokter (Dubois & Singh, 2009). Perawat
disiapkan dapat memenuhi kekurangan dokter (Shea, et al, 2007) sehingga Perawat pada
posisi ideal berkolaborasi dengan profesi kesehatan dalam memberikan layanan.

Tantangan dalam layanan primer membutuhkan kolaborasi interprofesi yang lebih


terintegrasi dari pada perpindahan tugas antara dokter dan perawat. Kolaborasi
interprofesi terintegrasi dalam layanan kesehatan memperhatikan prinsip share vision,
trust and respect, understanding each other perspectives, conflict resolution, effective
communication and interpersonal skill (Freshman, Rubino, Chassiakos, 2010).
Diperlukan pengembangan rancangan teori Kolaborasi Interprofesi Terintegrasi untuk
menjadi acuan implementasi penyelenggaraan layanan Perkesmas terintegrasi PISPK
yang diharapkan dapat membentuk kinerja positif perawat dan berdampak pada kepuasan
klien.
1.2. Tujuan
Penulisan makalah ini menggambarkan proses pengembangan rancangan teori Kolaborasi
Interprofesi Terintegrasi berdasarkan fenomena penyelenggaraan layanan Perkesmas
yang dilandasi dengan model konseptual The Goal Attainment menggunakan pendekatan
Walker dan Avant (2011).
3
Bab 2
Proses Pengembangan Teori Kolaborasi Interprofesi Terintegrasi

Menurut Walker dan Avant (2011), terdapat tiga elemen dasar dalam membangun teori
terdiri atas konsep, statemen, dan teori. Ketiga elemen dasar pengembangan rancangan
teori Kolaborasi Interprofesi Terintegrasi didahului dengan gambaran konsep sentral
sebagai meta paradigma dari fenomena penyelenggaraan layanan perkesmas terintegrasi
PISPK di Puskesmas sebagai seting layanan primer.

2.1 Asumsi Yang Mendasari


Fawcet (2005) dalam Alligood (2014) menggambarkan empat konsep sentral meta
paradigma dalam bidang ilmu keperawatan adalah manusia, lingkungan, keperawatan,
dan kesehatan. Gambar 2.1 mengilustrasikan meta paradigm rancangan teori Kolaborasi
Interprofesi Terintegrasi dalam penyelenggaraan layanan Perkesmas yang menjadi
perhatian dalam capaian indicator layanan primer.

MANUSIA:
Tim layanan
+ kolaborasi; klien +

KESEHATAN:
KEPERAWATAN: + Kepuasan klien
Kolaborasi terhadap kinerja
Interprofesi + layanan
Terintegrasi kolaborasi
+ +

LINGKUNGAN:
Sumberdaya di
Puskesmas dan
Keluarga

Gambar 2.1 Konsep Sentral Teori Kolaborasi Interprofesi Terintegrasi di


Layanan Puskesmas

4
Berdasarkan gambar 2.1 teori Kolaborasi Interprofesi Terintegrasi dalam
penyelenggaraan layanan Perkesmas terintegrasi PISPK, digambaran melalui empat
konsep sentral meliputi:
a. Manusia adalah:
 Tim layanan kolaborasi teridiri dari perawat, dokter, dan PJ PTM (pada
umumnya perawat atau bidan)
 Klien adalah pasien dengan hipertensi yang membutuhkan layanan kolaborasi
interprofesi terintegrasi
 Perawat, dokter, PJ PTM dan klien adalah makhluk social yang saling
berinteraksi dalam rangka mencapai tujuan.
 Perawat, dokter, PJ PTM dan klien melakukan interaksi dengan cara unik yang
dipengaruhi oleh nilai dan budaya yang dianut
 Perawat, dokter, PJ PTM dan klien dalam proses interaksi social berespons
secara dinamis sesuai kapasitas dan kebutuhan
b. Lingkungan
 Bagi Perawat, dokter, PJ PTM, lingkungan adalah lingkungan kerja berupa
sumberdaya kesehatan, dapat bersifat fasilitas, kebijakan layanan, manajemen
dan budaya organisasi puskesmas, dan sumber daya lainnya yang
mempengaruhi iklim kerja tim
 Bagi klien, lingkungan adalah keluarga sebagai system pendukung kesehatan
c. Keperawatan
 Intervensi berupa kolaborasi interprofesi dalam penyelenggaraan Perkemas
terintegrasi program PISPK
 Proses interaksi social merupakan dinamika dari aksi, interaksi, dan transaksi
yang diciptakan dalam rangka mencapai tujuan
 Ilmu dan seni dalam rangka mengembangkan kemampuan interaksi social
untuk memenuhi kebutuhan hubungan personal, interpersonal, dan social
d. Kesehatan
 Kepuasan klien sebagai dampak dari hasil kinerja tim dalam penyelenggaraan
Perkesmas terintegrasi PISPK
 Keseimbangan dinamis yang dimiliki klien akibat tercapainya kebutuhan
biologis, psikologis, social, dan spiritual

5
Berdasarkan asumsi yang mendasari teori Kolaborasi Interprofesi Terintegrasi, ditetapkan
empat konsep sentral dari fenomena kolaborasi interprofesi dalam penyelenggaraan
Perkesmas terintegrasi PISPK yaitu kolaborasi interprofesi terintegrasi, tim layanan
kolaborasi, lingkungan, dan kepuasan klien. Model konseptual King menjadi sumber
dalam merancang teori Kolaborasi Interprofesi Terintegrasi yang akan digunakan sebagai
panduan dalam penyelenggaraan Perkesmas terintergarsi PISPK di Puskesmas.

