Halaman 1
Untuk memperbaiki tingkat kinerja transportasi diperlukan upaya, diantaranya dengan
mengadopsi konsep “predict and provide” yang berusaha memenuhi seluruh kebutuhan
perjalanan. Pendekatan ini membutuhkan dana investasi prasarana dan kebutuhan lahan yang
sangat tinggi.
Keterbatasan Pendanaan
Untuk mempertahankan pertumbuhan, diperlukan pertumbuhan investasi infrastruktur berkisar
6-7% dari Produk Domestik Bruto (ADB, 2008). Pemerintah berupaya meningkatkan anggaran
infrastruktur guna mendekatkan angka rasio besaran anggaran infrastruktur terhadap produk
domestik bruto (PDB) 5% seperti negara lain di dunia, namun jika hal itu dilakukan, diperkirakan
kebutuhan investasi untuk infrastruktur pada 2009-2014 mencapai Rp 1.429 triliun atau sekitar
3% PDB. Padahal APBN 2009 hanya menganggarkan anggaran sektor perhubungan mencapai
52,3 triliun terdiri 35,7 triliun (PU) dan 16,6 triliun (Dephub). Keterbatasan dana ini harus
dipenuhi dari sumber lain, baik berupa pinjaman, penanaman investasi masyrakat maupun
swasta.
Kota-kota di Indonesia lainnya telah mengalami kemacetan yang sangat parah, yang
diindikasikan dari tingginya V/C ratio (lebih dari 0,85), kecepatan perjalanan yang rendah pada
jam-jam puncak, tingginya kebutuhan biaya operasional kendaraan (VOC) dan semakin kotornya
udara karena polusi udara. Kemacetan terutama terjadi di kota-kota metropolitan dan kota-kota
besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Palembang, Medan, Bogor, Makassar, Solo,
Yogyakarta dan Bogor. Kinerja transportasi kota-kota di Indonesia dijelaskan dalam Tabel 2
menunjukkan V/C ratio berada diatas 1,0 untuk kota metropolitan, dengan kecepatan 26,9
km/jam.
Halaman 2
Kemacetan telah menimbulkan akibat serius, karena terjadinya pemborosan akibat inefisiensi
pemakaian bahan bakar, waktu hilang terbuang, polusi dan stres, serta merugikan kesehatan
penduduk. Kerugian akibat kemacetan lalu-lintas di Jakarta diperkirakan mencapai Rp. 9 triliun
per tahun (Prasetyo, Kompas, 2004). Biaya tersebut dikeluarkan untuk biaya operasional
kendaraan akibat bahan bakar yang terbuang saat kendaraan terjebak dalam kemacetan.
Tingginya kasus pencemaran udara di jakarta diindikasikan oleh konsentrasi gas pencemar NO2
yang dikeluarkan kendaraan bermotor. Polusi udara di Jakarta, 80% disebabkan oleh emisi gas
buang kendaraan. Biaya yang dikeluarkan untuk kesehatan uang diakibatkan oleh polusi udara di
Jakarta mencapai Rp. 100-450 juta per tahun. Study on Air Quality in Jakarta Indonesia (ADB,
2002) menunjukkan bahwa partikel Nox, CO dan THC merupakan masalah serius pada hampir
seluruh wilayah udara Jakarta. Persoalan kemacetan tidak hanya dihadapi oleh megapolitan
Jakarta, tetapi oleh kota metropolitan dan kota besar seperti Bandung dan Yogyakarta. Biaya
kemacetan di kota Bandung mencapai Rp. 2-3 triliun per tahun (Tamin, Pikiran Rakyat, 2006).
Disamping itu, munculnya penyakit ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) menjadikan biaya
kesehatan yang harus dikeluarkan penduduk meningkat. Masalah kemacetan juga menyebabkan
terganggunya distribusi barang dan hambatan mobilitas bisnis.
Dengan menggunakan nilai kerugian diatas, dan mengakumulasikan total kerugian berdasarkan
atas jumlah kota di Indonesia, yaitu 1 kota megapolitan (Jakarta), 5 kota metropolitan (Bandung,
Surabaya, Medan, Makassar dan Semarang) dan 20 kota besar, maka kerugian yang diderita
kota-kota Indonesia akibat kemacetan sebesar Rp. 26,5 triliun per tahun. Jumlah kerugian ini,
merupakan 3 kali besar pinjaman pemerintah Indonesia ke Bank Dunia, yang mencapai US$ 0,9
miliar (atau sekitar Rp.9 triliun). Jika dibandingkan besar anggaran sektor transportasi (Dephub)
sebesar Rp 5 triliun, dan sektor jalan raya (Dep.PU) yang mencapai Rp. 5 triliun, maka total
anggaran tersebut hanya merupakan sepertiga dari biaya kemacetan yang terjadi.
