Anda di halaman 1dari 43

Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme …

PERGESERAN PEMAHAMAN KONSTITUSIONALISME


DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA

JURNAL SKRIPSI

Oleh:
Achmad Mufid Murtadho
NIM : S20173084

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ (UIN KHAS) JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
2022

11
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Achmad Mufid Murtadho

PERGESERAN PEMAHAMAN KONSTITUSIONALISME DALAM


KETATANEGARAAN INDONESIA

JURNAL SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H)
Fakultas Syariah
Program Studi Hukum Tata Negara

Oleh :

Achmad Mufid Murtadho


NIM : S20173084

Disetujui Pembimbing

Dr. Hj. Qurrotul Uyun, S.H., M.H.


NIP. 19930219 202203 2 001

22
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme …

Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme Dalam Ketatanegaraan


Indonesia
Achmad Mufid Murtadho1
1Fakultas Syariah, IAIN Jember. E-mail: achmadmufid6@gmail.com

Article Abstract
How to cite: Abstrak
Achmad Mufid Murtadho,
‘Pergeseran Pemahaman Indonesia adalah sebuah negara yang menjujung tinggi hak asasi manusia, sehingga
Konstitusionalisme dalam kedaulatan legitimasinya konstitusi terpaku kepada titik kesejahteraan rakyat.
Dalam Ketatanegaraan Dalam penerapan konstitusi maka dibutuhkan adanya konstitusionalisme sebagai
Indonesia’ dukungan dari kekuasaan sang penguasa agar jaminan kedaulatan hak asasi
manusia dapat terealisasikan dengan baik dan tidak disalah gunakan oleh aparat
(2022) Vol. 3 No. 3 negara, hal tersebut menjadi menarik. Fokus masalah yang diteliti dalam skripsi ini
Rechtenstudent Journal adalah: 1) Apa yang melatar belakangi pergeseran konstitusionalisme di Indonesia?
Fakultas Syariah IAIN 2) Bagaimana Doktrin konstitusionalisme dalam ketatanegaraan Indonesia? 3)
Jember. Bagaimana implikasi konstitusionalisme dan hukum tata negara dari era Gusdur
hingga Jokowi? Tujuan penelitian ini adalah 1) Mengetahui latar belakang
pergeseran konstitusionalisme di Indonesia. 2) Mengetahui Doktrin
Histori artikel: konstitusionalisme dalam ketatanegaraan Indonesia 3) Mengetahui Bagaimana
Submit 4 Februari 2022; implikasi konstitusionalisme dan hukum tata negara dari era Gusdur hingga Jokowi.
Diterima 10 Maret 2022; Jenis penelitian yang digunakan adalah kepustakaan (library research) yang
Diterbitkan 28 April 2022. memusatkan serta membatasi kegiatannya pada perpustakaan untuk memperoleh
data tanpa melakukan riset di lapangan. Maka sumber data diperoleh dengan
ISSN: menelusuri literatur-literatur maupun peraturan-peraturan dan norma-norma yang
2723-0406 (media cetak) berhubungan dengan masalah yang akan dikaji dalam penelitian bersumber dari
E-ISSN: buku-buku yang mengkaji mengenai Konstitusionalisme Indonesia, Tata Negara
2775-5304 (media online) Indoensia, yang berkaitan dengan penelitian. Hasil dari penelitian ini adalah 1) Latar
Belakang Pergeseran Konstitusionalisme di Indonesia adalah seiring perkembangan
hukum yang semakin dinamis yang harus disesuaikan dengan Pokok-Pokok Haluan
Negara (PPHN) kita, ditambah seringnya pergantian pucuk pimpinan tertinggi yaitu
presiden yang menyebabkan hal tersebut berdampak pada kebijakan-kebijakan yang
diambil. 2) Doktrin Konstitusionalisme dalam Ketatanegaraan Indonesia adalah
konstitusionalisme memuat esensi pembatasan kekuasaan dan kekuasaan itu sendiri
dibatasi oleh konstitusi sebagai norma hukum tertinggi. Persoalan yang dianggap
terpenting dalam paham konstitusional adalah pengaturan mengenai pengawasan
atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan. 3) Implikasi Konstitusionalisme
dan Hukum Tata Negara dari Era Gusdur hingga Jokowi adalah terletak pada
personalitas masing-masing presiden yang berbeda-beda sehingga menyebabkan
implikasi konstitualisme di Indonesia sering mengalami perubahan, dan juga
perkembangan hukum yang semakin hari semakin pelik untuk dipecahkan.

Kata Kunci : Konstitusionalisme, dan Tata Negara Indonesia.

33
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Achmad Mufid Murtadho

Pendahuluan
Dalam literatur kepustakaan hukum tata negara atau lebih dikenal dengan istilah
constitutional law dalam peradaban kahazanah keilmuan barat konstitusionalisme diletakkan
sebagai dasar konstitusi, jika diibaratkan dengan retorasi rumah, konstitusi adalah pondasi
dasar, sedangkan konstitusionalisme adalah maniatur yang menegakkan dari beberapa unsur
pondasi tersebut.1
Kemunculan konstitusionalisme sendiri pada dasarnya, lebih dipahami sebagai istilah
yang muncul tidak berbarengan dengan konstitusi, karena pada dasarnya konstitusionalisme
adalah sebuah refleksi dari dasar hukum yang di bangun dari sebuah konstitusi. Secara garis
besar perwujudan kedaulatan rakyat dalam kehidupan bernegara dapat di klasifikasikan
menjadi dua macam, yaitu dalam lembaga perwakilan rakyat atau parlemen dan bentuk
konstitusi sebagai wujud perjanjian sosial tinggi. 2
Negara-negara yang menganut perwujudan kedaulatan rakyat dalam parlemen,
mengakibatkan dianutnya prinsip supermasi parlemen. Konstitusi dalam sebuah negara
dapat diubah dengan produk hukum parlemen. Sedangkan negara yang menganut konstitusi
sebagai hukum tertinggi, maka hukum yang dibuat oleh parlemen tidak boleh bertentangan
dengan konstitusi.
Sebuah negara pada umumnya memiliki naskah konstitusi sebagai dasar negara, bila
melihat konstitusi yang ada di Indonesia Undang-Undang Dasar sebagai naskah konstitusi
dasar yang tidak boleh dilanggar oleh parlemen, sehingga dalam menentukan sebuah hukum
negara tetap beracuan pada UUD 1945.
Berlakunya konstitusi sebagai dasar hukum akan mengikat didasarkan atas kekuasaan
tertinggi dalam suatu negara, jika sebuah negara menganut paham kedaulatan rakyat, maka
yang mempunyai legitimasi konstitusi penuh adalah rakyat, apabila dalam sebuah negara
berlaku paham kedaulatan raja, maka rajalah yang mempunyai legitimasi atas konstitusi
tersebut.
Indonesia adalah sebuah negara yang menjujung tinggi hak asasi manusia, sehingga
dalam kedaulatan legitimasi konstitusi terpaku kepada titik kesejahteraan rakyat. Dalam
penerapan konstitusi maka dibutuhkan adanya konstitusionalisme sebagai pentasan dari
kekuasaan sang penguasa agar jaminan kedaulatan hak asasi manusia dapat terealisasikan
dengan baik dan tidak disalah gunakan oleh aparat negara.3
Elemen-elemen konstitusionalisme harus sesuai dengan tujuan bersama, kesepakatan
tentang the rule of law dan kesepakatan dari bentuk institusi. Maka dengan begitu tujuan
konstitusi bersama dapat dilihat dari teks Pancasila dan bentuk kesepakatan institusi
terkandung dalam UUD 1945.
Sejak Indonesia berdiri dan merdeka, sampai saat ini Indonesia sudah mengalami
pergantian presiden sebanyak 7 kali, namun dalam setiap pergantian kepemimpinan selalu
ada perubahan, sehingga terjadi pergeseran dalam konstitusionalismenya, yang paling
menarik perhatian dalam konteks konstitulisme, saat kepemimpinan era modernism yakni
KH Abdur Rahman Wahid yang lebih akrab disapa Gusdur.
Gusdur pada saat itu menjabat presiden selama 2 tahun, sejak 1999 sampai 2001. Sebelum
masa jabatannya selesai, Gusdur diturunkan dari jabatan dengan beberapa alasan diantaranya

