Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep dasar Tuberculosis Paru (TBC)


2.1.1 Definisi Tuberculosis Paru
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit menular yang sebagian
besar disebabkan kuman mycobacterium tuberculosis. Kuman tesebut
biasanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan ke
dalam paru, kemudian kuman tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian
tubuh lain melalui sistem peredaran, sistem saluran limfa, melalui saluran
(bronchus) atau penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya. Penyakit
ini umumnya menimbulkan tanda-tanda dan gejala yang sangat bervariasi
pada masing-masing penderita, mulai dari tanpa gejala hingga gejala yang
sangat akut (Sarmen, FD, & Suyanto, 2017).

2.1.2. Etiologi
Menurut (Halim, 2017) Sebagaimana telah diketahui, tuberculosis
paru disebabkan oleh hasil TB (mycobacterium tuberculosis) yaitu
mycobacterium tuberculosis mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan
asam, kuman ini disebut dengan Basil Tahan Asam (BTA). Jika bakteri-
bakteri lain hanya memerlukan beberapa menit sampai 20 menit untuk sel
tunggal yang membelah, basil TB memerlukan waktu 12 sampai 24 jam
untuk membelah diri. Basil TB sangat rentang terhadap sinar matahari,
sehingga dalam beberapa menit saja basil TB akan mati. Kerentangan ini
terutama karena terkena sinar ultra violet. Sehingga dalam 2 menit saja
basil TB yang berada dalam lingkungan basah yang terkena air yang
bersuhu 100◦C. Basil TB juga akan terbunuh dalam beberapa menit.

5
6

2.1.3. Epidemiologi Tuberculosis pada anak


Menurut (Subuh & Priohutomo, 2014) TB pada anak adalah
penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Cara penularan TB
pada anak adalah sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif,
baik dewasa maupun anak. Anak yang terkena TB tidak selalu
menularkan pada orang sekitarnya, kecuali anak tersebut BTA positif
atau menderita adult type TB.
Faktor resiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat
penularan, lama pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA
positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada
pasien TB dengan BTA negatif. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih
memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien
TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur
positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan
foto Thoraks positif adalah 17% (Subuh & Priohutomo, 2014).
Beban kasus TB anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya
alat diagnostik yang “child-friendly” dan tidak adekuatnya sistem
pencatatan dan pelaporan kasus TB anak. Diperkirakan banyak anak
menderita TB yang tidak mendapatkan penatalaksanaan yang tepat dan
benar sesuai dengan ketentuan strategi DOTS. Kondisi ini akan
memberikan peningkatan dampak negatif pada morbiditas dan mortalitas
anak (Subuh & Priohutomo, 2014).
Data TB anak Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB anak di
antara semua kasus TB pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi,
menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini
menunjukkan kualitas diagnosis TB anak yang masih sangat bervariasi pada
level provinsi. Kasus TB anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4
tahun dan 5-14 tahun, dengan data jumlah kasus pada kelompok umur 5-4
tahun yang lebih tinggi dari kelompok umur 0-4 tahun. Sesuai dengan
epidemiologinya, seharusnya jumlah kasus TB pada kelompok umur 0-4
tahun lebih tinggi dari kelompo umur 5-14 tahun. Kasus BTA positif pada
TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak, sedangkan
7

tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%. (Subuh &
Priohutomo, 2014)

2.1.4. Patofisiologi dan patogenesis


1. Tuberculosis Primer
Menurut (Halim, 2018) Pada seseorang yang belum pernah
kemasukan hasil TB, Tes tuberkulin akan negatif karena sistem
imunologi belum terkontaminasi oleh bakteri TB. Bila seseorang
mengalami infeksi oleh basil TB, walaupun sudah difogositosis oleh
magrofag, Basil TB tidak akan mati. Basil TB dapat berkembang pesat
selama 2 minggu dan minggu pertama di alveolus paru, dengan
kecepatan 1 basil menjadi 2 bagian selama 20 jaam, sehingga dengan
infeksi oleh 1 basil selama 2 minggu basil bertambah menjadi 100.000.

