Anda di halaman 1dari 16

Achmad Lutfi, 2010, ”Pendaerahan PBB dan BPHTB dalam Kerangka Perluasan Desentralisasi Fiskal di Indonesia : Studi Pemungutan

Pajak Bumi dan


Bangunan serta BPHTB di Kota X, Provinsi Z”, Makalah, Disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara III (KAN III) 2010, diselenggarakan oleh Jurusan
Administrasi Negara, Universitas Padjajaran, Tanggal 06 – 08 Juli 2010, Jatinangor, Bandung, Jawa Barat.

8. Otonomi Daerah : Hubungan Pusat – Daerah

Pendaerahan PBB dan BPHTB dalam Kerangka Perluasan


Desentralisasi Fiskal di Indonesia
(Studi Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan serta BPHTB
di Kota X, Propinsi Z)

oleh
Achmad Lutfi1

Abstrak
Kemampuan keuangan pemerintah daerah merupakan hal yang penting dalam mendukung status
daerah otonom yang diembannya. Salah satu parameter yang dapat dijadikan ukuran untuk
menilai kemampuan keuangan daerah adalah berapa besar perolehan pajak daerahnya. Dalam
rangka memperkuat kemampuan keuangan daerah, Pemerintah Pusat mengambil kebijakan untuk
mendaerahkan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (selanjutnya akan disingkan menjadi PBB dan BPHTB) sektor pedesaan dan
perkotaan untuk selanjutnya menjadi pajak daerah. Kebijakan ini merupakan salah satu wujud
desentralisasi fiskal khususnya pada sisi penerimaan, karena upaya ini secara jelas akan
memperkuan pendapatan daerah. Upaya pendaerahan ini akan berdampak bagi pengelolaan
keuangan daerah yang selama ini dilakukan oleh pemerintah daerah. Penelitian ini mencoba
mengangkat satu kasus di Kota X untuk menilai apakah pemerintah daerah dengan kapasitas
administrasi yang telah dimilikinya dapat dengan baik mengelola pendaerahan ini secara
maksimal. Penelitian ini mendapatkan fakta bahwa perlu ada peningkatan kapasitas administrasi
agar pemerintah dapat mengelola pendaerahan PBB dan BPHTB dengan baik.

Kata Kunci : Pemerintah Daerah, Desentralisasi Fiskal, Kapasitas Administrasi, dan Pajak Bumi
dan Bangunan.

Pendahuluan

Tanah dan bangunan adalah salah salah satu faktor ekonomi. Suatu bentuk kegiatan ekonomi
dapat berawal dari eksploitasi atas salah satu faktor ekonomi ini. Dari tanah dan bangunan
seseorang dapat memperoleh keuntungan, misalnya, hasil keuntungan dari penjualan hasil bumi
atau hasil sewa. Diperolehnya keuntungan ini membuat tahan dan bangunan dapat dikenakan
pungutan tertentu, yaitu pengenaan pajak.

1
Staf Pengajar Tetap Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Departemen Ilmu Administrasi
FISIP UI. Alamat korespondensi (email) achmad.lutfi@ui.ac.id.
1
Achmad Lutfi, 2010, ”Pendaerahan PBB dan BPHTB dalam Kerangka Perluasan Desentralisasi Fiskal di Indonesia : Studi Pemungutan Pajak Bumi dan
Bangunan serta BPHTB di Kota X, Provinsi Z”, Makalah, Disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara III (KAN III) 2010, diselenggarakan oleh Jurusan
Administrasi Negara, Universitas Padjajaran, Tanggal 06 – 08 Juli 2010, Jatinangor, Bandung, Jawa Barat.

Pengenaan pajak atas tanah dan bagunan serta peralihan hak terhadapnya adalah suatu
keniscayaan. Pengenaan pungutan ini telah berkembang sejalan dengan perkembangan sejarah
peradaban manusia. Mulai dari pungutan pada masa kerajaan-kerajaan hingga model pungutan
atas salah satu faktor produksi ini yang semakin kompleks (property tax).

Pungutan pajak atas bumi dan bangunan serta pengalihan haknya di Indonesia telah berkembang
sejak masa kerajaan-kerajaan di nusantara hingga kini. Beragam peraturan telah dibuat untuk
memungut jenis pajak ini. Pengaturan ini telah mengalami pasang surut mulai dari masa-masa
kerajaan di Nusantara hingga kemerdekaan, terutama masa reformasi kini.

Perkembangan terakhir mengenai Pajak Bumi dan Bangunan serta BPHTB adalah wacana untuk
men-daerah-kan sebagian jenis pungutan yang terkait dengan tanah dan bangunan ini.
Munculnya wacana ini diwujudkan dengan rencana pengalihan pemungutan pajak bumi dan
bangunan sektor pedesaan dan perkotaan serta pengenaan bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan kepada pemerintah daerah kabupaten dan kota. Realisasi dari wacana ini dapat kita
lihat dari rancangan undang-undang pajak daerah dan retribusi daerah sebagai mana diajukan
oleh pemerintah untuk dibahas bersama dewan perwakilan rakyat. Dalam RUU tersebut secara
jelas dicantumkan bahwa pemungutan pajak bumi dan bangunan sektor pedesaan dan perkotaan
serta pengenaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan akan dialihkan kewenangan
pemungutannya kepada pemerintah daerah kabupaten dan kota, sehingga jenis pungutan ini
menjadi pajak daerah.
Setelah melalui pembahasan di lembaga legislatif, rancangan undang-undang yang memuat
rencana pengalihan pemungutan pajak bumi dan bangunan sektor pedesaan dan perkotaan serta
pengenaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan disahkan pada tanggal 15 September
2009. Pengesahan ini kemudian bermuara pada diperlakukannya Undang-Undang Nomor 28
tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Rencana pengalihan kewenangan pemungutan pajak bumi dan bangunan sektor pedesaan dan
perkotaan serta pengenaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan kepada pemerintah daerah
kabupaten dan kota menjadi pajak daerah ditanggapi beragam oleh daerah. Ada daerah yang
sangat antusias menyambut rencana ini, disamping ada pula sebagian daerah yang pesimis untuk
dapat menjalankan kewenangan baru ini. Bagi daerah kabupaten/kota yang relatif maju, rencana
ini disambut dengan antusias mengingat kapasitas administrasi pemerintahannya yang baik
sehingga sanggup menjalankan kewenangan baru ini. Sebaliknya, bagi daerah kabupaten/kota
yang masih belum maju, rencana ini disambut dengan rasa pesimis melihat ketidakmampuan
administrasi pemerintahannya yang belum sanggup untuk menjalankan kewenangan yang terkait
dengan pemungutan pajak bumi dan bangunan sektor pedesaan dan perkotaan serta pengenaan
bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

Kota X adalah salah satu kota besar yang ada di Pulau Jawa sekaligus menjadi Ibukota Provinsi.
Sebagai Ibukota Provinsi dan salah satu kota Pulau Jawa, Kota X memiliki potensi yang besar
dalam penerimaan PBB. Pemerintah Kota (Pemkot) X mendapat penghargaan sebagai peringkat
II pada kelompok V (target pajak di atas 75 Miliar) atas keberhasilannya dalam pemungutan dan
pengelolaan administrasi pajak bumi dan bangunan (PBB) sektor perdesaan dan perkotaan tahun
anggaran 2008.

2
Achmad Lutfi, 2010, ”Pendaerahan PBB dan BPHTB dalam Kerangka Perluasan Desentralisasi Fiskal di Indonesia : Studi Pemungutan Pajak Bumi dan
Bangunan serta BPHTB di Kota X, Provinsi Z”, Makalah, Disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara III (KAN III) 2010, diselenggarakan oleh Jurusan
Administrasi Negara, Universitas Padjajaran, Tanggal 06 – 08 Juli 2010, Jatinangor, Bandung, Jawa Barat.

