Anda di halaman 1dari 161

PANDUAN KURSUS

BANTUAN HIDUP
JANTUNG LANJUT
PANDUAN KURSUS
BANTUAN HIDUP JANTUNG LANJUT

Kontributor
Achyar, dkk

Editor
Radityo Prakoso, dkk

Penerbit
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
2021
PANDUAN KURSUS
BANTUAN HIDUP JANTUNG LANJUT

Kontributor
dr. Achyar, SpJP (K), FIHA
dr. Adrianus Kosasih, SpJP, FIHA
dr. Agus Harsoyo, SpJP(K), FIHA
dr. Agus Subagyo, SpJP(K), FIHA
dr. Afdallun A. Hakim, SpJP (K), FIHA
dr. Budi Bhaktijasa Dharmadjati, SpJP(K), FIHA
dr. Erika Maharani, SpJP(K) FIHA
dr. Endang Ratnaningsih, SpJP (K), FIHA
dr. Farial Indra, SpJP(K), FIHA
dr. Firman Fauzan, SpJP FIHA
dr. Liliek Murtiningsih, SpJP(K), FIHA
dr. Made Satria, SpJP FIHA
dr. Radityo Prakoso, SpJP(K), FIHA
dr. Reza Octavianus, SpJP, FIHA
dr. Rizki, SpJP, FIHA
dr. Santoso Karo - Karo SpJP(K), FIHA
dr. Samuel Sudanawijaya, SpJP(K), FIHA
dr. Tantani Sugiman, SpAn-KIC, MKes

Editor
dr. Radityo Prakoso, SpJP(K), FIHA
dr. Rizki, SpJP, FIHA
dr. Firman Fauzan, SpJP, FIHA
dr. Made Satria, SpJP, FIHA
dr. Dian Aris Priyanti
dr. Tamara Ey Firsty

ISBN
978-602-7885-93-6

Penerbit
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia

2021

ii
KATA PENGANTAR

Assalammu'alaikum Wr. Wb.

Pertama-tama kami panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang dengan rahmat-
Nya maka buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut (BHJL) dalam bahasa
Indonesia dapat diselesaikan.

Buku ini merupakan buku pedoman untuk pelatihan Advanced Cardiac Life Support
(ACLS) di seluruh Indonesia. Diharapkan bahwa buku ini dapat menjadi pedoman dan
acuan bagi peserta pelatihan ACLS serta dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Kepada seluruh tim Instruktur ACLS yang menjadi kontributor dan telah bersusah payah
menyusun buku ini, Pengurus Pusat PERKI mengucapkan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya.

Buku pedoman pelatihan ACLS ini akan terus dievaluasi dan disempurnakan sesuai
dengan perkembangan ilmu kardiologi.

Pengurus Pusat
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia

Dr. dr. Isman Firdaus, Sp.JP(K), FIHA, FAPSIC, FESC, FACC, FSCAI
Ketua Umum PP PERKI

iii
Daftar Isi

Daftar isi ............................................................................................................... iv


Bab I. Tinjauan Pelatihan ....................................................................................... 6
Bab II. Tata Laksana Jalan Napas ......................................................................... 13
Bab III. Terapi Listrik Defibrilasi, AED, Kardioversi, dan Pacu Jantung ................. 41
Bab IV. Perawatan Pasca Henti Jantung .............................................................. 51
Bab V. Bradikardia ............................................................................................... 60
Bab VI. Takikardia ................................................................................................ 65
Bab VII. Sindrom Koroner Akut (SKA) .................................................................. 81
Bab VIII. Hipotensi, Syok, dan Edema Paru Akut ............................................... 106
Bab IX. Obat-obatan yang Digunakan dalam Bantuan Hidup Jantung Lanjut .... 118
Bab X. Tim Darurat Medis ................................................................................. 134
Bab XI. Bantuan Hidup Lanjutan Pediatri .......................................................... 139

iv
DAFTAR SINGKATAN

DEO Defibrilator Eksternal Otomatis / Automatic External Defibrilator


(AED)
BHJD Bantuan Hidup Jantung Dasar
BHJL Bantuan Hidup Jantung Lanjut
CD Compact Disc
DD Diagnosis Diferensial
EKG Elektrokardiogram
ETT Endo Tracheal Tube
IMA Infark miokard akut
IKP Intervensi Koroner Perkutan/PCI (Percutaneus Coronary Intervention)
IKPP Intervensi Koroner Perkutan Primer
IO Intraosea
IV Intravenous
LBBB Left Bundle Branch Block
LMA Laryngeal Mask Airway
NSTEMI Non-ST Elevation Myocardial Infarction
OPA Oropharyngeal Airway
PJK Penyakit Jantung Koroner
PVC Premature Ventricular Complexes
PSVT Paroxysmal Supraventricular Tachycardia
RBBB Right Bundle Branch Block
RJP Resusitasi Jantung Paru
ROSC Return of Spontaneous Circulation
SKA Sindroma Koroner Akut
SL Sublingual
STEMI ST Elevation Myocardial Infarction
VT Ventricular Tachycardia
VF Ventricular Fibrillation

v
BAB I
TINJAUAN PELATIHAN

A. Pendahuluan
Kejadian mati mendadak masih merupakan penyebab kematian utama baik di negara
maju maupun negara berkembang seperti di Indonesia. Henti jantung (cardiac arrest)
bertanggung jawab terhadap 60% angka kematian penderita dewasa yang mengalami
penyakit jantung koroner (PJK). Di Eropa diperkirakan terdapat 700.000 kasus henti
jantung setiap tahunnya. Berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
Indonesia tahun 2007 yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia
tahun 2008 di Jakarta, prevalensi nasional penyakit jantung adalah 7,2% (berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan dan gejala). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) tahun 2018, hanya disebutkan prevalensi nasional penyakit jantung semua
umur sebesar 1,5% dan meningkat seiring bertambahnya usia, namun angka kejadian
henti jantung mendadak di Indonesia belum didapatkan.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada sekitar 40% pasien sindroma koroner
akut (SKA) dapat terjadi irama fibrilasi ventrikel (ventricular fibrillation/VF), suatu irama
yang menyebabkan henti jantung mendadak (sudden cardiac death/SCD). Kebanyakan
pasien mengalami takikardia ventrikel (ventricular tachycardia/VT) sebelum akhirnya
berubah menjadi VF, dan pada saat pasien akhirnya direkam irama jantungnya, irama
jantung sudah mengalami perburukan lagi menjadi asistol. Terapi optimal untuk
mengatasi VF adalah resusitasi jantung paru (RJP) dan defibrilasi elektrik.
Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut (BHJL) dirancang bagi para tenaga kesehatan
yang berperan langsung dalam resusitasi pasien, baik di dalam maupun di luar rumah
sakit. Pada pelatihan ini, anda diharapkan mampu meningkatkan keterampilan dalam
penanganan pasien henti jantung dan penanganan keadaan sebelum henti jantung.
Pelatihan menggunakan metode partisipasi aktif melalui serangkaian simulasi kasus
kardiopulmoner. Simulasi ini dirancang untuk memperkuat konsep-konsep penting:
• Identifikasi dan penanganan kondisi medis pada pasien yang mengalami risiko
terjadinya henti jantung
• Survei Primer Bantuan Hidup Jantung Dasar (BHJD)
• Survei Sekunder Bantuan Hidup Jantung Lanjut (BHJL)

6
• Algoritma BHJL
• Dinamika tim resusitasi yang efektif
Kursus BHJL dirancang sedemikian rupa dengan menekankan pentingnya tindakan-
tindakan berkelanjutan yang saling terkait satu sama lain agar memperoleh hasil yang
maksimal untuk menyelamatkan hidup pasien. Tindakan yang berkesinambungan ini
disebut dengan rantai kelangsungan hidup (the chain of survival).
Rantai pertama adalah mendeteksi segera kondisi korban dan meminta pertolongan
(early access), rantai kedua adalah resusitasi jantung paru (RJP) segera (early
cardiopulmonary resuscitation), rantai ketiga adalah defibrilasi segera (early
defibrillation), rantai keempat adalah tindakan bantuan hidup jantung lanjut segera
(early advanced cardivascular life support) dan rantai kelima adalah perawatan pasca
henti jantung (post cardiac-arrest care).
Jika hal tersebut di atas adalah urutan tindakan pada orang dewasa, pada anak-anak
ada perbedaan sedikit yakni dimulai dengan RJP segera sebelum meminta bantuan.

B. Tujuan Pelatihan
Ketika lulus pelatihan ini, anda diharapkan mampu:
• Menunjukkan kemahiran dalam melakukan tindakan BHJD, termasuk
mendahulukan kompresi dada dan mengintegrasikan penggunaan Automated
External Defibrillator (AED)/Defibrilator Eksternal Otomatis (DEO).
• Mengelola henti jantung hingga kembalinya sirkulasi spontan (return of
spontaneous circulation (ROSC)), penghentian resusitasi, atau melakukan rujukan.
• Mengenali dan melakukan pengelolaan dini terhadap kondisi sebelum henti
jantung yang dapat menyebabkan terjadinya henti jantung atau mempersulit
resusitasi.
• Mengidentifikasi dan mempercepat penanganan pasien yang menderita sindroma
koroner akut.
• Mendemonstrasikan komunikasi yang efektif sebagai seorang anggota atau
pemimpin tim resusitasi.

C. Gambaran Pelatihan
Untuk membantu peserta mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas, maka disiapkan

7
pembelajaran melalui praktek, yang meliputi:
• Simulasi skenario klinis
• Diskusi dan bermain peran
• Praktik perilaku tim resusitasi
Pada akhir pelatihan, anda akan menjalani suatu ujian Megacode untuk memvalidasi
pencapaian anda akan tujuan pelatihan ini. Suatu simulasi skenario henti jantung akan
menguji hal-hal berikut ini:
• Pengetahuan mengenai materi kasus inti dan keterampilan
• Pengetahuan mengenai algoritma
• Pemahaman mengenai interpretasi aritmia
• Penggunaan terapi obat BHJL yang tepat
• Kinerja sebagai pemimpin tim yang efektif

D. Prasyarat dan Persiapan Pelatihan


Pelatihan BHJL / ACLS ini hanya diperuntukkan bagi tenaga kesehatan yang berperan
langsung dalam resusitasi pasien, baik di dalam maupun di luar rumah sakit. Peserta yang
mengikuti pelatihan harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar tentang hal-
hal berikut:
• Keterampilan BHJD
• Interpretasi irama EKG untuk irama inti BHJL
• Obat dan pengetahuan farmakologi dasar BHJL
• Aplikasi praktis irama dan obat-obatan BHJL
• Konsep resusitasi tim yang efektif

Keterampilan BHJD
Keterampilan BHJD yang kuat merupakan dasar dari Bantuan Hidup Jantung Lanjut.
Anda harus lulus evaluasi RJP/DEO dengan 1 penolong untuk menyelesaikan pelatihan
BHJL dengan sukses.

Interpretasi Irama EKG untuk Irama Inti BHJL


Anda perlu mengetahui irama yang tampak pada monitor ataupun yang tercetak
pada kertas yang berhubungan dengan algoritma dasar henti jantung atau keadaan

8
menjelang henti jantung. Irama-irama ini adalah:
• Irama sinus
• Atrial Fibrillation dan Atrial flutter
• Bradikardia
• Takikardia
• Blok atrioventrikular
• Asistol
• Pulseless electrical activity (PEA)
• Ventricular tachycardia (VT)
• Ventricular fibrillation (VF)

Selama pelatihan Anda harus dapat mengidentifikasi dan menginterpretasikan irama,


baik pada saat praktik maupun pada saat ujian Megacode.

Obat dan Pengetahuan Farmakologi Dasar BHJL


Anda harus mengetahui farmakologi yang digunakan dalam algoritma BHJL. Dalam
pelatihan ini anda diharapkan mengetahui obat dan dosis yang digunakan dalam
algoritma BHJL. Anda juga harus mengetahui kapan menggunakan obat yang mana
berdasarkan situasi klinis yang dihadapi.

Aplikasi Praktis Irama Jantung dan Obat-Obatan BHJL


Anda harus mengetahui indikasi, kontraindikasi, dosis, dan cara pemberian semua
jenis obat-obat untuk penanganan BHJL dan bagaimana penerapannya pada kondisi
klinis dengan mempertimbangkan irama EKG pada pasien tersebut. Terutama harus
dipahami irama- irama EKG yang fatal.

Konsep Tim Resusitasi


Sepanjang pelatihan ini, kemampuan anda sebagai pemimpin tim dan anggota tim
akan dievaluasi. Hal utama yang dinilai adalah kemampuan anda untuk mengarahkan
integrasi BHJD dan BHJL yang dilakukan anggota tim.

E. Syarat-Syarat untuk Lulus Pelatihan

9
Untuk lulus pelatihan BHJL ini dan memperoleh sertifikat, anda harus:
• Lulus ujian RJP/DEO dengan 1 penolong
• Berpartisipasi, mempraktekkan, dan menyelesaikan semua topik pembelajaran
• Lulus ujian Megacode
• Lulus ujian tertulis tutup buku dengan nilai minimal 75%

10
REFERENSI
1. Hayakawa, M., Gando, S., Okamoto, H., Asai, Y., Uegaki, S., & Makise, H. (2009).
Shortening of cardiopulmonary resuscitation time before the defibrillation
worsens the outcome in out-of-hospital VF patients. The American journal of
emergency medicine, 27(4), 470-474.
2. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway, C. W.,
... & Passman, R. S. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life support:
2010 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation
and emergency cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S729-S767.
3. Ecc Committee. (2005). 2005 American Heart Association guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation,
112(24 Suppl), IV1
4. Morrison, L. J., Henry, R. M., Ku, V., Nolan, J. P., Morley, P., & Deakin, C. D. (2013).
Single-shock defibrillation success in adult cardiac arrest: a systematic review.
Resuscitation, 84(11), 1480-1486.
5. American Heart Association in collaboration with the International Liaison
Committee on Resuscitation. (2000). Guidelines 2000 for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care: an international consensus on
science. Circulation, 102.
6. Atkins JM. Emergency medical services system in acute cardiac care state of the
art. Circulation. 1986;74 (pt2):IV 4-8
7. Berg, R. A., Hemphill, R., Abella, B. S., Aufderheide, T. P., Cave, D. M., Hazinski, M.
F., ... & Swor, R. A. (2010). Part 5: adult basic life support: 2010 American Heart
Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S685-S705.
8. Kleinman ME, Brennan EE, Goldberger ZD, et al. 2015 American Heart Association
Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care; Part 5: Adult Basic Life Support and Cardiopulmonary
Resuscitation Quality. Circulation. 2015;132[suppl 2]:S414–S435.
9. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... & Sunde, K.
(2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015: section
3. Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
10. Perkins, G. D., Handley, A. J., Koster, R. W., Castrén, M., Smyth, M. A.,
11
Olasveengen, T., ... & Ristagno, G. (2015). European Resuscitation Council
Guidelines for Resuscitation 2015: Section 2. Adult basic life support and
automated external defibrillation. Resuscitation, 95, 81-99.
11. Koster, R. W., Baubin, M. A., Bossaert, L. L., Caballero, A., Cassan, P., Castrén, M.,
... & Raffay, V. (2010). European Resuscitation Council Guidelines for
Resuscitation 2010 Section 2. Adult basic life support and use of automated
external defibrillators. Resuscitation, 81(10), 1277-1292.
12. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R., Hirsch,
K. G., ... & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life Support: 2020
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.

———»»»œ«««———

12
BAB II

TATA LAKSANA JALAN NAPAS

TUJUAN PEMBELAJARAN
• Menjelaskan cara mengoptimalkan oksigenasi jaringan
• Menjelaskan terapi suplementasi oksigen
• Melakukan pengelolaan jalan napas, pembukaan dan pemeliharaan jalan napas atas
• Penggunaan alat bantu jalan napas dasar dan lanjut
• Penyedotan jalan napas yang tersumbat
• Pengelolaan sirkulasi pada hipoksia

A. Pendahuluan
Hipoksia merupakan penyebab kegawatan yang fatal. Hipoksia merupakan penyebab
awal terjadinya gangguan fungsi organ tubuh multipel yang sering berakhir menjadi gagal
fungsi organ dan berakhir dengan kematian. Oleh karena itu mengenali hipoksia lebih dini
dan segera mengelola dengan tepat merupakan langkah yang penting dalam mengelola
pasien dengan kegawatan kardiovaskular.
Hipoksia harus segera dikelola dengan cepat dan tepat, sebab beberapa organ yang
vital (otak dan jantung) sangat rentan terhadap hipoksia, yaitu akan mengalami kerusakan
yang bersifat menetap dan meninggalkan kecacatan selamanya (sequelae).
Fungsi pernapasan adalah menjamin ventilasi yang baik, sehingga O2 yang berdifusi
dari alveoli ke kapiler berlangsung baik dan difusi CO2 dari kapiler ke alveoli baik. Hasil
akhirnya adalah oksigenasi dan homeostasis CO2 baik.

B. Oksigenasi Jaringan
Secara garis besar syarat agar oksigen sampai ke sel / jaringan dan bisa digunakan
untuk metabolisme membentuk energi adalah fungsi pernapasan dan sirkulasi yang baik.
Secara rinci syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fraksi inspirasi O2 (FiO2) cukup.
2. Fungsi respirasi adekuat:
a. Jalan napas baik
b. Volume tidal cukup
13
c. Frekuensi napas cukup
d. Irama napas teratur
e. Keadaan alveoli/ paru baik
3. Pembawa O2 baik:
a. Kadar Hb cukup
b. Sifat Hb baik
4. Fungsi kardiovaskuler/sirkulasi baik:
a. Volume cairan darah cukup
b. Kontraktilitas otot jantung baik
c. Pembuluh darah dalam keadaan baik
d. Irama & frekuensi denyut jantung baik
e. Mikrosirkulasi baik
5. Sel/ jaringan tubuh masih baik

Apabila salah satu dari syarat-syarat tersebut diatas mengalami gangguan maka akan
terjadi hipoksia. Tanda-tanda dini hipoksia secara klinis antara lain:
1. Pasien gelisah
2. Tampak pucat pasi
3. Pernapasan mengalami “distress” yang ditandai :
a. Cepat dan dangkal
b. Tak teratur
4. Denyut nadi kecil, cepat
5. Irama denyut jantung sering tidak teratur
6. Tekanan darah meningkat
7. Keringat dingin.

C. Pengelolaan Hipoksia dan Pemberian Bantuan Napas/Ventilasi


1. Pemberian Suplementasi Oksigen
Tujuan pemberian O2 ialah agar FiO2 meningkat, sehingga tekanan parsial O2 yang
dihirup meningkat maka tekanan parsial O2 di alveoli (PAO2) juga akan meningkat, bila
jalan napas dan ventilasi baik. Kalau PAO2 meningkat, yang berdifusi ke darah akan
lebih banyak sehingga kandungan O2 dalam darah meningkat.
Bila fungsi sirkulasi (mengedarkan O2 keseluruh tubuh sampai ke sel / jaringan)

14
optimal maka hipoksia dapat teratasi. Pada kegawatan kardiopulmoner, pemberian
oksigen harus dilakukan secepatnya jika saturasi kurang dari 94%.
Pemberian oksigen dapat dilakukan dengan memakai berbagai alat. Keefektifan
masing-masing alat ditentukan oleh kemampuan alat untuk menghantarkan oksigen
dengan kecepatan aliran yang cukup tinggi untuk mengimbangi kecepatan aliran
inspirasi pernapasan spontan pasien. Oleh karena itu, pemberian oksigen yang
diinspirasi setinggi 100% (Fraksi oksigen inspirasi = FiO2:1,0) dianjurkan untuk
kegawatan kardiopulmoner. Hal ini ditujukan untuk mengoptimalkan tekanan oksigen
inspirasi yang akan memaksimalkan saturasi oksigen dalam darah arteri dan akhirnya
memaksimalkan pengangkutan oksigen sistemik (Oxygen Delivery DO2).
Pengangkutan oksigen yang dibawa dalam tubuh ke jaringan dinyatakan dalam DO2
nilainya dipengaruhi oleh kadar hemoglobin, saturasi oksigen dalam arteri (SaO2) dan
curah jantung.

Alat-Alat Pemberian Oksigen


Agar dapat memberikan oksigen kepada pasien diperlukan peralatan dasar yaitu:
• Sumber oksigen
• Alat-alat suplementasi oksigen: kanul nasal, berbagai macam sungkup muka

Sumber Oksigen
Yang dimaksud sumber oksigen adalah tabung oksigen atau unit yang tertempel
pada dinding (oksigen sentral). Pada oksigen sentral, sumber oksigen dikendalikan
dari ruang sentral oksigen yang biasanya terdapat di rumah sakit besar. Sumber
oksigen ini disambungkan ke alat suplementasi agar oksigen dapat dialirkan ke pasien
sesuai kebutuhan.
Kelengkapan dari sumber oksigen adalah:
• Pembuka katup untuk membuka tabung, pengukur tekanan, dan aliran gas

(pressure gauge dan flowmeter).


• Pipa penghubung (tubing connector) ke alat suplementasi oksigen.

15
Gambar 2.1. Sumber Oksigen dengan pressure gauge yang tersambung ke sungkup
muka dengan reservoir O2

Alat-alat suplementasi oksigen


Alat-alat suplementasi oksigen (lihat tabel 1) dapat digolongkan menjadi sistem
oksigen rendah atau sistem oksigen tinggi (dapat memberikan oksigen sampai 100%)
dan sistem aliran rendah atau sistem aliran tinggi, yang artinya alat dapat
mengalirkan oksigen dengan fraksi oksigen inspirasi yang diatur maksimal (100%).
a. Kanul nasal
Melalui kanul nasal, oksigen (100%) yang dialirkan dapat diatur dengan
kecepatan aliran antara 1-5 liter per-menit. Konsentrasi oksigen yang diinspirasi
pasien atau disebut fraksi oksigen inspirasi (FiO2) tergantung dari kecepatan aliran
dan ventilasi semenit pasien, dengan demikian FiO2 tidak dapat dikendalikan. FiO2
maksimal yang dicapai dengan kanul nasal tidak lebih dari 0,40 (FiO2 =40%).
Peningkatan kecepatan aliran oksigen 1 liter per menit hanya akan meningkatkan
konsentrasi oksigen sebesar 4% (Tabel 3). Pemberian aliran yang lebih dari 5 liter
per-menit tidak akan memberikan FiO2 yang tinggi, malah berakibat mengeringkan
dan mengiritasi mukosa nasal. Oleh karena itu, kanul nasal disebut alat
suplementasi oksigen sistem oksigen-rendah, aliran-rendah. Keuntungan kanul
nasal adalah kenyamanan pasien dan aliran O2 yang terus menerus meskipun
pasien sedang makan, diukur suhu, maupun selama pemakaian pipa nasogastrik.
b. Sungkup muka sederhana
Sungkup muka sederhana atau dikenal dengan sungkup muka Hudson.
Sungkup muka ini mempunyai lubang tempat pipa saluran masuk O2 di dasarnya
dan lubang-lubang kecil disekililing sungkup muka. Oksigen dapat dialirkan
16
dengan kecepatan 6-10 liter per menit dengan FiO2 yang dicapai sekitar 0,35-0,6.
Bila kecepatan aliran oksigen kurang dari 6 liter per menit akan terjadi
penumpukan CO2 akibat terjadi dead space mekanik. Alat ini termasuk sistem
oksigen-sedang, aliran-tinggi.
c. Sungkup muka non-rebreathing
Sungkup muka ini terdiri atas sungkup muka sederhana yang dilengkapi
dengan kantong reservoir oksigen pada dasar sungkup muka dan satu katup
satu arah yang terletak pada lubang di samping sungkup dan satu lagi katup
satu arah terletak di antara kantong reservoir dan sungkup muka.
Pada saat inspirasi, katup yang terletak di bagian samping sungkup muka akan
menutup sehingga seluruh gas inspirasi berasal dari kantong reservoir, sedangkan
katup yang berada di antara kantong reservoir dan sungkup menutup sehingga
gas ekspirasi tidak masuk ke kantong resevoir tetapi dipaksa keluar melewati
lubang-lubang kecil di samping sungkup. Pada sistem ini, aliran oksigen terus
menerus akan mengisi kantong reservoir. Kecepatan aliran oksigen pada sungkup
ini sebesar 9-15 liter per-menit dapat memberikan konsentrasi oksigen sebesar
90-100%. Agar berfungsi semestinya, harus dijaga agar kantong reservoir
mengembang-mengempis, tidak kolaps.
d. Sungkup muka partial rebreathing
Sungkup muka ini terdiri dari sungkup muka sederhana dengan kantong
reservoir pada dasar sungkup. Oksigen mengalir ke kantong reservoir terus
menerus. Ketika ekspirasi, sepertiga awal gas ekspirasi masuk ke kantong reservoir
bercampur oksigen yang ada. Jadi saat inspirasi pasien menghisap kembali
sepertiga gas ekspirasinya.

Sungkup muka yang dilengkapi dengan kantong reservoir merupakan alat sistem
oksigen tinggi, aliran-tinggi. Sungkup muka dengan reservoir O2 digunakan pada:
• Sakit kritis, kesadaran masih baik, ventilasi adekuat tetapi membutuhkan
oksigen dengan konsentrasi tinggi.
• Sebelum ada indikasi intubasi trakea, seperti pada edem paru akut, asma akut,
PPOK, atau pasien tidak sadar tetapi ventilasi adekuat dengan refleks batuk
masih ada.

17
Gambar 2.2. Berbagai alat suplementasi oksigen
A. Kanul nasal: aliran rendah, oksigen rendah
B. Sungkup Venturi: aliran tinggi, oksigen bervariasi tergantung setting
1. Oksigen 100% berasal dari sumber oksigen (flowmeter)
2. Katup yang dapat diatur dengan besarnya % oksigen yang diinginkan
C. Sungkup muka aerosol: aliran sedang, oksigen bervariasi
1. Oksigen yang masuk ke nebulizer
D. Sungkup muka dengan reservoir O2: aliran tinggi, oksigen tinggi
1. Oksigen 100% masuk ke reservoir
2. dan 3. Katup satu arah yang mengatur gas/udara inspirasi dan ekspirasi
4. Katup pengaman masuknya udara
E. Sungkup muka Venturi
Sungkup muka venturi terdiri dari sungkup muka dan mixing jet. Dengan
alat ini FiO2 yang diberikan dapat dikendalikan. Oksigen yang diberikan dapat
diatur berkisar 24%, 28%, 35% dan 40% dengan kecepatan aliran 4-8 liter per
menit, dan 45-50% dengan kecepatan aliran 10-12 liter per menit.

Sungkup muka ini paling berguna pada pasien dengan penyakit paru obstruksi
kronik (PPOK) yang diketahui memerlukan sedikit hipoksia untuk memicu pusat
pernapasan, sehingga diperlukan pemberian titrasi FiO2 yang tepat untuk
memperbaiki saturasi oksigen tanpa menekan ventilasi semenit. Alat ini
termasuk sistem oksigen-terkendali, aliran-tinggi.

18
Tabel 2.1. Alat suplementasi oksigen, kecepatan aliran dan persentase oksigen yang dihantarkan
Alat Kecepatan Aliran % Oksigen
1 L/menit 21%-24%
2 L/menit 25%-28%
Kanul Nasal 3 L/menit 29%-32%
4 L/menit 33%-36%
5 L/menit 37%-40%
Sungkup Muka Sederhana 6-10 L/menit 35%- 60%
6 L/menit 60%
Sungkup Muka dengan 7 L/menit 70%
8 L/menit 80%
reservoir O2 9 L/menit 90%
10-15 L/menit 95-100%

Sungkup Muka Venturi 4-8 L/menit 24%-35%


10-15 L/menit 40%-50%

2. Pemantauan Pemberian Oksigen


Untuk memantau keefektifan pemberian oksigen dan membantu melakukan
titrasi FiO2, dapat dengan pemeriksaan invasif yaitu analisis gas darah (PaO2 dan
SaO2) dan secara non-invasif dengan alat oksimetri denyut (Pulse Oxymetry).
Oksimetri denyut akan mengukur saturasi oksigen yang berasal dari sinyal cahaya
yang ditransmisikan melalui jaringan dengan memperhitungkan sifat-sifat denyutan
aliran darah.
Prinsip oksimetri denyut berdasarkan pada absorbsi yang berdenyut antara
sumber cahaya dan detektor cahaya yaitu darah arteri; perbedaan absorbsi
gelombang cahaya merah dan infra merah oleh oksihemoglobin dan hemoglobin
tereduksi pada fraksi darah arteri yang berpulsasi di bawah alat sensor.
Light Emitting Dioda (LED) pada probe alat ini akan mentransmisikan cahaya
melalui jaringan (misalnya di ujung jari), dan intensitas cahaya yang ditransmisikan
diukur oleh detektor cahaya pada sisi lainnya. Penggunaan oksimetri denyut dapat
pula sebagai petunjuk pemilihan alat suplementasi oksigen (Tabel 2).

19
Tabel 2.2. Pemilihan Alat Suplementasi Oksigen Berdasarkan Nilai Oksimetri
Nilai oksimetri Arti Klinis Pilihan alat suplementasi
denyut Oksigen
95-100% dalam batas normal Kanul nasal O2 max 4L/menit
90-94% Hipoksia ringan-sedang Sungkup muka sederhana O2 6-
10L/menit
85-89% Hipoksia Berat Sungkup muka dengan reservoir
O2 10-15L/menit
<85% Hipoksia berat yang Ventilasi tekanan positif O2
mengancam nyawa 100%

3. Pembukaan dan Pemeliharaan Jalan Napas Atas


Pada pasien yang tidak sadar, penyebab tersering sumbatan jalan napas yang
terjadi adalah akibat hilangnya tonus otot-otot tenggorokan. Dalam kasus ini, lidah
jatuh ke belakang dan menyumbat jalan napas pada bagian farings. Tanda2 bahwa
jalan nafas tidak paten antara lain : nafas berbunyi, ada tarikan otot otot leher, ada
cekungan di “supra sternal notch”, cekungan di daerah iga dan bawah diafragma.

Pembukaan jalan napas secara manual


Teknik dasar pembukaan jalan napas atas adalah dengan mengangkat kepala dan
mendorong rahang bawah ke depan atau disebut angkat kepala-angkat dagu (head
tilt-chin lift). Teknik dasar ini akan efektif bila obstruksi jalan napas disebabkan oleh
lidah atau relaksasi otot pada jalan napas atas.
Bila pasien yang menderita trauma diduga mengalami cedera leher, dilakukan
penarikan rahang tanpa mendorong kepala. Karena mengelola jalan napas yang
terbuka dan memberikan ventilasi merupakan prioritas, maka gunakan dorong
kepala-tarik dagu bila penarikan rahang saja tidak membuka jalan napas.

20
A

B C

Gambar 2.3. A. Sumbatan jalan napas atas akibat lidah dan epiglotis, B. Maneuver
dorong kepala - tarik dagu akan mengangkat lidah, membebaskan obstruksi, C.
Menarik rahang tanpa mendorong kepala dilakukan bila pasien diduga mengalami
trauma tulang servikal.

4. Pembukaan jalan napas dengan alat bantu


Posisi jalan napas atas yang benar harus dijaga pada pasien tidak sadar yang dapat
bernafas secara spontan. Pada pasien yang tidak sadar tanpa refleks batuk atau
muntah, dapat dipasang alat bantu jalan napas sederhana.
Alat bantu jalan napas sederhana adalah:
• Alat bantu jalan napas orofaring (Oropharyngeal Airway/OPA)
• Alat bantu jalan napas nasofaring (Nasopharyngeal Airway/NPA)

4.1. Alat bantu jalan napas orofaring (OPA)


Alat bantu jalan napas ini hanya digunakan pada pasien yang tidak sadar bila
angkat kepala-angkat dagu tidak berhasil mempertahankan jalan napas atas terbuka.
Alat ini tidak boleh digunakan pada pasien sadar atau setengah sadar karena
dapat menyebabkan batuk dan muntah. Jadi pada pasien yang masih ada refleks
batuk atau muntah tidak diindikasikan untuk pemasangan OPA. Bila pasien
memiliki refleks batuk atau muntah, OPA dapat menstimulasi terjadinya muntah
dan laringospasme.

21
Tabel 2.3. Cara penggunaan alat bantu jalan napas orofaring
Langkah Tindakan
1 Bersihkan mulut dan faring dari sekresi, darah, atau muntahan
dengan menggunakan ujung penyedot faring yang kaku (Yaunker),
bila memungkinkan.
2 Pilihlah ukuran OPA yang tepat yaitu dengan menempatkan OPA di
samping wajah, dengan ujung OPA pada sudut mulut, ujung yang lain
pada sudut rahang bawah. Bila OPA diukur dan dimasukkan dengan
tepat, maka OPA akan tepat sejajar dengan pangkal glotis.

3 Masukkan OPA sedemikian sehingga ia berputar ke arah belakang


ketika memasuki mulut.
4 Ketika OPA sudah masuk rongga mulut dan mendekati dinding
posterior faring, putarlah OPA sejauh 180O ke arah posisi yang tepat.
Suatu metode alternatif adalah memasukkan OPA secara lurus ketika
menggunakan penekanan lidah atau alat yang serupa untuk menahan
lidah di dasar mulut.

Setelah pemasangan OPA, lakukan pemantauan pada pasien. Jagalah agar


kepala dan dagu tetap berada pada posisi yang tepat untuk menjaga patensi
jalan napas. Lakukan penyedotan berkala di dalam mulut dan faring
bila ada sekret, darah atau muntahan.

A B
Gambar 2.4. A. Berbagai ukuran alat bantu jalan napas orofaring (OPA),
B. Posisi OPA yang benar

22
Perhatikan hal-hal berikut ini ketika menggunakan OPA:
• Bila OPA yang dipilih terlalu besar dapat menyumbat laring dan
menyebabkan trauma pada struktur laring.
• Bila OPA terlalu kecil atau tidak dimasukkan dengan tepat dapat menekan
dasar lidah dari belakang dan menyumbat jalan napas.
• Masukkan dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya trauma jaringan
lunak pada bibir dan lidah.

4.2. Alat bantu jalan napas nasofaring (NPA)


Tidak seperti alat bantu jalan napas orofaring, alat bantu jalan napas nasofaring
dapat digunakan pada pasien yang sadar atau setengah sadar, jadi pasien yang masih
mempunyai refleks batuk dan muntah. Alat ini berbentuk pipa dari plastik yang lembut
dan tidak berbalon yang berfungsi sebagai jalan aliran udara antara lubang hidung dan
faring. Indikasi lain penggunaan NPA adalah bila ditemui kesulitan pada penggunaan
OPA seperti adanya trauma di sekitar mulut atau trismus.

Tabel 2.4. Cara penggunaan alat bantu jalan napas nasofaring


Langkah Tindakan
1 Pilihlah ukuran NPA yang tepat
• Diameter luar NPA tidak lebih besar dari lubang dalam hidung.
Beberapa tenaga kesehatan menggunakan diameter jari
kelingking pasien sebagai pedoman untuk memilih ukuran
yang tepat.
• Panjang NPA haruslah sama dengan jarak antara ujung hidung
pasien dengan cuping telinga.