1
Faisal Islam, Islam Konstitusionalisme dan Pluralisme, ( Yogyakarta: IRCSoD: 2019) 19
2
I Dewe Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, (Malang: Setara Press, 2012), 13
3
Satya Rinanto, Hak Asasi Manusia Transisi Indonesia, (Yogyakarta: IRCSoD: 2017) 26

44
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme …

dekrit pembekuan DPR dan MPR, Gusdur juga pernah mengunjungi Soeharto setelah
presiden pada masa orde baru itu lengser, sedangkan pada saat itu Soeharto menjadi sorotan
public, Gusdur juga pernah mengusulkan pencabutan tap MPRS No 25 tahun 1966 tentang
pelarangan PKI dan pengajaran komunis dan marsismedi Indonesia, usul itu langsung menua
kontroversial hingga kandas diterapkan yang sangat membuat kontroversi dalam
pemimpinan Gusdur, beliau pernah membubarkan departemen sosial dan departeman
penerangan hal itu ia lakukan ketika saat ia menjabat presiden dalam jangka waktu satu
bulan. Gusdur juga memecat Yusuf Kallah dan Laksmana Sukardi yang pada saat itu
menjabat mentri perindustian dan mentri BUMN, mengubah ke angkeran Istana dengan
menerima tamu sembarangan dari masyarakat biasa.
Setelah Gusdur dilengserkan lalu di ganti oleh Megawati yang di bantu oleh Hamzahas,
lima bentuk konsep yang di usung oleh megawati, diantaranya menghapus KKN,
menyelamatkan rakyat dari krisis yang berkepanjangan, meneruskan pembangunan politik,
dan mempertahankan supermasi hukum dan menciptakan sosial kultural yang kondusif dari
beberapa komponen diatas kebijakan megawati mengamandemen UUD 1945, merubah
kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan independen, membentuk KPK dan mahkamah
konstitusi dan banyak undang-undang baru yang dilakukannya, yang menjadi kontroversi
dalam kebijakannya saat megawati memprivatisasi BUMN Indosat yang di jual kepada STT
singapura. Pada masa jabatan Megawati Aceh dan papua merasa terdeskriminasi karena
mendapatkan keuntungan yang sedikit dari hasil sumber daya alam, pada saat itu lemahnya
diplomasi luar negeri. Kepercayaan masyarakat mulai menurun sejak tahun 2003 sampai
Megawati selesai menjabat
Presiden Megawati dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2004,
sejak pemerintahan baru SBY banyak menentukan kebijakan salah satunya menciptakan
bantuan opeasional sekolah, dan untuk menuntaskan kemiskinan SBY memberikan BLT
bantuan langsung tunai kepada masyarakat, selain itu SBY mendapatkan penghargaan dari
penghargaan negarawan dunia 2013 namun laporan kebebasan beragama internasional 2012
yang dirilis departemen agama saat itu berkata lain, karena sepanjang tahun 2012 kekerasan
dalam atau luar negeri antar umat beragama di Indonesia telah mengakibatkan setidaknya 20
orang tewas dan memporakporandakan rumah masyarakat.
Pada era modernisme banyak sekali permasalahan yang timbul, baik dari internal
ketatanegaraan atau eksternalnya, itu semua disebabkan populernya sebuah komunikasi yang
semakin hari semakin canggih, sehingga dalam pendoktrinan aparatur negara dalam
menjalankan konstitusionalisme selalu dipertanyakan diruang publik, kejujuran dari sebuah
refleksi dan penerapan undang-undang selalu diteliti oleh masyarakat Indonesia.4
Sejumlah kebijakan presiden kita sat ini Jokowi dan Ma’ruf Amin juga menjadi
kontroversi salah satunya UU Cipta kerja, pihak DPR, termasuk wakil Presiden mwnyarankan
penolakan UU Cipta kerja mengajukan gugatan ke mahkamah konstitusi , sedangkan Tenaga
Ahli Utama Kantor Staf Presiden Dany Amrul Ichdan menekankan bahwa UU Cipta Kerja
penting, misalnya untuk mempermudah aturan yang rumit, seharusnya apabila ada masalah
yang rumit harus perbaiki birokrasinya
Adanya doktrin konstitusi sebenarnya sudah ada sejak zaman sebelum Indonesia
mengalami transisi modern, doktrin konstitusionalisme modern dilandasi oleh filosofi

4
Thomas Tokan Pureklolon, Komunikasi Politik (mempertahankan Integritas Akademis Politikus, dan
Negarawan), (Jakarta: gramedia, 2016) 17

55
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Achmad Mufid Murtadho

kebangsaan dan kebebasan atau persamaan yang memicu oleh revolusi Amerika dan Prancis
yang pada intinya dalam konstitusionalisme ingin membatasi kekuasaan pemerintah agar
tidak sewenang-wenang dalam menentukan sebuah kebijakan. Ada dua sumber ide tentang
pembatasan kekuasaan pemerintah (1) teori hukum alam sekuler kekuasaan yang immoral
merupakan tindakan pemerintah yang sewenang-wenang dan tidak adil (2) akar budaya barat
yang melahirkan peradaban modern, hal ini sangat mempengaruhi terhadap sistem kebijakan
pemerintah. Konstitusionalisme adalah sistem kelembagaan yang efektif mengatur
pembatasan pemerintah dan hal ini menjadi sebuah doktrin agar semua kebijakan disesuaikan
dengan konstitusi.5
Paham doktrin konstitusionalisme pada dasarnya berada pada kesepakatan umum, jika
kesepakatan itu runtuh maka runtuhlah sebuah legitimasi kekuasaan negara dan pada
gilirannya perang saudara akan terjadi.
Bagi negara Indonesia yang paling menentukan adalah kedudukan pembukaan UUD
1945 yang merupakan konsensus kemerdekaan Indonesia yang terjadi sekali saja, yang
menunjukkan eksistensi Negara Republik Indonesia dengan dasar negara Pancasila
mencakup lima sila yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.6
Dari 4 pemimpin sejak Gusdur sampai saat ini banyak pergeseran konstitusi dan
konstitusionalisme yang membuat peneliti selalu bertanya dengan adanya pijakan dasar yang
dijadikan acuan oleh setiap pemerintah baik dari visi-misi dan tujuan dan komparasinya
dengan Pancasila dan UUD 1945
Dari pemaparan penjelasan diatas sangat jelas bahwa Negara Indonesia mempunyai
landasan negara. UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalisnya dan pancasila sebagai
landasan idiologisnya, maka dari itu dalam penelitian ini peneliti ingin meneliti tentang
‚Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme Dalam Ketatanegaraan Indonesia‛.

Fokus Masalah
1. Apa yang melatar belakangi Pergeseran Konstitusionalisme di Indonesia?
2. Bagaimana Doktrin Konstitusionalisme dalam Ketatanegaraan Indonesia?
3. Bagaimana Implikasi Konstitusionalisme dan Hukum Tata Negara dari Era Gusdur Hingga
Jokowi?