Wakil WaliKota X mengungkapkan target penerimaan PBB Kota X tahun 2008,


sebesar Rp. 214.635.486.000,- dan realisasinya sebesar Rp. 180.096.051.735,-
(83,91 %). "Untuk tahun depan targetnya Rp. 238.028.025.000,- kita berharap
dapat mencapai target tersebut dan mendapat peringkat yang lebih baik lagi, tetapi
tentu saja kita butuh kerja keras untuk dapat meraihnya," ucapnya.2

Tulisan ini bermaksud untuk melihat bagaimana proses pemungutan PBB dan BPHTB di Kota X
? serta hal apa saja yang harus dipersiapkan dalam rangka menyongsong diserahkannya
kewenangan yang terkait dengan pemungutan pajak bumi dan bangunan sektor pedesaan dan
perkotaan serta pengenaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan kepada untuk selanjutnya
menjadi Pajak Daerah ?

Kajian Teori

Kemampuan pembiayaan merupakan salah satu segi atau kriteria penting untuk menilai secara
nyata kemampuan daerah dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.3 Tanpa
adanya biaya yang cukup maka tidak mungkin daerah mampu menyelenggarakan tugas dan
kewajiban serta segala kewenangannya yang melekat dengannya untuk mengatur rumah
tangganya sendiri. Sebaliknya, jika kemampuan keuangan daerah besar, maka kemampuan
daerah untuk mengatur rumah tangganya akan semakin besar.

Kaitan antara kewenangan yang diserahkan kepada daerah dengan alokasi keuangan yang
diterimanya dapat dilihat dari dua sudut pandang. Sudut pandang yang pertama adalah membagi
kewenangan yang ada kepada daerah untuk dilaksanakannya selanjutnya diikuti dengan
pemberian alokasi keuangan kepadanya, money follows functions principle. Sedangkan sudut
pandang kedua adalah memberikan terlebih dahulu sejumlah alokasi keuangan kepada daerah
untuk selanjutnya menjalankan fungsi/kewenangan yang kemudian akan diberikan kepadanya,
functions follows money principle.

Desentralisasi fiskal merupakan varian dari pelaksanaan desentralisasi yang ditempuh suatu
negara. Desentralisasi fiskal ini dapat didefinisikan sebagai devolusi (penyerahan) tanggung
jawab fiskal dari pemerintah pusat kepada tingkatan pemerintahan yang ada dibawahnya, sub-
national levels of government, seperti negara bagian, daerah, propinsi, distrik, dan kota.4 Namun
demikian, sebenarnya definisi ini tidaklah cukup komprehensif. Pada kenyataannya, isu yang
berkembang dan menarik dalam kajian desentralisasi fiskal atau federalisme fiskal adalah
pemberian tanggung jawab fiskal yang lebih jelas pada tingkatan pemerintahan yang tepat.

http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=news.detail&id=70386 (diunduh pada


2

tanggal 22 September 2009, Pkl. 05.45).

Josef Riwu Kaho. 1995 Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia:
3

Identifikasi Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya. Jakarta: RajaGrafindo


Persada. Hlm. 123.
4
Hamid R. Davaodi, Http;//.www.imf.org/external.Pubs/FT/irb/2001/eng/02/ indeks.htm #sum2.
3
Achmad Lutfi, 2010, ”Pendaerahan PBB dan BPHTB dalam Kerangka Perluasan Desentralisasi Fiskal di Indonesia : Studi Pemungutan Pajak Bumi dan
Bangunan serta BPHTB di Kota X, Provinsi Z”, Makalah, Disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara III (KAN III) 2010, diselenggarakan oleh Jurusan
Administrasi Negara, Universitas Padjajaran, Tanggal 06 – 08 Juli 2010, Jatinangor, Bandung, Jawa Barat.

Salah satu masalah yang krusial dalam implementasi desentralisasi fiskal adalah kapasitas atau

kemampuan kelembagaan pemerintah di negara-negara dunia ketiga yang masih lemah.

Implementasi kebijakan desentraliasi fiskal menuntut kemampuan aparat pemerintah, yang

duduk di seluruh tingkat kelembagaan yang ada, untuk mampu mengelola kapasitas fiskal yang

dimilikinya. Ketidakmampuan lembaga pemerintah mengelola kapasitas fiskal yang ada dapat

menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas penyelenggaraan pemerintahan yang justru ingin

dihindari dengan diimplementasikannya kebijakan ini.

Peningkatan kapasitas administrasi pemerintah diharapkan dapat memujudkan tata kelola


pemerintahan (governance) yang semakin baik. Tata kelola yang semakin baik ini tidak semata-
mata muncul secara spontan dalam merespon perubahan, tetapi juga merupakan perubahan yang
terjadi secara bertahap sebagai suatu konsekuensi usaha yang sinambung, terus menerus, dalam
mewujudkan pembaharuan pemerintahan menuju tata kelola pemerintahan yang semakin baik.
Pembaharuan pemerintahan dapat berwujud pada sejumlah hal, seperti desentralisasi
pemerintahan, kerjasama antara sektor publik dengan sektor privat dalam menyediakan layanan
publik (public-private partnership), peningkatan efektivitas pemerintahan, dan lain sebagainya.

Nico Nelissen, seorang ahli administrasi publik dari Univ. Nijmegen (Belanda), dalam salah satu
artikel ilmiahnya mengemukakan suatu pengertian mengenai kapasitas administrast. Menurut
Nelissen, kapasitas adminisistrasi dapat didefinisikan sebagai ”the degree to which the new types
of governance are successful in handling societal and administrative problems for which they
have been created.”5 Dari definisi ini dapat dilihat bahwa kapasitas administrasi merupakan suatu
derajat kemampuan pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi di dalam
masyarakat.

Kapasitas administrasi dapat juga didefinisikan sebagai sejumlah tugas yang harus dilakukan
oleh administrator. Tugas ini merujuk pada tugas pokok dan fungsi utama yang diemban oleh
administrator. Dalam melaksanakan tugas tersebut, kapasitas administrasi ditunjang oleh
sejumlah elemen. Sejumlah elemen tersebut antara lain adalah :
1. Struktur kelembagaan (organisasi atau lembaga yang berfungsi untuk menjalankan tugas).
2. Perangkat hukum (landasan hukum yang memberikan dasar bagi struktur kelembagaan yang
ada untuk menjalankan tugas-tugasnya).
3. Prosedur (aturan yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas).
4. Personel (staf yang mempu menjalankan tugas yang dibebankannya, termasuk didalamnya
dari segi kualitas, segi kuantitas, sistem pelatihan, serta sistem manajemennya).

5
Bas Arts and Hendri Goverde. 2006. “The Governance Capacity of (new) Policy Arrangement :
A Reflexive Approach.” Dalam Bas Arts and Pieter Leroy, Institutional Dynamics in
Environmental Governance. The Netherlands : Springer. Hal. 75.
4
Achmad Lutfi, 2010, ”Pendaerahan PBB dan BPHTB dalam Kerangka Perluasan Desentralisasi Fiskal di Indonesia : Studi Pemungutan Pajak Bumi dan
Bangunan serta BPHTB di Kota X, Provinsi Z”, Makalah, Disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara III (KAN III) 2010, diselenggarakan oleh Jurusan
Administrasi Negara, Universitas Padjajaran, Tanggal 06 – 08 Juli 2010, Jatinangor, Bandung, Jawa Barat.

5. Anggaran dan peralatan (segala aspek yang terkait dengan kemampuan lembaga untuk dapat
menjalan tugas dan fungsinya).

Definisi terakhir ini menunjukkan bahwa usaha untuk meningkatkan kapasitas administrasi
berimplikasi pada pengembangan sejumlah elemen seperti struktur kelembagan, perangkat
hukum, prosedur, personel, serta anggaran dan peralatan. Hal yang juga sngat penting untuk
diperhatikan dalam melakukan peningkatan kapasitas administrasi adalah peningkatan
kemampuan staf dalam mendukung dilakukannya upaya peningkatan kapasitas tersebut.

