Buku Panduan ACLS Perki Cetakan 2021
Buku Panduan ACLS Perki Cetakan 2021
BANTUAN HIDUP
JANTUNG LANJUT
PANDUAN KURSUS
BANTUAN HIDUP JANTUNG LANJUT
Kontributor
Achyar, dkk
Editor
Radityo Prakoso, dkk
Penerbit
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
2021
PANDUAN KURSUS
BANTUAN HIDUP JANTUNG LANJUT
Kontributor
dr. Achyar, SpJP (K), FIHA
dr. Adrianus Kosasih, SpJP, FIHA
dr. Agus Harsoyo, SpJP(K), FIHA
dr. Agus Subagyo, SpJP(K), FIHA
dr. Afdallun A. Hakim, SpJP (K), FIHA
dr. Budi Bhaktijasa Dharmadjati, SpJP(K), FIHA
dr. Erika Maharani, SpJP(K) FIHA
dr. Endang Ratnaningsih, SpJP (K), FIHA
dr. Farial Indra, SpJP(K), FIHA
dr. Firman Fauzan, SpJP FIHA
dr. Liliek Murtiningsih, SpJP(K), FIHA
dr. Made Satria, SpJP FIHA
dr. Radityo Prakoso, SpJP(K), FIHA
dr. Reza Octavianus, SpJP, FIHA
dr. Rizki, SpJP, FIHA
dr. Santoso Karo - Karo SpJP(K), FIHA
dr. Samuel Sudanawijaya, SpJP(K), FIHA
dr. Tantani Sugiman, SpAn-KIC, MKes
Editor
dr. Radityo Prakoso, SpJP(K), FIHA
dr. Rizki, SpJP, FIHA
dr. Firman Fauzan, SpJP, FIHA
dr. Made Satria, SpJP, FIHA
dr. Dian Aris Priyanti
dr. Tamara Ey Firsty
ISBN
978-602-7885-93-6
Penerbit
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
2021
ii
KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang dengan rahmat-
Nya maka buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut (BHJL) dalam bahasa
Indonesia dapat diselesaikan.
Buku ini merupakan buku pedoman untuk pelatihan Advanced Cardiac Life Support
(ACLS) di seluruh Indonesia. Diharapkan bahwa buku ini dapat menjadi pedoman dan
acuan bagi peserta pelatihan ACLS serta dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Kepada seluruh tim Instruktur ACLS yang menjadi kontributor dan telah bersusah payah
menyusun buku ini, Pengurus Pusat PERKI mengucapkan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya.
Buku pedoman pelatihan ACLS ini akan terus dievaluasi dan disempurnakan sesuai
dengan perkembangan ilmu kardiologi.
Pengurus Pusat
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
Dr. dr. Isman Firdaus, Sp.JP(K), FIHA, FAPSIC, FESC, FACC, FSCAI
Ketua Umum PP PERKI
iii
Daftar Isi
iv
DAFTAR SINGKATAN
v
BAB I
TINJAUAN PELATIHAN
A. Pendahuluan
Kejadian mati mendadak masih merupakan penyebab kematian utama baik di negara
maju maupun negara berkembang seperti di Indonesia. Henti jantung (cardiac arrest)
bertanggung jawab terhadap 60% angka kematian penderita dewasa yang mengalami
penyakit jantung koroner (PJK). Di Eropa diperkirakan terdapat 700.000 kasus henti
jantung setiap tahunnya. Berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
Indonesia tahun 2007 yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia
tahun 2008 di Jakarta, prevalensi nasional penyakit jantung adalah 7,2% (berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan dan gejala). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) tahun 2018, hanya disebutkan prevalensi nasional penyakit jantung semua
umur sebesar 1,5% dan meningkat seiring bertambahnya usia, namun angka kejadian
henti jantung mendadak di Indonesia belum didapatkan.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada sekitar 40% pasien sindroma koroner
akut (SKA) dapat terjadi irama fibrilasi ventrikel (ventricular fibrillation/VF), suatu irama
yang menyebabkan henti jantung mendadak (sudden cardiac death/SCD). Kebanyakan
pasien mengalami takikardia ventrikel (ventricular tachycardia/VT) sebelum akhirnya
berubah menjadi VF, dan pada saat pasien akhirnya direkam irama jantungnya, irama
jantung sudah mengalami perburukan lagi menjadi asistol. Terapi optimal untuk
mengatasi VF adalah resusitasi jantung paru (RJP) dan defibrilasi elektrik.
Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut (BHJL) dirancang bagi para tenaga kesehatan
yang berperan langsung dalam resusitasi pasien, baik di dalam maupun di luar rumah
sakit. Pada pelatihan ini, anda diharapkan mampu meningkatkan keterampilan dalam
penanganan pasien henti jantung dan penanganan keadaan sebelum henti jantung.
Pelatihan menggunakan metode partisipasi aktif melalui serangkaian simulasi kasus
kardiopulmoner. Simulasi ini dirancang untuk memperkuat konsep-konsep penting:
• Identifikasi dan penanganan kondisi medis pada pasien yang mengalami risiko
terjadinya henti jantung
• Survei Primer Bantuan Hidup Jantung Dasar (BHJD)
• Survei Sekunder Bantuan Hidup Jantung Lanjut (BHJL)
6
• Algoritma BHJL
• Dinamika tim resusitasi yang efektif
Kursus BHJL dirancang sedemikian rupa dengan menekankan pentingnya tindakan-
tindakan berkelanjutan yang saling terkait satu sama lain agar memperoleh hasil yang
maksimal untuk menyelamatkan hidup pasien. Tindakan yang berkesinambungan ini
disebut dengan rantai kelangsungan hidup (the chain of survival).
Rantai pertama adalah mendeteksi segera kondisi korban dan meminta pertolongan
(early access), rantai kedua adalah resusitasi jantung paru (RJP) segera (early
cardiopulmonary resuscitation), rantai ketiga adalah defibrilasi segera (early
defibrillation), rantai keempat adalah tindakan bantuan hidup jantung lanjut segera
(early advanced cardivascular life support) dan rantai kelima adalah perawatan pasca
henti jantung (post cardiac-arrest care).
Jika hal tersebut di atas adalah urutan tindakan pada orang dewasa, pada anak-anak
ada perbedaan sedikit yakni dimulai dengan RJP segera sebelum meminta bantuan.
B. Tujuan Pelatihan
Ketika lulus pelatihan ini, anda diharapkan mampu:
• Menunjukkan kemahiran dalam melakukan tindakan BHJD, termasuk
mendahulukan kompresi dada dan mengintegrasikan penggunaan Automated
External Defibrillator (AED)/Defibrilator Eksternal Otomatis (DEO).
• Mengelola henti jantung hingga kembalinya sirkulasi spontan (return of
spontaneous circulation (ROSC)), penghentian resusitasi, atau melakukan rujukan.
• Mengenali dan melakukan pengelolaan dini terhadap kondisi sebelum henti
jantung yang dapat menyebabkan terjadinya henti jantung atau mempersulit
resusitasi.
• Mengidentifikasi dan mempercepat penanganan pasien yang menderita sindroma
koroner akut.
• Mendemonstrasikan komunikasi yang efektif sebagai seorang anggota atau
pemimpin tim resusitasi.
C. Gambaran Pelatihan
Untuk membantu peserta mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas, maka disiapkan
7
pembelajaran melalui praktek, yang meliputi:
• Simulasi skenario klinis
• Diskusi dan bermain peran
• Praktik perilaku tim resusitasi
Pada akhir pelatihan, anda akan menjalani suatu ujian Megacode untuk memvalidasi
pencapaian anda akan tujuan pelatihan ini. Suatu simulasi skenario henti jantung akan
menguji hal-hal berikut ini:
• Pengetahuan mengenai materi kasus inti dan keterampilan
• Pengetahuan mengenai algoritma
• Pemahaman mengenai interpretasi aritmia
• Penggunaan terapi obat BHJL yang tepat
• Kinerja sebagai pemimpin tim yang efektif
Keterampilan BHJD
Keterampilan BHJD yang kuat merupakan dasar dari Bantuan Hidup Jantung Lanjut.
Anda harus lulus evaluasi RJP/DEO dengan 1 penolong untuk menyelesaikan pelatihan
BHJL dengan sukses.
8
menjelang henti jantung. Irama-irama ini adalah:
• Irama sinus
• Atrial Fibrillation dan Atrial flutter
• Bradikardia
• Takikardia
• Blok atrioventrikular
• Asistol
• Pulseless electrical activity (PEA)
• Ventricular tachycardia (VT)
• Ventricular fibrillation (VF)
9
Untuk lulus pelatihan BHJL ini dan memperoleh sertifikat, anda harus:
• Lulus ujian RJP/DEO dengan 1 penolong
• Berpartisipasi, mempraktekkan, dan menyelesaikan semua topik pembelajaran
• Lulus ujian Megacode
• Lulus ujian tertulis tutup buku dengan nilai minimal 75%
10
REFERENSI
1. Hayakawa, M., Gando, S., Okamoto, H., Asai, Y., Uegaki, S., & Makise, H. (2009).
Shortening of cardiopulmonary resuscitation time before the defibrillation
worsens the outcome in out-of-hospital VF patients. The American journal of
emergency medicine, 27(4), 470-474.
2. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway, C. W.,
... & Passman, R. S. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life support:
2010 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation
and emergency cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S729-S767.
3. Ecc Committee. (2005). 2005 American Heart Association guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation,
112(24 Suppl), IV1
4. Morrison, L. J., Henry, R. M., Ku, V., Nolan, J. P., Morley, P., & Deakin, C. D. (2013).
Single-shock defibrillation success in adult cardiac arrest: a systematic review.
Resuscitation, 84(11), 1480-1486.
5. American Heart Association in collaboration with the International Liaison
Committee on Resuscitation. (2000). Guidelines 2000 for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care: an international consensus on
science. Circulation, 102.
6. Atkins JM. Emergency medical services system in acute cardiac care state of the
art. Circulation. 1986;74 (pt2):IV 4-8
7. Berg, R. A., Hemphill, R., Abella, B. S., Aufderheide, T. P., Cave, D. M., Hazinski, M.
F., ... & Swor, R. A. (2010). Part 5: adult basic life support: 2010 American Heart
Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S685-S705.
8. Kleinman ME, Brennan EE, Goldberger ZD, et al. 2015 American Heart Association
Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care; Part 5: Adult Basic Life Support and Cardiopulmonary
Resuscitation Quality. Circulation. 2015;132[suppl 2]:S414–S435.
9. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... & Sunde, K.
(2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015: section
3. Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
10. Perkins, G. D., Handley, A. J., Koster, R. W., Castrén, M., Smyth, M. A.,
11
Olasveengen, T., ... & Ristagno, G. (2015). European Resuscitation Council
Guidelines for Resuscitation 2015: Section 2. Adult basic life support and
automated external defibrillation. Resuscitation, 95, 81-99.
11. Koster, R. W., Baubin, M. A., Bossaert, L. L., Caballero, A., Cassan, P., Castrén, M.,
... & Raffay, V. (2010). European Resuscitation Council Guidelines for
Resuscitation 2010 Section 2. Adult basic life support and use of automated
external defibrillators. Resuscitation, 81(10), 1277-1292.
12. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R., Hirsch,
K. G., ... & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life Support: 2020
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.
———»»»œ«««———
12
BAB II
TUJUAN PEMBELAJARAN
• Menjelaskan cara mengoptimalkan oksigenasi jaringan
• Menjelaskan terapi suplementasi oksigen
• Melakukan pengelolaan jalan napas, pembukaan dan pemeliharaan jalan napas atas
• Penggunaan alat bantu jalan napas dasar dan lanjut
• Penyedotan jalan napas yang tersumbat
• Pengelolaan sirkulasi pada hipoksia
A. Pendahuluan
Hipoksia merupakan penyebab kegawatan yang fatal. Hipoksia merupakan penyebab
awal terjadinya gangguan fungsi organ tubuh multipel yang sering berakhir menjadi gagal
fungsi organ dan berakhir dengan kematian. Oleh karena itu mengenali hipoksia lebih dini
dan segera mengelola dengan tepat merupakan langkah yang penting dalam mengelola
pasien dengan kegawatan kardiovaskular.
Hipoksia harus segera dikelola dengan cepat dan tepat, sebab beberapa organ yang
vital (otak dan jantung) sangat rentan terhadap hipoksia, yaitu akan mengalami kerusakan
yang bersifat menetap dan meninggalkan kecacatan selamanya (sequelae).
Fungsi pernapasan adalah menjamin ventilasi yang baik, sehingga O2 yang berdifusi
dari alveoli ke kapiler berlangsung baik dan difusi CO2 dari kapiler ke alveoli baik. Hasil
akhirnya adalah oksigenasi dan homeostasis CO2 baik.
B. Oksigenasi Jaringan
Secara garis besar syarat agar oksigen sampai ke sel / jaringan dan bisa digunakan
untuk metabolisme membentuk energi adalah fungsi pernapasan dan sirkulasi yang baik.
Secara rinci syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fraksi inspirasi O2 (FiO2) cukup.
2. Fungsi respirasi adekuat:
a. Jalan napas baik
b. Volume tidal cukup
13
c. Frekuensi napas cukup
d. Irama napas teratur
e. Keadaan alveoli/ paru baik
3. Pembawa O2 baik:
a. Kadar Hb cukup
b. Sifat Hb baik
4. Fungsi kardiovaskuler/sirkulasi baik:
a. Volume cairan darah cukup
b. Kontraktilitas otot jantung baik
c. Pembuluh darah dalam keadaan baik
d. Irama & frekuensi denyut jantung baik
e. Mikrosirkulasi baik
5. Sel/ jaringan tubuh masih baik
Apabila salah satu dari syarat-syarat tersebut diatas mengalami gangguan maka akan
terjadi hipoksia. Tanda-tanda dini hipoksia secara klinis antara lain:
1. Pasien gelisah
2. Tampak pucat pasi
3. Pernapasan mengalami “distress” yang ditandai :
a. Cepat dan dangkal
b. Tak teratur
4. Denyut nadi kecil, cepat
5. Irama denyut jantung sering tidak teratur
6. Tekanan darah meningkat
7. Keringat dingin.
14
optimal maka hipoksia dapat teratasi. Pada kegawatan kardiopulmoner, pemberian
oksigen harus dilakukan secepatnya jika saturasi kurang dari 94%.
Pemberian oksigen dapat dilakukan dengan memakai berbagai alat. Keefektifan
masing-masing alat ditentukan oleh kemampuan alat untuk menghantarkan oksigen
dengan kecepatan aliran yang cukup tinggi untuk mengimbangi kecepatan aliran
inspirasi pernapasan spontan pasien. Oleh karena itu, pemberian oksigen yang
diinspirasi setinggi 100% (Fraksi oksigen inspirasi = FiO2:1,0) dianjurkan untuk
kegawatan kardiopulmoner. Hal ini ditujukan untuk mengoptimalkan tekanan oksigen
inspirasi yang akan memaksimalkan saturasi oksigen dalam darah arteri dan akhirnya
memaksimalkan pengangkutan oksigen sistemik (Oxygen Delivery DO2).
Pengangkutan oksigen yang dibawa dalam tubuh ke jaringan dinyatakan dalam DO2
nilainya dipengaruhi oleh kadar hemoglobin, saturasi oksigen dalam arteri (SaO2) dan
curah jantung.
Sumber Oksigen
Yang dimaksud sumber oksigen adalah tabung oksigen atau unit yang tertempel
pada dinding (oksigen sentral). Pada oksigen sentral, sumber oksigen dikendalikan
dari ruang sentral oksigen yang biasanya terdapat di rumah sakit besar. Sumber
oksigen ini disambungkan ke alat suplementasi agar oksigen dapat dialirkan ke pasien
sesuai kebutuhan.
Kelengkapan dari sumber oksigen adalah:
• Pembuka katup untuk membuka tabung, pengukur tekanan, dan aliran gas
15
Gambar 2.1. Sumber Oksigen dengan pressure gauge yang tersambung ke sungkup
muka dengan reservoir O2
Sungkup muka yang dilengkapi dengan kantong reservoir merupakan alat sistem
oksigen tinggi, aliran-tinggi. Sungkup muka dengan reservoir O2 digunakan pada:
• Sakit kritis, kesadaran masih baik, ventilasi adekuat tetapi membutuhkan
oksigen dengan konsentrasi tinggi.
• Sebelum ada indikasi intubasi trakea, seperti pada edem paru akut, asma akut,
PPOK, atau pasien tidak sadar tetapi ventilasi adekuat dengan refleks batuk
masih ada.
17
Gambar 2.2. Berbagai alat suplementasi oksigen
A. Kanul nasal: aliran rendah, oksigen rendah
B. Sungkup Venturi: aliran tinggi, oksigen bervariasi tergantung setting
1. Oksigen 100% berasal dari sumber oksigen (flowmeter)
2. Katup yang dapat diatur dengan besarnya % oksigen yang diinginkan
C. Sungkup muka aerosol: aliran sedang, oksigen bervariasi
1. Oksigen yang masuk ke nebulizer
D. Sungkup muka dengan reservoir O2: aliran tinggi, oksigen tinggi
1. Oksigen 100% masuk ke reservoir
2. dan 3. Katup satu arah yang mengatur gas/udara inspirasi dan ekspirasi
4. Katup pengaman masuknya udara
E. Sungkup muka Venturi
Sungkup muka venturi terdiri dari sungkup muka dan mixing jet. Dengan
alat ini FiO2 yang diberikan dapat dikendalikan. Oksigen yang diberikan dapat
diatur berkisar 24%, 28%, 35% dan 40% dengan kecepatan aliran 4-8 liter per
menit, dan 45-50% dengan kecepatan aliran 10-12 liter per menit.
Sungkup muka ini paling berguna pada pasien dengan penyakit paru obstruksi
kronik (PPOK) yang diketahui memerlukan sedikit hipoksia untuk memicu pusat
pernapasan, sehingga diperlukan pemberian titrasi FiO2 yang tepat untuk
memperbaiki saturasi oksigen tanpa menekan ventilasi semenit. Alat ini
termasuk sistem oksigen-terkendali, aliran-tinggi.
18
Tabel 2.1. Alat suplementasi oksigen, kecepatan aliran dan persentase oksigen yang dihantarkan
Alat Kecepatan Aliran % Oksigen
1 L/menit 21%-24%
2 L/menit 25%-28%
Kanul Nasal 3 L/menit 29%-32%
4 L/menit 33%-36%
5 L/menit 37%-40%
Sungkup Muka Sederhana 6-10 L/menit 35%- 60%
6 L/menit 60%
Sungkup Muka dengan 7 L/menit 70%
8 L/menit 80%
reservoir O2 9 L/menit 90%
10-15 L/menit 95-100%
19
Tabel 2.2. Pemilihan Alat Suplementasi Oksigen Berdasarkan Nilai Oksimetri
Nilai oksimetri Arti Klinis Pilihan alat suplementasi
denyut Oksigen
95-100% dalam batas normal Kanul nasal O2 max 4L/menit
90-94% Hipoksia ringan-sedang Sungkup muka sederhana O2 6-
10L/menit
85-89% Hipoksia Berat Sungkup muka dengan reservoir
O2 10-15L/menit
<85% Hipoksia berat yang Ventilasi tekanan positif O2
mengancam nyawa 100%
20
A
B C
Gambar 2.3. A. Sumbatan jalan napas atas akibat lidah dan epiglotis, B. Maneuver
dorong kepala - tarik dagu akan mengangkat lidah, membebaskan obstruksi, C.
Menarik rahang tanpa mendorong kepala dilakukan bila pasien diduga mengalami
trauma tulang servikal.
21
Tabel 2.3. Cara penggunaan alat bantu jalan napas orofaring
Langkah Tindakan
1 Bersihkan mulut dan faring dari sekresi, darah, atau muntahan
dengan menggunakan ujung penyedot faring yang kaku (Yaunker),
bila memungkinkan.
2 Pilihlah ukuran OPA yang tepat yaitu dengan menempatkan OPA di
samping wajah, dengan ujung OPA pada sudut mulut, ujung yang lain
pada sudut rahang bawah. Bila OPA diukur dan dimasukkan dengan
tepat, maka OPA akan tepat sejajar dengan pangkal glotis.
A B
Gambar 2.4. A. Berbagai ukuran alat bantu jalan napas orofaring (OPA),
B. Posisi OPA yang benar
22
Perhatikan hal-hal berikut ini ketika menggunakan OPA:
• Bila OPA yang dipilih terlalu besar dapat menyumbat laring dan
menyebabkan trauma pada struktur laring.
• Bila OPA terlalu kecil atau tidak dimasukkan dengan tepat dapat menekan
dasar lidah dari belakang dan menyumbat jalan napas.
• Masukkan dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya trauma jaringan
lunak pada bibir dan lidah.
2 Basahi NPA dengan pelumas yang larut dalam air atau jelly
anestetik.
23
3 Masukkan NPA melalui lubang hidung dengan arah posterior
membentuk garis tegak lurus dengan permukaan wajah. Masukkan
dengan lembut sampai dasar nasofaring.
Bila mengalami hambatan:
• Putar sedikit pipa untuk memfasilitasi pemasangan pada sudut
antara rongga hidung dan nasofaring.
• Cobalah tempatkan melalui lubang hidung yang satunya
karena pasien memiliki rongga hidung dengan ukuran yang
berbeda.
A B
Gambar 2.5. A. Berbagai ukuran alat bantu jalan nafas nasofaring (NPA),
B. Posisi NPA yang benar
25
• Napas spontan tidak adekuat
• Menurunkan kerja napas dengan membantu memberikan tekanan positif pada
saat inspirasi pasien
• Hipoksia akibat ventilasi spontan yang tidak adekuat
26
4. Kebocoran antara kantong napas-sungkup muka tidak akan terjadi bila kantong
napas-sungkup muka dihubungkan dengan alat-alat bantu jalan napas seperti
pipa endotrakea, sungkup laring dan pipa esofagotrakea (combitube).
Gambar 2.6. Pemberian ventilasi dengan alat kantong-napas sungkup muka dengan
teknik E-C clamp untuk mengangkat rahang bawah (kiri) dan dengan 2 penolong
(kanan).
27
5. Pemberian Ventilasi Dengan Alat Bantu Jalan Napas Tingkat Lanjut
Intubasi endotrakea
Intubasi endotrakea adalah proses memasukkan pipa endotrakea ke dalam trakea
pasien. Bila pipa dimasukkan melalui mulut disebut intubasi orotrakea, bila melalui
hidung disebut intubasi nasotrakea. Intubasi di dalam trakea ini termasuk dalam tata
laksana jalan napas tingkat lanjut. Tenaga kesehatan terlatih yang boleh melakukan
intubasi endotrakea.
Kegunaan pipa endotrakea adalah:
• Memelihara jalan napas atas terbuka (paten)
• Membantu pemberian oksigen konsentrasi tinggi
• Memfasilitasi pemberian ventilasi dengan volume tidal yang tepat untuk
memelihara pengembangan paru yang adekuat
• Mencegah jalan napas dari aspirasi isi lambung atau benda padat atau cairan
dari mulut, kerongkongan atau jalan napas atas
• Mempermudah penyedotan cairan dalam trakea
• Sebagai alternatif untuk memasukkan obat (vasopresin, epinefrin dan lidokain)
pada waktu resusitasi jantung-paru bila akses intravena atau intraoseus belum
ada.
Indikasi intubasi endotrakea adalah:
• Henti jantung, bila ventilasi dengan kantong napas-sungkup muka tidak
memungkinkan atau tidak efektif
• Pasien gagal napas, hipoksia dengan pemberian oksigen yang tidak adekuat
dengan alat-alat ventilasi yang tidak invasif
• Pasien yang tidak bisa mempertahankan jalan napas (pasien koma)
o Perforasi faring-esofagus
28
• Intubasi satu bronkus: terjadi lebih sering pada bronkus kanan dibandingkan
bronkus kiri dan dapat berakibat hipoksemia karena tidak terdapat ventilasi
pada salah satu paru-paru, sehingga tindakan yang harus dilakukan adalah:
o Kempeskan balon pipa endotrakea,
Tekanan krikoid
Maksud dari penekanan tulang rawan krikoid adalah untuk mencegah regurgitasi
isi lambung dan membantu visualisasi orifisium trakea. Penekanan dilakukan sampai
pipa endotrakea masuk, balon pipa dikembangkan dan posisi pipa dipastikan tepat.