2.2 Sumber Teori

Kolaborasi interprofesi terintegrasi digagas berdasarkan Middle Range Theory of Goal


Attainment. King menggunakan pendekatan sistem dalam pengembangan konseptualnya
dengan gambaran framework, sebagai berikut:
1. Sistem Sosial (Social system)
Sistem interaksi yang komperehensif terdiri dari kelompok yang membentuk
masyarakat, dan disebut sebagai sistem sosial. Sistem social penting memahami
konsep otoritas, pengambilan keputusan, organisasi, kekuatan, dan pemahaman
system panduan. Sistem sosial dalam konteks teori King diantaranya agama,
pendidikan, dan sistem pelayanan kesehatan.
2. Sistem Interpersonal (Interpersonal system)
Sistem interpersonal terbentuk ketika dua atau lebih individu berinteraksi, membentuk
dyad (dua orang) atau triads (tiga orang). Dyad antara perawat dan pasien adalah salah
satu tipe sistem interpersonal. Sistim interpersonal penting memahami konsep
komunikasi, interaksi, peran, stres dan transaksi.
3. Sistem Personal (Personal system)
Individu berada di dalam sistem personal, sebagai perawat atau seorang pasien.
Konsep gambaran diri, pertumbuhan dan perkembangan, persepsi, menjadi diri
sendiri, ruang, dan waktu penting untuk memahami manusia sebagai pribadi.
Ketiga jenis sistem mewakili keutuhandalam interaksi manusia
di lingkungannya. Gambar 2.2 Model Konseptual King

Beberapa variabel mempengaruhi


persepsi, peran, tanggung jawab, dan pengambilan keputusan dalam berbagai system
seperti sistem kesehatan dan sistem keluarga memerlukan konsepsualisasi keseluruhan.

6
Dari konseptualisasi tersebut, tiga sistem berinteraksi dinamis, yang menyediakan
struktur keperawatan sebagai suatu disiplin, sebuah middle-range teori Goal Attainment
berasal (King, 1999). Teori Pencapaian Tujuan King (Theory of Goal Attainment)
memfokuskan pada sistem interpersonal dan interaksinya yang terjadi diantara individu,
lebih spesifiknya dalam hubungan antara perawat dan pasien. Dalam proses keperawatan,
masing-masing anggota dari dyad merasakan satu sama lain, membuat keputusan, dan
mengambil tindakan.

Teori Pencapaian tujuan King adalah sebuah teori yang mengidentifikasi serangkaian
konsep, ketika didefinisikan, sesuai dengan gejala yang tampak dan saling terkait (King,
1981). Konsep dalam teori King yakni pencapaian tujuan, berasal dari sistem konseptual
King, memberikan pengetahuan substantif sifat manusia dan keperawatan. Konsep
pembentukan manusia adalah diri, persepsi, peran, komunikasi, interaksi, transaksi,
pertumbuhan dan perkembangan, waktu, ruang, dan stres. Dari teori King, model proses
transaksi, digambarkan sebagai berikut (Gulitz & King, 1988).

Gambar 2.3 Model Proses Transaksi King

2.3 Penggunaan Bukti Empiris


Model ini, bila digunakan oleh perawat dalam lingkungan di mana tindakan keperawatan
dipraktekkan, mengarah pada pencapaian tujuan. Pencapaian tujuan mewakili hasil. Hasil
menunjukkan ukuran perawatan yang berkualitas. Proses ini membutuhkan pengetahuan,
persepsi diri seseorang dalam perannya sebagai perawat, serta persepsi pasien / keluarga
dalam lingkungan tertentu, komunikasi informasi yang relevan, pengakuan dari beberapa
interaksi di lingkungan, pertumbuhan dan perkembangan individu yang terlibat dalam

7
interaksi, dan banyak dimensi waktu dan pribadi ruang individu dalam situasi. Gunther
(2001) menjelaskan bahwa dalam sistem interpersonal, tindakan keperawatan dipengaruhi
oleh tingkat perkembangan sistem personal masing-masing individu perawat dan juga
karakteristik konseptual dari sistem sosial yang lebih besar. Kualitas yang dimaksud pada
teori King merujuk pada penilaian eksperensial dari interaksi perawat-pasien yang
menggambarkan nilai-nilai unik dan saling dibagikan masing individu yang terlibat.
Theory of goal attainment juga mampu memberikan pengukuran tentang kualitas
perawatan yang diberikan salah satunya tentang kepatuhan dalam menajalani regimen
terapi pada pasien diabetes (Araujo, Silva, Moreira, Almeida, Freitas, & Guedes, 2017).
Selain itu, penelitian Wang, Liu, Zhang, Ye, dan Zhang (2019) juga telah memvalidasi
bahwa semua item dalam sistem transaksi secara signifikan mempengaruhi kepuasan
pasien secara langsung. Messmer (2006) menggunakan 3 konsep dasar King (persepsi,
komunikasi dan interaksi) dalam mengembangkan sebuah studi tentang kolaborasi
perawat-dokter dalam keperawatan pediatrik. Fleischer (2015) menggunakan model
konseptual King dalam menyusun standar manajemen dalam meningkatkan kualitas
pengetahuan perawat dalam proyek informatika.

Teori King juga telah digunakan oleh Duffy (2009) sebagai landasan pengembangan
Quality-Caring Model. Teori Quality-Caring Model berawal dari sebuah temuan di
ketidakpuasan pasien di RS yang menyatakan seringnya “perawatnya tampak tidak
peduli”. Hal ini mendasari pembentukan sebuah intervensi yang berdasarkan caring
dengan secara kontinyu menyoroti hubungan antara caring perawat dan kualitas. Perasaan
caring menjadi antesenden penting yang dapat mempengaruhi berbagai outcomes pasien
baik bersifat intermediate maupun terminal. Beberapa nursing-sensitive outcome yang
mampu dipengaruhi oleh caring diantaranya: pengetahuan, keamanan, kenyamanan,
kecemasan, kepatuhan, martabat, status kesehatan, dan kepuasan pasien. Model ini juga
berguna bagi keperawatan profesional yang didalamnya terdapat proses hubungan yang
unik. Tujuan utama dari Quality-Caring Model: menjadi panduan praktik professional,
menggambarkan keterkaitan empiris-teoretikal-konseptual antara kualitas pelayanan dan
caring, dan menyediakan agenda penelitian yang mampu menjadi dasar pembuktian nilai-
nilai keperawatan.