Beragam sudut pandang dapat dipergunakan untuk melihat kemampuan administratif yang harus
dimiliki oleh pemerintah untuk dapat menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya. Dari
sudut jangka waktunya, kemampuan administratif dapat dibagi menjadi kemampuan dalam
jangka panjang maupun kemampuan dalam jangka pendek. Dilihat dari sudut pandang tingkat
formalitasnya, kemampuan administratif dapat dibagi menjadi kemampuan dalam bentuk formal
dan bentuk informal. Jika ditelisik dari sudut perencanannya, kemampuan administratif dapat
dibagi menjadi kemampuan yang terencana serta kemampuan yang terjadi secara spontan.
Ditinjau dari tingkatan pemerintahannya, kemampuan administratif dapat dibagi menjadi
kemampuan pemerintah daerah dan kemampuan pemerintah pusat.

Dari beragam peristilahan ini, Nelissen melihat bahwa yang paling penting adalah membagi
kapasitas administratif kepada dua bentuk yaitu kapasitas administrasi indikatif (Indicated
Administrative Capacity) dan kapasitas administrasi efektif (Effective Administrative Capacity).6
Kapasitas administrasi indikatif dapat dipahami sebagai potensi kapasitas administrasi yang
dimiliki oleh pemerintah. Ia mengacu pada kemampuan dari lembaga-lembaga pemerintah untuk
dapat mengerjakan segala fungsi dan tugas yang dibebankan kepadanya. Sedangkan kapasitas
administrasi efektif dapat dipahami sebagai hasil kinerja yang ditunjukkan oleh lembaga-
lembaga pemerintah dalam mengerjakan segala fungsi dan tugas yang dibebankan kepadanya.

Sebagai upaya untuk dapat menilai kemampuan administratif, Nelissen, mengaitkan kapasitas
administrasi indikatif (Indicated Administrative Capacity) dan kapasitas administrasi efektif
(Effective Administrative Capacity) dengan tiga pendekatan yang biasa dipergunakan dalam ilmu
administrasi. Tiga pendekatan ini dilakukan secara simultan dan kombinatif untuk melihat
kemampuan administratif. Nelissen menamakan pendekatan ini sebagai the judicial, the
economic-business, and the political-societal approach, The JEP Triangle Approach.

Arts dan Goverde mengutip Nelissen mendefinisikan kapasitas pemerintah (Governance


Capacuty) sebagai sejauh mana bentuk baru pemerintahan untuk mampu menyelesaikan atau
memecahkan masalah-masalah kemasayarakatan dan administratif.7 Ukuran keberhasilan ini
merupakan suatu hal yang relatif, dimana ukuran untuk mengevaluasinya berkembang dalam
kaitannya pada presepsi yang berbeda-beda atas suatru masalah dari para pemangku kepentingan.
Jenis dari kapasitas pemerintah dapat dibedakan menjadi :8

6
Bas Arts and Hendri Goverde. 2006. Op. Cit.. Hal. 75.
7
Bas Arts and Hendri Goverde. 2006. Op. Cit.. Hal. 75.
8
Bas Arts and Hendri Goverde. 2006. Op. Cit.. Hal. 75 – 76.
5
Achmad Lutfi, 2010, ”Pendaerahan PBB dan BPHTB dalam Kerangka Perluasan Desentralisasi Fiskal di Indonesia : Studi Pemungutan Pajak Bumi dan
Bangunan serta BPHTB di Kota X, Provinsi Z”, Makalah, Disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara III (KAN III) 2010, diselenggarakan oleh Jurusan
Administrasi Negara, Universitas Padjajaran, Tanggal 06 – 08 Juli 2010, Jatinangor, Bandung, Jawa Barat.

1. Indicative governance capacity (kapasitas pemerintah indikatif), potensi yang dimiliki oleh
pemerintah untuk memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah-masalah
kemasyarakatan dan administratif, karena pemerintah memiliki legitimasi yang diakui oleh
para pemangku kepentingan.
2. Performative governance capacity (kapasitas pemerintaf performatif), kinerja yang
ditunjukkan oleh pemerintah dalam upayanya untuk menyelesaikan masalah-masalah
kemasyarakatan dan administratif.

Sejalan dengan pembagian kapasitas administrasi indikatif (Indicated Administrative Capacity)


dan kapasitas administrasi performatif (Performative Administrative Capacity), penting pula
dibedakan antara kapasitas administrasi dari perspektif kelembagaan di satu sisi dan kapasitas
administrasi dalam perspektif strategis di sisi lain. 9 Perspektif kelembagaan dari kapasitas
administrasi merefleksikan kemampuan dan cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk
mempengaruhi aransmen kelembagaan dalamm proses pembuatan kebijakan. Perspektif
kelembagaan ini dapat pula dijadikan indikator bagaimana suatu kebijakan dapat berhasil
dilaksanakan. Kapasitas administrasi indikatif dapat terlihat dari bagaimana suatu kebijakan
tergantung pada bagaimana tindakan para pemangku kepentingan dalam suatu permasalahan
yang spesifik. Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa keperhasilan suatu tata kelola
pemerintahan sangat tergantung pada bagaimana pemangku kepentingan didefinisikan,
pemahaman dan strategi yang dimilikinya untuk mewujudkan keberhasilan yang terkait dengan
hal-hal yang mendasari tindakan mereka. Karena hal ini, kapasitas pemerintahan performatif
sebagian besar dapat disamakan dengan kapasitas administrasi dalam perspektif strategis.

Beberapa penelitian telah dilakukan dalam mengkaji desentralisasi fiskal, namun demikian
belum ada penelitian yang spesifik di Indonesia yang mencoba mengkaitkan desentralisasi fiskal
dengan upaya menyerahkan pajak bumi dan bangunan ke daerah. Terdapat beberapa penelitian
yang pernah dilakukan yang mengkaitkan desentralisasi fiskal dengan otonomi daerah. Tjip
Ismail10 dalam rangka menyelesaikan Program Doktornya di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia melakukan studi tentang implikasi otonomi daerah terhadap paradigma pajak daerah di
Indonesia. Penelitian ini memiliki tiga fokus utama. Pertama, peneliti berupaya untuk
memaparkan perlunya untuk merubah paradigma pajak daerah karena terjadinya perubahan
paradigma dalam proses pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralisatik. Kedua, peneliti
merumuskan paradigma pajak daerah yang sesuai dengan paradigma pemerintahan desentralistik.
Ketiga, peneliti juga berupaya untuk memaparkan dampak positif yang diharapkan diperoleh dari
perubahan paradigma pajak daerah yang sesuai dengan padarigma pemerintahan desentralistik.
Penelitian yang dilakukan oleh Ismail lebih berorientasi pada pendekatan normatif, dengan
melihat terjadinya perubahan paradigma pemerintahan daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun
1999, UU No. 25 Tahun 1999, serta UU No. 34 Tahun 2000.

9
Bas Arts and Hendri Goverde. 2006. Op. Cit.. Hal. 76.

Tjip Ismail. 2005. “Implikasi Otonomi Daerah terhadap Paradigma Pajak Daerah di
10

Indonesia”, Ringkasan Disertasi, (tidak Dipublikasikan), Program Pascasarjana Fakultas Ilmu


Hukum, Universitas Indonesia.

6
Achmad Lutfi, 2010, ”Pendaerahan PBB dan BPHTB dalam Kerangka Perluasan Desentralisasi Fiskal di Indonesia : Studi Pemungutan Pajak Bumi dan
Bangunan serta BPHTB di Kota X, Provinsi Z”, Makalah, Disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara III (KAN III) 2010, diselenggarakan oleh Jurusan
Administrasi Negara, Universitas Padjajaran, Tanggal 06 – 08 Juli 2010, Jatinangor, Bandung, Jawa Barat.