Metode Penelitian
Metode berasal dari kata Method, bahasa latin: methodus, yunani: methodos, meta berarti
sesudah. Menurut Van Peursen menerjemahkan pengertian metode secara harfiah adalah
suatu jalan yang harus ditempuh ketika penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut
suatu rencana tertentu.7 Secara umum metode penelitian di definisikan sebagai suatu kegiatan
ilmiah yang terencana, terstruktur, sistematis dan memiliki tujuan tertentu baik praktis
maupun teoritis.8 Dan dalam pengertian lain metode penelitian adalah suatu cara yang

5
Jumadi, Memahami konstitusionalisme Indonesia, Jurnal UIN Alaluddin Makasar, Jurisprudentie, Vol: 3 No. 2,
2016
6
Isharyanto, Konstitusi Rule Of Law dan Demokrasi, (Yogyakarta: CV, Absolute Media, 2018) 34
7
Johnny Ibrahim, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Bayumedia, 2007), 25
8
Conny R.Semiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bogor : Grasido, 2010), 5

66
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme …

digunakan dalam mengumpulkan data penelitian dan dibandingkan dengan standart ukuran
yang telah dilakukan.9 Maka dalam hal ini penelitian akan lebih terarah dan rasional
diperlukan sebuah metode yang sesuai dengan obyek yang dikaji, karena metode berfungsi
sebagai cara mengerjakan sesuatu untuk dapat menghasilkan hasil yang memuaskan, dan
juga metode merupakan sebuah tindakan supaya peneliti berjalan terarah dan mencapai hasil
yang maksimal.
Metode penelitian adalah proses pengumpulan data penelitian dan membedakan dengan
standar ukuran yang telah dilakukan sebelumnya.10 Oleh sebab itu, peneliti harus
menentukan dan memilih pendekatan yang tepat agar tujuan tersebut terwujud semaksimal
mungkin, adapun beberapa pendekatan atau metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain:
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam melakukan sebuah penelitian pasti ada jenis yang digunakan. dari dalam
penelitian ini adalah jenis penelitian normatif melalui pendekatan historis, menggunakan
pendekatan library research. Dalam penelitian ini, subjek lebih ditonjolkan agar fokus
penelitian sesuia dengan teori yang di relasikan oleh peneliti11
B. Sumber Data
Sumber data adalah sumber yang berkenaan dengan subjek penelitian, dalam
menggali data peneliti memilih pendekatan bersifat naratif atau kepustakaan12, dengan
memilih objek penelitian yang sesuai dengan kajian yang akan di pakai diantaranya.
a. Sumber data primer
Sumber data primer adalah salah satu yang dijadikan subjek oleh peneliti. dalam
penelitian ini yang menjadi sumber data primer adalah konstitusionalisme yang ada di
negara indonesia
b. Sumber data skunder
Selain data primer peneliti juga membutuhkan data skunder sebagai penunjang
dalam penelitian ini yakni, hal-hal yang berkaitan dengan judul penelitian seperti buku,
koran, majalah, dll.
C. Teknik Pengumpulan Data
Seperti yang di ketahui bahwa dalam penelitian ini menggunakan penelitian
kepustakaan (library research) sehingga data yang dibutuhkan adalah data yang diperoleh
dari hasil telaah terhadap literatur yang mempunyai relevansi terhadap tema pembahasan,
maka instrumen terhadap pengumpulan data-data tersebut adalah dengan menggunakan
dokumentasi13
Dalam melakukan pengumpulan terhadap data-data yang dibutuhkan terlebih dahulu
mengidentifikasi sumber data yang dapat dijadikan sebagai objek telaah dalam penelitian,
kemudian dilanjutkan dengan upaya mengumpulkan data-data dari berbagai sumber yang
telah ditentukan baik dari data primer maupun sekunder.
D. Analisis Data
Analisis data merupakan pengukuran dari ke akurasian data yang didapat dari
sampel. Analisi data yang digunakan oleh peneliti adalah analisis naratif deskrptif, analisis

9
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,(Jakarta: Rineka Cipta, 2002) 126
10
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta: 2002, hlm. 126
11
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, (Bandung: Alfa Beta, CV, 2012),205.
12
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif…………. h. 288.
13
Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h,274.

77
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Achmad Mufid Murtadho

ini berfokus pada cara bagaimana sebuah cerita dan ide dikomunikasikan keseluruh bagian
terkait14.
E. Keabsahan Data
Keabsahan data dapat diuji dengan menggunakan teknik triangulasi, triangulasi
adalah pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data,
untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding. Dalam pengecekan data. Dalam
peneliti menggunakan dua triangulasi
a. Triangulasi Sumber Data adalah menggali kebenaran informasi melalui berbagai
metode dan sumber yang telah di jadikan sampel oleh peneliti, seperti melalui
wawancara, lobservasi dan dokumentasi.
b. Triangulasi teori adalah perbandingan antara rumusan informasi atau tesist statement
dan dengan perspektif teori yang digunakan yakni peneliti membandingkan teori yang
telah peneliti sajikan dengan konteks yang ada dan telah disesuaikan dengan tempat
penelitian.15
F. Tahap-Tahap Penelitian
Dalam tahapan penelitian yang pertama peneliti mencari sumber masalah dengan
menetukan sampel terlebih dahulu dan setelah itu peneliti membuat rancangan penelitian
dan disesuaikan dengan konteks permasalahan yang ada. Dan dilanjutkan melakukan
penelitian yang sesuai prosedur dan etika penelitian yang sudah dirumuskan setelah itu
peneliti menyajikan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan menyimpulkan
penelitian yang ada serta menyertakan dokumentasi.

Hasil dan Pembahasan


1. Pergeseran Konstitusionalisme di Indonesia
Gerakan Reformasi tahun 1998 telah memberi harapan besar untuk menghantarkan
bangsa Indonesia melakukan pembaharuan dalam penyelenggaraan negara, sebagai suatu
negara yang demokratis, berdasarkan hukum dan konstitusional. Salah satu tuntutan yang
mengedepan dari gerakan Reformasi tersebut adalah dilakukannya perubahan terhadap UUD
1945. Tuntutan terhadap pelaksanaan perubahan UUD 1945 merupakan tuntutan yang
memiliki dasar pemikiran teoritis konseptual dan berdasarkan pertimbangan empirik, yaitu
praktik pelaksanaan ketatanegaraan Indonesia selama hampir setengah abad (1945-1949; 1959-
2002).16
Dalam kurun waktu tersebut, kelemahan-kelemahan UUD 1945 secara konseptual telah
memberi peluang bagi lahirnya pemerintahan yang otoritarian, di mana penyelenggaraan
negara berlawanan arah dari asas kedaulatan rakyat, asas negara berdasar atas hukum serta
dinamika sosial, politik dan ekonomi yang berkembang ke arah yang berlawanan dari konsep
dasar yang ditetapkan dalam UUD.17
Para pendiri negara sebenarnya secara eksplisit sudah menyatakan bahwa UUD 1945
adalah konstitusi yang bersifat sementara. Bahkan, Soekarno menyebutnya sebagai UUD atau
revolutie grond wet. Karena keterlambatan itu, maka selama hampir setengah abad (1945-1949

14
Morissan, Metode Penelitian Survei,(Jakarta: Prenada Media Grup, 2018),45.
15
Morissan, Metode Penelitian………… h. 58.
16
I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945,
(Malang: Setara Press, 2012),Hlm. 27.
17
Saldi Isra : “Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi : Memastikan Arah Reformasi Konstitusi”, dalam Jurnal
Analisis CSIS, ttahun XXXI/ 2002 Nomor 2, hlm 233.