Travel Demand Management (TDM) sebagai bagian Sustainable Transport memiliki VISI untuk
mengatasi kemacetan dengan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Tujuan TDM adalah
“.. to reduce the number of vehicles using the road system while providing a wide variety of
mobility options to those who wish to travel..” (Comsis, 1994). Atau dengan perkataan lain, TDM
berusaha untuk mengurangi kendaraan yang menggunakan sistem jaringan jalan dengan
memberikan berbagai pilihan mobilitas. TDM juga didefinisikan sebagai “measures to reduce
transport demand, hence the induces movement under the bearing capacity of social,
environment and operational” (Ohta, 1998). Menurut Ohta, TDM adalah alat untuk mengurangi
kebutuhan perjalanan sehingga perjalanan yang dilakukan masih dalam batas-batas lingkungan
dan operasional. Perubahan paradigma transportasi perkotaan dapat dijelaskan dalam skema
berikut, dengan membandingkan pendekatan konvensional dan TDM, (Gambar 1).
Halaman 3
Batas
Lingkungan
Dalam melakukan proses implementasi TDM, dikembangkan berbagai strategi yang berlaku spesifik
untuk keadaan transportasi perkotaan melalui empat buah strategi besar:
1. Pergeseran Waktu (Time Shift), untuk tujuan yang sama. Pergeseran waktu didorong oleh
beban jaringan jalan yang sangat berat karena memikul perjalanan pada waktu yang sama.
Upaya pergeseran waktu perjalanan mengakibatkan puncak arus perjalanan menjadi lebih
kecil ( flat).
2. Pergeseran Rute (Route Shift), untuk waktu perjalanan yang sama. Pergeseran rute didorong
oleh beban jaringan jalan tertentu yang menjadi pilihan banyak pelaku perjalanan, sebagai
jarak terpendek (shortest path ). Upaya pergeseran rute akan mengurangi beban volume
kendaraan dan memperkecil V/C ratio.
3. Pergeseran Moda (Mode Shift), untuk lokasi dan waktu perjalanan yang sama. Pergeseran
moda didorong oleh perlunya peningkatan peran moda dengan kapasitas besar untuk
mengurangi pemborosan penggunaan ruang jalan.
Halaman 4
4. Pergeseran Lokasi (Location Shift), untuk lokasi, waktu dan moda perjalanan yang sama.
Pergeseran lokasi didorong untuk menyebarkan konsentrasi perjalanan pada wilayah sempit
dengan jaringan jalan yang pelayanannya terbatas.
Kota-kota di Indonesia sudah melakukan beberapa strategi TDM, walupun skala dan distribusi
besarannya berbeda-beda. Berikut diuraikan aplikasi TDM yang sudah dilakukan, kendala yang
dihadapi serta potensi pemanfaatan TDM dalam skala kota yang lebih besar dan terarah.
Komponen tindakan dalam lingkup TDM yang dapat dilakukan meliputi tiga hal yaitu (a)
kebijakan/ regulasi/ tindakan yang bersifat ekonomi, (b) tindakan yang bersifat fisik, (c) tindakan
yang bersifat disain dan (d) tindakan pendukung.
PUSH PULL
PEMBATASAN AKSES KENDARAAN PERBAIKAN PELAYANAN
PRIBADI ANGKUTAN UMUM
KEBIJAKAN/ REGULASI/ TINDAKAN BERSIFAT
Jalan Raya
5. Sistem Kuota Kendaraan 2. Pengurangan pajak bagi
pengguna transit pass
6. Parking Pricing 3. Pengurangan pajak bagi
pejalan kaki dan pengguna
sepeda
7. Manajemen Parkir
8. Pembatasan Nomor Kendaraan
9. Zona Emisi Rendah
10. Zona kecepatan 20 km/jam
PENGALAMAN IMPLEMENTASI DI KOTA-KOTA DI INDONESIA
KOTA JENIS TINDAKAN JENIS TINDAKAN
JAKARTA a. Penerapan Pembatasan Keterisian a. Pemberlakuan tarif lanjutan
Penumpang “3 in 1” sejak tahun bagi operasional BRT di
1992 mulai 06.30-10.00. seluruh koridor Jakarta.