Dalam rangka menyelesaikan studi Program Doktor di Universitas Gadjah Mada, Irianto
melakukan penelitian mengenai desentralisasi perpajakan dalam perspektif demokratisasi di
Indonesia.11 Dalam disertasinya, Irianto menyoroti mengapa taxing power sharing yang lebih
besar tidak terjadi dalam desentralisasi fiskal dan mengetahui faktor-faktor apa yang
mempengaruhi tidak terjadinya pemberian kewenangan perpajakan yang lebih besar dalam
desentralisasi fiskal di Indonesia. Hal lain yang disoroti oleh Irianto adalah bagaimana implikasi
dari terjadinya taxing power sharing yang lebih besar kepada daerah terhadap proses
demokratisasi di Indonesia. Irianto, dengan metode analisis data kuantitatif, mencoba untuk
mengkaitkan kajian desentralisasi pajak dengan proses demokrasi. Penelitian yang dilakukan
oleh Irianto mencoba untuk menunjukkan pentingnya mengkaji masalah perpajakan dari
perspektif politik.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Wahyudi Kumorotomo dalam rangka menyelesaikan studinya
di University Sains Malaysia. Dalam disertasinya yang berjudul The Politics of Fiscal
Decentralization : A Study on Policy Development in Indonesia 1974-2004, yang kemudian
dialih bahasakan dan diterbitkan dengan judul Desentralisasi Fiskal : Politik Perubahan
Kebijakan 1974-200412, Kumorotomo berupaya untuk menjelaskan bagaimana kebijakan tertentu
yang menyangkut desentralisasi fiskal dirumuskan, dilaksanakan dan kemudian diubah.
Kumorotomo melihat faktor yang bersifat politis turut mempengaruhi arah perkembangan
kebijakan desentralisasi fiskal. Penelitian yang dilakukan oleh Kumorotomo dilakukan secara
umum atas kebijakan yang terkait dengan masalah desentralisasi fiskal dalam kurun waktu 1974-
2004.

Berbeda dengan ketiga penelitian diatas, penelitian yang dilakukan adalah mengkaitkan
kebijakan desentralisasi fiskal yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang
diartikan sebagai kebijakan penyerahan kewenangan fungsi dan tugas pemerintahan dari pusat
kepada daerah untuk selanjutnya menjadi tanggung jawab daerah, yang diwujudkan dengan
upaya pendaerahan PBB dan BPHTB sebagai upaya perluasan implementasi desentralisasi fiskal
di Indonesia.

Metodologi Penelitian

Pada dasarnya pendekatan penelitian yang akan dipilih dalam penelitian ini adalah mixed
approach. Kombinasi ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang
tidak sepenuhnya dapat dijawab dengan pendekatan kualitatif ataupun kuantitatif. Kombinasi
penelitian kualitatif dan kuantitatif dimungkinkan jika keduanya berpijak pada paradigma yang
sama.Sebelum data kualitatif dan data kuantitatif dikumpulkan, terlebih dahulu dilakukan studi
literatur. Studi literatur merupakan metode pengumpulan data pertama kali dilakukan dalam
penelitian ini untuk memberikan landasan teoritis dan konseptual, yang penting dan relevan
dalam menyusun hipotesa ataupun dalam menguraikan analisis. Data kualitatif diperoleh melalui
11
Slamet Edi Irianto. 2008. “Desentralisasi Perpajakan dalam Perspektif Demokratisasi di
Indonesia”, Ringkasan Disertasi, (tidak Dipublikasikan), Program Pascasarjana, Universitas
Gadjah Mada.
12
Wahyudi Kumorotomo. 2008. Desentralisasi Fiskal : Politik dan Perubahan Kebijakan 1974 –
2004. Jakarta : Kencana.
7
Achmad Lutfi, 2010, ”Pendaerahan PBB dan BPHTB dalam Kerangka Perluasan Desentralisasi Fiskal di Indonesia : Studi Pemungutan Pajak Bumi dan
Bangunan serta BPHTB di Kota X, Provinsi Z”, Makalah, Disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara III (KAN III) 2010, diselenggarakan oleh Jurusan
Administrasi Negara, Universitas Padjajaran, Tanggal 06 – 08 Juli 2010, Jatinangor, Bandung, Jawa Barat.

wawancara, pengamatan dan studi dokumen. Sedangkan data kuantitatif diperoleh dari berbagai
laporan statistik yang relevan. Perolehan data kualitatif dan kuantitatif ini kemudian dianalisis
secara komprenensif untuk dapat menjawab pertanayaan penelitian yang diajukan.

Pembahasan

Proses pemungutan PBB di Kota X diawali dengan proses pendataan. Proses pendataan ini
dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak, dimana didalamnya terdapat bagian yang menangani
pajak tersebut yang sebelumnya ditangani oleh KPP PBB. Proses pendataan ini tidak hanya
dilakukan oleh KPP saja tetapi juga melibatkan aparat terkait seperti jajaran pemerintah daerah
Kota X dan Badan Pertanahan Nasional Kota X. Ketiga jajaran pemerintah ini secara sinergis
bekerja sama untuk melakukan pendataan serta melakukan pemutakhiran data. Proses pendataan
ini sangat strategis, mengingat dalam kegiatan ini akan mentukan seberapa banyak bidang tanah
yang dapat diidentifikasi untuk selanjutnya akan ditetapkan Nilai Jual Objek Pajaknya (NJOP).

Tahap selanjutnya dari proses pendataan adalah penetapan Nilai Jual Objek Pajak. Dalam proses
penetapan NJOP, peranan aparat pemerintah daerah Kota X terlihat cukup signifikan, hal ini
disebabkan karena mereka dianggap lebih memahami perkembangan nilai jual tanah setempat
yang dapat dijadikan acuan untuk menetapkan NJOP suatu bidang tanah. Sebagai panduan,
pemerintah pusat telah mengeluarkan pedoman untuk menetapkan NJOP. Panduan ini berupa
pengklasifikasian penggolongan dan ketentuan nilai jual permukanan bumi (tanah) dan nilai jual
bangunan. Kantor Pelayanan Pajak dengan bantuan jajaran pemerintah daerah Kota X membagi
habis wilayah Kota X ke dalam beragam golongan nilai jual permukanan bumi (tanah) dan nilai
jual bangunan. Setelah proses pembagian ini, maka KPP akan memiliki estimasi perolehan PBB
dari wilayah Kota X.

Penerbitan surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) dilakukan oleh KPP setelah melalui
proses penetapan NJOP. Surat ini selanjutnya diserahkan oleh KPP kepada pemerintah daerah
untuk kemudian melalui jajarannya disampaikan secara berjenjang hingga ke wajib pajak.
Peranan jajaran pemerintah daerah Kota X sangat besar dalam proses penyampaian SPPT PBB
ini.

Seringkali penetapan pajak terhutang mengalami penetapan NJOP oleh aparat KPP setempat.
Seorang wajib pajak dapat saja melakukan upaya banding atau mengajukan keberatan atas
penetapan NJOP yang diterimanya. Upaya pengajuan keberatan ini dapat dilakukan setelah wajib
pajak tersebut memperoleh SPPT PBB yang diterbitkan oleh KPP namun disampaikan kepada
wajib pajak melalui bantuan jajaran pemerintah daerah setempat.

Untuk pembayaran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, peranan notaris dan pejabat
pembuat akte tanah sangat signifikan. Seseorang/pihak tertentu yang baru memperoleh hak atas
tanah dan bangunan dapat secara langsung membayar BPHTB kepada notaris dan pejabat
pembuat akte tanah untuk selanjutnya disetorkan kepada negara melalui bank persepsi. Besaran
nilai BPHTB yang harus dibayar sangat tergantung nilai transaksi dan penetapan besaran yang
dilakukan oleh notaris dan pejabat pembuat akte tanah berdasarkan NJOP dari bidang tanah yang
dialihkan haknya.

8
Achmad Lutfi, 2010, ”Pendaerahan PBB dan BPHTB dalam Kerangka Perluasan Desentralisasi Fiskal di Indonesia : Studi Pemungutan Pajak Bumi dan
Bangunan serta BPHTB di Kota X, Provinsi Z”, Makalah, Disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara III (KAN III) 2010, diselenggarakan oleh Jurusan
Administrasi Negara, Universitas Padjajaran, Tanggal 06 – 08 Juli 2010, Jatinangor, Bandung, Jawa Barat.