8
Quality-Caring Model telah direvisi sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan yang
kompleks, interdependen dan bersifat global (gambar 2.4). Pelayanan kesehatan ini
membutuhkan tenaga kerja yang berkualitas, yang memahami pentingnya berfikir secara
sistem, melakukan praktik sesuai dengan pengetahuan, terdapat hubungan yang
kompetitif dan menghargai hubungan sebagai dasar perilaku dan pembuatan keputusan
(Duffy 2009 dalam Parker & Smith, 2010). Quality-Caring Model merupakan sebuah
middle-range theory yang melihat kaitan antara caring dan kualitas. Kualitas merupakan
sebuah hal yang dinamis dan karakter non-linier yang dipengaruhi oleh sebuah hubungan
caring. Ketika hubungan caring terintegrasi secara penuh dalam praktik keperawatan,
terdapat koneksi yang mampu mempengaruhi interaksi berikutnya antara penyedia
layanan kesehatan, seperti hubungan tersebut mampu meningkatkan outcome kesehatan
pasien maupun keluarga. QCM telah diterapkan dan diuji oleh Heindel (2015) dengan
penekanan pada hubungan antara partisipan di dalam sistem palayanan kesehatan.
Perawat yang menerapkan QCM memiliki persepsi hubungan yang baik pada komponen
kepuasan hubungan, mengungkapkan ekspresi negatif dan positif, apresiasi terhadap hal
bermakna, menyediakan lingkungan yang mendukung penyembuhan, dan memiliki
komunikasi yang efektif. Perawat yang menerapkan QCM juga menyatakan kepuasan
kerja dan komitment yang lebih tinggi dibanding perawat yang tidak menerapkan QCM
(Heindel, 2015).

Gambar 2.4 Quality Caring Model

Berdasarkan gambar 2.4 The Quality-Caring Model memiliki empat konsep utama:

9
1. Manusia dalam sebuah hubungan: manusia merupakan makhluk multidimensional
dengan berbagai karakteristik yang membuat manusia unik. Dengan memahami
keunikan tersebut, diharapkan mampu memberikan pemahaman yang dapat
mempengaruhi interaksi antar manusia dan intervensi keperawatan.
2. Pertemuan profesional yang berdasarkan hubungan: konsep ini terdiri dari
hubungan independen antara perawat dan pasien atau keluarga; serta hubungan
kolaboratif yang terbentuk antara perawat dengan tim pemberi pelayanan kesehatan.
Ketika hubungan ini bersifat caring, maka outcome yang segera muncul yakni
“feeling cared for”
3. “Feeling cared for”: merupakan sebuah emosi positif yang mendandakan bahwa
pasien dan keluarganya adalah penting. Konsep ini memungkinkan perasaan rileks
dan aman terhadap kebutuhan pelayanan kesehatan. Konsep ini merupakan
antesenden penting dari outcome kualitas kesehatan, terutama yang nursing-sensitive.
Pasien yang terpapar hubungan caring dengan pemberi layanan kesehatan akan lebih
mudah berkonsentrasi terhadap status kesehatannya, berusaha mempelajarinya,
memodifikasi gaya hidup, mematuhi rekomendasi dan regimen yang diberikan, serta
secara aktif berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Keterpaparan ini mampu
membentuk invidu menjadi sosok yang self-caring.
4. Self-caring: merupakan fenomena yang dipengaruhi oleh hubungan caring, sebuah
kapasitas yang tidak bisa dikontrol yang muncul seiring waktu oleh hubungan caring.
Self-caring merepresentasikan kualitas yang dinamis dan mampu meningkatkan
kesejahteraan individu.

Kolaborasi adalah hubungan saling menguntungkan yang terjadi antara 2 atau lebih pihak
untuk mencapai tujuan bersama. Hubungan kolaborasi membutuhkan komitmen dalam
mencapai tujuan yang sama, struktur organisasi bersama yang disepakati, berbagi
tanggung jawab, otoritas yang setara dan akuntabilitas untuk mencapai kesuksesan, serta
berbagi sumber daya dan hasil (Green & Johnson, 2015). Pada konteks pelayanan
kesehatan, tujuan utama adalah menyediakan pelayanan bebasis patient-centered care
(D'Amour, Ferrada-Videla, Rodriguez, & Beaulieu, 2005). Terdapat beberapa kunci
utama dalam kolaborasi yaitu:
1. Sharing

10
Dalam melakukan kolaborasi, pihak- pihak yang terlibat akan berbagi banyak hal
diantaranya tanggung jawab, pengambilan keputusan, filosofi perawatan, rencana
dan intervensi, sudut pandang dari perspektif profesional (D'Amour, Ferrada-Videla,
Rodriguez, & Beaulieu, 2005) serta sumber daya dan hasil (Green & Johnson, 2015).
2. Partnership
Kemitraan berarti dalam kolaborasi terdapat 2 atau lebih pihak yang berperan.
Hubungan kemitraan ini bersifat otentik dan konstruktif, membutuhkan komunikasi
yang jujur dan terbuka, serta kepercayaan dan rasa hormat antar satu sama lain.
Setiap pihak yang tergabung harus menyadari dan menghargai kontribusi serta
perspektif dari profesi yang terlibat. Hubungan kemitraan berorientasi untuk
mencapai tujuan bersama (D'Amour, Ferrada-Videla, Rodriguez, & Beaulieu, 2005).
3. Interdependency
Interdependency menyatakan bahwa pihak yang tergabung dalam tim kolaborasi
saling membutuhkan satu sama lain. Sifat saling membutuhkan ini harus dilandasi
oleh kebutuhan untuk memberikan kebutuhan klien. Masalah kesehatan yang
kompleks membutuhkan kontribusi keahlian setiap profesi. Apabila setiap anggota
tim menyadari hubungan saling membutuhkan, tim akan dapat bersinergi dan
konstribusi anggota tim dapat menjadi maksimal. Hasil dari tim akan menjadi
semakin besar dibandingkan kontribusi dari setiap anggota (D'Amour, Ferrada-
Videla, Rodriguez, & Beaulieu, 2005).
4. Power
Power menjelaskan bahwa kekuatan yang ada pada hubungan kolaborasi harus
dibagi dalam anggota tim. Hubungan kolaborasi harus saling mendukung setiap
anggota tim dengan mengakui kekuatan satu sama lain dalam tim. Kekuatan anggota
dalam tim harus diakui berdasarkan pengetahuan dan pengalaman, bukan hanya
sekedar dari peran atau gelar (D'Amour, Ferrada-Videla, Rodriguez, & Beaulieu,
2005).

WHO (2010) mengembangkan konsep Interprofesional Education Collaborative Practice


(IPECP) sebagai landasan praktik kolaborasi antar profesi yang menjamin kualitas
layanan kesehatan dan menghasilkan pelayanan kesehatan yang berkualitas (gambar 2.5).
WHO (2010) melaporkan telah banyak kejadian yang membuktikan bahwa pendidikan
antarprofesi menghasilkan praktik kolaborasi yang efektif dan mempengauhi pelayanan
kesehatan yang optimal, sistem kesehatan yang lebih kuat, serta meningkatkan hasil
11
perawatan pasien. Pada pelayanan kesehatan akut maupun primer, terdapat hasil laporan
yang menyatakan bahwa penanganan tim kolaborasi yang baik meningkatkan kepuasan
layanan, penerimaan perawatan yang lebih baik, serta hasil perawatan yang lebih baik.