88
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme …

dan 1959-2002), perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia terperangkap dalam sifat


kesementaraan UUD 1945.
Salah satu sebab dipertahankan UUD 1945 dikarenakan substansinya banyak yang
menguntungkan penguasa. Substansi yang menguntungkan penguasa itu, terlihat dari
banyaknya aturan dalam UUD 1945 yang bersifat multi tafsir. Akan tetapi, tafsir yang harus
diterima adalah tafsir yang dikeluarkan Presiden, sebagai konsekuensi dari kuatnya Presiden
sebagai sentral 2 kekuasaan (executive heavy). Kecenderungan executive heavy dalam UUD
Negara RI Tahun 1945 merupakan suatu kenyataan ditinjau dari sudut pembentukan lembaga
negara. Pembentukan lembaga negara kecuali lembaga kepresidenan, dilakukan dengan
undang-undang.
Akibat dari pembentukan lembaga negara dengan undang-undang, maka Presiden
mempunyai kekuasaan lebih dominan dibandingkan lembaga negara lainnya. Karena dengan
kekuasaan pembentukan undang-undang yang berada di presiden, tentu isi undang-undang
yang dirancang akan menguntungkan Presiden. Sedangkan peranan DPR, hanya sebatas
menyetujui atau menolak RUU yang diajukan pihak eksekutif. Hak Anggota DPR untuk
mengajukan RUU dipersulit dengan banyaknya persyaratan dalam tata tertib. Atas dasar
demikian, dapat dimaklumi bila banyak undang-undang yang lahir karena kehendak politik
Presiden (eksekutif). Sehingga berimplikasi dalam praktek ketatanegaraan dengan lahirnya
pemerintahan otoriter.
UUD 1945 sebagai hukum yang mengatur mengenai organisasi negara Indonesia yang
menetapkan struktur ketatanegaraan, memberikan dasar legitimasi terhadap keberadaan
lembaga negara. Apabila dilihat dari substansi yang ditetapkan di dalamnya, maka belum
sepenuhnya mewujudkan apa yang menjadi tujuan pembentukan konstitusi (UUD) bagi suatu
negara. Prinsip-prinsip dasar dan konsep bernegara yang dianut dalam Pembukaan UUD
1945 belum dirumuskan secara jelas dalam pasal-pasal UUD, sehingga di dalam praktik
terdapat ruang untuk memberikan penafsiran terhadap ketentuan pasal tersebut menurut
kemauan dari penyelenggara negara
Perubahan terhadap UUD 1945 dari perubahan pertama (1999) sampai keempat (2002)
merupakan satu kesatuan. Perubahan dilakukan dengan cara memuat dalam setiap produk
MPR yang bermaterikan perubahan, rumusan bunyi pasal-pasal atau ayat-ayat perubahan
tanpa mengutip bunyi pasal atau ayat yang dirubah. Dengan hanya menyebutkan dan
merumuskan pasal dan ayat yang baru, maka pasal atau ayat yang asli digantikan bunyinya.
Cara pengubahan semacam ini dimaksudkan untuk mempertahankan struktur asli UUD 1945.
Jika dalam perubahan diadakan penambahan ayat terhadap pasal yang lama atau pasal yng
telah diubah, maka ayat-ayat tersebut akan disambungkan pada ayat yang telah ada. Dengan
demikian penomoran ayat akan melanjutkan penomoran ayat yang telah ada sebelumnya.
Salah satu fenomena yang sangat penting pasca perubahan UUD 1945 adalah
bertebarannya lembaga-lembaga negara mandiri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan dasar hukum yang berbeda-beda, baik dengan
konstitusi maupun undang-undang, Dasar hukum yang berbeda-beda itu menunjukkan
bahwa lembaga-lembaga negara mandiri itu dibentuk berdasarkan isu-isu parsial, insidental,
dan sebagai jawaban khusus terhadap persoalan yang sedang dihadapi. Pada dasarnya,
pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri di Indonesia dibentuk karena lembaga-
lembaga negara yang ada belum dapat memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan
yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan
munculnya era demokrasi. Selain itu, kelahiran lembaga-lembaga negara mandiri itu

99
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Achmad Mufid Murtadho

merupakan sebentuk ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang ada dalam


menyelesaikan persoalan ketatanegaraan yang dihadapi.18
Suatu perubahan konfigurasi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi yang
diterapkan dalam sebuah negara, mutlak menuntut adanya pergeseran pengelolaan
kekuasaan dari yang semula bersifat personal menjadi bersifat impersonal. Pada saat yang
bersamaan, hal ini mengakibatkan pembagian kekuasaan negara yang sebelumnya dianggap
sebagai doktrin yang mapan mengalami koreksi dan dirasakan tidak cukup lagi sekadar
mengklasifikasikannya menjadi kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang,
dan kekuasaan kehakiman.19
Prinsip Pemisahan Kekuasaan (separation of power) Lembaga-lembaga Negara.
a. Pemisahan Kekuasaan Sebelum Amandemen
Untuk menilai apakah UUD 1945 menganut pemisahan kekuasaan atau pembagian
kekuasaan, dapat digunakan kriteria yang dibuat oleh Ivor Jenning. Jenning mengatakan
bahwa pemisahan kekuasaan (separation of powers) dapat dilihat dari sudut materil dan
formil. Pemisahan kekuasaan dalam arti materil berarti bahwa pembagian kekuasaan itu
dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik
memperlihatkan adanya pemisahan kekua-saan itu dalam tiga bagian yaitu legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Sebaliknya apabila pembagian kekuasaan tidak dipertahankan
secara tegas, maka disebut pemisahan kekuasaan dalam arti formil.
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, pemisahan kekuasaan dalam arti
materil dapat disebut sebagai pemisahan kekuasaan. Sementara pemisahan kekuasaan
dalam arti formil disebut dengan pembagian kekuasaan. Jimly Assiddiqiqie berpendapat
bahwa pemisahan kekuasaan dapat bersifat horizontal dan vertikal.
Dalam arti horizontal berarti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi
yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi
(check and balances). Sedangkan pemisahan kekuasaan bersifat vertikal dalam arti
perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga
tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
Berdasarkan kriteria yang dibuat Jenning, Kusnardi dan Harmaily berkesimpulan
bahwa UUD 1945 (sebelum amandemen: pen) tidak menganut sistem pemisahan
kekuasaan (Trias Politica) sebagaimana diajarkan oleh Montesquieu, melainkan menganut
sistem pembagian kekuasaan karena:
1. UUD 1945 tidak membatasi secara tajam, bahwa setiap kekuasaan itu harus dilakukan
oleh satu organ/badan tertentu yang tidak boleh saling campur tangan.
2. UUD 1945 tidak membatasi kekuasaan itu dibagi atas tiga bagian saja dan juga tidak
membatasi pembagian kekuasaan dilakukan oleh tiga organ/badan saja.
3. UUD 1945 tidak membagi habis kekuasaan rakyat yang dilakukan oleh MPR (Pasal 1
ayat 2), kepada lembaga negara lainnya.20
Demikian juga Jimly, yang menyatakan bahwa selama ini (sebelum amandemen),
UUD 1945 menganut paham pembagian kekuasaan yang bersifar vertikal, bukan
pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal. Kedaulatan rakyat dianggap terwujud
penuh dalam wadah MPR yang dapat ditafsirkan sebagai lembaga tertinggi ataupun

18
Moh, Mahfud MD, 2000, Demokrasi Dan Konstitusi di Indonesia, Studi Tentang Interaksi Politik dan
Kehidupan Keta-tanegaraan, Jakarta , Rineka Cipta, hlm 149-151
19
Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta , LP3ES, hlm 309.
20
Mahfud MD, Politik Hukum…………..hlm 312.