Peranan jajaran pemerintah daerah Kota X sangat signifikan mulai dari proses penyampaian
SPPT PBB kepada wajib pajak sampai dilakukannya proses pembayaran PBB terhutang oleh
Wajib Pajak. Melalui jajarannya yang berjenjang secara hierarkis mulai dari wilayah kota hingga
kelurahan, bahkan melalui perangkat Rukun Warga dan Rukun Tetangga, memiliki penetrasi
yang besar untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat dalam proses penyampaian SPPT
PBB. Keberhasilan proses penyampaian SPT ini turut menentukan tingkat keberhasilan
pencapaian target penerimaan PBB.

Dalam proses penerimaan pembayaran PBB terhutang, pemerintah daerah juga memiliki peranan
penting. Melalui jejaring pemerintahan daerah yang ada mulai dari pemerintah kota hingga
tingkat pemerintahan yang paling bawah, jajaran pemerintah secara aktif maupun pasif
memainkan peranannya sebagai penerima setoran pajak terhutang. Secara operasional, jajaran
pemerintah terbawah dapat melakukan proses penagihan PPB terhutang kepada setiap wajib
pajak. Melalui koordiasi antar jenjang pemerintahan yang ada secara hierarkis, aparat pemerintah
daerah dapat memastikan kepatuhan seorang wajib pajak untuk dapat membayar kewajiban PBB
terhutangnya.

Pendataan dan pemutakhiran data merupakan salah satu hambatan dalam pemungutan PBB dan
BPHTB. Proses ini merupakan kunci utama untuk menentukan nilai jual objek pajak. Hambatan
ini terutama terkait dengan kemampuan KPP untuk melakukan data ulang dalam rangka
memutakhiran data dengan waktu dan dana yang tersedia.
Memang ada juga di sini berkaitan dengan PBB khusus pendataan itu,
permasalahan yang ada di KPP Pratama itu kaitannya dengan pendataan
tersebut, dalam setahun mereka rata-rata antara 20 kelurahan, tahun ini saja 21
kelurahan, kita 151 kelurahan, kalau misalnya semua, kita kan 7 tahun, 7 tahun
kan sudah berjalan. 13
Melihat lambatnya proses pemutakhiran data, terbuka kemungkinan untuk lambatnya
penyesuaian antara nilai pasar (nilai transaksi) dengan NJOP sebagai dasar pengenaan PBB dan
BPHTB. Jika proses ini lambat, tentunya perolehan pajak dari kedua pungutan ini tidak optimal
serta mempengaruhi penerimaan daerah.

Penerbitan SPPT ganda juga menjadi masalah dalam proses pemungutan PBB di Kota X.
Penerbitan SPPT ganda ini dapat menimbulkan ketidakpastian dan memberikan beban ganda,
baik bagi aparat pemungut pajak serta warga masyarakat sebagai wajib pajak.
Sulit untuk menentukan itu, kenapa, karena sampai saat ini masih terjadi SPPT
double yang pertama, yang kedua saya terus terang nilai Rp. 100.000,-, mungkin
tidak megurangi ketetapan, harusnya mengurangi kan?14

Banyak penyebab yang memicu munculnya SPPT ganda, seperti masalah administrasi dan teknis
lainnya sebagaimana dikemukakan oleh nara sumber dari aparat pemerintah data dibawah ini :
Dari induk kebanyakan, yang 100 hektar misalnya, di-split, tapi ada juga karena
yang nol, yang salah, ada juga human-error. Yang pake nama orang lain, ya itu
human error juga. Ada juga yang berubah-ubah itu.15
13
Wawancara dengan Informan A.
14
Wawancara dengan Informan B.
15
Wawancara dengan Informan B.
9
Achmad Lutfi, 2010, ”Pendaerahan PBB dan BPHTB dalam Kerangka Perluasan Desentralisasi Fiskal di Indonesia : Studi Pemungutan Pajak Bumi dan
Bangunan serta BPHTB di Kota X, Provinsi Z”, Makalah, Disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara III (KAN III) 2010, diselenggarakan oleh Jurusan
Administrasi Negara, Universitas Padjajaran, Tanggal 06 – 08 Juli 2010, Jatinangor, Bandung, Jawa Barat.

Dilihat dari kutipan tersebut diatas, terlihat bahwa masalah pemutakhiran data juga terkait
dengan masalah munculnya SPPT PBB ganda. Untuk menjamin kepastian hukum dan
memberikan kepastian bagi masyarakat serta tentunya mengoptimalkan penerimaan
pajak, sudah sepatutnyalah aparat pemungut pajak memastikan bahwa SPPT ganda ini
tidak terjadi lagi.

Sebelum munculnya wacana men-daerah-kan sebagian sektor yang dipungut sebagai objek PBB
dan BPHTB, kedua jenis pungutan ini dalah pajak pusat. Di seluruh wilayah tanah air, kedua
jenis pungutan diterapkan.
PBB sebenarnya kan penerimaannya kecil dibandingkan dengan pajak lain, tapi
ini kan PBB untuk merekatkan bangsa gitu, siapa saja pasti punya tanah kan.
Kalau daerah kaya mungkin senang, tapi kalau daerah miskin mungkin beban, dia
kan ada biaya cetak, biaya apa, terus perangkat, itu kan besar, ngga seimbang.16

Karena diterapkan di seluruh wilayah Indonesia, PBB dan BPHTB dapat dilihat sebagai salah
satu upaya untuk merekatkan bangsa yang besar ini.

Walaupun dipungut sebagai pajak pusat, dimana terdapat intervensi instansi pusat (dalam hal ini
Direktorat Jendral Pajak, Departemen Keuangan) yang sangat besar, hasil penerimaan pajak ini
dibagihasilkan antara pemerintah pusat dengan daerah. Mekanisme ini secara jelas terlihat dari
beragam peraturan perundang-undangan yang mengatur kedua jenis pungutan ini. Bahkan secara
praktek, seluruh penerimaan dari kedua pungutan ini dibagi habis antara pemerintah daerah
provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota.

Ketika muncul wacana untuk mendaerahkan sebagian pemungutan PPB serta BPHTB untuk
selanjutnya menjadi pajak daerah, muncullah keraguan akan hal ini. Keraguan ini muncul dari
aparat pemerintah pusat yang selama ini terkait dengan penetapan NJOP.
Kalau Pemda diberikan semua, saya gimana gitu, kalau Pemda betul-betul
diberikan, kan selama ini NJOP kan kita yang menetapkan semua, takutnya nanti
kalau gara-gara kaya, ngga pakai mikir, sudah semaunya saja menetapkan NJOP-
nya, untuk mengejar PAD-nya tetapkan tinggi-tinggi NJOP-nya. Kalau selama ini
kita kan ada daerah perbatasan, kita selalu adakan rapat antar KPP untuk tetapkan
daerah perbatasan kita, kita lihat misalnya di pinggir jalan ini saya tetapkan NJOP
sekian, kamu berapa, kita harus sama-sama tahu, masa masih sejalan beda NJOP,
jadi itu contoh. Tapi ngga tahu nanti UU-nya mengatur ngga, apa kita masih
diizinkan menetapkan NJOP, asal jangan meresahkan masyarakat. Kan yang
bahayanya kalau itu di daerah perbatasan.17
Oh begitu ya, kita yang paling karena takut NJOP itu. Walaupun untuk NJOP itu
kan kita minta mengumpulkan data dari transaksi dari apa, kita kan lihat laporan
notaris18.