Gambar 2.5 Sistem Kesehatan dan Edukasi


(World Health Organization, 2010)

Bukti lain juga menyatakan bahwa praktik kolaborasi dapat memperbaiki akses dan
koordinasi pelayanan kesehatan, pemanfaat spesialis klinis yang lebih baik, hasil
perawatan positif yang lebih baik pada penderita penyakit kronis, dan lain – lain.
Kolaborasi antar profesi juga dapat mengurangi komplikasi pasien, lama rawat inap,
konflik antar pemberi asuhan keperawatan, eror klinis, tingkat kematian, dan lain – lain.
Pada pasien yang menderita penyakit kronis dan ditangani oleh tim kolaborasi
menghasilkan kepuasan yang lebih pada pasien, mengurangi kunjungan pada klinik,
mengurangi gejala yang tampak, serta melaporkan perbaikan kesehatan secara
keseluruhan (World Health Organization, 2010).

Setiadi, et al. (2017) mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi kolaborasi antarprofesi


di Indonesia, dikategorikan menjadi tiga level sesuai teori King. Pada level personal
dipengaruhi oleh hirarki dan pemahaman peran. Pada level interpersonal dalam konteks
manajemen organisasi dipengaruhi oleh budaya organisasi, mekanisme komunikasi dan
koordinasi, lingkungan fisik, dan manajemen staf. Pada level system, peraturan atau
regulasi pemetintah menjadi factor pengaruh keberhasilan kolaborasi antar profesi. Faktor
pada setiap level dan hubungan ketiga level tersebut digambarkan pada gambar 2.6

12
Gambar 2.6 Faktor yang mempengaruhi kolaborasi (Setiadi, et al., 2017)

Model konseptual King dan hasil empirisnya telah membuktikan bahwa pencapaian
tujuan yang dilandasi dengan kapasitas personal, dikembangkan melalui proses interaksi
dan transaksi interpersonal dan social menciptakan layanan kesehatan yang berkualitas
dan memberikan dampak hasil layanan yang positif. Landasan model konseptual King
sangat ideal menjadi dasar pengembangan praktik berdasarkan teori kolaborasi
interprofesi terintegrasi di tatanan layanan primer seperti Puskesmas.

2.4 Konsep dan Definisi Konsep

Tahapan pengembangan teori dimulai dengan menentukan definisi konsep dan jenis
konsep yang membangun teori. Berdasarkan konsep sentral rancangan teori Kolaborasi
Interprofesi Terintegrasi memperhatikan kajian model konoseptual The Goal Attainment
dan bukti empirisnya, konsep, definisi, dan jenis konsep yang akan digunakan dijelaskan
pada tabel 2.1

13
Tabel 2.1 Gambaran Konsep Mayor, Definisi, dan Jenis Konsep
Teori Kolaborasi Interprofesi Terintegrasi

Konsep Definisi Konsep Jenis Jenis


Mayor Konsep Definisi
Kolaborasi Sistem kerjasama diantara perawat, dokter, dan Abstrak Deskriptif
Interprofesi PJ PTM sebagai panduan dalam tatalaksana
Terintegrasi layanan perkesmas terintegrasi PISPK
Tim Layanan Tenaga kesehatan Puskesmas terdiri dari Konkrit Deskriptif
kolaborasi perawat, dokter, dan PJ PTM yang
bertanggungjawab menyelenggarakan
tatalaksana layanan perkesmas terintegrasi PIS
Klien Pasien atau keluarga yang mengalami hipertensi Kongkit Deskriptif
dan berkunjung ke Puskesmas dalam rangka
mendapatkan layanan kesehatan
Kinerja Performa perawat dalam penyelenggaraan Abstrak Desktiptif
perawat dalam layanan perkesmas terintegrasi PISPK
layanan
kolaborasi
Kepuasan Respon pengalaman klien mencapai tujuan Abstrak Deskriptif
klien setelah mendapatkan layanan kesehatan di
Puskesmas

Berdasarkan hasil telusur literature terhadap penggunakan definisi konsep mayor yang
akan digunakan untuk membangun teori kolaborasi interprofesi terintegrasi
mengidentifikasi atribut dari setiap konsep. Atribut definisi kolaborasi interprofesi terdiri
atas kerjasama multidisiplin (Clark, 2018; Kaini, 2017; WHO, 2010) atau kerjasama
dua/lebih professional kesehatan (Wen & Schulman, 2014; Green & Johnson, 2015) pada
individu, keluarga, dan komunitas (Clark, 2018; Kaini, 2017; WHO, 2010; Wen &
Schulman, 2014); untuk tujuan yang sama (Green & Johnson, 2015) atau mencapai tujuan
bersama (Wen & Schulman, 2014); guna mewujudkan pelayanan kesehatan yang
berkualitas (Clark, 2018; Kaini, 2017; WHO, 2010) atau perawatan berkualitas tinggi
(Wen & Schulman, 2014). Atribut definisi konsep kolaborasi interprofesi merujuk pada
konsep Interprofessional Education Collabotarive Practice (World Health Organization,
2010), digunakan oleh banyak penelitian bidang kesehatan yaitu kerjasama
antara/diantara minimal dua profesi/disiplin untuk tujuan hasil layanan yang berkualitas.

Atribut kinerja perawat ditunjukan dengan: hasil kegiatan individu/personel atau


kelompok dalam suatu organisasi (Rudianti, Handiyani, & Sabri, 2013; Ilyas, 2002 dalam
Maimun & Yelina, 2016). Sementara Gibson et al, (2009) mendefinisikan kinerja sebagai

14
penilaian dari perilaku yang bisa terukur yang berkontribusi untuk pencapaian tujuan
organisasi. Konsep kinerja didasarkan pada behavioral manajemen theory yang
merespons kebutuhan perilaku dan motivasi pekerja sebagai asset untuk mencapai tujuan
organisasi.