10
10
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme …

sebagai forum tertinggi. Dari sini, fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan
kewenangan lembaga-lembaga tinggi negara yang ada dibawahnya, yaitu Presiden, DPR,
MA, dan seterusnya.
Dalam perspektif pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal itu, prinsip
kesederajatan dan perimbangan kekuasaan itu tidaklah bersifat primer. Karena itu, dalam
UUD 1945 yang asli (UUD 1945 sebelum amandemen) tidak diatur pemisahan yang tegas
dari fungsi legislatif dan eksekutif. Dalam sistem yang lama, fungsi utama DPR lebih
merupakan lembaga pengawas daripada lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya.21
Hal ini dapat dilihat dari ketentuan UUD 1945 sebelum amandemen. Presiden
disamping memegang kekuasaan pemerintahan (kepala eksekutif, Pasal 4 ayat 1), juga
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dan peraturan pemerintah
(kekuasaan legislatif, Pasal 5), sementara fungsi DPR dalam membentuk undang-undang
bersifat pasif yaitu sebatas memberikan persetujuan (Pasal 20). Presiden juga memberi
grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi (kekuasaan yudikatif, Pasal 14).
Demikian juga kekuasaan Presiden yang lain mendapatkan porsi pengaturan yang
lebih besar dalam UUD 1945, dibandingkan dengan kekuasaan lembaga negara tinggi
lainnya. Kekuasaan Presiden yang besar, menjadi tidak terimbangi oleh kekuasaan
lembaga negara tinggi lainnya, karena sebagian besar kekuasaannya tidak dipengaruhi
oleh kekuasaan lainnya (Presiden dianggap mempunyai hak prerogatif /hak istimewa).
MPR (lembaga legislatif) sebagai pemegang tunggal kedaulatan rakyat memilih Presiden
(Pasal 6) dan dapat memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya (Pasal 8), apabila
dalam pengawasan DPR dianggap sungguh-sungguh telah melanggar UUD dan GBHN
(penjelasan UUD 1945).
GBHN yang dituangkan dalam TAP MPR merupakan program kerja yang
dimandatkan kepada Presiden. Penjelasan UUD 1945 menegaskan bahwa Presiden yang
diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Ia ialah
‛mandataris‛ dari Majelis. Ia berwajib menjalankan putusan-putusan Majelis.22
b. Pemisahan Kekuasaan Pasca Amandemen tahun 1999 UUD 1945
Salah satu unsur terpenting dari negara hukum adalah adanya pembagian kekuasaan
atau pemisahan kekuasaan dalam negara. Ajaran pemisahan kekuasaan (separation of
power) telah memperlihatkan corak yang beragam di berbagai negara. Kenyataan
menunjukkan bahwa sistem pemerintahan yang berbeda telah mengembangkan doktrin
ini dengan cara yang berbeda, tergantung pada praktik politik, kebiasaan dan prinsip-
prinsip hukum yang dianut suatu negara. Bahkan Marshall menyatakan bahwa “The
phrase “separation of power” is, however, one of the most confusing in the vocabulary of political
and constitutional thought It has been used with variying implications by historians and political
scientists”. (Ungkapan pemisahan kekuasaan merupakan hal yang sangat
membingungkan di dalam kosakata pemikiran politik dan konstitusional. Ungkapan
pemisahan kekuasaan tersebut telah digunakan dengan berbagai implikasi oleh para
sejarahwan dan ilmuwan politik).
Pemisahan kekuasaan, karena itu dapat dipahami sebagai doktrin konstitusional atau
doktrin pemerintahan yang terbatas yang membagi kekuasaan pemerintahan ke dalam
cabang kekuasaun legislatif, eksekutif dan yudisial. Tugas kekuasaan legislatif adalah

21
Mahfud MD, Politik Hukum…………, hlm 314-315
22
Mahfud MD, Politik Hukum………., hlm 316.

11
11
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Achmad Mufid Murtadho

membuat hukum, kekuasaan eksekutif bertugas menjalankan hukum dan kekuasaan


yudisial bertugas menafsirkan hukurn.
Terkait erat dan tidak dapat dipisahkan dengan pengertian ini adalah checks and
balances, yang mengatakan bahwa masing-masing cabang pemerintahan membagi
tindakan-tindakannya. Ini berarti, kekuasaan dan fungsi dari masing-masing cabang
adalah terpisah dan dijalankan oleh orang yang berbeda, tidak ada agen tunggal yang
dapat menjalankan otoritas yang penuh karena masing_masing bergantung satu sama
lain.
Kekuasaan yang terbagi semacam inilah yang mencegah absolutisme (sebagaimana
dalam kekuasaan monarki atau diktator ketika semua cabang terpusat pada otoritas
tunggal), atau mencegah korupsi kekuasaan yang timbul karena kemungkinan kekuasaan
tanpa pengawasan. Bagaimana memahami rationale dan doktrin pemisahan kekuasaan
yang pada esensinya merupakan doktrin konstitusionalisme atau doktrin pemerintahan
yang terbatas (limited government) ini? Kontrol atau dorongan publik hampir tidak
mungkin jika kekuasaan negara berada pada satu atau sejumlah kecil orang. Kontrol dan
pengaruh yang efektif atas kekuasaan negara hanya mungkin terjadi melalui kekuasaan
negara sendiri. Jadi, masyarakat yang bebas harus membagi kekuasan diantara otoritas
yang berbeda dan berdiri sendiri. Kebebasan individu akan terjaga jika warga negara
dapat saling mengawasi satu sama lain, dan jika konsentrasi atau monopoli kekuasaun
dapat dicegah.23
c. Lembaga Negara di Indonesia.
Menurut Hans Kelsen, organ negara itu setidaknya menjalankan salah satu dari 2
(dua) fungsi, yakni fungsi menciptakan hukum (law-creating function) atau fungsi yang
menerapkan hukum (law-applying function). Dengan menggunakan analisis Kelsen
tersebut, Jimly Asshiddiqie menyimpulkan bahwa pasca perubahan UUD 1945, dapat
dikatakan terdapat 34 lembaga negara. Dari 34 lembaga negara tersebut, ada 28 lembaga
yang kewenangannya ditentukan baik secara umum maupun secara rinci dalam UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ke-28 lembaga negara inilah yang dapat disebut
sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional atau yang
kewenangannya diberikan secara eksplisit oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Ke-34 organ tersebut dapat dibedakan dari dua segi, yaitu dari segi fungsinya dan
dari segi hirarkinya. Hirarki antar lembaga negara itu penting untuk ditentukan karena
harus ada pengaturan mengenai perlakuan hukum terhadap orang yang menduduki
jabatan dalam lembaga negara itu. Mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah
perlu dipastikan untuk menentukan tata tempat duduk dalam upacara dan besarnya
tunjangan jabatan terhadap para pejabatnya. Untuk itu, ada dua kriteria yang dapat
dipakai, yaitu (i) kriteria hirarki bentuk sumber normatif yang menentukan
kewenangannya, dan (ii) kualitas fungsinya. yang bersifat utama atau penunjang dalam
sistem kekuasaan negara. Sehubungan dengan hal itu, maka dapat ditentukan bahwa dari
segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau primer, dan ada
pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary). Sedangkan dari segi hirarkinya,
ke-34 lembaga itu dapat dibedakan ke dalam tiga lapis.

23
Mahfud MD, Politik Hukum……… hlm 317

12
12
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme …

Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua
disebut sebagai Lembaga negara saja, sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga
daerah. Di antara lembaga-lembaga tersebut ada yang dapat dikategorikan sebagai organ
utama atau primer (primary constitutional organs), dan ada pula yang merupakan organ
pendukung atau penunjang (auxiliary state organs). Corak dan struktur organisasi negara
kita di Indonesia juga mengalami dinamika perkembangan yang sangat pesat.24
Setelah masa reformasi sejak tahun 1998, banyak sekali lembaga-lembaga dan komisi-
komisi independen yang dibentuk. Menurut Jimly Assshiddiqie, beberapa di antara
lembaga-lembaga atau komisi-komisi independent dimaksud dapat diuraikan di bawah
ini dan dikelompokkan sebagai berikut.
1. Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dan bersifat independen, yaitu:
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
c. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
d. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
e. Mahkamah Konstitusi (MK);
f. Mahkamah Agung (MA);
g. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
2. Lembaga Negara dan Komisi-Komisi Negara yang bersifat independen berdasarkan
konstitusi atau yang memiliki constitutional importance lainnya, seperti:
a. Komisi Yudisial (KY);
b. Bank Indonesia (BI) sebagai Bank sentral;
c. Tentara Nasional Indonesia (TNI);
d. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI);
e. Komisi Pemilihan Umum (KPU);
f. Kejaksaan Agung yang meskipun belum ditentukan kewenangannya dalam UUD
1945 me-lainkan hanya dalam UU, tetapi dalam menjalankan tugasnya sebagai
pejabat penegak hukum di bidang pro justisia, juga memiliki constitutional
importance yang sama dengan kepolisian;
g. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dibentuk berdasarkan UU tetapi
memiliki sifat constitutional importance berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945;
h. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS-HAM) yang di bentuk
berdasarkan undang-undang tetapi juga memiliki sifat constitutional importance.
3. Lembaga-Lembaga Independen lain yang dibentuk berdasarkan undang-undang,
seperti:
a. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);
b. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU);
c. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI);
4. Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya,
seperti Lembaga, Badan, Pusat, Komisi, atau Dewan yang bersifat khusus di dalam
lingkungan peme-rintahan, seperti:
a. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI);
b. Komisi Pendidikan Nasional;