Penetapan NJOP dapat dilihat sebagai titik sentral dari pemungutan PBB dan BPHTB. Besaran
NJOP sangat menentukan beban warga masyarakat dalam membayar PBB serta BPHTB.
16
Wawancara dengan Informan C.
17
Wawancara dengan Informan C.
18
Wawancara dengan Informan C.
10
Achmad Lutfi, 2010, ”Pendaerahan PBB dan BPHTB dalam Kerangka Perluasan Desentralisasi Fiskal di Indonesia : Studi Pemungutan Pajak Bumi dan
Bangunan serta BPHTB di Kota X, Provinsi Z”, Makalah, Disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara III (KAN III) 2010, diselenggarakan oleh Jurusan
Administrasi Negara, Universitas Padjajaran, Tanggal 06 – 08 Juli 2010, Jatinangor, Bandung, Jawa Barat.

Pertanyaan besar muncul ketika aparat pemerintah pusat yang selama ini menetapkan NJOP
melihat kemampuan pemerintah daerah untuk menetapkan NJOP PBB dan BPHTB di daerahnya
ketika wacana itu menjadi kenyataan.

Jajaran aparat Pemerintah Daerah Kota X menyambut gembira rencana pengalihan status pajak
bumi dan bangunan sektor pedesaan dan sektor perkotaan serta BPHTB menjadi pajak daerah.
Mereka melihat kedua sumber pendapatan ini memiliki potensi yang besar dalam menyumbang
penerimaan daerah. Hal ini terlihat dari tanggapan yang terlontar dari hasil wawancara berikut ini
:
Bagi saya sendiri barangkali dengan pelimpahan PBB dan BPHTB ya kita
menyambut baik, namun barangkali daerah dan pemerintah pusat mengetahui
kekurangan daerah. Terutama bicara penanganannya nanti, karena kita harus
menunjang P3D-nya personil, barangkali apakah nantinya orang pajak
ditempatkan di daerah, atau ditangani langsung oleh daerah, jadi itu juga kalau
masih di bawah dinas pendapatan, apakah ini merupakan bidang ataupun kantor
tersendiri.19
Walaupun menyambut gembira wacana tersebut, tentu ada juga harapan mereka atas rencana
pengalihan sebagian pemungutan PBB dan BPHTB menjadi pajak daerah. Mereka sadar bahwa
pengalihan tersebut membawa konsekuensi bagi perlunya penyiapan personil (sumber daya
manusia), peralatan, dan perlengkapan.

Pemda melihat salah satu masalah dalam pengalihan pemungutan PBB ini adalah masalah
pembiayaan. Tidak dapat dipungkiri, walaupun PBB dan BPHTB dapat memberikan penerimaan
bagi daerah, pembiayaan untuk memungut kedua jenis penerimaan tersebut (khususnya PBB)
cukup besar.
Yang berat bagi kami barangkali di pembiayaannya, namun dari segi biaya
barangkali nanti kita ada dana bagi hasil, dari dana bagi hasil ini ya kita
alokasikan untuk back up PBB menjadi pajak daerah tentunya dengan
persetujuan dewan.20
Ya karena kan kalau sudah menjadi pajak daerah mungkin juga ke daerah, di situ
kan kita punya anggaran-anggaran untuk menghadapi PBB menjadi pajak
daerah, biar bisa lebih siap saja. Memang yang diperlukan itu dari pencapaian,
perform-nya juga kita ngga busa lepas, kemudian dari anggaran juga, memang
besar, cuma ya mau tidak mau harus. Kalau menjadi pajak daerah mau tidak
mau ya besok harus siap di anggaran.21
Tentunya pemerintah daerah harus mengantisipasi hal ini. Demi penerimaan yang cukup
menjanjikan, pemerintah daerah harus menyiapkan sejumlah dana dalam rangka
menyelenggarakan kewenangan ini.

Kesiapan dan kemampuan jajaran pemerintah daerah dalam proses penetapan NJOP diuji.
Ketidaksiapan dan ketidakmampuan jajaran pemerintah daerah dalam menetapkan NJOP
turut menentukan keberhasilan penarikan PBB dan BPHTB. Jajaran pemerintah daerah

19
Wawancara dengan Informan B.
20
Wawancara dengan Informan B.
21
Wawancara dengan Informan D.
11
Achmad Lutfi, 2010, ”Pendaerahan PBB dan BPHTB dalam Kerangka Perluasan Desentralisasi Fiskal di Indonesia : Studi Pemungutan Pajak Bumi dan
Bangunan serta BPHTB di Kota X, Provinsi Z”, Makalah, Disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara III (KAN III) 2010, diselenggarakan oleh Jurusan
Administrasi Negara, Universitas Padjajaran, Tanggal 06 – 08 Juli 2010, Jatinangor, Bandung, Jawa Barat.

harus memiliki acuan yang tepat dan terukur agar mereka siap dan mampu menetapkan
NJOP dengan baik.
Kita tetap harus mempunyai acuan dalam menetapkan ini harus ada payung
hukumnya, apakah itu dengan menggunakan sismiop atau apa, untuk menetapkan
penetapan NJOP suatu wilayah. Untuk yang sekarang saja banyak yang protes
kepada kami, bangunan tahun 30-40 dengan yang sekarang harganya hampir
sama. Sedangkan di masyarakat menanyakan kalau bangunan kenapa tidak ada
nilai susut, kendaraan ada nilai susut 5%. Apakah karena itu di daerah Dago,
NJOP-nya tinggi. Karena katanya untuk itu disesuaikan dengan harga material,
dan lain sebagainya, termasuk juga upah tukang, kondisi bangunan yang lama
dengan yang baru kan berbeda, itu yang sampai hari ini kita mesti penuhi di
lapangan22.
Keberadaan acuan ini sangat penting untuk menjamin kepastian hukum dalam proses
pemungutan PBB dan BPHTB oleh pemerintah daerah. Ketiadaan acuan dalam proses penetapan
NJOP dapat menimbulkan kesan babhwa daerah belum siap dan belum mampu untuk menerima
pengalihan kewenangan untuk memungut dan mengelola sepenuhnya PBB sektor pedesaan dan
perkotaan serta BPHTB.

Kesiapan sumber daya manusia jajaran pemerintah daerah selaku pengelola baru dari PBB sektor
pedesaan dan perkotaan serta BPHTB juga perlu mendapat perhatian serius. Agar penerimaan
kedua jenis penerimaan ini optimal, tentunya harus dipersiapkan sumber daya manusia yang
baik, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Kembali lagi kalau memang SDM-nya yang diserahin ke Pemda itu basic-nya
sesuai ya, kadang-kadang kebanyaksn kan gini misalnya di Dispenda atau
Kasubdit penagihannya dari guru, jadinya kebanyakan mereka sendiri begitu
ditaruh di bagiannya itu jadi harus belajar dulu kan. Ya saya kan pindahan dari
daerah ke daerah itu kebanyakan begitu, artinya Kasubdit sendiri juga belajar. Ya
4 tahun tadi ya mungkin-mungkin saja, artinya kembali lagi juga ke faktor
pengawasannya, kalau memang diambil dari sana langsung, karena memang
pegawai yang tidak kompeten kan ngga bisa langsung gitu ya23.

Keberhasilan pemerintah daerah dalam mengelola PBB sektor pedesaan dan perkotaan serta
BPHTB tidak terlepas dari kemampuan sumber daya manusia yang dimilikinya. Jika pemerintah
daerah ingin memperoleh penerimaan yang maksimal, maka pemerintah daerah harus
memperhatikan dengan seksama masalah sumber daya manusia ini. Kecukupan jumlah
(kuantitas) akan menjamin kemudahan warga masyarakat untuk mengakses layanan pembayaran
pajak. Kecukupan kualitas akan menjamin profesionalitas aparat dalam melayani warga
masyarakat dalam membayar pajak.