Penekanan krikoid dilakukan oleh penolong yang tidak memberikan ventilasi atau
kompresi dada, dengan langkah-langkah:
1. Raba tonjolan tulang rawan tiroid (Adam's apple)
2. Raba membran krikotiroid yang merupakan jaringan lunak di bawah tulang
rawan tiroid
3. Raba tonjolan keras yaitu tulang rawan krikoid tepat di bawah membran
krikotiroid.
4. Dengan ibu jari dan jari telunjuk tekan ke bawah dan ke arah kepala. Maksud
tindakan ini menekan trakea ke bawah menutup esofagus.
5. Lepaskan tekanan apabila pipa trakea telah tepat posisinya dan sudah
dikembangkan atau bila telah diperintahkan oleh orang yang melakukan
intubasi.
Bila merujuk pada panduan AHA 2010, tekanan krikoid sudah tidak dianjurkan lagi
karena dari beberapa kasus, ternyata regurgitasi isi lambung tetap saja dapat terjadi.
Namun demikian, pasien dengan lambung penuh masih harus dilakukan tindakan ini.
29
Gambar 2.7. Tekanan Krikoid
30
menunjukkan ujung distal pipa LMA sampai di hipofaring.
2. Kembangkan balonnya. Pengembangan balon akan mendorong sungkup
menutupi lubang trakea dan menyebabkan udara mengalir lewat pipa masuk.
3. Pemberian ventilasi dengan pipa LMA akan mengalirkan udara lewat lubang
di tengah sungkup.
Ujung Proksimal
31
mulut sampai 2 garis hitam pada pipa terletak di antara gigi atas dan gigi bawah
pasien.
2. Kemudian kembangkan balon faring (proksimal/biru) dengan 80-100ml udara,
dan kemudian balon esofagus (distal/putih) dengan 12-15ml udara.
3. Pastikan posisi Combitube, di dalam esofagus atau trakea.
4. Dengan memberikan ventilasi melalui pipa biru (faring/proksimal) dan lihat
dada terangkat, maka pipa combitube masuk ke dalam esofagus. Meskipun
combitube masuk ke dalam esofagus tapi dapat mengembangkan paru karena
ventilasi masuk kedalam lubang-lubang pada sisi lumen faring yang berada di
antara 2 balon, dan udara akan masuk ke trakea.
5. Apabila ventilasi melalui pipa biru (faring/proksimal) tidak dapat
mengembangkan paru, artinya dada tidak terangkat, maka ventilasi diberikan
melalui pipa putih (trakea/distal), dan lihat dada terangkat, berarti combitube
masuk ke dalam trakea, sehingga fungsi combitube sama dengan pipa
endotrakea.
H
D
C B
F
32
6. Pemeriksaan posisi pipa endotrakea dan alat bantu jalan napas supraglotik
Posisi alat bantu jalan napas secepatnya harus diperiksa dengan cara pemberian
napas buatan dengan alat kantong napas-sungkup muka. Tindakan ini tidak perlu
menghentikan kompresi jantung pada pasien yang sedang dilakukan resusitasi
jantung paru.
Pemeriksaan posisi pipa di dalam trakea dapat dilakukan dengan:
• Pemeriksaan fisik yaitu dengan melihat dada mengembang, lakukan auskultasi
di 5 tempat yaitu di atas perut, lapangan paru atas kanan-kiri, dan lapangan
paru bawah kanan-kiri.
• Alat-alat seperti end tidal CO2 detector dan esophageal detector.
Pemeriksaan fisik
Apabila dinding dada tidak terlihat mengembang dan pada auskultasi terdengar
gurgling di episgastrium berarti terjadi intubasi esofagus. Ventilasi dengan kantong
napas- sungkup muka dihentikan, dan pipa endotrakea dicabut, kemudian:
a. Berikan ventilasi dengan kantong napas-sungkup muka atau pertimbangkan
penggunaan alat bantu napas lanjut lainnya seperti LMA atau Combitube.
b. Ulangi intubasi pipa endotrakea didalam trakea setelah melakukan reoksigenasi
dengan ventilasi kantong napas-sungkup muka.
c. Setelah intubasi ulang, tampak pengembangan dinding dada dan tidak
terdengar suara cairan dari dalam perut, lakukan auskultasi di 5 tempat yaitu di
atas perut, lapangan paru atas kanan-kiri, dan lapangan paru bawah kanan-kiri
d. Apabila belum yakin dengan posisi pipa endotrakea, maka lakukan laringoskopi
ulang untuk memastikan ujung pipa endotrakea telah melewati pita suara.
Kapnografi
Berbagai alat elektronik dan mekanik dapat digunakan di luar maupun di dalam
rumah sakit. Berbagai model detektor CO2 akhir ekspirasi yang berfungsi secara
kualitatif, kuantitatif, ataupun kontinyu, dan detektor esofagal tersedia dari yang
sederhana sampai yang kompleks dengan harga mahal.
Detektor CO2 akhir ekspirasi merupakan alat untuk mengenali adanya CO2 yang
diekspirasi dari paru. Metode yang paling sederhana digunakan untuk menilai posisi
33
di dalam jalan nafas atau di esofagus, yaitu dengan adanya warna ungu berarti tidak
ada CO2 yang berarti pipa di dalam esofagus, dan bila warna kuning berarti pipa di
dalam trakea. Meskipun demikian alat ini tidak dapat menilai kedalaman pipa di
dalam trakea.
Kesalahan perubahan warna sering terjadi pada pasien henti jantung atau dengan
emboli paru. Karena itu penilaian dianjurkan setelah dilakukan pemberian ventilasi
sebanyak 5-6 kali. Metode lainnya adalah dengan alat yang disebut kapnometer yang
mengukur secara kuantitatif CO2. akhir ekspirasi memberikan gambar yang disebut
kapnograf. Alat ini dapat mengukur CO2 akhir ekspirasi secara terus menerus. Apabila
pipa endotrakea masuk ke dalam trakea maka kapnometer mengeluarkan gelombang
dan angka yang menggambarkan nilai CO2.
Pemberian ventilasi pada pasien dengan intubasi endotrakea atau alat bantu jalan
napas supraglotik yang dilakukan resusitasi jantung-paru.
Pada pasien dengan henti jantung atau henti napas, pemberian ventilasi dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Volume:
a. Besarnya volume oksigen yang diberikan dengan kantung napas-sungkup
b. 12 kali per menit ( setiap 5 detik) pada waktu henti napas tanpa disertai
henti jantung
3. Siklus kompresi dada-ventilasi: tidak ada sinkronisasi antara kompresi dada
dan pemberian ventilasi.
34
tersumbat oleh sekret, darah, atau muntahan. Peralatan penyedot terdiri dari unit
yang mudah dibawa atau unit yang tertanam pada dinding.
Peralatan penyedot yang mudah dibawa, atau dipindahkan dengan mudah harus
memiliki daya sedot yang memadai. Umumnya yang dibutuhkan adalah daya sedot
sebesar -80 hingga -120 mmHg. Unit penyedot yang tertanam pada dinding dapat
memberikan daya sedot hingga lebih dari -300 mmHg ketika selang dipasang pada
daya sedot penuh.
Langkah Tindakan
35
2 Gunakan penyedot dengan menghambat bagian pangkal pada saat menarik
kateter dengan gerakan memutar atau memilin
Secara khusus, batasi usaha penyedotan hingga 10 detik atau kurang. Untuk
menghindari terjadinya hipoksemia, dahului dan ikuti usaha penyedotan
dengan pemberian oksigen 100% dalam waktu yang singkat.
Pemantaun denyut jantung, laju nadi, saturasi oksigen, dan keadaan klinis
pasien selama penyedotan. Bila terjadi bradikardia, turunnya saturasi oksigen, atau
keadaan klinis memburuk, segera hentikan penyedotan. Berikan oksigen aliran tinggi
hingga denyut jantung kembali normal dan kondisi klinis membaik. Bantulah ventilasi
bila dibutuhkan.
36
Tujuan resusitasi cairan ialah agar volume cairan intravaskuler cukup, dengan
harapan preload jantung (terutama jantung bagian kiri) cukup sehingga curah
jantung (stroke volume) mencukupi. Dengan demikian cardiac output cukup.
• Mengoptimalkan kontraksi otot jantung
Bila terbukti bahwa kontraksi otot jantung tidak kuat, maka tindakan kita ialah
memperkuat kontraksi otot jantung dengan pemberian obat yang bersifat inotropik
positif, misalnya dopamine, dobutamin, adrenalin.
• Memperbaiki keadaan pembuluh darah
Pasien gawat dan sakit kritis akan mengalami gangguan pembuluh darah, bisa
mengalami konstriksi (vasokonstriksi) atau dilatasi (vasodilatasi). Agar tekanan
perfusi cukup optimal sehingga perfusi ke seluruh tubuh optimal maka kita
memanipulasi pembuluh darah yang mengalami gangguan dengan menggunakan
obat-obatan vasoaktif, misalnya nor-adrenalin (bersifat vasokontriktor) atau
golongan nitrat (bersifat vasodilatator).
• Memperbaiki irama denyut jantung
Gangguan irama dapat menyebabkan fungsi jantung tidak optimal. Oleh karena itu
bila irama jantung mengganggu hemodinamika kita melakukan optimasi dengan
menggunakan obat2an yang tergolong dalam obat anti-aritmia.
Mikrosirkulasi
Mikrosirkulasi merupakan unit yang sangat penting dalam kehidupan, karena
merupakan tempat terjadinya proses oksigenasi dan transport nutrisi untuk jaringan serta
penyebaran obat dan proses imunitas apabila tubuh mengalami sakit.
Mitokondria merupakan bagian dari sel sebagai tempat terjadinya metabolisme yang
menghasilkan ATP (enerji). Apabila mitokondria tidak cukup mendapatkan O2 atau tidak
bisa menggunakan O2 akan terjadi distres ditingkat seluler dengan manifestasi klinis yang
bermacam macam dan merupakan awal gagal organ yang multipel.
Pemantauan gangguan di tingkat mikrosirkulasi dapat dikerjakan secara “bed side”
yaitu dengan mengukur pCO2 jaringan dan menggunakan orthogonal polarization spectral
(OPS). Jaringan yang bisa mewakili untuk dipantau adalah dibawah lidah (sublingual).
37
Pemantauan terhadap oksigenasi jaringan
Perjalanan O2 dari udara luar sampai ke jaringan perlu dipantau, agar apabila terjadi
gangguan maka antisipasi dan pengelolaannya lebih tepat sesuai dengan
permasalahannya.
• Pemantauan O2 di paru
Tujuan memantau di tingkat paru adalah untuk mengetahui bagaimana proses
difusi gas O2 dan CO2.
Yang dipantau:
o SaO2 (SpO2)
o PaO2 / FiO2
o A-a DO2
• Pemantauan O2 di darah:
Tujuan memantau adalah melihat kandungan O2 dalam darah.
Yang dipantau :
o SaO2
o PaO2
o Kandungan O2 dalam darah (oxygen content)
• Pemantauan oksigenasi di tingkat sel:
Tujuannya adalah mengetahui proses oksigenasi sel / jaringan.
Yang dipantau:
o Kadar laktat darah
o Base defisit / ekses (BD/E)
o ScvO2 (saturasi oksigen vena sentral)
38
REFERENSI
1. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway, C. W., ...
& Passman, R. S. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life support: 2010
American Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and
emergency cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S729-S767.
2. Ecc Committee. (2005). 2005 American Heart Association guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation,
112(24 Suppl), IV1.
3. American Heart Association in collaboration with the International Liaison Committee
on Resuscitation. (2000). Guidelines 2000 for cardiopulmonary resuscitation and
emergency cardiovascular care: an international consensus on science. Circulation,
102.
4. Eisenberg MS, Hallstrom AP, Copass MK, et. al. Treatment of out-of-hospital cardiac
arrests with rapid defibrillation by emergency medical technicians. N Engl J Med.
1980;302:1379-83.
5. Berg, R. A., Hemphill, R., Abella, B. S., Aufderheide, T. P., Cave, D. M., Hazinski, M. F.,
... & Swor, R. A. (2010). Part 5: adult basic life support: 2010 American Heart
Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S685-S705.
6. Kleinman ME, Brennan EE, Goldberger ZD, et al. 2015 American Heart Association
Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care; Part 5: Adult Basic Life Support and Cardiopulmonary Resuscitation Quality.
Circulation. 2015;132[suppl 2]:S414–S435.
7. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... & Sunde, K.
(2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015: section 3.
Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
8. Perkins, G. D., Handley, A. J., Koster, R. W., Castrén, M., Smyth, M. A., Olasveengen,
T., ... & Ristagno, G. (2015). European Resuscitation Council Guidelines for
Resuscitation 2015: Section 2. Adult basic life support and automated external
defibrillation. Resuscitation, 95, 81-99.
9. Koster, R. W., Baubin, M. A., Bossaert, L. L., Caballero, A., Cassan, P., Castrén, M., ... &
Raffay, V. (2010). European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2010
39
Section 2. Adult basic life support and use of automated external defibrillators.
Resuscitation, 81(10), 1277-1292.
———»»»œ«««——
40
BAB III
TERAPI LISTRIK DEFIBRILASI, AED, KARDIOVERSI,
DAN PACU JANTUNG
A. Pendahuluan
Terapi listrik berupa defibrilasi, kardioversi, dan pacu jantung transkutan merupakan
bagian dari bantuan hidup dasar maupun bantuan hidup lanjut. Defibrilasi baik
menggunakan defibrilator manual maupun automated external defibrillator (AED)
merupakan tindakan yang penting untuk tata laksana henti jantung dengan irama fibrilasi
ventrikel maupun takikardi ventrikel tanpa nadi. Kardioversi tersinkronisasi digunakan
pada kasus takiaritmia yang menyebabkan gangguan hemodinamik, sedangkan pacu
jantung transkutan dapat digunakan pada kasus bradiaritmia dengan gangguan
hemodinamik.
B. URAIAN MATERI
TINDAKAN DEFIBRILASI
Defibrilasi merupakan proses pemberian sejumlah arus listrik untuk kejut jantung
melalui alat defibrilator yang diharapkan dapat mengembalikan irama menjadi normal.
Defibrilasi digunakan pada kondisi henti jantung yang disebabkan oleh VT (ventricular
tachycardia), VF (ventricular fibrillation) atau VT polimorfik (torsade de pointes).
Keberhasilan defibrilasi akan menurun jika dilakukan semakin lama dan VF cenderung
berubah menjadi asistol dalam beberapa menit. Angka kematian meningkat 7-10% setiap
menit yang terlewati tanpa dilakukan resusitasi.
Defibrilator modern diklasifikasikan berdasarkan 2 tipe bentuk gelombang, monofasik
dan bifasik. Defibrilator monofasik merupakan generasi pertama, tapi defibrilator bifasik
saat ini lebih banyak digunakan. Tingkat energi bervariasi dihubungkan dengan peluang
yang lebih tinggi untuk kembalinya irama secara spontan. Defibrilator gelombang
monofasik menghantarkan energi dengan satu kutub. Defibrilator gelombang bifasik
menggunakan satu dari dua gelombang dan setiap gelombang terbukti efektif untuk
menghilangkan VF dengan dosis tertentu. Pada dosis yang sama atau lebih rendah dari
gelombang monofasik, gelombang bifasik lebih aman dan efektif untuk menghilangkan
VF. Satu kejut defibrilasi bifasik setara bahkan lebih baik dari tiga kali kejut defibrilasi
41
monofasik.
Pada defibrilator bifasik, rekomendasi besarnya energi yang digunakan umumnya
dicantumkan pada alat (dapat berbeda setiap merk). Bila provider menggunakan
defibrilator bifasik yang tidak mengetahui rentang dosis efektif untuk mengatasi VF, maka
penolong dapat menggunakan pilihan 200 J sebagai dosis awal dan seterusnya. Bila
menggunakan defibrilator monofasik, pilih dosis 360 J untuk semua kejutan.
Dosis terkecil defibrilasi yang efektif pada bayi dan anak dan batas atas untuk
defibrilasi yang aman juga belum diketahui. Dosis 4 - 10 J/kg efektif memberi defibrilasi
pada anak-anak, tanpa efek buruk yang bermakna. Pada anak usia 1-8 tahun defibrilasi
manual yang direkomendasikan (monofasik atau bifasik) adalah 2 J/kg untuk percobaan
pertama dan 4 J/kg untuk percobaan selanjutnya.
Automated external defibrillator (AED) adalah alat yang diprogram oleh komputer
menggunakan bantuan suara dan gambar untuk memandu tenaga kesehatan melakukan
defibrilasi pada VF secara aman. Sejak tahun 1995, AHA telah merekomendasikan
pengembangan program lay-rescuer AED untuk meningkatkan keberhasilan resusitasi di
luar RS. Tujuan dari program ini adalah untuk mengurangi interval waktu dari onset VF
hingga dilakukan RJP dan penghantaran kejutan, dengan memastikan bahwa AED dan lay-
rescuer yang dilatih berada di area publik lokasi henti jantung dapat terjadi. Hal ini
menekankan pentingnya pengelolaan, perencanaan, pelatihan dan menghubungkan
sistem gawat darurat medis serta menerapkan proses perbaikan kualitas secara
berkesinambungan. AED hanya berguna pada serangan disebabkan oleh VF/VT tanpa
nadi, dan hal ini tidak efektif untuk penatalaksanaan asistol dan PEA. Pengguna AED harus
dilatih tidak hanya untuk mengenali kegawatan dan penggunaan AED tetapi juga
pentingnya ventilasi tekanan positif dan sirkulasi dalam RJP sesuai kebutuhan. Walau AED
tidak dirancang untuk memberikan kejutan listrik tersinkronisasi (misalnya kardioversi
pada VT dengan denyut nadi), tetapi AED akan menganjurkan untuk melakukan kejutan
tidak tersinkronisasi pada VT monomorfik dan polimorfik bila kekerapan dan morfologi
gelombang R melampaui nilai normal.
42
A. Persiapan pasien
Buka pakaian pasien bagian dada, siapkan area apex jantung dan bagian sternum
untuk melakukan defibrilasi. Pada pasien pria dengan rambut dada yang lebat, kontak
elektroda ke dada akan terganggu, karena rambut tersebut dapat menimbulkan
jebakan udara antara elektroda dan kulit, sehingga letak lempeng (paddles) yang tidak
tepat akan meningkatkan tahanan dengan lompatan energi. Walau sangat jarang, pada
lingkungan yang kaya oksigen seperti unit perawatan intensif, lompatan energi ini
dapat menimbulkan kebakaran apabila terdapat percikan api.
Penolong harus menempatkan paddle pada posisi sternal-apikal. Lempeng dada
kanan (sternal) diletakkan pada dada bagian supero-anterior bagian kanan dan
lempeng apikal (kiri) diletakkan pada dada bagian infero-lateral kiri. Peletakan
lempeng pada posisi lain yang masih dapat diterima adalah pada dinding lateral kanan
dan kiri (biaksiler) atau lempeng kiri pada posisi apikal standar sedangkan lempeng
lainnya diletakkan pada punggung kanan atau kiri.
Bila menggunakan lembar berperekat (patch), penolong harus melekatkannya
dengan baik pada dada dan menghindari kontak dengan sadapan EKG. Penggunaan
lembar berperekat akan mengurangi risiko terjadinya lompatan listrik. Bila
memungkinkan harus dilakukan pencukuran daerah yang akan dilekati lembar
berperekat. Bila pasien dalam kondisi basah, usahakan untuk mengeringkan segera
daerah yang akan dilekati lembar tersebut. Saat memberikan defibrilasi pada pasien
yang menggunakan pacu jantung permanen (PPM) atau implantable cardioverter
defibrillator (ICD), berikan jarak minimal 5 cm dari generator pacu jantung atau ICD
untuk mencegah malfungsi pacu jantung atau ICD tersebut.
B. Persiapan penolong
Lanjutkan kompresi dada dan ventilasi hingga alat defibrilator siap.
43
D. Tindakan defibrilasi
1. Lanjutkan kompresi dada.
2. Nyalakan alat defibrilator. Gunakan dosis energi maksimum (bifasik 200J,
monofasik 360 J).
3. Siapkan gel pada paddles.
4. Posisikan paddles pada dada pasien di bagian anterior kanan (bagian
sternum) dan linea aksila kiri (bagian apex jantung). Lakukan charging
dengan menekan tombol CHARGE pada paddles yang diposisikan di apex.
5. Ketika alat defibrilator sudah di CHARGE hingga penuh, beri aba-aba kepada
tim supaya tidak menyentuh pasien. Hentikan kompresi dan ventilasi.
6. Setelah memastikan seluruh tim tidak menyentuh pasien dan irama monitor
masih menunjukkan irama VT/VF, tekan kedua tombol di paddle defibrilator
untuk melepas energi shock. Berikan tekanan 12.5 kg ketika akan melakukan
defibrilasi.
7. Setelah selesai melakukan defibrilasi, segera lanjutkan kompresi dan
ventilasi selama 5 siklus atau 2 menit. Evaluasi irama jantung dilakukan
setelah melakukan 2 menit resusitasi.
KARDIOVERSI
Kardioversi tersinkronisasi adalah hantaran kejut yang bersamaan dengan kompleks
QRS (sinkron). Sinkronisasi ini bertujuan untuk menghindari hantaran kejut selama masa
refrakter relatif siklus jantung. Energi (dosis kejut) yang digunakan untuk kejut sinkronisasi
lebih rendah dari pada yang digunakan untuk kejut yang tidak tersinkronisasi (defibrilasi).
Kejut dengan energi yang rendah ini seharusnya selalu dihantarkan sebagai kejut yang
sinkron karena jika dihantarkan sebagai kejut tidak tersinkronisasi maka dapat memicu
terjadinya VF.
Jika kardioversi dibutuhkan dan tidak mungkin dilakukan kejut sinkron (misalnya irama
jantung pasien iregular), gunakan kejut asinkron energi tinggi. Hantaran kejut
tersinkronisasi (kardioversi) diindikasikan untuk mengobati takiaritmia yang tidak stabil
dengan nadi yang berhubungan dengan pembentukan kompleks QRS seperti pada
supraventricular tachycardia (SVT), atrial fibrillasi, atrial flutter. Kardioversi tersinkronisasi
44
dapat juga dilakukan pada VT monomorfik dengan nadi dengan hemodinamik yang tidak
stabil.
Dosis energi awal yang direkomendasikan untuk kardioversi atrial fibrillasi adalah 120-
200 J untuk alat bifasik dan 200 J untuk alat monofasik. Sedangkan kardioversi untuk atrial
flutter dan SVT membutuhkan energi yang lebih rendah; yakni 50-100 J. Jika dengan dosis
50 J awal gagal, penolong sebaiknya meningkatkan dosis secara bertahap. Pada anak-anak
dapat diberikan energi awal 0,5-1 J/kg untuk SVT, dengan dosis maksimal 2 J/kg. VT
monomorfik yang tidak stabil dengan nadi diobati dengan kardioversi tersinkronisasi
dengan energi awal 100 J. Sedangkan VT polimorfik dengan atau tanpa nadi diobati
sebagai VF dengan menggunakan energi kejut tinggi yang tidak tersinkronisasi (dosis
defibrilasi). Dosis untuk anak-anak direkomendasikan energi awal 0,5-1 J/kg, dengan dosis
maksimal 2 J/kg sama seperti pada SVT
A. Persiapan pasien
1. Informed consent tindakan yang akan dilakukan. Jelaskan tentang diagnosis
aritmia kepada pasien/keluarga, bahaya aritmia tersebut, rencana tindakan
kejut listrik yang akan dilakukan
2. Buka pakaian pasien bagian dada, siapkan area apex jantung dan bagian
sternum untuk melakukan kardioversi
B. Persiapan penolong
1. Panggil tim untuk asisten tindakan kardioversi
2. Persiapkan penolong untuk melakukan bantuan napas jika pasien mengalami
bradipneu/apneu setelah dilakukan tindakan sedasi
3. Persiapan resusitasi jantung paru jika diperlukan
D. Tindakan Kardioversi
1. Bila memungkinkan berikan sedasi (misalnya midazolam) pada pasien karena
dapat menyebabkan nyeri dan rasa tidak nyaman bagi pasien.