2 Basahi NPA dengan pelumas yang larut dalam air atau jelly
anestetik.

23
3 Masukkan NPA melalui lubang hidung dengan arah posterior
membentuk garis tegak lurus dengan permukaan wajah. Masukkan
dengan lembut sampai dasar nasofaring.
Bila mengalami hambatan:
• Putar sedikit pipa untuk memfasilitasi pemasangan pada sudut
antara rongga hidung dan nasofaring.
• Cobalah tempatkan melalui lubang hidung yang satunya
karena pasien memiliki rongga hidung dengan ukuran yang
berbeda.

A B
Gambar 2.5. A. Berbagai ukuran alat bantu jalan nafas nasofaring (NPA),
B. Posisi NPA yang benar

Beberapa hal yang harus diperhatikan pada pemasangan NPA:


• Usahakan memasukkan NPA dengan lembut untuk menghindari terjadinya
komplikasi. NPA dapat mengiritasi mukosa atau merobek jaringan adenoid dan
menyebabkan pendarahan, dengan kemungkinan terjadinya aspirasi gumpalan
ke trakea. Penyedotan dapat dilakukan untuk mengeluarkan darah dan
sekret.
• NPA dengan ukuran yang tidak tepat dapat masuk ke dalam esofagus. Dengan
ventilasi yang aktif, seperti ventilasi kantong napas-sungkup muka, NPA dapat
menyebabkan terjadinya pemompaan lambung dan kemungkinan
hipoventilasi.
• NPA dapat menyebabkan laringospasme dan muntah, walaupun secara umum
24
NPA dapat ditoleransi oleh pasien dalam keadaan setengah sadar.
• NPA tidak boleh dipasang pada pasien yang mengalami trauma wajah karena
adanya risiko terjadinya penempatan yang salah ke dalam rongga tengkorak
melalui lapisan cribiformis yang mengalami fraktur.

4. Pemberian ventilasi manual


Bila pernapasan tidak adekuat, maka tindakan yang harus dilakukan adalah
memberikan bantuan napas (ventilasi). Target pemberian bantuan ventilasi ialah agar
O2 bisa masuk sampai ke alveoli (yang selanjutnya berdifusi ke darah) dan CO 2 keluar
dari alveoli ke udara bebas.

Ventilasi dengan kantong napas-sungkup muka (bag-mask ventilation)


Alat ventilasi kantong napas-sungkup muka terdiri dari sebuah kantong ventilasi
(selalu mengembang) yang melekat pada sebuah sungkup muka wajah dan katup
satu arah (non-rebreathing). Selain dengan sungkup muka, kantong ventilasi bisa
dihubungkan dengan alat bantu jalan napas seperti pipa endotrakea, sungkup laring,
dan pipa esofagotrakea. Peralatan ini telah menjadi suatu peralatan utama selama
beberapa dekade yang digunakan untuk ventilasi dalam keadaan darurat. Ventilasi
dengan kantong napas-sungkup muka adalah metode paling lazim yang digunakan
untuk memberikan ventilasi bertekanan positif.
Alat yang lengkap harus terdiri dari:
• Kantong napas (selalu mengembang), untuk pasien dewasa dengan volume
1600 mL.
• Sistem katup satu arah (non-rebreathing) untuk mencegah pasien menghirup
udara yang sudah dihembuskan. Katup ini sebagai saluran masuk oksigen
dengan aliran maksimal 30 liter per menit.
• Konektor dengan diameter 15/22 mm
• Reservoir oksigen
• Bahan tahan cuaca

Indikasi penggunaan alat ventilasi kantong napas-sungkup muka adalah:


• Henti napas

25
• Napas spontan tidak adekuat
• Menurunkan kerja napas dengan membantu memberikan tekanan positif pada
saat inspirasi pasien
• Hipoksia akibat ventilasi spontan yang tidak adekuat

Keberhasilan pemberian bantuan napas dengan alat ini tergantung dari:


• Jalan napas terbuka/ tidak ada sumbatan
• Tidak ada kebocoran antara sungkup muka dengan muka pasien
• Pemberian napas dengan volume tidal yang optimal dengan menekan kantong
napas dengan benar

Ventilasi buatan dengan menggunakan alat kantong napas-sungkup muka dilakukan


dengan cara:
1. Dipasang OPA bila pasien tidak mempunyai refleks batuk atau muntah, agar
jalan napas tetap terbuka.
2. Dengan tetap melakukan ekstensi kepala, ibu jari dan jari telunjuk membentuk
E-C clamp; huruf 'C' menekan pinggir sungkup muka ke wajah pasien agar tidak
ada kebocoran di antara sungkup dan wajah, sedangkan tiga jari sisanya
membentuk huruf 'E' mengangkat rahang bawah sehingga jalan napas tetap
terbuka. Tangan yang lain menekan kantong napas dengan lembut dalam waktu
lebih dari 1 detik setiap ventilasi.
3. Apabila cara diatas sulit dilakukan oleh satu orang penolong, maka dianjurkan
dilakukan oleh dua orang penolong. Satu penolong memegang sungkup dengan
2 tangan yang masing-masing membentuk huruf 'C' dengan ibu jari dan jari
telunjuk untuk menutup kebocoran diantara sungkup dan wajah, dan
membentuk huruf 'E' dengan 3 jari sisanya untuk mengangkat rahang bawah.
Penolong kedua menekan kantong napas dalam waktu lebih dari 1 detik setiap
ventilasi, sampai dada terangkat (Gambar 2.6.). Kedua penolong harus
mengamati terangkatnya dada.

26
4. Kebocoran antara kantong napas-sungkup muka tidak akan terjadi bila kantong
napas-sungkup muka dihubungkan dengan alat-alat bantu jalan napas seperti
pipa endotrakea, sungkup laring dan pipa esofagotrakea (combitube).

Gambar 2.6. Pemberian ventilasi dengan alat kantong-napas sungkup muka dengan
teknik E-C clamp untuk mengangkat rahang bawah (kiri) dan dengan 2 penolong
(kanan).

27
5. Pemberian Ventilasi Dengan Alat Bantu Jalan Napas Tingkat Lanjut
Intubasi endotrakea
Intubasi endotrakea adalah proses memasukkan pipa endotrakea ke dalam trakea
pasien. Bila pipa dimasukkan melalui mulut disebut intubasi orotrakea, bila melalui
hidung disebut intubasi nasotrakea. Intubasi di dalam trakea ini termasuk dalam tata
laksana jalan napas tingkat lanjut. Tenaga kesehatan terlatih yang boleh melakukan
intubasi endotrakea.
Kegunaan pipa endotrakea adalah:
• Memelihara jalan napas atas terbuka (paten)
• Membantu pemberian oksigen konsentrasi tinggi
• Memfasilitasi pemberian ventilasi dengan volume tidal yang tepat untuk
memelihara pengembangan paru yang adekuat
• Mencegah jalan napas dari aspirasi isi lambung atau benda padat atau cairan
dari mulut, kerongkongan atau jalan napas atas
• Mempermudah penyedotan cairan dalam trakea
• Sebagai alternatif untuk memasukkan obat (vasopresin, epinefrin dan lidokain)
pada waktu resusitasi jantung-paru bila akses intravena atau intraoseus belum
ada.
Indikasi intubasi endotrakea adalah:
• Henti jantung, bila ventilasi dengan kantong napas-sungkup muka tidak
memungkinkan atau tidak efektif
• Pasien gagal napas, hipoksia dengan pemberian oksigen yang tidak adekuat
dengan alat-alat ventilasi yang tidak invasif
• Pasien yang tidak bisa mempertahankan jalan napas (pasien koma)

Komplikasi intubasi endotrakea


• Trauma:

o Laserasi bibir, lidah faring, atau trakea

o Trauma pita suara

o Perforasi faring-esofagus

o Muntah dan aspirasi isi lambung ke dalam jalan napas bawah

o Meningkatnya sekresi katekolamin yang menyebabkan peningkatan

tekanan darah, takikardia, atau aritmia.

28
• Intubasi satu bronkus: terjadi lebih sering pada bronkus kanan dibandingkan

bronkus kiri dan dapat berakibat hipoksemia karena tidak terdapat ventilasi
pada salah satu paru-paru, sehingga tindakan yang harus dilakukan adalah:
o Kempeskan balon pipa endotrakea,

o Tarik pipa endotrakea keluar sekitar 1-2 cm, lalu

o Konfirmasi posisi pipa endotrakea dengan pemeriksaan fisik.

Tekanan krikoid
Maksud dari penekanan tulang rawan krikoid adalah untuk mencegah regurgitasi
isi lambung dan membantu visualisasi orifisium trakea. Penekanan dilakukan sampai
pipa endotrakea masuk, balon pipa dikembangkan dan posisi pipa dipastikan tepat.
Penekanan krikoid dilakukan oleh penolong yang tidak memberikan ventilasi atau
kompresi dada, dengan langkah-langkah:
1. Raba tonjolan tulang rawan tiroid (Adam's apple)
2. Raba membran krikotiroid yang merupakan jaringan lunak di bawah tulang
rawan tiroid
3. Raba tonjolan keras yaitu tulang rawan krikoid tepat di bawah membran
krikotiroid.
4. Dengan ibu jari dan jari telunjuk tekan ke bawah dan ke arah kepala. Maksud
tindakan ini menekan trakea ke bawah menutup esofagus.
5. Lepaskan tekanan apabila pipa trakea telah tepat posisinya dan sudah
dikembangkan atau bila telah diperintahkan oleh orang yang melakukan
intubasi.

Bila merujuk pada panduan AHA 2010, tekanan krikoid sudah tidak dianjurkan lagi
karena dari beberapa kasus, ternyata regurgitasi isi lambung tetap saja dapat terjadi.
Namun demikian, pasien dengan lambung penuh masih harus dilakukan tindakan ini.

29
Gambar 2.7. Tekanan Krikoid

Sungkup laring (Laryngeal Mask Airway/LMA)


LMA merupakan pipa yang ujungnya berbentuk sungkup dengan balon yang bisa
dikembangkan. LMA dimasukkan ke dalam farings tanpa laringoskopi.

Gambar 2.8. A. LMA. B,C,D. Langkah-langkah pemasangan LMA

Indikasi pemasangan LMA:


• Ketidakmampuan penolong memberikan ventilasi dengan alat kantong napas-
sungkup muka
• Henti napas dan henti jantung

Cara pemasangan LMA:


1. Masukkan LMA ke dalam mulut sampai terasa ada tahanan. Adanya tahanan

30
menunjukkan ujung distal pipa LMA sampai di hipofaring.
2. Kembangkan balonnya. Pengembangan balon akan mendorong sungkup
menutupi lubang trakea dan menyebabkan udara mengalir lewat pipa masuk.
3. Pemberian ventilasi dengan pipa LMA akan mengalirkan udara lewat lubang
di tengah sungkup.

Combitube (Pipa Esogafus-Trakea)


Combitube merupakan pipa dengan dua lumen dan dua balon. Pipa ini dipasang
tanpa perlu memvisualisasi pita suara. Satu lumen mempunyai lubang-lubang ventilasi
di sisi pipa pada tingkat hipofaring dan ujung distalnya buntu. Satu lumen lainnya
mempunyai ujung yang terbuka.
Bila Combitube dimasukkan ke dalam mulut dan balon faring dikembangkan, balon
akan berada di antara dasar lidah dan palatum molle, sehingga Combitube berada
pada posisi yang tepat dan memisahkan orofaring dari hipofaring. Pengembangan
balon esofagus akan memisahkan trakea atau esofagus. Combitube lebih sering masuk
ke dalam esofagus dibandingkan ke dalam trakea. Kontraindikasi penggunaan
combitube adalah pasien dengan refleks faring atau laring.

A = pipa esofagus; pemberian ventilasi masuk ke trakea


melewati lubang-lubang samping pipa = B
C = Pipa trakea; pemberian ventilasi melewati ujung
proksimal yang terbuka langsung ke trakea
Ujung Distal D = Balon farings; dikembangkan dari kateter = E
F = Balon esofagus/trakea; dikembangkangkan dari kateter = G H = 2
garis hitam batas gigi; Combitube dimasukkan sampai
garis hitam di antara gigi-gigi

Ujung Proksimal

Gambar 2.9. Combitube

Cara pemasangan Combitube:


1. Pegang dan masukkan pipa combitube yang balonnya dalam keadaan kempes
dengan arah lengkungan pipa searah dengan lengkungan farings ke dalam

31
mulut sampai 2 garis hitam pada pipa terletak di antara gigi atas dan gigi bawah
pasien.
2. Kemudian kembangkan balon faring (proksimal/biru) dengan 80-100ml udara,
dan kemudian balon esofagus (distal/putih) dengan 12-15ml udara.
3. Pastikan posisi Combitube, di dalam esofagus atau trakea.
4. Dengan memberikan ventilasi melalui pipa biru (faring/proksimal) dan lihat
dada terangkat, maka pipa combitube masuk ke dalam esofagus. Meskipun
combitube masuk ke dalam esofagus tapi dapat mengembangkan paru karena
ventilasi masuk kedalam lubang-lubang pada sisi lumen faring yang berada di
antara 2 balon, dan udara akan masuk ke trakea.
5. Apabila ventilasi melalui pipa biru (faring/proksimal) tidak dapat
mengembangkan paru, artinya dada tidak terangkat, maka ventilasi diberikan
melalui pipa putih (trakea/distal), dan lihat dada terangkat, berarti combitube
masuk ke dalam trakea, sehingga fungsi combitube sama dengan pipa
endotrakea.

H
D
C B
F

Gambar 2.10. Combitube masuk ke dalam esophagus


• A= pipa esofagus; pemberian ventilasi masuk ke trakea melewati lubang-lubang
di samping pipa = B
• C = Pipa Trakea
• D = Balon faring dikembangkan
• F = Balon esofagus/trakea dikembangkan
• H = Dua garis hitam batas gigi

32
6. Pemeriksaan posisi pipa endotrakea dan alat bantu jalan napas supraglotik
Posisi alat bantu jalan napas secepatnya harus diperiksa dengan cara pemberian
napas buatan dengan alat kantong napas-sungkup muka. Tindakan ini tidak perlu
menghentikan kompresi jantung pada pasien yang sedang dilakukan resusitasi
jantung paru.
Pemeriksaan posisi pipa di dalam trakea dapat dilakukan dengan:
• Pemeriksaan fisik yaitu dengan melihat dada mengembang, lakukan auskultasi
di 5 tempat yaitu di atas perut, lapangan paru atas kanan-kiri, dan lapangan
paru bawah kanan-kiri.
• Alat-alat seperti end tidal CO2 detector dan esophageal detector.

Pemeriksaan fisik
Apabila dinding dada tidak terlihat mengembang dan pada auskultasi terdengar
gurgling di episgastrium berarti terjadi intubasi esofagus. Ventilasi dengan kantong
napas- sungkup muka dihentikan, dan pipa endotrakea dicabut, kemudian:
a. Berikan ventilasi dengan kantong napas-sungkup muka atau pertimbangkan
penggunaan alat bantu napas lanjut lainnya seperti LMA atau Combitube.
b. Ulangi intubasi pipa endotrakea didalam trakea setelah melakukan reoksigenasi
dengan ventilasi kantong napas-sungkup muka.
c. Setelah intubasi ulang, tampak pengembangan dinding dada dan tidak
terdengar suara cairan dari dalam perut, lakukan auskultasi di 5 tempat yaitu di
atas perut, lapangan paru atas kanan-kiri, dan lapangan paru bawah kanan-kiri
d. Apabila belum yakin dengan posisi pipa endotrakea, maka lakukan laringoskopi
ulang untuk memastikan ujung pipa endotrakea telah melewati pita suara.

Kapnografi
Berbagai alat elektronik dan mekanik dapat digunakan di luar maupun di dalam
rumah sakit. Berbagai model detektor CO2 akhir ekspirasi yang berfungsi secara
kualitatif, kuantitatif, ataupun kontinyu, dan detektor esofagal tersedia dari yang
sederhana sampai yang kompleks dengan harga mahal.
Detektor CO2 akhir ekspirasi merupakan alat untuk mengenali adanya CO2 yang
diekspirasi dari paru. Metode yang paling sederhana digunakan untuk menilai posisi

33
di dalam jalan nafas atau di esofagus, yaitu dengan adanya warna ungu berarti tidak
ada CO2 yang berarti pipa di dalam esofagus, dan bila warna kuning berarti pipa di
dalam trakea. Meskipun demikian alat ini tidak dapat menilai kedalaman pipa di
dalam trakea.
Kesalahan perubahan warna sering terjadi pada pasien henti jantung atau dengan
emboli paru. Karena itu penilaian dianjurkan setelah dilakukan pemberian ventilasi
sebanyak 5-6 kali. Metode lainnya adalah dengan alat yang disebut kapnometer yang
mengukur secara kuantitatif CO2. akhir ekspirasi memberikan gambar yang disebut
kapnograf. Alat ini dapat mengukur CO2 akhir ekspirasi secara terus menerus. Apabila
pipa endotrakea masuk ke dalam trakea maka kapnometer mengeluarkan gelombang
dan angka yang menggambarkan nilai CO2.

Pemberian ventilasi pada pasien dengan intubasi endotrakea atau alat bantu jalan
napas supraglotik yang dilakukan resusitasi jantung-paru.
Pada pasien dengan henti jantung atau henti napas, pemberian ventilasi dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Volume:
a. Besarnya volume oksigen yang diberikan dengan kantung napas-sungkup

muka hanya sampai dada tampak terangkat


b. Pada pasien obesitas diberikan volume yang lebih besar

c. Setiap pemberian volume lamanya 1 detik

2. Kecepatan. Kecepatan pemberian ventilasi dengan kantung napas-sungkup


muka adalah:
a. 10 kali per menit ( setiap 6 detik) pada waktu resusitasi jantung paru.

b. 12 kali per menit ( setiap 5 detik) pada waktu henti napas tanpa disertai

henti jantung
3. Siklus kompresi dada-ventilasi: tidak ada sinkronisasi antara kompresi dada
dan pemberian ventilasi.

7. Penyedotan Jalan Napas Atas Yang Tersumbat


Penyedotan adalah komponen yang penting dalam mengelola jalan napas pasien.
Tenaga kesehatan harus siap untuk melakukan penyedotan bila jalan napas

34
tersumbat oleh sekret, darah, atau muntahan. Peralatan penyedot terdiri dari unit
yang mudah dibawa atau unit yang tertanam pada dinding.
Peralatan penyedot yang mudah dibawa, atau dipindahkan dengan mudah harus
memiliki daya sedot yang memadai. Umumnya yang dibutuhkan adalah daya sedot
sebesar -80 hingga -120 mmHg. Unit penyedot yang tertanam pada dinding dapat
memberikan daya sedot hingga lebih dari -300 mmHg ketika selang dipasang pada
daya sedot penuh.

Kateter Lunak dan Keras


Tersedia kateter penyedot yang lunak dan keras. Kateter yang lunak dan fleksibel
dapat digunakan dalam mulut atau hidung. Kateter yang lunak dan fleksibel tersedia
dalam pembungkus steril dan juga dapat digunakan untuk penyedotan yang dalam
pada pipa endotrakea didalam trakea. Kateter yang keras (contohnya, Yankauer)
digunakan untuk menyedot orofaring. Kateter jenis ini lebih baik digunakan untuk
menyedot sekret dan bahan partikulat yang kental.
Jenis Kateter Kegunaan

Lunak Aspirasi sekret kental dari orofaring dan nasofaring


Penyedotan sekret dalam pipa endotrakea
Penyedotan melalui NPA untuk mengakses bagian belakang faring
pada pasien dengan gigi yang mencengkram/mengunci

Keras Lebih efektif untuk menyedot orofarings, khususnya bila terdapat


bahan partikel yang kental.

Prosedur penyedotan orofaring


Ikuti langkah-langkah berikut untuk melakukan penyedotan orofaring:

Langkah Tindakan

1 Masukkan kateter atau alat penyedot dengan lembut ke dalam orofarings


melewati lidah.
Ukurlah kateter sebelum melakukan penyedotan, dan jangan masukkan
kateter lebih jauh dari jarak antara ujung hidung dengan cuping telinga.

35
2 Gunakan penyedot dengan menghambat bagian pangkal pada saat menarik
kateter dengan gerakan memutar atau memilin
Secara khusus, batasi usaha penyedotan hingga 10 detik atau kurang. Untuk
menghindari terjadinya hipoksemia, dahului dan ikuti usaha penyedotan
dengan pemberian oksigen 100% dalam waktu yang singkat.

Pemantaun denyut jantung, laju nadi, saturasi oksigen, dan keadaan klinis
pasien selama penyedotan. Bila terjadi bradikardia, turunnya saturasi oksigen, atau
keadaan klinis memburuk, segera hentikan penyedotan. Berikan oksigen aliran tinggi
hingga denyut jantung kembali normal dan kondisi klinis membaik. Bantulah ventilasi
bila dibutuhkan.

D. PENGELOLAAN SIRKULASI PADA HIPOKSIA


Salah satu fungsi sirkulasi adalah mendistribusikan O2 yang terdapat dalam darah ke
seluruh tubuh (sel / jaringan).
Tanda-tanda fungsi sirkulasi baik
Tanda-tanda fungsi sirkulasi baik:
• Perfusi baik, yang ditandai dengan:
o Akral hangat.
o Produksi urine cukup (0,5-1 cc/kg bb/jam).
o Fungsi organ tubuh baik .
• Tekanan darah dan nadi baik.
Syarat agar sirkulasi berfungsi dengan baik ialah:
• Denyut jantung:
o Frekuensinya cukup (sesuai dengan umur)
o Irama yang teratur
• Volume cairan intra vaskuler cukup.
• Pembuluh darah dan mikrosirkulasi baik.
Bila fungsi sirkulasi tidak adekuat, tindakannya ialah optimasi fungsi sirkulasi, yaitu:
• Melakukan resusitasi cairan

36
Tujuan resusitasi cairan ialah agar volume cairan intravaskuler cukup, dengan
harapan preload jantung (terutama jantung bagian kiri) cukup sehingga curah
jantung (stroke volume) mencukupi. Dengan demikian cardiac output cukup.
• Mengoptimalkan kontraksi otot jantung
Bila terbukti bahwa kontraksi otot jantung tidak kuat, maka tindakan kita ialah
memperkuat kontraksi otot jantung dengan pemberian obat yang bersifat inotropik
positif, misalnya dopamine, dobutamin, adrenalin.
• Memperbaiki keadaan pembuluh darah
Pasien gawat dan sakit kritis akan mengalami gangguan pembuluh darah, bisa
mengalami konstriksi (vasokonstriksi) atau dilatasi (vasodilatasi). Agar tekanan
perfusi cukup optimal sehingga perfusi ke seluruh tubuh optimal maka kita
memanipulasi pembuluh darah yang mengalami gangguan dengan menggunakan
obat-obatan vasoaktif, misalnya nor-adrenalin (bersifat vasokontriktor) atau
golongan nitrat (bersifat vasodilatator).
• Memperbaiki irama denyut jantung
Gangguan irama dapat menyebabkan fungsi jantung tidak optimal. Oleh karena itu
bila irama jantung mengganggu hemodinamika kita melakukan optimasi dengan
menggunakan obat2an yang tergolong dalam obat anti-aritmia.

Mikrosirkulasi
Mikrosirkulasi merupakan unit yang sangat penting dalam kehidupan, karena
merupakan tempat terjadinya proses oksigenasi dan transport nutrisi untuk jaringan serta
penyebaran obat dan proses imunitas apabila tubuh mengalami sakit.
Mitokondria merupakan bagian dari sel sebagai tempat terjadinya metabolisme yang
menghasilkan ATP (enerji). Apabila mitokondria tidak cukup mendapatkan O2 atau tidak
bisa menggunakan O2 akan terjadi distres ditingkat seluler dengan manifestasi klinis yang
bermacam macam dan merupakan awal gagal organ yang multipel.
Pemantauan gangguan di tingkat mikrosirkulasi dapat dikerjakan secara “bed side”
yaitu dengan mengukur pCO2 jaringan dan menggunakan orthogonal polarization spectral
(OPS). Jaringan yang bisa mewakili untuk dipantau adalah dibawah lidah (sublingual).

37
Pemantauan terhadap oksigenasi jaringan
Perjalanan O2 dari udara luar sampai ke jaringan perlu dipantau, agar apabila terjadi
gangguan maka antisipasi dan pengelolaannya lebih tepat sesuai dengan
permasalahannya.
• Pemantauan O2 di paru
Tujuan memantau di tingkat paru adalah untuk mengetahui bagaimana proses
difusi gas O2 dan CO2.
Yang dipantau:
o SaO2 (SpO2)
o PaO2 / FiO2
o A-a DO2
• Pemantauan O2 di darah:
Tujuan memantau adalah melihat kandungan O2 dalam darah.
Yang dipantau :
o SaO2
o PaO2
o Kandungan O2 dalam darah (oxygen content)
• Pemantauan oksigenasi di tingkat sel:
Tujuannya adalah mengetahui proses oksigenasi sel / jaringan.
Yang dipantau:
o Kadar laktat darah
o Base defisit / ekses (BD/E)
o ScvO2 (saturasi oksigen vena sentral)

38
REFERENSI
1. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway, C. W., ...
& Passman, R. S. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life support: 2010
American Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and
emergency cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S729-S767.
2. Ecc Committee. (2005). 2005 American Heart Association guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation,
112(24 Suppl), IV1.
3. American Heart Association in collaboration with the International Liaison Committee
on Resuscitation. (2000). Guidelines 2000 for cardiopulmonary resuscitation and
emergency cardiovascular care: an international consensus on science. Circulation,
102.
4. Eisenberg MS, Hallstrom AP, Copass MK, et. al. Treatment of out-of-hospital cardiac
arrests with rapid defibrillation by emergency medical technicians. N Engl J Med.
1980;302:1379-83.
5. Berg, R. A., Hemphill, R., Abella, B. S., Aufderheide, T. P., Cave, D. M., Hazinski, M. F.,
... & Swor, R. A. (2010). Part 5: adult basic life support: 2010 American Heart
Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S685-S705.
6. Kleinman ME, Brennan EE, Goldberger ZD, et al. 2015 American Heart Association
Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care; Part 5: Adult Basic Life Support and Cardiopulmonary Resuscitation Quality.
Circulation. 2015;132[suppl 2]:S414–S435.
7. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... & Sunde, K.
(2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015: section 3.
Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
8. Perkins, G. D., Handley, A. J., Koster, R. W., Castrén, M., Smyth, M. A., Olasveengen,
T., ... & Ristagno, G. (2015). European Resuscitation Council Guidelines for
Resuscitation 2015: Section 2. Adult basic life support and automated external
defibrillation. Resuscitation, 95, 81-99.
9. Koster, R. W., Baubin, M. A., Bossaert, L. L., Caballero, A., Cassan, P., Castrén, M., ... &
Raffay, V. (2010). European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2010

39
Section 2. Adult basic life support and use of automated external defibrillators.
Resuscitation, 81(10), 1277-1292.

———»»»œ«««——

40
BAB III
TERAPI LISTRIK DEFIBRILASI, AED, KARDIOVERSI,
DAN PACU JANTUNG

A. Pendahuluan
Terapi listrik berupa defibrilasi, kardioversi, dan pacu jantung transkutan merupakan
bagian dari bantuan hidup dasar maupun bantuan hidup lanjut. Defibrilasi baik
menggunakan defibrilator manual maupun automated external defibrillator (AED)
merupakan tindakan yang penting untuk tata laksana henti jantung dengan irama fibrilasi
ventrikel maupun takikardi ventrikel tanpa nadi. Kardioversi tersinkronisasi digunakan
pada kasus takiaritmia yang menyebabkan gangguan hemodinamik, sedangkan pacu
jantung transkutan dapat digunakan pada kasus bradiaritmia dengan gangguan
hemodinamik.

B. URAIAN MATERI
TINDAKAN DEFIBRILASI
Defibrilasi merupakan proses pemberian sejumlah arus listrik untuk kejut jantung
melalui alat defibrilator yang diharapkan dapat mengembalikan irama menjadi normal.
Defibrilasi digunakan pada kondisi henti jantung yang disebabkan oleh VT (ventricular
tachycardia), VF (ventricular fibrillation) atau VT polimorfik (torsade de pointes).
Keberhasilan defibrilasi akan menurun jika dilakukan semakin lama dan VF cenderung
berubah menjadi asistol dalam beberapa menit. Angka kematian meningkat 7-10% setiap
menit yang terlewati tanpa dilakukan resusitasi.
Defibrilator modern diklasifikasikan berdasarkan 2 tipe bentuk gelombang, monofasik
dan bifasik. Defibrilator monofasik merupakan generasi pertama, tapi defibrilator bifasik
saat ini lebih banyak digunakan. Tingkat energi bervariasi dihubungkan dengan peluang
yang lebih tinggi untuk kembalinya irama secara spontan. Defibrilator gelombang
monofasik menghantarkan energi dengan satu kutub. Defibrilator gelombang bifasik
menggunakan satu dari dua gelombang dan setiap gelombang terbukti efektif untuk
menghilangkan VF dengan dosis tertentu. Pada dosis yang sama atau lebih rendah dari
gelombang monofasik, gelombang bifasik lebih aman dan efektif untuk menghilangkan
VF. Satu kejut defibrilasi bifasik setara bahkan lebih baik dari tiga kali kejut defibrilasi

41
monofasik.
Pada defibrilator bifasik, rekomendasi besarnya energi yang digunakan umumnya
dicantumkan pada alat (dapat berbeda setiap merk). Bila provider menggunakan
defibrilator bifasik yang tidak mengetahui rentang dosis efektif untuk mengatasi VF, maka
penolong dapat menggunakan pilihan 200 J sebagai dosis awal dan seterusnya. Bila
menggunakan defibrilator monofasik, pilih dosis 360 J untuk semua kejutan.
Dosis terkecil defibrilasi yang efektif pada bayi dan anak dan batas atas untuk
defibrilasi yang aman juga belum diketahui. Dosis 4 - 10 J/kg efektif memberi defibrilasi
pada anak-anak, tanpa efek buruk yang bermakna. Pada anak usia 1-8 tahun defibrilasi
manual yang direkomendasikan (monofasik atau bifasik) adalah 2 J/kg untuk percobaan
pertama dan 4 J/kg untuk percobaan selanjutnya.
Automated external defibrillator (AED) adalah alat yang diprogram oleh komputer
menggunakan bantuan suara dan gambar untuk memandu tenaga kesehatan melakukan
defibrilasi pada VF secara aman. Sejak tahun 1995, AHA telah merekomendasikan
pengembangan program lay-rescuer AED untuk meningkatkan keberhasilan resusitasi di
luar RS. Tujuan dari program ini adalah untuk mengurangi interval waktu dari onset VF
hingga dilakukan RJP dan penghantaran kejutan, dengan memastikan bahwa AED dan lay-
rescuer yang dilatih berada di area publik lokasi henti jantung dapat terjadi. Hal ini
menekankan pentingnya pengelolaan, perencanaan, pelatihan dan menghubungkan
sistem gawat darurat medis serta menerapkan proses perbaikan kualitas secara
berkesinambungan. AED hanya berguna pada serangan disebabkan oleh VF/VT tanpa
nadi, dan hal ini tidak efektif untuk penatalaksanaan asistol dan PEA. Pengguna AED harus
dilatih tidak hanya untuk mengenali kegawatan dan penggunaan AED tetapi juga
pentingnya ventilasi tekanan positif dan sirkulasi dalam RJP sesuai kebutuhan. Walau AED
tidak dirancang untuk memberikan kejutan listrik tersinkronisasi (misalnya kardioversi
pada VT dengan denyut nadi), tetapi AED akan menganjurkan untuk melakukan kejutan
tidak tersinkronisasi pada VT monomorfik dan polimorfik bila kekerapan dan morfologi
gelombang R melampaui nilai normal.

42
A. Persiapan pasien
Buka pakaian pasien bagian dada, siapkan area apex jantung dan bagian sternum
untuk melakukan defibrilasi. Pada pasien pria dengan rambut dada yang lebat, kontak
elektroda ke dada akan terganggu, karena rambut tersebut dapat menimbulkan
jebakan udara antara elektroda dan kulit, sehingga letak lempeng (paddles) yang tidak
tepat akan meningkatkan tahanan dengan lompatan energi. Walau sangat jarang, pada
lingkungan yang kaya oksigen seperti unit perawatan intensif, lompatan energi ini
dapat menimbulkan kebakaran apabila terdapat percikan api.
Penolong harus menempatkan paddle pada posisi sternal-apikal. Lempeng dada
kanan (sternal) diletakkan pada dada bagian supero-anterior bagian kanan dan
lempeng apikal (kiri) diletakkan pada dada bagian infero-lateral kiri. Peletakan
lempeng pada posisi lain yang masih dapat diterima adalah pada dinding lateral kanan
dan kiri (biaksiler) atau lempeng kiri pada posisi apikal standar sedangkan lempeng
lainnya diletakkan pada punggung kanan atau kiri.
Bila menggunakan lembar berperekat (patch), penolong harus melekatkannya
dengan baik pada dada dan menghindari kontak dengan sadapan EKG. Penggunaan
lembar berperekat akan mengurangi risiko terjadinya lompatan listrik. Bila
memungkinkan harus dilakukan pencukuran daerah yang akan dilekati lembar
berperekat. Bila pasien dalam kondisi basah, usahakan untuk mengeringkan segera
daerah yang akan dilekati lembar tersebut. Saat memberikan defibrilasi pada pasien
yang menggunakan pacu jantung permanen (PPM) atau implantable cardioverter
defibrillator (ICD), berikan jarak minimal 5 cm dari generator pacu jantung atau ICD
untuk mencegah malfungsi pacu jantung atau ICD tersebut.

B. Persiapan penolong
Lanjutkan kompresi dada dan ventilasi hingga alat defibrilator siap.

C. Persiapan alat defibrilator dan penunjang


1. Siapkan alat defibrilator sesuai dengan yang ada di fasilitas kesehatan
setempat serta gel
2. Nyalakan alat defibrilator, pasang lead EKG defibrilator pada pasien
3. Siapkan alat-alat resusitasi dan bag-valve mask (bagging)

43
D. Tindakan defibrilasi
1. Lanjutkan kompresi dada.
2. Nyalakan alat defibrilator. Gunakan dosis energi maksimum (bifasik 200J,
monofasik 360 J).
3. Siapkan gel pada paddles.
4. Posisikan paddles pada dada pasien di bagian anterior kanan (bagian
sternum) dan linea aksila kiri (bagian apex jantung). Lakukan charging
dengan menekan tombol CHARGE pada paddles yang diposisikan di apex.
5. Ketika alat defibrilator sudah di CHARGE hingga penuh, beri aba-aba kepada
tim supaya tidak menyentuh pasien. Hentikan kompresi dan ventilasi.
6. Setelah memastikan seluruh tim tidak menyentuh pasien dan irama monitor
masih menunjukkan irama VT/VF, tekan kedua tombol di paddle defibrilator
untuk melepas energi shock. Berikan tekanan 12.5 kg ketika akan melakukan
defibrilasi.
7. Setelah selesai melakukan defibrilasi, segera lanjutkan kompresi dan
ventilasi selama 5 siklus atau 2 menit. Evaluasi irama jantung dilakukan
setelah melakukan 2 menit resusitasi.