Kepuasan klien memiliki definisi atribut pengalaman dan pendapat/persepsi klien


(Bintabara, Ntwenya, Maro, Kubisi, Gunda, & Mpondo, 2018; Ho Siew, Gurbinder, Syed,
Syed-Zulkifli, & Omar dalam Alasad, Tabar, & Abu Ruz., 2015); yang merupakan
evaluasi/penilaian/hasil dari kualitas (Endang, 2010; Donabedian dalam Enkhajgal et al,
2015); layanan yang diterima sesuai harapan (Bintabara, Ntwenya, Maro, Kubisi, Gunda,
& Mpondo, 2018; S. P., U. R., Kundapur, Rashmi, & Acharya, 2017; Endang, 2010;
Worku & Loha, 2017; Ho Siew, Gurbinder, Syed, Syed-Zulkifli, & Omar dalam Alasad,
Tabar, & Abu Ruz., 2015). Learning theory dan Human needs mendasari konsep
kepuasan.

2.5 Pernyataan Relasional


Setelah mendefinisikan dan menentukan jenis konsep yang akan digunakan untuk
membangun teori, tahapan pengembangan teori dilanjutkan dengan menentukan
pernyataan hubungan konsep. Pernyataan hubungan konsep yang dibangun dalam
pengembangan rancangan teori Kolaborasi Interprofesi Terintegrasi meliputi: kolaborasi
interprofesi terintegrasi mempengaruhi kinerja perawat, kolaborasi interprofesi
terintegrasi mempengaruhi kepuasan klien, dan kinerja perawat mempengaruhi kepuasan
klien. Ketiga pernyataan relational perlu ditelaah terhadap tipe, tanda, dan kesimetrisan
hubungan diantara konsep tersebut.

Pernyataan relasional Kolaborasi Interprofesi Terintegrasi Mempengaruhi Kinerja


Perawat.
Penelusuran literatur mengidentifikasi pengaruh kolaborasi kinerja perawat dalam
berbagai bentuk. Kolaborasi interprofesi berpengaruh positif pada kualitas layanan
kesehatan p <0.001 (Piers, Versluys, Devoghel, & Vyt, Noortgate. 2018), kepuasan kerja
p < 0.001 (Zhang, Huang, Liu, Yan, & Ri, 2016), berpengaruh negative pada keinginan
pindah kerja p < 0.001 (Piers, Versluys, Devoghel, Vyt, Noortgate, 2018; Zhang, Huang,
Liu, Yan, & Ri, 2016), dan konflik terkait pekerjaan p= .000 (Akpablo, John, Akpan,
Akpablo & Uyanah, 2016). Pengaruh kolaborasi interprofesi terhadap indicator kinerja
15
perawat, menunjukan hasil stabil, dapat diputuskan spesifikasi hubungan kolaborasi
interprofesi mempengaruhi kinerja perawat adalah jenis causal, arah positif, dan
aSimetris (satu arah). Spesifikasi statemen dapat digambarkan sebagai berikut.

+
If KolIpTer then, always KiPer

Pernyataan relasional Kolaborasi Interprofesi Terintegrasi Mempengaruhi


Kepuasan Klien.
Kolaborasi interprofesi mempengaruhi secara positif terhadap kepuasan klien (Atkinson,
2018; Martin-Rodriguez, D'Amour, & Leduc, 2008 dengan p = 0.001; Matthys, Remmen,
& Van Bogaert, 2017); manajemen nyeri dengan p = 0.047 (Martin-Rodriguez,
D'Amour, Leduc, 2008); mempengaruhi secara negative terhadap tingkat kunjungan
berulang (sebanyak 15% pada bulan ketiga dan 20.63% pada bulan keenam) (Atkinson,
2018), ketidak pastian pasien (Martin-Rodriguez, D'Amour, & Leduc, 2008), nilai
tekanan darah, rawat inap, dan berbagai patologi lainnya (Matthys, Remmen, & Van
Bogaert, 2017). Sementara penelitian Fisher, Weyant, Sterrett, Ambrose, dan Apfel,
(2017) menunjukan tidak ada hubungan antara kolaborasi interprofesi dengan kepuasan
pasien dengan p = 0.964 dan penelitian Matthys, Remmen, dan Van Bogaert, (2017)
menunjukan hasil negatif pada skrining kolorektal dan kualitas hidup terkait kesehatan
ketika dokter dan perawat berkolaborasi. Ketidaksabilan pengaruh kolaborasi terhadap
kepuasan klien mendukung keputusan spesifikasi hubungan konsep kolaborasi
interprofesi terintegrasi dengan kepuasan klien adalah tipe probability, arah positif, dan
aSimetris (satu arah). Spesifikasi hubungan disajikan sebagai berikut:

+
If KolIpTer, then probably KeLi

Pernyataan relasional Pernyataan Kinerja Perawat Mempengaruhi Kepuasan


Klien.
Hasil penelitian menunjukan kinerja perawat yang baik meningkatkan kepuasan pasien
dengan p = 0.038 (Khamida & Mastiah, 2015); p 0.000 (Prayogi, 2018); dan p< 0.05
Hafid (2014). Kepuasan pasien secara tidak langsung didapatkan ketika performa layanan
atau kualitas asuhan keperawatan yang baik (Chaves, Santos, 2016; Shinde, Kapurkar,
2014; Alasad, Tabar, AbuRuz, 2015). Kestabilan hasil pengaruh kinerja perawat terhadap
kepuasan klien, memberikan keyakinan bahwa hubungan konsep kinerja perawat

16
mempengaruhi kepuasan klien adalah tipe causal, arah positif, dan aSimetris (satu arah),
dengan gambaran diagram sebagai berikut:

+
If KiPer then always KeLi

Pernyataan hubungan Kolaborasi Interprofesi Terintegrasi Mempengaruhi Kinerja


Perawat dan Kepuasan Klien
Memperhatikan tipe, arah, dan kesimetrisan ketiga pernyataan tersebut, hubungan ketiga
konsep dalam pernyataan kolaborasi interprofesi terintegrasi mempengaruhi kinerja
perawat dan kepuasan klien menjadi kondisional, arah positif, dan aSimetris. Kolaborasi
interprofesi terintegrasi dapat mempengaruhi kepuasan klien, apabila kinerja perawat
berubah. Hal ini bisa diartikan jika kolaborasi interprofesi terintegrasi adekuat, kepuasan
klien juga meningkat apabila di dalam proses kolaborasi interprofesi terintegrasi kinerja
perawat juga meningkat. Kinerja perawat merupakan salah satu komponen kualitas
pelayanan sebagai tolok ukur utama dari penilaian kepuasan. Kolaborasi interprofesi
terintegrasi berpengaruh terhadap kepuasan klien, namun tidak secara langsung dapat
dikaitkan dengan kinerja perawat dalam meningkatkan kepuasan pasien. Diagram
spesifikasi hubungan ketiga konsep tersebut adalah:

+
If KolIpTer, then KeLi, but in presence KiPer

2.5 Membangun Teori


Konsep dan pernyataan relational diorganisasikan menjadi pola hubungan pernyataan
sebagai rancang bangun sebuah teori Kolaborasi Interprofesi Terintegrasi (skema 1).