45
2. Nyalakan alat kardioversi. Gunakan dosis energi sesuai dengan kelainan
irama. Nyalakan mode sinkronisasi.
• Untuk irama takikardia kompleks sempit dan teratur (misalnya
SVT/Atrial flutter) mulai dengan dosis 50-100 J.
• Untuk irama takikardi kompleks sempit dan tidak teratur (misalnya
atrial fibrilasi) mulai dengan dosis 120-200 J untuk bifasik dan 200 J
untuk alat monofasik.
• Untuk irama takikardi kompleks lebar dan teratur (VT) mulai dengan
dosis 100 J.
3. Siapkan gel pada paddle
4. Posisikan paddle pada dada pasien di bagian anterior kanan (bagian sternum)
dan linea axilla kiri (bagian apex jantung). Lakukan charging dengan menekan
tombol CHARGE pada paddle yang diposisikan di apex.
5. Ketika alat kardioversi sudah di charge hingga penuh, beri aba-aba kepada
tim supaya tidak menyentuh pasien.
6. Setelah memastikan seluruh tim tidak menyentuh pasien, tekan kedua
tombol di paddle untuk melepas energi shock. Berikan tekanan 12.5 kg ketika
akan melakukan kardioversi
7. Setelah selesai melakukan kardioversi, evaluasi monitor EKG. Setiap selesai
kardioversi, apabila monitor EKG menunjukkan adanya organized rhythm
maka harus memastikan ada tidaknya nadi terlebih dahulu terutama untuk
kompleks QRS lebar (VT) yang tidak terkonversi dengan melakukan
kardioversi (karena dapat berubah menjadi VT tanpa nadi). Jika aritmia
belum teratasi, naikkan dosis kardioversi 50 J dari dosis awal.
46
A. Persiapan pasien
1. Informed consent tindakan yang akan dilakukan. Jelaskan tentang diagnosis
aritmia kepada pasien/keluarga, bahaya aritmia tersebut, rencana tindakan
pacu jantung yang akan dilakukan
2. Buka pakaian pasien bagian dada, Anjuran pemasangan pad adalah pada
posisi anterior-posterior dengan elektroda positif diletakkan di posterior di
punggung antara skapula dan tulang vertebra dan elektroda negatif
diletakkan di anterior di antara processus xyphoideus dan areola mammae
kiri (posisi V2-V3). Pada perempuan, payudara harus diangkat dulu dan
elektroda diletakan di bawahnya. Jangan sampai elektroda terlipat (jangan
diletakkan pada lipatan payudara). Posisikan elektroda posterior terlebih
dahulu untuk mencegah terlipat/terlepas/berkerutnya elektroda anterior
saat pasien dimiringkan. Alternatif posisi pad yang lain adalah posisi apeks-
sternum (seperti saat defibrilasi), dengan elektroda negatif diletakkan pada
apeks jantung dan elektroda negatif pada dada kanan bagian atas. (lihat
gambar)
3. Bila memungkinkan berikan sedasi (misalnya midazolam) pada pasien karena
pacu jantung transkutan dapat menyebabkan nyeri dan rasa tidak nyaman
pada pasien
B. Persiapan penolong
Panggil tim untuk persiapan resusitasi jika diperlukan
47
antara processus xyphoideus dan areola mammae kiri (posisi V2-V3).
Alternatif posisi pad yang lain adalah posisi apeks-sternum (seperti saat
defibrilasi), dengan elektroda negatif diletakkan pada apeks jantung dan
elektroda negatif pada dada kanan bagian atas. (lihat gambar 5.1)
2. Pilih mode pacu demand / fixed (asynchronous)
3. Pilih kecepatan laju pacu yang diinginkan biasanya 60-70x/menit
4. Atur output pacu. Bila hemodinamik tidak stabil pacu dapat dimulai dari
output maksimal kemudian diturunkan bertahap dan dipertahankan 5-10 mA
di atas batas ambang pacu.
5. Perhatikan cardiac capture, ditandai dengan timbulnya satu kompleks QRS
setelah setiap stimulus pacu. Selalu konfirmasi cardiac capture dengan
perabaan nadi
Gambar 5.1. Posisi pemasangan pad elektroda pacu jantung transkutan. Atas:
Posisi anterior-posterior. Bawah: posisi apeks-sternum.
48
REFERENSI
1. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway, C.
W., ... & Passman, R. S. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life
support: 2010 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular
care. Circulation, 122(18_suppl_3), S729-S767.
2. Link, M. S., Berkow, L. C., Kudenchuk, P. J., Halperin, H. R., Hess, E. P., Moitra,
V. K., ... & White, R. D. (2015). Part 7: adult advanced cardiovascular life
support: 2015 American Heart Association guidelines update for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care.
Circulation, 132(18_suppl_2), S444-S464.
3. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... & Sunde,
K. (2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015:
section 3. Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
4. Jacobs, I., Sunde, K., Deakin, C. D., Hazinski, M. F., Kerber, R. E., Koster, R. W.,
... & Angelos, M. (2010). Part 6: defibrillation: 2010 international consensus on
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care science
with treatment recommendations. Circulation, 122(16_suppl_2), S325-S337.
5. Reisinger, J., Gstrein, C., Winter, T., Zeindlhofer, E., Höllinger, K., Mori, M., ...
& Siostrzonek, P. (2010). Optimization of initial energy for cardioversion of
atrial tachyarrhythmias with biphasic shocks. The American journal of
emergency medicine, 28(2), 159-165.
6. Ecc Committee. (2005). 2005 American Heart Association guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular
care. Circulation, 112(24 Suppl), IV1.
7. American Heart Association in collaboration with the International Liaison
Committee on Resuscitation. (2000). Guidelines 2000 for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care: an international consensus
on science. Circulation, 102.
8. Glover, B. M., Walsh, S. J., McCann, C. J., Moore, M. J., Manoharan, G., Dalzell,
G. W., ... & Mathew, T. P. (2008). Biphasic energy selection for transthoracic
cardioversion of atrial fibrillation. The BEST AF Trial. Heart, 94(7), 884-887.
49
9. Manegold, J. C., Israel, C. W., Ehrlich, J. R., Duray, G., Pajitnev, D., Wegener, F.
T., & Hohnloser, S. H. (2007). External cardioversion of atrial fibrillation in
patients with implanted pacemaker or cardioverter-defibrillator systems: a
randomized comparison of monophasic and biphasic shock energy
application. European heart journal, 28(14), 1731-1738.
10. Sado, D. M., Deakin, C. D., Petley, G. W., & Clewlow, F. (2004). Comparison of
the effects of removal of chest hair with not doing so before external
defibrillation on transthoracic impedance. The American journal of
cardiology, 93(1), 98-100.
11. Dodd, T. E., Deakin, C. D., Petley, G. W., & Clewlow, F. (2004). External
defibrillation in the left lateral position—a comparison of manual paddles with
self-adhesive pads. Resuscitation, 63(3), 283-286.
12. Tibballs, J., Carter, B., Kiraly, N. J., Ragg, P., & Clifford, M. (2011). External and
internal biphasic direct current shock doses for pediatric ventricular fibrillation
and pulseless ventricular tachycardia. Pediatric Critical Care Medicine, 12(1),
14-20.
13. Stiell, I. G., Walker, R. G., Chapman, F. W., Lank, P., Nesbitt, L. P., Cousineau,
D., ... & Wells, G. A. (2007). Response to Letter Regarding Article,“BIPHASIC
Trial: A Randomized Comparison of Fixed Lower Versus Escalating Higher
Energy Levels for Defibrillation in Out-of-Hospital Cardiac
Arrest”. Circulation, 116(19), e523-e523.
14. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R.,
Hirsch, K. G., ... & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life
Support: 2020 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation,
142(16_Suppl_2), S366-S468.
50
BAB IV
PERAWATAN PASCA HENTI JANTUNG
A. Pendahuluan
Perawatan pasca henti jantung merupakan komponen penting dalam tata laksana
bantuan hidup jantung lanjut. Pasien henti jantung yang kembali memiliki sirkulasi
spontan tetap memiliki risiko kematian yang tinggi terutama dalam 24 jam pertama,
karena tidak tertutup kemungkinan sudah atau akan terjadi disfungsi kardiovaskular dan
neurologis. Perawatan yang komprehensif dan terstruktur serta multidisipliner harus
diimplementasikan pada pasien pasca henti jantung. Pada modul ini, akan dibahas
mengenai tindakan-tindakan yang diperlukan untuk perawatan pasca henti jantung, mulai
dari melakukan evaluasi yang diperlukan pada pasien pasca henti jantung hingga
melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengatasi kelainan yang terjadi.
51
paru.
• Mengurangi risiko kerusakan multi organ dan menunjang fungsi organ tersebut
jika diperlukan
• Melakukan penilaian prognosis secara objektif saat pemulihan
• Memberikan pelayanan rehabilitasi untuk pasien yang selamat dari henti jantung
bila diperlukan
B. URAIAN MATERI
Tindak Lanjut Pasca Henti Jantung
Resusitasi terhadap pasien tetap berlangsung selama fase pasca henti jantung.
Tindakan-tindakan berikut dapat dilakukan secara bersamaan, namun jika diperlukan
penentuan prioritas maka langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
Fase stabilisasi awal terdiri dari manajemen jalan napas, pengelolaan parameter
napas kemudian pengelolaan parameter hemodinamika.
1. Manajemen jalan napas (airway)
Pada pasien pasca henti jantung, pastikan jalan napas aman. Bila belum dipasang
intubasi endotrakeal, lakukan jika memang diindikasikan pada pasien dengan koma.
Pada pasien yang sudah terintubasi, cari apakah terdapat tanda-tanda sumbatan
airway (suara gurgling). Lakukan suction bila perlu. Pemasangan kapnografi dapat
dilakukan untuk mengonfirmasi dan memantau penempatan pipa endotrakeal.
52
PaCO2). Lakukan pemeriksaan rontgen thorax untuk memastikan posisi pipa
Endotrakeal serta mengidentifikasi penyebab atau komplikasi dari henti jantung
seperti adanya edema paru, pneumothorax, pneumonia atau pneumonitis.
53
kemungkinan aritmia dan memperburuk iskemia miokardium sebagai akibat
ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen miokardium.
Penyebab terbanyak kasus henti jantung adalah penyakit jantung dan
iskemia/infark miokard. EKG 12 sadapan harus dilakukan segera pasca henti jantung
untuk menentukan adanya elevasi segmen ST akut (kasus IMA EST) atau tidak.
Sindroma koroner akut adalah penyebab umum henti jantung di luar rumah sakit pada
pasien yang tidak memiliki penyebab ekstrakardiak yang jelas. Tindakan intervensi
jantung dan angiografi koroner perlu dipertimbangkan bila didapati kecurigaan henti
jantung yang disebabkan oleh masalah jantung dan terdapat elevasi segmen ST pada
EKG, pasien dengan instabilitas hemodinamik (syok kardiogenik) atau pasien yang
membutuhkan bantuan sirkulasi mekanik. Pendekatan invasif dini direkomendasikan
pada pasien sindroma koroner akut baik dengan ataupun tanpa elevasi segmen ST
yang selamat dari henti jantung.
5. Evaluasi fungsi metabolik dan tangani etiologi henti jantung yang dapat dipulihkan
dengan cepat. Libatkan konsultasi ahli untuk manajemen berkelanjutan. Pemberian
sedasi seringkali diperlukan pada pasien dengan ventilasi mekanik.
Lakukan pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan pasca henti jantung
• Pemeriksaan rontgen thorax jantung
54
Rontgen thorax diperlukan untuk memastikan airway (ETT) aman dan
mendeteksi penyebab atau komplikasi dari henti jantung, misalnya edema
paru, pneumonia, tension pneumothorax
• Pemeriksaan analisa gas darah
Deteksi hipoksia dan kelainan gas darah (hydrogen ion/asidosis) sebagai
penyebab henti jantung. Koreksi asidosis metabolik dengan memperbaiki
hemodinamik serta perfusi jaringan, bila asidosis metabolik berat dapat
dipertimbangkan pemberian infus sodium bikarbonat.
• Pemeriksaan elektrolit
Cari dan atasi gangguan elektrolit (hipokalemia/hiperkalemia) sebagai faktor
risiko aritmia. Target K 3.5-5.0 mEq/L
55
Gambar 4.1 Algoritma perawatan pasca henti jantung dewasa 56
REFERENSI
1. Peberdy, M. A., Callaway, C. W., Neumar, R. W., Geocadin, R. G., Zimmerman, J.
L., Donnino, M., ... & Vanden Hoek, T. L. (2010). Part 9: post–cardiac arrest care:
2010 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation
and emergency cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S768-S786.
2. Callaway, C. W., Donnino, M. W., Fink, E. L., Geocadin, R. G., Golan, E., Kern, K. B.,
... & Zimmerman, J. L. (2015). Part 8: post–cardiac arrest care: 2015 American
Heart Association guidelines update for cardiopulmonary resuscitation and
emergency cardiovascular care. circulation, 132(18_suppl_2), S465-S482.
3. Nolan, J. P., Soar, J., Cariou, A., Cronberg, T., Moulaert, V. R., Deakin, C. D., ... &
Sandroni, C. (2015). European resuscitation council and European society of
intensive care medicine 2015 guidelines for post-resuscitation care. Intensive
care medicine, 41(12), 2039-2056.
4. Nolan, J. P., Soar, J., Zideman, D. A., Biarent, D., Bossaert, L. L., Deakin, C., ... &
Böttiger, B. (2010). European resuscitation council guidelines for resuscitation
2010 section 1. Executive summary. Resuscitation, 81(10), 1219-1276.
5. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway, C. W.,
... & Passman, R. S. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life support:
2010 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation
and emergency cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S729-S767.
6. Link, M. S., Berkow, L. C., Kudenchuk, P. J., Halperin, H. R., Hess, E. P., Moitra, V.
K., ... & White, R. D. (2015). Part 7: adult advanced cardiovascular life support:
2015 American Heart Association guidelines update for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation, 132(18_suppl_2),
S444-S464.
7. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... & Sunde, K.
(2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015: section
3. Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
8. Morrison, L. J., Deakin, C. D., Morley, P. T., Callaway, C. W., Kerber, R. E., Kronick,
S. L., ... & Parr, M. (2010). Part 8: advanced life support: 2010 international
consensus on cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care
57
science with treatment recommendations. Circulation, 122(16_suppl_2), S345-
S421.
9. Nielsen, N., Wetterslev, J., Cronberg, T., Erlinge, D., Gasche, Y., Hassager, C., ... &
Pellis, T. (2013). Targeted temperature management at 33 C versus 36 C after
cardiac arrest. New England Journal of Medicine, 369(23), 2197-2206.
10. Rittenberger, J. C., & Callaway, C. W. (2013). Temperature management and
modern post-cardiac arrest care. N Engl J Med, 369(23), 2262-2263.
11. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R., Hirsch,
K. G., ... & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life Support: 2020
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.
———»»»œ«««———
58
BAB V
BRADIKARDIA
A. Pendahuluan
Bradikardia didefinisikan sebagai denyut jantung yang kurang dari 60 kali/menit,
sedangkan bradikardia yang menyebabkan timbulnya keluhan klinis umumnya kurang
dari 50 kali/menit. Denyut jantung rendah pada sebagian orang merupakan bagian dari
kondisi fisiologis yang normal, akan tetapi pada sebagian orang lainnya denyut jantung
lebih dari 50 kali/menit mungkin tidak cukup dalam memenuhi kebutuhan metabolik dan
menimbulkan keluhan klinis.
Bradikardia akan jadi masalah bila simtomatik atau sudah menimbulkan gejala dan
tanda akibat denyut jantung yang terlalu lambat, umumnya tanda dan gejala timbul pada
denyut jantung <50 kali/menit. Pada materi ini, akan dibahas tata laksana bradikardia.
B. Tatalaksana Bradikardia
Low Degree AV Block
Pengertian low degree AV block
Low degree AV block mencakup AV block derajat 1 dan AV block derajat 2 tipe I.
59
Tata laksana sinus bradikardia dan low degree AV block
1) Hemodinamik stabil
Dalam menghadapi pasien dengan bradikardia yang penting adalah menentukan
apakah bradikardia sudah menimbulkan gejala dan tanda gangguan perfusi atau tidak.
Tanda-tanda gangguan hemodinamik dan perfusi jaringan adalah:
• Hipotensi
• Penurunan kesadaran
• Tanda syok
• Nyeri dada iskemik
• Gagal jantung akut
Jika tidak ada gejala diatas, pasien dikatakan stabil dan hanya memerlukan monitor
dan observasi.
60
Gambar 5.3. Blok AV derajat 2 tipe II (hambatan tinggi) interval PR-QRS
regular hingga terjadi 2 denyut yang menghilang; garis batas kompleks QRS
normal mengindikasikan nodus yang tinggi atau hambatan nodus.
61
• Jika pacu jantung transkutan tidak tersedia, berikan dopamin 5-20
μg/kgBB/menit atau epinefrin 2- 10 μg/menit. Pertimbangkan untuk konsul
ahli dan pemasangan pacu jantung transvena.
62
REFERENSI
1. Neumar RW, Otto CW, Link MS, et al. 2010 American Heart Association Guidelines
for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
Circulation. 2010;122:S729–S767.
2. Scholten M, Szili-Torok T, Klootwijk P, Jordaens L. Comparison of monophasic and
biphasic shocks for transthoracic cardioversion of atrial fibrillation. Heart. 2003;
89:1032–1034.
3. Wen ZC, Chen SA, Tai CT, Chiang CE, Chiou CW, Chang MS. Electrophysiological
mechanisms and determinants of vagal maneuvers for termination of paroxysmal
supraventricular tachycardia. Circulation. 1998; 98:2716–2723.
4. Lim SH, Anantharaman V, Teo WS, Chan YH. Slow infusion of calcium channel
blockers compared with intravenous adenosine in the emergency treatment of
supraventricular tachycardia. Resuscitation. 2009; 80:523–528.
5. Brady WJ, Swart G, DeBehnke DJ, Ma OJ, Aufderheide TP. The efficacy of atropine
in the treatment of hemodynamically unstable bradycardia and atrioventricular
block: prehospital and emergency department considerations. Resuscitation.
1999; 41:47–55.
6. Morrison LJ, Long J, Vermeulen M, Schwartz B, Sawadsky B, Frank J, et al. A
randomized controlled feasibility trial comparing safety and effectiveness of
prehospital pacing versus conventional treatment: ‘PrePACE.’Resuscitation.
2008; 76:341–349.
7. Bernheim A, Fatio R, Kiowski W, Weilenmann D, Rickli H, Rocca HP. Atropine often
results in complete atrioventricular block or sinus arrest after cardiac
transplantation: an unpredictable and dose-independent phenomenon.
Transplantation. 2004; 77:1181–1185.
8. Link, M. S., Berkow, L. C., Kudenchuk, P. J., Halperin, H. R., Hess, E. P., Moitra, V.
K., ... & White, R. D. (2015). Part 7: adult advanced cardiovascular life support:
2015 American Heart Association guidelines update for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation, 132(18_suppl_2),
S444-S464.
9. Authors/Task Force Members, Brignole, M., Auricchio, A., Baron-Esquivias, G.,
Bordachar, P., Boriani, G., ... & Elliott, P. M. (2013). 2013 ESC Guidelines on cardiac
63
pacing and cardiac resynchronization therapy: the Task Force on cardiac pacing
and resynchronization therapy of the European Society of Cardiology (ESC).
Developed in collaboration with the European Heart Rhythm Association (EHRA).
European heart journal, 34(29), 2281-2329.
10. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... & Sunde, K.
(2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015: section
3. Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
11. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R., Hirsch,
K. G., ... & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life Support: 2020
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.
———»»»œ«««———
64
BAB VI
TAKIKARDIA
A. Pendahuluan
Takikardia didefinisikan sebagai suatu kondisi denyut jantung >100 kali/menit.
Denyut jantung yang cepat dengan irama yang normal (irama sinus) seringkali
merupakan respon fisiologis terhadap suatu kondisi stress, misalnya hipoksia, demam,
rasa sakit, kondisi kekurangan volume intravaskular dan lain-lain. Tetapi denyut jantung
yang cepat dapat disebabkan oleh gangguan irama jantung (takiaritmia). Takiaritmia
yang ekstrim (>150 kali/menit) dapat menimbulkan gejala klinis yang disebabkan oleh
menurunnya curah jantung dan meningkatnya kebutuhan oksigen miokardium.
B. Klasifikasi Takikardia
Takiaritmia dengan QRS Sempit
1. Pengertian
Takikardia kompleks QRS sempit (QRS < 0.12 detik) (supraventricular tachycardia/ SVT)
diurutkan dari yang paling sering:
• Sinus takikardia
• Atrial fibrillation
• Atrial flutter
• Re-entry nodus AV
• Takikardia dimediasi-jalur aksesoris
• Takikardia atrium (termasuk bentuk otomatisasi dan re-entry)
• Multifocal atrial tachycardia (MAT)
• Junctional tachycardia (jarang pada dewasa)
Sinus Takikardia
Sinus takikardia biasanya timbul akibat stimulus fisiologis, seperti demam, anemia,
atau hipotensi/syok. Sinus takikardia didefinisikan sebagai denyut jantung > 100
kali/menit. Batas atas denyut jantung pada sinus takikardia bergantung pada usia
(dihitung sebagai 220 kali/menit dikurangi usia pasien dalam tahun) dan dapat berguna
65
dalam menilai apakah kecepatan denyut jantung yang terjadi berada pada kisaran yang
sesuai dengan usia pasien. Pada sinus takikardia tidak diperlukan terapi obat untuk
mengatasi irama tersebut. Terapi diarahkan pada identifikasi dan tata laksana penyebab
yang mendasari. Bila fungsi jantung buruk maka curah jantung tergantung pada denyut
jantung yang cepat. Pada takikardia kompensasi seperti ini isi sekuncup terbatas sehingga
“menormalkan” denyut jantung dapat memperburuk keadaan.
66
Gambar 7.2. Takikardia Supraventrikular
Untuk membedakan bentuk SVT re-entry yang berasal dari miokardium atrium
(misalnya atrial fibrillation) dengan SVT yang berasal dari nodus AV (PSVT) penting
dilakukan karena setiap bentuk akan memiliki respon yang berbeda terhadap terapi yang
ditujukan untuk menghambat konduksi melalui nodus AV. Pada aritmia re-entry yang
berasal dari miokardium atrium, obat-obatan yang memperlambat konduksi melalui
nodus AV akan memperlambat laju irama ventrikel tetapi tidak akan menterminasi
aritmia. Berlawanan dengan hal ini, aritmia re-entry yang melibatkan nodus AV (PSVT)
dapat diterminasi oleh obat-obatan golongan di atas.
Kelompok lain dari SVT adalah takikardia otomatisasi. Aritmia ini bukan diakibatkan
sirkuit re-entry tetapi diakibatkan oleh fokus otomatis yang terangsang. Tidak seperti pola
mendadak pada re-entry, karakteristik awitan dan terminasi takiaritmia ini lebih bertahap
dan mirip seperti bagaimana nodus sinus bekerja dalam meningkatkan dan menurunkan
denyut jantung secara bertahap. Aritmia otomatisasi ini meliputi takikardia atrium
ektopik, multifocal atrial tachycardia (MAT), dan junctional tachycardia. Aritmia ini sulit
ditangani, dan tidak responsif terhadap kardioversi dan biasanya dikontrol secara akut
menggunakan obat yang memperlambat konduksi melalui nodus AV dan kemudian akan
memperlambat denyut ventrikel.
Atrial fibrillation
Suatu takikardia yang tidak teratur, baik QRS sempit maupun lebar (dengan atau tanpa
konduksi aberan), biasanya adalah suatu atrial fibrillation dengan respon ventrikular yang
tidak terkontrol. Kemungkinan diagnosis yang lain adalah mutifocal atrial tachycardia
(MAT) atau irama sinus (sinus takikardia) dengan denyut prematur atrial yang sering.
Ketika ada keraguan tentang diagnosis irama dan pasien dalam kondisi stabil maka
lakukan EKG 12 sadapan dan konsultasi dengan ahli.