KARDIOVERSI
Kardioversi tersinkronisasi adalah hantaran kejut yang bersamaan dengan kompleks
QRS (sinkron). Sinkronisasi ini bertujuan untuk menghindari hantaran kejut selama masa
refrakter relatif siklus jantung. Energi (dosis kejut) yang digunakan untuk kejut sinkronisasi
lebih rendah dari pada yang digunakan untuk kejut yang tidak tersinkronisasi (defibrilasi).
Kejut dengan energi yang rendah ini seharusnya selalu dihantarkan sebagai kejut yang
sinkron karena jika dihantarkan sebagai kejut tidak tersinkronisasi maka dapat memicu
terjadinya VF.
Jika kardioversi dibutuhkan dan tidak mungkin dilakukan kejut sinkron (misalnya irama
jantung pasien iregular), gunakan kejut asinkron energi tinggi. Hantaran kejut
tersinkronisasi (kardioversi) diindikasikan untuk mengobati takiaritmia yang tidak stabil
dengan nadi yang berhubungan dengan pembentukan kompleks QRS seperti pada
supraventricular tachycardia (SVT), atrial fibrillasi, atrial flutter. Kardioversi tersinkronisasi

44
dapat juga dilakukan pada VT monomorfik dengan nadi dengan hemodinamik yang tidak
stabil.
Dosis energi awal yang direkomendasikan untuk kardioversi atrial fibrillasi adalah 120-
200 J untuk alat bifasik dan 200 J untuk alat monofasik. Sedangkan kardioversi untuk atrial
flutter dan SVT membutuhkan energi yang lebih rendah; yakni 50-100 J. Jika dengan dosis
50 J awal gagal, penolong sebaiknya meningkatkan dosis secara bertahap. Pada anak-anak
dapat diberikan energi awal 0,5-1 J/kg untuk SVT, dengan dosis maksimal 2 J/kg. VT
monomorfik yang tidak stabil dengan nadi diobati dengan kardioversi tersinkronisasi
dengan energi awal 100 J. Sedangkan VT polimorfik dengan atau tanpa nadi diobati
sebagai VF dengan menggunakan energi kejut tinggi yang tidak tersinkronisasi (dosis
defibrilasi). Dosis untuk anak-anak direkomendasikan energi awal 0,5-1 J/kg, dengan dosis
maksimal 2 J/kg sama seperti pada SVT

A. Persiapan pasien
1. Informed consent tindakan yang akan dilakukan. Jelaskan tentang diagnosis
aritmia kepada pasien/keluarga, bahaya aritmia tersebut, rencana tindakan
kejut listrik yang akan dilakukan
2. Buka pakaian pasien bagian dada, siapkan area apex jantung dan bagian
sternum untuk melakukan kardioversi

B. Persiapan penolong
1. Panggil tim untuk asisten tindakan kardioversi
2. Persiapkan penolong untuk melakukan bantuan napas jika pasien mengalami
bradipneu/apneu setelah dilakukan tindakan sedasi
3. Persiapan resusitasi jantung paru jika diperlukan

C. Persiapan alat kardioversi dan penunjang


Siapkan alat kardioversi. Pasang lead EKG. Siapkan bagging.

D. Tindakan Kardioversi
1. Bila memungkinkan berikan sedasi (misalnya midazolam) pada pasien karena
dapat menyebabkan nyeri dan rasa tidak nyaman bagi pasien.

45
2. Nyalakan alat kardioversi. Gunakan dosis energi sesuai dengan kelainan
irama. Nyalakan mode sinkronisasi.
• Untuk irama takikardia kompleks sempit dan teratur (misalnya
SVT/Atrial flutter) mulai dengan dosis 50-100 J.
• Untuk irama takikardi kompleks sempit dan tidak teratur (misalnya
atrial fibrilasi) mulai dengan dosis 120-200 J untuk bifasik dan 200 J
untuk alat monofasik.
• Untuk irama takikardi kompleks lebar dan teratur (VT) mulai dengan
dosis 100 J.
3. Siapkan gel pada paddle
4. Posisikan paddle pada dada pasien di bagian anterior kanan (bagian sternum)
dan linea axilla kiri (bagian apex jantung). Lakukan charging dengan menekan
tombol CHARGE pada paddle yang diposisikan di apex.
5. Ketika alat kardioversi sudah di charge hingga penuh, beri aba-aba kepada
tim supaya tidak menyentuh pasien.
6. Setelah memastikan seluruh tim tidak menyentuh pasien, tekan kedua
tombol di paddle untuk melepas energi shock. Berikan tekanan 12.5 kg ketika
akan melakukan kardioversi
7. Setelah selesai melakukan kardioversi, evaluasi monitor EKG. Setiap selesai
kardioversi, apabila monitor EKG menunjukkan adanya organized rhythm
maka harus memastikan ada tidaknya nadi terlebih dahulu terutama untuk
kompleks QRS lebar (VT) yang tidak terkonversi dengan melakukan
kardioversi (karena dapat berubah menjadi VT tanpa nadi). Jika aritmia
belum teratasi, naikkan dosis kardioversi 50 J dari dosis awal.

PACU JANTUNG TRANSKUTAN


Pacu jantung transkutan termasuk salah satu jenis pacu jantung temporer, dan dapat
dipasang sementara secara cepat dan aman hingga didapat perbaikan klinis atau metode
pacu jantung yang lebih definitif dilakukan. Alat pacu jantung transkutan adalah alat
defibrillator manual yang memiliki fungsi pacu jantung.

46
A. Persiapan pasien
1. Informed consent tindakan yang akan dilakukan. Jelaskan tentang diagnosis
aritmia kepada pasien/keluarga, bahaya aritmia tersebut, rencana tindakan
pacu jantung yang akan dilakukan
2. Buka pakaian pasien bagian dada, Anjuran pemasangan pad adalah pada
posisi anterior-posterior dengan elektroda positif diletakkan di posterior di
punggung antara skapula dan tulang vertebra dan elektroda negatif
diletakkan di anterior di antara processus xyphoideus dan areola mammae
kiri (posisi V2-V3). Pada perempuan, payudara harus diangkat dulu dan
elektroda diletakan di bawahnya. Jangan sampai elektroda terlipat (jangan
diletakkan pada lipatan payudara). Posisikan elektroda posterior terlebih
dahulu untuk mencegah terlipat/terlepas/berkerutnya elektroda anterior
saat pasien dimiringkan. Alternatif posisi pad yang lain adalah posisi apeks-
sternum (seperti saat defibrilasi), dengan elektroda negatif diletakkan pada
apeks jantung dan elektroda negatif pada dada kanan bagian atas. (lihat
gambar)
3. Bila memungkinkan berikan sedasi (misalnya midazolam) pada pasien karena
pacu jantung transkutan dapat menyebabkan nyeri dan rasa tidak nyaman
pada pasien

B. Persiapan penolong
Panggil tim untuk persiapan resusitasi jika diperlukan

C. Persiapan alat defibrilator dan penunjang


Siapkan alat pacu jantung transkutan. Pasang lead EKG. Siapkan sedasi

D. Tindakan pacu jantung transkutan


1. Nyalakan alat defibrilator, ganti mode pada mode pacu jantung (pacing).
Lepaskan sambungan paddles defibrilator dan ganti dengan pad elektroda
pacu jantung. Anjuran pemasangan pad adalah pada posisi anterior-
posterior dengan elektroda positif diletakkan di posterior di punggung antara
skapula dan tulang vertebra dan elektroda negatif diletakkan di anterior di

47
antara processus xyphoideus dan areola mammae kiri (posisi V2-V3).
Alternatif posisi pad yang lain adalah posisi apeks-sternum (seperti saat
defibrilasi), dengan elektroda negatif diletakkan pada apeks jantung dan
elektroda negatif pada dada kanan bagian atas. (lihat gambar 5.1)
2. Pilih mode pacu demand / fixed (asynchronous)
3. Pilih kecepatan laju pacu yang diinginkan biasanya 60-70x/menit
4. Atur output pacu. Bila hemodinamik tidak stabil pacu dapat dimulai dari
output maksimal kemudian diturunkan bertahap dan dipertahankan 5-10 mA
di atas batas ambang pacu.
5. Perhatikan cardiac capture, ditandai dengan timbulnya satu kompleks QRS
setelah setiap stimulus pacu. Selalu konfirmasi cardiac capture dengan
perabaan nadi

Gambar 5.1. Posisi pemasangan pad elektroda pacu jantung transkutan. Atas:
Posisi anterior-posterior. Bawah: posisi apeks-sternum.

48
REFERENSI
1. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway, C.
W., ... & Passman, R. S. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life
support: 2010 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular
care. Circulation, 122(18_suppl_3), S729-S767.
2. Link, M. S., Berkow, L. C., Kudenchuk, P. J., Halperin, H. R., Hess, E. P., Moitra,
V. K., ... & White, R. D. (2015). Part 7: adult advanced cardiovascular life
support: 2015 American Heart Association guidelines update for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care.
Circulation, 132(18_suppl_2), S444-S464.
3. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... & Sunde,
K. (2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015:
section 3. Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
4. Jacobs, I., Sunde, K., Deakin, C. D., Hazinski, M. F., Kerber, R. E., Koster, R. W.,
... & Angelos, M. (2010). Part 6: defibrillation: 2010 international consensus on
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care science
with treatment recommendations. Circulation, 122(16_suppl_2), S325-S337.
5. Reisinger, J., Gstrein, C., Winter, T., Zeindlhofer, E., Höllinger, K., Mori, M., ...
& Siostrzonek, P. (2010). Optimization of initial energy for cardioversion of
atrial tachyarrhythmias with biphasic shocks. The American journal of
emergency medicine, 28(2), 159-165.
6. Ecc Committee. (2005). 2005 American Heart Association guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular
care. Circulation, 112(24 Suppl), IV1.
7. American Heart Association in collaboration with the International Liaison
Committee on Resuscitation. (2000). Guidelines 2000 for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care: an international consensus
on science. Circulation, 102.
8. Glover, B. M., Walsh, S. J., McCann, C. J., Moore, M. J., Manoharan, G., Dalzell,
G. W., ... & Mathew, T. P. (2008). Biphasic energy selection for transthoracic
cardioversion of atrial fibrillation. The BEST AF Trial. Heart, 94(7), 884-887.

49
9. Manegold, J. C., Israel, C. W., Ehrlich, J. R., Duray, G., Pajitnev, D., Wegener, F.
T., & Hohnloser, S. H. (2007). External cardioversion of atrial fibrillation in
patients with implanted pacemaker or cardioverter-defibrillator systems: a
randomized comparison of monophasic and biphasic shock energy
application. European heart journal, 28(14), 1731-1738.
10. Sado, D. M., Deakin, C. D., Petley, G. W., & Clewlow, F. (2004). Comparison of
the effects of removal of chest hair with not doing so before external
defibrillation on transthoracic impedance. The American journal of
cardiology, 93(1), 98-100.
11. Dodd, T. E., Deakin, C. D., Petley, G. W., & Clewlow, F. (2004). External
defibrillation in the left lateral position—a comparison of manual paddles with
self-adhesive pads. Resuscitation, 63(3), 283-286.
12. Tibballs, J., Carter, B., Kiraly, N. J., Ragg, P., & Clifford, M. (2011). External and
internal biphasic direct current shock doses for pediatric ventricular fibrillation
and pulseless ventricular tachycardia. Pediatric Critical Care Medicine, 12(1),
14-20.
13. Stiell, I. G., Walker, R. G., Chapman, F. W., Lank, P., Nesbitt, L. P., Cousineau,
D., ... & Wells, G. A. (2007). Response to Letter Regarding Article,“BIPHASIC
Trial: A Randomized Comparison of Fixed Lower Versus Escalating Higher
Energy Levels for Defibrillation in Out-of-Hospital Cardiac
Arrest”. Circulation, 116(19), e523-e523.
14. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R.,
Hirsch, K. G., ... & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life
Support: 2020 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation,
142(16_Suppl_2), S366-S468.

50
BAB IV
PERAWATAN PASCA HENTI JANTUNG

A. Pendahuluan
Perawatan pasca henti jantung merupakan komponen penting dalam tata laksana
bantuan hidup jantung lanjut. Pasien henti jantung yang kembali memiliki sirkulasi
spontan tetap memiliki risiko kematian yang tinggi terutama dalam 24 jam pertama,
karena tidak tertutup kemungkinan sudah atau akan terjadi disfungsi kardiovaskular dan
neurologis. Perawatan yang komprehensif dan terstruktur serta multidisipliner harus
diimplementasikan pada pasien pasca henti jantung. Pada modul ini, akan dibahas
mengenai tindakan-tindakan yang diperlukan untuk perawatan pasca henti jantung, mulai
dari melakukan evaluasi yang diperlukan pada pasien pasca henti jantung hingga
melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengatasi kelainan yang terjadi.

Tujuan umum dari perawatan pasca henti jantung adalah:


• Mengoptimalkan fungsi sistem jantung dan paru dengan perfusi darah ke organ
vital
• Pada kasus henti jantung di luar rumah sakit, rujuk pasien ke rumah sakit yang
sesuai dengan penanganan sistem perawatan pasca henti jantung yang
komprehensif, meliputi intervensi koroner akut, perawatan neurologik,
penanganan kondisi kritis secara komprehensif, serta terapi hipotermia.
• Mampu memindahkan pasien ke ruangan perawatan intensif yang dapat
memberikan penanganan perawatan pasca henti jantung secara komprehensif.
• Melakukan identifikasi serta memberikan terapi terhadap faktor pencetus henti
jantung dan mencegah terjadinya henti jantung berulang.

Tujuan khusus perawatan pasca henti jantung:


• Mengendalikan suhu tubuh untuk mengoptimalkan pemulihan neurologik serta
kehidupan
• Melakukan identifikasi serta melakukan tata laksana sindrom koroner akut.
• Memberikan ventilasi mekanik yang optimal demi meminimalkan trauma pada

51
paru.
• Mengurangi risiko kerusakan multi organ dan menunjang fungsi organ tersebut
jika diperlukan
• Melakukan penilaian prognosis secara objektif saat pemulihan
• Memberikan pelayanan rehabilitasi untuk pasien yang selamat dari henti jantung
bila diperlukan

B. URAIAN MATERI
Tindak Lanjut Pasca Henti Jantung
Resusitasi terhadap pasien tetap berlangsung selama fase pasca henti jantung.
Tindakan-tindakan berikut dapat dilakukan secara bersamaan, namun jika diperlukan
penentuan prioritas maka langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
Fase stabilisasi awal terdiri dari manajemen jalan napas, pengelolaan parameter
napas kemudian pengelolaan parameter hemodinamika.
1. Manajemen jalan napas (airway)
Pada pasien pasca henti jantung, pastikan jalan napas aman. Bila belum dipasang
intubasi endotrakeal, lakukan jika memang diindikasikan pada pasien dengan koma.
Pada pasien yang sudah terintubasi, cari apakah terdapat tanda-tanda sumbatan
airway (suara gurgling). Lakukan suction bila perlu. Pemasangan kapnografi dapat
dilakukan untuk mengonfirmasi dan memantau penempatan pipa endotrakeal.

2. Pengelolaan parameter napas (breathing)


Hipoksia-hiperoksia dan hipoksemia harus diatasi. Untuk menghindari hipoksia
pada pasien pasca henti jantung, gunakan konsentrasi oksigen yang paling tinggi yang
bisa dicapai sampai saturasi darah atau tekanan oksigen darah dapat diukur. Jika
ventilator mekanik sudah tersedia dan titrasi FiO2 sampai batas yang diperlukan untuk
mencapai target saturasi oksihemoglobin (SpO2) 92-98%. Fraksi oksigen yang terlalu
tinggi justru dapat mengakibatkan efek toksisitas yang berbahaya bagi pasien. Berikan
volume tidal 6-8 ml/kgBB. Pertahankan laju napas mulai dari 10/menit, titrasi ventilasi
per menit untuk mencapai target PaCO2 35-45 mmHg. Hiperventilasi perlu dihindari
karena dapat menyebabkan penurunan curah jantung (akibat peningkatan tekanan
intratorakal) dan berpotensi menyebabkan iskemia ke otak (akibat penurunan kadar

52
PaCO2). Lakukan pemeriksaan rontgen thorax untuk memastikan posisi pipa
Endotrakeal serta mengidentifikasi penyebab atau komplikasi dari henti jantung
seperti adanya edema paru, pneumothorax, pneumonia atau pneumonitis.

3. Pengelolaan parameter hemodinamik (sirkulasi) dan kardiovaskular


Perlu dilakukan monitoring irama jantung dan tekanan darah secara kontinyu.
Kecukupan tekanan darah sangat diperlukan untuk perfusi jaringan. Hipotensi pasca
resusitasi memperburuk keluaran dan meningkatkan mortalitas. Bukti ilmiah
merekomendasikan untuk menjaga tekanan darah pasca resusitasi pada level tekanan
darah sistolik diatas 90 mmHg dan tekanan arteri rata-rata (mean arterial
pressure/MAP) diatas 65 mmHg. Hipotensi biasanya disebabkan oleh 3 masalah, yaitu
masalah rate (dan atau irama), volume, dan pompa. Bila terdapat masalah rate (baik
bradikardia ekstrim <50x/menit ataupun takiaritmia ekstrim >150x/menit dengan
irama yang bukan sinus), atasi takikardia dan bradikardia ini sesuai dengan algoritme
takikardia atau bradikardia.
Terapi utama lain yang diperlukan pada pasca resusitasi adalah memastikan
kecukupan cairan intravaskular. Penurunan tonus pembuluh darah dapat disebabkan
oleh penurunan tonus simpatis maupun akibat dari asidosis metabolik. Usaha korektif
pertama pada sebagian besar kasus adalah dengan meningkatkan volume
intravaskular (kecuali bila hipotensi disebabkan oleh dekompensasi jantung kiri).
Sebagai dosis uji cairan dapat diberikan 2-4 cc/kgBB dalam 10 menit larutan NaCl
0.9% atau ringer laktat secara intravena atau intraosseus sampai batas yang bisa
ditoleransi pasien.
Obat-obat vasoaktif dapat dipertimbangkan pasca henti jantung untuk
memperbaiki curah jantung, terutama aliran darah ke jantung dan otak. Proses
iskemia/reperfusi pasca henti jantung dan defibrilasi elektrik dapat menyebabkan
disfungsi/stunning dari miokard yang bisa berlangsung selama beberapa jam.
Pemeriksaan ekokardiografi bermanfaat untuk mendeteksi hal tersebut. Berbagai obat
dapat dipilih dengan tujuan memperbaiki laju jantung (efek kronotropik),
kontraktilitas miokardium (efek inotropik), meningkatkan tekanan arteri (efek
vasokonstriksi) atau mengurangi afterload (efek vasodilator). Hati-hati dalam
penggunaan obat-obatan inotropik atau vasopresor dapat meningkatkan

53
kemungkinan aritmia dan memperburuk iskemia miokardium sebagai akibat
ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen miokardium.
Penyebab terbanyak kasus henti jantung adalah penyakit jantung dan
iskemia/infark miokard. EKG 12 sadapan harus dilakukan segera pasca henti jantung
untuk menentukan adanya elevasi segmen ST akut (kasus IMA EST) atau tidak.
Sindroma koroner akut adalah penyebab umum henti jantung di luar rumah sakit pada
pasien yang tidak memiliki penyebab ekstrakardiak yang jelas. Tindakan intervensi
jantung dan angiografi koroner perlu dipertimbangkan bila didapati kecurigaan henti
jantung yang disebabkan oleh masalah jantung dan terdapat elevasi segmen ST pada
EKG, pasien dengan instabilitas hemodinamik (syok kardiogenik) atau pasien yang
membutuhkan bantuan sirkulasi mekanik. Pendekatan invasif dini direkomendasikan
pada pasien sindroma koroner akut baik dengan ataupun tanpa elevasi segmen ST
yang selamat dari henti jantung.

Manajemen berkelanjutan terdiri dari evaluasi penyebab reversibel dari henti


jantung, evaluasi fungsi neurologis pasien, serta manajemen perawatan kritis lanjutan.

4. Evaluasi fungsi neurologis


Lakukan pemeriksaan yang diperlukan untuk mengevaluasi fungsi neurologis. Pada
pasien yang koma atau tidak dapat mengikuti perintah perlu dilakukan Targeted
Temperature Management (TTM) sesegera mungkin. Pasien dibuat hipotermi (suhu
32-36oC) selama 24 jam menggunakan perangkat pendingin. Konsultasikan dengan
dokter spesialis saraf. Pantau suhu inti (esofageal, kemih) secara kontinyu.
• Pertahankan saturasi O2 normal, normocapnea dan kadar glukosa darah normal
• Pemeriksaan elektroensefalogram (EEG) secara kontinyu atau berkala mungkin
diperlukan pada pasien yang koma

5. Evaluasi fungsi metabolik dan tangani etiologi henti jantung yang dapat dipulihkan
dengan cepat. Libatkan konsultasi ahli untuk manajemen berkelanjutan. Pemberian
sedasi seringkali diperlukan pada pasien dengan ventilasi mekanik.
Lakukan pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan pasca henti jantung
• Pemeriksaan rontgen thorax jantung

54
Rontgen thorax diperlukan untuk memastikan airway (ETT) aman dan
mendeteksi penyebab atau komplikasi dari henti jantung, misalnya edema
paru, pneumonia, tension pneumothorax
• Pemeriksaan analisa gas darah
Deteksi hipoksia dan kelainan gas darah (hydrogen ion/asidosis) sebagai
penyebab henti jantung. Koreksi asidosis metabolik dengan memperbaiki
hemodinamik serta perfusi jaringan, bila asidosis metabolik berat dapat
dipertimbangkan pemberian infus sodium bikarbonat.
• Pemeriksaan elektrolit
Cari dan atasi gangguan elektrolit (hipokalemia/hiperkalemia) sebagai faktor
risiko aritmia. Target K 3.5-5.0 mEq/L

55
Gambar 4.1 Algoritma perawatan pasca henti jantung dewasa 56
REFERENSI
1. Peberdy, M. A., Callaway, C. W., Neumar, R. W., Geocadin, R. G., Zimmerman, J.
L., Donnino, M., ... & Vanden Hoek, T. L. (2010). Part 9: post–cardiac arrest care:
2010 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation
and emergency cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S768-S786.
2. Callaway, C. W., Donnino, M. W., Fink, E. L., Geocadin, R. G., Golan, E., Kern, K. B.,
... & Zimmerman, J. L. (2015). Part 8: post–cardiac arrest care: 2015 American
Heart Association guidelines update for cardiopulmonary resuscitation and
emergency cardiovascular care. circulation, 132(18_suppl_2), S465-S482.
3. Nolan, J. P., Soar, J., Cariou, A., Cronberg, T., Moulaert, V. R., Deakin, C. D., ... &
Sandroni, C. (2015). European resuscitation council and European society of
intensive care medicine 2015 guidelines for post-resuscitation care. Intensive
care medicine, 41(12), 2039-2056.
4. Nolan, J. P., Soar, J., Zideman, D. A., Biarent, D., Bossaert, L. L., Deakin, C., ... &
Böttiger, B. (2010). European resuscitation council guidelines for resuscitation
2010 section 1. Executive summary. Resuscitation, 81(10), 1219-1276.
5. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway, C. W.,
... & Passman, R. S. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life support:
2010 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation
and emergency cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S729-S767.
6. Link, M. S., Berkow, L. C., Kudenchuk, P. J., Halperin, H. R., Hess, E. P., Moitra, V.
K., ... & White, R. D. (2015). Part 7: adult advanced cardiovascular life support:
2015 American Heart Association guidelines update for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation, 132(18_suppl_2),
S444-S464.
7. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... & Sunde, K.
(2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015: section
3. Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
8. Morrison, L. J., Deakin, C. D., Morley, P. T., Callaway, C. W., Kerber, R. E., Kronick,
S. L., ... & Parr, M. (2010). Part 8: advanced life support: 2010 international
consensus on cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care

57
science with treatment recommendations. Circulation, 122(16_suppl_2), S345-
S421.
9. Nielsen, N., Wetterslev, J., Cronberg, T., Erlinge, D., Gasche, Y., Hassager, C., ... &
Pellis, T. (2013). Targeted temperature management at 33 C versus 36 C after
cardiac arrest. New England Journal of Medicine, 369(23), 2197-2206.
10. Rittenberger, J. C., & Callaway, C. W. (2013). Temperature management and
modern post-cardiac arrest care. N Engl J Med, 369(23), 2262-2263.
11. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R., Hirsch,
K. G., ... & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life Support: 2020
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.

———»»»œ«««———

58
BAB V
BRADIKARDIA

A. Pendahuluan
Bradikardia didefinisikan sebagai denyut jantung yang kurang dari 60 kali/menit,
sedangkan bradikardia yang menyebabkan timbulnya keluhan klinis umumnya kurang
dari 50 kali/menit. Denyut jantung rendah pada sebagian orang merupakan bagian dari
kondisi fisiologis yang normal, akan tetapi pada sebagian orang lainnya denyut jantung
lebih dari 50 kali/menit mungkin tidak cukup dalam memenuhi kebutuhan metabolik dan
menimbulkan keluhan klinis.
Bradikardia akan jadi masalah bila simtomatik atau sudah menimbulkan gejala dan
tanda akibat denyut jantung yang terlalu lambat, umumnya tanda dan gejala timbul pada
denyut jantung <50 kali/menit. Pada materi ini, akan dibahas tata laksana bradikardia.

B. Tatalaksana Bradikardia
Low Degree AV Block
Pengertian low degree AV block
Low degree AV block mencakup AV block derajat 1 dan AV block derajat 2 tipe I.

Gambar 5.1. AV Blok derajat I

Gambar 5.2. Blok AV derajat 2 tipe I. Perhatikan perpanjangan interval PR yang


progresif hingga satu gelombang P (panah) tidak diikuti oleh kompleks QRS.

59
Tata laksana sinus bradikardia dan low degree AV block
1) Hemodinamik stabil
Dalam menghadapi pasien dengan bradikardia yang penting adalah menentukan
apakah bradikardia sudah menimbulkan gejala dan tanda gangguan perfusi atau tidak.
Tanda-tanda gangguan hemodinamik dan perfusi jaringan adalah:
• Hipotensi
• Penurunan kesadaran
• Tanda syok
• Nyeri dada iskemik
• Gagal jantung akut
Jika tidak ada gejala diatas, pasien dikatakan stabil dan hanya memerlukan monitor
dan observasi.

2) Hemodinamik tidak stabil


Jika ada tanda tidak stabil (bradikardia mengakibatkan gangguan hemodinamik),
maka lakukan langkah-langkah sebagai berikut:
• Segera pastikan tidak ada gangguan jalan nafas
• Berikan oksigen
• Pasang monitor EKG, tekanan darah dan oksimetri
• Pasang jalur intravena
Pasien tersebut dapat diberikan terapi awal berupa sulfas atropin. Atropin dapat
meningkatkan denyut jantung dan memperbaiki gejala klinis karena bradikardia, hal
ini didukung oleh data penelitian uji klinis pada orang dewasa. Sulfat atropin mampu
memperbaiki penurunan denyut jantung yang dimediasi oleh gangguan sistem
kolinergik.
Dosis sulfat atropin yang direkomendasikan adalah 1 mg IV, dapat diberikan tiap 3-
5 menit dengan dosis maksimum 3 mg.

High Degree AV Block


Pengertian high degree AV block
High degree AV block mencakup AV block derajat 2 tipe 2 dan AV block derajat 3.

60
Gambar 5.3. Blok AV derajat 2 tipe II (hambatan tinggi) interval PR-QRS
regular hingga terjadi 2 denyut yang menghilang; garis batas kompleks QRS
normal mengindikasikan nodus yang tinggi atau hambatan nodus.

Gambar 5.4. Blok AV derajat 3: gelombang P regular pada kecepatan 50-55


kali per menit; denyut pelepasan ventrikel regular pada kecepatan 35-40 kali
per menit; tidak ada hubungan antara gelombang P dan kompleks QRS

Tata laksana high degree AV block


1) Hemodinamik stabil
Dalam menghadapi pasien dengan bradikardia yang penting adalah menentukan
apakah bradikardia sudah menimbulkan gejala dan tanda gangguan perfusi atau tidak.
Tanda-tanda gangguan hemodinamik dan perfusi jaringan adalah:
• Hipotensi
• Penurunan kesadaran
• Tanda syok
• Nyeri dada iskemik
• Gagal jantung akut
Jika tidak ada gejala diatas, pasien dikatakan stabil dan hanya memerlukan monitor
dan observasi.

2) Hemodinamik tidak stabil


• Segera pasang pacu jantung transkutan sambil menunggu pemasangan pacu
jantung transvena.

61
• Jika pacu jantung transkutan tidak tersedia, berikan dopamin 5-20
μg/kgBB/menit atau epinefrin 2- 10 μg/menit. Pertimbangkan untuk konsul
ahli dan pemasangan pacu jantung transvena.

Gambar 5.5. Alur tata laksana bradiaritmia

62
REFERENSI
1. Neumar RW, Otto CW, Link MS, et al. 2010 American Heart Association Guidelines
for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
Circulation. 2010;122:S729–S767.
2. Scholten M, Szili-Torok T, Klootwijk P, Jordaens L. Comparison of monophasic and
biphasic shocks for transthoracic cardioversion of atrial fibrillation. Heart. 2003;
89:1032–1034.
3. Wen ZC, Chen SA, Tai CT, Chiang CE, Chiou CW, Chang MS. Electrophysiological
mechanisms and determinants of vagal maneuvers for termination of paroxysmal
supraventricular tachycardia. Circulation. 1998; 98:2716–2723.
4. Lim SH, Anantharaman V, Teo WS, Chan YH. Slow infusion of calcium channel
blockers compared with intravenous adenosine in the emergency treatment of
supraventricular tachycardia. Resuscitation. 2009; 80:523–528.
5. Brady WJ, Swart G, DeBehnke DJ, Ma OJ, Aufderheide TP. The efficacy of atropine
in the treatment of hemodynamically unstable bradycardia and atrioventricular
block: prehospital and emergency department considerations. Resuscitation.
1999; 41:47–55.
6. Morrison LJ, Long J, Vermeulen M, Schwartz B, Sawadsky B, Frank J, et al. A
randomized controlled feasibility trial comparing safety and effectiveness of
prehospital pacing versus conventional treatment: ‘PrePACE.’Resuscitation.
2008; 76:341–349.
7. Bernheim A, Fatio R, Kiowski W, Weilenmann D, Rickli H, Rocca HP. Atropine often
results in complete atrioventricular block or sinus arrest after cardiac
transplantation: an unpredictable and dose-independent phenomenon.
Transplantation. 2004; 77:1181–1185.
8. Link, M. S., Berkow, L. C., Kudenchuk, P. J., Halperin, H. R., Hess, E. P., Moitra, V.
K., ... & White, R. D. (2015). Part 7: adult advanced cardiovascular life support:
2015 American Heart Association guidelines update for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation, 132(18_suppl_2),
S444-S464.
9. Authors/Task Force Members, Brignole, M., Auricchio, A., Baron-Esquivias, G.,
Bordachar, P., Boriani, G., ... & Elliott, P. M. (2013). 2013 ESC Guidelines on cardiac

63
pacing and cardiac resynchronization therapy: the Task Force on cardiac pacing
and resynchronization therapy of the European Society of Cardiology (ESC).
Developed in collaboration with the European Heart Rhythm Association (EHRA).
European heart journal, 34(29), 2281-2329.
10. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... & Sunde, K.
(2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015: section
3. Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
11. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R., Hirsch,
K. G., ... & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life Support: 2020
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.

———»»»œ«««———

64
BAB VI
TAKIKARDIA

A. Pendahuluan
Takikardia didefinisikan sebagai suatu kondisi denyut jantung >100 kali/menit.
Denyut jantung yang cepat dengan irama yang normal (irama sinus) seringkali
merupakan respon fisiologis terhadap suatu kondisi stress, misalnya hipoksia, demam,
rasa sakit, kondisi kekurangan volume intravaskular dan lain-lain. Tetapi denyut jantung
yang cepat dapat disebabkan oleh gangguan irama jantung (takiaritmia). Takiaritmia
yang ekstrim (>150 kali/menit) dapat menimbulkan gejala klinis yang disebabkan oleh
menurunnya curah jantung dan meningkatnya kebutuhan oksigen miokardium.

B. Klasifikasi Takikardia
Takiaritmia dengan QRS Sempit
1. Pengertian
Takikardia kompleks QRS sempit (QRS < 0.12 detik) (supraventricular tachycardia/ SVT)
diurutkan dari yang paling sering:
• Sinus takikardia
• Atrial fibrillation
• Atrial flutter
• Re-entry nodus AV
• Takikardia dimediasi-jalur aksesoris
• Takikardia atrium (termasuk bentuk otomatisasi dan re-entry)
• Multifocal atrial tachycardia (MAT)
• Junctional tachycardia (jarang pada dewasa)

Sinus Takikardia
Sinus takikardia biasanya timbul akibat stimulus fisiologis, seperti demam, anemia,
atau hipotensi/syok. Sinus takikardia didefinisikan sebagai denyut jantung > 100
kali/menit. Batas atas denyut jantung pada sinus takikardia bergantung pada usia
(dihitung sebagai 220 kali/menit dikurangi usia pasien dalam tahun) dan dapat berguna

65
dalam menilai apakah kecepatan denyut jantung yang terjadi berada pada kisaran yang
sesuai dengan usia pasien. Pada sinus takikardia tidak diperlukan terapi obat untuk
mengatasi irama tersebut. Terapi diarahkan pada identifikasi dan tata laksana penyebab
yang mendasari. Bila fungsi jantung buruk maka curah jantung tergantung pada denyut
jantung yang cepat. Pada takikardia kompensasi seperti ini isi sekuncup terbatas sehingga
“menormalkan” denyut jantung dapat memperburuk keadaan.

Gambar 7.1. Sinus Takikardia.

Supraventricular tachycardia (SVT)


Sebagian besar SVT merupakan takikardia regular yang disebabkan re-entry, yaitu
suatu sirkuit irama abnormal yang memungkinan gelombang depolarisasi berjalan
melingkar pada jaringan jantung. Irama dianggap berasal dari supraventrikular (atrium)
jika kompleks QRS sempit (< 0,12 detik) atau jika kompleks QRS lebar tapi telah diketahui
adanya bundle branch block atau aberansi sebelumnya. Sirkuit re-entry yang
menghasilkan SVT dapat muncul pada miokardium atrium (menghasilkan atrial
fibrillation, atrial flutter dan beberapa bentuk takikardia atrium). Sirkuit re-entry, baik
seluruhnya maupun sebagian, juga dapat berada pada nodus AV itu sendiri. Hal ini akan
menghasilkan AV nodal reentry tachycardia (AVNRT) jika kedua tungkai sirkuit re-entry
berada dalam jaringan nodus AV atau AV re-entry tachycardia (AVRT) jika salah satu
tungkai dari sirkuit re-entry melibatkan jalur aksesoris dan yang lain melibatkan nodus AV.
Subgrup aritmia re-entry ini (AVNRT dan AVRT) memiliki ciri awitan dan terminasi yang
mendadak serta denyut yang regular yang melebihi batas atas tipikal dari sinus takikardia
pada saat istirahat (>150 kali/menit) dan, dalam kasus AVNRT, gelombang P pada EKG
seringkali tidak dapat dilihat. Akibat sifat awitan dan terminasi yang mendadak dari
AVNRT dan AVRT, kedua irama ini dinamakan juga paroxysmal supraventricular
tachycardia (PSVT).