24
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Hukum Tata Negara Indonesia,Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata
Negara FH UI, hlm. 143-150

13
13
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Achmad Mufid Murtadho

c. Dewan Pertahanan Nasional;


d. Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas);
e. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);
f. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT);
g. Badan Pertanahan Nasional (BPN);
h. Badan Kepegawaian Nasional (BKN);
i. Lembaga Administrasi Negara (LAN);
j. Lembaga Informasi Nasional (LIN).
5. Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya,
seperti:
a. Menteri dan Kementerian Negara;
b. Dewan Pertimbangan Presiden;
c. Komisi Hukum Nasional (KHN);
d. Komisi Ombudsman Nasional (KON);
e. Komisi Kepolisian;
f. Komisi Kejaksaan.
6. Lembaga, Korporasi, dan Badan Hukum Milik Negara atau Badan Hukum yang
dibentuk untuk kepentingan negara atau kepentingan umum lainnya, seperti:
a. Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA;
b. Kamar Dagang dan Industri (KADIN);
c. Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI);
d. BHMN Perguruan Tinggi;
e. BHMN Rumah Sakit;
f. Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI);
g. Ikatan Notaris Indonesia (INI);
h. Persatuan Advokat Indonesia (Peradi).
2. Doktrin Konstitusionalisme Dalam Ketatanegaraan Indonesia
Bagi negara-negara modern, keinginan untuk menjamin hak-hak politik warga negara
secara efektif dan mengatur penyelenggaraan kekuasaan negara secara tertib telah
mendorong setiap negara untuk menganut paham konstitusionalisme. Diyakini bahwa cara
yang terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan konstitusi, sehingga
konstitusionalisme bagi negara-negara modern sebagai suatu keniscayaan.
Keniscayaan bagi negara-negara modern untuk menganut paham konstitusionalisme
didasarkan pada pemahaman bahwa konstitusi dianggap sebagai perwujudan dari hukum
tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah sekalipun, sesuai
dengan dalil yang dikemukakan oleh John Adams ‚government by law, not by men‛. Juga
konstitusi itu menjamin hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan
negara sedemikian rupa sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen
dan lembaga-lembaga hukum‛.
Sesungguhnya konstitusionalisme adalah suatu paham yang sudah sangat tua, yang
hadir sebelum lahirnya gagasan tentang konstitusi. Terbukti konstitusionalisme sudah
menjadi anutan semenjak pemerintahan polis negara kota jaman Yunani Kuno, masa
Romawi Kuno, dan sejarah kekhalifahan Islam, sebagaimana terungkap dalam Piagam
Madinah. Sederhananya konstitusionalisme dihadirkan dengan tujuan untuk menjaga
berjalannya pemerintahan secara tertib.

14
14
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme …

Dalam ketetatanegaraan Indonesia, konstitusi memiliki beberapa perbedaan pendapat,


terutama pada kalangan tokoh-tokoh terkemuka indonesia, berikut peneliti jabarkan
tentang hal tersebut :
Menurut C.F. Strong, konstitusi merupakan ‚kumpulan prinsip-prinsip yang
mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak pihak yang diperintah (rakyat), dan
hubungan di antara keduanya‛.
Dengan demikian, konstitusi itu mengandung prinsip-prinsip hubungan dan batas-
batas kekuasaan antara pemerintahan dengan hak-hak rakyat (diperintah). Sementara
James Bryce mengemukakan bahwa:
‚A constitution as a frame work of political society, organised through and by law‚
Artinya : konstitusi sebagai satu kerangka masyarakat politik yang pengorganisasiannya
melalui dan oleh hukum.
Lebih lanjut Jimly mengemukakan bahwa, ‚semua konstitusi selalu menjadikan
kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang
perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya‛. Dikatakannya pula bahwa ‚konstitusi
membatasi dan mengatur bagaimana kedaulatan rakyat itu disalurkan, dijalankan dan
diselenggarakan dalam kegiatan kenegaraan dan kegiatan berpemerintahan sehari-hari‛.
Bahkan ‚konstitusi juga menyediakan mekanisme kontrol agar setiap penyimpangan
penggunaan kewenangan dapat dikembalikan pada posisi normatifnya atau sesuai dengan
konstitusi‛.
Selain itu, eksistensi sebuah konstitusi bagi suatu negara dalam pandangan Ellydar
Chaidir dan Sudi Fahmi bahwa ‚tidak hanya dimaksudkan untuk membatasi wewenang
penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur pemerintahan, tetapi konstitusi juga
menjadi alat rakyat mengkonsolidasikan kedudukan politik dan hukum dengan mengatur
kehidupan bersama untuk mencapai cita-cita‛.25
Pada tataran inilah eksistensi sebuah konstitusi bagi suatu negara pada hakikatnya
merupakan akar paham konstitusionalisme dimana tidak hanya dimaksudkan untuk
membatasi wewenang penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur pemerintahan, tetapi
konstitusi juga menjadi alat rakyat mengkonsolidasikan kedudukan politik dan hukum
dengan mengatur kehidupan bersama untuk mencapai cita-cita.
Itulah sebabnya, pada saat ini konstitusi tidak hanya memuat aturan hukum tetapi
juga merumuskan atau menyimpulkan prinsip-prinsip hukum, garis haluan negara, dan
patokan kebijaksanaan (policy) yang semuanya mengikat penguasa. Lagi pula, konstitusi
dalam pandangan Jimly, menghendaki negara terbentuk atas dasar hukum dasar (basic
norm) yang demokratis, yang merupakan naluri masyarakat suatu bangsa, sehingga
konstitusi yang dibentuk adalah konstitusi demokrasi yang menghendaki the rule of law.
Dengan batasan tegas yang ditentukan konstitusi sebagai aturan dasar negara, maka
diharapkan penguasa tidak mudah memanipulasi konstitusi untuk mengendalikan
kepentingan kekuasaannya. Selain itu, konstitusi juga diharapkan mampu menjamin dan
memberikan perlindungan hak-hak rakyatnya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa penggunaan kekuasaan negara pada dasarnya
sudah ditentukan secara tegas dan dibatasi oleh sifatnya masing-masing. Konstitusi telah
memberikan pegangan dan batasan sekaligus tentang cara bagaimana kekuasaan negara
dijalankan. Oleh karena konstitusi mengikat segenap lembaga negara dan seluruh warga