17
Skema Rancangan Teori Kolaborasi Interprofesi Terintegrasi

INPUT PROSES ` OUTPUT OUTCOME


SISTEM SOSIAL Feedback
(otoritas, pengambilan keputusan)

Sistem Pelayanan Kesehatan: Kebijakan Pelaksanaan PMK tentang Perkesmas dan


PISPK; Manajemen PKM; Fasilitas ruang dan alat
KINERJA LAYANAN KEPUASAN KLIEN TERHADAP
Keuarga: Dukungan sumberdaya
PERKESMAS LAYANAN PERKESMAS
TERINTEGRASI PIS PK

PENGEMBANGAN TATALAKSANA Kolaborasi Interprofesi dalam


SISTEM KOLABORASI INTERPROFESI layanan Perkesmas:
TERINTEGRASI PERKESMAS dan PISPK Perawat KINERJA PERAWAT DALAM LAYANAN Klien Hipertensi
Dokter PJ PTM PERKESMAS TERINTEGRASI PIS PK berobat teratur

Klien Perawat

Hipertensi PJ PTM Klien Hipertensi

Dokter
Capaian
Indikator
PERSONAL SISTEM: SISTEM INTERPERSONAL
Keluarga Sehat
(gambaran diri, pertumbuhan dan (komunikasi, interaksi, peran,
perkembangan, persepsi) stres dan transaksi)

Feedback

18
Bab 3
Analisis Teori

Tahapan analisis teori menurut Walker dan Avant (2011) terdiri atas: 1) Mengidentifikasi
originalitas teori, 2) Menguji kemaknaan teori, 3) Menganalisis keadekuatan logika teori,
4) Menentukan kegunaan teori, 5) Mendefiniskan kemampuan generalisasi dan parsimoni
teori, 6) Menentukan kemampuan uji teori. Gambaran umum hasil analisis terhadap teori
Kolaborasi Interprofesi Terintegrasi akan diuraikan secara garis besar.

Teori akan dibangun dengan pendekatan induktif menggunakan model konseptual The
Goal Attainment dari King, memperhatikan hasil penelitian lain yang menggunakan
konsep King, dan pengalaman lapangan penulis. Keaslian ditunjukan dengan perbedaan
subjek kolaborasi dan outcome yang dipengaruhi. Subjek yang melakukan kolaborasi
adalah perawat, dokter, dan penanggungjawab PTM, sementara subjek kolaborasi pada
penelitian hasil telusur literatur pada umumnya dokter, perawat, farmasis dan nutritionis.
Kolaborasi akan diuji pengaruhnya pada pada kinerja perawat dalam pelayanan
perkesmas terintegrasi PISPK, sementara penelitian terdahulu mengukur indicator kinerja,
terdiri atas kualitas layanan kesehatan (Piers, Versluys, Devoghel, & Vyt, Noortgate.
2018), kepuasan kerja (Zhang, Huang, Liu, Yan, & Ri, 2016), keinginan pindah kerja
(Piers, Versluys, Devoghel, Vyt, Noortgate, 2018; Zhang, Huang, Liu, Yan, & Ri, 2016),
dan konflik terkait pekerjaan (Akpablo, John, Akpan, Akpablo & Uyanah, 2016).

Kemaknaan dan keadekuatan logika teori dapat dilihat dari karakteristik konsep
digunakan konsisten dimana penelitian sebelumnya menggunakan konsep secara
konsisten seperti definisinya. Spesifikasi hubungan jelas untuk keempat pernyataan, dua
pernyataan tipe causal, satu pernyataan dengan tipe probability, dan lainnya tipe
conditional. Arah hubungan positif dan aSimetris diidentifikasi pada keempat jenis
spesifikasi hubungan statemen.

Teori berguna untuk mengatasi “gap” antara ketersediaan kebijakan penyelenggaraan


perkesmas terintegrasi dengan PIS yang secara praktis belum difasilitatsi dengan
pedoman teknis/operasional pelaksanaan. Kemampuan generalisasi atau kemampuan
transfer dari teori diyakini penulis dapat dilakukan pada program lain di puskesmas
mengatasi tidak sebandingnya jumlah program dengan jumlah sumberdaya kesehatan.
19
Struktur teori yang sederhana menunjukan teori memenuhi syarat parsimoni yang dengan
struktur sederhana mampu menjelaskan fenomena. Pernyataan hubungan menunjukan
dapat menciptakan hipotesis yang dapat diuji secara empiris, menunjukan secara prinsip,
teori mampu untuk diuji. Telah tersedia instrument untuk mengukut ketiga konsep mayor
teori: a) Assessment of Interprofessional Team Collaboration Scale (AITCS): mengukur
bagaimana IPC bekerja dalam dimensi partnership/share decision making, cooperation, dan
coordination (cronbach alpha 0.98 oleh Orchard, King, Khalili, & Bezzina, 2012); b) European
Union (2018). Tools and Methodologies for Assessing the Performance of Primary Care; dan c)
Questionnaire of Patient Satisfaction (QPS) dikembangkan oleh Institute of Public Health
Republik Serbia; mengkaji elemen tingkat kepuasan pada pelayanan kesehatan primer yang
terdiri dari komponen demografi dan pertanyaan terkait kepuasan pasien (Vukovic, Gvozdenovic,
Gajic, Gajic, Jakovljevic, McCormick, 2012). Berdasarkan ketersediaan instrumen, dapat
disimpulan bahwa statement actually testable (secara actual mampu diuji), tetapi
diasumsikan masih memerlukan penyesuaian.

20
Bab 4
Simpulan

Fenomena implementasi perkesmas terintegrasi dengan pelayanan program Puskesmas


dan kebijakan PISK yang menyatakan pelayanan keluarga merupakan perluasan dari
perkesmas perlu difasilitasi dengan ketersediaan tatalaksana implementasi program.
Diperlukan penegasan tentang kolaborasi interprofesi sehingga mampu laksana menjadi
pendekatan yang optimal mampu laksana mendukung capaian indicator.