Secara klinis, sifat ini dikenal dengan reaksi tuberkulin (sering juga
disebut dengan tes Mantoux ), tes Mantoux bertujuan untuk memeriksa
apakah seseorang itu pernah terinfeksi basil TB, sistem imunitas seluler
belum terangsang untuk melawan basil TB, dalam keadaan normal,
sistem ini sudah 1 minggu terangsang secara efektif 3-8 minggu setelah
infeksi primer (Crofton, 2017).
Dalam waktu kurang dari 1 jam setelah berhasil masuk ke dalam
alveoli, sebagian basil TB akan terangkut oleh aliran limfe ke dalam
kelenjar-kelenjar limfe original dan sebagian akan masuk kedalam aliran
darah. Kombinasi tuberkel dalam paru dan limfadenitis regional disebut
dengan kompleks primer. Biasanya suatu lesi primer TB mengalami
penyembuhan spontan dengan atau tanpa adanya klasifikasi (Halim,
2017).
Penyebaran TB primer yang mengikuti suatu pola tertentu yang
meliputi empat tahap yaitu tahap pertama terjadi rata-rata 3-8 minggu
setelah masuknya kuman, memberikan test tuberculin yang positif, disertai
demam dan pada fase positif terbentuk kompleks primer. Tahap kedua
Berlangsung pada waktu rata-rata 3 bulan (1-8 bulan sejak pertama basil TB
masuk. Tahap ketiga terjadi rata-rata dalam waktu 3-7 bulan (1-12
8

bulan), pada fase ini terjadi penyebaran infeksi ke pleura. Tahap keempat
terjadi rata-rata dalam waktu 3 tahun ( 1-6 tahun ), terjadi setelah
kompleks primer mereda (Halim, 2017).

2. Tuberculosis sekunder
Dimaksud dengan TB sekunder ialah penyakit TB yang baru timbul
setelah lewat 5 tahun sejak terkena infeksi primer. Dengan demikian TB post-
primer secara internasional diberi nama TB sekunder (Halim, 2017).

2.1.5. Cara penularan tuberculosis


Sumber penularan adalah pasien TB BTA yang positif pada saat
pasien batuk-batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara.
Dalam bentuk percikan air liur yang mengandung bakteri TB. Sekali batuk
dapat menghasilkan 3000 percikan. Umumnya penularan TB terjadi di
dalam ruangan yang tidak ada ventilasinya atau tidak ada cahaya. Cara
batuk memegang peranan penting. Bila batuk ditahan basil yang akan
keluar sedikit, apalagi disaat pasien batuk menutup mulut dengan
menggunakan tissue daya penularan seorang pasien ditentukan oleh
banyaknya kuman yang dikeluarkan. Makin tinggi derajat kepositifan
makin besar penularannya (Kementrian Kesehatan RI, 2011).

2.1.6. Manifestasi Klinik


Manifestasi Menurut (Nair & Peate, 2014) : (a) Hemoptisis atau batuk
darah merupakan masalah kesehatan yang berpotensi menyebabkan kematian
karena sulit diprediksi tingkat keparahan dan perkembangan klinisnya (b)
Penurunan berat badan (c) Pireksia ( demam ) merupakan suatu keadaan suhu
tubuh diatas normal sebagai akibat peningkatan pusat pengatur suhu
dihipotalamus. Sebagian besar demam pada anak merupakan akibat dari
perubahan pada pusat panas (termoregulasi) di hipotalamus. Penyakit-
penyakit yang ditandai dengan adanya demam dapat menyerang
9