25
Assiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, 180-190.

15
15
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Achmad Mufid Murtadho

negara, maka yang menjadi pelaksana konstitusi adalah semua lembaga negara dan
segenap warga negara sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing sebagaimana
diatur dalam konstitusi itu sendiri.26
Hal ini sesuai pendapat Miriam Budiardjo bahwa ‚konstitusi mempunyai fungsi yang
khusus dan merupakan perwujudan atau manifestasi dari hukum yang tertinggi yang
mengikat dan harus ditaati oleh semua warga negara dan lembaga negara tanpa kecuali‛.
Dengan pemaknaan demikian, maka dapatlah dikatakan bahwa pengingkaran
terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang oleh konstitusi ditegaskan sebagai institusi
negara pengawal dan penafsir konstitusi merupakan tindakan pengingkaran terhadap
konstitusi itu sendiri. Oleh karena itu, implementasi putusan Mahkamah Konstitusi
merupakan suatu keharusan dalam rangka pemahkotaan nilai-nilai konstitusi sebagai
aturan dasar negara.
Walaupun paham konstitusionalisme diturunkan (derive) dari konstitusi, dan dalam
perkembangannya bahkan mendorong keberadaan constitutional state namun esensi
konstitusionalisme mengagas pembatasan kekuasaan dalam negara.
Menurut Jimly Asshiddiqie, ‚jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuhlah pula
legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya perang saudara (civil
war) atau revolusi dapat terjadi‛.
Hal ini semisal tercermin dalam tiga peristiwa besar dalam sejarah umat manusia,
yaitu revolusi penting yang terjadi di Perancis tahun 1789, di Amerika tahun 1776, dan di
Rusia pada tahun 1917, ataupun di Indonesia pada tahun 1998, serta yang masih terhangat
revolusi yang terjadi di Irak tahun 2008 dan di Mesir tahun 2013. Kesemuanya diakibatkan
karena di antara warga negara tidak tercapai konsensus terkait bangunan negara yang
diidealkan.
Selanjutnya dikatakan pula oleh Jimly bahwa :
‚Dengan adanya kesepakatan itu, maka konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan
karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan institusi
kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka
kehidupan negara berkonstitusi. Kesepakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam
dokumen konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun waktu
yang cukup lama‛.
Dengan kerangka yang demikian, maka konstitusi dalam paham konstitusionalisme
pada akhirnya dipahami sebagai hukum tertinggi karena ia merupakan wujud perjanjian
sosial tertinggi dari seluruh rakyat yang berdaulat dalam suatu negara melalui suatu
permusyawaratan (deliberasi) publik.27
Paham konstitusionalisme merupakan komponen integral dari pemerintahan yang
demokratis. Tanpa memberlakukan konstitusionalisme pada dirinya, pemerintahan
demokratis tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu negara yang demokratis haruslah
menerapkan dan menjalankan konstitusionalisme dalam jiwa bangsanya sehingga
pemerintahan yang demoratis dapat terwujud.
Argumentasi yang demikian didasarkan pada suatu suatu prinsip bahwa
pemerintahan yang demokratis hanya dapat tercipta manakala konsep demokrasi yang

26
Agus Wahyudi, “Doktrin Pemisahan Kekuasaan Akar Filsafat dan Praktek”, dalam Jurnal Hukum Lentera,
“Nega-ra & Kekuasaan”, Edisi 8 Tahun III, Maret 2005, hlm. 7-9.
27
Jimly Assiddiqie, , 2006 Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta , Konstitusi Press, hlm. 188-192

16
16
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme …

dibangun adalah konsep demokrasi yang berdasar atas hukum atau demokrasi
konstitusional.
Menurut Miriam Budiarjo, ‚ciri khas dari demokrasi konstitusional ialah gagasan
bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan
tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-
pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi, sehingga sering
disebut pemerintah berdasarkan konstitusi‛.
Menurut Ridwan HR.,
‚...dalam perspektif hukum publik, adanya kewenangan inilah yang memunculkan adanya
pertanggungjawaban, sejalan dengan prinsip umum ‘tidak ada kewenangan tanpa
pertanggungjawaban‛.
Sementara itu, konstitusi itu sendiri meletakkan banyak tugas, baik positif maupun
negatif, pada berbagai organ pemerintah negara, seperti yang ditegaskan oleh Edward
Samuel Corwin
‚...the constitution itself lays many duties, both positive and negative, upon the different organs of
state government...‛.

Searah dengan pendapat tersebut, Bagir Manan menyatakan bahwa :


‚Keberadaan lembaga-lembaga negara sebagai pelaksana kekuasaan serta seluruh elemen
kekuasaan, legitimasinya bertumpu pada konstitusi sebagai sumber sekaligus pengatur
kekuasaan. Kekuasaan yang ada dalam organisasi negara merupakan jabatan yang
dijalankan oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu. Pertanggungjawaban
terhadapnya merupakan suatu keharusan konstitusional sebagaimana kekuasaan itu
diperoleh serta lingkup kekuasaan itu digunakan‛.
Dengan makna yang demikian, maka konstitusi dengan sendirinya menjadi lingkup
pertanggungjawaban yang mengikat penguasa atas segala bentuk penggunaan kekuasaan.
Dengan kata lain penggunaan kekuasaan itu kemudian oleh pejabat dalam lingkungan
lembaga-lembaga negara harus mempertanggung-jawabkan sesuai dengan apa yang
diamanahkan dalam konstitusi.
Karena itu, paham konstitusionalisme jelas-jelas menghendaki pelaksanaan kekuasaan
tersebut dipertanggungjawabkan, sehingga dalam sistem pembagian kekuasaan berlaku
prinsip bahwa setiap kekuasaan wajib dipertanggungjawabkan.28
Hal ini seperti diutarakan Walton H. Hamilton, bahwa:
“Constitutionalism is the name given to the trust which men respose in the power of words
engrossed on parchment to keep a government in order”.
Artinya : Konstitusionalisme adalah nama yang diberikan kepada kepercayaan yang
dipegang oleh laki-laki dalam kekuatan kata-kata yang asyik dengan perkamen
untuk menjaga pemerintahan tetap teratur.
Meskipun telah tua usianya, akan tetapi konstitusionalisme masih menjadi satu paham
yang paling efektif untuk mengelola kekuasaan pada masa modern saat ini. Seperti
dikatakan pemikir politik kontemporer Gabriel A. Almond, yang menyatakan bahwa
bentuk pemerintahan terbaik yang bisa diwujudkan adalah pemerintahan campuran atau
pemerintahan konstitusional, yang membatasi kebebasan dengan aturan hukum dan juga

28
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 219-221.

17
17
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Achmad Mufid Murtadho

membatasi kedaulatan rakyat dengan institusi-institusi negara yang menghasilkan


ketertiban dan stabilitas.
Demikian pula menurut Richard S. Kay,
‚constitusionalism implements the rule of law; It brings about predictability and security in the
relations of individuals and the government by defining in advance the powers and limits of that
government‛.
Jadi artinya konstitusionalisme menghadirkan situasi yang dapat memupuk rasa aman,
karena adanya pembatasan terhadap wewenang pemerintah yang telah ditentukan lebih
dahulu.
Konstitusi pada hakikatnya berlaku sebagai hukum tertinggi karena merupakan
wujud perjanjian sosial tertinggi seluruh rakyat yang berdaulat dalam suatu negara. Dalam
konstitusi terdapat berbagai dokumen hukum, politik dan ekonomi yang berfungsi sebagai
‛mercusuar‛ yang memberikan pedoman, arah, dan petunjuk bagi suatu negara untuk
menata dirinya. Konstitusi juga berisi tentang aturan main antar berbagai pusat kekuasaan
sehingga terdapat kepastian bagi terselenggaranya pemerintahan yang efektif dan
demokratis.
Hal demikian disebabkan karena ‚konstitusi merupakan hukum dasar yang mengatur
pokok-pokok dalam menjalankan negara‛. Pada negara yang berdasarkan konstitusi
memberlakukan konstitusi sebagai "the higher law" dan "fundamental law". K.C. Wheare
dalam konteks ini menyebutkan :
The short explanation of this phenomenon is that in many countries a Constitution is thought of as
an instrument by which government can be controlled. Constitution spring from a belief in limited
government.29
Secara singkat aratinya dapat dijelaskan bahwa di banyak negara Konstitusi adalah salah
satu sarana yang digunakan untuk mengawasi pemerintahan. Konstitusi mendasari
pemerintahan yang terbatas.
Dengan merujuk pendapat Wheare ini dapat ditegaskan bahwa konstitusi berfungsi
menetapkan organisasi negara dan mengatur hubungan antara pemerintah dan warganya,
serta mengawasi pemerintahan. Mac Iver menyebut konstitusi sebagai ‚hukum yang
mengatur kekuasaan negara‛.
Hal ini terlihat dari argumentasi yang dikemukakan oleh Michael Allen dan Brian
Thompson bahwa:
“...the principle of constitutionalism rest on this idea of restraining the government in its exercise of
power; Constitutionalism therefore, is to be set in contradiction to arbitrary power”.30
Artinya : Prinsip konstitusionalisme bertumpu pada gagasan untuk menahan pemerintah
dalam menjalankan kekuasaannya; Oleh karena itu, konstitusionalisme harus
diatur dalam kontradiksi dengan kekuasaan yang sewenang-wenang.
Pendapat senada ditegaskan pula oleh Carl J. Frederich bahwa:
‚constitutionalism is an institutionalized system of effective, regularized restraints upon
governmental action‛.31
Artinya : Konstitusionalisme adalah sistem pengekangan yang efektif dan teratur yang
dilembagakan atas tindakan pemerintah.