66
Gambar 7.2. Takikardia Supraventrikular

Untuk membedakan bentuk SVT re-entry yang berasal dari miokardium atrium
(misalnya atrial fibrillation) dengan SVT yang berasal dari nodus AV (PSVT) penting
dilakukan karena setiap bentuk akan memiliki respon yang berbeda terhadap terapi yang
ditujukan untuk menghambat konduksi melalui nodus AV. Pada aritmia re-entry yang
berasal dari miokardium atrium, obat-obatan yang memperlambat konduksi melalui
nodus AV akan memperlambat laju irama ventrikel tetapi tidak akan menterminasi
aritmia. Berlawanan dengan hal ini, aritmia re-entry yang melibatkan nodus AV (PSVT)
dapat diterminasi oleh obat-obatan golongan di atas.
Kelompok lain dari SVT adalah takikardia otomatisasi. Aritmia ini bukan diakibatkan
sirkuit re-entry tetapi diakibatkan oleh fokus otomatis yang terangsang. Tidak seperti pola
mendadak pada re-entry, karakteristik awitan dan terminasi takiaritmia ini lebih bertahap
dan mirip seperti bagaimana nodus sinus bekerja dalam meningkatkan dan menurunkan
denyut jantung secara bertahap. Aritmia otomatisasi ini meliputi takikardia atrium
ektopik, multifocal atrial tachycardia (MAT), dan junctional tachycardia. Aritmia ini sulit
ditangani, dan tidak responsif terhadap kardioversi dan biasanya dikontrol secara akut
menggunakan obat yang memperlambat konduksi melalui nodus AV dan kemudian akan
memperlambat denyut ventrikel.

Atrial fibrillation
Suatu takikardia yang tidak teratur, baik QRS sempit maupun lebar (dengan atau tanpa
konduksi aberan), biasanya adalah suatu atrial fibrillation dengan respon ventrikular yang
tidak terkontrol. Kemungkinan diagnosis yang lain adalah mutifocal atrial tachycardia
(MAT) atau irama sinus (sinus takikardia) dengan denyut prematur atrial yang sering.
Ketika ada keraguan tentang diagnosis irama dan pasien dalam kondisi stabil maka
lakukan EKG 12 sadapan dan konsultasi dengan ahli.

67
Gambar 7.3 Fibrilasi Atrium

2. Tata Laksana Takiaritmia dengan QRS Sempit


Evaluasi awal meliputi evaluasi jalan napas dan pernapasan. Hipoksemia merupakan
penyebab umum takikardia. Beri oksigen dan bantuan pernapasan bila diperlukan. Pasang
monitor irama jantung, awasi tekanan darah dan saturasi oksigen serta pasang akses
intravena. Ambil EKG 12 lead bila memungkinkan. Takiaritmia dikategorikan stabil apabila
tidak ditemukan gejala klinis serius yaitu hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg),
penurunan kesadaran (akut), tanda-tanda syok, nyeri dada iskemik, dan gagal jantung
akut. Bila terdapat salah satu dari kondisi tersebut, maka pasien dikategorikan memiliki
takikardia yang tidak stabil.

2.1. Hemodinamik Stabil


Takikardia Kompleks QRS Sempit Teratur
Manuver Vagal
Pada takikardia kompleks QRS sempit teratur dapat dicoba manuver vagal. Manuver
vagal dan adenosin merupakan pilihan terapi awal untuk terminasi PSVT stabil. Manuver
vagal saja (manuver Valsava atau pijat sinus karotis) dapat menghentikan hingga 25%
PSVT. Untuk takikardi QRS sempit lainnya (misalnya atrial flutter), manuver vagal dan
adenosin dapat memperlambat denyut ventrikel secara transien sehingga berpotensi
membantu diagnosis irama tetapi biasanya tidak akan menghentikan takiaritmia yang
ada. Manuver vagal yang cukup efektif dan sering dilakukan adalah pijat sinus karotis.
Cara melakukan pijat sinus karotis:
• Pastikan tidak ada kontraindikasi untuk pijat sinus karotis
o Riwayat infark miokard
o Riwayat TIA atau stroke dalam 3 bulan terakhir
o Riwayat ventricular fibrillation atau ventricular tachycardia
o Adanya bruit pada arteri karotis
• Pasang monitor EKG. Posisi terlentang dengan kepala ekstensi dan sedikit berpaling
68
ke arah kontralateral dari sisi yang akan dipijat.
• Cari titik di salah satu arteri karotis kiri atau kanan di leher setinggi mungkin.
• Pijat arteri karotis dengan gerakan sirkular selama 5-10 detik sambil terus
memperhatikan monitor.
• Bila tindakan tidak berhasil bisa dicoba ulang di sisi sebelahnya.

Adenosin
Jika PSVT tidak respon dengan manuver vagal, maka berikan adenosin 6 mg IV secara
cepat melalui vena yang berdiameter besar (misalnya vena mediana kubitus), diikuti
dengan flush menggunakan cairan NaCl 0.9% 20 mL. Jika irama tidak berubah dalam 1
hingga 2 menit, maka berikan adenosin 12 mg IV secara cepat dengan cara yang sama.
Bila yang digunakan adenosin dalam bentuk ATP, dosis yang digunakan adalah dosis inisial
10 mg IV dan dosis ulangan 20 mg IV.
Kemungkinan dapat terjadi komplikasi atrial fibrillation dengan respon ventrikel cepat
saat pemberian adenosin pada pasien PSVT dengan WPW (AVRT). Karena itu defibrilator
harus tersedia, terutama pada pasien yang dicurigai memiliki WPW.
Seperti manuver vagal, efek adenosin pada SVT lain selain PSVT (misalnya atrial
fibrillation atau atrial flutter) akan secara transien memperlambat kecepatan ventrikel.
Hal ini akan berguna untuk membantu diagnosis walaupun tidak menterminasi
takiaritmia.
Konversi PSVT menggunakan adenosin ataupun penghambat kanal kalsium (calcium
channel blocker) memberikan hasil yang sama, tetapi adenosin memiliki efek yang lebih
cepat dan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan verapamil. Amiodaron
dapat digunakan untuk terminasi PSVT tetapi awitan kerja amiodaron lebih lambat
dibandingkan dengan adenosin dan memiliki potensi proaritmia.
Adenosin memiliki beberapa interaksi obat yang penting. Dosis yang lebih besar
diperlukan pada pasien dengan kadar teofilin, kafein atau teobromin dalam darah yang
tinggi. Dosis awal harus dikurangi sebanyak 3 mg pada pasien yang menggunakan
dipiridamol atau karbamazepin, pasca transplantasi jantung, atau jika pemberian
menggunakan akses vena sentral. Efek samping adenosin yang sering terjadi tetapi
bersifat sementara adalah flushing, dispnea dan nyeri dada. Adenosin tidak boleh
diberikan pada pasien dengan asma. Adenosin aman dan efektif pada kehamilan.

69
Setelah konversi, observasi pasien untuk kemungkinan rekurensi. Jika terjadi
rekurensi, dapat diberikan adenosin ulang atau diberikan obat penghambat nodus AV
yang memiliki kerja lebih panjang (yaitu diltiazem atau penghambat beta). Jika saat
pemberian adenosin atau manuver vagal irama menunjukkan bentuk lain dari SVT (seperti
atrial fibrillation atau flutter), maka pengobatan dengan agen penghambat nodus AV kerja
panjang dipertimbangkan agar mampu mempertahankan kontrol kecepatan ventrikel.

Penghambat Kanal Kalsium dan Penghambat Beta


Jika PSVT tidak berubah atau rekuren setelah pemberian adenosin atau manuver vagal
atau memunculkan bentuk lain dari SVT (seperti atrial fibrillation atau flutter), maka
disarankan menggunakan agen penghambat nodul AV kerja panjang seperti penghambat
kanal kalsium non dihidropiridin (verapamil dan diltiazem) atau penghambat beta. Obat-
obatan ini bekerja terutama pada jaringan nodus dan dapat digunakan untuk
menghentikan PSVT re- entry yang bergantung pada konduksi melalui nodus AV, atau
untuk memperlambat respon ventrikel pada SVT lainnya dengan menghambat konduksi
melalui nodus AV. Mekanisme yang berbeda dan durasi yang lebih panjang dari obat-
obatan ini dapat menghasilkan terminasi PSVT yang lebih menetap, atau pada kasus SVT
lain (seperti atrial fibrillation atau flutter) untuk mempertahankan kontrol kecepatan.
Untuk verapamil berikan 2,5-5 mg IV bolus selama 2 menit (selama 3 menit pada
pasien lanjut usia). Jika tidak ada respon terapeutik dan tidak ada kejadian efek samping,
dosis ulang 5- 10 mg dapat diberikan setiap 15-30 menit dengan dosis total 20 mg.
Regimen dosis lain yaitu diberikan 5 mg bolus tiap 15 menit dengan dosis total 30 mg.
Verapamil hanya boleh diberikan pada pasien dengan SVT re-entry kompleks sempit atau
aritmia yang dipastikan berasal dari supraventrikular. Verapamil tidak boleh diberikan
pada takiaritmia kompleks QRS lebar. Verapamil juga tidak boleh diberikan pada pasien
dengan fungsi ventrikel yang menurun atau gagal jantung.
Untuk diltiazem, berikan dosis 15-20 mg (0,25 mg/kgBB) IV selama 2 menit. Jika
diperlukan, dalam 15 menit kemudian berikan dosis tambahan 20-25 mg IV (0,35
mg/kgBB). Dosis infus rumatan adalah 5-15 mg/jam, dititrasi sesuai dengan kecepatan
denyut jantung.
Berbagai jenis penghambat beta untuk penanganan takiaritmia supraventrikular, di
antaranya metoprolol, atenolol, esmolol dan labetalol. Pada prinsipnya agen-agen ini

70
bekerja dengan cara melawan tonus simpatis pada jaringan nodus yang akan
menghasilkan perlambatan konduksi. Seperti penghambat kanal kalsium, obat golongan
ini juga memiliki efek inotropik negatif dan akan menurunkan curah jantung pada pasien
gagal jantung. Efek samping penghambat beta meliputi bradikardia, perlambatan
konduksi AV, dan hipotensi. Penghambat beta harus diberikan secara hati-hati pada
pasien dengan penyakit paru obstruktif atau gagal jantung kongestif.

Perhatian pada penggunaan obat-obatan untuk SVT


Pemberian obat pada pasien pre-eksitasi (memiliki jalur aksesoris/accessory pathway)
yang mengalami atrial fibrillation atau flutter dengan konduksi ke ventrikel melalui nodus
AV maupun jalur aksesoris harus hati-hati. Oleh karena pengobatan dengan agen
penghambat nodus AV (termasuk adenosin, penghambat kalsium, penghambat beta atau
digoksin) kecil kemungkinan dapat memperlambat kecepatan ventrikel dan pada
beberapa kasus dapat mempercepat respon ventrikel. Sehingga, obat penghambat nodus
AV tidak digunakan pada kasus atrial fibrillation atau flutter pre-eksitasi.
Hindari kombinasi agen penghambat nodus AV yang memiliki kerja panjang. Waktu
paruh adenosin yang cepat memungkinkan pemberian obat lanjutan jika diperlukan.
Setelah pemberian adenosin dapat diberikan penghambat kanal kalsium atau
penghambat beta untuk mencegah rekurensi. Tetapi, penggunaan penghambat kanal
kalsium bersamaan dengan penghambat beta yang sama-sama memiliki waktu paruh
panjang akan menyebabkan potensiasi yang dapat menimbulkan bradikardia berat.
Walau obat-obatan antiaritmia lain (yaitu amiodaron, prokainamid, atau sotalol) dapat
digunakan untuk mengatasi SVT, tapi toksisitas yang tinggi dan risiko proaritmia membuat
obat-obatan ini kurang disukai. Pengecualian pada pasien pre-eksitasi dengan aritmia
atrium saat obat-obat penghambat nodus AV tidak dapat digunakan, obat-obat ini dapat
digunakan untuk mengontrol kecepatan denyut jantung. Penggunaan oabat-obat ini
untuk SVT lain seperti atrial fibrillation dan flutter dapat menyebabkan terminasi aritmia.
Hal ini dapat memberikan efek yang tidak diinginkan bila sebelumnya tidak ada
pencegahan untuk komplikasi tromboemboli yang mungkin terjadi akibat konversi itu.

Takikardia QRS Sempit Tidak Teratur


Takikardia QRS sempit tidak teratur sebagian besar disebabkan oleh atrial fibrillation.

71
Tata laksana umum atrial fibrillation difokuskan pada menurunkan irama ventrikel yang
cepat (kontrol kecepatan), konversi atrial fibrillation yang tidak stabil menjadi irama sinus
(kontrol irama) atau keduanya. Pasien dengan atrial fibrillation memiliki risiko
tromboemboli terutama bila durasi atrial fibrillation sudah lebih dari 48 jam. Walau
demikian durasi yang lebih pendek tidak menyingkirkan kemungkinan tidak terjadi
emboli. Kardioversi elektrik atau farmakologik (konversi menjadi irama sinus) tidak boleh
dilakukan pada pasien ini, kecuali pasien tidak stabil. Tindakan alternatif adalah dengan
melakukan kardioversi setelah pemberian antikoagulan heparin dan pemeriksaan
ekokardiografi transesofageal untuk memastikan tidak adanya trombus di atrium kiri.

Kontrol Kecepatan (Rate Control)


Pasien yang hemodinamiknya tidak stabil harus mendapatkan kardioversi elektrik
secepatnya. Pada pasien stabil dilakukan kontrol kecepatan irama ventrikel sesuai dengan
gejala dan hemodinamik pasien. Pada kasus atrial fibrillation dengan respon ventrikel
cepat, penghambat beta dan penghambat kanal kalsium non dihidropiridin IV seperti
diltiazem merupakan obat pilihan untuk kontrol kecepatan irama akut. Digoksin dan
amiodarone dapat digunakan untuk kontrol kecepatan (rate control) pada pasien dengan
gagal jantung kongestif. Namun demikian, risiko konversi menjadi irama sinus pada
penggunaan amiodarone harus dipertimbangkan sebelum menggunakan dengan agen ini
(risiko emboli meningkat).

Kontrol Irama
Berbagai obat diketahui efektif dalam terminasi atrial fibrillation (kardioversi
farmakologik atau kimiawi). Angka keberhasilan di antara obat tersebut bervariasi dan
tidak semuanya tersedia dalam formulasi parenteral. Konsultasi ahli direkomendasikan.

2.2. Hemodinamik Tidak Stabil


Takikardia dengan hemodinamik tidak stabil memerlukan usaha cepat mengatasi
takikardia dengan terapi listrik. Terapi listrik pilihan pada takikardia tidak stabil adalah
kardioversi tersinkronisasi (synchronized cardioversion). Pada pasien tidak stabil dengan
takikardia QRS sempit teratur, sambil mempersiapkan kardioversi dapat dipertimbangkan
pemberian adenosin, terutama bila pasien tidak hipotensi.

72
Kardioversi
Kardioversi adalah pemberian syok listrik yang penghantarannya disinkronkan dengan
kompleks QRS. Penghantaran listrik yang tersinkronisasi ini akan menghindarkan
pemberian listrik pada masa refrakter relatif yang dapat menyebabkan ventricular
fibrillation. Jika memungkinkan, buat akses vena sebelum kardioversi dan berikan sedasi
jika pasien dalam kondisi sadar. Jangan menunda kardioversi jika pasien sangat tidak
stabil. Untuk informasi lebih lanjut tentang defibrilasi dan kardioversi, lihat bab “Terapi
Listrik”.
Kardioversi biasanya dimulai dengan memberikan dosis inisial energi kecil, kemudian
ditingkatkan bertahap bila dosis inisial tidak berhasil. Besar energi yang diberikan sebagai
dosis inisial kardioversi tergantung pada bentuk irama EKG. Pada penggunaan defibrilator
bifasik, bila irama EKG kompleks QRS sempit teratur, dosis inisial diberikan 50-100 J. Dosis
inisial untuk QRS sempit tidak teratur 120 J – 200 J bila menggunakan defibrilator bifasik
dan 200 J bila menggunakan defibrilator monofasik.

Takiaritmia dengan QRS Lebar


1. Pengertian
Takikardia kompleks lebar didefinisikan dengan QRS > 0,12 detik. Bentuk paling umum
dari takikardia kompleks lebar adalah:
• VT
• SVT (PSVT, AF atau irama atrium lain-lain) dengan konduksi aberan
• Takikardia pre-eksitasi (terkait dengan atau dimediasi oleh jalur aksesoris)
• Irama pacu ventrikular

Takikardia kompleks QRS lebar dapat regular ataupun iregular. Suatu takikardia
kompleks lebar regular kemungkinan besar adalah VT atau SVT dengan aberan. Suatu
takikardia kompleks lebar iregular kemungkinan adalah atrial fibrillation dengan aberan,
atrial fibrillation pre-eksitasi (yaitu atrial fibrillation dengan konduksi antegrad melalui
jalur aksesoris) atau VT polimorfik/torsades de pointes. Penolong harus
mempertimbangkan perlunya konsultasi ahli ketika menangani takikardia kompleks QRS
lebar.

73
Gambar 7.4. Takikardia Ventrikular Monomorfik

2. Tata Laksana Takiaritmia dengan QRS Lebar


Evaluasi awal meliputi evaluasi jalan napas dan pernapasan. Hipoksemia merupakan
penyebab umum takikardia. Beri oksigen dan bantuan pernapasan bila diperlukan. Pasang
monitor irama jantung, awasi tekanan darah dan saturasi oksigen serta pasang akses
intravena dan EKG 12 lead bila memungkinkan. Takiaritmia dikategorikan stabil apabila
tidak ditemukan gejala klinis serius yaitu hipotensi, penurunan kesadaran (akut), tanda-
tanda syok, nyeri dada iskemik, dan gagal jantung akut. Bila terdapat salah satu dari
kondisi tersebut, maka pasien dikategorikan memiliki takikardia yang tidak stabil.

2.1. Hemodinamik Stabil


Takikardia QRS Lebar Teratur
Adenosin pada Takikardia QRS Lebar
Takikardia QRS lebar biasanya berasal dari ventrikel (VT). Tetapi seperti yang telah
diterangkan sebelumnya, SVT kadangkala dapat menghasilkan irama dengan QRS yang
lebar, yaitu pada SVT dengan aberansi atau pre-eksitasi. Bila mendapatkan kasus
takikardia QRS lebar, sebisa mungkin identifikasi apakah takikardia kompleks lebar
tersebut suatu SVT atau VT, lalu lakukan tata laksana spesifik sesuai irama tersebut.
Namun kadangkala etiologi irama tidak dapat ditentukan.
Adenosin tidak boleh diberikan pada takikardia kompleks lebar yang tidak stabil atau
ireguler atau polimorfik, karena dapat menyebabkan perburukan menjadi VF. Tetapi bila
takikardia QRS lebar yang stabil memiliki irama yang regular dan monomorfik, adenosin
IV relatif aman untuk dipertimbangkan pemakaiannya, baik untuk pengobatan maupun
diagnosis. Jika takikardia kompleks lebar adalah SVT dengan aberansi, maka pemberian
adenosin akan memperlambat irama sementara atau mengkonversi menjadi irama sinus;
jika VT maka pemberian adenosin tidak akan berpengaruh pada irama (kecuali pada kasus
jarang dari VT idiopatik). Efek transien adenosin yang sangat cepat biasanya dapat
ditoleransi secara hemodinamik. Karena berbagai respon irama pada saat pemberian
74
adenosin ini dapat membantu diagnosis irama yang mendasari, sangat disarankan
melakukan dokumentasi dengan penggunaan rekaman EKG kontinyu. Cara pemberian
adenosin sama dengan pemberian pada PSVT: 6 mg IV bolus cepat, setelah itu dapat
diberikan bolus 12 mg jika irama tidak terkonversi.
Defibrilator harus tersedia jika memberikan adenosin dalam kasus takikardia QRS
lebar. Efek samping dapat terjadi pada pasien dengan atrial fibrillation pre-eksitasi yang
diobati dengan adenosin yaitu konversi menjadi atrial fibrillation dengan respon
ventrikular cepat. Di samping itu dapat terjadi VF pada atrial fibrillation pre-eksitasi, WPW
atau VT.

Obat Antiaritmia
Pada pasien VT yang stabil, obat antiaritmia atau kardioversi elektif adalah tata laksana
pilihan. Jika antiaritmia IV diberikan, amiodarone, lidocaine dapat dipertimbangkan.
Alternatif lainnya adalah Procainamide dan sotalol, yang harus dihindari pada pasien
dengan interval QT memanjang. Jika salah satu obat antiaritmia ini diberikan, pemberian
obat antiaritmia kedua tidak boleh diberikan tanpa konsultasi ahli. Jika terapi antiaritmia
tidak berhasil, maka kardioversi atau konsultasi ahli harus dipertimbangkan.
Amiodarone efektif dalam mencegah rekurensi VT monomorfik atau mengobati
aritmia ventrikular refrakter pada pasien dengan penyakit arteri koroner dan fungsi
ventrikel yang buruk. Amiodarone diberikan 150 mg IV selama 10 menit; dosis dapat
diulang jika diperlukan dengan dosis maksimum 2.2 g IV per 24 jam. Dosis lebih tinggi (300
mg) menyebabkan peningkatan frekuensi hipotensi, walau beberapa laporan mengatakan
hipotensi diakibatkan zat pelarut vasoaktif.
Lidokain kurang efektif dalam terminasi VT dibandingkan amiodarone. Lidocaine dapat
dipertimbangkan sebagai terapi antiaritmia lini kedua untuk VT monomorfik. Lidocaine
dapat diberikan pada dosis 1-1,5 mg/kgBB IV bolus. Infus rumatan adalah 1-4 mg/menit
(30-50 μg/kgBB/menit).

Takikardia QRS Lebar Tidak Teratur


Takikardia QRS lebar tidak teratur biasanya disebabkan oleh atrial fibrillation dengan
konduksi aberan, atrial fibrillation pre-eksitasi atau VT polimorfik.
• Atrial fibrillation dengan konduksi aberan

75
Tata laksana atrial fibrillation dengan konduksi aberan sama dengan tata
laksana atrial fibrillation pada umumnya.
• Atrial fibrillation pre-eksitasi
Pada analisis suatu irama kompleks QRS lebar tidak teratur, harus dipikirkan
suatu atrial fibrillation pre-eksitasi. Konsultasi ahli dianjurkan. Pada kasus ini
hindari obat-obat penghambat nodus AV seperti adenosin, penghambat kanal
kalsium, digoksin dan kemungkinan penghambat beta karena secara paradoks obat
ini malah dapat menyebabkan peningkatan respon ventrikel. Biasanya pasien
dengan atrial fibrillation pre- eksitasi memiliki denyut jantung yang sangat cepat
dan memerlukan kardioversi elektrik secepatnya. Ketika kardioversi elektrik tidak
tersedia atau tidak efektif, atau atrial fibrillation rekuren, maka penggunaan obat
kontrol irama seperti amiodaron dapat berguna, baik dalam mengontrol kecepatan
maupun stabilisasi irama.
• VT polimorfik
VT polimorfik biasanya memerlukan defibrilasi secepatnya dengan energi yang
sama dengan VF. Bila pasien VT polimorfik memiliki hemodinamik stabil atau
rekuren, konsultasikan dengan ahli.
Obat farmakologik untuk mencegah rekurensi VT polimorfik ditujukan pada
penyebab yang mendasari dan ada tidaknya pemanjangan interval QT pada irama
sinus. Jika interval QT memanjang selama irama sinus (dengan kata lain VT-nya
adalah torsades de pointes), maka langkah pertama adalah menghentikan obat-
obatan yang diketahui memperpanjang interval QT. Perbaiki ketidakseimbangan
elektrolit dan pemicu akut lainnya (misalnya overdosis obat atau keracunan).
Walau magnesium umum digunakan pada VT torsades de pointes (VT polimorfik
terkait dengan interval QT memanjang), secara ilmiah penggunaannya hanya
didukung oleh 2 penelitian observasional yang menunjukkan keefektifannya pada
pasien dengan interval QT memanjang. Pada serial kasus lain isoproterenol atau
pacu ventrikel efektif dalam terminasi torsades de pointes yang terkait dengan
bradikardia dan pemanjangan interval QT yang diinduksi obat. VT polimorfik akibat
sindroma QT memanjang familial dapat diobati dengan magnesium IV, pacu
jantung dan/atau penghambat beta; isoproterenol harus dihindari. VT polimorfik
terkait dengan sindroma QT memanjang didapat dapat diobati dengan magnesium

76
IV. Tambahan pacu jantung atau isoproterenol IV dapat dipertimbangkan pada VT
polimorfik dengan bradikardia atau tampak dipicu oleh jeda pada irama.
VT polimorfik tanpa pemanjangan interval QT paling banyak disebabkan oleh
iskemia miokard. Pada kondisi ini, amiodarone IV dan penghambat beta dapat
menurunkan rekurensi aritmia. Iskemia miokard harus diobati dengan penghambat
beta dan pertimbangkan kateterisasi jantung dan revaskularisasi. Berbeda dengan
amiodaron, magnesium tidak efektif dalam mencegah VT polimorfik pada pasien
dengan interval QT normal.
Penyebab lain VT polimorfik selain iskemia miokard dan sindroma QT
memanjang adalah VT katekolaminergik (yang mungkin responsif dengan
penghambat beta) dan sindroma Brugada (yang mungkin responsif dengan
isoproterenol).

2.2. Hemodinamik Tidak stabil


Takikardia dengan hemodinamik tidak stabil memerlukan usaha cepat mengatasi
takikardia dengan terapi listrik. Terapi listrik pilihan pada takikardia tidak stabil adalah
kardioversi tersinkronisasi (synchronized cardioversion).
Pasien yang tidak stabil dengan gambaran irama takikardia kompleks QRS lebar
harus dianggap sebagai VT dan segera lakukan kardioversi. Hantaman dada (precordial
thump) dapat dipertimbangkan pada pasien VT tidak stabil yang disaksikan, terpasang
monitor EKG dan bila defibrilator belum siap untuk langsung digunakan. Kardioversi
biasanya dimulai dengan memberikan dosis inisial energi kecil, kemudian ditingkatkan
bertahap bila dosis inisial tidak berhasil. Pada takikardia QRS lebar teratur dosis inisial
diberikan 100 J (bifasik atau monofasik). Sedangkan bila aritmia bersifat QRS lebar dan
tidak teratur/polimorfik, kardioversi tidak bisa dilakukan. Jadi bila ditemukan pasien tidak
stabil dengan takikardia QRS lebar polimorfik atau bila ada keraguan apakah irama yang
ada VT monomorfik atau polimorfik, lakukan syok listrik tidak tersinkronisasi dosis tinggi,
atau dengan kata lain lakukan defibrilasi. Pasca melakukan kardioversi pada VT, jika tidak
ada perubahan irama jantung, pastikan terlebih dahulu ada tidaknya nadi, karena bisa
berubah jadi VT tanpa nadi. Jika masih terdapat nadi, naikkan dosis kardioversi 50 J dari
dosis sebelumnya.

77
Gambar 7.5. Algoritma Tatalaksana Takikardia

78
REFERENSI
1. Neumar RW, Otto CW, Link MS, et al. 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation.
2010;122:S729–S767.
2. Katritsis, D. G., Boriani, G., Cosio, F. G., Hindricks, G., Jais, P., Josephson, M. E., ... &
Lane, D. A. (2017). European Heart Rhythm Association (EHRA) consensus document
on the management of supraventricular arrhythmias, endorsed by Heart Rhythm
Society (HRS), Asia-Pacific Heart Rhythm Society (APHRS), and Sociedad
Latinoamericana de Estimulación Cardiaca y Electrofisiologia (SOLAECE). EP Europace,
19(3), 465-511.
3. Blomström-Lundqvist, C., Scheinman, M. M., Aliot, E. M., Alpert, J. S., Calkins, H.,
Camm, A. J., ... & Miller, D. D. (2003). ACC/AHA/ESC guidelines for the management
of patients with supraventricular arrhythmias—executive summary: a report of the
American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines and the European Society of Cardiology Committee for Practice Guidelines
(Writing Committee to Develop Guidelines for the Management of Patients with
Supraventricular Arrhythmias) developed in collaboration with NASPE-Heart Rhythm
Society. Journal of the American College of Cardiology, 42(8), 1493-1531.
4. Monsieurs, K. G., Nolan, J. P., Bossaert, L. L., Greif, R., Maconochie, I. K., Nikolaou, N.
I., ... & Zideman, D. A. (2015). European resuscitation council guidelines for
resuscitation 2015 section 1. Executive summary. Resuscitation.-Limerick, 1972,
currens, 95, 1-80.
5. Page, R. L., Joglar, J. A., Caldwell, M. A., Calkins, H., Conti, J. B., Deal, B. J., ... & Indik,
J. H. (2016). 2015 ACC/AHA/HRS guideline for the management of adult patients with
supraventricular tachycardia: a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice Guidelines and
the Heart Rhythm Society. Journal of the American College of Cardiology, 67(13), e27-
e115.
6. Kirchhof, P., Benussi, S., Kotecha, D., Ahlsson, A., Atar, D., Casadei, B., ... & Hindricks,
G. (2016). 2016 ESC Guidelines for the management of atrial fibrillation developed in
collaboration with EACTS. European journal of cardio-thoracic surgery, 50(5), e1-e88.
7. Authors/Task Force Members, Priori, S. G., Blomström-Lundqvist, C., Mazzanti, A.,

79
Blom, N., Borggrefe, M., ... & Hindricks, G. (2015). 2015 ESC Guidelines for the
management of patients with ventricular arrhythmias and the prevention of sudden
cardiac death: The Task Force for the Management of Patients with Ventricular
Arrhythmias and the Prevention of Sudden Cardiac Death of the European Society of
Cardiology (ESC) Endorsed by: Association for European Paediatric and Congenital
Cardiology (AEPC). Ep Europace, 17(11), 1601-1687.
8. Glover, B. M., Walsh, S. J., McCann, C. J., Moore, M. J., Manoharan, G., Dalzell, G. W.,
... & Mathew, T. P. (2008). Biphasic energy selection for transthoracic cardioversion
of atrial fibrillation. The BEST AF Trial. Heart, 94(7), 884-887.
9. Manegold, J. C., Israel, C. W., Ehrlich, J. R., Duray, G., Pajitnev, D., Wegener, F. T., &
Hohnloser, S. H. (2007). External cardioversion of atrial fibrillation in patients with
implanted pacemaker or cardioverter-defibrillator systems: a randomized
comparison of monophasic and biphasic shock energy application. European heart
journal, 28(14), 1731-1738.
10. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... & Sunde, K.
(2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015: section 3.
Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
11. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R., Hirsch, K.
G., ... & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life Support: 2020
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.

———»»»œ«««———

80
BAB VII
SINDROMA KORONER AKUT

Tujuan Pembelajaran
Pada akhir pembahasan kasus ini peserta diharapkan dapat:
• Mendiskusikan diagnosis dan diagnosis banding nyeri dada yang mengancam
nyawa
• Mampu membaca EKG dan mengklasifikasikan ke dalam tiga kategori yaitu
adanya ST elevasi, ST depresi, atau EKG normal
• Menjelaskan dan menggunakan algoritma SKA, termasuk penggunaan obat,
dosis, dan strategi penanganan
• Mengerti dan menjelaskan identifikasi dini, stratifikasi risiko, dan terapi pasien
dengan SKA
• Mampu mengidentifikasi dan memberikan terapi nyeri dada iskemik akut
• Menjelaskan tentang penggunaan obat-obat SKA
• Mampu menjelaskan petunjuk strategi reperfusi
• Mampu melakukan penilaian stratifikasi risiko tinggi pada SKA NSTEMI

A. Pendahuluan
Sindroma koroner akut merupakan suatu kegawatan kardiovaskular yang memiliki
potensi komplikasi yang dapat berakibat fatal. Sindroma koroner akut, terutama infark
miokard, merupakan penyebab utama kejadian henti jantung mendadak yang disebabkan
aritmia maligna yang terjadi saat serangan.
Tujuan terapi SKA adalah mengurangi daerah miokard yang mengalami infark sehingga
fungsi ventrikel kiri dapat dipertahankan, mencegah komplikasi kardiak fatal dan
menangani komplikasi SKA. Diagnosis dan terapi yang cepat akan menyelamatkan
miokard pada jam-jam awal infark. Pada bab ini akan dibahas mengenai sindroma koroner
akut meliputi angina pectoris tidak stabil, serta infark miokard baik dengan gambaran
elektrokardiogram disertai ST elevasi maupun non-ST elevasi.

81
B. Definisi
Pengertian SKA merujuk pada sekumpulan keluhan dan tanda klinis yang sesuai
dengan iskemia miokard akut. Sindroma koroner akut merupakan suatu spektrum dalam
perjalanan penderita penyakit jantung koroner (aterosklerosis koroner). SKA dapat
berupa angina pektoris tidak stabil, infark miokard dengan non-ST elevasi, infark miokard
dengan ST elevasi, dan atau kematian jantung mendadak.

C. Epidemiologi
Sindroma koroner akut adalah kegawatan kardiovaskular yang merupakan penyebab
utama kematian. Kematian terbanyak terjadi di luar rumah sakit. Kematian yang terjadi
sebelum pasien sampai di rumah sakit berhubungan dengan aritmia maligna (VT/VF).
Banyak kejadian terjadi dalam empat jam pertama setelah awal serangan. Kematian di
rumah sakit lebih banyak berhubungan dengan menurunnya curah jantung termasuk
gagal jantung kongestif dan syok kardiogenik. Kematian berhubungan dengan luasnya
miokard yang terkena. Oleh karena itu, upaya membatasi luas infark akan menurunkan
mortalitas.