system imun tubuh. Selain itu demam mungkin berperan dalam


meningkatkan perkembangan imunitas spesifik dan nonspesifik dalam
membantu pemulihan atau pertahanan terhadap infeksi (d) Keletihan (e)
Keringat malam
Ketika individu pertama kali terinfeksi, biasanya pada lobus atas,
limfosit dan neutrofil berkumpul pada bagian yang mengalami infeksi.
Basilus kemudian terperangkap dan terpecah oleh jaringan fibrosa. Fase
TB ini disebut dengan infeksi primer dan individu yang terinfeksi sering
asimtomatik dan tidak sadar. Pada beberapa saat setelah itu, pajanan
kembali terhadap TB atau bakteri lain menyebabkan infeksi sekunder.
Basilus kemudian diaktifkan kembali dan mulai menggandakan diri,
setelah itu pasien mengalami simtomatik dan infeksius. Basilus sangat
kuat dan dapat bertahan ketika terperangkap dalam jaringan fibrosa selama
waktu yang lama. Individu dapat tetap tidak sadar ketika mereka
mengalami TB selama bertahun-tahun (Nair & Peate, 2014).
Insiden TB tumbuh di seluruh dunia dan peningkatannya berkaitan
dengan peningkatan perjalanan internasional, imigrasi, dan kemiskinan.
Akan tetapi TB dapat ditangani dengan menggunakan rawat jalan selama 6
bulan berturut-turut dengan kombinasi antibiotik. Karena peningkatan
strain resistan obat terhadap TB, aspek utama perawatan adalah
pengendalian infeksi dan pemeliharaan kepatuhan. Tuberculosis sering di
julukan dengan nama the great iminator yaitu suatu penyakit yang
mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain seperti gejalanya
demam dan lemah. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas
sehingga diabaikan. (Nair & Peate, 2014).
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu gejala
respiratorik meliputi batuk, gejala batuk timbul paling dini dan merupakan
gangguan yang paling sering dikeluhkan oleh penderita TB. Batuk darah,
darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, ada yang berupa garis dan
ada yang berupa bercak-bercak. Sesak nafas, gejala ini ditemukan bila
kerusakan parenkim paru sudah luas karena ada hal yang menyertai seperti
efusi pleura, pneuomothorax. Nyeri dada, nyeri dada pada penderita TB paru
10

sangatlah ringan. Gejala sistemik meliputi demam, merupakan gejala yang


sering dijumpai biasanya timbul pada sore sampai malam hari mirip
dengan demam influenza. Gejala sistemik lain seperti keringat dingin di
tengah malam, anoreksia, penurunan berat badan secara malaise (Nair &
Peate, 2014).

2.1.7. Pemeriksaan penunjang


Menurut (Halim, 2017) ada beberapa pemeriksaan penunjang yang
harus dilakukan untuk mengecek apakah seseorang itu terkena bakteri
tuberkulosis.
Tes tuberkulin (Montoux) yaitu tes ini bertujuan untuk memeriksa
kemampuan reaksi hipersensitive tipe lambat, yang dianggap
mencerminkan potensi sistem imun seseorang. Pada seseorang yang belum
pernah terkena basil TB, sistem imun belum terangsang untuk melawan
basil TB. Pada anak uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling
bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi mycobacterium
tuberculosis dan sering digunakan dalam “screening tbc”. Efektifitas dalam
menemukan infeksi tbc dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%.
Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita tbc aktif uji
tuberkulin positif 100% umur 1-2 tahun 92%, 2-4 tahun 78%, 4-6 tahun
75%, dan umur 6-12 tahun 51%. Dari presentase tersebut dapat dilihat
bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang
spesifik (Halim, 2017).
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai
sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji
mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan,
disuntikkan intracutan (kedalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan
48-72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan
(indurasi) yang terjadi (a) Pembengkakan (indurasi) : 0-4 mm, uji mantoux
negatif. Arti klinis : tidak ada infeksi mycobacterium tuberculosis (b)
Pembengkakan (indurasi) : 5-9 mm, uji mantoux meragukan. Hal ini bisa
11

karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan mycobacterium atypikal atau


pasca vaksinasi BCG (b) Pembengkakan (indurasi) : >= 10 mm, uji
mantoux positif. Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi mycobacterium
tuberculosis, (b) Foto rontgen paru. Pada stadium pemula, TB akan lolos
dalam pemeriksaan jasmani, akan tetapi dengan pemeriksaan foto paru
semua basil-basil yang ada dalam paru pasti akan terlihat dengan jelas, (c)
Pemeriksaan sputum yaitu teknik pemeriksaan sputum sekarang
bermacam-macam, tetapi meskipun bermacam-macam pemeriksaannya
hanya tes sputum yang hanya ampuh untuk melihat apakah ada basil TB di
dalam paru-paru. Selain sputum, spesimen lain yang harus diperiksa adalah
sekret bronkus. Nilai tertinggi dalam pemeriksaan sputum adalah hasil
pembenihan yang positif. Oleh sebab itu, diambil praktiknya sekali sputum
BTA (+) sudah dianggap untuk menentukan diagnosa tuberculosis (Halim,
2017).