67
Gambar 7.3 Fibrilasi Atrium
Adenosin
Jika PSVT tidak respon dengan manuver vagal, maka berikan adenosin 6 mg IV secara
cepat melalui vena yang berdiameter besar (misalnya vena mediana kubitus), diikuti
dengan flush menggunakan cairan NaCl 0.9% 20 mL. Jika irama tidak berubah dalam 1
hingga 2 menit, maka berikan adenosin 12 mg IV secara cepat dengan cara yang sama.
Bila yang digunakan adenosin dalam bentuk ATP, dosis yang digunakan adalah dosis inisial
10 mg IV dan dosis ulangan 20 mg IV.
Kemungkinan dapat terjadi komplikasi atrial fibrillation dengan respon ventrikel cepat
saat pemberian adenosin pada pasien PSVT dengan WPW (AVRT). Karena itu defibrilator
harus tersedia, terutama pada pasien yang dicurigai memiliki WPW.
Seperti manuver vagal, efek adenosin pada SVT lain selain PSVT (misalnya atrial
fibrillation atau atrial flutter) akan secara transien memperlambat kecepatan ventrikel.
Hal ini akan berguna untuk membantu diagnosis walaupun tidak menterminasi
takiaritmia.
Konversi PSVT menggunakan adenosin ataupun penghambat kanal kalsium (calcium
channel blocker) memberikan hasil yang sama, tetapi adenosin memiliki efek yang lebih
cepat dan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan verapamil. Amiodaron
dapat digunakan untuk terminasi PSVT tetapi awitan kerja amiodaron lebih lambat
dibandingkan dengan adenosin dan memiliki potensi proaritmia.
Adenosin memiliki beberapa interaksi obat yang penting. Dosis yang lebih besar
diperlukan pada pasien dengan kadar teofilin, kafein atau teobromin dalam darah yang
tinggi. Dosis awal harus dikurangi sebanyak 3 mg pada pasien yang menggunakan
dipiridamol atau karbamazepin, pasca transplantasi jantung, atau jika pemberian
menggunakan akses vena sentral. Efek samping adenosin yang sering terjadi tetapi
bersifat sementara adalah flushing, dispnea dan nyeri dada. Adenosin tidak boleh
diberikan pada pasien dengan asma. Adenosin aman dan efektif pada kehamilan.
69
Setelah konversi, observasi pasien untuk kemungkinan rekurensi. Jika terjadi
rekurensi, dapat diberikan adenosin ulang atau diberikan obat penghambat nodus AV
yang memiliki kerja lebih panjang (yaitu diltiazem atau penghambat beta). Jika saat
pemberian adenosin atau manuver vagal irama menunjukkan bentuk lain dari SVT (seperti
atrial fibrillation atau flutter), maka pengobatan dengan agen penghambat nodus AV kerja
panjang dipertimbangkan agar mampu mempertahankan kontrol kecepatan ventrikel.
70
bekerja dengan cara melawan tonus simpatis pada jaringan nodus yang akan
menghasilkan perlambatan konduksi. Seperti penghambat kanal kalsium, obat golongan
ini juga memiliki efek inotropik negatif dan akan menurunkan curah jantung pada pasien
gagal jantung. Efek samping penghambat beta meliputi bradikardia, perlambatan
konduksi AV, dan hipotensi. Penghambat beta harus diberikan secara hati-hati pada
pasien dengan penyakit paru obstruktif atau gagal jantung kongestif.
71
Tata laksana umum atrial fibrillation difokuskan pada menurunkan irama ventrikel yang
cepat (kontrol kecepatan), konversi atrial fibrillation yang tidak stabil menjadi irama sinus
(kontrol irama) atau keduanya. Pasien dengan atrial fibrillation memiliki risiko
tromboemboli terutama bila durasi atrial fibrillation sudah lebih dari 48 jam. Walau
demikian durasi yang lebih pendek tidak menyingkirkan kemungkinan tidak terjadi
emboli. Kardioversi elektrik atau farmakologik (konversi menjadi irama sinus) tidak boleh
dilakukan pada pasien ini, kecuali pasien tidak stabil. Tindakan alternatif adalah dengan
melakukan kardioversi setelah pemberian antikoagulan heparin dan pemeriksaan
ekokardiografi transesofageal untuk memastikan tidak adanya trombus di atrium kiri.
Kontrol Irama
Berbagai obat diketahui efektif dalam terminasi atrial fibrillation (kardioversi
farmakologik atau kimiawi). Angka keberhasilan di antara obat tersebut bervariasi dan
tidak semuanya tersedia dalam formulasi parenteral. Konsultasi ahli direkomendasikan.
72
Kardioversi
Kardioversi adalah pemberian syok listrik yang penghantarannya disinkronkan dengan
kompleks QRS. Penghantaran listrik yang tersinkronisasi ini akan menghindarkan
pemberian listrik pada masa refrakter relatif yang dapat menyebabkan ventricular
fibrillation. Jika memungkinkan, buat akses vena sebelum kardioversi dan berikan sedasi
jika pasien dalam kondisi sadar. Jangan menunda kardioversi jika pasien sangat tidak
stabil. Untuk informasi lebih lanjut tentang defibrilasi dan kardioversi, lihat bab “Terapi
Listrik”.
Kardioversi biasanya dimulai dengan memberikan dosis inisial energi kecil, kemudian
ditingkatkan bertahap bila dosis inisial tidak berhasil. Besar energi yang diberikan sebagai
dosis inisial kardioversi tergantung pada bentuk irama EKG. Pada penggunaan defibrilator
bifasik, bila irama EKG kompleks QRS sempit teratur, dosis inisial diberikan 50-100 J. Dosis
inisial untuk QRS sempit tidak teratur 120 J – 200 J bila menggunakan defibrilator bifasik
dan 200 J bila menggunakan defibrilator monofasik.
Takikardia kompleks QRS lebar dapat regular ataupun iregular. Suatu takikardia
kompleks lebar regular kemungkinan besar adalah VT atau SVT dengan aberan. Suatu
takikardia kompleks lebar iregular kemungkinan adalah atrial fibrillation dengan aberan,
atrial fibrillation pre-eksitasi (yaitu atrial fibrillation dengan konduksi antegrad melalui
jalur aksesoris) atau VT polimorfik/torsades de pointes. Penolong harus
mempertimbangkan perlunya konsultasi ahli ketika menangani takikardia kompleks QRS
lebar.
73
Gambar 7.4. Takikardia Ventrikular Monomorfik
Obat Antiaritmia
Pada pasien VT yang stabil, obat antiaritmia atau kardioversi elektif adalah tata laksana
pilihan. Jika antiaritmia IV diberikan, amiodarone, lidocaine dapat dipertimbangkan.
Alternatif lainnya adalah Procainamide dan sotalol, yang harus dihindari pada pasien
dengan interval QT memanjang. Jika salah satu obat antiaritmia ini diberikan, pemberian
obat antiaritmia kedua tidak boleh diberikan tanpa konsultasi ahli. Jika terapi antiaritmia
tidak berhasil, maka kardioversi atau konsultasi ahli harus dipertimbangkan.
Amiodarone efektif dalam mencegah rekurensi VT monomorfik atau mengobati
aritmia ventrikular refrakter pada pasien dengan penyakit arteri koroner dan fungsi
ventrikel yang buruk. Amiodarone diberikan 150 mg IV selama 10 menit; dosis dapat
diulang jika diperlukan dengan dosis maksimum 2.2 g IV per 24 jam. Dosis lebih tinggi (300
mg) menyebabkan peningkatan frekuensi hipotensi, walau beberapa laporan mengatakan
hipotensi diakibatkan zat pelarut vasoaktif.
Lidokain kurang efektif dalam terminasi VT dibandingkan amiodarone. Lidocaine dapat
dipertimbangkan sebagai terapi antiaritmia lini kedua untuk VT monomorfik. Lidocaine
dapat diberikan pada dosis 1-1,5 mg/kgBB IV bolus. Infus rumatan adalah 1-4 mg/menit
(30-50 μg/kgBB/menit).
75
Tata laksana atrial fibrillation dengan konduksi aberan sama dengan tata
laksana atrial fibrillation pada umumnya.
• Atrial fibrillation pre-eksitasi
Pada analisis suatu irama kompleks QRS lebar tidak teratur, harus dipikirkan
suatu atrial fibrillation pre-eksitasi. Konsultasi ahli dianjurkan. Pada kasus ini
hindari obat-obat penghambat nodus AV seperti adenosin, penghambat kanal
kalsium, digoksin dan kemungkinan penghambat beta karena secara paradoks obat
ini malah dapat menyebabkan peningkatan respon ventrikel. Biasanya pasien
dengan atrial fibrillation pre- eksitasi memiliki denyut jantung yang sangat cepat
dan memerlukan kardioversi elektrik secepatnya. Ketika kardioversi elektrik tidak
tersedia atau tidak efektif, atau atrial fibrillation rekuren, maka penggunaan obat
kontrol irama seperti amiodaron dapat berguna, baik dalam mengontrol kecepatan
maupun stabilisasi irama.
• VT polimorfik
VT polimorfik biasanya memerlukan defibrilasi secepatnya dengan energi yang
sama dengan VF. Bila pasien VT polimorfik memiliki hemodinamik stabil atau
rekuren, konsultasikan dengan ahli.
Obat farmakologik untuk mencegah rekurensi VT polimorfik ditujukan pada
penyebab yang mendasari dan ada tidaknya pemanjangan interval QT pada irama
sinus. Jika interval QT memanjang selama irama sinus (dengan kata lain VT-nya
adalah torsades de pointes), maka langkah pertama adalah menghentikan obat-
obatan yang diketahui memperpanjang interval QT. Perbaiki ketidakseimbangan
elektrolit dan pemicu akut lainnya (misalnya overdosis obat atau keracunan).
Walau magnesium umum digunakan pada VT torsades de pointes (VT polimorfik
terkait dengan interval QT memanjang), secara ilmiah penggunaannya hanya
didukung oleh 2 penelitian observasional yang menunjukkan keefektifannya pada
pasien dengan interval QT memanjang. Pada serial kasus lain isoproterenol atau
pacu ventrikel efektif dalam terminasi torsades de pointes yang terkait dengan
bradikardia dan pemanjangan interval QT yang diinduksi obat. VT polimorfik akibat
sindroma QT memanjang familial dapat diobati dengan magnesium IV, pacu
jantung dan/atau penghambat beta; isoproterenol harus dihindari. VT polimorfik
terkait dengan sindroma QT memanjang didapat dapat diobati dengan magnesium
76
IV. Tambahan pacu jantung atau isoproterenol IV dapat dipertimbangkan pada VT
polimorfik dengan bradikardia atau tampak dipicu oleh jeda pada irama.
VT polimorfik tanpa pemanjangan interval QT paling banyak disebabkan oleh
iskemia miokard. Pada kondisi ini, amiodarone IV dan penghambat beta dapat
menurunkan rekurensi aritmia. Iskemia miokard harus diobati dengan penghambat
beta dan pertimbangkan kateterisasi jantung dan revaskularisasi. Berbeda dengan
amiodaron, magnesium tidak efektif dalam mencegah VT polimorfik pada pasien
dengan interval QT normal.
Penyebab lain VT polimorfik selain iskemia miokard dan sindroma QT
memanjang adalah VT katekolaminergik (yang mungkin responsif dengan
penghambat beta) dan sindroma Brugada (yang mungkin responsif dengan
isoproterenol).
77
Gambar 7.5. Algoritma Tatalaksana Takikardia
78
REFERENSI
1. Neumar RW, Otto CW, Link MS, et al. 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation.
2010;122:S729–S767.
2. Katritsis, D. G., Boriani, G., Cosio, F. G., Hindricks, G., Jais, P., Josephson, M. E., ... &
Lane, D. A. (2017). European Heart Rhythm Association (EHRA) consensus document
on the management of supraventricular arrhythmias, endorsed by Heart Rhythm
Society (HRS), Asia-Pacific Heart Rhythm Society (APHRS), and Sociedad
Latinoamericana de Estimulación Cardiaca y Electrofisiologia (SOLAECE). EP Europace,
19(3), 465-511.
3. Blomström-Lundqvist, C., Scheinman, M. M., Aliot, E. M., Alpert, J. S., Calkins, H.,
Camm, A. J., ... & Miller, D. D. (2003). ACC/AHA/ESC guidelines for the management
of patients with supraventricular arrhythmias—executive summary: a report of the
American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines and the European Society of Cardiology Committee for Practice Guidelines
(Writing Committee to Develop Guidelines for the Management of Patients with
Supraventricular Arrhythmias) developed in collaboration with NASPE-Heart Rhythm
Society. Journal of the American College of Cardiology, 42(8), 1493-1531.
4. Monsieurs, K. G., Nolan, J. P., Bossaert, L. L., Greif, R., Maconochie, I. K., Nikolaou, N.
I., ... & Zideman, D. A. (2015). European resuscitation council guidelines for
resuscitation 2015 section 1. Executive summary. Resuscitation.-Limerick, 1972,
currens, 95, 1-80.
5. Page, R. L., Joglar, J. A., Caldwell, M. A., Calkins, H., Conti, J. B., Deal, B. J., ... & Indik,
J. H. (2016). 2015 ACC/AHA/HRS guideline for the management of adult patients with
supraventricular tachycardia: a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice Guidelines and
the Heart Rhythm Society. Journal of the American College of Cardiology, 67(13), e27-
e115.
6. Kirchhof, P., Benussi, S., Kotecha, D., Ahlsson, A., Atar, D., Casadei, B., ... & Hindricks,
G. (2016). 2016 ESC Guidelines for the management of atrial fibrillation developed in
collaboration with EACTS. European journal of cardio-thoracic surgery, 50(5), e1-e88.
7. Authors/Task Force Members, Priori, S. G., Blomström-Lundqvist, C., Mazzanti, A.,
79
Blom, N., Borggrefe, M., ... & Hindricks, G. (2015). 2015 ESC Guidelines for the
management of patients with ventricular arrhythmias and the prevention of sudden
cardiac death: The Task Force for the Management of Patients with Ventricular
Arrhythmias and the Prevention of Sudden Cardiac Death of the European Society of
Cardiology (ESC) Endorsed by: Association for European Paediatric and Congenital
Cardiology (AEPC). Ep Europace, 17(11), 1601-1687.
8. Glover, B. M., Walsh, S. J., McCann, C. J., Moore, M. J., Manoharan, G., Dalzell, G. W.,
... & Mathew, T. P. (2008). Biphasic energy selection for transthoracic cardioversion
of atrial fibrillation. The BEST AF Trial. Heart, 94(7), 884-887.
9. Manegold, J. C., Israel, C. W., Ehrlich, J. R., Duray, G., Pajitnev, D., Wegener, F. T., &
Hohnloser, S. H. (2007). External cardioversion of atrial fibrillation in patients with
implanted pacemaker or cardioverter-defibrillator systems: a randomized
comparison of monophasic and biphasic shock energy application. European heart
journal, 28(14), 1731-1738.
10. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... & Sunde, K.
(2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015: section 3.
Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147.
11. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R., Hirsch, K.
G., ... & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life Support: 2020
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.
———»»»œ«««———
80
BAB VII
SINDROMA KORONER AKUT
Tujuan Pembelajaran
Pada akhir pembahasan kasus ini peserta diharapkan dapat:
• Mendiskusikan diagnosis dan diagnosis banding nyeri dada yang mengancam
nyawa
• Mampu membaca EKG dan mengklasifikasikan ke dalam tiga kategori yaitu
adanya ST elevasi, ST depresi, atau EKG normal
• Menjelaskan dan menggunakan algoritma SKA, termasuk penggunaan obat,
dosis, dan strategi penanganan
• Mengerti dan menjelaskan identifikasi dini, stratifikasi risiko, dan terapi pasien
dengan SKA
• Mampu mengidentifikasi dan memberikan terapi nyeri dada iskemik akut
• Menjelaskan tentang penggunaan obat-obat SKA
• Mampu menjelaskan petunjuk strategi reperfusi
• Mampu melakukan penilaian stratifikasi risiko tinggi pada SKA NSTEMI
A. Pendahuluan
Sindroma koroner akut merupakan suatu kegawatan kardiovaskular yang memiliki
potensi komplikasi yang dapat berakibat fatal. Sindroma koroner akut, terutama infark
miokard, merupakan penyebab utama kejadian henti jantung mendadak yang disebabkan
aritmia maligna yang terjadi saat serangan.
Tujuan terapi SKA adalah mengurangi daerah miokard yang mengalami infark sehingga
fungsi ventrikel kiri dapat dipertahankan, mencegah komplikasi kardiak fatal dan
menangani komplikasi SKA. Diagnosis dan terapi yang cepat akan menyelamatkan
miokard pada jam-jam awal infark. Pada bab ini akan dibahas mengenai sindroma koroner
akut meliputi angina pectoris tidak stabil, serta infark miokard baik dengan gambaran
elektrokardiogram disertai ST elevasi maupun non-ST elevasi.
81
B. Definisi
Pengertian SKA merujuk pada sekumpulan keluhan dan tanda klinis yang sesuai
dengan iskemia miokard akut. Sindroma koroner akut merupakan suatu spektrum dalam
perjalanan penderita penyakit jantung koroner (aterosklerosis koroner). SKA dapat
berupa angina pektoris tidak stabil, infark miokard dengan non-ST elevasi, infark miokard
dengan ST elevasi, dan atau kematian jantung mendadak.
C. Epidemiologi
Sindroma koroner akut adalah kegawatan kardiovaskular yang merupakan penyebab
utama kematian. Kematian terbanyak terjadi di luar rumah sakit. Kematian yang terjadi
sebelum pasien sampai di rumah sakit berhubungan dengan aritmia maligna (VT/VF).
Banyak kejadian terjadi dalam empat jam pertama setelah awal serangan. Kematian di
rumah sakit lebih banyak berhubungan dengan menurunnya curah jantung termasuk
gagal jantung kongestif dan syok kardiogenik. Kematian berhubungan dengan luasnya
miokard yang terkena. Oleh karena itu, upaya membatasi luas infark akan menurunkan
mortalitas.
D. Patofisiologi
Penyebab terjadinya SKA secara teoritis adalah akibat trombosis koroner dan robekan
plak (plaque fissure). Pada penelitian angiografi dan studi post-mortem yang dilakukan
pada pasien SKA segera setelah timbulnya keluhan tampak bahwa pada lebih dari 85%
kasus terdapat oklusi trombus pada arteri penyebab (culprit artery). Trombus yang
terbentuk merupakan campuran trombus putih (white thrombus) dan trombus merah
(red thrombus). Trombosis koroner yang terjadi umumnya dihubungkan dengan robekan
plak. Perubahan yang tiba-tiba dari angina stabil menjadi tidak stabil atau infark miokard
umumnya berhubungan dengan robekan plak pada titik di mana shear stress-nya tinggi
dan dapat terjadi pada plak aterosklerosis yang besar maupun kecil (minor). Plak yang
mengalami robekan kemudian merangsang agregasi trombosit yang selanjutnya akan
membentuk trombus. Spasme arteri koroner juga berperan penting dalam patofisiologi
SKA. Perubahan tonus pembuluh darah koroner melalui nitric oxide (NO) endogen dapat
membuat variasi ambang rangsang angina antara satu pasien dengan yang lain dan antara
satu waktu dengan waktu yang lain. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tonus
82
arteri yaitu hipoksia, katekolamin endogen, dan zat vasoaktif (serotonin, adenosin
difosfat).
Pasien dengan aterosklerosis koroner bisa mengalami gejala klinis yang bervariasi
tergantung dari tingkat sumbatan arteri koroner. Gejala-gejala klinis ini meliputi angina
tidak stabil, non-ST-segment elevation myocardial infarction (NSTEMI), dan ST-segment
elevation myocardial infarction (STEMI). Beberapa hal yang mendasari patofisiologi SKA
adalah sebagai berikut:
a. Plak tidak stabil
Penyebab utama terjadinya SKA adalah rupturnya plak yang kaya lipid dengan
cangkang yang tipis. Umumnya plak yang mengalami ruptur secara hemodinamik tidak
signifikan besar lesinya. Adanya komponen sel inflamasi yang berada di bawah
subendotel merupakan titik lemah dan merupakan predisposisi terjadinya ruptur plak.
Kecepatan aliran darah, turbulensi, dan anatomi pembuluh darah juga memberikan
kontribusi terhadap hal tersebut.
b. Ruptur plak
Setelah plak ruptur, sel-sel platelet akan menutupi atau menempel pada plak yang
ruptur. Ruptur akan merangsang dan mengaktifkan agregasi platelet. Fibrinogen akan
menyelimuti platelet yang kemudian akan merangsang pembentukan trombin.
83
c. Angina tidak stabil
Sumbatan trombus yang parsial akan menimbulkan gejala iskemia yang progresif (lebih
lama atau pada aktivitas yang lebih ringan dari biasanya), gejala iskemia yang baru
pertama terjadi, atau terjadi saat istirahat. Pada fase ini trombus kaya akan platelet
sehingga terapi aspirin, clopidogrel, dan GP IIb/IIIa inhibitor paling efektif. Pemberian
trombolisis pada fase ini tidak efektif dan malah sebaliknya dapat mengakselerasi
oklusi dengan melepaskan bekuan yang berikatan dengan trombin yang dapat
mempromosi terjadinya koagulasi. Oklusi trombus yang bersifat intermiten dapat
menyebabkan nekrosis miokard sehingga menimbulkan NSTEMI.
d. Mikroemboli
Mikroemboli dapat berasal dari trombus yang emboli ke distal dan bersarang di dalam
mikrovaskular koroner yang menyebabkan troponin jantung meningkat (penanda
adanya nekrosis di jantung). Kondisi ini merupakan risiko tinggi terjadinya infark
miokard yang lebih luas.
e. Oklusi trombus
Jika trombus menyumbat total pembuluh darah koroner dalam jangka waktu yang
lama, maka akan menyebabkan STEMI. Bekuan ini kaya akan trombin, oleh karena itu,
pemberian fibrinolisis yang cepat dan tepat atau langsung dilakukan intervensi coroner
perkutan (IKP) dapat membatasi perluasan infark miokard.
84
2. Gejala
Gejala - gejala umum iskemia dan infark miokard adalah nyeri dada retrosternal.
Yang perlu diperhatikan dalam evaluasi keluhan nyeri dada iskemik khas SKA adalah:
• Lokasi nyeri: di daerah retrosternal, pasien sulit melokalisasi rasa nyeri
• Deskripsi nyeri: pasien mengeluh rasa berat seperti dihimpit, ditekan, diremas,
panas, atau dada terasa penuh. Keluhan tersebut lebih dominan dibandingkan
rasa nyeri yang sifatnya tajam. Perlu diwaspadai juga bila pasien mengeluh nyeri
epigastrik, sinkop, atau sesak napas (angina equivalent)
• Penjalaran nyeri: penjalaran ke lengan kiri, bahu, punggung, epigastrium, leher
(rasa tercekik), atau rahang bawah (rasa ngilu). Kadang nyeri juga menjalar ke
lengan kanan atau kedua lengan
• Lama nyeri: nyeri pada SKA dapat berlangsung lama, lebih dari 20 menit. Pada
IMA-EST, nyeri lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan istirahat atau nitrat
sublingual
• Gejala sistemik: disertai keluhan seperti mual, muntah, atau keringat dingin.
Pada infark miokard seringkali disertai gejala otonom seperti keringat dingin
yang membasahi baju, mual atau muntah, palpitasi, atau pandangan melayang.
Selain itu, perlu ditelusuri lebih lanjut mengenai faktor risiko SKA seperti merokok,
hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, faktor genetik di keluarga (Riwayat orang
tua atau saudara kandung yang mengalami serangan jantung atau meninggal
mendadak di usia muda), dan menopause pada wanita, untuk semakin memperkuat
diagnosis SKA.
85
3. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menegakkan diagnosis, menyingkirkan
kemungkinan penyebab nyeri dada lainnya, dan mengevaluasi adanya komplikasi SKA.
Pemeriksaan fisik pada SKA umumnya normal. Terkadang pasien terlihat cemas,
berkeringat dingin, atau didapat tanda komplikasi berupa takipnea, takikardia hingga
bradikardia, adanya gallop, ronki basah halus di paru, atau terdengar bising jantung
(murmur) atau akral yang dingin bila disertai kondisi syok kardiogenik. Bila tidak ada
komplikasi, biasanya dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan yang berarti.