D. Patofisiologi
Penyebab terjadinya SKA secara teoritis adalah akibat trombosis koroner dan robekan
plak (plaque fissure). Pada penelitian angiografi dan studi post-mortem yang dilakukan
pada pasien SKA segera setelah timbulnya keluhan tampak bahwa pada lebih dari 85%
kasus terdapat oklusi trombus pada arteri penyebab (culprit artery). Trombus yang
terbentuk merupakan campuran trombus putih (white thrombus) dan trombus merah
(red thrombus). Trombosis koroner yang terjadi umumnya dihubungkan dengan robekan
plak. Perubahan yang tiba-tiba dari angina stabil menjadi tidak stabil atau infark miokard
umumnya berhubungan dengan robekan plak pada titik di mana shear stress-nya tinggi
dan dapat terjadi pada plak aterosklerosis yang besar maupun kecil (minor). Plak yang
mengalami robekan kemudian merangsang agregasi trombosit yang selanjutnya akan
membentuk trombus. Spasme arteri koroner juga berperan penting dalam patofisiologi
SKA. Perubahan tonus pembuluh darah koroner melalui nitric oxide (NO) endogen dapat
membuat variasi ambang rangsang angina antara satu pasien dengan yang lain dan antara
satu waktu dengan waktu yang lain. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tonus

82
arteri yaitu hipoksia, katekolamin endogen, dan zat vasoaktif (serotonin, adenosin
difosfat).
Pasien dengan aterosklerosis koroner bisa mengalami gejala klinis yang bervariasi
tergantung dari tingkat sumbatan arteri koroner. Gejala-gejala klinis ini meliputi angina
tidak stabil, non-ST-segment elevation myocardial infarction (NSTEMI), dan ST-segment
elevation myocardial infarction (STEMI). Beberapa hal yang mendasari patofisiologi SKA
adalah sebagai berikut:
a. Plak tidak stabil
Penyebab utama terjadinya SKA adalah rupturnya plak yang kaya lipid dengan
cangkang yang tipis. Umumnya plak yang mengalami ruptur secara hemodinamik tidak
signifikan besar lesinya. Adanya komponen sel inflamasi yang berada di bawah
subendotel merupakan titik lemah dan merupakan predisposisi terjadinya ruptur plak.
Kecepatan aliran darah, turbulensi, dan anatomi pembuluh darah juga memberikan
kontribusi terhadap hal tersebut.
b. Ruptur plak
Setelah plak ruptur, sel-sel platelet akan menutupi atau menempel pada plak yang
ruptur. Ruptur akan merangsang dan mengaktifkan agregasi platelet. Fibrinogen akan
menyelimuti platelet yang kemudian akan merangsang pembentukan trombin.

Gambar 7.1. Patofisiologi sindroma koroner akut

83
c. Angina tidak stabil
Sumbatan trombus yang parsial akan menimbulkan gejala iskemia yang progresif (lebih
lama atau pada aktivitas yang lebih ringan dari biasanya), gejala iskemia yang baru
pertama terjadi, atau terjadi saat istirahat. Pada fase ini trombus kaya akan platelet
sehingga terapi aspirin, clopidogrel, dan GP IIb/IIIa inhibitor paling efektif. Pemberian
trombolisis pada fase ini tidak efektif dan malah sebaliknya dapat mengakselerasi
oklusi dengan melepaskan bekuan yang berikatan dengan trombin yang dapat
mempromosi terjadinya koagulasi. Oklusi trombus yang bersifat intermiten dapat
menyebabkan nekrosis miokard sehingga menimbulkan NSTEMI.
d. Mikroemboli
Mikroemboli dapat berasal dari trombus yang emboli ke distal dan bersarang di dalam
mikrovaskular koroner yang menyebabkan troponin jantung meningkat (penanda
adanya nekrosis di jantung). Kondisi ini merupakan risiko tinggi terjadinya infark
miokard yang lebih luas.
e. Oklusi trombus
Jika trombus menyumbat total pembuluh darah koroner dalam jangka waktu yang
lama, maka akan menyebabkan STEMI. Bekuan ini kaya akan trombin, oleh karena itu,
pemberian fibrinolisis yang cepat dan tepat atau langsung dilakukan intervensi coroner
perkutan (IKP) dapat membatasi perluasan infark miokard.

E. Diagnosis dan Tatalaksana SKA


1. Pengertian
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan suatu sekumpulan keluhan dan tanda klinis
yang sesuai dengan iskemia miokard akut. Diagnosis SKA dibuat berdasarkan keluhan
khas angina. Terkadang pasien tidak ada keluhan angina, namun terdapat sesak napas
atau keluhan lain yang tidak khas seperti nyeri epigastrik atau sinkop yang disebut
angina equivalent. Hal ini diikuti perubahan elektrokardiogram (EKG) dan atau
perubahan enzim jantung. Pada beberapa kasus, keluhan pasien, gambaran awal EKG
dan pemeriksaan laboratorium enzim jantung awal tidak bisa menyingkirkan adanya
SKA, oleh karena perubahan EKG bersifat dinamis dan peningkatan enzim baru terjadi
beberapa jam kemudian. Pada kondisi ini diperlukan pengamatan secara serial
sebelum menyingkirkan diagnosis SKA.

84
2. Gejala
Gejala - gejala umum iskemia dan infark miokard adalah nyeri dada retrosternal.
Yang perlu diperhatikan dalam evaluasi keluhan nyeri dada iskemik khas SKA adalah:
• Lokasi nyeri: di daerah retrosternal, pasien sulit melokalisasi rasa nyeri
• Deskripsi nyeri: pasien mengeluh rasa berat seperti dihimpit, ditekan, diremas,
panas, atau dada terasa penuh. Keluhan tersebut lebih dominan dibandingkan
rasa nyeri yang sifatnya tajam. Perlu diwaspadai juga bila pasien mengeluh nyeri
epigastrik, sinkop, atau sesak napas (angina equivalent)
• Penjalaran nyeri: penjalaran ke lengan kiri, bahu, punggung, epigastrium, leher
(rasa tercekik), atau rahang bawah (rasa ngilu). Kadang nyeri juga menjalar ke
lengan kanan atau kedua lengan
• Lama nyeri: nyeri pada SKA dapat berlangsung lama, lebih dari 20 menit. Pada
IMA-EST, nyeri lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan istirahat atau nitrat
sublingual
• Gejala sistemik: disertai keluhan seperti mual, muntah, atau keringat dingin.
Pada infark miokard seringkali disertai gejala otonom seperti keringat dingin
yang membasahi baju, mual atau muntah, palpitasi, atau pandangan melayang.

Selain itu, perlu ditelusuri lebih lanjut mengenai faktor risiko SKA seperti merokok,
hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, faktor genetik di keluarga (Riwayat orang
tua atau saudara kandung yang mengalami serangan jantung atau meninggal
mendadak di usia muda), dan menopause pada wanita, untuk semakin memperkuat
diagnosis SKA.

Diagnosis banding SKA


Penyakit yang mengancam jiwa dan dapat menyerupai nyeri dada iskemia:
1) Diseksi aorta: tanyakan sifat nyeri, apakah seperti dirobek
2) Emboli paru akut: tanyakan faktor risiko berupa imobilisasi
3) Tension pneumothorax: tanyakan riwayat penyakit paru lama, cedera dinding
dada

85
3. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menegakkan diagnosis, menyingkirkan
kemungkinan penyebab nyeri dada lainnya, dan mengevaluasi adanya komplikasi SKA.
Pemeriksaan fisik pada SKA umumnya normal. Terkadang pasien terlihat cemas,
berkeringat dingin, atau didapat tanda komplikasi berupa takipnea, takikardia hingga
bradikardia, adanya gallop, ronki basah halus di paru, atau terdengar bising jantung
(murmur) atau akral yang dingin bila disertai kondisi syok kardiogenik. Bila tidak ada
komplikasi, biasanya dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan yang berarti.

4. EKG
Pemeriksaan EKG merupakan pemeriksaan penunjang yang penting pada diagnosis
SKA untuk menentukan tata laksana selanjutnya. EKG harus diambil dalam 10 menit
pertama setelah pasien dating ke unit gawat darurat dengan keluhan nyeri dada.
Berdasarkan gambaran EKG, pasien SKA dapat diklasifikasikan dalam 2 kelompok:
1) Dengan elevasi segmen ST atau left bundle branch block (LBBB)
baru/dianggap baru (new or presumably new LBBB). Didapatkan gambaran
elevasi segmen ST minimal di dua sadapan yang berhubungan
2) Tanpa elevasi segmen ST, dengan gambaran EKG umumnya berupa depresi
segmen ST atau inversi gelombang T yang dinamis pada saat pasien
mengeluh nyeri dada

Gambar 7.2. Cara mengukur deviasi segmen ST

86
Beberapa contoh gambaran EKG SKA dengan ST elevasi dan tanpa ST elevasi serta gambar
new LBBB:

Gambar 7.3. STEMI extensive anterior wall (ST elevasi di sadapan V2-V6, I, aVL)

Gambar 7.4. STEMI inferior wall (terdapat ST elevasi di sadapan II, III, aVF)

87
Gambar 7.5. EKG LBBB (kompleks QRS yang lebar di V5-V6, I dan aVL disertai
gelombang S yang dalam di V1-V2)

5. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk menilai adanya tanda nekrosis miokard seperti
CK-MB, Troponin T dan I, serta mioglobin dipakai untuk menegakkan diagnosis SKA.
Troponin lebih dipilih karena lebih sensitif dari pada CK-MB. Troponin berguna untuk
diagnosis, stratifikasi risiko, dan menentukan prognosis. Troponin yang meningkat
akan meningkatkan risiko kematian. Pada pasien SKA dengan ST elevasi, reperfusi tidak
boleh ditunda hanya untuk menunggu enzim jantung.
CK-MB merupakan isoenzim dari creatinin kinase, dengan konsentrasi terbesar
terdapat pada miokardium. Dalam jumlah kecil CK-MB dapat dijumpai di otot rangka,
usus kecil atau diafragma. CK-MB mulai meningkat 3 jam setelah infark dan mencapai
puncaknya setelah 12-14 jam. CK-MB akan mulai menghilang dari darah 48-72 jam
setelah infark.
Troponin mengatur interaksi kerja aktin dan myosin dalam otot jantung dan lebih
spesifik dari CK-MB. Ada dua bentuk yaitu troponin T dan I. Enzim ini mulai meningkat
pada jam 3 setelah onset nyeri dada. mencapai puncaknya pada jam ke-12 hingga 24,
serta kadarnya masih meningkat sampai beberapa hari ke depan, kemudian nilainya
kembali ke normal pada hari ke 8 – 21 (trop T) dan 7 – 14 (trop I). Peningkatan enzim
ini menjadi bukti adanya nekrosis miokard dan menunjukkan prognosis yang buruk

88
pada SKA. Pengukuran enzim jantung troponin bersama dengan pemeriksaan EKG
secara serial merupakan bagian dari evaluasi pasien dengan tanda dan gejala yang
mencurigai adanya SKA. Petugas medis perlu mengetahui onset dari gejala sebelum
melakukan pemeriksaan enzim jantung, karena troponin maupun CK-MB baru
meningkat 3 jam setelah onset iskemik.
Pada pedoman tahun 2015, penggunaan biomarkers high sensitive-cardiac
Troponin I (hs-cTnI) dan high sensitive-cardiac Troponin T (hs-cTnT) dianjurkan bila
tersedia, mengingat biomarker ini lebih sensitif untuk mendeteksi adanya nekrosis
miokard lebih awal. Deteksi peningkatan troponin (Tn) diatas nilai persentil 99 batas
atas, sangat sensitif dan spesifik menunjukkan adanya nekrosis miokard. Ambang
batas deteksi untuk hs-cTnI 0,056 mcg/L sedangkan untuk hs-cTnT 14 ng/L. Pedoman
tahun 2015 juga merekomendasikan untuk tidak melakukan pemeriksaan hs-cTnI atau
hs-cTnT pada jam ke-0 dan jam ke-2 tanpa melakukan stratifikasi risiko klinis untuk
menyingkirkan diagnosis SKA. Hasil pengukuran hs-cTnI dengan nilai kurang dari
persentil 99 pada jam 0 dan jam ke-2 bersama dengan nilai stratifikasi risiko klinis yang
rendah (skor TIMI 0 atau 1) memprediksi angka kejadian major adverse cardiac event
(MACE) dalam 30 hari kurang dari 1%.
Bila tidak tersedia pemeriksaan hs-cTnT atau hs-cTnI, pemeriksaan troponin T atau
troponin I yang negatif pada saat datang dan antara 3 sampai 6 jam dari onset iskemik
dapat digunakan bersamaan dengan stratifikasi risiko yang sangat rendah (TIMI skor 0,
low risk Vancouver rule, North American chest pain score 0, dan usia < 50 tahun atau
HEART score risiko rendah) dapat memprediksi kurang dari 1% MACE dalam 30 hari

89
Gambar 7.6 Pemeriksaan enzim jantung pada sindrom koroner akut

Tatalaksana umum SKA


Secara umum, tata laksana infark miokard akut dengan ST elevasi (IMA EST) dan
infark miokard akut tanpa ST elevasi (IMA NEST) hampir sama, baik pra rumah sakit
maupun saat di rumah sakit. Perbedaan terdapat pada strategi terapi reperfusi, dimana
IMA EST lebih ditekankan untuk segera melakukan reperfusi, baik dengan medikamentosa
(fibrinolisis) atau intervensi (intervensi koroner perkutan - IKP).
a. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Tindakan-tindakan pra rumah sakit dilakukan oleh emergency medical service
(layanan gawat darurat) sebelum pasien tiba di rumah sakit, biasanya dilakukan di
dalam ambulans. Bila dicurigai SKA, segera lakukan pemeriksaan EKG 12 sadapan dan
berikan pemberitahuan ke RS bila ada rencana untuk dilakukan tindakan fibrinolisis
atau IKP primer.
Pemeriksaan EKG dengan pembacaan oleh mesin komputer tanpa konfirmasi
dengan dokter atau petugas medis terlatih tidak dianjurkan mengingat tingginya hasil
pembacaan positif palsu.
Tindakan yang dilakukan pada layanan gawat darurat adalah:
• Monitoring, amankan ABC (airway, breathing, circulation). Persiapkan diri untuk
melakukan RJP dan defibrilasi
90
• Berikan aspirin. Pertimbangkan pemberian oksigen, nitrogliserin, dan morfin jika
diperlukan
• Pemeriksaan EKG 12 sadapan dan interpretasi. Jika terdapat ST elevasi,
informasikan rumah sakit dan catat waktu onset serta kontak pertama dengan
tim medis
• Lakukan pemberitahuan ke RS untuk melakukan persiapan penerimaan pasien
dengan SKA
• Bila akan diberikan fibrinolitik pra rumah sakit, lakukan checklist kontraindikasi
fibrinolitik
Aspirin dapat diberikan sesegera mungkin pada pasien dengan kecurigaan SKA
sehingga dapat diberikan pra rumah sakit secara dikunyah dengan dosis 160 - 320 mg.
Sebelum memberikan aspirin, pastikan tidak terdapat alergi aspirin pada pasien.

b. Tata Laksana Awal di Rumah Sakit


1. Oksigen
Pada pedoman 2010, oksigen diberikan pada semua pasien dengan sesak
napas, tanda gagal jantung, syok, atau saturasi oksigen <94%. Monitoring SpO2
akan sangat bermanfaat untuk mengetahui perlu tidaknya diberikan oksigen pada
pasien. Konsensus 2015 memuat beberapa pendapat yang mempersoalkan
tentang perlu tidaknya terapi oksigen pada pasien SKA dengan SpO2 yang normal.
Pedoman 2015 merekomendasikan untuk mempertimbangkan penundaan terapi
oksigen pada pasien dengan kecurigaan atau terbukti SKA dengan SpO2 yang
normal. Indikasi terapi oksigen adalah pada kondisi:
▪ Pasien dengan nyeri dada menetap atau berulang atau hemodinamik
tidak stabil
▪ Pasien dengan tanda bendungan paru (gagal jantung akut)
▪ Pasien dengan saturasi oksigen <90%
2. Aspirin
Aspirin dapat menurunkan reoklusi koroner dan berulangnya kejadian iskemik
setelah terapi fibrinolitik. Penggunaan aspirin supositoria dapat dilakukan pada
pasien dengan mual, muntah, ulkus peptik, atau gangguan pada saluran
pencernaan atas. Dosis pemeliharaan 80-100 mg/hari.

91
Obat anti-inflamatorik non steroid (OAINS) baik yang selektif maupun
nonselektif tidak boleh diberikan pada SKA selama di RS karena dapat
meningkatkan risiko kematian, reinfark, gagal jantung, hipertensi, dan ruptur
miokard.
3. Nitrat
Tablet nitrogliserin sublingual dapat diberikan sampai 3 kali dengan interval 3-
5 menit jika tidak terdapat kontraindikasi. Obat ini tidak boleh diberikan pada
pasien dengan hemodinamik tidak stabil yaitu tekanan darah sistolik <90 mmHg
atau >30 mmHg lebih rendah dari pemeriksaan tekanan darah awal (jika
dilakukan), bradikardia <50 x/menit atau takikardia >150x/menit tanpa adanya
gagal jantung, dan adanya infark ventrikel kanan. Nitrogliserin adalah venodilator
dan penggunaannya harus berhati-hati pada keadaan pasien yang menggunakan
obat penghambat fosfodiesterase (contoh: sildenafil) dalam waktu <24 jam (48
jam pada tadalafil). Dosis untuk nitrogliserin adalah 400 mikrogram, sedangkan
ISDN adalah 5 mg secara sublingual.
4. Analgetik
Analgetik terpilih pada pasien SKA adalah morfin. Pemberian morfin dilakukan
jika tidak ada respons terhadap pemberian nitrogliserin sublingual atau semprot.
Morfin merupakan pengobatan yang cukup penting pada SKA oleh karena:
▪ Menimbulkan efek analgesik pada SSP yang dapat mengurangi aktivasi
neurohumoral dan menyebabkan pelepasan katekolamin
▪ Menyebabkan venodilatasi yang akan mengurangi beban ventrikel kiri dan
mengurangi kebutuhan oksigen
▪ Menurunkan tahanan vaskular sistemik, sehingga mengurangi afterload
ventrikel kiri
▪ Membantu redistribusi volume darah pada edema paru akut

92
Gambar 7.7 Algoritma Sindroma Koroner Akut
93
Tata laksana ST Elevasi
1. Pengertian
IMA EST merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner.
Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah
dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen
fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis IMA
EST ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST
yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tata laksana revaskularisasi
tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung.

2. Tatalaksana
Terapi reperfusi pada IMA EST merupakan perkembangan yang sangat penting
dalam pengobatan penyakit kardiovaskular saat ini. Terapi fibrinolitik segera atau IKP
primer sudah merupakan standar pengobatan pasien IMA EST yang onset serangan
masih dalam 12 jam dan tidak terdapat kontraindikasi. Terapi reperfusi dapat
menyelamatkan fungsi miokard dan mengurangi mortalitas. Semakin pendek waktu
reperfusi, manfaatnya semakin besar.
Terapi Reperfusi pada IMA EST
Reperfusi pada pasien IMA EST akan mengembalikan aliran koroner pada arteri
yang berhubungan dengan area infark, mencegah perluasan infark, dan menurunkan
mortalitas jangka panjang. Fibrinolisis berhasil mengembalikan aliran normal koroner
pada 50-60% kasus, sedangkan IKP primer dapat mengembalikan aliran normal sampai
90% kasus, dan manfaat ini lebih besar didapatkan pada pasien dengan syok
kardiogenik. Tindakan IKP juga memiliki risiko perdarahan intrakranial dan stroke yang
lebih rendah. Pada SKA dengan elevasi segmen ST dan LBBB baru atau dugaan baru,
sebelum melakukan terapi reperfusi harus dilakukan evaluasi sebagai berikut:
Langkah I
o Nilai waktu onset serangan
o Perhitungkan risiko IMA EST
o Perhitungkan risiko fibrinolisis
o Waktu yang diperlukan dari transportasi kepada ahli intervensi (kateterisasi/IKP)
yang tersedia

94
Langkah II
Dalam melakukan pemilihan strategi terapi reperfusi ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, antara lain onset STEMI, ada tidaknya fasilitas intervensi coroner
perkutan (IKP) dan tenaga ahli, kontraindikasi fibrinolisis, dan pada pasien yang risiko
lebih tinggi.

Tabel 7.3. Pemilihan strategi terapi reperfusi (fibrinolisis atau invasif)

Terapi Fibrinolisis Terapi Invasif (IKP)


• Onset < 12 jam (fibrinolisis paling • Onset < 12 jam, setelah onset >3 jam IKP
efektif jika dilakukan pada onset <3 lebih efektif daripada fibrinolitik
jam) • Dapat dipertimbangkan setelah onset
• Tidak ada akses ke fasilitas IKP (untuk >12 jam jika pasien masuk ke dalam
merujuk memerlukan waktu >120 kriteria risiko tinggi
menit) atau akan menimbulkan • Tersedia ahli IKP
penundaan: o Kontak medik-balon atau door-to-
o Kontak medik-balon (pada tindakan balloon time < 90 menit
IKP) atau door-to-balloon time > 90 o (Door-to-balloon time) dikurangi
menit (door-to-needle time) < 1 jam
o (Door-to-balloon time) dikurangi • Terdapat kontraindikasi fibrinolisis,
(door-to-needle time) > 1 jam termasuk risiko perdarahan tinggi
• Tidak terdapat kontraindikasi • STEMI risiko tinggi (CHF, Killip ≥ 3)
fibrinolisis • Diagnosis STEMI diragukan

*Pada pemilihan strategi reperfusi diatas, fibrinolitik memiliki efikasi yang sama
baiknya dengan IKP primer dalam pencapaian TIMI 3 flow pada arteri koroner yang
mengalami sumbatan total apabila dilakukan dengan onset < 3 jam

95
Terapi fibrinolisis
Sebelum dilakukan tindakan fibrinolisis, pasien harus dilakukan pemeriksaan ada
tidaknya kontraindikasi fibrinolisis.

Tabel 7.4. Kontraindikasi fibrinolisis


Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif
• Perdarahan intrakranial kapanpun • Tekanan darah yang tidak terkontrol
• Stroke iskemik kurang dari 3 bulan dan • Tekanan darah sistolik >180 mmHg
lebih dari 3 jam dan tekanan darah diastolik >110
• Tumor intrakranial mmHg
• Adanya kelainan struktur vaskular • Riwayat stroke iskemik >3 bulan,
serebral demensia
• Kecurigaan diseksi aorta • Trauma atau RJP lama (>10menit)
• Perdarahan internal aktif atau atau operasi besar < 3 bulan
gangguan sistem pembekuan darah • Perdarahan internal dalam 2-4
• Cedera kepala tertutup atau cedera minggu
wajah dalam 3 bulan terakhir • Penusukan pembuluh darah yang
sulit dilakukan penekanan
• Hamil
• Ulkus peptikum
• Sedang menggunakan antikoagulan
dengan INR tinggi

96
Gambar 7.9. Ceklis fibrinolisis pra rumah sakit

Pengobatan fibrinolisis lebih awal (door-drug <30 menit) dapat membatasi luasnya
infark, memperbaiki fungsi ventrikel, dan mengurangi angka kematian. Jenis obat
fibrinolisis dibagi menjadi fibrin spesifik (alteplase, reteplase, tenecteplase) dan non-
fibrin-spesifik (streptokinase). Di Indonesia umumnya yang tersedia adalah
streptokinase, dengan dosis pemberian sebesar 1,5 juta unit, dilarutkan dalam 100 cc
NaCl 0,9% atau dextrose 5%, diberikan secara infus selama 30 - 60 menit. Fibrinolisis
bermanfaat untuk diberikan pada IMA EST dengan onset < 12 jam dan tidak ada
kontraindikasi absolut dengan kriteria sebagai berikut: (1) ST elevasi atau perkiraan
LBBB baru, (2) Infark miokard yang luas, (3) Pada usia muda dengan risiko perdarahan

97
intraserebral yang lebih rendah. Sedangkan pada IMA EST dengan onset serangan
antara 12 - 24 jam atau infark kecil, atau pasien >75 tahun, strategi ini dianggap kurang
bermanfaat. Fibrinolisis mungkin berbahaya jika diberikan pada (1) Depresi segmen ST,
(2) Onset > 24 jam (3) Tekanan darah yang tinggi (tekanan darah sistolik >175 mmHg).
Selama dilakukan fibrinolisis, penderita harus dimonitor secara ketat (bedside).
Tanda vital dan EKG di evaluasi setiap 5-10 menit untuk mendeteksi risiko fibrinolisis
yaitu: (1) Perdarahan, (2) Alergi, (3) Hipotensi (4) Aritmia reperfusi; aritmia reperfusi
ini sebenarnya adalah salah satu tanda keberhasilan fibrinolisis namun apabila aritmia
reperfusi yang terjadi adalah aritmia maligna sebagai contoh ventrikular takikardia
maka perlu dilakukan penanganan segera.
Penilaian keberhasilan fibrinolisis dilakukan 60-90 menit dimulai dari saat obat
fibrinolisis dimasukkan. Tanda keberhasilan fibrinolisis adalah (1) resolusi komplit dari
nyeri dada (2) ST elevasi menurun > 50% (dilihat terutama pada sadapan dengan ST
elevasi tertinggi) (3). Adanya aritmia reperfusi. Bila fibrinolisis tidak berhasil maka
penderita secepatnya harus dilakukan IKP (rescue percutaneous coronary
intervention). Pada pedoman AHA 2015, setiap pasien yang telah dilakukan fibrinolisis
dianjurkan untuk dilakukan angiografi dini dalam 3-6 jam pertama hingga 24 jam pasca
fibrinolisis.

Tindakan Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKPP)


Angioplasti koroner dengan atau tanpa pemasangan stent adalah terapi pilihan
pada tata laksana IMA EST bila dapat dilakukan kontak doctor-balloon atau door-
balloon <90 menit pada pusat kesehatan yang mempunyai fasilitas IKP terlatih.
Pedoman 2015 merekomendasikan bahwa IKP primer (Primary Percutaneous
Coronary Intervention/PPCI) dapat dilakukan bila waktu dari onset keluhan kurang dari
12 jam dan waktu IKPP dari kontak pertama dengan tenaga kesehatan kurang dari 120
menit.
Rekomendasi pedoman 2015 yang berhubungan dengan tindakan IKPP:
1) Bilamana terapi fibrinolisis pra rumah sakit memungkinkan untuk dilakukan
selama transfer menuju RS dengan fasilitas IKPP, maka lebih diutamakan
untuk mengirim ke RS untuk dilakukan IKPP daripada fibrinolisis, oleh karena

98
risiko perdarahan lebih kecil jika dilakukan IKPP, namun tidak terdapat
perbedaan mortalitas antara kedua strategi tersebut.
2) Pada pasien dewasa yang mengalami IMA EST di unit gawat darurat RS tanpa
fasilitas IKP, disarankan agar pasien tersebut segera dipindahkan tanpa
fibrinolisis ke rumah sakit dengan fasilitas IKP, bukan diberikan fibrinolisis di
RS awal dan bukan baru dilakukan pemindahan untuk dilakukan IKP oleh
karena adanya iskemik residual.
3) Kombinasi tindakan fibrinolisis dahulu kemudian diikuti dengan dengan IKPP
tidak dianjurkan.
4) Jika telah dilakukan terapi fibrinolisis, perlu dipertimbangkan untuk
mengirim pasien ke RS dengan fasilitas IKP untuk dilakukan angiografi
koroner dalam 3-24 jam.
5) Jika waktu onset gejala yang timbul diketahui, interval antara kontak
pertama dengan petugas medis (first medical contact) dan reperfusi harus
tidak lebih dari 120 menit.
6) Pada IMA EST dengan onset 2 jam, fibrinolisis segera lebih direkomendasikan
dibanding IKPP bila diperkirakan keterlambatan untuk IKP primer lebih dari
60 menit.
7) Bila pasien IMA EST tidak dapat dirujuk ke RS yang memiliki fasilitas IKP tepat
waktu, maka sebagai alternatif terapi fibrinolitik diberikan kemudian pasien
dirujuk ke fasilitas IKP untuk angiografi koroner rutin.
8) Tindakan invasif segera dilakukan pada pasien SKA tanpa elevasi segmen ST
dengan risiko tinggi dan sangat tinggi.
9) Angiografi koroner emergensi segera dapat dilakukan pada pasien dengan
OHCA (Out-of-Hospital Cardiac Arrest) dengan kecurigaan penyebab dari
jantung atau elevasi segmen ST pada EKG
10) Angiografi koroner emergensi juga dilakukan pada pasien koma setelah
OHCA yang dicurigai penyebabnya dari jantung tanpa walau tanpa
didapatkan elevasi segment ST.
11) Angiografi koroner dianjurkan pada pasien pasca henti jantung baik koma
maupun sadar.

99
Tata laksana SKA non-ST Elevasi
A. Pengertian
Diagnosis IMA-NEST dan angina pektoris tidak stabil (APTS) ditegakkan jika terdapat
keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan
yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST,
inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization,
atau bahkan tanpa perubahan (Gambar 1). APTS dan IMA NEST dibedakan berdasarkan
kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan enzim jantung.

B. Tatalaksana
Angina pektoris tidak stabil (APTS) dan IMA NEST adalah termasuk spektrum SKA
tanpa ST elevasi. Kenaikan enzim jantung membedakan antara IMA NEST dengan APTS.
Diagnosis SKA NSTE baik APTS maupun IMA NEST harus dilakukan secara terintegrasi
dengan stratifikasi risiko. Tujuan utama dari stratifikasi risiko adalah untuk
mengidentifikasi pasien yang pada pemeriksaan awal tanpa profil risiko tinggi tetapi
didapatkan SKA dan PJK signifikan pada proses diagnostik. Stratifikasi risiko
memudahkan dokter melakukan skrining pasien yang akan mendapatkan manfaat
dengan tata laksana SKA dan menghindari prosedur dan pengobatan yang tidak
diperlukan pada pasien dengan risiko sangat rendah. Stratifikasi risiko dilakukan untuk
memprediksi terjadinya major adverse cardiac event (MACE) baik segera saat
perawatan, jangka menengah maupun jangka panjang. Stratifikasi risiko dapat juga
menjadi acuan untuk melakukan tindakan invasif dini pada SKA tanpa ST elevasi. Selain
parameter klinis seperti hemodinamik dan aritmia, stratifikasi risiko dapat dilakukan
dengan beberapa skor seperti TIMI dan GRACE.
Untuk stratifikasi risiko tinggi dan sangat tinggi perlu segera dilakukan
revaskularisasi berupa angiografi dan intervensi koroner. Kriteria stratifikasi risiko
ditampilkan pada tabel 7.1. Waktu pemilihan strategi invasif ditampilkan pada tabel
7.2.

100
Tabel 7.1. Stratifikasi risiko pada SKA tanpa ST elevasi
Kriteria risiko sangat tinggi
• Hemodinamik tidak stabil atau syok kardiogenik
• Nyeri dada yang sedang terjadi atau berulang yang refrakter terhadap
obat
• Aritmia yang mengancam nyawa atau henti jantung
• Komplikasi mekanik infark miokardium
• Gagal jantung akut
• Perubahan dinamik ST-T berulang, terutama bila elevasi segmen ST
persisten
Kriteria risiko tinggi
• Penurunan atau peningkatan troponin jantung sesuai dengan infark
miokardium
• Perubahan dinamik ST atau gelombang T (simtomatik atau
asimtomatik)
• Skor GRACE >140
Kriteria risiko sedang
• Diabetes mellitus
• Insufisiensi ginjal (eGFR < 60 mL/menit/1.73 m2)
• LVEF < 40% atau gagal jantung kongestif
• Angina dini pasca infark
• Riwayat IKP sebelumnya
• Riwayat operasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG) sebelumnya
• Skor GRACE >109 dan <140
Kriteria risiko rendah
Kriteria yang tidak disebutkan di atas

101
Tabel 7.2. Pemilihan strategi invasif dini pada SKA tanpa ST Elevasi
Tindakan invasif • Angina refrakter
segera (dalam 2 • Tanda dan gejala gagal jantung atau regurgitasi
jam) mitral baru atau perburukan
• Hemodinamik tidak stabil
• Angina atau iskemia rekuren waktu istirahat
meskipun dilakukan terapi intensif
• VT menetap atau VF
Strategi dipandu • Skor risiko rendah (misalnya TIMI 0 atau 1, GRACE
iskemia <109). Pasien perempuan risiko rendah dengan
troponin negatif
• Pilihan pasien atau klinisi pada pasien bukan risiko
tinggi
Tindakan invasif dini • Bukan salah satu di atas, tetapi skor GRACE > 140
(dalam 24 jam) • Perubahan temporal pada level troponin
• Depresi segmen ST baru atau diperkirakan baru
Tindakan invasif • Bukan salah satu di atas tetapi menderita
tertunda (dalam 25- diabetes mellitus
72 jam) • Insufisiensi ginjal (GFR <60 mL/menit/1.72 m2)
• Penurunan fungsi sistolik LV (EF <0.40)
• Angina dini pasca infark
• Riwayat IKP dalam 6 bulan terakhir
• Riwayat operasi CABG sebelumnya
• Skor GRACE 109-140; TIMI score >=2

102
o
Gambar 7.8. Pemilihan strategi dan waktu terapi berdasarkan stratifikasi risiko awal
pada SKA tanpa ST elevasi

103
REFERENSI
1. Cannon CP dan Braunwald E, Unstable Angina and Non-ST elevation myocardial
infarction. Dalam Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, Braunwald E. Heart Disease:
A Textbook of Cardiovascular Medicine. 8th ed. Saunders Elsevier. 2008: 53; 1319-
51.
2. ESC Committee for Practice Guidelines. Guidelines for The Diagnosis and Treatment
of Non-ST Elevation Acute Coronary Syndormes. 2007
3. Grubb NR, Newby DE. Cardiology in Acute Coronary Syndrome. Pocket Book
Cardiology. 2nd ed. Elsevier. 2006:5; 91-132.
4. O’Connor, R. E., Bossaert, L., Arntz, H. R., Brooks, S. C., Diercks, D., Feitosa-Filho, G.,
... & Welsford, M. (2010). Acute Coronary Syndrome Chapter Collaborators. Part 9:
acute coronary syndromes: 2010 international consensus on cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care science with treatment
recommendations. Circulation, 122(16 suppl 2), S422-S465.
5. Welsford, M., Nikolaou, N. I., Beygui, F., Bossaert, L., Ghaemmaghami, C., Nonogi, H.,
... & Woolfrey, K. G. (2015). Part 5: acute coronary syndromes: 2015 international
consensus on cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care
science with treatment recommendations. Circulation, 132(16_suppl_1), S146-S176.
6. Amsterdam, E. A., Wenger, N. K., Brindis, R. G., Casey, D. E., Ganiats, T. G., Holmes,
D. R., ... & Levine, G. N. (2014). 2014 AHA/ACC guideline for the management of
patients with non–ST-elevation acute coronary syndromes: executive summary: a
report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force
on Practice Guidelines. Journal of the American college of cardiology, 64(24), 2645-
2687.
7. O'Gara, P. T., Kushner, F. G., Ascheim, D. D., Casey, D. E., Chung, M. K., De Lemos, J.
A., ... & Granger, C. B. (2013). 2013 ACCF/AHA guideline for the management of ST-
elevation myocardial infarction: executive summary: a report of the American
College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines. Journal of the American College of Cardiology, 61(4), 485-510.
8. Nikolaou, N. I., Arntz, H. R., Bellou, A., Beygui, F., Bossaert, L. L., & Cariou, A. (2015).
European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015 section 8. Initial

104
management of acute coronary syndromes. Resuscitation.-Limerick, 1972, currens,
95, 264-277.
9. Van de Werf, F., & Staff, E. S. C. (2008). ESC Guidelines on the management of acute
myocardial infarction in patients presenting with STEMI. European heart journal, 29,
2909-2945.
10. Steg, P. G., & James, S. (2012). 2012 ESC Guidelines on acute myocardial infarction
(STEMI). European heart journal, 33, 2501-2502.
11. Ibanez, B., James, S., Agewall, S., Antunes, M. J., Bucciarelli-Ducci, C., Bueno, H., ... &
Hindricks, G. (2017). 2017 ESC Guidelines for the management of acute myocardial
infarction in patients presenting with ST-segment elevation: The Task Force for the
management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment
elevation of the European Society of Cardiology (ESC). European heart journal, 39(2),
119-177.
12. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R., Hirsch, K.
G., ... & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life Support: 2020
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.