Diperpanjang untuk waktu sore
16.00-19.00 sejak operasional
busway koridor 1, tahun 2004.
JAKARTA b. Pemberlakukan tarif feeder
BRT sebagai satu kesatuan
dengan BRT
JAKARTA b. Car Free Day pada hari-hari libur c. Operasional Bus Sekolah
tiap pekan terakhir di koridor dengan tarif gratis bagi siswa
padat Jl. Sudirman. SMP dan SMA
Halaman 5
JAKARTA c. Pemeriksaan dan perawatan (I&M) d. Penggunaan bahan bakar
untuk kendaraan pribadi dan hemat polusi udara dengan
kendaraan umum secara langsung BBG dan CNG untuk taksi dan
dengan program Langit Biru oleh busway
Swiss Contact.
SELURUH WILAYAH e. Penerapan Pajak Kendaraan
INDONESIA Bermotor Progresif dalam UU
PDRD, dimana pajak lebih tinggi
dikenakan pada kepemilikan
jumlah kendaraan yang lebih besar
dari 1, dengan besaran 2-10%
untuk kendaraan kedua, dan
seterusnya.
SELURUH WILAYAH f. Pengenaan pajak impor kendaraan
INDONESIA yang tinggi, termasuk PPN, PPh,
PPNBM, sehingga kendaraan
impor harganya bisa mencapai
200% dari harga jual di tempat
produsen.
PUSH PULL
PENGURANGAN MOBILITAS PERBAIKAN KUALITAS PELAYANAN
KENDARAAN PRIBADI ANGKUTAN UMUM
a. Pengurangan jumlah ketersediaan a. BRT
ruang parkir
b. Traffic Cells b. Bus lane
c. Traffic Calming c. Bus Priority
REALOKASI RUANG JALAN d. LRT dan KA Komuter
TINDAKAN YANG BERSIFAT FISIK/ TEKNIS
Halaman 6
DI INDONESIA
KOTA JENIS TINDAKAN JENIS TINDAKAN
JAKARTA a. Penggunaan kawasan pejalan kaki a. Pembangunan BRT koridor 1
pada wilayah Kota Tua sebagai sampai 8 dimulai tahun 2004.
obyek wisata internasional. Direncanakan akan dibangun
15 koridor sampai tahun
2015.
KOTA BESAR b. Pembangunan fasilitas fisik berupa b. Pembangunan sistem BRT di
speed trap pada jalan-jalan tol, kota-kota Semarang, Bogor,
penyempitan geometrik jalan pada Batam, Bandung dan
ruas dan simpang pada jalan-jalan Yogyakarta.
yang banyak pejalan kaki
JAKARTA c. Operasional Bus Sekolah
dengan tarif gratis bagi siswa
SMP dan SMA
JAKARTA d. Penggunaan bahan bakar
hemat polusi udara dengan
BBG dan CNG untuk taksi dan
busway
JAKARTA e. Pembangunan Halte yang
nyaman pada BRT disertai
dengan tempat pemasukan
tiket dengan kartu
pembayaran elektronik
KOTA-KOTA BESAR f. Pembangunan halte yang
nyaman.
KOTA-KOTA BESAR g. Pembangunan terminal bus
baru yang nyaman, bersih,
dipisahkan antara terminal
dalam kota dan luar kota.
KOTA-KOTA BESAR h. Pembangunan jalur sepeda di
Yogyakarta, Palembang dan
Balikpapan.
JAKARTA i. Pengoperasiaon bajaj dengan
4 silinder berbahan bakar gas.
PUSH PULL
PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN PERENCANAAN KENDARAAN
BERSIFAT DISAIN/PLAN
Halaman 7
JAKARTA a. Perencanaan TOD pada stasiun KA a. Perencanaan lokasi jalur
Gambir, Stasiun Kota dan Stsiun sepeda
Manggarai
KOTA BESAR b. Perbaikan sistem trotoar dan
halte angkutan umum
JAKARTA b. Standard perencanaan parkir sesuai c. Informasi keselamatan,
aturan tata bangunan. mobile ambulans
D. Tindakan Pendukung
PUSH PULL
PENEGAKAN HUKUM KEPEDULIAN MASYARAKAT
PENDUKUNG
TINDAKAN
BERSIFAT
b.