4. EKG
Pemeriksaan EKG merupakan pemeriksaan penunjang yang penting pada diagnosis
SKA untuk menentukan tata laksana selanjutnya. EKG harus diambil dalam 10 menit
pertama setelah pasien dating ke unit gawat darurat dengan keluhan nyeri dada.
Berdasarkan gambaran EKG, pasien SKA dapat diklasifikasikan dalam 2 kelompok:
1) Dengan elevasi segmen ST atau left bundle branch block (LBBB)
baru/dianggap baru (new or presumably new LBBB). Didapatkan gambaran
elevasi segmen ST minimal di dua sadapan yang berhubungan
2) Tanpa elevasi segmen ST, dengan gambaran EKG umumnya berupa depresi
segmen ST atau inversi gelombang T yang dinamis pada saat pasien
mengeluh nyeri dada
86
Beberapa contoh gambaran EKG SKA dengan ST elevasi dan tanpa ST elevasi serta gambar
new LBBB:
Gambar 7.3. STEMI extensive anterior wall (ST elevasi di sadapan V2-V6, I, aVL)
Gambar 7.4. STEMI inferior wall (terdapat ST elevasi di sadapan II, III, aVF)
87
Gambar 7.5. EKG LBBB (kompleks QRS yang lebar di V5-V6, I dan aVL disertai
gelombang S yang dalam di V1-V2)
5. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk menilai adanya tanda nekrosis miokard seperti
CK-MB, Troponin T dan I, serta mioglobin dipakai untuk menegakkan diagnosis SKA.
Troponin lebih dipilih karena lebih sensitif dari pada CK-MB. Troponin berguna untuk
diagnosis, stratifikasi risiko, dan menentukan prognosis. Troponin yang meningkat
akan meningkatkan risiko kematian. Pada pasien SKA dengan ST elevasi, reperfusi tidak
boleh ditunda hanya untuk menunggu enzim jantung.
CK-MB merupakan isoenzim dari creatinin kinase, dengan konsentrasi terbesar
terdapat pada miokardium. Dalam jumlah kecil CK-MB dapat dijumpai di otot rangka,
usus kecil atau diafragma. CK-MB mulai meningkat 3 jam setelah infark dan mencapai
puncaknya setelah 12-14 jam. CK-MB akan mulai menghilang dari darah 48-72 jam
setelah infark.
Troponin mengatur interaksi kerja aktin dan myosin dalam otot jantung dan lebih
spesifik dari CK-MB. Ada dua bentuk yaitu troponin T dan I. Enzim ini mulai meningkat
pada jam 3 setelah onset nyeri dada. mencapai puncaknya pada jam ke-12 hingga 24,
serta kadarnya masih meningkat sampai beberapa hari ke depan, kemudian nilainya
kembali ke normal pada hari ke 8 – 21 (trop T) dan 7 – 14 (trop I). Peningkatan enzim
ini menjadi bukti adanya nekrosis miokard dan menunjukkan prognosis yang buruk
88
pada SKA. Pengukuran enzim jantung troponin bersama dengan pemeriksaan EKG
secara serial merupakan bagian dari evaluasi pasien dengan tanda dan gejala yang
mencurigai adanya SKA. Petugas medis perlu mengetahui onset dari gejala sebelum
melakukan pemeriksaan enzim jantung, karena troponin maupun CK-MB baru
meningkat 3 jam setelah onset iskemik.
Pada pedoman tahun 2015, penggunaan biomarkers high sensitive-cardiac
Troponin I (hs-cTnI) dan high sensitive-cardiac Troponin T (hs-cTnT) dianjurkan bila
tersedia, mengingat biomarker ini lebih sensitif untuk mendeteksi adanya nekrosis
miokard lebih awal. Deteksi peningkatan troponin (Tn) diatas nilai persentil 99 batas
atas, sangat sensitif dan spesifik menunjukkan adanya nekrosis miokard. Ambang
batas deteksi untuk hs-cTnI 0,056 mcg/L sedangkan untuk hs-cTnT 14 ng/L. Pedoman
tahun 2015 juga merekomendasikan untuk tidak melakukan pemeriksaan hs-cTnI atau
hs-cTnT pada jam ke-0 dan jam ke-2 tanpa melakukan stratifikasi risiko klinis untuk
menyingkirkan diagnosis SKA. Hasil pengukuran hs-cTnI dengan nilai kurang dari
persentil 99 pada jam 0 dan jam ke-2 bersama dengan nilai stratifikasi risiko klinis yang
rendah (skor TIMI 0 atau 1) memprediksi angka kejadian major adverse cardiac event
(MACE) dalam 30 hari kurang dari 1%.
Bila tidak tersedia pemeriksaan hs-cTnT atau hs-cTnI, pemeriksaan troponin T atau
troponin I yang negatif pada saat datang dan antara 3 sampai 6 jam dari onset iskemik
dapat digunakan bersamaan dengan stratifikasi risiko yang sangat rendah (TIMI skor 0,
low risk Vancouver rule, North American chest pain score 0, dan usia < 50 tahun atau
HEART score risiko rendah) dapat memprediksi kurang dari 1% MACE dalam 30 hari
89
Gambar 7.6 Pemeriksaan enzim jantung pada sindrom koroner akut
91
Obat anti-inflamatorik non steroid (OAINS) baik yang selektif maupun
nonselektif tidak boleh diberikan pada SKA selama di RS karena dapat
meningkatkan risiko kematian, reinfark, gagal jantung, hipertensi, dan ruptur
miokard.
3. Nitrat
Tablet nitrogliserin sublingual dapat diberikan sampai 3 kali dengan interval 3-
5 menit jika tidak terdapat kontraindikasi. Obat ini tidak boleh diberikan pada
pasien dengan hemodinamik tidak stabil yaitu tekanan darah sistolik <90 mmHg
atau >30 mmHg lebih rendah dari pemeriksaan tekanan darah awal (jika
dilakukan), bradikardia <50 x/menit atau takikardia >150x/menit tanpa adanya
gagal jantung, dan adanya infark ventrikel kanan. Nitrogliserin adalah venodilator
dan penggunaannya harus berhati-hati pada keadaan pasien yang menggunakan
obat penghambat fosfodiesterase (contoh: sildenafil) dalam waktu <24 jam (48
jam pada tadalafil). Dosis untuk nitrogliserin adalah 400 mikrogram, sedangkan
ISDN adalah 5 mg secara sublingual.
4. Analgetik
Analgetik terpilih pada pasien SKA adalah morfin. Pemberian morfin dilakukan
jika tidak ada respons terhadap pemberian nitrogliserin sublingual atau semprot.
Morfin merupakan pengobatan yang cukup penting pada SKA oleh karena:
▪ Menimbulkan efek analgesik pada SSP yang dapat mengurangi aktivasi
neurohumoral dan menyebabkan pelepasan katekolamin
▪ Menyebabkan venodilatasi yang akan mengurangi beban ventrikel kiri dan
mengurangi kebutuhan oksigen
▪ Menurunkan tahanan vaskular sistemik, sehingga mengurangi afterload
ventrikel kiri
▪ Membantu redistribusi volume darah pada edema paru akut
92
Gambar 7.7 Algoritma Sindroma Koroner Akut
93
Tata laksana ST Elevasi
1. Pengertian
IMA EST merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner.
Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah
dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen
fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis IMA
EST ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST
yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tata laksana revaskularisasi
tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung.
2. Tatalaksana
Terapi reperfusi pada IMA EST merupakan perkembangan yang sangat penting
dalam pengobatan penyakit kardiovaskular saat ini. Terapi fibrinolitik segera atau IKP
primer sudah merupakan standar pengobatan pasien IMA EST yang onset serangan
masih dalam 12 jam dan tidak terdapat kontraindikasi. Terapi reperfusi dapat
menyelamatkan fungsi miokard dan mengurangi mortalitas. Semakin pendek waktu
reperfusi, manfaatnya semakin besar.
Terapi Reperfusi pada IMA EST
Reperfusi pada pasien IMA EST akan mengembalikan aliran koroner pada arteri
yang berhubungan dengan area infark, mencegah perluasan infark, dan menurunkan
mortalitas jangka panjang. Fibrinolisis berhasil mengembalikan aliran normal koroner
pada 50-60% kasus, sedangkan IKP primer dapat mengembalikan aliran normal sampai
90% kasus, dan manfaat ini lebih besar didapatkan pada pasien dengan syok
kardiogenik. Tindakan IKP juga memiliki risiko perdarahan intrakranial dan stroke yang
lebih rendah. Pada SKA dengan elevasi segmen ST dan LBBB baru atau dugaan baru,
sebelum melakukan terapi reperfusi harus dilakukan evaluasi sebagai berikut:
Langkah I
o Nilai waktu onset serangan
o Perhitungkan risiko IMA EST
o Perhitungkan risiko fibrinolisis
o Waktu yang diperlukan dari transportasi kepada ahli intervensi (kateterisasi/IKP)
yang tersedia
94
Langkah II
Dalam melakukan pemilihan strategi terapi reperfusi ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, antara lain onset STEMI, ada tidaknya fasilitas intervensi coroner
perkutan (IKP) dan tenaga ahli, kontraindikasi fibrinolisis, dan pada pasien yang risiko
lebih tinggi.
*Pada pemilihan strategi reperfusi diatas, fibrinolitik memiliki efikasi yang sama
baiknya dengan IKP primer dalam pencapaian TIMI 3 flow pada arteri koroner yang
mengalami sumbatan total apabila dilakukan dengan onset < 3 jam
95
Terapi fibrinolisis
Sebelum dilakukan tindakan fibrinolisis, pasien harus dilakukan pemeriksaan ada
tidaknya kontraindikasi fibrinolisis.
96
Gambar 7.9. Ceklis fibrinolisis pra rumah sakit
Pengobatan fibrinolisis lebih awal (door-drug <30 menit) dapat membatasi luasnya
infark, memperbaiki fungsi ventrikel, dan mengurangi angka kematian. Jenis obat
fibrinolisis dibagi menjadi fibrin spesifik (alteplase, reteplase, tenecteplase) dan non-
fibrin-spesifik (streptokinase). Di Indonesia umumnya yang tersedia adalah
streptokinase, dengan dosis pemberian sebesar 1,5 juta unit, dilarutkan dalam 100 cc
NaCl 0,9% atau dextrose 5%, diberikan secara infus selama 30 - 60 menit. Fibrinolisis
bermanfaat untuk diberikan pada IMA EST dengan onset < 12 jam dan tidak ada
kontraindikasi absolut dengan kriteria sebagai berikut: (1) ST elevasi atau perkiraan
LBBB baru, (2) Infark miokard yang luas, (3) Pada usia muda dengan risiko perdarahan
97
intraserebral yang lebih rendah. Sedangkan pada IMA EST dengan onset serangan
antara 12 - 24 jam atau infark kecil, atau pasien >75 tahun, strategi ini dianggap kurang
bermanfaat. Fibrinolisis mungkin berbahaya jika diberikan pada (1) Depresi segmen ST,
(2) Onset > 24 jam (3) Tekanan darah yang tinggi (tekanan darah sistolik >175 mmHg).
Selama dilakukan fibrinolisis, penderita harus dimonitor secara ketat (bedside).
Tanda vital dan EKG di evaluasi setiap 5-10 menit untuk mendeteksi risiko fibrinolisis
yaitu: (1) Perdarahan, (2) Alergi, (3) Hipotensi (4) Aritmia reperfusi; aritmia reperfusi
ini sebenarnya adalah salah satu tanda keberhasilan fibrinolisis namun apabila aritmia
reperfusi yang terjadi adalah aritmia maligna sebagai contoh ventrikular takikardia
maka perlu dilakukan penanganan segera.
Penilaian keberhasilan fibrinolisis dilakukan 60-90 menit dimulai dari saat obat
fibrinolisis dimasukkan. Tanda keberhasilan fibrinolisis adalah (1) resolusi komplit dari
nyeri dada (2) ST elevasi menurun > 50% (dilihat terutama pada sadapan dengan ST
elevasi tertinggi) (3). Adanya aritmia reperfusi. Bila fibrinolisis tidak berhasil maka
penderita secepatnya harus dilakukan IKP (rescue percutaneous coronary
intervention). Pada pedoman AHA 2015, setiap pasien yang telah dilakukan fibrinolisis
dianjurkan untuk dilakukan angiografi dini dalam 3-6 jam pertama hingga 24 jam pasca
fibrinolisis.
98
risiko perdarahan lebih kecil jika dilakukan IKPP, namun tidak terdapat
perbedaan mortalitas antara kedua strategi tersebut.
2) Pada pasien dewasa yang mengalami IMA EST di unit gawat darurat RS tanpa
fasilitas IKP, disarankan agar pasien tersebut segera dipindahkan tanpa
fibrinolisis ke rumah sakit dengan fasilitas IKP, bukan diberikan fibrinolisis di
RS awal dan bukan baru dilakukan pemindahan untuk dilakukan IKP oleh
karena adanya iskemik residual.
3) Kombinasi tindakan fibrinolisis dahulu kemudian diikuti dengan dengan IKPP
tidak dianjurkan.
4) Jika telah dilakukan terapi fibrinolisis, perlu dipertimbangkan untuk
mengirim pasien ke RS dengan fasilitas IKP untuk dilakukan angiografi
koroner dalam 3-24 jam.
5) Jika waktu onset gejala yang timbul diketahui, interval antara kontak
pertama dengan petugas medis (first medical contact) dan reperfusi harus
tidak lebih dari 120 menit.
6) Pada IMA EST dengan onset 2 jam, fibrinolisis segera lebih direkomendasikan
dibanding IKPP bila diperkirakan keterlambatan untuk IKP primer lebih dari
60 menit.
7) Bila pasien IMA EST tidak dapat dirujuk ke RS yang memiliki fasilitas IKP tepat
waktu, maka sebagai alternatif terapi fibrinolitik diberikan kemudian pasien
dirujuk ke fasilitas IKP untuk angiografi koroner rutin.
8) Tindakan invasif segera dilakukan pada pasien SKA tanpa elevasi segmen ST
dengan risiko tinggi dan sangat tinggi.
9) Angiografi koroner emergensi segera dapat dilakukan pada pasien dengan
OHCA (Out-of-Hospital Cardiac Arrest) dengan kecurigaan penyebab dari
jantung atau elevasi segmen ST pada EKG
10) Angiografi koroner emergensi juga dilakukan pada pasien koma setelah
OHCA yang dicurigai penyebabnya dari jantung tanpa walau tanpa
didapatkan elevasi segment ST.
11) Angiografi koroner dianjurkan pada pasien pasca henti jantung baik koma
maupun sadar.
99
Tata laksana SKA non-ST Elevasi
A. Pengertian
Diagnosis IMA-NEST dan angina pektoris tidak stabil (APTS) ditegakkan jika terdapat
keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan
yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST,
inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization,
atau bahkan tanpa perubahan (Gambar 1). APTS dan IMA NEST dibedakan berdasarkan
kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan enzim jantung.
B. Tatalaksana
Angina pektoris tidak stabil (APTS) dan IMA NEST adalah termasuk spektrum SKA
tanpa ST elevasi. Kenaikan enzim jantung membedakan antara IMA NEST dengan APTS.
Diagnosis SKA NSTE baik APTS maupun IMA NEST harus dilakukan secara terintegrasi
dengan stratifikasi risiko. Tujuan utama dari stratifikasi risiko adalah untuk
mengidentifikasi pasien yang pada pemeriksaan awal tanpa profil risiko tinggi tetapi
didapatkan SKA dan PJK signifikan pada proses diagnostik. Stratifikasi risiko
memudahkan dokter melakukan skrining pasien yang akan mendapatkan manfaat
dengan tata laksana SKA dan menghindari prosedur dan pengobatan yang tidak
diperlukan pada pasien dengan risiko sangat rendah. Stratifikasi risiko dilakukan untuk
memprediksi terjadinya major adverse cardiac event (MACE) baik segera saat
perawatan, jangka menengah maupun jangka panjang. Stratifikasi risiko dapat juga
menjadi acuan untuk melakukan tindakan invasif dini pada SKA tanpa ST elevasi. Selain
parameter klinis seperti hemodinamik dan aritmia, stratifikasi risiko dapat dilakukan
dengan beberapa skor seperti TIMI dan GRACE.
Untuk stratifikasi risiko tinggi dan sangat tinggi perlu segera dilakukan
revaskularisasi berupa angiografi dan intervensi koroner. Kriteria stratifikasi risiko
ditampilkan pada tabel 7.1. Waktu pemilihan strategi invasif ditampilkan pada tabel
7.2.
100
Tabel 7.1. Stratifikasi risiko pada SKA tanpa ST elevasi
Kriteria risiko sangat tinggi
• Hemodinamik tidak stabil atau syok kardiogenik
• Nyeri dada yang sedang terjadi atau berulang yang refrakter terhadap
obat
• Aritmia yang mengancam nyawa atau henti jantung
• Komplikasi mekanik infark miokardium
• Gagal jantung akut
• Perubahan dinamik ST-T berulang, terutama bila elevasi segmen ST
persisten
Kriteria risiko tinggi
• Penurunan atau peningkatan troponin jantung sesuai dengan infark
miokardium
• Perubahan dinamik ST atau gelombang T (simtomatik atau
asimtomatik)
• Skor GRACE >140
Kriteria risiko sedang
• Diabetes mellitus
• Insufisiensi ginjal (eGFR < 60 mL/menit/1.73 m2)
• LVEF < 40% atau gagal jantung kongestif
• Angina dini pasca infark
• Riwayat IKP sebelumnya
• Riwayat operasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG) sebelumnya
• Skor GRACE >109 dan <140
Kriteria risiko rendah
Kriteria yang tidak disebutkan di atas
101
Tabel 7.2. Pemilihan strategi invasif dini pada SKA tanpa ST Elevasi
Tindakan invasif • Angina refrakter
segera (dalam 2 • Tanda dan gejala gagal jantung atau regurgitasi
jam) mitral baru atau perburukan
• Hemodinamik tidak stabil
• Angina atau iskemia rekuren waktu istirahat
meskipun dilakukan terapi intensif
• VT menetap atau VF
Strategi dipandu • Skor risiko rendah (misalnya TIMI 0 atau 1, GRACE
iskemia <109). Pasien perempuan risiko rendah dengan
troponin negatif
• Pilihan pasien atau klinisi pada pasien bukan risiko
tinggi
Tindakan invasif dini • Bukan salah satu di atas, tetapi skor GRACE > 140
(dalam 24 jam) • Perubahan temporal pada level troponin
• Depresi segmen ST baru atau diperkirakan baru
Tindakan invasif • Bukan salah satu di atas tetapi menderita
tertunda (dalam 25- diabetes mellitus
72 jam) • Insufisiensi ginjal (GFR <60 mL/menit/1.72 m2)
• Penurunan fungsi sistolik LV (EF <0.40)
• Angina dini pasca infark
• Riwayat IKP dalam 6 bulan terakhir
• Riwayat operasi CABG sebelumnya
• Skor GRACE 109-140; TIMI score >=2
102
o
Gambar 7.8. Pemilihan strategi dan waktu terapi berdasarkan stratifikasi risiko awal
pada SKA tanpa ST elevasi
103
REFERENSI
1. Cannon CP dan Braunwald E, Unstable Angina and Non-ST elevation myocardial
infarction. Dalam Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, Braunwald E. Heart Disease:
A Textbook of Cardiovascular Medicine. 8th ed. Saunders Elsevier. 2008: 53; 1319-
51.
2. ESC Committee for Practice Guidelines. Guidelines for The Diagnosis and Treatment
of Non-ST Elevation Acute Coronary Syndormes. 2007
3. Grubb NR, Newby DE. Cardiology in Acute Coronary Syndrome. Pocket Book
Cardiology. 2nd ed. Elsevier. 2006:5; 91-132.
4. O’Connor, R. E., Bossaert, L., Arntz, H. R., Brooks, S. C., Diercks, D., Feitosa-Filho, G.,
... & Welsford, M. (2010). Acute Coronary Syndrome Chapter Collaborators. Part 9:
acute coronary syndromes: 2010 international consensus on cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care science with treatment
recommendations. Circulation, 122(16 suppl 2), S422-S465.
5. Welsford, M., Nikolaou, N. I., Beygui, F., Bossaert, L., Ghaemmaghami, C., Nonogi, H.,
... & Woolfrey, K. G. (2015). Part 5: acute coronary syndromes: 2015 international
consensus on cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care
science with treatment recommendations. Circulation, 132(16_suppl_1), S146-S176.
6. Amsterdam, E. A., Wenger, N. K., Brindis, R. G., Casey, D. E., Ganiats, T. G., Holmes,
D. R., ... & Levine, G. N. (2014). 2014 AHA/ACC guideline for the management of
patients with non–ST-elevation acute coronary syndromes: executive summary: a
report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force
on Practice Guidelines. Journal of the American college of cardiology, 64(24), 2645-
2687.
7. O'Gara, P. T., Kushner, F. G., Ascheim, D. D., Casey, D. E., Chung, M. K., De Lemos, J.
A., ... & Granger, C. B. (2013). 2013 ACCF/AHA guideline for the management of ST-
elevation myocardial infarction: executive summary: a report of the American
College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines. Journal of the American College of Cardiology, 61(4), 485-510.
8. Nikolaou, N. I., Arntz, H. R., Bellou, A., Beygui, F., Bossaert, L. L., & Cariou, A. (2015).
European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015 section 8. Initial
104
management of acute coronary syndromes. Resuscitation.-Limerick, 1972, currens,
95, 264-277.
9. Van de Werf, F., & Staff, E. S. C. (2008). ESC Guidelines on the management of acute
myocardial infarction in patients presenting with STEMI. European heart journal, 29,
2909-2945.
10. Steg, P. G., & James, S. (2012). 2012 ESC Guidelines on acute myocardial infarction
(STEMI). European heart journal, 33, 2501-2502.
11. Ibanez, B., James, S., Agewall, S., Antunes, M. J., Bucciarelli-Ducci, C., Bueno, H., ... &
Hindricks, G. (2017). 2017 ESC Guidelines for the management of acute myocardial
infarction in patients presenting with ST-segment elevation: The Task Force for the
management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment
elevation of the European Society of Cardiology (ESC). European heart journal, 39(2),
119-177.
12. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R., Hirsch, K.
G., ... & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life Support: 2020
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.
———»»»œ«««———
105
BAB VIII
TATALAKSANA KEGAWATAN SIRKULASI
(HIPOTENSI, SYOK, EDEMA PARU AKUT)
A. Pendahuluan
Pengetahuan mendasar tentang tekanan darah, faktor-faktor yang mempengaruhi
tekanan darah, fungsi fisiologis pompa jantung, isi sekuncup dan curah jantung diperlukan
untuk menelaah masalah pasien, membuat penilaian kondisi pasien serta melakukan
penatalaksanaan yang tepat dalam waktu singkat dan kondisi yang sulit bahkan kadang
meragukan. Pasien dengan tekanan darah yang rendah atau hipotensi (sistolik di bawah
100 mmHg) sering dijumpai di unit gawat darurat. Segera cari apakah terdapat tanda-
tanda penurunan perfusi ke jaringan yang dapat berlanjut ke arah kegagalan perfusi
jaringan, seberapa berat kondisi penderita, serta usaha yang tepat untuk mengatasinya.
Apabila tanda kegagalan perfusi jaringan sudah muncul berarti pasien dalam kondisi syok.
106
b. Tatalaksana syok
Pengertian syok
Syok adalah kumpulan gejala akibat perfusi selular tidak mencukupi dan pasokan
O2 tidak cukup memenuhi kebutuhan metabolik yang dapat disebabkan oleh beberapa
hal dengan gambaran klinis yang bervariasi
Tanda dan gejala syok
Manifestasi klinis tergantung penyakit dasar dan mekanisme kompensasi yang
terjadi, misalnya:
• Peningkatan tahanan vaskular perifer: kulit pucat dan dingin, oliguria
• Tonus saraf adrenergik meningkat menyebabkan takikardi untuk
meningkatkan curah jantung, keringat banyak, cemas, mual, muntah atau
diare
• Hipoperfusi organ vital berupa iskemia miokardium ditandai nyeri dada dan
atau sesak napas, insufisiensi serebral ditandai dengan penurunan kesadaran
Klasifikasi syok
Syok dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Syok kardiogenik
Syok yang penyebab primernya adalah gangguan kinerja jantung. Kinerja
jantung ditentukan oleh:
• Kemampuan sel miokard untuk memompa dengan cara memanjang
pada fase pengisian (diastolik) dan memendek pada fase pengosongan
(sistolik),
• Volume darah dan tekanan yang dialami ventrikel pada fase akhir
pengisian (preload) dan
• Tahanan yang harus dilawan ventrikel untuk pengosongan (afterload)
• Frekuensi kontraksi; menentukan jumlah darah yang dapat dipompa
dalam semenit (curah jantung).