———»»»œ«««———

105
BAB VIII
TATALAKSANA KEGAWATAN SIRKULASI
(HIPOTENSI, SYOK, EDEMA PARU AKUT)

A. Pendahuluan
Pengetahuan mendasar tentang tekanan darah, faktor-faktor yang mempengaruhi
tekanan darah, fungsi fisiologis pompa jantung, isi sekuncup dan curah jantung diperlukan
untuk menelaah masalah pasien, membuat penilaian kondisi pasien serta melakukan
penatalaksanaan yang tepat dalam waktu singkat dan kondisi yang sulit bahkan kadang
meragukan. Pasien dengan tekanan darah yang rendah atau hipotensi (sistolik di bawah
100 mmHg) sering dijumpai di unit gawat darurat. Segera cari apakah terdapat tanda-
tanda penurunan perfusi ke jaringan yang dapat berlanjut ke arah kegagalan perfusi
jaringan, seberapa berat kondisi penderita, serta usaha yang tepat untuk mengatasinya.
Apabila tanda kegagalan perfusi jaringan sudah muncul berarti pasien dalam kondisi syok.

B. Tata laksana hipotensi dan syok


a. Tatalaksana hipotensi
Pengertian hipotensi
Hipotensi adalah keadaan tekanan darah sistolik dibawah 100 mmHg. Hipotensi
tidak selalu disertai dengan syok/gangguan perfusi. Sangat penting untuk
membedakan hipotensi dengan hipotensi yang disertai tanda syok.
Tatalaksana
Dalam menatalaksana hipotensi, harus dipahami masalah utama pada pasien
adalah masalah kelainan irama (laju jantung terlalu cepat/lambat), masalah volume
atau masalah pompa. Hipotensi yang disertai dengan takikardi ekstrim (laju nadi
>150x/menit) atau bradikardi ekstrim (laju nadi <50x/menit) maka dilakukan
tatalaksana sesuai algoritme takikardia/bradikardia (lihat modul bradikardi dan
takikardi). Jika tidak didapatkan kelainan laju jantung yang ekstrim, lakukan uji cairan
untuk menilai status volume jantung dan mengoptimalisasi volume intravaskuler dan
tekanan pengisian ventrikel kiri. Bila pasien sudah tidak respon dengan pemberian
cairan dan masih dalam kondisi hipotensi, dapat diberikan dobutamin drip 2-20
μg/kgBB/menit jika tidak ditemukan tanda-tanda syok.

106
b. Tatalaksana syok
Pengertian syok
Syok adalah kumpulan gejala akibat perfusi selular tidak mencukupi dan pasokan
O2 tidak cukup memenuhi kebutuhan metabolik yang dapat disebabkan oleh beberapa
hal dengan gambaran klinis yang bervariasi
Tanda dan gejala syok
Manifestasi klinis tergantung penyakit dasar dan mekanisme kompensasi yang
terjadi, misalnya:
• Peningkatan tahanan vaskular perifer: kulit pucat dan dingin, oliguria
• Tonus saraf adrenergik meningkat menyebabkan takikardi untuk
meningkatkan curah jantung, keringat banyak, cemas, mual, muntah atau
diare
• Hipoperfusi organ vital berupa iskemia miokardium ditandai nyeri dada dan
atau sesak napas, insufisiensi serebral ditandai dengan penurunan kesadaran
Klasifikasi syok
Syok dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Syok kardiogenik
Syok yang penyebab primernya adalah gangguan kinerja jantung. Kinerja
jantung ditentukan oleh:
• Kemampuan sel miokard untuk memompa dengan cara memanjang
pada fase pengisian (diastolik) dan memendek pada fase pengosongan
(sistolik),
• Volume darah dan tekanan yang dialami ventrikel pada fase akhir
pengisian (preload) dan
• Tahanan yang harus dilawan ventrikel untuk pengosongan (afterload)
• Frekuensi kontraksi; menentukan jumlah darah yang dapat dipompa
dalam semenit (curah jantung).
2. Syok hipovolemik
Merupakan penyebab paling sering syok dan hipotensi; bisa akibat
kekurangan cairan absolut (misalnya diare, muntah, perdarahan masif) atau
ekstravasasi (misalnya syok dengue).
3. Syok distributif

107
Total cairan tubuh tidak berkurang, tapi volume intravaskular relatif tidak
seimbang dengan kapasitas vaskular, misalnya pada syok anafilaksis, syok
septik dan syok neurogenik.
4. Syok akibat Obstruksi aliran
Misalnya pada emboli paru, tamponade (efusi perikardium), stenosis katup
mitral atau aorta.

Tatalaksana syok
Dalam menatalaksana syok, harus dipahami masalah utama pada pasien adalah
masalah kelainan irama (laju jantung terlalu cepat/lambat), masalah volume atau
masalah pompa.

Masalah laju irama jantung


Tentukan apakah frekuensi nadi ekstrim cepat (takikardi >150x/menit) atau ekstrim
lambat (bradikardi <50x/menit). Bradi-takikardia dapat segera diketahui dengan
meraba nadi dan melihat monitor EKG. Tentukan jenis irama (bradikardi akibat blok
AV, takiaritmia atrial atau ventrikular). Bila masalah pump, volume dan resistensi
belum jelas, maka yang pertama diatasi adalah rate. Lakukan tata laksana takikardia
dan bradikardia sesuai algoritma. Pasien hipotensi dengan tanda awal hipoperfusi dan
bradikardia harus diberi obat untuk meningkatkan rate atau pemasangan pacu jantung
sebelum memberikan uji cairan (fluid challenge), inotropik atau vasopresor.

Masalah volume
Berikan cairan infus, transfusi darah, atasi penyebab dan pertimbangkan
vasopresor. Ada 2 macam problem volume yakni:
1. Hipovolemia absolut
Kekurangan cairan akibat hilangnya cairan tubuh, misalnya perdarahan,
muntah, diare, poliuria, penguapan berlebihan, dehidrasi
2. Hipovolemia relatif
Volume sirkulasi berkurang relatif, tidak ada kehilangan cairan namun
kapasitas vaskular meningkat (vasodilatasi atau berpindahnya cairan sirkulasi
ke ruang “ketiga”) sehingga terjadi hipovolemia

108
Bila jelas ada kehilangan cairan tubuh, maka pilihan pertama adalah memenuhi
volume intravaskular. Bila volume sudah dicukupi dan tekanan darah masih rendah,
dapat diberikan diberikan vasopresor. Obat vasoaktif yang dapat diberikan untuk
mengatasi vasodilatasi adalah:
• Syok sepsis : norepinefrin, dobutamin bila membutuhkan inotropik
• Syok anafilaksis : epinefrin, norepinefrin, dopamin, fenilefrin
• Keracunan beta blocker : epinefrin, atropine, glukagon, dopamin,
isoproterenol
• Keracunan alfa-blocker : epinefrin, norepinefrin

Masalah volume pada syok sering tersamar; biasanya terjadi hipovolemia relatif
akibat vasodilatasi. Demikian pula pada masalah rate dan pump. Klinisi harus waspada
pada hipovolemia dengan vasodilatasi, dan memberikan fluid challenge bila curiga ada
hipovolemia. Secara umum prioritas pertama adalah memberikan cairan pengganti,
sedangkan vasopresor memainkan peran sekunder namun penting pada kasus
vasodilatasi. Jangan memberi vasopresor tanpa mengatasi kekurangan cairan lebih
dulu atau diberikan bersamaan. Pemberian obat vasopresor saja dapat menimbulkan
gagal jantung dan menurunnya fungsi hemodinamik khususnya pada kasus iskemia
miokard.

Masalah pompa/kontraktilitas jantung


Penyebab gagal pompa harus segera dikenali agar upaya pengobatan yang tepat,
cepat, di saat yang kritis dapat diberikan. Penyebab terbanyak adalah kegagalan fungsi
ventrikel kiri yang disebabkan infark miokard akut. Kumpulkan data subjektif seperti
faktor risiko kardiovaskular, riwayat sakit jantung, stroke atau penyakit ginjal dan
tentukan stratifikasi risiko. Data objektif meliputi pemeriksaan fisik; mungkin dijumpai
iktus berpindah akibat kardiomegali, gallop, aritmia, bising jantung, Foto polos dada
tampak kardiomegali dan atau edema paru, EKG menunjukkan penyakit jantung
koroner atau hipertensi. Pertimbangkan pemeriksaan ekokardiografi segera jika perlu.
Ingat, semua pasien syok dapat jatuh ke problem pump bila sirkulasi tidak dapat
memenuhi kebutuhan O2, gula dan ATP jaringan. Yang diperlukan pasien gagal pompa
adalah:

109
• Pengobatan bersama optimalisasi rate (atasi masalah irama jantung
terutama takikardi dan bradikardi ekstrim) dan optimalisasi volume
intravaskular dan tekanan pengisian ventrikel kiri.
• Koreksi problem dasar seperti hipoksia, hipoglikemi, overdosis obat/racun.
• Memperbaiki kontraktilitas jantung (dopamin, dobutamin, inotropik lain),
vasodilator untuk mengurangi tahanan vaskular sistemik (afterload), diuretik
dan venodilator untuk mengurangi preload (beban pengisian), alat bantu
sirkulasi mekanik (Intra Aortic Balloon Pump- IABP) atau operasi koreksi.

Pada pasien syok kardiogenik dan edema paru harus dipikirkan kebutuhan tekanan
pengisian ventrikel kiri yang optimal. Pemberian cairan intravena bertujuan
mengoptimalkan tekanan pengisian ventrikel kiri terlebih dahulu. Pada kasus gawat,
pemberian NaCl 0.9% 2-4 mL/kgBB (diawali 150 mL) dalam waktu singkat dapat dicoba
(uji cairan). Bila infus awal memberi dampak perbaikan seperti meningkatnya tekanan
darah dan menurunnya denyut jantung, maka pemberian cairan dapat dilanjutkan 500
ml dalam 1 jam berikutnya. Bila pasien tidak respon dengan pemberian cairan,
seringkali dibutuhkan obat-obatan inotropik atau vasopressor.

Hipotensi tanpa disertai gejala-gejala dan tanda-tanda syok


Setelah mengoptimalkan tekanan pengisian ventrikel dengan pemberian cairan
kristaloid, namun tidak lagi berespon, maka pasien seringkali membutuhkan tambahan
inotropik. Bila tidak disertai tanda-tanda syok (akral dingin, pemanjangan waktu
pengisian kapiler>2 detik), obat inotropik pilihan yang diberikan adalah dobutamin,
dengan dosis 2-20 mcg/kgBB/menit. Titrasi hingga terjadi tekanan arteri rerata >65
mmHg sambil identifikasi dan atasi penyebab masalah pompa tersebut. Dobutamin
tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada tekanan darah di bawah 90 mmHg
disertai gejala syok.

Hipotensi disertai gejala-gejala dan tanda-tanda syok


Kondisi ini memiliki angka kematian tinggi. Optimalkan tekanan pengisian ventrikel
dengan uji cairan terlebih dahulu. Bila pemberian cairan sudah tidak berespon dan
pasien masih dalam hipotensi dan disertai tanda-tanda syok, maka dibutuhkan obat-

110
obatan vasopressor (vasokonstriktor). Norepinefrin 0,1-0,5 mcg/kgBB/menit intravena
mempunyai efek vasopressor kuat yang menjadi pilihan utama pada kondisi hipotensi
disertai syok. Dopamin dosis 5-20 mcg/kgBB/menit dapat dipertimbangkan sebagai
vasopressor sebagai alternatif norepinefrin pada terutama pada syok dengan laju
frekuensi nadi yang rendah (<50x/menit) atau hipotensi yang disertai bradikardia
ekstrim. Dopamin memiliki risiko terjadinya aritmia lebih tinggi daripada norepinefrin.
Pada syok yang menyertai sindroma koroner akut harus dipikirkan reperfusi
koroner segera, dapat berupa angiografi-intervensi (percutaneous coronary
intervention) dan dipertimbangkan pemasangan bantuan sirkulasi mekanik
(contohnya Intra Aortic Ballon Pump) bila awal gejala muncul dalam waktu 12-24 jam,
dan dipikirkan kemungkinan bedah pintas koroner.
Dobutamin dapat dikombinasikan dengan norepinefrin, dan dapat mulai diberikan
bila tanda-tanda hipoperfusi menghilang. Waspadai syok pada infark akut ventrikel
kanan yang sangat efektif bila diberikan cairan dan pemberian dobutamin lebih
dianjurkan untuk memperbaiki kontraktilitas ventrikel kanan walaupun ada tanda
syok; hindari venodilator (nitrogliserin) dan diuretik. Tindakan revaskularisasi koroner
segera dapat memberi hasil yang sangat baik.

111
Gambar 9.1. Algoritma Tatalaksana Hipotensi/Syok

112
C. Tata laksana edema paru akut
Pengertian edema paru akut
Edema paru akut adalah timbunan cairan di pembuluh darah dan parenkim paru
yang pada sebagian besar kasus disebabkan oleh gagal jantung akut.

Tanda dan gejala


Edema paru akut ditandai dengan gejala sesak napas yang memberat terutama saat
aktifitas, batuk dengan riak berbuih kemerahan, sesak bila berbaring
Kondisi pasien dispneu, seringkali gelisah, saturasi O2 kurang dari 90% sebelum
pemberian suplementasi oksigen, pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda
kardiomegali, iktus bergeser ke lateral, peningkatan JVP, bradi-takiaritmia, suara
gallop, bising jantung, ronki basah basal bilateral paru, wheezing (asthma cardiale),
akral dingin dan basah, foto polos dada tampak bendungan batwing appearance.
Perlu diingat bahwa edema paru dapat dibedakan menjadi edema paru kardiogenik
dan non-kardiogenik. Pada edema paru kardiogenik umumnya didapatkan riwayat
gagal jantung kronis sebelumnya atau gejala gagal jantung akut yang diakibatkan
iskemia miokard. Edema paru non-kardiogenik seringkali didapatkan pada pasien
tanpa riwayat penyakit jantung sebelumnya, paling sering didapatkan pada pasien
dengan kelainan paru (demam, batuk berdahak, sesak napas).

Tatalaksana
Tatalaksana edema paru akut kardiogenik dibagi dalam 3 tahapan.
Tahapan pertama:
• Letakkan pasien dalam posisi duduk, tindakan ini bertujuan meningkatkan
volume dan kapasitas vital paru, mengurangi kerja otot pernapasan, dan
menurunkan aliran darah vena balik ke jantung.
• Pasang sungkup muka non-rebreathing dengan aliran 15 L/menit (target SpO2
>92-98%) berikan bersamaan dengan pemasangan akses IV dan monitor EKG
• Oksimetri denyut dapat memberi informasi keberhasilan terapi walaupun alat
pemantauan SpO2 ini kurang akurat apabila terjadi penurunan perfusi perifer.
Oleh karena itu dianjurkan melakukan pemeriksaan analisis gas darah untuk
pemantauan oksigenasi ventilasi dan asam basa.

113
• Jika terjadi hipoventilasi berikan ventilasi tekanan positif dengan kantung napas-
sungkup muka untuk menggantikan sungkup muka non-rebreathing.
• Nitrogliserin atau ISDN efektif mengurangi edema paru karena mengurangi
preload. Pemberian tablet atau spray sublingual yang dapat diulangi setiap 5-10
menit bila TD tetap > 90-100 mmHg, maksimal 3x pemberian. Pastikan tidak ada
kontraindikasi pemberian nitrat (lihat bab farmakologi)
• Furosemide 0,5-1 mg/kgBB IV. Efek bifasik pertama dicapai dalam 5 menit di
mana terjadi venodilatasi, sehingga aliran balik ke jantung dan paru berkurang
(mengurangi preload). Efek kedua adalah sebagai diuretik yang mencapai
puncaknya setelah 30-60 menit. Keefektifan furosemide tidak harus dicapai
dengan diuresis berlebihan. Bila furosemide sudah rutin diminum sebelumnya,
maka dosis bisa digandakan. Bila dalam 20 menit belum didapat hasil yang
diharapkan, ulangi bolus furosemid IV dua kali dosis awal. Dosis bisa lebih tinggi
bila retensi cairan menonjol dan/atau fungsi ginjal terganggu
• Morfin sulfat diencerkan dengan NaCl 0.9%, berikan 2-4 mg IV bolus pelan
tekanan darah sistolik > 100mmHg. Efek venodilator meningkatkan kapasitas
vena, mengurangi aliran darah balik ke vena sentral dan paru, mengurangi
tekanan pengisian ventrikel kiri (preload), dan juga mempunyai efek vasodilator
ringan, sehingga afterload berkurang. Efek sedasi dari morfin sulfat menurunkan
laju napas.
• Untuk mencegah kolaps alveoli dan memperbaiki pertukaran gas dapat
diberikan tekanan ekspirasi akhir positif (positive end-expiratory pressure) dapat
diberikan

Tindakan Kedua
• Jika respon pasien baik setelah mendapatkan tindakan pertama, maka tidak
diperlukan pemeriksaan tambahan, karena menurun tingkat kegawatannya,
khususnya bila normotensi.
• Bila pasien masih belum respon dengan tatalaksana lini pertama, dan tekanan
darah masih baik/tinggi, dapat diberikan nitrogliserin IV 10-200µg/menit (atau
ISDN IV 1-10 mg/jam) dengan tetap memantau tekanan darah.
• Bila tekanan darah turun, berikan inotropik atau vasopresor:

114
• Dobutamin 2-20 µg/kgBB/menit IV bila hipotensi tanpa syok
• Dopamin 5-20 µg/kgBB/menit IV (terutama dipilih bila frekuensi nadi
<50x/menit) atau norepinefrin 0,1-0,5 mcg/kgBB/menit IV bila
terdapat tanda syok

Tindakan Ketiga
• Dipersiapkan bila tindakan pertama dan kedua tidak memberi hasil yang
memadai atau terdapat komplikasi spesifik
• Perlu dilakukan monitor hemodinamik invasif dengan fasilitas spesialistik
• Pertimbangkan IABP, dilanjutkan IKP atau bedah pintas koroner

D. Penutup
Pendekatan sistematis menjadi kunci utama penanganan kasus gawat. Pada topik
ini diharapkan peserta kursus dapat meresapi hal sebagai berikut:

Awali pemikiran meliputi empat triad pada semua pasien:


• A-B-C (Airway, Breathing, Circulation)

• Oksigen, IV line, Monitor (O-I-M)

• Nadi/pernafasan/tekanan darah

• Adakah masalah irama (bradikardi/takikardi ekstrim), volume,

atau pompa (kontraktilitas jantung)

Pengobatan hipotensi tidak hanya dipandang dari tekanan darah, tetapi gejala-gejala
dan tanda-tanda klinis lebih berharga yang meliputi:
• Keadaan umum
• Gangguan kesadaran
• Perfusi perifer pada ujung-ujung ekstremitas
• Pengisian kapiler
• Gejala syok
• Produksi urin

115
Gunakan triad kardiovaskular dan cari jawaban secara terpisah dan terintegrasi perihal:
• Irama

• Volume-resistensi pembuluh darah

• Pompa

Mengenal masalah irama dan putuskan sikap terhadap:


• Bradikardia ekstrim <50x/menit

• Takikardia ekstrim >150x/menit (tidak termasuk sinus takikardia)

volume
• Absolut

• Relatif

pompa
• Primer

• Sekunder

Ada tiga pegangan perencanaan tata laksana:


• Coba koreksi irama sebelum beralih ke pompa dan volume
• Jika paru bersih (tidak terdapat ronkhi), coba berikan cairan sebelum memberi obat
inotropik dan vasopressor untuk optimalisasi volume intravaskuler dan tekanan
pengisian ventrikel kiri
• Jika tidak respon dengan uji cairan, untuk masalah pompa berikan inotropik untuk
masalah pompa dan vasopresor untuk sistem vaskular dengan patokan target
tekanan darah sistolik >90 mmHg dan MAP >65 mmHg

116
REFERENSI
1. Van Diepen, S., Katz, J. N., Albert, N. M., Henry, T. D., Jacobs, A. K., Kapur, N. K., ...
& Cohen, M. G. (2017). Contemporary management of cardiogenic shock: a
scientific statement from the American Heart Association. Circulation, 136(16),
e232-e268.
2. Thiele, H., Ohman, E. M., de Waha-Thiele, S., Zeymer, U., & Desch, S. (2019).
Management of cardiogenic shock complicating myocardial infarction: an update
2019. European heart journal, 40(32), 2671-2683.
3. Vahdatpour C, Collins D, Goldberg S. Cardiogenic Shock. 2019 ; J Am Heart. DOI:
10.1161/JAHA.119.011991.
4. Purvey M, Allen G. Managing acute pulmonary oedema. 2017; Aust Prescr : (40) :
59-63.
5. Standl T, Annecke T, Cascorbi I, et all. The Nomenclature, Definition and
Distinction of Types of Shock. Dtsch Arztebl Int 2018; 115: 757-68
6. Singletary EM, Charlton NP, Epstein JL, et all. 2015 AHA Guidelines update for CPR
and ECC. 2015; Vol 132 No 18
7. Rivera FL, Martinez HRC, LaTorre CC, et all. Treatment of Hypertensive
Cardiogenic Edema with Intravenous High-Dose Nitroglycerin in a Patient
Presenting with Signs of Respiratory Failure: A Case Report and Review of the
Literature. Am J Case Rep, 2019; 20: 83-90
8. Writing Committee Members, Antman, E. M., Anbe, D. T., Armstrong, P. W.,
Bates, E. R., Green, L. A., ... & Ornato, J. P. (2004). ACC/AHA guidelines for the
management of patients with ST-elevation myocardial infarction—executive
summary: a report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines (Writing Committee to Revise the
1999 Guidelines for the Management of Patients With Acute Myocardial
Infarction). Journal of the American College of Cardiology, 44(3), 671-719.
9. Paul M, Maxwell W. Optimizing fluid therapy in shock. Critical care; 2019: 25: 246-
251
10. Cecconi M, Backer DD, Antonelli M, et all. Consensus on circulatory shock and
hemodynamic monitoring. Task force of the European Society of Intensive Care
Medicine. Intensive Care Med. 2014; 40: 1795-1815

117
BAB IX
OBAT-OBATAN YANG DIGUNAKAN DALAM
BANTUAN HIDUP JANTUNG LANJUTAN

Tujuan Pembelajaran :
1. Mengetahui jenis obat-obatan vasoaktif
2. Mengetahui jenis obat-obatan antiaritmia
3. Mengetahui jenis obat-obatan antithrombotik
4. Mengetahui obat-obat lainnya yang sering digunakan pada kegawatan
kardiovaskular
5. Memahami mekanisme kerja, dosis dan efek samping obat-obatan tersebut

A. PENDAHULUAN

Tujuan utama pemberian obat pada pasien-pasien henti jantung adalah membantu
mengembalikan sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation/ROSC) dan
memelihara sirkulasi tersebut agar perfusi jaringan optimal dan akhirnya dapat
meningkatkan keluaran pasien pasca henti jantung.

B. PEMBERIAN OBAT-OBATAN RESUSITASI JANTUNG


OBAT-OBATAN INOTROPIK / VASOPRESSOR
1. Epinefrin
Mempunyai efek adrenergik-α dan adrenergik-β dan efek inotropik dan
kronotropik yang poten. Pada dosis tinggi mempunyai pengaruh sebagai
vasopresor.
2. Norepinefrin
Merupakan obat vasokonstriktor adrenergik-α1 yang potensinya lebih besar
dibandingkan dengan dopamin atau fenilefrin. Kecuali itu norefinefrin
mempunyai efek kronotropik dan inotropik melalui reseptor β1. Seperti obat
vasokonstriktor lainnya, pemberian norefinefrin dapat menurunkan curah
jantung seiring dengan peningkatan afterload dan tekanan darah. Peningkatan
denyut jantung jarang terjadi. Pada pasien yang telah dilakukan resusitasi cairan
adekuat, norefinefrin dapat meningkatkan aliran darah ginjal.
118
3. Dopamin
Merupakan obat vasoaktif yang mempunyai efek inotropik dan vasopresor
tergantung dosis yang diberikan. Pada infus dosis rendah (2-3 µg/kg
BB/menit), dopamin mempunyai efek inotropik dan kronotropik. Dan
mempunyai aksi sebagai reseptor dopaminergik pada ginjal dan dapat
meningkatkan jumlah urin; meskipun demikian penggunaan dengan tujuan
efek pada ginjal tidak dianjurkan karena tidak dapat mencegah disfungsi ginjal
atau memperbaiki keluaran. Pada infus dosis sedang (6-10 µg/kg BB/menit)
efek utama dopamin adalah sebagai inotropik, sedangkan pada infus dosis
lebih tinggi (> 10 µg/kg BB/menit) merupakan vasokonstriktor karena adanya
efek agonist α yang bermakna.
4. Dobutamin
Merupakan agonis adrenergik-β non selektif dengan efek inotrofik. Infus dosis
5 - 20 µg/kg BB/menit akan meningkatkan curah jantung, yang diperantarai
dengan peningkatan stroke volume. Tekanan darah arteri tetap tidak berubah,
menurun atau sedikit menurun atau meningkat. Pada pasien hipotensi harus
hati-hati; pada resusitasi cairan yang tidak adekuat, pemberian dobutamin
malah dapat menurunkan tekanan darah dan mengakibatkan takikardi. Efek
kronotropik bervariasi tergantung respons pasien.

Tabel 9.1 Indikasi, Dosis, dan Cara Pemberian Obat-obatan Inotropik dan Vasopresor
Nama Obat Indikasi Dosis dan Cara pemberian
Epinefrin • Henti jantung : VF, VT • Epinefrin tersedia dengan konsentrasi 1:10.000
tanpa nadi, asistol, PEA. dan 1:1000 (gunakan sediaan 1:1000 untuk kasus
• Hipotensi berat : pada henti jantung, atau 10 ml dosis 1:10.000)
hipotensi dengan • Kasus henti jantung :
bradikardia dapat IV/IO: 1 mg (1 ml dari 1 : 1000) diberikan tiap 3 -
digunakan ketika gagal 5 menit selama resusitasi, setiap pemberian
dengan atropine atau diikuti dengan flush 20ml NaCl 0,9% dan
pada hipotensi akibat menaikkan lengan selama 10- 20 detik setelah
penggunaan pemberian dosis
phosphodiesterase Rute endotrakeal : 2 - 2,5 mg diencerkan
enzyme inhibitor. dengan 10 ml NaCl 0.9% diikuti dengan
• Anafilaksis, reaksi alergi pemberian bantuan napas/ventilasi.
berat dikombinasi dengan
cairan, kortikosteroid dan • Kasus bradikardia / hipotensi berat
antihistamin. Infus (untuk bradikardi tidak stabil): 2 - 10
µg/menit, dititrasi sesuai respon pasien.

119
Norepinefrin ▪ Syok kardiogenik berat • Drip 0,1 - 0,5 µg/kg BB/menit IV; dititrasi sesuai
yang membutuhkan respon
vasopressor terutama
pada syok kardiogenik Perhatian:
dengan frekuensi nadi • Jangan diberikan bersamaan dengan larutan
normal/tinggi alkali
▪ Syok dengan • Koreksi hipovolemia dengan pemberian volume
vasodilatasi (contoh: sebelum pemberian norepinefrin
syok sepsis) • Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya
ekstravasasi yang dapat menyebabkan nekrosis
jaringan.
• Dapat menyebabkan aritmia (risiko aritmia lebih
rendah daripada dopamine).
• Digunakan berhati-hati pada pasien dengan
iskemik akut, lakukan penilaian curah jantung.
Dopamin • Untuk masalah pompa • Infus: 5 - 20 µg/kg BB/menit, dititrasi sesuai
(gagal jantung kongestif) respon pasien, dosis dinaikkan perlahan
dan dengan tanda-tanda
syok, terutama pada Perhatian:
syok kardiogenik • Koreksi hipovolemia dengan penggantian
dengan frekuensi nadi volume sebelum pemberian dopamin.
rendah (<50x/menit) • Risiko aritmia lebih tinggi daripada norepinefin
• Bradikardi tidak stabil (lebih aman digunakan pada pasien syok dengan
yang tidak respon nadi yang rendah)
dengan atropin • Jangan dikombinasikan dengan larutan alkali
(natrium bikarbonat).
Dobutamin masalah pompa (gagal • Infus : 5 - 20 µg/kg BB/menit di titrasi.
jantung kongestif) Peningkatan denyut jantung lebih dari 10% dapat
dengan tekanan darah menimbulkan atau menyebabkan eksaserbasi
sistolik 70 - 100 mmHg iskemik miokard.
dan tanpa tanda-tanda • Selama pemberian dobutamin, pasien
syok memerlukan pemantauan hemodinamik secara
kontinyu.
• Respon pada pasien usia lanjut dapat menurun
secara bermakna

Perhatian:
• Kontra-indikasi : dicurigai atau diketahui syok
karena obat/racun
• Koreksi hipovolemia dengan pemberian volume
sebelum pemberian dobutamin
• Dapat menyebabkan takiaritmia, tekanan darah
yang fluktuatif, sakit kepala dan mual.
• Jangan dikombinasi dengan larutan alkali
(natrium bikarbonat).

120
OBAT-OBATAN ANTIARITMIA
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat anti aritmia dibagi menjadi 4 kelas.
Selain itu akan dibahas pula obat yang dipergunakan pada kasus bradiaritmia, yaitu
sulfas atropin.

Klasifikasi obat taki-aritmia:


A. Kelas I
Mekanisme kerjanya menghambat kanal natrium; penurunan kecepatan
masuknya natrium melambatkan kenaikan fase nol dari aksi potensial,
akibatnya terjadi penurunan aksi eksitabilitas dan kecepatan konduksi
Obat anti aritmia kelas I tidak dibahas pada modul ACLS
B. Kelas II (Contoh : Propanolol, Atenolol dan Metoprolol.)
Mekanisme kerjanya adalah menurunkan depolarisasi fase 4 sehingga
memanjangkan konduksi nodus AV, menurunkan kontraktilitas dan denyut
jantung. Oleh karena itu, kelas ini bermanfaat pada terapi takiaritmia yang
disebabkan oleh aktivitas simpatik, seperti fibrilasi dan flutter atrium,
takikardia reentri nodus AV. Kelas ini termasuk antagonis adrenergik-β.
C. Kelas III (Contoh : amiodaron)
Mekanisme kerja adalah dengan menghambat kanal kalium sehingga
menurunkan arus kalium selama fase repolarisasi. Kelas ini memanjangkan
lama aksi potensial tanpa mengganggu depolarisasi fase 0 atau potensial
membran istirahat, memperpanjang periode refrakter efektif.
D. Kelas IV (Contoh : Verapamil dan Diltiazem)
Mekanisme kerjanya adalah sebagai penghambat kanal kalsium, sehingga
menyebabkan penurunan kecepatan depolarisasi spontan fase 4 dan
melambatkan konduksi pada jaringan-jaringan yang tergantung pada arus
masuk kalsium seperti nodus AV, otot-otot polos vaskular dan jantung.
E. Obat takiaritmia lainnya
1. Adenosin
Merupakan nukleosid alamiah dengan mekanisme kerjanya menurunkan
kecepatan konduksi, memanjangkan periode refrakter dan menurunkan
otomatisasi nodus AV.

121
2. Magnesium sulfat
Mekanisme kerjanya memperpanjang siklus sinus, melambatkan
konduksi nodus AV dan konduksi intra atrial dan intra ventricular
3. Digoksin
Mekanisme kerjanya memendekkan periode refrakter sel-sel miokard
atrium dan ventrikel memanjangkan periode refrakter efektif dan
mengurangi kecepatan konduksi serabut purkinje.

Tabel 9.2 Indikasi, Dosis, dan Cara Pemberian Obat-obatan Takiaritmia


Nama Obat Indikasi Dosis dan Cara pemberian
Lidokain IV 1.Henti jantung • Henti jantung
(VT/VF sebagai • Dosis awal 1 - 1,5 mg/kgBB/ IV bolus
alternatif • Untuk VF/VT refrakter : 0,5 - 0,75 mg/kgBB/IV diulangi 10 -
amiodaron) 15 menit kemudian, dengan dosis maksimum sebanyak 3 kali
2. VT stabil atau dengan total dosis 3 mg/kgBB.
(alternatif • Pemberian dapat melalui ETT dengan dosis 2 - 4 mg/kgBB.
amiodaron) • Pada VT stabil, QRS kompleks lebar dengan tipe yang tidak
jelas, ektopi yang signifikan;
• dosisnya adalah 0,5 - 0,7 mg/kgBB IV sampai 1 - 1,5 mg/kgBB
IV diulangi setiap 5 - 10 menit dengan total dosis 3 mg/kgBB.
• Dosis pemeliharaan 1 - 4 mg/menit IV ( 30-50
µg/kgBB/menit) diencerkan dalam dekstrose 5% atau NaCl
0,9%.
Amiodaron 1.Henti jantung • pada henti jantung
IV VT/VF • Bolus pelan 300 mg IV (diencerkan dengan 20-30 ml
2. VT stabil dekstrose 5%).
• Pertimbangkan pemberian berikutnya sebanyak 150 mg IV
dengan selang waktu 3-5 menit.
• Pada takikardia kompleks QRS lebar yang stabil,
o Drip 150 mg IV dalam 5 - 10 menit pertama, dapat diulang
dalam 150 mg IV setiap 10 menit jika diperlukan maksimum
pemberian 2,2 gr IV/24 jam.
o Dosis pemeliharaan : 360 mg IV selama 6 jam (1 mg/menit)
lalu dilanjutkan dengan 540 mg IV selama 18 jam berikutnya
(0,5 mg/menit).
Metoprolol 1. Obat lini kedua • Dosis awal: 5 mg IV setiap 5 menit secara lambat dan dapat
IV (saat ini untuk SVT (setelah diulang 3 kali dosis awal. Dititrasi sesuai dengan denyut
sediaan adenosin) jantung dan tekanan darah.
obat belum 2. Mengontrol laju • Dosis oral: 25 - 50 mg selama 6 - 12 jam, kemudian setelah
tersedia di irama pada atrial 2 - 3 hari dinaikkan 2 kali dosis awal; dapat dititrasi sampai
Indonesia) fibrilasi dosis 200 mg/hari
3. Anti angina pada
SKA
Verapamil 1. Obat lini kedua • Dosis pertama : 2,5-5 mg IV bolus selama 2 menit (3 menit
IV untuk SVT (setelah pada pasien usia lanjut). Dosis berikutnya 5-10 mg IV jika
adenosin) diperlukan dengan interval waktu 15-30 menit dari pemberian
dosis pertama. Dosis maksimum 20 mg IV.