Even khusus seperti Car Free
Day
PENGALAMAN IMPLEMENTASI DI KOTA-KOTA
DI INDONESIA
KOTA JENIS TINDAKAN JENIS TINDAKAN
JAKARTA a. Sistem penegakan hukum dengan a. Car Free Day pada hari-hari
melibatkan pengadilan, menghindari libur tiap akhir bulan
korupsi aparat penegak hokum di
lapangan
KOTA BESAR b. Sosialisasi TDM di kota-kota
Palembang, Semarang, Solo,
Yogyakarta dan Bogor
Halaman 8
adalah dibawah pemerintah pusat, berdasarkan PP 38/2007 tentang Pembagian Tugas
Pemerintah Pusat dan Daerah. Tanpa ada persetujuan instansi pusat, operasional koridor 9 dan
10 tidak akan jalan, padahal pembangunan prasarana fisik dan halte sudah selesai dilakukan
sejak 2 tahun yang lalu. pada sisi lain, keberadaan BRT yang memerlukan dana cukup besar
untuk membangun dan mengoperasikannya, memerlukan anggaran cukup besar yang tidak akan
mampu seluruhnya ditangani oleh pemerintah pusat.
g. Kurang Sosialisasi
Penerapan TDM membutuhkan sosialisasi agar visi dan misi TDM dapat dimengerti, namun
persoalannya sosialisasi sangat kurang, sehingga penetrasi startegi masih sangat terbatas.
Proses sosialisasi mencakup dua hal yaitu (a) Persepsi masyarakat tentang faktor-faktor yang
menjadi pertimbangan dalam memilih moda transportasi dan (b) Ketersediaan moda
transportasi dan kesiapannya untuk digunakan menekan penggunaan kendaraan pribadi.
Halaman 9
2.3 Matriks Seleksi TDM
Hasil evaluasi kendala TDM kemudian dibandingkan dengan potensi pemecahan masalah
berdasarkan pengalaman kota-kota di Indonesia dijelaskan dalam Tabel 3.
Push YA YA YA YA 4
Regulasi
Pull YA YA YA YA 4
Push YA 1
Fisik
Pull YA 1
Push YA YA YA YA YA 5
Disain/Plan
Pull YA YA YA YA YA YA 6
Push YA YA 2
Pendukung
Pull YA YA 2
Hasil matriks evaluasi menunjukkan bahwa tidak semua tindakan TDM memiliki potensi
keberhasilan untuk diterapkan di kota-kota di Indonesia. Skor evaluasi menunjukkan semakin
besar masalah, semakin tinggi nilainya. Table 3 menggambarkan bahwa tindakan paling
memungkinkan untuk dilakukan di Indonesia adalah tindakan yang bersifat fisik. Pilihan
pelaksanaan harus didahului dengan Penyusuan Kebijakan TDM sebagai kemauan kuat
pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk Peraturan Perundangan (PP) maupun Keputusan
Menteri (KM).
Langkah jangka pendek (Short Term) yang dapat dilakukan untuk menerapkan TDM bagi
kota-kota di Indonesia adalah menetapkan struktur pengambil keputusan pelaksana
TDM dan menyusun kerangka kebijakan (legal framework) yang menjelaskan hak dan
tanggung jawab pelaksanaan TDM.
Halaman
10
Pemerintah Daerah menetapkan Draft Kebijakan Perkotaan (City Policy Papers)
mencakup strategi secara khusus bagi setiap kota-kota, sesuai Manual White Paper yang
disusun pemerintah pusat.
Departemen Perhubungan melakukan pembinaan secaar efektif, realistis dan terarah
kepada pemerintah daerah.
Departemen Perhubungan menyusun upaya Kebijakan/ Regulasi/ Tindakan yang bersifat
ekonomi agar kota-kota dapat mudah melakukan akses TDM, baik yang bersifat
regulatif, teknis maupun penegakan hukum.
Pemerintah pusat memfasilitas daerah dalam bentuk dukungan subsidi bagi
pembangunan fasilitas TDM yang berguna untuk meningkatkan perpindahan pengguna
kendaraan pribadi ke angkutan umum.
Pemerintah memberikan reward bagi daerah yang berhasil menurunkan tingkat
ketergantungan sistem transportasinya kepada kendaraan pribadi, mengurangi
konsumsi bahan bakar dan mengurangi tingkat emisi kendaraan.
F. Sosialisasi TDM
Penerapan TDM dimulai dari tahap sosialisasi kebijakan dan strategi agar mempunyai akar
pemahaman kepada masyarakat.
Halaman
11