Pengembangan rancangan teori Kolaborasi Interprofesi Terintegrasi mencoba


memfasilitasi penyediaan panduan tataaksana kolaborasi difokuskan kepada indicator
PTM penderita hipertensi berobat secara teratur. Model konseptual The Goal Attainment
mengakomodasi hubungan yang bersifat transaksi pada level personal, interpersonal, dan
social. Sistem personal direpresentasi dengan subjek yang melakukan kolaborasi, yaitu
Perawat, Dokter, dan penanggungjawab PTM dan klien sebagai penerima layanan
kolaborasi. Sistem interpersonal direpresentasikan dengan system kolaborasi interprofesi
terintegrasi sebagai intervensi. Sistem pelayanan kesehatan di Puskesmas, dan keluarga
merupakan representasi pada system social.

Rancangan teori Kolaborasi Interprofesi Terintegrasi diharapkan mampu dilaksanakan


sebagai panduan penyelenggaraan layanan perkesmas terintegrasi PISPK karena secara
prinsip memenuhi syarat enam langkah analisis teori menurut Walker dan Avant (2011).

21
Daftar Pustaka

Akpablo, I.I., John, M.E., Akpan, M.I., Akpablo, F.F., Uyanah, D.A. (2016). Work-related
conflict and nurses’ role performance in a tertiary hospital in South-south Nigeria.
Journal of Nursing Education and Practice, 6(2): 106-114.
http://dx.doi.org/10.5430/jnep.v6n2p106
Alasad, J., Tabar, N.A., AbuRuz, M.E. (2015). Patient satisfaction with nursing care:
Measuring outcomes in an international setting. the Journal of Nursing Administration,
45(11): 563-568. DOI: 10.1097/NNA.0000000000000264
Allender, Judith A., Rector, Cherie., Warner, Kristine D. (2014). Community Health Nursing:
Promoting & Protecting the Public’s Health. 8th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins
Alligood, M.R. (20140. Nursing theorist and their work (8ed). USA: Elsevier Inc.
Atkinson, C.F. (2018). An Analysis of Interprofessional Rounds Effect on Readmission Rates
and Patient Satisfaction. Doctorate of Nursing Practice, James Madison University.
(Dissertasion). Diakses melalui: https://remote-lib.ui.ac.id:2155/ad0a6fdc-915e-49d2-
bfba-9677b550e51a
Bintabara, D., Ntwenya, J., Maro, I. I., Kibusi, S., Gunda, D. W., & Mpondo, B. C. T. (2018).
Client satisfaction with family planning services in the area of high unmet need: evidence
from Tanzania Service Provision Assessment Survey, 2014-2015. Reproductive
Health, 15(1), N.PAG. https://doi.org/10.1186/s12978-018-0566-8
Chaves, C., Santos, M. (2016). Patient satisfaction in relation to nursing care at home.
Procedia - Social and Behavioral Sciences, 217: 1124-1132. doi:
10.1016/j.sbspro.2016.02.127
Clark, K.M. (2018). Interprofessional education and collaborative practice: Are we there yet?.
J Lung Health Dis, 2(4):1-5 Diakses melalui:
http://www.lungdiseasesjournal.com/articles/interprofessional-education-and-collaborative-
practice-are-we-there-yet.html
D'Amour, D., Ferrada-Videla, M., Rodriguez, L., & Beaulieu, M.-D. (2009). The conceptual
basis for interprofessional collaboration: core concepts and theoretical frameworks.
Journal of Interprofessional Care, 116–131.
Dubois, C.A. & Singh, D. (2009). From staff- mix to skill-mix and beyond: towards a
systemic approach to health workforce management. Journal of Human Resources for
Health, 7 (87), 1-19. Diakses melalui: https://human-resources-
health.biomedcentral.com/track/pdf/10.1186/1478-4491-7-87
Dubois, C-A., D'Armour, D., Porney, M-P., Girard, F., Brault, I. (2013). Conceptualizing
performance of nursing care as a prerequisite for better measurement: a systematic and
interpretive review. BMC Nursing, 12(7):1-20. Diakses melalui:
http://www.biomedcentral.com/1472-6955/12/7
Duffy, J. (2009). Quality Caring in Nursing: Applying Theory to Clinical Practice,
Education, and Leadership. New York: Springer Pubishing.
Duffy, J., & Hoskins, L. (2003). The Quality-Caring Model®: Blending dual paradigms,
Advances in Nursing Science, 26(1: 77–88.
Freshman, B., Rubino, L., & Chassiakos, Y.R. (2010). Collaboration across the diciplines in
health care. USA: Jones and Bartlett Publisher
Fisher, M., Weyant, D., Sterrett, S., Ambrose, H., Apfel, A. (2017). Perceptions of
interprofessional collaborative practice and patient/family satisfaction. Journal of