2. Syok hipovolemik
Merupakan penyebab paling sering syok dan hipotensi; bisa akibat
kekurangan cairan absolut (misalnya diare, muntah, perdarahan masif) atau
ekstravasasi (misalnya syok dengue).
3. Syok distributif
107
Total cairan tubuh tidak berkurang, tapi volume intravaskular relatif tidak
seimbang dengan kapasitas vaskular, misalnya pada syok anafilaksis, syok
septik dan syok neurogenik.
4. Syok akibat Obstruksi aliran
Misalnya pada emboli paru, tamponade (efusi perikardium), stenosis katup
mitral atau aorta.
Tatalaksana syok
Dalam menatalaksana syok, harus dipahami masalah utama pada pasien adalah
masalah kelainan irama (laju jantung terlalu cepat/lambat), masalah volume atau
masalah pompa.
Masalah volume
Berikan cairan infus, transfusi darah, atasi penyebab dan pertimbangkan
vasopresor. Ada 2 macam problem volume yakni:
1. Hipovolemia absolut
Kekurangan cairan akibat hilangnya cairan tubuh, misalnya perdarahan,
muntah, diare, poliuria, penguapan berlebihan, dehidrasi
2. Hipovolemia relatif
Volume sirkulasi berkurang relatif, tidak ada kehilangan cairan namun
kapasitas vaskular meningkat (vasodilatasi atau berpindahnya cairan sirkulasi
ke ruang “ketiga”) sehingga terjadi hipovolemia
108
Bila jelas ada kehilangan cairan tubuh, maka pilihan pertama adalah memenuhi
volume intravaskular. Bila volume sudah dicukupi dan tekanan darah masih rendah,
dapat diberikan diberikan vasopresor. Obat vasoaktif yang dapat diberikan untuk
mengatasi vasodilatasi adalah:
• Syok sepsis : norepinefrin, dobutamin bila membutuhkan inotropik
• Syok anafilaksis : epinefrin, norepinefrin, dopamin, fenilefrin
• Keracunan beta blocker : epinefrin, atropine, glukagon, dopamin,
isoproterenol
• Keracunan alfa-blocker : epinefrin, norepinefrin
Masalah volume pada syok sering tersamar; biasanya terjadi hipovolemia relatif
akibat vasodilatasi. Demikian pula pada masalah rate dan pump. Klinisi harus waspada
pada hipovolemia dengan vasodilatasi, dan memberikan fluid challenge bila curiga ada
hipovolemia. Secara umum prioritas pertama adalah memberikan cairan pengganti,
sedangkan vasopresor memainkan peran sekunder namun penting pada kasus
vasodilatasi. Jangan memberi vasopresor tanpa mengatasi kekurangan cairan lebih
dulu atau diberikan bersamaan. Pemberian obat vasopresor saja dapat menimbulkan
gagal jantung dan menurunnya fungsi hemodinamik khususnya pada kasus iskemia
miokard.
109
• Pengobatan bersama optimalisasi rate (atasi masalah irama jantung
terutama takikardi dan bradikardi ekstrim) dan optimalisasi volume
intravaskular dan tekanan pengisian ventrikel kiri.
• Koreksi problem dasar seperti hipoksia, hipoglikemi, overdosis obat/racun.
• Memperbaiki kontraktilitas jantung (dopamin, dobutamin, inotropik lain),
vasodilator untuk mengurangi tahanan vaskular sistemik (afterload), diuretik
dan venodilator untuk mengurangi preload (beban pengisian), alat bantu
sirkulasi mekanik (Intra Aortic Balloon Pump- IABP) atau operasi koreksi.
Pada pasien syok kardiogenik dan edema paru harus dipikirkan kebutuhan tekanan
pengisian ventrikel kiri yang optimal. Pemberian cairan intravena bertujuan
mengoptimalkan tekanan pengisian ventrikel kiri terlebih dahulu. Pada kasus gawat,
pemberian NaCl 0.9% 2-4 mL/kgBB (diawali 150 mL) dalam waktu singkat dapat dicoba
(uji cairan). Bila infus awal memberi dampak perbaikan seperti meningkatnya tekanan
darah dan menurunnya denyut jantung, maka pemberian cairan dapat dilanjutkan 500
ml dalam 1 jam berikutnya. Bila pasien tidak respon dengan pemberian cairan,
seringkali dibutuhkan obat-obatan inotropik atau vasopressor.
110
obatan vasopressor (vasokonstriktor). Norepinefrin 0,1-0,5 mcg/kgBB/menit intravena
mempunyai efek vasopressor kuat yang menjadi pilihan utama pada kondisi hipotensi
disertai syok. Dopamin dosis 5-20 mcg/kgBB/menit dapat dipertimbangkan sebagai
vasopressor sebagai alternatif norepinefrin pada terutama pada syok dengan laju
frekuensi nadi yang rendah (<50x/menit) atau hipotensi yang disertai bradikardia
ekstrim. Dopamin memiliki risiko terjadinya aritmia lebih tinggi daripada norepinefrin.
Pada syok yang menyertai sindroma koroner akut harus dipikirkan reperfusi
koroner segera, dapat berupa angiografi-intervensi (percutaneous coronary
intervention) dan dipertimbangkan pemasangan bantuan sirkulasi mekanik
(contohnya Intra Aortic Ballon Pump) bila awal gejala muncul dalam waktu 12-24 jam,
dan dipikirkan kemungkinan bedah pintas koroner.
Dobutamin dapat dikombinasikan dengan norepinefrin, dan dapat mulai diberikan
bila tanda-tanda hipoperfusi menghilang. Waspadai syok pada infark akut ventrikel
kanan yang sangat efektif bila diberikan cairan dan pemberian dobutamin lebih
dianjurkan untuk memperbaiki kontraktilitas ventrikel kanan walaupun ada tanda
syok; hindari venodilator (nitrogliserin) dan diuretik. Tindakan revaskularisasi koroner
segera dapat memberi hasil yang sangat baik.
111
Gambar 9.1. Algoritma Tatalaksana Hipotensi/Syok
112
C. Tata laksana edema paru akut
Pengertian edema paru akut
Edema paru akut adalah timbunan cairan di pembuluh darah dan parenkim paru
yang pada sebagian besar kasus disebabkan oleh gagal jantung akut.
Tatalaksana
Tatalaksana edema paru akut kardiogenik dibagi dalam 3 tahapan.
Tahapan pertama:
• Letakkan pasien dalam posisi duduk, tindakan ini bertujuan meningkatkan
volume dan kapasitas vital paru, mengurangi kerja otot pernapasan, dan
menurunkan aliran darah vena balik ke jantung.
• Pasang sungkup muka non-rebreathing dengan aliran 15 L/menit (target SpO2
>92-98%) berikan bersamaan dengan pemasangan akses IV dan monitor EKG
• Oksimetri denyut dapat memberi informasi keberhasilan terapi walaupun alat
pemantauan SpO2 ini kurang akurat apabila terjadi penurunan perfusi perifer.
Oleh karena itu dianjurkan melakukan pemeriksaan analisis gas darah untuk
pemantauan oksigenasi ventilasi dan asam basa.
113
• Jika terjadi hipoventilasi berikan ventilasi tekanan positif dengan kantung napas-
sungkup muka untuk menggantikan sungkup muka non-rebreathing.
• Nitrogliserin atau ISDN efektif mengurangi edema paru karena mengurangi
preload. Pemberian tablet atau spray sublingual yang dapat diulangi setiap 5-10
menit bila TD tetap > 90-100 mmHg, maksimal 3x pemberian. Pastikan tidak ada
kontraindikasi pemberian nitrat (lihat bab farmakologi)
• Furosemide 0,5-1 mg/kgBB IV. Efek bifasik pertama dicapai dalam 5 menit di
mana terjadi venodilatasi, sehingga aliran balik ke jantung dan paru berkurang
(mengurangi preload). Efek kedua adalah sebagai diuretik yang mencapai
puncaknya setelah 30-60 menit. Keefektifan furosemide tidak harus dicapai
dengan diuresis berlebihan. Bila furosemide sudah rutin diminum sebelumnya,
maka dosis bisa digandakan. Bila dalam 20 menit belum didapat hasil yang
diharapkan, ulangi bolus furosemid IV dua kali dosis awal. Dosis bisa lebih tinggi
bila retensi cairan menonjol dan/atau fungsi ginjal terganggu
• Morfin sulfat diencerkan dengan NaCl 0.9%, berikan 2-4 mg IV bolus pelan
tekanan darah sistolik > 100mmHg. Efek venodilator meningkatkan kapasitas
vena, mengurangi aliran darah balik ke vena sentral dan paru, mengurangi
tekanan pengisian ventrikel kiri (preload), dan juga mempunyai efek vasodilator
ringan, sehingga afterload berkurang. Efek sedasi dari morfin sulfat menurunkan
laju napas.
• Untuk mencegah kolaps alveoli dan memperbaiki pertukaran gas dapat
diberikan tekanan ekspirasi akhir positif (positive end-expiratory pressure) dapat
diberikan
Tindakan Kedua
• Jika respon pasien baik setelah mendapatkan tindakan pertama, maka tidak
diperlukan pemeriksaan tambahan, karena menurun tingkat kegawatannya,
khususnya bila normotensi.
• Bila pasien masih belum respon dengan tatalaksana lini pertama, dan tekanan
darah masih baik/tinggi, dapat diberikan nitrogliserin IV 10-200µg/menit (atau
ISDN IV 1-10 mg/jam) dengan tetap memantau tekanan darah.
• Bila tekanan darah turun, berikan inotropik atau vasopresor:
114
• Dobutamin 2-20 µg/kgBB/menit IV bila hipotensi tanpa syok
• Dopamin 5-20 µg/kgBB/menit IV (terutama dipilih bila frekuensi nadi
<50x/menit) atau norepinefrin 0,1-0,5 mcg/kgBB/menit IV bila
terdapat tanda syok
Tindakan Ketiga
• Dipersiapkan bila tindakan pertama dan kedua tidak memberi hasil yang
memadai atau terdapat komplikasi spesifik
• Perlu dilakukan monitor hemodinamik invasif dengan fasilitas spesialistik
• Pertimbangkan IABP, dilanjutkan IKP atau bedah pintas koroner
D. Penutup
Pendekatan sistematis menjadi kunci utama penanganan kasus gawat. Pada topik
ini diharapkan peserta kursus dapat meresapi hal sebagai berikut:
• Nadi/pernafasan/tekanan darah
Pengobatan hipotensi tidak hanya dipandang dari tekanan darah, tetapi gejala-gejala
dan tanda-tanda klinis lebih berharga yang meliputi:
• Keadaan umum
• Gangguan kesadaran
• Perfusi perifer pada ujung-ujung ekstremitas
• Pengisian kapiler
• Gejala syok
• Produksi urin
115
Gunakan triad kardiovaskular dan cari jawaban secara terpisah dan terintegrasi perihal:
• Irama
• Pompa
volume
• Absolut
• Relatif
pompa
• Primer
• Sekunder
116
REFERENSI
1. Van Diepen, S., Katz, J. N., Albert, N. M., Henry, T. D., Jacobs, A. K., Kapur, N. K., ...
& Cohen, M. G. (2017). Contemporary management of cardiogenic shock: a
scientific statement from the American Heart Association. Circulation, 136(16),
e232-e268.
2. Thiele, H., Ohman, E. M., de Waha-Thiele, S., Zeymer, U., & Desch, S. (2019).
Management of cardiogenic shock complicating myocardial infarction: an update
2019. European heart journal, 40(32), 2671-2683.
3. Vahdatpour C, Collins D, Goldberg S. Cardiogenic Shock. 2019 ; J Am Heart. DOI:
10.1161/JAHA.119.011991.
4. Purvey M, Allen G. Managing acute pulmonary oedema. 2017; Aust Prescr : (40) :
59-63.
5. Standl T, Annecke T, Cascorbi I, et all. The Nomenclature, Definition and
Distinction of Types of Shock. Dtsch Arztebl Int 2018; 115: 757-68
6. Singletary EM, Charlton NP, Epstein JL, et all. 2015 AHA Guidelines update for CPR
and ECC. 2015; Vol 132 No 18
7. Rivera FL, Martinez HRC, LaTorre CC, et all. Treatment of Hypertensive
Cardiogenic Edema with Intravenous High-Dose Nitroglycerin in a Patient
Presenting with Signs of Respiratory Failure: A Case Report and Review of the
Literature. Am J Case Rep, 2019; 20: 83-90
8. Writing Committee Members, Antman, E. M., Anbe, D. T., Armstrong, P. W.,
Bates, E. R., Green, L. A., ... & Ornato, J. P. (2004). ACC/AHA guidelines for the
management of patients with ST-elevation myocardial infarction—executive
summary: a report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines (Writing Committee to Revise the
1999 Guidelines for the Management of Patients With Acute Myocardial
Infarction). Journal of the American College of Cardiology, 44(3), 671-719.
9. Paul M, Maxwell W. Optimizing fluid therapy in shock. Critical care; 2019: 25: 246-
251
10. Cecconi M, Backer DD, Antonelli M, et all. Consensus on circulatory shock and
hemodynamic monitoring. Task force of the European Society of Intensive Care
Medicine. Intensive Care Med. 2014; 40: 1795-1815
117
BAB IX
OBAT-OBATAN YANG DIGUNAKAN DALAM
BANTUAN HIDUP JANTUNG LANJUTAN
Tujuan Pembelajaran :
1. Mengetahui jenis obat-obatan vasoaktif
2. Mengetahui jenis obat-obatan antiaritmia
3. Mengetahui jenis obat-obatan antithrombotik
4. Mengetahui obat-obat lainnya yang sering digunakan pada kegawatan
kardiovaskular
5. Memahami mekanisme kerja, dosis dan efek samping obat-obatan tersebut
A. PENDAHULUAN
Tujuan utama pemberian obat pada pasien-pasien henti jantung adalah membantu
mengembalikan sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation/ROSC) dan
memelihara sirkulasi tersebut agar perfusi jaringan optimal dan akhirnya dapat
meningkatkan keluaran pasien pasca henti jantung.
Tabel 9.1 Indikasi, Dosis, dan Cara Pemberian Obat-obatan Inotropik dan Vasopresor
Nama Obat Indikasi Dosis dan Cara pemberian
Epinefrin • Henti jantung : VF, VT • Epinefrin tersedia dengan konsentrasi 1:10.000
tanpa nadi, asistol, PEA. dan 1:1000 (gunakan sediaan 1:1000 untuk kasus
• Hipotensi berat : pada henti jantung, atau 10 ml dosis 1:10.000)
hipotensi dengan • Kasus henti jantung :
bradikardia dapat IV/IO: 1 mg (1 ml dari 1 : 1000) diberikan tiap 3 -
digunakan ketika gagal 5 menit selama resusitasi, setiap pemberian
dengan atropine atau diikuti dengan flush 20ml NaCl 0,9% dan
pada hipotensi akibat menaikkan lengan selama 10- 20 detik setelah
penggunaan pemberian dosis
phosphodiesterase Rute endotrakeal : 2 - 2,5 mg diencerkan
enzyme inhibitor. dengan 10 ml NaCl 0.9% diikuti dengan
• Anafilaksis, reaksi alergi pemberian bantuan napas/ventilasi.
berat dikombinasi dengan
cairan, kortikosteroid dan • Kasus bradikardia / hipotensi berat
antihistamin. Infus (untuk bradikardi tidak stabil): 2 - 10
µg/menit, dititrasi sesuai respon pasien.
119
Norepinefrin ▪ Syok kardiogenik berat • Drip 0,1 - 0,5 µg/kg BB/menit IV; dititrasi sesuai
yang membutuhkan respon
vasopressor terutama
pada syok kardiogenik Perhatian:
dengan frekuensi nadi • Jangan diberikan bersamaan dengan larutan
normal/tinggi alkali
▪ Syok dengan • Koreksi hipovolemia dengan pemberian volume
vasodilatasi (contoh: sebelum pemberian norepinefrin
syok sepsis) • Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya
ekstravasasi yang dapat menyebabkan nekrosis
jaringan.
• Dapat menyebabkan aritmia (risiko aritmia lebih
rendah daripada dopamine).
• Digunakan berhati-hati pada pasien dengan
iskemik akut, lakukan penilaian curah jantung.
Dopamin • Untuk masalah pompa • Infus: 5 - 20 µg/kg BB/menit, dititrasi sesuai
(gagal jantung kongestif) respon pasien, dosis dinaikkan perlahan
dan dengan tanda-tanda
syok, terutama pada Perhatian:
syok kardiogenik • Koreksi hipovolemia dengan penggantian
dengan frekuensi nadi volume sebelum pemberian dopamin.
rendah (<50x/menit) • Risiko aritmia lebih tinggi daripada norepinefin
• Bradikardi tidak stabil (lebih aman digunakan pada pasien syok dengan
yang tidak respon nadi yang rendah)
dengan atropin • Jangan dikombinasikan dengan larutan alkali
(natrium bikarbonat).
Dobutamin masalah pompa (gagal • Infus : 5 - 20 µg/kg BB/menit di titrasi.
jantung kongestif) Peningkatan denyut jantung lebih dari 10% dapat
dengan tekanan darah menimbulkan atau menyebabkan eksaserbasi
sistolik 70 - 100 mmHg iskemik miokard.
dan tanpa tanda-tanda • Selama pemberian dobutamin, pasien
syok memerlukan pemantauan hemodinamik secara
kontinyu.
• Respon pada pasien usia lanjut dapat menurun
secara bermakna
Perhatian:
• Kontra-indikasi : dicurigai atau diketahui syok
karena obat/racun
• Koreksi hipovolemia dengan pemberian volume
sebelum pemberian dobutamin
• Dapat menyebabkan takiaritmia, tekanan darah
yang fluktuatif, sakit kepala dan mual.
• Jangan dikombinasi dengan larutan alkali
(natrium bikarbonat).
120
OBAT-OBATAN ANTIARITMIA
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat anti aritmia dibagi menjadi 4 kelas.
Selain itu akan dibahas pula obat yang dipergunakan pada kasus bradiaritmia, yaitu
sulfas atropin.
121
2. Magnesium sulfat
Mekanisme kerjanya memperpanjang siklus sinus, melambatkan
konduksi nodus AV dan konduksi intra atrial dan intra ventricular
3. Digoksin
Mekanisme kerjanya memendekkan periode refrakter sel-sel miokard
atrium dan ventrikel memanjangkan periode refrakter efektif dan
mengurangi kecepatan konduksi serabut purkinje.
122
2. Mengontrol laju • Alternatif: 5 mg bolus setiap 15 menit dengan total dosis 30
irama pada atrial mg.
fibrilasi
Diltiazem IV 1. Obat lini kedua • Pada kasus akut, berikan 15-20 mg (0,25 mg/kg) IV selama 2
untuk SVT (setelah menit. Dapat diulangi 15 menit kemudian dengan dosis 20-25
adenosin) mg (0,35 mg/kg BB) selama 2 menit.
2. Mengontrol laju • Dosis pemeliharaan 5-15 mg/jam, dititrasi hingga tercapai
irama pada atrial laju nadi fisiologis. Dapat diencerkan dengan dekstros 5% atau
fibrilasi normal saline.
•
Adenosin IV 1. Obat lini pertama • Letakkan pasien pada posisi mild-reverse Trendelenburg
(atau ATP) untuk SVT (kepala lebih tinggi daripada kaki) sebelum pemberian obat.
• Pergunakan three-way pasang akses IV di daerah vena
daerah brachial/antecubiti
• Bolus 6 mg adenosin (10 mg ATP) IV cepat dalam waktu 1-3
detik diikuti bolus saline normal 20 ml, kemudian lengan
diangkat.
• Bila diperlukan, dosis kedua 12 mg adenosin (20 mg ATP) IV,
dapat diberikan dalam 1-2 menit setelah pemberian pertama.
Magnesium 1. Henti jantung • Henti jantung (disebabkan Hipomagnesemia atau Torsades
Sulfat IV dengan de pointes) : 1 - 2 gram (5 - 10 ml dari larutan magnesium 20%)
Hipomagnesemi di encerkan dalam 10 ml D5% / normal saline.
atau Torsade de • Torsades de pointes dengan nadi atau infark miokard
Pointes (TdP) dengan hipomagnesemia: Loading dose 1 - 2 gram (5 -10 ml
2. Torsade de dari larutan magnesium 20%) diencerkan dalam 50 - 100 cc
Pointes dengan D5%, diberikan selama 5 sampai 60 menit IV. Diikuti dengan
nadi 0,5 - 1 gram per jam IV (titrasi untuk mengontrol Torsades de
pointes).
Digoksin IV 1. Obat alternatif Cara pemberian
untuk SVT (setelah • Dosis pertama 4-6 ug/kg (dosis orang dewasa 0.5 mg atau 1
adenosin) ampul digoxin IV) dalam 5 menit
2. Mengontrol laju • Dosis berikutnya : 2-3 ug/kg (untuk orang dewasa setengah
irama pada atrial ampul atau 0.25 mg IV) dalam 4-8 jam berikutnya. Total (8-12
fibrilasi ug/kg, terbagi selama 8-16 jam)
• Cek kadar digoksin 4 jam setelah pemberian iv atau 6 jam
setelah pemberian oral
• Turunkan dosis digoksin sebesar 50% apabila digunakan
bersamaan dengan Amiodaron.
Prokainamid 1. Takikardi QRS Drip 20-50 mg/menit hingga aritmia hilang
IV Lebar yang Stabil
(saat ini obat belum Stop bila muncul hipotensi/durasi QRS meningkat >50%
tersedia di Dosis maksimal 17 mg/kg
Indonesia)
Sotalol IV 1. Takikardi QRS 100 mg (1.5 mg/kgBB) dalam 5 menit
Lebar yang Stabil
(saat ini obat belum Hindari bila QT memanjang
tersedia di
Indonesia)
123
Obat bradiaritmia
1. Sulfas atropine
Mekanisme kerja utama atropin adalah sebagai zat antagonisme yang
kompetitif, dimana dapat diatasi dengan cara meningkatkan konsentrasi
asetilkolin pada lokasi reseptor dari organ efektor. Atropin tidak berfungsi
efektif pada AV block level infra nodal (high degree AV block yaitu AV block
derajat II tipe 2 dan derajat 3)
2. Dopamin
Lihat bab inotropik/vasopressor. Mekanisme kerja dopamin sebagai obat
bradiaritmia adalah dengan berikatan dengan reseptor beta 1 adrenergik pada
jantung sehingga memberikan efek kronotropik positif dan meningkatkan laju
frekuensi nadi
3. Epinephrine
Lihat bab inotropik/vasopressor. Mekanisme kerja epinefrin sebagai obat
bradiaritmia adalah dengan berikatan dengan reseptor beta 1 adrenergik pada
jantung sehingga memberikan efek kronotropik positif dan meningkatkan laju
frekuensi nadi
125
Tabel 9.4 Indikasi, Dosis, dan Cara Pemberian Obat-obatan Antitrombotik
Nama Obat Indikasi Dosis dan Cara pemberian
Aspirin Indikasi: • 160 – 320 mg tablet (bukan
Diberikan pada semua pasien SKA, terutama salut selaput) secepat
kandidat revaskularisasi. mungkin (dikunyah lebih baik)
• Dapat digunakan sediaan
Kontraindikasi: supositoria sebesar 300mg
• Absolut: hipersensitif pada aspirin bila tidak dapat diberikan per-
• relatif : pasien dengan ulser aktif atau asma oral
Clopidogrel Indikasi: Semua kasus SKA STEMI / UAP-NSTEACS risiko
Perhatikan penggunaan pada kasus: sedang-tinggi : dosis awal 300
• Jangan diberikan pada pasien perdarahan mg, diikuti 75mg/hari
aktif (misalkan ulkus peptikum) Berikan loading dose 600 mg
• Pergunakan dengan hati-hati pada pasien bila direncanakan intervensi
dengan risiko perdarahan koroner perkutan (IKP)
• Pergunakan dengan hati-hati pada pasien
gangguan hepar
• Bukti terbatas bila digunakan pada pasien
berusia diatas 75 tahun
• Dapat menggantikan aspirin bila pasien
intoleransi
Ticagrelor Indikasi: pasien NSTEMI atau STEMI yang Dosis awal 180 mg mg, diikuti
diterapi dengan strategi invasif dini. 90mg per 12 jam
Unfractionated Indikasi: • Dosis awal: bolus 60
heparin (UFH) • Terapi tambahan pada Infark Miokard unit/KgBB (maksimum bolus
Akut (IMA) 4000 IU), dilanjutkan 12
• Berikan heparin sebelum pemberian unit/KgBB/jam (dosis
agen litik yang spesifik fibrin (alteplase, maksimum: 1000 IU/jam).
reteplase, tenecteplase) • Pertahankan nilai aPTT 1.5 –
2 kali nilai kontrol selama 48
Kontraindikasi: jam atau hingga dilakukan
• Kontraindikasi sama dengan angiografi.
kontraindikasi pada terapi fibrinolitik, yaitu: • Cek inisial aPTT setelah 3
perdarahan aktif; baru saja menjalani jam, kemudian tiap 6 jam
operasi intrakranial, intraspinal atau mata; hingga stabil, kemudian tiap
hipotensi berat; kelainan perdarahan; hari.
perdarahan saluran cerna. • Ikuti protokol pemberian
• Dosis dan target nilai laboratorium harus heparin
sesuai ketika digunakan bersama dengan
terapi fibrinolitik.