Salah satu potensi masalah yang krusial adalah seringnya terjadi pemalsuan oleh pemerintah
daerah Kota X. Aparat pusat yang selama ini melakukan pemungutan PBB sektor pedesaan dan
perkotaan serta BPHTB mensinyalir seringnya terjadi pemalsuan dalam pemungutan kedua
jennis penerimaan ini. Hal ini dapat dilihat dari salah seorang aparat pusat yang bekerja di kantor
pelayanan pajak di Kota X.
22
Wawancara dengan Informan B.
23
Wawancara dengan Informan E.
12
Achmad Lutfi, 2010, ”Pendaerahan PBB dan BPHTB dalam Kerangka Perluasan Desentralisasi Fiskal di Indonesia : Studi Pemungutan Pajak Bumi dan
Bangunan serta BPHTB di Kota X, Provinsi Z”, Makalah, Disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara III (KAN III) 2010, diselenggarakan oleh Jurusan
Administrasi Negara, Universitas Padjajaran, Tanggal 06 – 08 Juli 2010, Jatinangor, Bandung, Jawa Barat.

Mungkin mekanismenya perlu disesuaikan, karena Kota X ini terkenal ”kreatif”,


banyak sekali pemalsuan. .......... Makanya ini perlu sekali kontrol yang kuat. Tadi
seperti saya sampaikan mungkin teknis yang perlu dikontrol, tapi misalnya
administrasi itu dengan aplikasi online, itu kan kebenaran pembayaran kan ngga
mungkin ngga sesuai dengan sistem aplikasi, tapi kalau teknis tadi perlu untuk
dikontrol24.
Melihat kenyataan ini, perlu kiranya dilakukan pengawasan yang sangat ketat. Mekanisme
pengawasan yang baik perlu kiranya dibuat sehingga upaya-upaya pemalsuan ini dapat
dihilangkan. Jika upaya pemalsuan ini semakin marak, bukan tidak mungkin hal ini akan
menimbulkan rasatidak percaya dari wajib pajak yang berujung pada semakin minimnya
penerimaan dari kedua penerimaan ini akibat wajib pajak yang mangkir dalam membayar
kewajibannya.

Hal yang paling penting dipersiapkan dalam rangka mempersipkan rencana pengalihan sekaligus
menjamin lancarnya rencana ini adalah ketersediaan payung hukum. Pajak sebagai suatu bentuk
pembebanan kepada warga masyarakat sangat memerlukan aturan pelaksana yang jelas. Salah
seorang pejabat di Pemerintah Daerah Kota X melihat hal ini sangat penting.
Itu perlu ada payung hukum dari pusat. Tapi kan ada Perda, Peraturan
Daerah. ...... Iya, tapi dari pusat payung hukumnya jelas kan, tapi ini kan
pelimpahan dari pusat ke daerah, jadi harus ada peraturan perundang-
undangan, yang baru juga apa, yang pengganti dan itu kita juga dibuatkan
Perda-nya. Jadi Perda nanti untuk penetapan dan sebagainya, kan itu dibahas di
tim, nanti dibahas di paripurna di daerah, sebagai wakil rakyat, kalupun kita
salah menetapkan ini pembahasan sudah dengan dewan, yang walaupun tidak
ada yangmewakili tapi sudah hasil pembahasan.

Payung hukum dan pembebanan kepada masyarakat (penarikan pajak) adalah satu kepng mata
uang yang saling bersisian. Ketika ada wacana tentang pengalihan kewenangan untuk memungut
PBB sektor pedesaan dan perkotaan serta BPHTB hal mengenai payung hukum sudah
dipersiapkan, hal ini jelas terlihat dalam rancangan undang-undang yang mengatur pajak daerah
dan retribusi daerah. Jika wacana ini menjadi kenyataan, maka pemerintah, baik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah, tentunya harus menyusun serangkaian peraturan perundang-
undangan, baik di tataran nasional maupun ditataran lokal, guna menjamin kelancaran
pengalihan kewenangan yang baru ini.

Setelah landasan hukum, tentunya perlu juga dipikirkan organisasi yang akan menjalankan
kewenangan yang baru ini. Untuk mengatasi masalah dalam proses pemungutan pajak daerah
yang baru ini, secara organisasional Pemerintah Daerah Kota X telah mencoba mempersiapkan
perangkat organisasinya.
Kita sudah persiapkan walaupun belum diberi kewenangan tapi sudah
memposisikan rekan-rekan pejabat di PBB sesuai dengan wilayah kerjanya
karena di pajak daerah kita bentuk korlap, untuk pajak hotel, pajak restoran dan
sebagainya. Jadi yang tadinya satu korlap membawahi tangggung jawabnya satu
Kota X, sekarang sudah per wilayah kerjanya, jadi satu KUPP ada yang 4-5 ada
yang 4 kecamatan. Itu juga potensinya berbeda-beda, rekan-rekan PBB kita telah
24
Wawancara dengan Informan E.
13
Achmad Lutfi, 2010, ”Pendaerahan PBB dan BPHTB dalam Kerangka Perluasan Desentralisasi Fiskal di Indonesia : Studi Pemungutan Pajak Bumi dan
Bangunan serta BPHTB di Kota X, Provinsi Z”, Makalah, Disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara III (KAN III) 2010, diselenggarakan oleh Jurusan
Administrasi Negara, Universitas Padjajaran, Tanggal 06 – 08 Juli 2010, Jatinangor, Bandung, Jawa Barat.

memposisikan, karena 2010 kita harus sudah jalan itu pajak daerah. Nah rekan-
rekan saya yang koordinator di wilayah, karena ada 5 pratama kita membagi
lagi, mengikuti yang di atas, dari satu kantor menjadi 5, ya akhirnya yang
tadinya koordinator kecamatan kita bentuk juga koorwil, wilayah kerja KPP
Pratama di bawahnya ada koorca, koordinator kecamatan sesuai dengan wilayah
kerjanya, apakah ada 2 ataupun 3 koorca, di bawahnya juga ada petugas
lapangan dari kita ..............25
Faktor kesiapan organisasi juga menjadi faktor yang penting untuk menjadi perhatian. Tanpa
organisasi yang kuat serta tepat, bukan mustahil pelaksanaan kewenangan yang baru ini dapat
tersendat-sendat pelaksanaannya sehingga hasil yang diperoleh oleh pemerintah daerah tidak
optimal. Rancangan organisasi yang direncanakan oleh Pemerintah Daerah Kota X kiranya sudah
tepat. Jika rencana organisasional ini dapat diwujudkan, peluang optimalisasi penerimaan akan
lebih maksimal.

Proses administrasi untuk pencetakan SPPT PBB juga perlu mendapat perhatian serius. Hal ini
didasarkan bahwa data tentang wajib pajak masih berada di tangan aparat pusat yang selama ini
menjalankan tugas pengelolaan PBB.
Karena Kota X kan cukup besar kurang lebih 450.000 SPPT. Sementara kita data
base ada di KPP, itu juga ada pengesahan dari satu Kepala kantor kan, tetap di
pusat kan, jadi back up data itu penting sekali, prasarananya juga kan, IT-nya
terutama, kalau untuk pencetakan SPPT barangkali sama seperti pajak daerah,
kalau terjadi, ini tadi, kita tahapan dulu pajak daerah, pencetakan tetap di sini.
Untuk PBB juga sama, nantinya pencetakan SPPT ya sebagian dicetak di kantor
pusat, karena semua operasional di pusat kan. Tentu disentralisir di sini. PBB
juga sama nantinya, pencetakan SPPT di pusat, di kantor pusat, operasional kan
di KPP.26
Untuk menjamin kelancaran pencetakan SPPT PBB perlu kiranya diberikan waktu transisi untuk
membiasakan jajaran aparat pemerintah daerah untuk dapat dengan lancar menjalankan tugas ini.
Masa transisi ini diperlukan agar transfer knowledge dari jajaran pemerintah pusat kepada aparat
pemerintah daerah dapat berjalan dengan baik, sehingga proses pencetakan SPPT PBB ini dapat
berjalan dengan lancar.