122
2. Mengontrol laju • Alternatif: 5 mg bolus setiap 15 menit dengan total dosis 30
irama pada atrial mg.
fibrilasi
Diltiazem IV 1. Obat lini kedua • Pada kasus akut, berikan 15-20 mg (0,25 mg/kg) IV selama 2
untuk SVT (setelah menit. Dapat diulangi 15 menit kemudian dengan dosis 20-25
adenosin) mg (0,35 mg/kg BB) selama 2 menit.
2. Mengontrol laju • Dosis pemeliharaan 5-15 mg/jam, dititrasi hingga tercapai
irama pada atrial laju nadi fisiologis. Dapat diencerkan dengan dekstros 5% atau
fibrilasi normal saline.

Adenosin IV 1. Obat lini pertama • Letakkan pasien pada posisi mild-reverse Trendelenburg
(atau ATP) untuk SVT (kepala lebih tinggi daripada kaki) sebelum pemberian obat.
• Pergunakan three-way pasang akses IV di daerah vena
daerah brachial/antecubiti
• Bolus 6 mg adenosin (10 mg ATP) IV cepat dalam waktu 1-3
detik diikuti bolus saline normal 20 ml, kemudian lengan
diangkat.
• Bila diperlukan, dosis kedua 12 mg adenosin (20 mg ATP) IV,
dapat diberikan dalam 1-2 menit setelah pemberian pertama.
Magnesium 1. Henti jantung • Henti jantung (disebabkan Hipomagnesemia atau Torsades
Sulfat IV dengan de pointes) : 1 - 2 gram (5 - 10 ml dari larutan magnesium 20%)
Hipomagnesemi di encerkan dalam 10 ml D5% / normal saline.
atau Torsade de • Torsades de pointes dengan nadi atau infark miokard
Pointes (TdP) dengan hipomagnesemia: Loading dose 1 - 2 gram (5 -10 ml
2. Torsade de dari larutan magnesium 20%) diencerkan dalam 50 - 100 cc
Pointes dengan D5%, diberikan selama 5 sampai 60 menit IV. Diikuti dengan
nadi 0,5 - 1 gram per jam IV (titrasi untuk mengontrol Torsades de
pointes).
Digoksin IV 1. Obat alternatif Cara pemberian
untuk SVT (setelah • Dosis pertama 4-6 ug/kg (dosis orang dewasa 0.5 mg atau 1
adenosin) ampul digoxin IV) dalam 5 menit
2. Mengontrol laju • Dosis berikutnya : 2-3 ug/kg (untuk orang dewasa setengah
irama pada atrial ampul atau 0.25 mg IV) dalam 4-8 jam berikutnya. Total (8-12
fibrilasi ug/kg, terbagi selama 8-16 jam)
• Cek kadar digoksin 4 jam setelah pemberian iv atau 6 jam
setelah pemberian oral
• Turunkan dosis digoksin sebesar 50% apabila digunakan
bersamaan dengan Amiodaron.
Prokainamid 1. Takikardi QRS Drip 20-50 mg/menit hingga aritmia hilang
IV Lebar yang Stabil
(saat ini obat belum Stop bila muncul hipotensi/durasi QRS meningkat >50%
tersedia di Dosis maksimal 17 mg/kg
Indonesia)
Sotalol IV 1. Takikardi QRS 100 mg (1.5 mg/kgBB) dalam 5 menit
Lebar yang Stabil
(saat ini obat belum Hindari bila QT memanjang
tersedia di
Indonesia)

123
Obat bradiaritmia
1. Sulfas atropine
Mekanisme kerja utama atropin adalah sebagai zat antagonisme yang
kompetitif, dimana dapat diatasi dengan cara meningkatkan konsentrasi
asetilkolin pada lokasi reseptor dari organ efektor. Atropin tidak berfungsi
efektif pada AV block level infra nodal (high degree AV block yaitu AV block
derajat II tipe 2 dan derajat 3)
2. Dopamin
Lihat bab inotropik/vasopressor. Mekanisme kerja dopamin sebagai obat
bradiaritmia adalah dengan berikatan dengan reseptor beta 1 adrenergik pada
jantung sehingga memberikan efek kronotropik positif dan meningkatkan laju
frekuensi nadi
3. Epinephrine
Lihat bab inotropik/vasopressor. Mekanisme kerja epinefrin sebagai obat
bradiaritmia adalah dengan berikatan dengan reseptor beta 1 adrenergik pada
jantung sehingga memberikan efek kronotropik positif dan meningkatkan laju
frekuensi nadi

Tabel 9.3 Indikasi, Dosis, dan Cara Pemberian Obat-obatan Bradiaritmia


Nama Obat Indikasi Dosis dan Cara pemberian
Sulfas • Bradikardi tidak stabil (lini • Pada bradikardia berikan 1 mg IV (4 ampul)
Atropin pertama) setiap 3-5 menit sesuai kebutuhan tidak
melebihi 0,04 mg/kg BB.
• Penggunaan dengan interval jangka pendek (3
menit) dan dosis yang lebih tinggi (>0,04mg/kg
BB) diberikan pada kondisi klinis yang berat.
• Tidak respon pada AV block high degree (Mobitz
II dan derajat 3)
Dopamin • Bradikardi tidak stabil yang • Infus: 5 - 20 µg/kg BB/menit, dititrasi sesuai
tidak respon dengan respon pasien, dosis dinaikkan perlahan
atropin Perhatian:
• Koreksi hipovolemia dengan penggantian
volume sebelum pemberian dopamin.
• Dapat menyebabkan takiaritmia,
vasokonstriksi eksesif.
Epinefrin • Bradikardia simtomatis : Infus kontinyu: dosis inisial 0,1 - 0,5
dapat dipertimbangkan µg/kg/menit
setelah pemberian atropin • Kasus bradikardia / hipotensi berat
dan alternatif dopamin. • Infus (untuk bradikardi tidak stabil): 2 - 10
• Hipotensi berat dengan µg/menit, dititrasi sesuai respon pasien.
bradikardia
124
PEMBERIAN OBAT ANTI TROMBOTIK
A. Aspirin
Aspirin menghambat pembentukan thromboxan A2 yang menyebabkan
agregasi platelet dan membuat konstriksi arteri. Penggunaan obat ini
menurunkan mortalitas SKA, reinfark dan stroke-non fatal.
B. Clopidogrel
Merupakan antagonis dari ADP (Adenosine Diphosphate) yang merupakan
antiplatelet.
C. Ticagrelor
Ticagrelor merupakan salah satu jenis antiplatelet antagonis P2Y12
nonthienopyridine yang terbaru dengan mekanisme yang berbeda jika
dibandingkan dengan pendahulunya seperti clopidogrel atau prasugrel.
D. Unfractionated heparin (UFH)
Unfractionated heparin (UFH) bekerja sebagai antikoagulan dengan
membentuk kompleks dengan antitrombin (AT) sehingga menyebabkan
penghambatan pada beberapa faktor koagulasi darah, yaitu trombin (faktor
IIa), faktor IXa, Xa, XIa dan XIIa. Hal ini mencegah pembentukan fibrin dan
menghambat trombin dalam mengaktivasi platelet dan faktor V, VIII dan XI
E. Low Molecular Weight Heparin (LMWH) / Enoxaparin
Obat ini menghambat pembentukan trombin oleh inhibisi faktor Xa dan juga
menghambat trombin indirek dengan pembentukan kompleks dengan
antitrombin III. Obat ini tidak dinetralisir oleh protein binding heparin.
F. Fondaparinux
Fondaparinux menghambat pembentukan thrombin dengan menghambat
faktor Xa.
G. Streptokinase
Merupakan obat trombolitik yang bersifat non-fibrin spesifik
H. Alteplase
Merupakan obat trombolitik yang bersifat fibrin spesifik

125
Tabel 9.4 Indikasi, Dosis, dan Cara Pemberian Obat-obatan Antitrombotik
Nama Obat Indikasi Dosis dan Cara pemberian
Aspirin Indikasi: • 160 – 320 mg tablet (bukan
Diberikan pada semua pasien SKA, terutama salut selaput) secepat
kandidat revaskularisasi. mungkin (dikunyah lebih baik)
• Dapat digunakan sediaan
Kontraindikasi: supositoria sebesar 300mg
• Absolut: hipersensitif pada aspirin bila tidak dapat diberikan per-
• relatif : pasien dengan ulser aktif atau asma oral
Clopidogrel Indikasi: Semua kasus SKA STEMI / UAP-NSTEACS risiko
Perhatikan penggunaan pada kasus: sedang-tinggi : dosis awal 300
• Jangan diberikan pada pasien perdarahan mg, diikuti 75mg/hari
aktif (misalkan ulkus peptikum) Berikan loading dose 600 mg
• Pergunakan dengan hati-hati pada pasien bila direncanakan intervensi
dengan risiko perdarahan koroner perkutan (IKP)
• Pergunakan dengan hati-hati pada pasien
gangguan hepar
• Bukti terbatas bila digunakan pada pasien
berusia diatas 75 tahun
• Dapat menggantikan aspirin bila pasien
intoleransi
Ticagrelor Indikasi: pasien NSTEMI atau STEMI yang Dosis awal 180 mg mg, diikuti
diterapi dengan strategi invasif dini. 90mg per 12 jam
Unfractionated Indikasi: • Dosis awal: bolus 60
heparin (UFH) • Terapi tambahan pada Infark Miokard unit/KgBB (maksimum bolus
Akut (IMA) 4000 IU), dilanjutkan 12
• Berikan heparin sebelum pemberian unit/KgBB/jam (dosis
agen litik yang spesifik fibrin (alteplase, maksimum: 1000 IU/jam).
reteplase, tenecteplase) • Pertahankan nilai aPTT 1.5 –
2 kali nilai kontrol selama 48
Kontraindikasi: jam atau hingga dilakukan
• Kontraindikasi sama dengan angiografi.
kontraindikasi pada terapi fibrinolitik, yaitu: • Cek inisial aPTT setelah 3
perdarahan aktif; baru saja menjalani jam, kemudian tiap 6 jam
operasi intrakranial, intraspinal atau mata; hingga stabil, kemudian tiap
hipotensi berat; kelainan perdarahan; hari.
perdarahan saluran cerna. • Ikuti protokol pemberian
• Dosis dan target nilai laboratorium harus heparin
sesuai ketika digunakan bersama dengan
terapi fibrinolitik.
• Jangan digunakan jika hitung trombosit <
100.000 atau diketahui adanya riwayat
trombositopenia yang diinduksi heparin/
Heparin-Induced Thrombocytopenia (HIT).
Untuk pasien seperti ini dapat
dipertimbangkan pemberian agen direct
antithrombin.
Low Molecular Indikasi: untuk pasien SKA, spesifik untuk Protokol STEMI
Weight pasien UA/NSTEMI • Usia <75th, creatinin
Heparin Perhatian: clearance normal; bolus inisial
(LMWH) / • Perdarahan merupakan komplikasi dari 30mg IV dengan bolus kedua
Enoxaparin penggunaan LMWH. Kontraindikasi pada 1mg/kgBB subkutan 15 menit
126
pasien hipersensitif terhadap kemudian, ulangi tiap 12 jam
heparin/produk babi (pork)/riwayat alergi (maksimal 100mg/dosis untuk
terhadap obat tertentu. 2 dosis pertama).
• Gunakan enoxaparin dengan hati-hati • Usia >75th, tidak diberikan
pada pasien dengan HIT tipe II. dosis bolus IV, berikan
• Sesuaikan dosis pada pasien insufisiensi 0,75mg/kgBB subkutan tiap 12
renal. jam (maksimal 75mg untuk 2
• Kontraindikasi jika trombosit < 100.000. dosis pertama).
Untuk pasien tersebut gunakan • Jika creatinin clearance <
antithrombin direk. 30 ml/mnt berikan 1mg/kgBB
subkutan tiap 24jam
Protokol UA/NSTEMI
• Bolus inisial 30 mg IV,
dosis pemeliharaan 1mg/kgBB
subkutan tiap 12jam.
• Jika klirens kreatinin <
30ml/menit berikan tiap 24
jam.
Fondaparinux Indikasi : • STEMI: Dosis awal 2,5mg iv
• Digunakan pada kasus SKA bolus diikuti 2,5mg subkutan
• Dapat digunakan sebagai antikoagulan setiap 24 jam hingga 8 hari
pada pasien dengan riwayat HIT. • NSTEMI/UAP: 2,5 mg
Kontra Indikasi: subkutan setiap 24 jam
• Pasien dengan klirens kreatinin < 30
ml/menit.
• Hati-hati bila diberikan pada pasien
dengan klirens kreatinin antara 30-50
ml/menit
Perhatian:
• Meningkatkan risiko thrombosis di
kateter pada pasein yang menjalani
Intervensi Perkutan (IPK); diperlukan
pemberian Unfractionated Heparin
bersama-sama
• Komplikasi dapat berupa perdarahan
Streptokinase • Indikasi: • Informed consent tertulis
STEMI onset <12 jam (paling baik diberikan terlebih dahulu (jelaskan
pada onset <3 jam) manfaat dan risiko)
• Streptokinase 1.5 juta IU
Kontraindikasi: diencerkan dalam 100 cc
Lihat bab SKA D5/NaCl 0.9% diberikan dalam
30-60 menit
• Awasi tanda-tanda
perdarahan, alergi,
hemodinamik, dan aritmia

127
OBAT-OBAT KEGAWATDARURATAN LAINNYA
A. Nitrat
Nitrat menyebabkan relaksasi dari otot polos vaskular. Mekanisme yang terjadi
melalui konversi dari obat yang diberikan menjadi nitrat oksida pada atau dekat
membran plasma dari sel otot polos pembuluh darah. Nitrat oksida yang
terbentuk akan mengaktifkan guanilat siklase untuk menghasilkan cyclic
guanosine monophosphate (cGMP), dan akumulasi dari cGMP intraselular ini
akan menyebabkan relaksasi otot polos. Contoh obat-obatan golongan nitrat
adalah nitrogliserin dan isosorbid dinitrat (ISDN)
B. Kalsium Glukonas
Mekanisme kerja dari kalsium meningkatkan ambang potensial, sehingga
mengembalikan perbedaan gradien antara ambang potensial dengan potensial
membran istirahat ke kondisi normal, yang mana mengalami peningkatan saat
kondisi hiperkalemia. Kalsium glukonas kurang poten dan lebih tidak bersifat
iritasi terhadap vena dibandingkan kalsium klorida.
C. Sodium bikarbonat (BicNat)
Mekanisme kerja dari sodium bikarbonat mengatasi asidosis jaringan dan
asidosis selama henti jantung maupun resusitasi (akibat rendahnya perfusi
jaringan).
D. Furosemid
Furosemide bekerja pada thick ascending limb dari loop of Henle
melalui mekanisme penghambatan sistem kotransport Na+-2Cl—K+. Akibat
penghambatan pada sistem ini akan mengganggu pembentukan kondisi
intersisium yang hipertonik, sehingga gradien yang dibutuhkan untuk
mengeluarkan cairan dari duktus kolektivus secara pasif mengalami
penurunan, akibatnya proses diuresispun terjadi.
E. Morfin Sulfat
Morfin adalah obat yang digunakan untuk mengatasi rasa sakit dengan
intensitas sedang hingga parah, seperti nyeri pada kanker atau serangan
jantung. Efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis. Morfin dosis
kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada pasien yang sedang menderita nyeri,
sedih dan gelisah dan pada orang normal seringkali menimbulkan disforia

128
berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual dan muntah. Opioid
menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang
terutama didapatkan di SSP dan medula spinalis yang berperan pada transmisi
dan modulasi nyeri.
F. Insulin dan Glukosa
Insulin dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan cara menstimulasi
ambilan/uptake glukosa darah di perifer dan menghambat produksi glukosa
oleh hepar. Selain daripada itu, insulin juga menghambat proses lipolisis dan
proteolysis, serta meningkatkan sintesis protein. Target organ insulin adalah
pada jaringan otot skeletal, hepar, dan jaringan adiposa.
G. Midazolam
Midazolam adalah agen sedatif yang termasuk ke dalam golongan
benzodiazepin. Midazolam adalah senyawa 1,4 – benzodiazepin, berdasarkan
aspek farmakologisnya sangat mirip dengan diazepam, tetapi memiliki
beberapa kelebihan yang menyebabkan midazolam lebih banyak
penggunaannya di klinik dibandingkan diazepam.
Tabel 9.5 Indikasi, Dosis, dan Cara Pemberian Obat-obatan Lainnya
Nama Obat Indikasi Dosis dan Cara pemberian
Nitrat • Digunakan pada gagal jantung • Tablet :
kongestif, hipertensi emergensi dan o nitrogliserin 1 tablet (0,3 – 0,4 mg)
obat anti angina awal pada SKA sublingual, dapat diulang hingga 3
• Gagal jantung (terutama yang dosis, interval 5 menit.
berhubungan dengan adanya iskemia o isosorbid dinitrat 5 mg sublingual
miokard) dapat diulang hingga 3 dosis, interval
• Hipertensi emergensi 5 menit.
• Hipertensi paru • IV :
Kontraindikasi: o nitrogliserin Dosis maintenance
• Hipotensi (TDS < 90 mmHg) mulai 10 µg/menit (tidak tergantung
• Takikardi ekstrim >150x/menit atau berat badan/kg), kemudian
bradikardia ekstrim <50x/menit dinaikkan tiap 3-5 menit 10 µg/menit
• Infark ventrikel kanan sesuai klinis dan tekanan darah.
• Penggunaan sildenafil (Viagra®) Dosis maksimal 200 µg/menit.
dalam 24 jam terakhir o isosorbid dinitrat : dosis 1-10
Perhatian: mg/jam titrasi sesuai klinis dan
• Dapat menyebabkan hipotensi, tekanan darah
terutama pada pasien dengan
hipovolemia
• Pada hipertensi emergensi target
maksimum penurunan tekanan darah
adalah 25% dari Mean Arterial Pressure
(MAP) awal.

129
Morfin Indikasi: • Diencerkan dalam 10 cc NaCl 0.9%
• Nyeri dada pada Sindroma Koroner atau D5
Akut (SKA) yang tidak respon dengan • Diberikan bolus perlahan
nitrat. • Hati-hati efek depresi pernapasan
• Edema paru akut kardiogenik (jika dan hipotensi. Siapkan alat-alat
tekanan darah adekuat) resusitasi, bagging, dan antidote
(naloxone) bila memungkinkan
Perhatian: • IMA-STE: berikan 2 - 4 mg IV. Dapat
• Dapat menyebabkan depresi napas. diberikan dosis tambahan 2 – 8 mg IV
• Dapat menyebabkan hipotensi pada dalam interval waktu 5 – 15 menit.
pasien hipovolemia. • SKA- NSTE: berikan 1 – 5 mg IV jika
• Gunakan secara hati-hati pada infark gejala tidak berkurang dengan
ventrikel kanan. pemberian nitrat atau gejala
• Siapkan antidotum nalokson (0.04 – 2 berulang. Gunakan secara hati-hati.
mg IV).
Furosemid • Sebagai terapi tambahan pada edema • Dosis 0.5 – 1 mg/kg diberikan
paru akut dengan tekanan darah sistolik selama 1 - 2 menit.
>90-100 mmHg (tanpa tanda dan gejala • Jika tidak ada respon, dosis
syok). dinaikkan hingga 2 mg/kg, diberikan
perlahan-lahan selama 1- 2 menit.
• Pasang kateter urine
• Pada kondisi edema paru akut (new
onset) yang disertai hipovolemia: <
0.5 mg/kg.
Midazolam Obat sedasi persiapan intubasi atau • Dosis 0,05 – 0,1 mg/kg (maksimal
kardioversi tersinkronisasi dosis dalam satu kali pemberian: 4
mg) bolus pelan.
• Onset efek akan dimulai dalam 2-5
menit, dengan durasi antara 15 – 30
menit.
Insulin dan • dapat diberikan pada kasus • 10 Unit Insulin iv ditambah 25gram
Dextrose hiperkalemia dengan mekanisme kerja dextrosa (50ml D50%) atau 62,5ml
redistribusi dan shift intraselular. D40%.
Calcium • Kondisi hiperkalemia atau dicurigai • Larutan Ca Gluconas 10% 15-30 ml
gluconas adanya hiperkalemia (gagal ginjal).
• Antidotum untuk efek toksik dari
penghambat kanal kalsium atau
penyekat beta (hipotensi dan aritmia).
• Hipokalsemia ter-ionisasi (contoh:
setelah tranfusi darah berulang)
Sodium • Hiperkalemia • 1 MEq/kgBB diencerkan dalam 50
Bicarbonat • Asidosis metabolik yang respon cc D5/NaCl 0.9% bolus pelan (lebih
terhadap pemberian bikarbonat baik melalui vena besar)
(ketoasidosis diabetik) atau keracunan
antidepresan trisiklik, aspirin, kokain
atau difenhidramin.
• Resusitasi yang berlangsung lama
disertai ventilasi yang efektif; kondisi
ROSC (return of spontaneous
circulation) setelah terjadinya henti
jantung yang berlangsung lama.

130
• Tidak bermanfaat atau tidak efektif
pada kondisi asidosis respiratorik
dengan hiperkarbia (henti jantung atau
resusitasi jantung paru tanpa dilakukan
intubasi)
• Tidak direkomendasikan untuk
diberikan rutin pada pasien yang
mengalami henti jantung

131
REFERENSI
1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Obat Yang Digunakan
Dalam Bantuan Hidup Jantung Lanjut. Edisi Ketiga. Jakarta: PERKI; 2015.
2. Soar, J., Perkins, G. D., Maconochie, I., Böttiger, B. W., Deakin, C. D., Sandroni, C.,
... & Semeraro, F. (2019). European Resuscitation Council Guidelines for
Resuscitation: 2018 Update–Antiarrhythmic drugs for cardiac arrest.
Resuscitation, 134, 99-103.
3. Panchal, A. R., Berg, K. M., Kudenchuk, P. J., Del Rios, M., Hirsch, K. G., Link, M. S.,
... & Hazinski, M. F. (2018). 2018 American Heart Association focused update on
advanced cardiovascular life support use of antiarrhythmic drugs during and
immediately after cardiac arrest: an update to the American Heart Association
guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care.
Circulation, 138(23), e740-e749.
4. Hollenberg, S. M. (2011). Vasoactive drugs in circulatory shock. American journal
of respiratory and critical care medicine, 183(7), 847-855.
5. Lei, M., Wu, L., Terrar, D. A., & Huang, C. L. H. (2018). Modernized classification
of cardiac antiarrhythmic drugs. Circulation, 138(17), 1879-1896.
6. Ibanez, B., James, S., Agewall, S., Antunes, M. J., Bucciarelli-Ducci, C., Bueno, H.,
... & Hindricks, G. (2017). 2017 ESC Guidelines for the management of acute
myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation: The Task
Force for the management of acute myocardial infarction in patients presenting
with ST-segment elevation of the European Society of Cardiology (ESC). European
heart journal, 39(2), 119-177.
7. Roffi, M., Patrono, C., Collet, J. P., Mueller, C., Valgimigli, M., Andreotti, F., ... &
Gencer, B. (2016). 2015 ESC Guidelines for the management of acute coronary
syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation: Task
Force for the Management of Acute Coronary Syndromes in Patients Presenting
without Persistent ST-Segment Elevation of the European Society of Cardiology
(ESC). European heart journal, 37(3), 267-315.
8. Brugada, J., Katritsis, D. G., Arbelo, E., Arribas, F., Bax, J. J., Blomström-Lundqvist,
C., ... & Gomez-Doblas, J. J. (2019). 2019 ESC Guidelines for the management of
patients with supraventricular tachycardiaThe Task Force for the management of

132
patients with supraventricular tachycardia of the European Society of Cardiology
(ESC). European heart journal.
9. Valgimigli, M., Bueno, H., Byrne, R. A., Collet, J. P., Costa, F., Jeppsson, A., ... &
Montalescot, G. (2017). 2017 ESC focused update on dual antiplatelet therapy in
coronary artery disease developed in collaboration with EACTS. European journal
of cardio-thoracic surgery, 53(1), 34-78.
10. Singletary, E. M., Charlton, N. P., Epstein, J. L., Ferguson, J. D., Jensen, J. L.,
MacPherson, A. I., ... & Zideman, D. A. (2015). Part 15: first aid: 2015 American
Heart Association and American Red Cross guidelines update for first aid.
Circulation, 132(18_suppl_2), S574-S589.
11. Hunt, E. A., Jeffers, J., McNamara, L., Newton, H., Ford, K., Bernier, M., ... & Duval‐
Arnould, J. (2018). Improved cardiopulmonary resuscitation performance with
CODE ACES2: a resuscitation quality bundle. Journal of the American Heart
Association, 7(24), e009860.

———»»»œ«««———

133
BAB X
TIM DARURAT MEDIS

TUJUAN PEMBELAJARAN
• Memahami cara kerja sebagai anggota tim darurat medis
• Memahami cara kerja sebagai pimpinan tim darurat medis
• Memahami cara kerja tim darurat medis yang efektif

A. Pendahuluan
Di setiap unit kesehatan apakah sebuah rumah sakit, klinik atau ambulans gawat
darurat diperlukan adanya tim medis / paramedis yang solid dan mampu berbagi tugas
dengan baik untuk menyelamatkan jiwa pasien, karena banyak tugas yang harus
dilaksanakan.
Tim tersebut harus sangat terlatih untuk melakukan BHJD maupun BHJL. Di dalam tim
harus ada pemimpin tim dan anggota, dan masing masing harus mengetahui tugas dan
tanggung jawabnya.

B. Tujuan Pembelajaran
Ketika Anda selesai mempelajari bagian ini, anda diharapkan dapat bekerja sebagai
tim yang efektif, bekerja semaksimal mungkin baik sebagai anggota maupun sebagai
pemimpin tim, dengan tujuan akhir adalah memberikan pelayanan yang terbaik untuk
pasien.
Peranan Pemimpin Tim
1. Peranan Pemimpin Tim
Semua tim resusitasi membutuhkan seorang pemimpin untuk mengatur usaha
yang dilakukan oleh grup tersebut. Pemimpin tim bertanggung jawab untuk
memastikan bahwa semua dilakukan pada saat yang tepat dengan cara yang tepat
dengan memantau dan mengintegrasikan kinerja perorangan semua anggota tim.
Walau begitu, pemimpin tim haruslah mahir dalam semua keterampilan khusus
yang harus diselesaikan selama resusitasi.
Pemimpin tim harus bertindak sebagai seorang guru atau pemandu untuk
membantu melatih para calon pemimpin tim yang akan datang dan memperbaiki
134
efektivitas tim. Setelah resusitasi, pemimpin tim dapat memberikan analisa, kritik,
dan praktek sebagai persiapan untuk usaha resusitasi berikutnya.
2. Tugas Pemimpin Tim
• Memantau kinerja perorangan dari semua anggota tim
• Menyokong anggota tim
• Berkonsentrasi pada penanganan pasien secara komprehensif
• Mengajar dan melatih
• Memberikan pemahaman

Peranan Anggota Tim


Anggota tim harus mahir dalam keterampilan dimana mereka telah dilatih dan
diberikan kewenangan untuk melakukannya dalam ruang lingkup praktek mereka. Hal
ini penting bagi keberhasilan suatu usaha resusitasi.
• Siap untuk memenuhi tanggung jawab peranannya
• Sering mempraktekkan keterampilan resusitasi
• Memiliki pengetahuan mengenai algoritme
• Bertanggung jawab untuk mencapai keberhasilan
• Melaksanakan perintah pemimpin tim

Hal-Hal yang Boleh Dilakukan


1. Pemimpin Tim
Menetapkan dengan jelas semua peranan anggota tim dalam susunan/setting
klinis.
2. Anggota Tim
• Mencari/meminta dan melaksanakan tugas yang telah ditetapkan dengan
jelas dan layak untuk tingkat kompetensinya.
• Meminta tugas atau peranan baru bila tugas Anda terlalu sulit untuk Anda
lakukan berdasarkan pengalaman atau kompetensi anda

Hal-Hal yang Tidak Boleh Dilakukan Pemimpin Tim


• Mengabaikan untuk memberikan tugas kepada anggota tim yang ada
• Memberikan tugas kepada anggota tim yang tidak yakin akan tanggung

135
jawabnya
• Membagikan tugas dengan tidak merata sehingga beberapa orang
mendapat tugas yang terlalu banyak sementara yang lainnya mendapat
tugas yang terlalu sedikit
• Menghindar dari tugas
• Mengambil tugas yang melebihi tingkat kompetensi atau kemahiran Anda

Mengetahui Keterbatasan Seseorang


Tidak hanya anggota tim yang harus mengetahui keterbatasan dan kemampuannya
masing-masing, pemimpin tim pun harus menyadari hal tersebut. Pengetahuan ini
memungkinkan pemimpin tim untuk mengevaluasi sumber daya tim dan memanggil
back-up atau penyokong bagi anggota tim bila dibutuhkan bantuan. Anggota tim harus
mengantisipasi situasi dimana mereka mungkin membutuhkan bantuan dan harus
menginformasikannya kepada pemimpin tim.
Selama pelaksanaan usaha resusitasi, jangan mempraktekkan atau mencoba
keterampilan baru. Bila dibutuhkan pertolongan tambahan, mintalah sedini mungkin.
Ingatlah bahwa meminta pertolongan bukanlah suatu tanda kelemahan atau
ketidakcakapan; adalah lebih baik untuk mendapatkan lebih banyak pertolongan dari
yang dibutuhkan daripada tidak mendapatkan pertolongan yang cukup, yang dapat
mempengaruhi hasil akhir pasien secara negatif.

Evaluasi Ulang dan Membuat Rangkuman


Peranan penting pemimpin tim adalah memantau dan melakukan evaluasi ulang
terhadap :
• Status pasien
• Intervensi yang telah dilakukan
• Temuan yang diperoleh dari pemeriksaan yang telah dilakukan.
Merupakan suatu praktek yang baik bagi pemimpin tim untuk merangkum semua
informasi ini dengan lantang dalam update berkala bagi seluruh tim. Kaji ulang status
usaha resusitasi dan umumkan rencana beberapa langkah selanjutnya. Ingatlah bahwa
kondisi pasien dapat berubah. Tetaplah bersikap fleksibel terhadap perubahan
rencana pengobatan dan lihat kembali diagnosa diferensial awal.

136
Saling Menghargai
Tim yang terbaik tersusun atas anggota yang saling menghargai satu sama lain dan
bekerja bersama-sama secara kolegial. Untuk memiliki suatu tim resusitasi yang
memiliki kinerja tinggi, semua orang harus menanggalkan egonya dan menghargai
satu sama lain selama pelaksanaan resusitasi, tanpa melihat pelatihan tambahan atau
pengalaman yang dimiliki oleh pemimpin tim atau anggota tim tertentu.

Hal-Hal yang Harus Dilakukan


Pemimpin Tim dan Anggota Tim
• Berbicara dengan suara yang ramah dan nada yang terkendali
• Menghindari berteriak atau menunjukkan agresi bila Anda tidak mengerti awalnya

Tim Darurat Medis


Tim darurat medis atau tim reaksi cepat telah diimplementasikan di banyak rumah
sakit. Tujuan dari tim ini adalah untuk memperbaiki hasil akhir pasien dengan
mengidentifikasi dan menangani perburukan klinis tahap awal. Henti jantung yang
terjadi di rumah sakit umumnya didahului oleh perubahan fisiologis. Dalam sebuah
penelitian, hampir 80% pasien yang dirawat di rumah sakit yang menderita henti jantung
dan nafas memiliki tanda-tanda vital abnormal yang terdokumentasi hingga 8 jam
sebelum terjadi henti yang sebenarnya. Perubahan - perubahan ini dapat dikenali
melalui pemantauan tanda-tanda vital. Intervensi sebelum perburukan klinis atau henti
jantung memungkinkan untuk dilakukan.

137
REFERENSI
1. Cummins RO, et. Al. ACLS provider manual. American Heart Association: Updated
2004.
2. Cummins RO. ACLS – Reference Textbook. ACLS: principles and practice. American
Heart Association 2003, 8-15, 57-87.
3. Departemen Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar 2007. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2008.
4. Eisenberg MS, Cummins RO. Defibrillation performed by the emergency medical
technician. Circulation. 1986;74(pt 2):IV 9-12
5. Fied JM, Mary FH, David G. Hand Book of Emergency Cardiac Care. American Heart
Association 2005, 3-9.
6. Field JM, et. Al. Advanced Cardiac Life Support Provider Manual, American Heart
Association: 2006.
7. Grubb NR dan Newby DE. Cardiology in acute coronary syndrome. Pocket Book
Cardiology, Edisi ke 2, Elsevier, 2006: Bab 5: 91-132.
8. Harold BL. Electrocardiography: 100 diagnostic criteria. Year Book Medical Publisher,
1987, 135-137. American Heart Association, Guidelines CPR ECC 2005.
9. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R., Hirsch, K.
G., … & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life Support: 2020
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.
10. Kerber RE, Grayzel J, Hoyt R, Marcus M, Kennedy J. Transthoracic resistance in
human defibrillation: influence of body weight, chest size, serial shock, paddle size
and paddle contact pressure. Circulation. 1981;63:676-82.
11. Task force on acute heart failure of the ESC. ESC Guideline. Executive summary of
the guidelines on the diagnosis and treatment of acute heart failure. European Heart
Journal. 2005: 384.
12. John M. Field, Mary Fran Hazinski, Michael R. Sayre,et.al. 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitations and Emergency
Cardiovascular Care Sciene. Circulation. 2010;122:S639-S946.

