Dosen pengampu:
Disusun oleh :
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui efek jangka panjang terapi perilaku kognitif pada remaja
dengan gangguan kecemasan
2. Untuk mengetahui efek yang diberikan dari penggunaan obat yang berbeda dari
GCBT dan ICBT
3. Untuk mengetahui perbedaan spesifik gangguan pada remaja yang memiliki
gangguan kecemasan SOP, GAD, dan SAD
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sebagian masalah yang dihadapi remaja saat ini disebabkan karena citra ideal
orang dewasa tentang seperti apa remaja itu seharusnya dan pesan ambivalen dari
masyarakat pada remaja. (Santrock, 2003, h.17). Salah satu wujud dari citra ideal
tersebut adalah prestasi. Hal tersebut menjadikan prestasi merupakan hal yang penting
bagi remaja, baik prestasi di sekolah, keluarga maupun di lingkungan sosial. Prestasi
bagi remaja menjadi salah satu cara dalam pencapaian identitas. Namun, banyak
tantangan dalam mencapai prestasi. Hal tersebut menjadikan perasaan cemas muncul
pada diri remaja tersebut. Coyle (dalam Nevid, 2005, h. 169) menyatakan bahwa
munculnya kecemasan menyeluruh dapat menyentuh tema-tema yang luas, seperti
ketakutan akan penolakan atau kegagalan yang dibawa pada berbagai situasi.
Ketakutan terhadap penolakan atau self-perception yang tidak adekuat dapat
digeneralisasikan pada hampir seluruh area interaksi sosial dan prestasi. Gangguan
kecemasan menyeluruh merupakan suatu keadaan yang dialami seseorang sehingga
menimbulkan perasaan cemas dan khawatir secara berlebihan dalam jangka waktu
yang cukup lama (Alloy, Riskind & Manos, 2005, h. 153-154). Kecemasan dapat
terjadi dalam berbagai situasi dan kondisi, termasuk di dalamnya adalah ketakutan
yang besar terhadap beberapa kondisi, yang kemudian dikenal dengan sebutan
gangguan kecemasan menyeluruh atau Generalized Anxiety Disorder (GAD). Maka
dari itu perlu adanya intervensi yang dilakukan untuk menangani gangguan
kecemasan menyeluruh yang terjadi pada remaja tersebut. Salah satu alternatif
intervensi yang dapat dilakukan adalah Cognitive-Behavioural Therapy. Menurut
Falsetti & Davis (dikutip Halgin &Susan, 2010, h. 215) Cognitive-Behavioural
Therapy dapat memberikan keuntungan dibandingkan dengan intervensi
psikofarmakologi dalam jangka waktu panjang. Cognitive Behavioural Therapy
menggunakan dasar asumsi pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses
rangkaian Stimulus-Kognisi-Respon (SKR) yang saling berkait dan membentuk
semacam jaringan SKR dalam otak manusia, dimana proses kognitif akan menjadi
faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa dan
bertindak. Adanya penelitian yang dilakukan untuk mengevaluasi kemanjuran jangka
panjang dari protokol CBT yang digunakan di klinik kesehatan mental komunitas
untuk remaja dengan gangguan kecemasan campuran (SAD, SOP, dan/atau GAD).
Penelitian ini menunjukkan bahwa 53% subjek kehilangan semua diagnosis
kecemasan inklusi, dan 63% kehilangan diagnosis kecemasan primer. Ukuran gejala
kecemasan menunjukkan peningkatan yang signifikan juga, tetapi tidak mengukur
gejala depresi seperti yang dilaporkan oleh anak-anak. Tidak ada perbedaan antara
ICBT dan GCBT dalam hal penilaian hasil diagnostik dan gejala. Selanjutnya, temuan
kami menunjukkan bahwa untuk remaja dengan diagnosis utama SOP saat inklusi,
risiko kehilangan diagnosis jauh lebih rendah daripada mereka yang memiliki
diagnosis utama GAD. Ketika membandingkan pasca perawatan dengan tindak lanjut
jangka panjang, analisis hasil perawatan diagnostik menunjukkan peningkatan yang
cukup besar. Pada tindak lanjut jangka panjang, hampir setengah dari remaja yang
memiliki diagnosis kecemasan utama dan/atau semua inklusi pada pasca perawatan
tidak lagi memilikinya. Selain itu, ada pengurangan yang jelas dalam gejala
kecemasan. Antara pasca perawatan dan tindak lanjut jangka panjang, analisis respons
CSR terhadap diagnosis utama pada orang muda sering menunjukkan pemeliharaan
atau peningkatan respons asli. Jadi, data secara substansial mendukung gagasan
bahwa segala sesuatunya menjadi lebih baik selama periode tindak lanjut. Studi hasil
jangka panjang lainnya, sebaliknya, mendukung pelestarian temuan pasca perawatan
daripada perbaikan.