Hal penting yang juga perlu dilakukan adalah memberikan pemahaman kepada jajaran aparat
pemerintah daerah mengenai pengalihan kewenangan ini. Pemberian pemahaman ini dapat
dilakukan dalam bentuk sosialisasi kebijakan kepada seluruh jajaran aparat pemerintah daerah.
Pemerintah Daerah Kota X telah melakukan hal ini, walaupun inti informasi yang dilakukan
adalah pemahaman tentang NJOP yang terkait dengan pemungutan PBB dan BPHTB.
Karena kebetulan kami ditahun 2008 kemarin bulan Oktober-November kami
juga melakukan bimbingan teknis, untuk lebih kepada pejabat struktural, kepada
RT, RW diberikan sosialisasi. pemahaman PBB dan BPHTB dan juga penetapan.
Kan pasti di wilayah RT, RW di pinggir jalan raya termasuk perbedaannya jauh27.

25
Wawancara dengan Informan B.
26
Wawancara dengan Informan B.
27
Wawancara dengan Informan B.
14
Achmad Lutfi, 2010, ”Pendaerahan PBB dan BPHTB dalam Kerangka Perluasan Desentralisasi Fiskal di Indonesia : Studi Pemungutan Pajak Bumi dan
Bangunan serta BPHTB di Kota X, Provinsi Z”, Makalah, Disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara III (KAN III) 2010, diselenggarakan oleh Jurusan
Administrasi Negara, Universitas Padjajaran, Tanggal 06 – 08 Juli 2010, Jatinangor, Bandung, Jawa Barat.

Sosialisasi ini merupakan salah satu langkah penting guna menjamin kelancaran pelaksanaan
kewenangan yang baru tersebut. Sosialisasi yang tepat kepada seluruh jajaran aparat pemerintah
daerah kota diharapkan dapat meninbulkan efek berikutnya yaitu kemampuan aparat pemrintah
untuk mensosialisasikan kemballi pengetahuannya kepada warga kota sebagai wajib pajak. Jika
wajib pajak memiliki pemahahaman yang baik mengenai hal ini, bukan mustahil mereka akan
menunaikan kewajibannya dalam membayar PBB serta BPHTB yang secara langsung akan
berdampak pada perolehan kedua hasil pungutan tersebut yang akan dinikmati oleh pemerintah
daerah.

Pendampingan dari KPP yang selama ini melakukan sebagian proses pemungutan PBB sektor
pedesaan dan perkotaan serta BPHTB sangat diperlukan. Dalam proses pendampingan ini
tentunya diharapkan terjadi proses transisi serta transfer knowledge dari KPP kepada aparat
pemerintah daerah yang selanjutnya secara penuh akan melakukan proses pemungutan kedua
jenis penerimaan ini.
Masih optimis, kita siap. Asal payung hukumnya apa dulu, yang nantinya di
bawah hukum ada peraturan daerah, untuk pendampingan, karena kan dari pusat
tetap data base itu dikunci oleh pusat kan28

Proses transisi yang sempurna tentunya diperlukan waktu yang cukup. Kisaran waktu antara
empat hingga lima tahun mungkin cukup untuk masa ini. Masa ini tentunya harus ditandai
dengan alih pengetahuan serta alih teknologi yang selama ini dimiliki oleh KPP mengenai proses
pemungutan PBB serta BPHTB kepada jajaran aparat pemerintah daerah. Proses transisi yang
baik serta alih pengetahuan serta alih teknologi yang tepat akan menjamin kelancaran aparat
pemerintah daerah untuk menjalankan kewenangan barunya untuk memungut PBB sektor
pedesaan serta perkotaan dan BPHTB.

Penutup

Pengalihan kewenangan ini memang suatu hal yang rumit. Namun demikian, hal ini bukan
mustahil untuk dilakukan. Persiapan yang cukup dan kesiapan aparat daerah serta masa
pendampingan yang cukup kiranya merupakan kunci keberhasilan dari proses ini. Di Daerah
Kota X, dilihat dari KPP yang dijadikan nara sumber informasi memang terlihat sejumlah
kekhawatiran. Namun kekhawatiran ini bukan berati menandakan tidak mungkinnya pajak ini
dialihkan statusnya menjadi pajak daerah. Jajaran aparat Pemerintah Daerah Kota X juga terlihat
sudah siap, meskipun mereka sadar bahwa pengalihan kewenangan ini bukanlah hal yang mudah.
Kerja sama yang baik antara aparat pusat yang selama ini melakukan pemungutan penerimaan
pajak ini dengan aparat daerah yang akan secara menyeluruh mengelola pajak ini menjadi pajak
daerah merupakan syarat mutlak untuk keberhasilan pemungutan PBB sektor pedesaan dan
sektor perkotaan serta BPHTB di Kota X.

Dari perspektif Administrasi Negara, pengalihan atau lebih tepatnya pendaerahan PBB dan
BPHTB untuk selanjutnya menjadi pajak daerah akan berdampak kepada pelaksanaan tugas dan
fungsi yang dijalankan pemerintah daerah selama ini. Pendaerahan ini akan membawa
konsekuensi kepada semakin bertambahnya beban pemerintah daerah untuk mengelola
28
Wawancara dengan Informan B.
15
Achmad Lutfi, 2010, ”Pendaerahan PBB dan BPHTB dalam Kerangka Perluasan Desentralisasi Fiskal di Indonesia : Studi Pemungutan Pajak Bumi dan
Bangunan serta BPHTB di Kota X, Provinsi Z”, Makalah, Disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara III (KAN III) 2010, diselenggarakan oleh Jurusan
Administrasi Negara, Universitas Padjajaran, Tanggal 06 – 08 Juli 2010, Jatinangor, Bandung, Jawa Barat.

kewenangannya, terutama kewenangan di bidang keuangan. Penulis bernedapat bahwa adalah


penting bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk memikirkan kapasitas
administrasi yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Pemerintah pusat harus mampu memastikan
bahwa daerah memiliki kapasitas administrasi yang cukup untuk mengelola pendaerahan PBB
dan BPHTB. Waktu yang tersisa, menjelang diimplementasikannya pendaerahan PBB dan
BPHTB pada tahun 2014 secara penuh, harus digunakan seoptimal mungkin untuk
mempersiapkan kapasitas administrasi pemerintah daerah untuk mengelola PBB dan BPHTB.

Daftar Kepustakaan

Arts, Bas & Henri Goverde. 2006. “The Governance Capacity of (new) Policy Arrangement : A
Reflexive Approach” dalam B Arts and P. Leroy (Eds.). Institutional Dynamics in
Environmental Governance. A. A. Dordrecht, The Netherland : Springer.

Arts, Bas & Jan van Tatenhove. 2006. “Political Modernisation” dalam B Arts and P. Leroy
(Eds.). Institutional Dynamics in Environmental Governance. A. A. Dordrecht, The
Netherland : Springer.

Davaodi, Hamid R.. Http;//.www.imf.org/external.Pubs/FT/irb/2001/eng/02/ indeks.htm #sum2.

Ismail, Tjip. 2005., “Implikasi Otonomi Daerah terhadap Paradigma Pajak Daerah di Indonesia”,
Ringkasan Disertasi, (tidak Dipublikasikan), Program Pascasarjana Fakultas Ilmu
Hukum, Universitas Indonesia.

Irianto, Slamet Edi. 2008. “Desentralisasi Perpajakan dalam Perspektif Demokratisasi di


Indonesia”, Ringkasan Disertasi, (tidak Dipublikasikan), Program Pascasarjana,
Universitas Gadjah Mada, 2008.

Kaho, Josef Riwu. 1995. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia: Identifikasi
Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.

Kumorotomo, Wahyudi. 2008. Desentralisasi Fiskal : Politik dan Perubahan Kebijakan 1974 –
2004. Jakarta : Kencana.

Nelissen, Nico. 2002. “The Administrative Capacity of New Types of Governance”. Public
Organization Review : A Global Journal (2) : 5-22 (2002). The Netherland : Kluwer
Academic Publishers.

http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=news.detail&id=70386 (diunduh pada tanggal 22


September 2009, Pkl. 05.45).

16

Anda mungkin juga menyukai