138
BAB XI
Bantuan Hidup Jantung Lanjutan Pediatri

A. PENDAHULUAN
Di Amerika Serikat, terdapat lebih dari 20.000 kasus henti jantung pada bayi dan anak
per tahunnya, dengan setidaknya 7.000 kasus diantaranya terjadi di luar rumah sakit
(OHCA) pada tahun 2015. Sekitar 11,4% pasien OHCA pediatri dapat bertahan hidup
hingga pulang rawat, namun angka ini lebih bervariasi tergantung kelompok usia dengan
tingkat kelangsungan hidup sebesar 17,1% pada remaja, 13,2% pada anak, dan 4,9% pada
bayi. Pada tahun yang lama, insidens henti jantung anak di dalam rumah sakit (IHCA) yaitu
12,66 kasus per 1000 bayi dan anak yang dirawat, dengan tingkat kelangsungan hidup
hingga pulang rawat sebesar 41,1%. Luaran neurologis pada berbagai kelompok usia anak
masih sulit dinilai, terutama mengingat studi-studi pada OHCA dan IHCA pediatri memiliki
cara pelaporan dan durasi waktu pengamatan yang bervariasi. Luaran neurologis yang
baik dilaporkan terdapat pada hingga 47% pasien hingga pulang rawat. Meskipun angka
kelangsungan hidup pada IHCA meningkat, masih banyak yang perlu dilakukan untuk
meningkatkan angka kesintasan dan luaran neurologis pada pasien-pasien ini.
Panduan ini berisi rekomendasi untuk bantuan hidup dasar dan lanjut untuk pediatri
diluar periode neonatus yang disarikan dari bukti-bukti terbaru. Rantai bertahan hidup
saat ini diperluas untuk mencakup periode perawatan setelah henti jantung sehingga
memerlukan koordinasi efektif antara berbagai pihak. Panduan ini dimaksudkan untuk
digunakan oleh penolong awam dan medis di untuk mengidentifikasi bayi dan anak pada
fase sebelum, saat, dan setelah henti jantung baik di dalam maupun di luar rumah sakit.
Pasien pediatri didefinisikan sebagai bayi, anak, dan remaja berusia di bawah 18 tahun,
namun tidak mencakup bayi baru lahir. Bayi baru lahir didefinisikan sebagi bayi dalam
perawatan rumah sakit pertama setelah lahir, sehingga panduan ini tetap berlaku pada
neonatus berusia <30 hari yang telah pulang rawat. Bayi mencakup usia di bawah 1 tahun
sementara anak untuk usia 1 tahun hingga pubertas. Panduan untuk BHJD dewasa berlaku
untuk remaja yang telah pubertas dan lebih tua.

139
B. KONSEP UTAMA
Terdapat perbedaan penting pada epidemiologi, patofisiologi, dan etiologi tersering
dari henti jantung pada anak dengan henti jantung pada neonatus dan dewasa. Henti
jantung pada bayi dan anak umumnya bukan akibat langsung dari gangguan jantung,
namun merupakan komplikasi gagal napas atau syok berkelanjutan. Henti jantung pada
pasien anak umumnya didahului oleh perburukan yang berakhir pada kegagalan jantung-
paru, bradikardia, hingga henti jantung. Gangguan jantung sebagai penyebab utama
umumnya ditemukan pada anak dengan penyakit jantung bawaan.
Luaran untuk IHCA pediatri telah meningkat dalam dua dekade terakhir, sebagian
karena telah diterapkannya metode untuk deteksi dini, RJP berkualitas tinggi, perawatan
pasca henti jnantung, dan RJP ekstrakorporeal. Saat ini, kasus henti jantung lebih sering
ditemui di ruang rawat intensif (ICU), mengindikasikan bahwa pasien yang berisiko henti
jantung telah dapat diidentifikasi lebih awal dan dipindahkan ke ruangan dengan
pengawasan lebih ketat.
Di sisi lain, tingkat kelangsungan hidup pada pasien OHCA belum sebaik yang
diharapkan. Analisis registri OHCA multisenter terbaru dari Resuscitation Outcomes
Consortium Epidemiological Registry menunjukkan bahwa pada OHCA pediatri, angka
kelangsungan hidup hingga pulang rawat berkisar 6,7% hingga 10,2% sepanjang periode
2007-2012, bergantung pada daerah dan usia pasien. Angka ini tidak berubah signifikan
pada tahun-tahun terakhir, serupa dengan catatan nasional di berbagai negara seperti
Jepang, Australia, dan Selandia Baru. Studi yang sama menunjukkan angka kesintasan
OHCA lebih tinggi ketika terdapat paramedis pada saat henti jantung dan pemberian RJP
pengamat dengan laju lebih tinggi. Hal ini deteksi dini dan tatalaksana segera pada pasien
OHCA.

140
Gambar 11.1. Algoritma Henti Jantung Pasien Anak

141
Tatalaksana VF/pVT
Risiko VF/pVT meningkat selama anak-anak dan remaja, walaupun masih lebih jarang
dibandingkan dewasa. Henti jantung dengan irama inisial VF/pVT memiliki tingkat
kelangsungan hidup hingga pulang rawat dan fungsi neurologis yang lebih baik
dibandingkan henti jantung dengan irama inisial yang tidak dapat didefibrilasi. Irama yang
dapat didefibrilasi dapat muncul sebagai irama inisial saat henti jantung (VF/pVT primer)
atau muncul saat upaya resusitasi (VF/pVT sekunder). Defibrilasi adalah tatalaksana
definitif untuk VT/pVF. Semakin pendek durasi VF/pVT, semakin mungkin defibrilasi akan
menyebabkan irama perfusi. Baik defibrilator manual maupun DEO dapat digunakan
untuk menatalaksana VF/pVT pada anak, namun defibrilator manual lebih dipilih karena
dosis kejut dapat dititrasi sesuai berat badan pasien. DEO memiliki spesifisitas tinggi
dalam mengidentifikasi irama yang dapat didefibrilasi pada pediatri. Defibrilator bifasik
lebih direkomendasikan daripada monofasik karena menyebabkan terminasi VF/pVT
dengan dosis lebih rendah dan memiliki efek samping lebih sedikit. Kebanyakan DEO
didesain untuk mengurangi dosis defibrilasi agar cocok untuk bayi dan anak di bawah 8
tahun.

Alat Bantu Napas Tingkat Lanjut Selama RJP


Sebagian besar henti jantung pada anak dipicu oleh perburukan fungsi pernapasan,
sehingga ventilasi efektif dan manajemen jalan napas menjadi penting dalam resusitasi.
Walaupun ventilasi dapat sukses dilakukan pada sebagain besar pasien menggunakan
ventilasi kantung napas-sungkup muka, metode ini menyebabkan interupsi kompresi
dada dan berasosiasi dengan risiko aspirasi dan barotrauma.
Intervensi bantuan napas tingkat lanjut, seperti penggunaan alat bantu jalan napas
supraglotis atau intubasi endotrakea dapat meningkatkan ventilasi, mengurangi risiko
aspirasi, dan memungkinkan kompresi dada yang tidak terinterupsi. Meskipun demikian,
upaya penempatan alat bantu ini dapat menginterupsi kompresi atau menyebabkan
malposisi alat. Oleh karena ini dibutuhkan alat bantu yang tepat dan penolong
berpengalaman, karena hal ini mungkin akan sulit pada penolong yang jarang
mengintubasi anak.

142
Pemberian Obat-Obatan Selama RJP
Agen vasoaktif seperti epinefrin digunakan selama henti jantung untuk memicu
kembalinya sirkulasi spontan dengan optimalisasi perfusi koroner dan mempertahankan
perfusi serebral, namun keuntungan dan waktu pemberian yang optimal masih belum
diketahui dengan pasti. Agen antiaritmia mengurangi risiko fibrilasi ventrikel (VF) dan
takikardia ventrikel tanpa nadi (pVT) berulang setelah defibrilasi, sehingga mungkin dapat
meningkatkan keberhasilan defibrilasi. Data saat ini tidak mendukung penggunaan rutin
sodium bikarbonat maupun kalsium dalam henti jantung. Meskipun begitu, pada kondisi
khusus seperti imbalans elektrolit dan keracutan obat-obatan tertentu, pemberiannya
tetap diindikasikan.
Dosis untuk anak didasarkan pada berat badan, yang acapkali sulit dinilai pada kondisi
gawat darurat. Untuk itu, terdapat beberapa metode estimasi berat badan yang dapat
digunakan.

Penilaian Kualitas Resusitasi


Memulai dan mempertahankan RJP berkualitas tinggi diasosiasikan dengan
peningkatan laju ROSC, kelangsungan hidup, dan luaran neurologis yang lebih baik;
meskipun demikian, kualitas RJP seringkali masih suboptimal. Pemantauan kualitas RJP
dapat dilakukan dengan teknik pemantauan invasif maupun noninvasif. Pengukuran
tekanan darah arteri secara invasif dapat memberikan gambaran besaran tekanan darah
yang muncul akibat kompresi dan pemberian obat-obatan. Pengukuran CO2 di akhir fase
tidal (ETCO2) merefleksikan curah jantung dan efektifitas ventilasi, dan dapat
memberikan umpan balik terhadap kualitas RJP. Peningkatan ETCO2 mendadak dapat
menjadi tanda awal ROSC. Alat untuk memberikan umpan balik terhadap kualitas RJP
(seperti alat latihan, audio, maupun audiovisual) dapat meningkatkan laju dan kedalaman
kompresi bila terintegrasi dalam sistem pelatihan dan asesmen kualitas untuk RJP
berkualitas tinggi. Pemeriksaan point of case ultrasound, dalam hal ini ekokardiografi
selama RJP dapat dipertimbangkan untuk mengidentifikasi penyebab henti jantung yang
bisa diatasi. Teknologi yang sedang dikembangkan untuk menilai kualitas resusitasi
diantaranya pengukuran noninvasif oksigenasi serebral, seperti near infrared
spectroscopy.

143
Tatalaksana dan Pemantauan Pasien dalam Perawatan Pasca Henti Jantung
Dalam hitungan hari setelah keberhasilan resusitasi, dapat muncul “sindrom pasca
henti jantung”. Sindrom ini terdiri dari cedera otak, iskemia sistemik dan respons
reperfusi, disfungsi miokard, dan patofisiologi presipitasi henti jantung awal yang
persisten. Cedera otak pasca henti jantung menurunkan toleransi otak akan iskemia,
hiperemis, dan edema sehingga mengarah pada penyebab utama terjadinya morbiditas
dan mortalitas pada dewasa dan anak. Pelayanan pasca henti jantung pada pediatri fokus
untuk meningkatkan ketahanan hidup dan hasil neurologis yang baik dengan dengan cara
mengantisipasi, mengidentifikasi, dan menatalaksana perubahan fisiologi yang kompleks
ini.
Targeted temperature management (TTM) merujuk pada pemantauan dan penjagaan
suhu pasien secara berkelanjutan untuk tetap pada rentang tertentu. Seluruh bentuk TTM
harus mencegah terjadinya demam. Pada kondisi hipotermik, TTM mencegh sindroma
reperfusi denngan menurunkan kebutuhan metabolik, menurunkan apoptosis, dan
mengurangi produksi radikal bebas. Identifikasi dan tatalaksana perburukan yang
mungkin terjadi sangat penting karena dapat berefek pada hasil yang diharapkan.
Perburukan yang mungkin terjadi dapat berupa demam, kejang, hipotensi, cedera ginjal
akut, dan abnormalitas pada ventilasi, oksigenasi, serta elektrolit.

Prognosis Pasien Pasca Henti Jantung


Dalam rangka menjadi petunjuk nantinya pada pemberian tatalaksana, penyusunan
rencana yang efektif pada pasien, dan penyediaan dukungan dari keluarga pada pasien
pediatri pasca henti jantung, diperlukan untuk membuat prognosis hasil neurologis secara
lebih awal yang dapat diandalkan. Untuk menyusun prognosis, hal-hal yang perlu
dipertimbangkan adalah karakteristik pasien dan henti jantung yang dialami, hasil
pemeriksaan neurologis pasca henti jantung, hasil pemeriksaan laboratorium, EEG, dan
pemeriksaan radiologi neurologis (CT dan MRI). Saat ini, untuk memprediksi apakah
prognosis pada pasien setelah ROSC dalam 24-48 jam adalah baik atau buruk, belum
ditemukan satu faktor utama yang berperan dan belum dapat diidentifikasi suatu
keputusan tervalidasi tertentu. Dibutuhkan banyak data sebelum kita dapat
mengaplikasikan prognosis pada masing-masing individu-individu pasien. EEG, pencitraan

144
saraf, maupun serum biomarker bila diambil secara terpisah maka hanya memberikan
prognosis dengan akurasi yang standar.

Gambar 11.2. Daftar Tilik Pelayanan Pasca Henti Jantung

145
Pemulihan Pasien Pasca Henti Jantung
Pasien pasca henti jantung memiliki risiko yang signifikan terhadap peningkatan
morbiditas neurologis, kognitif, fisik baik jangka pendek maupun panjang, emosional, dan
sosial. Beberapa pasien pasca henti jantung akan memiliki gangguan neuropsikologi yang
lebih ringan apabila berhasil bertahan setelah henti jantung dengan hasil yang
“memuaskan”. Pada pasien anak, perkembangan yang terganggu sebagai dampak penuh
dari cedera otak yang dialami tidak akan terlihat penuh hingga beberapa bulan atau tahun
setelah pasien mengalami henti jantung. Secara lebih lanjut, dampak dari morbiditas yang
terjadi pada anak tidak hanya berdampak pada anak, tapi juga pada anggota keluarga
yang mengasuh anak tersebut.
Pada rantai kelangsungan hidup, pemulihan termasuk dalam bagian ke enam yang
diakui bahwa pasien pasca henti jantung yang selamat dapat membutuhkan pelayanan
medis terintegrasi secara berkelanjutan, pengasuh, rehabilitasi, dan dukungan komunitas
hingga beberapa bulan dan tahun setelah pasien mengalami henti jantung. Pentingnya
mempelajari dampak neurologis jangka panjang dan hubungannya dengan kesehatan
serta kualitas hidup seseorang telah menjadi sorotan pada pernyataan ilmiah terbaru dari
AHA dan ILCOR.

Kehadiran Keluarga Selama Resusitasi


Praktik untuk menghadirkan keluarga selama proses resusitasi berlangsung terus
meningkat dalam 20 tahun terakhir. Hasil survei yang dilakukan pada sebagian orang tua
menunjukkan bahwa mereka ingin hadir selama anak diresusitasi. Data yang lebih lama
menunjukkan di antara orang tua yang hadir selama resusitasi hingga anak meninggal,
insiden kecemasan dan depresi lebih rendah serta perilaku berduka lebih konstruktif.

Evaluasi Henti Jantung Secara Mendadak yang Tidak Dapat Dijelaskan


Beberapa penyebab umum henti jantung mendadak yang tidak dapat dijelaskan pada
bayi dan anak-anak adalah kardiomiopati hipertrofi, anomali arteri koroner, dan aritmia.
Tidak ditemukan adanya kelainan pada otopsi dan mikroskopis pada sepertiga dari pasien
muda yang tidak selamat dari serangan jantung mendadak yang tidak dapat dijelaskan.
Untuk mencari etiologi serangan jantung mendadak yang tidak dapat dijelaskan, semakin
banyak digunakan evaluasi genetika postmortem ("otopsi molekuler"). Selain untuk

146
memberikan penjelasan mengenai henti jantung pasien, diagnosis genetik dapat
mengidentifikasi penyakit jantung yang diturunkan, seperti kardiomiopati, sehingga
memungkinkan skrining dan tindakan pencegahan untuk keluarga.

Gambar 11.3. Peta Perjalanan Menuju Pemulihan

Resusitasi pada Pasien Syok


Syok adalah kejadian yang dapat mengancam nyawa akibat kegagalan pengiriman
oksigen untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Syok hipovolemik merupakan
jenis syok yang paling umum terjadi pada pediatri, termasuk diantaranya syok akibat
perdarahan. Beberapa syok yang jarang terjadi diantaranya syok distributif, kardiogenik,
147
dan obstruktif. Pada kejadian tertentu, kewaspadaan perlu ditingkatkan karena berbagai
jenis syok dapat terjadi secara bersamaan. Indeks kecurigaan yang tinggi diperlukan pada
syok kardiogenik dikarenakan sulitnya diagnosis pada tahap awal.
Syok berkembang sesuai dengan tingkat keparahannya, mulai dari kondisi
kompensasi ke kondisi dekompensasi (hipotensi). Mekanisme kompensasi merupakan
upaya mempertahankan curah jantung dan perfusi organ, termasuk diantaranya
takikardia dan meningkatkan resistensi vaskular sistemik (vasokonstriksi). Ketika
mekanisme kompensasi gagal, dan pasien mulai hipotensi serta menujukkan gejala
seperti depresi status mental, penurunan produksi urin, asidosis laktat, dan denyut nadi
lemah, hal ini menunjukkan perfusi organ sudah tidak memadai.
Pemberian cairan intravena secara dini untuk mengobati syok sepsis memiliki bukti
yang terbatas, namun telah diterima secara luas. Dengan penerapan panduan yang
menekankan pemberian cairan dan antibiotik secara dini, kematian akibat sepsis pada
pediatri telah menurun di beberapa tahun terakhir. Kontroversi dalam pengelolaan syok
sepsis meliputi waktu dan pilihan agen vasopressor, penggunaan kortikosteroid,
pemberian volume cairan dan penilaian respon pasien, serta modifikasi algoritma
pengobatan untuk pasien dalam serangan jantung terkait sepsis. Pedoman AHA
sebelumnya masih memiliki generalisasi hasil yang problematik dikarenakan terdapat
pasien-pasien yang memerlukan pertimbangan khusus, yaitu pasien dengan malaria,
anemia sel sabit, dan sindrom syok dengue.
Panduan resusitasi untuk anak-anak dengan syok hemoragik terus berkembang
karena protokol resusitasi yang menggunakan produk darah pada awal resusitasi telah
berhasil mengubah paradigma pemberian kristaloid saja pada resusitasi.

Tatalaksana pada Gagal Napas


Gagal napas terjadi ketika oksigenasi dan ventilasi pada tubuh berjalan tidak efektif
dikarenakan ketidakmampuan tubuh untuk bernapas dengan baik. Hal ini dapat terjadi
karena obstruksi saluran napas atas maupun bawah, kontrol napas yang terganggu, atau
penyakit parenkim paru. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menolong pasien
dengan tidak ada napas ataupun napas yang tidak adekuat adalah dengan memberikan
ventilasi, mengeluarkan benda asing yang menjadi penyebab obstruksi, dan sebagai

148
tindakan penyelamatan pada pasien yang mengalami gagal napas dikarenakan overdosis
opioid, dapat diberikan nalokson.
Beberapa penyebab kematian pada bayi dan anak adalah mati lemas karena saluran
napas mengalami obstruksi benda asing maupun keracunan. Penyebab tersering
terjadinya obstruksi benda asing pada saluran napas anak adalah balon, makanan
(hotdog, kacang, anggur) dan obyek kecil lainnya. Sedangkan penyebab tersering
terjadinya obstruksi benda asing pada saluran napas bayi adalah cairan. Penting untuk
membedakan apakah pasien mengalami obstruksi benda asing pada saluran napas yang
parah hingga pasien tidak dapat bersuara sama sekali, atau pasien mengalami obstruksi
benda asing pada saluran napas yang ringan dimana pasien masih dapat batuk ataupun
bersuara. Hal ini dikarenakan pada pasien dengan obstruksi benda asing pada saluran
napas yang parah akan segera memerlukan intervensi, sementara pasien dengan
obstruksi benda asing pada saluran napas yang ringan dapat dibantu untuk mengeluarkan
benda asing tersebut secara batuk.

Intubasi
Pada intubasi pediatri, cukuplah penting untuk memilih peralatan dan obat-obatan
yang tepat. Secara anatomis normal, penyempitan saluran napas pada pediatrik terletak
di bawah pita suara, sehingga pada bagian distal terbentuk sebuah tanda anatomis yang
membuat penggunaan uncuffed ETT pada pediatrik lebih disarankan. Penggunaan
uncuffed ETT ini tidak disarankan untuk diganti menjadi cuffed ETT pada keadaan dimana
anak-anak dengan keadaan respirasi yang buruk. Kelebihan cuffed ETT adalah
meningkatkan tekanan dan volume tidal, menurunkan kebutuhan untuk penggantian ETT,
dan meningkatkan akurasi kapnografi. Namun cuffed ETT dapat merukan mukosa saluran
pernapasan karena memiliki tekanan yang tinggi pada bagian cuff. Beberapa studi yang
telah mencoba mengidentifikasi mengenai penggunaan ETT ini kemudian menyarankan
untuk menurunkan jumlah penggantian tube denga cara memilih ukuran tube dan
tekanan inflasi cuff secara tepat yang pada akhirnya dapat menurunkan risiko terjadinya
trauma saluran napas.
Intubasi merupakan suatu prosedur yang memiliki risiko tinggi. Selama melakukan
prosedur intubasi, risiko yang diterima pasien dapat menjadi semakin tinggi bergantung
pada bagaimana hemodinamik pasien, mekanik pernapasan dan keadaan saluran napas

149
pasien. Oleh sebab itu, sebelum melakukan intubasi penting adanya untuk menyediakan
peralatan resusitasi yang adekuat.
Untuk meminimalisir risiko refluks gaster ke saluran napas, selama ini telah digunkan
tekanan krikoid ketika melakukan prosedur ventilasi bag-mask dan intubasi, namun
kemungkinan terhalanginya kesuksesan prosedur ventilasi bag-mask dan intubasi
dikarenakan adanya kompresi trakea saat ini menjadi suatu pertimbangan yang cukup
menjadi perhatian.
Auskultasi suara napas, adanya kabut pada tube, maupun meningginya dada bukan
menjadi suatu acuan untuk mengkonfirmasi bahwa ETT telah terletak pada tempat yang
tepat. Hal yang tepat dilakukan untuk mengkonfirmasi adalah dengan menggunakan
colometric detector or capnograpghy (ETCO2). Namun penggunaan ETCO2 ini tidak dapat
menjadi acuan utama jika pasien mengalami penurunan aliran darah paru, pasien dengan
cardiac output yang rendah, ataupun pasien dengan henti jantung.

Tatalaksana Bradikardi
Bradikardi, dengan nadi teraba ataupun tidak, merupakan gangguan hemodinamik
yang menjadi pertanda akan terjadinya henti jantung. Contoh bradikardi yang
membutuhkan evaluasi dengan segera adalah bradikardi dengan nadi kurang dari 60 kali
per menit untuk menghindari gangguan kardiopulmonal lebih lanjut. Memperbaiki
saluran napas, ventilasi, dan oksigenasi merupakan tatalaksana inisial pada pasien
pediatri dengan gangguan kardiopulmonal yang membutuhkan evaluasi etiologi dan
tatalaksana dengan segera. RJP harus segera dimulai jika bradikardi dengan gangguan
kardiopulmonal muncul meskipun oksigenasi dan ventilasi masih efektif. Anak-anak yang
menerima RJP untuk bradikardi sebelum mengalami henti nadi berpotensi memiliki hasil
yang lebih baik. Faktor-faktor yang berkontribusi pada bradikardia dan dapat diperbaiki
harus diidentifikasi dan segera diobati. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah
hipoksia, hipotensi, hipoglikemia, hipotermia, asidosis, atau keracunan.

150
Gambar 11.4. Algoritma Bradikardi Pediatrik dengan Nadi

151
Takiaritmia
Takiaritmia kompleks sempit yang teratur (durasi QRS 0,09 detik atau kurang)
dapat terjadi karena beberapa mekanisme, diantaranya adalah takikardia atrium ektopik
dan fibrilasi atrium, namun penyebab paling sering adalah re-entrant circuits. Takiaritmia
biasa dengan kompleks lebar (lebih dari 0,09 detik) dapat memiliki banyak mekanisme.
Salah satu mekanisme yang termasuk adalah takikardia supraventrikular (SVT) dengan
takikardia ventrikel atau konduksi menyimpang.
Pada pasien pediatri, dampak hemodinamik dari SVT dapat bervariasi. Sebagian
kecil pasien bahkan mengalami gangguan kardiovaskular (tanda-tanda syok, perubahan
status mental, hipotensi). Pada pasien dengan kondisi stabil, manuver vagal sering
digunakan untuk memberhentikan re-entrant SVT yang terjadi. Pada bayi dan anak-anak
dengan denyut nadi teraba yang tidak merespon manuver vagal, adenosin tetap menjadi
obat pilihan untuk mengobati SVT. Konsul dengan ahli merupakan hal yang penting untuk
mendiagnosis etiologi dan menyesuaikan pengobatan pada pasien dengan takikardia
kompleks-lebar yang stabil secara hemodinamik dan pasien yang mengalami SVT namun
kambuh kembali setelah pengobatan awal yang berhasil.
Kardioversi tersinkronisasi harus dipertimbangkan pada pasien dengan SVT yang
tidak stabil secara hemodinamik atau takikardia kompleks lebar.

152
Gambar 11.5. Algoritma Takikardi dengan Nadi.

153
Tatalaksana Miokarditis dan Kardiomiopati
Miokarditis fulminan dapat menyebabkan penyakit sistem konduksi, termasuk
blok jantung lengkap; dan aritmia supraventrikular atau ventrikel yang persisten;
penurunan curah jantung dengan gangguan organ, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan henti jantung. Miokarditis dapat disalah artikan dengan gejala penyakit lain
yang lebih umum karena pasien dapat datang dengan gejala nonspesifik seperti nyeri
perut, diare, muntah, atau kelelahan. Diagnosis dini dan intervensi cepat, termasuk
pemantauan dan terapi ICU merupakan hal-hal yang dapat mengoptimalkan hasil yang
lebih baik pada pasien. Pada pasien dengan miokarditis fulminant, blok jantung dan ektopi
ventrikel multifokal dengan onset tiba-tiba harus dianggap sebagai keadaan pre-arrest.
Pemindahan pasien segera ke pusat yang mampu menyediakan dukungan hidup
ekstrakorporeal (ECLS) atau dukungan peredaran darah mekanis (MCS), seperti alat bantu
ventrikel temporer atau implantasi merupakan hal yang direkomendasikan karena
perawatan dengan obat-obatan eksternal atau intrakardiak maupun antiaritmia mungkin
tidak berhasil.
Kardiomiopati dilatasi, kardiomiopati restriktif, kardiomiopati hipertrofik, dan
bentuk kardiomiopati lain-lain (jarang terjadi) meliputi displasia ventrikel kanan
aritmogenik, mitokondria dan kardiomiopati nonkompaksi ventrikel kiri, merupakan
penyebab non-infeksi dari kardiomiopati pada anak-anak. Pasien kardiomiopati yang
telah menjalani MCS sebelumnya dalam bentuk ECMO, alat bantu ventrikel perkutan
jangka pendek, atau alat bantu ventrikel implan jangka panjang sebelum atau selama
serangan jantung, dapat datang dengan gagal jantung dekompensasi akut yang refrakter
terhadap ventilasi mekanik dan pemberian vasoaktif.
ECLS dapat menyelamatkan nyawa ketika dilakukan sebelum serangan jantung
pada pasien yang memiliki status klinis memburuk atau aritmia ventrikel yang terus-
menerus. ECLS juga memberikan kesempatan untuk membantu pemulihan miokard,
weaning dukungan inotropik, dan jika diperlukan dapat berfungsi sebagai jembatan untuk
transplantasi jantung. Penggunaan ECLS dan MCS, dengan kemungkinan besar pemulihan
fungsi miokard sebagian atau seluruhnya, telah dinilai meningkatkan hasil dari miokarditis
akut.

154
Resusitasi Pasien dengan Ventrikel Tunggal
Penyakit jantung kongenital pediatrik memiliki kompleksitas dan variabilitas
tersendiri sehingga menimbulkan tantangan unik selama resusitasi. Serangkaian operasi
paliatif bertahap biasanya dijalani oleh anak-anak dengan penyakit jantung ventrikel
tunggal. Selama periode neonatal dapat dilakukan prosedur paliatif pertama dengan
beberapa tujuan yaitu (1) tidak terhalangnya aliran darah sistemik, (2) memungkinkan
mixing tingkat atrium dengan menciptakan komunikasi atrium yang efektif, dan (3) untuk
mencegah sirkulasi berlebih serta menurunkan beban volume pada ventrikel sistemik
dengan mengatur aliran darah paru (Gambar 14). Selama tahap kedua paliatif, untuk
membantu redistribusi aliran balik vena sistemik langsung ke sirkulasi paru, maka
anastomosis kavopulmoner superior, atau operasi dua arah Glenn/semi-Fontan,
dilakukan untuk membuat anastomosis (Gambar 15). Fontan adalah paliasi terakhir, di
mana pembuatan preload ventrikel tunggal (sistemik) bergantung pada aliran pasif
melintasi dasar vaskular paru dengan cara aliran darah vena kava inferior disimpangkan
langsung ke sirkulasi paru (Gambar 16).
Risiko serangan jantung meningkat pada neonatus dan bayi dengan fisiologi
ventrikel tunggal dikarenakan adanya (1) volume overload yang menyebabkan
peningkatan kerja miokard, (2) ketidakseimbangan aliran darah sistemik relatif (Qs) dan
aliran darah paru (Qp), dan (3) potensi oklusi pirau. Pada resusitasi mungkin memerlukan
kontrol resistensi pembuluh darah paru, oksigenasi, resistensi pembuluh darah sistemik,
atau ECLS tergantung pada tahap perbaikan yang terjadi.

155
Gambar 11.6. Tahap I paliatif untuk ventrikel tunggal dengan Norwood repair dan
Blalock-Taussig Shunt dari arteri subklavia kanan ke arteri pulmonalis kanan atau shunt
Sano dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis

Gambar 11.7. Paliasi tahap II untuk ventrikel tunggal dengan bidirectional Glenn shunt
yang menghubungkan vena kava superior ke arteri pulmonalis kanan

156
Gambar 11.8. Tahap III paliasi ventrikel tunggal Fontan dengan saluran ekstrakaradiak
yang menghubungkan vena kava inferior ke arteri pulmonalis kanan.
Rekomendasi untuk Tatalaksana Anak dengan Hipertensi Pulmonal

Hipertensi pulmonal yang dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan
merupakan penyakit langka pada bayi dan anak-anak. Pada sebagian besar pasien anak-
anak, hipertensi paru bersifat idiopatik atau berhubungan dengan penyakit jantung
bawaan, penyakit paru kronis, maupun kondisi lain seperti penyakit tromboemboli atau
jaringan ikat. Hipertensi pulmonal memiliki morbiditas dan mortalitas yang substansial
dan terjadi pada 2% sampai 20% pasien setelah operasi penyakit jantung bawaan. Sebesar
0,7% sampai 5% dari semua pasien bedah kardiovaskular mengalami hipertensi pulmonal
pasca operasi. Hipertensi pulmonal juga terjadi pada 2% sampai 5% pasien anak setelah
operasi jantung. Krisis hipertensi paru adalah peningkatan tekanan arteri pulmonalis
secarra akut dan cepat dalam tekanan arteri pulmonalis disertai dengan kegagalan
jantung sisi kanan (ventrikel tunggal). Selama krisis hipertensi pulmonal, terjadi
peningkatan afterload pada ventrikel kanan dan ventrikel kanan gagal, sehingga
menghasilkan kebutuhan oksigen miokard yang meningkat dan pada saat yang
bersamaan tekanan perfusi koroner dan aliran darah koroner menurun. Penurunan aliran
darah paru dan penurunan pengisian jantung sisi kiri pun terjadi karena adanya
peningkatan tekanan ventrikel kiri dan ventrikel kanan, yang pada akhirnya
mengakibatkan penurunan curah jantung. Untuk meningkatkan fungsi ventrikel kanan
dapat diberikan agen inotropik, dan untuk mengobati hipotensi sistemik serta
157
meningkatkan tekanan perfusi arteri koroner, dapat diberikan vasopresor. Dengan
adanya pirau anatomis kanan-ke-kiri yang memungkinkan preload ventrikel kiri
dipertahankan tanpa aliran darah paru, hal ini dapat meningkatkan keadaan pasien
setelah serangan jantung terjadi. Krisis hipertensi pulmonal ini mengancam nyawa dan
dapat menyebabkan iskemia miokard, serangan jantung, hipotensi sistemik, dan pada
akhirnya kematian. Pemantauan dan pengelolaan kondisi asidosis dan hipoksemia secara
cermat sangat penting dalam pengelolaan hipertensi pulmonal karena kedua hal in sama-
sama merupakan vasokonstriktor paru yang kuat. Perawatan juga harus mencakup
pemberian sedatif, relaksan otot, dan analgesik yang memadai. Vasodilator paru
digunakan untuk mencegah dan mengobati krisis hipertensi pulmonal. Termasuk
vasodilator paru diantaranya adalah oksida nitrat inhalasi, prostasiklin inhalasi, analog
prostasiklin inhalasi dan intravena, dan inhibitor fosfodiesterase tipe V intravena dan oral
(misalnya sildenafil).

Tatalaksana Henti Jantung Traumatik


Penyebab kematian paling umum di antara anak-anak dan remaja diantaranya adalah
cedera yang tidak disengaja. Manajemen henti jantung traumatik seringkali tidak
konsisten, meskipun banyak organisasi telah menetapkan pedoman perawatan trauma.
Pada anak-anak, henti jantung karena cedera tumpul atau cedera tembus yang dalam
memiliki angka kematian yang sangat tinggi. Pada semua trauma torakoabdominal karena
tension pneumotoraks, hemotoraks, kontusio paru, maupun tamponade pericardial,
harus dicurigai adanya cedera toraks karena dapat mengganggu hemodinamik,
oksigenasi, dan ventilasi.

158
REFERENSI
1. Topjian, A. A., Raymond, T. T., Atkins, D., Chan, M., Duff, J. P., Joyner, B. L.,
... & Schexnayder, S. M. (2021). Part 4: Pediatric Basic and Advanced Life
Support 2020 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Pediatrics,
147(Supplement 1).
2. Sutton, R. M., Niles, D., Nysaether, J., Abella, B. S., Arbogast, K. B., Nishisaki,
A., ... & Nadkarni, V. (2009). Quantitative analysis of CPR quality during in-
hospital resuscitation of older children and adolescents. Pediatrics, 124(2),
494-499.
3. International Liaison Committee on Resuscitation. (2006). The International
Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR) consensus on science with
treatment recommendations for pediatric and neonatal patients: pediatric
basic and advanced life support. Pediatrics, 117(5), e955-e977.
4. Kleinman, M. E., De Caen, A. R., Chameides, L., Atkins, D. L., Berg, R. A., Berg,
M. D., ... & Wessel, D. (2010). Part 10: pediatric basic and advanced life
support: 2010 international consensus on cardiopulmonary resuscitation
and emergency cardiovascular care science with treatment
recommendations. Circulation, 122(16_suppl_2), S466-S515.
5. De Caen, A. R., Maconochie, I. K., Aickin, R., Atkins, D. L., Biarent, D.,
Guerguerian, A. M., ... & Were, W. M. (2015). Part 6: pediatric basic life
support and pediatric advanced life support: 2015 international consensus
on cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care
science with treatment recommendations. Circulation, 132(16_suppl_1),
S177-S203.
6. Maconochie, I. K., de Caen, A. R., Aickin, R., Atkins, D. L., Biarent, D.,
Guerguerian, A. M., ... & Were, W. M. (2015). Part 6: pediatric basic life
support and pediatric advanced life support: 2015 international consensus
on cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care
science with treatment recommendations. Resuscitation, 95, e147-e168.
7. Atkins, D. L., Berger, S., Duff, J. P., Gonzales, J. C., Hunt, E. A., Joyner, B. L., ...
& Schexnayder, S. M. (2015). Part 11: pediatric basic life support and
cardiopulmonary resuscitation quality: 2015 American Heart Association
guidelines update for cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care. Circulation, 132(18_suppl_2), S519-S525.

———»»»œ«««———

159

Anda mungkin juga menyukai