B. Efek yang Diberikan dari Penggunaan Obat yang Berbeda dari GCBT dan
ICBT
Selanjutnya, dibandingkan dengan pasca tindak lanjut hingga jangka panjang,
peringkat keparahan klinis (CSR) dari diagnosis kecemasan primer dan perubahan
gejala kecemasan menunjukkan penurunan yang lebih besar dari sebelum ke
pasca. Akibatnya, manfaat mungkin juga terkait dengan dampak terapeutik yang
membutuhkan waktu untuk berlaku dan mungkin dihasilkan dari konsolidasi yang
lebih lama dari kemampuan belajar di antara orang-orang muda dan orang tua
mereka. Ada kekurangan waktu untuk melakukan elemen CBT penting seperti
paparan dalam rejimen terapi ini. Jika anak-anak memiliki lebih banyak waktu
untuk menggunakan kemampuan ini setelah terapi, mungkin hasil diagnostik akan
lebih baik. Pada penelitian yang dilakukan oleh tidak menemukan perbedaan
dalam hasil jangka panjang antara ICBT dan GCBT. Dengan arti ini konsisten
dengan penelitian efikasi hasil jangka panjang oleh Saavedra et al. (2010) serta
temuan dari meta-analisis studi tentang hasil jangka pendek. Hasil yang menarik
juga dilaporkan untuk ICBT dan CBT keluarga mengenai hal ini. Dengan
mengilustrasikan efek jangka panjang CBT untuk gangguan kecemasan dalam
konteks kesehatan mental komunitas dan dengan mengintegrasikan analisis
kesetaraan, hasil ini berkontribusi pada badan penelitian. Untuk diagnosis
kecemasan primer, kesetaraan antara dua format pengobatan ICBT dan GCBT
ditunjukkan dalam hal perubahan CSR, tetapi tidak untuk ukuran hasil diagnostik
dan gejala lainnya. Hasil penelitian ini dengan demikian sebagian mendukung
asumsi bahwa hasil pengobatan untuk ICBT dan GCBT adalah setara.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya SAD antara lain adalah faktor
neurokimiawi, faktor genetik, faktor karakteristik atau temperamen, faktor
sosial, serta faktor keluarga (Yaunin, 2012; Cenderlund, 2013).
1. Faktor Neurokimiawi
Penurunan neurotransmiter seperti dopamin dan serotonin ditemukan pada
penderita SAD. (Cenderlund, 2013) Kepekaan terhadap penolakan yang
merupakan salah satu situasi sosial pemicu SAD diperkirakan dipengaruhi
oleh sistem dompaminergik. Dopamin bertanggung jawab terhadap fungsi
motivasi dan dorongan pada sistem saraf pusat (Yaunin, 2012). Fungsi
dopamin dapat berupa minat sosial yang tinggi, adanya keinginan untuk
berteman dan berkumpul dengan kelompok, serta mempengaruhi
kepercayaan diri. Peningkatan neurotransmiter seperti epinefrin dan
norepinefrin juga ditemukan pada penderita gangguan kecemasan dan
diasosiasikan dengan gejala seperti palpitasi dan tremor. (Yaunuin, 2012).
2. Faktor Genetik
Hasil penelitian menemukan bahwa faktor genetik pada pasangan anak
kembar mempengaruhi terjadinya SAD sebesar 13%, dan pada 0,65%
kasus diperkirakan bahwa SAD diturunkan secara genetik. (Cenderlund,
2013) Individu dengan riwayat SAD pada keluarga tingkat pertama
beresiko tiga kali lebih besar dibandingkan individu tanpa riwayat
keluarga (Yaunin, 2012).