2.1.8 Penatalaksanaan
Menurut (Astuti & Rahmat, 2010) Terapi anti tuberculosis berikut ini
merupakan terapi obat anti tuberculosis pada anak yaitu isonazid (INH) Obat
ini bekerja berdifusi ke dalam semua jaringan dan cairan tubuh, dan efek yang
amat merugikan sangat rendah. Obat ini diberikan melalui oral atau
intramuskuler (a) Rifampin (RIF) Obat ini merupakan obat kunci pada
manajemen terapi tuberculosis modern. RIF diserap dengan baik di saluran
pencernaan selama puasa. Obat ini bekerja dengan berdisfusi luas ke dalam
jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal. Obat RIF diekskresi
utama melalui saluran empedu. Obat RIF diberikan melalui oral dan intra
vena. RIF tersedia dalam takaran 150 mg dan 300 mg sesuai berat badan
anak. Suspensi dapat digunakan sebagai pelarut tetapi tidak boleh diminum
bersamaan dengan makanan karena malabsorpsi. Kadar puncak serum dicapai
dalam waktu 2 jam. Efek samping RIF adalah terjadinya perubahan warna
orange pada urin dan air mata, gangguan saluran pencernaan, dan
hepatotoksisitas, hal ini muncul karena peningkatan kadar
12

transaminase serum namun tidak menimbulkan keluhan pada penderita


tuberculosis (Halim, 2017).
Pirazinamid (PZA) Dosis optimum obat ini pada anak belum
diketahui. Reaksi hipersensitivitas jarang pada anak. Satu-satunya bentuk
dosis PZA adalah tablet dengan dosis 500 mg sehingga menimbulkan
masalah dosis pada anak terutama bayi. Tablet ini dapat dihancuran dan
diberikan bersamaan dengan makanan (Halim, 2017).
Etambutol (EMB) Kemungkinan toksisitas etambutol terjadi pada
mata. Dosis bakteriostatik adalah 15 mg/kg/24 jam, tujuannya untuk
mencegah munculnya resistensi terhadap obat lain. Kemungkinan
toksisitas utama obat ini adalah neuritis optik. Etambutol tidak dianjurkan
untuk penggunaan umum pada anak yang muda karena pemeriksaan
penglihatannya tidak mendapatan hasil yang tepat tetapi harus dipikirkan
pada anak dengan tuberculosis terjadi resistensi obat, bila obat lain tidak
dapat digunakan sebagai terapi (Halim, 2017).
Terapi antibiotik yang diberikan pada anak dengan tuberculosis
yaitu Streptomisin, streptomisin kurang sering digunakan pada anak yang
menderita tuberculosis paru, tetapi obat ini penting untuk pengobatan dan
pencegahan resistensi obat. Obat ini harus diberikan dengan cara melalui
injeksi intamuskular. Obat ini bekerja dapat menembus meningen yang
mengalami peradangan. Toksisitas streptomisin yaitu terjadi pada
vestibuler dan saraf kranial 8 auditorius, tetapi toksisitas pada ginjal jarang
terjadi (Halim, 2017).