• Jangan digunakan jika hitung trombosit <
100.000 atau diketahui adanya riwayat
trombositopenia yang diinduksi heparin/
Heparin-Induced Thrombocytopenia (HIT).
Untuk pasien seperti ini dapat
dipertimbangkan pemberian agen direct
antithrombin.
Low Molecular Indikasi: untuk pasien SKA, spesifik untuk Protokol STEMI
Weight pasien UA/NSTEMI • Usia <75th, creatinin
Heparin Perhatian: clearance normal; bolus inisial
(LMWH) / • Perdarahan merupakan komplikasi dari 30mg IV dengan bolus kedua
Enoxaparin penggunaan LMWH. Kontraindikasi pada 1mg/kgBB subkutan 15 menit
126
pasien hipersensitif terhadap kemudian, ulangi tiap 12 jam
heparin/produk babi (pork)/riwayat alergi (maksimal 100mg/dosis untuk
terhadap obat tertentu. 2 dosis pertama).
• Gunakan enoxaparin dengan hati-hati • Usia >75th, tidak diberikan
pada pasien dengan HIT tipe II. dosis bolus IV, berikan
• Sesuaikan dosis pada pasien insufisiensi 0,75mg/kgBB subkutan tiap 12
renal. jam (maksimal 75mg untuk 2
• Kontraindikasi jika trombosit < 100.000. dosis pertama).
Untuk pasien tersebut gunakan • Jika creatinin clearance <
antithrombin direk. 30 ml/mnt berikan 1mg/kgBB
subkutan tiap 24jam
Protokol UA/NSTEMI
• Bolus inisial 30 mg IV,
dosis pemeliharaan 1mg/kgBB
subkutan tiap 12jam.
• Jika klirens kreatinin <
30ml/menit berikan tiap 24
jam.
Fondaparinux Indikasi : • STEMI: Dosis awal 2,5mg iv
• Digunakan pada kasus SKA bolus diikuti 2,5mg subkutan
• Dapat digunakan sebagai antikoagulan setiap 24 jam hingga 8 hari
pada pasien dengan riwayat HIT. • NSTEMI/UAP: 2,5 mg
Kontra Indikasi: subkutan setiap 24 jam
• Pasien dengan klirens kreatinin < 30
ml/menit.
• Hati-hati bila diberikan pada pasien
dengan klirens kreatinin antara 30-50
ml/menit
Perhatian:
• Meningkatkan risiko thrombosis di
kateter pada pasein yang menjalani
Intervensi Perkutan (IPK); diperlukan
pemberian Unfractionated Heparin
bersama-sama
• Komplikasi dapat berupa perdarahan
Streptokinase • Indikasi: • Informed consent tertulis
STEMI onset <12 jam (paling baik diberikan terlebih dahulu (jelaskan
pada onset <3 jam) manfaat dan risiko)
• Streptokinase 1.5 juta IU
Kontraindikasi: diencerkan dalam 100 cc
Lihat bab SKA D5/NaCl 0.9% diberikan dalam
30-60 menit
• Awasi tanda-tanda
perdarahan, alergi,
hemodinamik, dan aritmia
127
OBAT-OBAT KEGAWATDARURATAN LAINNYA
A. Nitrat
Nitrat menyebabkan relaksasi dari otot polos vaskular. Mekanisme yang terjadi
melalui konversi dari obat yang diberikan menjadi nitrat oksida pada atau dekat
membran plasma dari sel otot polos pembuluh darah. Nitrat oksida yang
terbentuk akan mengaktifkan guanilat siklase untuk menghasilkan cyclic
guanosine monophosphate (cGMP), dan akumulasi dari cGMP intraselular ini
akan menyebabkan relaksasi otot polos. Contoh obat-obatan golongan nitrat
adalah nitrogliserin dan isosorbid dinitrat (ISDN)
B. Kalsium Glukonas
Mekanisme kerja dari kalsium meningkatkan ambang potensial, sehingga
mengembalikan perbedaan gradien antara ambang potensial dengan potensial
membran istirahat ke kondisi normal, yang mana mengalami peningkatan saat
kondisi hiperkalemia. Kalsium glukonas kurang poten dan lebih tidak bersifat
iritasi terhadap vena dibandingkan kalsium klorida.
C. Sodium bikarbonat (BicNat)
Mekanisme kerja dari sodium bikarbonat mengatasi asidosis jaringan dan
asidosis selama henti jantung maupun resusitasi (akibat rendahnya perfusi
jaringan).
D. Furosemid
Furosemide bekerja pada thick ascending limb dari loop of Henle
melalui mekanisme penghambatan sistem kotransport Na+-2Cl—K+. Akibat
penghambatan pada sistem ini akan mengganggu pembentukan kondisi
intersisium yang hipertonik, sehingga gradien yang dibutuhkan untuk
mengeluarkan cairan dari duktus kolektivus secara pasif mengalami
penurunan, akibatnya proses diuresispun terjadi.
E. Morfin Sulfat
Morfin adalah obat yang digunakan untuk mengatasi rasa sakit dengan
intensitas sedang hingga parah, seperti nyeri pada kanker atau serangan
jantung. Efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis. Morfin dosis
kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada pasien yang sedang menderita nyeri,
sedih dan gelisah dan pada orang normal seringkali menimbulkan disforia
128
berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual dan muntah. Opioid
menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang
terutama didapatkan di SSP dan medula spinalis yang berperan pada transmisi
dan modulasi nyeri.
F. Insulin dan Glukosa
Insulin dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan cara menstimulasi
ambilan/uptake glukosa darah di perifer dan menghambat produksi glukosa
oleh hepar. Selain daripada itu, insulin juga menghambat proses lipolisis dan
proteolysis, serta meningkatkan sintesis protein. Target organ insulin adalah
pada jaringan otot skeletal, hepar, dan jaringan adiposa.
G. Midazolam
Midazolam adalah agen sedatif yang termasuk ke dalam golongan
benzodiazepin. Midazolam adalah senyawa 1,4 – benzodiazepin, berdasarkan
aspek farmakologisnya sangat mirip dengan diazepam, tetapi memiliki
beberapa kelebihan yang menyebabkan midazolam lebih banyak
penggunaannya di klinik dibandingkan diazepam.
Tabel 9.5 Indikasi, Dosis, dan Cara Pemberian Obat-obatan Lainnya
Nama Obat Indikasi Dosis dan Cara pemberian
Nitrat • Digunakan pada gagal jantung • Tablet :
kongestif, hipertensi emergensi dan o nitrogliserin 1 tablet (0,3 – 0,4 mg)
obat anti angina awal pada SKA sublingual, dapat diulang hingga 3
• Gagal jantung (terutama yang dosis, interval 5 menit.
berhubungan dengan adanya iskemia o isosorbid dinitrat 5 mg sublingual
miokard) dapat diulang hingga 3 dosis, interval
• Hipertensi emergensi 5 menit.
• Hipertensi paru • IV :
Kontraindikasi: o nitrogliserin Dosis maintenance
• Hipotensi (TDS < 90 mmHg) mulai 10 µg/menit (tidak tergantung
• Takikardi ekstrim >150x/menit atau berat badan/kg), kemudian
bradikardia ekstrim <50x/menit dinaikkan tiap 3-5 menit 10 µg/menit
• Infark ventrikel kanan sesuai klinis dan tekanan darah.
• Penggunaan sildenafil (Viagra®) Dosis maksimal 200 µg/menit.
dalam 24 jam terakhir o isosorbid dinitrat : dosis 1-10
Perhatian: mg/jam titrasi sesuai klinis dan
• Dapat menyebabkan hipotensi, tekanan darah
terutama pada pasien dengan
hipovolemia
• Pada hipertensi emergensi target
maksimum penurunan tekanan darah
adalah 25% dari Mean Arterial Pressure
(MAP) awal.
129
Morfin Indikasi: • Diencerkan dalam 10 cc NaCl 0.9%
• Nyeri dada pada Sindroma Koroner atau D5
Akut (SKA) yang tidak respon dengan • Diberikan bolus perlahan
nitrat. • Hati-hati efek depresi pernapasan
• Edema paru akut kardiogenik (jika dan hipotensi. Siapkan alat-alat
tekanan darah adekuat) resusitasi, bagging, dan antidote
(naloxone) bila memungkinkan
Perhatian: • IMA-STE: berikan 2 - 4 mg IV. Dapat
• Dapat menyebabkan depresi napas. diberikan dosis tambahan 2 – 8 mg IV
• Dapat menyebabkan hipotensi pada dalam interval waktu 5 – 15 menit.
pasien hipovolemia. • SKA- NSTE: berikan 1 – 5 mg IV jika
• Gunakan secara hati-hati pada infark gejala tidak berkurang dengan
ventrikel kanan. pemberian nitrat atau gejala
• Siapkan antidotum nalokson (0.04 – 2 berulang. Gunakan secara hati-hati.
mg IV).
Furosemid • Sebagai terapi tambahan pada edema • Dosis 0.5 – 1 mg/kg diberikan
paru akut dengan tekanan darah sistolik selama 1 - 2 menit.
>90-100 mmHg (tanpa tanda dan gejala • Jika tidak ada respon, dosis
syok). dinaikkan hingga 2 mg/kg, diberikan
perlahan-lahan selama 1- 2 menit.
• Pasang kateter urine
• Pada kondisi edema paru akut (new
onset) yang disertai hipovolemia: <
0.5 mg/kg.
Midazolam Obat sedasi persiapan intubasi atau • Dosis 0,05 – 0,1 mg/kg (maksimal
kardioversi tersinkronisasi dosis dalam satu kali pemberian: 4
mg) bolus pelan.
• Onset efek akan dimulai dalam 2-5
menit, dengan durasi antara 15 – 30
menit.
Insulin dan • dapat diberikan pada kasus • 10 Unit Insulin iv ditambah 25gram
Dextrose hiperkalemia dengan mekanisme kerja dextrosa (50ml D50%) atau 62,5ml
redistribusi dan shift intraselular. D40%.
Calcium • Kondisi hiperkalemia atau dicurigai • Larutan Ca Gluconas 10% 15-30 ml
gluconas adanya hiperkalemia (gagal ginjal).
• Antidotum untuk efek toksik dari
penghambat kanal kalsium atau
penyekat beta (hipotensi dan aritmia).
• Hipokalsemia ter-ionisasi (contoh:
setelah tranfusi darah berulang)
Sodium • Hiperkalemia • 1 MEq/kgBB diencerkan dalam 50
Bicarbonat • Asidosis metabolik yang respon cc D5/NaCl 0.9% bolus pelan (lebih
terhadap pemberian bikarbonat baik melalui vena besar)
(ketoasidosis diabetik) atau keracunan
antidepresan trisiklik, aspirin, kokain
atau difenhidramin.
• Resusitasi yang berlangsung lama
disertai ventilasi yang efektif; kondisi
ROSC (return of spontaneous
circulation) setelah terjadinya henti
jantung yang berlangsung lama.
130
• Tidak bermanfaat atau tidak efektif
pada kondisi asidosis respiratorik
dengan hiperkarbia (henti jantung atau
resusitasi jantung paru tanpa dilakukan
intubasi)
• Tidak direkomendasikan untuk
diberikan rutin pada pasien yang
mengalami henti jantung
131
REFERENSI
1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Obat Yang Digunakan
Dalam Bantuan Hidup Jantung Lanjut. Edisi Ketiga. Jakarta: PERKI; 2015.
2. Soar, J., Perkins, G. D., Maconochie, I., Böttiger, B. W., Deakin, C. D., Sandroni, C.,
... & Semeraro, F. (2019). European Resuscitation Council Guidelines for
Resuscitation: 2018 Update–Antiarrhythmic drugs for cardiac arrest.
Resuscitation, 134, 99-103.
3. Panchal, A. R., Berg, K. M., Kudenchuk, P. J., Del Rios, M., Hirsch, K. G., Link, M. S.,
... & Hazinski, M. F. (2018). 2018 American Heart Association focused update on
advanced cardiovascular life support use of antiarrhythmic drugs during and
immediately after cardiac arrest: an update to the American Heart Association
guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care.
Circulation, 138(23), e740-e749.
4. Hollenberg, S. M. (2011). Vasoactive drugs in circulatory shock. American journal
of respiratory and critical care medicine, 183(7), 847-855.
5. Lei, M., Wu, L., Terrar, D. A., & Huang, C. L. H. (2018). Modernized classification
of cardiac antiarrhythmic drugs. Circulation, 138(17), 1879-1896.
6. Ibanez, B., James, S., Agewall, S., Antunes, M. J., Bucciarelli-Ducci, C., Bueno, H.,
... & Hindricks, G. (2017). 2017 ESC Guidelines for the management of acute
myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation: The Task
Force for the management of acute myocardial infarction in patients presenting
with ST-segment elevation of the European Society of Cardiology (ESC). European
heart journal, 39(2), 119-177.
7. Roffi, M., Patrono, C., Collet, J. P., Mueller, C., Valgimigli, M., Andreotti, F., ... &
Gencer, B. (2016). 2015 ESC Guidelines for the management of acute coronary
syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation: Task
Force for the Management of Acute Coronary Syndromes in Patients Presenting
without Persistent ST-Segment Elevation of the European Society of Cardiology
(ESC). European heart journal, 37(3), 267-315.
8. Brugada, J., Katritsis, D. G., Arbelo, E., Arribas, F., Bax, J. J., Blomström-Lundqvist,
C., ... & Gomez-Doblas, J. J. (2019). 2019 ESC Guidelines for the management of
patients with supraventricular tachycardiaThe Task Force for the management of
132
patients with supraventricular tachycardia of the European Society of Cardiology
(ESC). European heart journal.
9. Valgimigli, M., Bueno, H., Byrne, R. A., Collet, J. P., Costa, F., Jeppsson, A., ... &
Montalescot, G. (2017). 2017 ESC focused update on dual antiplatelet therapy in
coronary artery disease developed in collaboration with EACTS. European journal
of cardio-thoracic surgery, 53(1), 34-78.
10. Singletary, E. M., Charlton, N. P., Epstein, J. L., Ferguson, J. D., Jensen, J. L.,
MacPherson, A. I., ... & Zideman, D. A. (2015). Part 15: first aid: 2015 American
Heart Association and American Red Cross guidelines update for first aid.
Circulation, 132(18_suppl_2), S574-S589.
11. Hunt, E. A., Jeffers, J., McNamara, L., Newton, H., Ford, K., Bernier, M., ... & Duval‐
Arnould, J. (2018). Improved cardiopulmonary resuscitation performance with
CODE ACES2: a resuscitation quality bundle. Journal of the American Heart
Association, 7(24), e009860.
———»»»œ«««———
133
BAB X
TIM DARURAT MEDIS
TUJUAN PEMBELAJARAN
• Memahami cara kerja sebagai anggota tim darurat medis
• Memahami cara kerja sebagai pimpinan tim darurat medis
• Memahami cara kerja tim darurat medis yang efektif
A. Pendahuluan
Di setiap unit kesehatan apakah sebuah rumah sakit, klinik atau ambulans gawat
darurat diperlukan adanya tim medis / paramedis yang solid dan mampu berbagi tugas
dengan baik untuk menyelamatkan jiwa pasien, karena banyak tugas yang harus
dilaksanakan.
Tim tersebut harus sangat terlatih untuk melakukan BHJD maupun BHJL. Di dalam tim
harus ada pemimpin tim dan anggota, dan masing masing harus mengetahui tugas dan
tanggung jawabnya.
B. Tujuan Pembelajaran
Ketika Anda selesai mempelajari bagian ini, anda diharapkan dapat bekerja sebagai
tim yang efektif, bekerja semaksimal mungkin baik sebagai anggota maupun sebagai
pemimpin tim, dengan tujuan akhir adalah memberikan pelayanan yang terbaik untuk
pasien.
Peranan Pemimpin Tim
1. Peranan Pemimpin Tim
Semua tim resusitasi membutuhkan seorang pemimpin untuk mengatur usaha
yang dilakukan oleh grup tersebut. Pemimpin tim bertanggung jawab untuk
memastikan bahwa semua dilakukan pada saat yang tepat dengan cara yang tepat
dengan memantau dan mengintegrasikan kinerja perorangan semua anggota tim.
Walau begitu, pemimpin tim haruslah mahir dalam semua keterampilan khusus
yang harus diselesaikan selama resusitasi.
Pemimpin tim harus bertindak sebagai seorang guru atau pemandu untuk
membantu melatih para calon pemimpin tim yang akan datang dan memperbaiki
134
efektivitas tim. Setelah resusitasi, pemimpin tim dapat memberikan analisa, kritik,
dan praktek sebagai persiapan untuk usaha resusitasi berikutnya.
2. Tugas Pemimpin Tim
• Memantau kinerja perorangan dari semua anggota tim
• Menyokong anggota tim
• Berkonsentrasi pada penanganan pasien secara komprehensif
• Mengajar dan melatih
• Memberikan pemahaman
135
jawabnya
• Membagikan tugas dengan tidak merata sehingga beberapa orang
mendapat tugas yang terlalu banyak sementara yang lainnya mendapat
tugas yang terlalu sedikit
• Menghindar dari tugas
• Mengambil tugas yang melebihi tingkat kompetensi atau kemahiran Anda
136
Saling Menghargai
Tim yang terbaik tersusun atas anggota yang saling menghargai satu sama lain dan
bekerja bersama-sama secara kolegial. Untuk memiliki suatu tim resusitasi yang
memiliki kinerja tinggi, semua orang harus menanggalkan egonya dan menghargai
satu sama lain selama pelaksanaan resusitasi, tanpa melihat pelatihan tambahan atau
pengalaman yang dimiliki oleh pemimpin tim atau anggota tim tertentu.
137
REFERENSI
1. Cummins RO, et. Al. ACLS provider manual. American Heart Association: Updated
2004.
2. Cummins RO. ACLS – Reference Textbook. ACLS: principles and practice. American
Heart Association 2003, 8-15, 57-87.
3. Departemen Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar 2007. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2008.
4. Eisenberg MS, Cummins RO. Defibrillation performed by the emergency medical
technician. Circulation. 1986;74(pt 2):IV 9-12
5. Fied JM, Mary FH, David G. Hand Book of Emergency Cardiac Care. American Heart
Association 2005, 3-9.
6. Field JM, et. Al. Advanced Cardiac Life Support Provider Manual, American Heart
Association: 2006.
7. Grubb NR dan Newby DE. Cardiology in acute coronary syndrome. Pocket Book
Cardiology, Edisi ke 2, Elsevier, 2006: Bab 5: 91-132.
8. Harold BL. Electrocardiography: 100 diagnostic criteria. Year Book Medical Publisher,
1987, 135-137. American Heart Association, Guidelines CPR ECC 2005.
9. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R., Hirsch, K.
G., … & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life Support: 2020
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.
10. Kerber RE, Grayzel J, Hoyt R, Marcus M, Kennedy J. Transthoracic resistance in
human defibrillation: influence of body weight, chest size, serial shock, paddle size
and paddle contact pressure. Circulation. 1981;63:676-82.
11. Task force on acute heart failure of the ESC. ESC Guideline. Executive summary of
the guidelines on the diagnosis and treatment of acute heart failure. European Heart
Journal. 2005: 384.
12. John M. Field, Mary Fran Hazinski, Michael R. Sayre,et.al. 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitations and Emergency
Cardiovascular Care Sciene. Circulation. 2010;122:S639-S946.
138
BAB XI
Bantuan Hidup Jantung Lanjutan Pediatri
A. PENDAHULUAN
Di Amerika Serikat, terdapat lebih dari 20.000 kasus henti jantung pada bayi dan anak
per tahunnya, dengan setidaknya 7.000 kasus diantaranya terjadi di luar rumah sakit
(OHCA) pada tahun 2015. Sekitar 11,4% pasien OHCA pediatri dapat bertahan hidup
hingga pulang rawat, namun angka ini lebih bervariasi tergantung kelompok usia dengan
tingkat kelangsungan hidup sebesar 17,1% pada remaja, 13,2% pada anak, dan 4,9% pada
bayi. Pada tahun yang lama, insidens henti jantung anak di dalam rumah sakit (IHCA) yaitu
12,66 kasus per 1000 bayi dan anak yang dirawat, dengan tingkat kelangsungan hidup
hingga pulang rawat sebesar 41,1%. Luaran neurologis pada berbagai kelompok usia anak
masih sulit dinilai, terutama mengingat studi-studi pada OHCA dan IHCA pediatri memiliki
cara pelaporan dan durasi waktu pengamatan yang bervariasi. Luaran neurologis yang
baik dilaporkan terdapat pada hingga 47% pasien hingga pulang rawat. Meskipun angka
kelangsungan hidup pada IHCA meningkat, masih banyak yang perlu dilakukan untuk
meningkatkan angka kesintasan dan luaran neurologis pada pasien-pasien ini.
Panduan ini berisi rekomendasi untuk bantuan hidup dasar dan lanjut untuk pediatri
diluar periode neonatus yang disarikan dari bukti-bukti terbaru. Rantai bertahan hidup
saat ini diperluas untuk mencakup periode perawatan setelah henti jantung sehingga
memerlukan koordinasi efektif antara berbagai pihak. Panduan ini dimaksudkan untuk
digunakan oleh penolong awam dan medis di untuk mengidentifikasi bayi dan anak pada
fase sebelum, saat, dan setelah henti jantung baik di dalam maupun di luar rumah sakit.
Pasien pediatri didefinisikan sebagai bayi, anak, dan remaja berusia di bawah 18 tahun,
namun tidak mencakup bayi baru lahir. Bayi baru lahir didefinisikan sebagi bayi dalam
perawatan rumah sakit pertama setelah lahir, sehingga panduan ini tetap berlaku pada
neonatus berusia <30 hari yang telah pulang rawat. Bayi mencakup usia di bawah 1 tahun
sementara anak untuk usia 1 tahun hingga pubertas. Panduan untuk BHJD dewasa berlaku
untuk remaja yang telah pubertas dan lebih tua.
139
B. KONSEP UTAMA
Terdapat perbedaan penting pada epidemiologi, patofisiologi, dan etiologi tersering
dari henti jantung pada anak dengan henti jantung pada neonatus dan dewasa. Henti
jantung pada bayi dan anak umumnya bukan akibat langsung dari gangguan jantung,
namun merupakan komplikasi gagal napas atau syok berkelanjutan. Henti jantung pada
pasien anak umumnya didahului oleh perburukan yang berakhir pada kegagalan jantung-
paru, bradikardia, hingga henti jantung. Gangguan jantung sebagai penyebab utama
umumnya ditemukan pada anak dengan penyakit jantung bawaan.