3. Faktor Temperamen
Faktor temperamen atau karakteristik perilaku yang stabil pada individu
dengan SAD adalah behavior inhibition atau BI. Perilaku yang ditunjukkan
pada temperamen BI adalah kewaspadaan terutama disekitar orang baru,
ketakutan, perilaku menghindar atau menarik diri, serta mencari
perlindungan pada orang yang dikenal dalam situasi tidak familiar
(Chhabra et al., 2009). Anak dengan temperamen BI biasanya akan tetap
memiliki perilaku menghindar secara sosial sampai dewasa (Cenderlund,
2013). Memiliki temperamen BI sejak usia dini meningkatkan resiko untuk
mengalami gangguan kecemasan dikemudian hari (Chhabra et al., 2009).
4. Faktor Sosial
Faktor sosial yang dapat mempengaruhi terjadinya SAD adalah tekanan
dari lingkungan terutama teman dengan usia sebaya. Tekanan tersebut
dapat berupa ancaman, penganiayaan, dan intimidasi (Oort et al., 2011;
Knappe et al., 2009). Gangguan kecemasan dapat muncul setelah dipicu
oleh kejadian traumatis (Cenderlund, 2013).
5. Faktor Keluarga
Faktor Keluarga Kecemasan sosial dipengaruhi oleh interaksi antara anak
dan keluarga terutama dengan orang tuanya (Chhabra et al., 2009). Orang
tua dengan gangguan kecemasan dapat memperparah kecemasan dan
perilaku menghindar yang dimiliki oleh anaknya. Gangguan lain pada
orang tua yang dikaitkan dengan SAD pada anak adalah depresi dan
ketergantungan alcohol. Gaya asuhan juga menjadi faktor penting dalam
perkembangan anak. Pengasuhan yang menggunakan kekerasan dapat
memberikan rasa terancam pada anak. Orang tua yang tidak memberi
perhatian, kehangatan, serta rasa aman dapat memicu perilaku
menghindar. Gaya asuhan yang terlalu mengekang juga meningkatkan
resiko untuk mengalami SAD ataupun gangguan kecemasan lainnya
(Cenderlund, 2013).
PEMBAHASAN
BAB IV
PENUTUP
Studi ini menunjukkan bahwa CBT sangat membantu dalam jangka panjang untuk
merawat anak-anak dengan gangguan kecemasan campuran. Hasil ini mendukung perluasan
penggunaan dan penggunaan CBT di klinik kesehatan mental komunitas. Selain itu, saat
merawat remaja dengan SAD, SOP, dan/atau GAD, praktisi memiliki kebebasan dalam
memilih gaya terapi karena hasil yang serupa untuk ICBT dan GCBT. Pilihan gaya terapi
mungkin didasarkan pada pilihan pasien atau orang tua, sumber daya klinik komunitas, atau
tingkat rujukan daripada kriteria klinis remaja. Meskipun pengaturan komunitas bervariasi
dari lingkungan klinik universitas dalam banyak hal dan dengan demikian dapat dimintai
pertanggungjawaban atas hasil pengobatan yang lebih buruk, temuan penelitian kami
menunjukkan bahwa pengaruh variasi ini pada hasil pengobatan dapat dilebih-lebihkan dalam
jangka panjang.
Crawley, et al. 2008. Treating socially phobic youth with CBT: Differential outcomes and
treatment considerations. Behavioural and Cognitive Psychoteraphy, 36, 379 – 389.
Hudson, et al. 2015. Comparing outcomes for children with different anxiety disorders
following cognitive behavioural therapy. Behaviour Research and Therapy, 72, 30 –
37.
Kerns, et al. 2013. Cognitive behavioral theapy for youth with social anxiety: Different short
and long-term treatment outcomes. Journal of Anxiety Disorders, 27, 210 – 215.
Kordal, Arne, et al. 2017. Long-term effectiveness of cognitive behavioral therapy for youth
with anxiety disorders. Journal of Anxiety Disorders, 53, 58 – 67.
Saavedra, et al. 2010. Cognitive behavioral treatment for childhood anxiety disorders: Long-
term effects on anxiety and secondary disorders in young adulthood. Journal of
Child Psychology and Psychiatry, 51, 924 – 934.