22
Interprofessional Education & Practice 8: 95-102.
http://dx.doi.org/10.1016/j.xjep.2017.07.004
Fleischer, E.J. (2015). Quality improvement to increase nurse knowledge on nursing
informatics project management standards. Walden University. (Dissertation). Diakses
melalui:
https://pdfs.semanticscholar.org/3507/dcd4ed76c3cce6af8d11c99580b9d2456e81.pdf
Green, B.N., Johnson, C.D. (2015). Interprofessional collaboration in research, education,
and clinical practice: Working together for a better future. J Chiropr Educ, 29 (1): 1-14
DOI 10.7899/JCE-14-36
Gulitz, E.A., King, I.M. (1988). King’s General Systems Model : Application to Curriculum
Development.
Heindel, K.J. (2015). Relationship-based care: A test of the quality caring model's association
with nurses' perceptions of work and patient relationships. University of Wisconsin
Milwaukee. (Dissertation). Diakses melalui:
https://pdfs.semanticscholar.org/c545/08312abce8ed944a066340f9a82965230bd6.pdf
Kemenkes. (2016). Pedoman Umum Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga.
http://www.depkes.go.id/resources/download/lain/Buku%20Program%20Indonesia
%20Sehat%20dengan%20Pendekatan%20Keluarga.pdf
KMK R.I. No. HK.02.02/MENKES/52/2015.
http://manajemenrumahsakit.net/wp-content/uploads/2012/09/KMK-279-2006-
PERKESMAS.pdf
Khamida & Mastiah. (2015). Kinerja Perawat dalam Memberikan Asuhan Keperawatan
Berpengaruh Terhadap Kepuasan Pasien Rawat Inap. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 8(2):
154-161. Diakses melalui: http://repository.unusa.ac.id/2237/4/KINERJA
%20PERAWAT%20DALAM%20MEMBERIKAN%20ASUHAN
%20KEPERAWATAN%20BERPENGARUH%20TERHADAP%20KEPUASAN
%20PASIEN%20RAWAT%20INAP.pdf
King, I. M. (1999). A theory of goal attainment: Philosophical and ethical implications.
Nursing Science Quarterly, 12(4), 292-296.
Martin-Rodriguez, L.S., D'Amour, D., Leduc, N. (2008). Outcomes of interprofessional
collaboration for hospitalized cancer patients. Cancer Nursing, 31(2): 18-28. Diakses
melalui: http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?
doi=10.1.1.514.6710&rep=rep1&type=pdf
Matthys, E., Remmen, R. & Van Bogaert, P. (2017). An Overview of systematic reviews on
the collaboration between physicians dan nurses and the impact on patien outcomes:
What can we learn in primary care? BMC Family Practice, 18, 110. DOI
10.1186/s12875-017-0698-x
Messmer, P.R. (2006). Professional model of care: Using King’s Theory of Goal Attainment.
Scholarly Dialogue: 227-228 DOI: 10.1177/0894318406289887
Orchard, C., King, G., Khalili, H., & Bezzina, M. (2012). Assesment of interprofessional
team collaboration scale (AITCS): Development and testing of the instrument.
Continuing Education in the Health Professions, 58 - 67.
Piers, R.D., Versluys, K., Devoghel, J., Vyt, A., Noortgate, N.V.D. (2018). Interprofessional
teamwork, quality of care and turnover intention in geriatric care: A cross-sectional study
in 55 acute geriatric units. International Journal of Nursing Studies 91:94–100.
https://doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2018.11.011
Prayogi, A.S. (2018). Hubungan Kinerja Perawat Dengan Kepuasan Pasien di Ruang Rawat
Inap Rumah Sakit TK. III 04.06.03 DR. Soetarto Yogyakarta.Jurnal Ilmiah Keperawatan

23
Indonesia, 1(2): 9-28. Diakses melalui:
http://jurnal.umt.ac.id/index.php/jik/article/view/79/485
Rudianti, Y., Handiyani, H., Sabri, L. (2013). Peningkatan kinerja perawat pelaksana melalui
komunikasi organisasi di ruang rawat inap rumah sakit. Jurnal Keperawatan Indonesia,
16(1): 25-32 eISSN: 2354-9203
Sea, B.J., et al (2007). Developmental of AMSTAR: A measurement tool to assess the
methodological quality of systematic review. BMC Medical Resources Methodology, 7:
10
Setiadi, A., Wibowo, Y., Herawati, F., Irawati, S., Presley, B., Zaidi, M., et al. (2017).
Factors contributing to interprofessional collaboration in Indonesian health centres: A
focus group study. Journal of Interprofessional Education & Practice, 69 - 74.
Spesialized nursing practice for chronic disease management in the primary care setting: an
evidence based analysis. Ont Health Technol Assess Ser. 2013; 13 (10); 1--66
S. P., U. R., Kundapur, R., Rashmi, A., & Acharya, H. (2017). Client Satisfaction among the
clients attending tertiary care centers in Mangalore, South India. Nitte University Journal
of Health Science, 7(3), 3–6. Retrieved from http://search.ebscohost.com/login.aspx?
direct=true&db=a9h&AN=126447008&site=ehost-live
Vegesna, A., Coschignano, C., Hegarty, S. E., Karagiannis, T., Polenzani, L., Messina, E.,
Maio, V. (2016). Attitudes towards physician-nurse collaboration in a primary care team-
based setting: Survey-based research conducted in the chronic care units of the Tuscany
region of Italy. Journal Of Interprofessional Care, 30(1), 65–70. https://remote
lib.ui.ac.id:2067/10.3109/13561820.2015.1081878
Vukovic, M., Gvozdenovic, B.S., Gajic, T., Gajic, B.S., Jakovljevic, M., McCormick, B.P.
(2012). Validation of a patient satisfaction questionnaire in primary health care. Public
Health, 126: 710-718 doi:10.1016/j.puhe.2012.03.008
Walker, L.O. & Avant, K.C. (2011). Strategies for theory construction in nursing. Fith.ed.
USA; Pearson Education
Wang, D., Liu, C., Zhang, Z., Ye, L., Zhang, X. (2019). Validation of the King's transaction
process for healthcare provider-patient context in the pharmaceutical context. Research in
Social and Administrative Pharmacy, 15: 93-99
https://doi.org/10.1016/j.sapharm.2018.03.063
World Health Organization (2010). Framework for action on interprofessional education and
collaborative practice. Diakses melalui:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/70185/1/WHO_HRH_HPN_10.3_eng.pdf
Worku, M. & Loha, E. (2017). Assessment of client satisfaction on emergency department
services in Hawassa University Referral Hospital, Hawassa, Southern Ethiopia. BMC
Emergency Medicine (2017) 17:21 DOI 10.1186/s12873-017-0132-7. http://remote-
lib.ui.ac.id:2273/ehost/pdfviewer/pdfviewer?vid=29&sid=d6a0d660-f29b-4aa8-80a7-
cb10fb14fc78%40sessionmgr101.diakses tanggal 16 Februari 2019
Zhang, L., Huang, L., Liu, M., Yan, H., Li, X.(2016). Nurse–physician collaboration impacts
job satisfaction and turnover among nurses: A hospital-based cross-sectional study in
Beijing. International Journal of Nursing Practice, 22: 284–290 doi:10.1111/ijn.12424
Zhang, L., Huang, L., Liu, M., Yan, H., & Li, X. (2016). Nurse-physician collaboration
impacts job satisfaction and turnover among nurses: A hospital-based cross-sectional
study in Beijing. International Journal of Nursing Practice, 22(3), 284–290.
https://remote-lib.ui.ac.id:2067/10.1111/ijn.12424
Zheng, R.M., Sim, Y.F. & Koh, G.C.H. (2016). Attitudes towards interprofessional
collaboration among primary care physicians and nurses in Singapore. Journal Of

24
Interprofessional Care, 30(4), 505–511. https://remote-
lib.ui.ac.id:2067/10.3109/13561820.2016.1160039

25

Anda mungkin juga menyukai