2.1.9 Pengobatan TB pada anak


Menurut (Subuh & Priohutomo, 2014) Tatalaksana medikamentosa
TB anak terdiri dari terapi (pengobatan dan profilaksis (pengobatan
pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan
profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer)
atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
13

Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB anak adalah obat TB


diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi .
Pemberian gizi yang adekuat, mencari penyakit penyerta, jika ada
ditatalaksana secara bersamaan (Subuh & Priohutomo, 2014).
Panduan OAT anak prinsip pengobatan TB anak OAT diberikan
dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler.
Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. Pemberian obat jangka panjang
selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya kekambuhan (Subuh & Priohutomo, 2014).
Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap tahap awal, selama
2 bulan pertama, pada tahap intensif, diberikan minimal 3 macam obat,
tergantung hasil pemeriksaan bekteriologis dan berat ringannya penyakit.
Tahap lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil
pemeriksaan bakteriorologis dan berat ringannya penyakit. Selama tahap
awal dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk mengurangi
ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak
diminum setiap hari (Subuh & Priohutomo, 2014).
Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik paru maupun
ekstra paru seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain dirujuk
ke fasilitas kesehatan rujukan tindak lanjut. Pada kasus TB tertentu yaitu TB
milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis TB dan
peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg
BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal predinosone adalah 60
mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis
penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan
pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah
terjadi perlekatan jaringan (Subuh & Priohutomo, 2014).
14

2.2 Upaya Orang Tua


2.2.1 Definisi Orang Tua
Orang tua merupakan orang yang lebih tua atau orang yang
dituakan. Namun umumnya di masyarakat pengertian orang tua itu adalah
orang yang telah melahirkan kita yaitu Ibu dan Bapak. Karena orang tua
adalah pusat kehidupan rohani anak, maka setiap reaksi emosi anak dan
pemikirannya dikemudian adalah hasil dari ajaran orang tuanya tersebut.
Sehingga orang tua memegang peranan yang penting dan amat
berpengaruh atas pendidikan anak-anak (Abdul, 2015).
Sedangkan menurut (Elfi Muawanah, 2012) upaya adalah usaha
yang dilakukan secara sistematis berencana terhadap tujuan permasalahan.
Usaha tersebut berupa tindakan dalam memecahkan permasalahan dan
mencari jalan keluar demi tercapainya tujuan yang telah ditentukan.
Berdasarkan keterangan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa upaya
orang tua merupakan usaha atau cara orang tua untuk merealisasikan apa
yang diinginkan. Dalam hal ini tentunya berkaitan dengan usaha atau cara
yang dilakukan orang tua dalam upaya orang tua dalam kepatuhan
pengobatan pada anak dengan penyakit tuberculosis.

2.2.2 Upaya Orang Tua


Upaya orang tua merupakan usaha atau cara orang tua untuk
merealisasikan apa yang diinginkan. Upaya perbaikan dan pengendalian pada
penderita penyakit tuberculosis menurut Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, pencegahan dan pengendalian faktor risiko tuberculosis dilakukan
dengan cara membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat, membudayakan
perilaku etika berbatuk, melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas
perumahan dan lingkungannya sesuai dengan standart rumah sehat,
peningkatan daya tahan tubuh dengan menambahkan vitamin, penanganan
penyakit penyerta tuberculosis, penerapan pencegahan dan pengendalian
infeksi tuberculosis di fasilitas pelayanan kesehatan dan di luar fasilitas
pelayanan kesehatan (Indah, 2018)
15

Resiko penularan tuberculosis pada orang tua ataupun keluarga


sangatlah beresiko, terutama pada balita dan lansia yang memiliki daya tahan
tubuh lebih rendah. Peran orang tua dalam pencegahan penularan tuberculosis
sangatlah penting, karena salah satu tugas dari orang tua adalah melakukan
perawatan bagi anggota keluarga yang sakit terutama anaknya dan mencegah
penularan pada anggota keluarga yang sehat. Disamping itu orang tua
dipandang sebagai sistem yang berinteraksi. Adapun beberapa upaya yang
dilakukan orang tua untuk pencegahan tuberculosis meliputi menjauhkan
anggota keluarga lain dari penderita tuberculosis saat batuk, menghindari
penularan melalui dahak pasien penderita tuberculosis, membuka jendela
rumah untuk pencegahan penularan tuberculosis dalam keluarga, menjemur
kasur pasien tuberculosis untuk pencegahan penularan tuberculosis dalam
keluarga (Masruroh, Rohmah, & Wicaksana, 2015)

Anda mungkin juga menyukai