Luaran untuk IHCA pediatri telah meningkat dalam dua dekade terakhir, sebagian
karena telah diterapkannya metode untuk deteksi dini, RJP berkualitas tinggi, perawatan
pasca henti jnantung, dan RJP ekstrakorporeal. Saat ini, kasus henti jantung lebih sering
ditemui di ruang rawat intensif (ICU), mengindikasikan bahwa pasien yang berisiko henti
jantung telah dapat diidentifikasi lebih awal dan dipindahkan ke ruangan dengan
pengawasan lebih ketat.
Di sisi lain, tingkat kelangsungan hidup pada pasien OHCA belum sebaik yang
diharapkan. Analisis registri OHCA multisenter terbaru dari Resuscitation Outcomes
Consortium Epidemiological Registry menunjukkan bahwa pada OHCA pediatri, angka
kelangsungan hidup hingga pulang rawat berkisar 6,7% hingga 10,2% sepanjang periode
2007-2012, bergantung pada daerah dan usia pasien. Angka ini tidak berubah signifikan
pada tahun-tahun terakhir, serupa dengan catatan nasional di berbagai negara seperti
Jepang, Australia, dan Selandia Baru. Studi yang sama menunjukkan angka kesintasan
OHCA lebih tinggi ketika terdapat paramedis pada saat henti jantung dan pemberian RJP
pengamat dengan laju lebih tinggi. Hal ini deteksi dini dan tatalaksana segera pada pasien
OHCA.
140
Gambar 11.1. Algoritma Henti Jantung Pasien Anak
141
Tatalaksana VF/pVT
Risiko VF/pVT meningkat selama anak-anak dan remaja, walaupun masih lebih jarang
dibandingkan dewasa. Henti jantung dengan irama inisial VF/pVT memiliki tingkat
kelangsungan hidup hingga pulang rawat dan fungsi neurologis yang lebih baik
dibandingkan henti jantung dengan irama inisial yang tidak dapat didefibrilasi. Irama yang
dapat didefibrilasi dapat muncul sebagai irama inisial saat henti jantung (VF/pVT primer)
atau muncul saat upaya resusitasi (VF/pVT sekunder). Defibrilasi adalah tatalaksana
definitif untuk VT/pVF. Semakin pendek durasi VF/pVT, semakin mungkin defibrilasi akan
menyebabkan irama perfusi. Baik defibrilator manual maupun DEO dapat digunakan
untuk menatalaksana VF/pVT pada anak, namun defibrilator manual lebih dipilih karena
dosis kejut dapat dititrasi sesuai berat badan pasien. DEO memiliki spesifisitas tinggi
dalam mengidentifikasi irama yang dapat didefibrilasi pada pediatri. Defibrilator bifasik
lebih direkomendasikan daripada monofasik karena menyebabkan terminasi VF/pVT
dengan dosis lebih rendah dan memiliki efek samping lebih sedikit. Kebanyakan DEO
didesain untuk mengurangi dosis defibrilasi agar cocok untuk bayi dan anak di bawah 8
tahun.
142
Pemberian Obat-Obatan Selama RJP
Agen vasoaktif seperti epinefrin digunakan selama henti jantung untuk memicu
kembalinya sirkulasi spontan dengan optimalisasi perfusi koroner dan mempertahankan
perfusi serebral, namun keuntungan dan waktu pemberian yang optimal masih belum
diketahui dengan pasti. Agen antiaritmia mengurangi risiko fibrilasi ventrikel (VF) dan
takikardia ventrikel tanpa nadi (pVT) berulang setelah defibrilasi, sehingga mungkin dapat
meningkatkan keberhasilan defibrilasi. Data saat ini tidak mendukung penggunaan rutin
sodium bikarbonat maupun kalsium dalam henti jantung. Meskipun begitu, pada kondisi
khusus seperti imbalans elektrolit dan keracutan obat-obatan tertentu, pemberiannya
tetap diindikasikan.
Dosis untuk anak didasarkan pada berat badan, yang acapkali sulit dinilai pada kondisi
gawat darurat. Untuk itu, terdapat beberapa metode estimasi berat badan yang dapat
digunakan.
143
Tatalaksana dan Pemantauan Pasien dalam Perawatan Pasca Henti Jantung
Dalam hitungan hari setelah keberhasilan resusitasi, dapat muncul “sindrom pasca
henti jantung”. Sindrom ini terdiri dari cedera otak, iskemia sistemik dan respons
reperfusi, disfungsi miokard, dan patofisiologi presipitasi henti jantung awal yang
persisten. Cedera otak pasca henti jantung menurunkan toleransi otak akan iskemia,
hiperemis, dan edema sehingga mengarah pada penyebab utama terjadinya morbiditas
dan mortalitas pada dewasa dan anak. Pelayanan pasca henti jantung pada pediatri fokus
untuk meningkatkan ketahanan hidup dan hasil neurologis yang baik dengan dengan cara
mengantisipasi, mengidentifikasi, dan menatalaksana perubahan fisiologi yang kompleks
ini.
Targeted temperature management (TTM) merujuk pada pemantauan dan penjagaan
suhu pasien secara berkelanjutan untuk tetap pada rentang tertentu. Seluruh bentuk TTM
harus mencegah terjadinya demam. Pada kondisi hipotermik, TTM mencegh sindroma
reperfusi denngan menurunkan kebutuhan metabolik, menurunkan apoptosis, dan
mengurangi produksi radikal bebas. Identifikasi dan tatalaksana perburukan yang
mungkin terjadi sangat penting karena dapat berefek pada hasil yang diharapkan.
Perburukan yang mungkin terjadi dapat berupa demam, kejang, hipotensi, cedera ginjal
akut, dan abnormalitas pada ventilasi, oksigenasi, serta elektrolit.
144
saraf, maupun serum biomarker bila diambil secara terpisah maka hanya memberikan
prognosis dengan akurasi yang standar.
145
Pemulihan Pasien Pasca Henti Jantung
Pasien pasca henti jantung memiliki risiko yang signifikan terhadap peningkatan
morbiditas neurologis, kognitif, fisik baik jangka pendek maupun panjang, emosional, dan
sosial. Beberapa pasien pasca henti jantung akan memiliki gangguan neuropsikologi yang
lebih ringan apabila berhasil bertahan setelah henti jantung dengan hasil yang
“memuaskan”. Pada pasien anak, perkembangan yang terganggu sebagai dampak penuh
dari cedera otak yang dialami tidak akan terlihat penuh hingga beberapa bulan atau tahun
setelah pasien mengalami henti jantung. Secara lebih lanjut, dampak dari morbiditas yang
terjadi pada anak tidak hanya berdampak pada anak, tapi juga pada anggota keluarga
yang mengasuh anak tersebut.
Pada rantai kelangsungan hidup, pemulihan termasuk dalam bagian ke enam yang
diakui bahwa pasien pasca henti jantung yang selamat dapat membutuhkan pelayanan
medis terintegrasi secara berkelanjutan, pengasuh, rehabilitasi, dan dukungan komunitas
hingga beberapa bulan dan tahun setelah pasien mengalami henti jantung. Pentingnya
mempelajari dampak neurologis jangka panjang dan hubungannya dengan kesehatan
serta kualitas hidup seseorang telah menjadi sorotan pada pernyataan ilmiah terbaru dari
AHA dan ILCOR.
146
memberikan penjelasan mengenai henti jantung pasien, diagnosis genetik dapat
mengidentifikasi penyakit jantung yang diturunkan, seperti kardiomiopati, sehingga
memungkinkan skrining dan tindakan pencegahan untuk keluarga.
148
tindakan penyelamatan pada pasien yang mengalami gagal napas dikarenakan overdosis
opioid, dapat diberikan nalokson.
Beberapa penyebab kematian pada bayi dan anak adalah mati lemas karena saluran
napas mengalami obstruksi benda asing maupun keracunan. Penyebab tersering
terjadinya obstruksi benda asing pada saluran napas anak adalah balon, makanan
(hotdog, kacang, anggur) dan obyek kecil lainnya. Sedangkan penyebab tersering
terjadinya obstruksi benda asing pada saluran napas bayi adalah cairan. Penting untuk
membedakan apakah pasien mengalami obstruksi benda asing pada saluran napas yang
parah hingga pasien tidak dapat bersuara sama sekali, atau pasien mengalami obstruksi
benda asing pada saluran napas yang ringan dimana pasien masih dapat batuk ataupun
bersuara. Hal ini dikarenakan pada pasien dengan obstruksi benda asing pada saluran
napas yang parah akan segera memerlukan intervensi, sementara pasien dengan
obstruksi benda asing pada saluran napas yang ringan dapat dibantu untuk mengeluarkan
benda asing tersebut secara batuk.
Intubasi
Pada intubasi pediatri, cukuplah penting untuk memilih peralatan dan obat-obatan
yang tepat. Secara anatomis normal, penyempitan saluran napas pada pediatrik terletak
di bawah pita suara, sehingga pada bagian distal terbentuk sebuah tanda anatomis yang
membuat penggunaan uncuffed ETT pada pediatrik lebih disarankan. Penggunaan
uncuffed ETT ini tidak disarankan untuk diganti menjadi cuffed ETT pada keadaan dimana
anak-anak dengan keadaan respirasi yang buruk. Kelebihan cuffed ETT adalah
meningkatkan tekanan dan volume tidal, menurunkan kebutuhan untuk penggantian ETT,
dan meningkatkan akurasi kapnografi. Namun cuffed ETT dapat merukan mukosa saluran
pernapasan karena memiliki tekanan yang tinggi pada bagian cuff. Beberapa studi yang
telah mencoba mengidentifikasi mengenai penggunaan ETT ini kemudian menyarankan
untuk menurunkan jumlah penggantian tube denga cara memilih ukuran tube dan
tekanan inflasi cuff secara tepat yang pada akhirnya dapat menurunkan risiko terjadinya
trauma saluran napas.
Intubasi merupakan suatu prosedur yang memiliki risiko tinggi. Selama melakukan
prosedur intubasi, risiko yang diterima pasien dapat menjadi semakin tinggi bergantung
pada bagaimana hemodinamik pasien, mekanik pernapasan dan keadaan saluran napas
149
pasien. Oleh sebab itu, sebelum melakukan intubasi penting adanya untuk menyediakan
peralatan resusitasi yang adekuat.
Untuk meminimalisir risiko refluks gaster ke saluran napas, selama ini telah digunkan
tekanan krikoid ketika melakukan prosedur ventilasi bag-mask dan intubasi, namun
kemungkinan terhalanginya kesuksesan prosedur ventilasi bag-mask dan intubasi
dikarenakan adanya kompresi trakea saat ini menjadi suatu pertimbangan yang cukup
menjadi perhatian.
Auskultasi suara napas, adanya kabut pada tube, maupun meningginya dada bukan
menjadi suatu acuan untuk mengkonfirmasi bahwa ETT telah terletak pada tempat yang
tepat. Hal yang tepat dilakukan untuk mengkonfirmasi adalah dengan menggunakan
colometric detector or capnograpghy (ETCO2). Namun penggunaan ETCO2 ini tidak dapat
menjadi acuan utama jika pasien mengalami penurunan aliran darah paru, pasien dengan
cardiac output yang rendah, ataupun pasien dengan henti jantung.
Tatalaksana Bradikardi
Bradikardi, dengan nadi teraba ataupun tidak, merupakan gangguan hemodinamik
yang menjadi pertanda akan terjadinya henti jantung. Contoh bradikardi yang
membutuhkan evaluasi dengan segera adalah bradikardi dengan nadi kurang dari 60 kali
per menit untuk menghindari gangguan kardiopulmonal lebih lanjut. Memperbaiki
saluran napas, ventilasi, dan oksigenasi merupakan tatalaksana inisial pada pasien
pediatri dengan gangguan kardiopulmonal yang membutuhkan evaluasi etiologi dan
tatalaksana dengan segera. RJP harus segera dimulai jika bradikardi dengan gangguan
kardiopulmonal muncul meskipun oksigenasi dan ventilasi masih efektif. Anak-anak yang
menerima RJP untuk bradikardi sebelum mengalami henti nadi berpotensi memiliki hasil
yang lebih baik. Faktor-faktor yang berkontribusi pada bradikardia dan dapat diperbaiki
harus diidentifikasi dan segera diobati. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah
hipoksia, hipotensi, hipoglikemia, hipotermia, asidosis, atau keracunan.
150
Gambar 11.4. Algoritma Bradikardi Pediatrik dengan Nadi
151
Takiaritmia
Takiaritmia kompleks sempit yang teratur (durasi QRS 0,09 detik atau kurang)
dapat terjadi karena beberapa mekanisme, diantaranya adalah takikardia atrium ektopik
dan fibrilasi atrium, namun penyebab paling sering adalah re-entrant circuits. Takiaritmia
biasa dengan kompleks lebar (lebih dari 0,09 detik) dapat memiliki banyak mekanisme.
Salah satu mekanisme yang termasuk adalah takikardia supraventrikular (SVT) dengan
takikardia ventrikel atau konduksi menyimpang.
Pada pasien pediatri, dampak hemodinamik dari SVT dapat bervariasi. Sebagian
kecil pasien bahkan mengalami gangguan kardiovaskular (tanda-tanda syok, perubahan
status mental, hipotensi). Pada pasien dengan kondisi stabil, manuver vagal sering
digunakan untuk memberhentikan re-entrant SVT yang terjadi. Pada bayi dan anak-anak
dengan denyut nadi teraba yang tidak merespon manuver vagal, adenosin tetap menjadi
obat pilihan untuk mengobati SVT. Konsul dengan ahli merupakan hal yang penting untuk
mendiagnosis etiologi dan menyesuaikan pengobatan pada pasien dengan takikardia
kompleks-lebar yang stabil secara hemodinamik dan pasien yang mengalami SVT namun
kambuh kembali setelah pengobatan awal yang berhasil.
Kardioversi tersinkronisasi harus dipertimbangkan pada pasien dengan SVT yang
tidak stabil secara hemodinamik atau takikardia kompleks lebar.
152
Gambar 11.5. Algoritma Takikardi dengan Nadi.
153
Tatalaksana Miokarditis dan Kardiomiopati
Miokarditis fulminan dapat menyebabkan penyakit sistem konduksi, termasuk
blok jantung lengkap; dan aritmia supraventrikular atau ventrikel yang persisten;
penurunan curah jantung dengan gangguan organ, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan henti jantung. Miokarditis dapat disalah artikan dengan gejala penyakit lain
yang lebih umum karena pasien dapat datang dengan gejala nonspesifik seperti nyeri
perut, diare, muntah, atau kelelahan. Diagnosis dini dan intervensi cepat, termasuk
pemantauan dan terapi ICU merupakan hal-hal yang dapat mengoptimalkan hasil yang
lebih baik pada pasien. Pada pasien dengan miokarditis fulminant, blok jantung dan ektopi
ventrikel multifokal dengan onset tiba-tiba harus dianggap sebagai keadaan pre-arrest.
Pemindahan pasien segera ke pusat yang mampu menyediakan dukungan hidup
ekstrakorporeal (ECLS) atau dukungan peredaran darah mekanis (MCS), seperti alat bantu
ventrikel temporer atau implantasi merupakan hal yang direkomendasikan karena
perawatan dengan obat-obatan eksternal atau intrakardiak maupun antiaritmia mungkin
tidak berhasil.
Kardiomiopati dilatasi, kardiomiopati restriktif, kardiomiopati hipertrofik, dan
bentuk kardiomiopati lain-lain (jarang terjadi) meliputi displasia ventrikel kanan
aritmogenik, mitokondria dan kardiomiopati nonkompaksi ventrikel kiri, merupakan
penyebab non-infeksi dari kardiomiopati pada anak-anak. Pasien kardiomiopati yang
telah menjalani MCS sebelumnya dalam bentuk ECMO, alat bantu ventrikel perkutan
jangka pendek, atau alat bantu ventrikel implan jangka panjang sebelum atau selama
serangan jantung, dapat datang dengan gagal jantung dekompensasi akut yang refrakter
terhadap ventilasi mekanik dan pemberian vasoaktif.
ECLS dapat menyelamatkan nyawa ketika dilakukan sebelum serangan jantung
pada pasien yang memiliki status klinis memburuk atau aritmia ventrikel yang terus-
menerus. ECLS juga memberikan kesempatan untuk membantu pemulihan miokard,
weaning dukungan inotropik, dan jika diperlukan dapat berfungsi sebagai jembatan untuk
transplantasi jantung. Penggunaan ECLS dan MCS, dengan kemungkinan besar pemulihan
fungsi miokard sebagian atau seluruhnya, telah dinilai meningkatkan hasil dari miokarditis
akut.
154
Resusitasi Pasien dengan Ventrikel Tunggal
Penyakit jantung kongenital pediatrik memiliki kompleksitas dan variabilitas
tersendiri sehingga menimbulkan tantangan unik selama resusitasi. Serangkaian operasi
paliatif bertahap biasanya dijalani oleh anak-anak dengan penyakit jantung ventrikel
tunggal. Selama periode neonatal dapat dilakukan prosedur paliatif pertama dengan
beberapa tujuan yaitu (1) tidak terhalangnya aliran darah sistemik, (2) memungkinkan
mixing tingkat atrium dengan menciptakan komunikasi atrium yang efektif, dan (3) untuk
mencegah sirkulasi berlebih serta menurunkan beban volume pada ventrikel sistemik
dengan mengatur aliran darah paru (Gambar 14). Selama tahap kedua paliatif, untuk
membantu redistribusi aliran balik vena sistemik langsung ke sirkulasi paru, maka
anastomosis kavopulmoner superior, atau operasi dua arah Glenn/semi-Fontan,
dilakukan untuk membuat anastomosis (Gambar 15). Fontan adalah paliasi terakhir, di
mana pembuatan preload ventrikel tunggal (sistemik) bergantung pada aliran pasif
melintasi dasar vaskular paru dengan cara aliran darah vena kava inferior disimpangkan
langsung ke sirkulasi paru (Gambar 16).
Risiko serangan jantung meningkat pada neonatus dan bayi dengan fisiologi
ventrikel tunggal dikarenakan adanya (1) volume overload yang menyebabkan
peningkatan kerja miokard, (2) ketidakseimbangan aliran darah sistemik relatif (Qs) dan
aliran darah paru (Qp), dan (3) potensi oklusi pirau. Pada resusitasi mungkin memerlukan
kontrol resistensi pembuluh darah paru, oksigenasi, resistensi pembuluh darah sistemik,
atau ECLS tergantung pada tahap perbaikan yang terjadi.
155
Gambar 11.6. Tahap I paliatif untuk ventrikel tunggal dengan Norwood repair dan
Blalock-Taussig Shunt dari arteri subklavia kanan ke arteri pulmonalis kanan atau shunt
Sano dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis
Gambar 11.7. Paliasi tahap II untuk ventrikel tunggal dengan bidirectional Glenn shunt
yang menghubungkan vena kava superior ke arteri pulmonalis kanan
156
Gambar 11.8. Tahap III paliasi ventrikel tunggal Fontan dengan saluran ekstrakaradiak
yang menghubungkan vena kava inferior ke arteri pulmonalis kanan.
Rekomendasi untuk Tatalaksana Anak dengan Hipertensi Pulmonal
Hipertensi pulmonal yang dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan
merupakan penyakit langka pada bayi dan anak-anak. Pada sebagian besar pasien anak-
anak, hipertensi paru bersifat idiopatik atau berhubungan dengan penyakit jantung
bawaan, penyakit paru kronis, maupun kondisi lain seperti penyakit tromboemboli atau
jaringan ikat. Hipertensi pulmonal memiliki morbiditas dan mortalitas yang substansial
dan terjadi pada 2% sampai 20% pasien setelah operasi penyakit jantung bawaan. Sebesar
0,7% sampai 5% dari semua pasien bedah kardiovaskular mengalami hipertensi pulmonal
pasca operasi. Hipertensi pulmonal juga terjadi pada 2% sampai 5% pasien anak setelah
operasi jantung. Krisis hipertensi paru adalah peningkatan tekanan arteri pulmonalis
secarra akut dan cepat dalam tekanan arteri pulmonalis disertai dengan kegagalan
jantung sisi kanan (ventrikel tunggal). Selama krisis hipertensi pulmonal, terjadi
peningkatan afterload pada ventrikel kanan dan ventrikel kanan gagal, sehingga
menghasilkan kebutuhan oksigen miokard yang meningkat dan pada saat yang
bersamaan tekanan perfusi koroner dan aliran darah koroner menurun. Penurunan aliran
darah paru dan penurunan pengisian jantung sisi kiri pun terjadi karena adanya
peningkatan tekanan ventrikel kiri dan ventrikel kanan, yang pada akhirnya
mengakibatkan penurunan curah jantung. Untuk meningkatkan fungsi ventrikel kanan
dapat diberikan agen inotropik, dan untuk mengobati hipotensi sistemik serta
157
meningkatkan tekanan perfusi arteri koroner, dapat diberikan vasopresor. Dengan
adanya pirau anatomis kanan-ke-kiri yang memungkinkan preload ventrikel kiri
dipertahankan tanpa aliran darah paru, hal ini dapat meningkatkan keadaan pasien
setelah serangan jantung terjadi. Krisis hipertensi pulmonal ini mengancam nyawa dan
dapat menyebabkan iskemia miokard, serangan jantung, hipotensi sistemik, dan pada
akhirnya kematian. Pemantauan dan pengelolaan kondisi asidosis dan hipoksemia secara
cermat sangat penting dalam pengelolaan hipertensi pulmonal karena kedua hal in sama-
sama merupakan vasokonstriktor paru yang kuat. Perawatan juga harus mencakup
pemberian sedatif, relaksan otot, dan analgesik yang memadai. Vasodilator paru
digunakan untuk mencegah dan mengobati krisis hipertensi pulmonal. Termasuk
vasodilator paru diantaranya adalah oksida nitrat inhalasi, prostasiklin inhalasi, analog
prostasiklin inhalasi dan intravena, dan inhibitor fosfodiesterase tipe V intravena dan oral
(misalnya sildenafil).
158
REFERENSI
1. Topjian, A. A., Raymond, T. T., Atkins, D., Chan, M., Duff, J. P., Joyner, B. L.,
... & Schexnayder, S. M. (2021). Part 4: Pediatric Basic and Advanced Life
Support 2020 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Pediatrics,
147(Supplement 1).
2. Sutton, R. M., Niles, D., Nysaether, J., Abella, B. S., Arbogast, K. B., Nishisaki,
A., ... & Nadkarni, V. (2009). Quantitative analysis of CPR quality during in-
hospital resuscitation of older children and adolescents. Pediatrics, 124(2),
494-499.
3. International Liaison Committee on Resuscitation. (2006). The International
Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR) consensus on science with
treatment recommendations for pediatric and neonatal patients: pediatric
basic and advanced life support. Pediatrics, 117(5), e955-e977.
4. Kleinman, M. E., De Caen, A. R., Chameides, L., Atkins, D. L., Berg, R. A., Berg,
M. D., ... & Wessel, D. (2010). Part 10: pediatric basic and advanced life
support: 2010 international consensus on cardiopulmonary resuscitation
and emergency cardiovascular care science with treatment
recommendations. Circulation, 122(16_suppl_2), S466-S515.
5. De Caen, A. R., Maconochie, I. K., Aickin, R., Atkins, D. L., Biarent, D.,
Guerguerian, A. M., ... & Were, W. M. (2015). Part 6: pediatric basic life
support and pediatric advanced life support: 2015 international consensus
on cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care
science with treatment recommendations. Circulation, 132(16_suppl_1),
S177-S203.
6. Maconochie, I. K., de Caen, A. R., Aickin, R., Atkins, D. L., Biarent, D.,
Guerguerian, A. M., ... & Were, W. M. (2015). Part 6: pediatric basic life
support and pediatric advanced life support: 2015 international consensus
on cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care
science with treatment recommendations. Resuscitation, 95, e147-e168.
7. Atkins, D. L., Berger, S., Duff, J. P., Gonzales, J. C., Hunt, E. A., Joyner, B. L., ...
& Schexnayder, S. M. (2015). Part 11: pediatric basic life support and
cardiopulmonary resuscitation quality: 2015 American Heart Association
guidelines update for cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care. Circulation, 132(18_suppl_2), S519-S525.
———»»»œ«««———
159