29
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 1.
30
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 2
31
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 2

18
18
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme …

Dikemukakan pula oleh Charles Howard McIlwain bahwa:


‚...constitutionalism has one essential quality: it is a legal limitation on government; it is the
antithesis of arbitrary rule; its opposite is despotic government, the government of will instead of
law‛.32
Artinya : Konstitusionalisme memiliki satu kualitas esensial: ia adalah pembatasan hukum
terhadap pemerintah; itu adalah antitesis dari aturan yang sewenang-wenang;
kebalikannya adalah pemerintahan despotik, pemerintahan kehendak bukan
hukum.
Pendapat tersebut di atas sesungguhnya merujuk pada konsep dasar bahwa
konstitusionalisme dalam arti yang umum adalah
“...a complex of ideas, attitudes, and patterns of behavior elaborating the principle that the authority
of government derives from and is limited by a body of fundamental law‛ kata Don E.
Fehrenbacher.33
Artinya : Suatu kompleks gagasan, sikap, dan pola perilaku yang menguraikan prinsip
bahwa otoritas pemerintah berasal dari dan dibatasi oleh suatu badan hukum
dasar.
Dengan demikian, paham konstitusionalisme memuat esensi pembatasan kekuasaan
dan kekuasaan itu sendiri dibatasi oleh konstitusi sebagai norma hukum tertinggi.
Persoalan yang dianggap terpenting dalam paham konstitusional adalah pengaturan
mengenai pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan.
Paham Konstitusionalisme mengemban the limited state, agar penyelenggaraan negara
dan pemerintahan tidak sewenang-wenang dan hal dimaksud dinyatakan serta diatur
secara tegas dalam pasal-pasal konstitusi. Dalam hal ini Andrew Vincent menegaskan
bahwa:
‚constitutionalists have placed their primary emphasis on limitating and diversifying authority and
power‛.34
Artinya : Konstitusionalis telah menempatkan penekanan utama mereka pada pembatasan
dan diversifikasi otoritas dan kekuasaan.
Oleh karena itu, pada pokoknya paham konstitusionalisme modern sebenarnya
menyangkut prinsip pembatasan kekuasaan atau yang lazim disebut sebagai prinsip
limited government. Artinya, dalam paham konstitusionalisme, kekuasaan melarang dan
prosedur ditentukan, sehingga kekuasaan pemerintah menjamin pemerintah yang tidak
sewenang-wenang dan pemerintah yang bertanggung jawab.
Gagasan mengatur dan membatasi kekuasaan ini secara ilamiah muncul karena
adanya kebutuhan untuk merespon perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat.35
Paham konstitusionalisme pada hakikatnya berbasis pokok pada adanya kesepakatan
umum (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan
berkenaan dengan negara. Pernyataan ini didasarkan pada kenyataan di mana organisasi
negara itu diperlukan oleh warga negara agar kepentingan mereka bersama dapat

32
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 3
33
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 3
34
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 3
35
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi Jakarta, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, hlm. viii-ix.

19
19
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Achmad Mufid Murtadho

dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dari apa yang dinamakan negara,
sebagaimana yang ditegaskan oleh William George Andrews bahwa:
‚The members of a political community have, definition, common interests which they seek to
promote or protect through the creation and use of the compulsory political mechanisms we call the
State‛.36
Artinya : Anggota komunitas politik memiliki, definisi, kepentingan bersama yang mereka
coba promosikan atau lindungi melalui penciptaan dan penggunaan mekanisme
politik wajib yang kita sebut Negara.
Jadi kata kuncinya di sini adalah konsensus atau general agreement. Lebih lanjut
jelaskannya bahwa konsensus atau general agreement itu meliputi :
a. the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government;
b. the rule of law the basis of government; and
c. the reform of institutiions and procedures37.
Ketiga elemen ini sangat menentukan tegaknya paham konstitusionalisme di suatu
negara.
Dengan demikian, corak dari pemerintahan demokratis adalah bahwa tindakan
pemerintah harus senantiasa didasarkan pada kehendak konstitusi sebagai esensi dari
paham konstitusionalisme.
Demokrasi yang diidealkan harus diletakkan dalam koridor hukum. Tanpa hukum,
demokrasi justru dapat berkembang ke arah yang keliru karena hukum dapat ditafsirkan
secara sepihak oleh penguasa atas nama demokrasi.
Pada sisi inilah paham konstitusionalisme memposisikan konstitusi sebagai komponen
intergral dari pemerintahan demokratis. Dalam paham konstitusionalisme,
pertanggungjawaban pelaksanaan kekuasan merupakan suatu keharusan konstitusional
sebagaimana kekuasaan itu diperoleh serta lingkup kekuasaan itu digunakan. Dalam
sistem pembagian kekuasaan berlaku prinsip bahwa setiap kekuasaan wajib
dipertanggungjawabkan.
Menurut C.F. Strong, ‚...a system of government in which the majority of the grown members
of political community participate through a method of representation which secures that the
government is ultimately responsible for its actions to that majority‛.38
Jadi dalam sistem pemerintahan yang dibentuk berdasarkan kehendak mayoritas
masyarakat politik menghendaki bahwa pemerintah bertanggung jawab atas tindakan
kepada mayoritas itu.
A.D. Belinfante menegaskan ‚no one can exercise authority without responsibility or assume
liability without supervision‛.39
Jadi tidak seorangpun dapat melaksanakan kewenangan tanpa memikul kewajiban
tanggung jawab atau tanpa ada pelaksanaan pengawasan.
3. Implikasi Konstitusionalisme Dan Hukum Tata Negara Dari Era Gusdur Hingga
Jokowi
Dalam perkembangan konstitualisme maupun ketatanegaraan di Indonesia sering kali
terjadinya pucuk pimpinan, baik karena alasan reformasi ataupun lainnnya, tapi yang akan

36
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 4
37
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 4
38
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 4
39
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 6

20
20
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme …

peneliti bicarakan lebih lanjut adalah mengenai Implikasi Konstitusionalisme Dan Hukum
Tata Negara Dari Era Gusdur Hingga Jokowi.
1. Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur)
Abdurrahman Wahid atau dikenal dengan Gus dur memenangkan pemilihan
presiden tahun 1999 yang pada saat itu masih dipilih oleh MPR walaupun sebenarnya
partai pemenang pemilu adalah partai Megawati Soekarno Putri yakni PDIP. PDIP
berhasil meraih 35 % suara namun adanya politik poros tengah yang digagas oleh
Amien Rais berhasil memenangkan Gus Dur dan pada saat itu juga megwati dipilih
oleh Gus Dur sendiri sebagai wakil presiden. Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD
diadakan pada 7 Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati
Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan
34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto-sebelumnya selalu menjadi pemenang
pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan
pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai
presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid
membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November
1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.40
Selain itu Abdurrahman Wahid atau Gus Dur merupakan bapak Pluralisme di
Indonesia, hal itu dikarenakan semasa hidup nya Abdurahman Wahid selalu membela
kaum minoritas dan sangat anti dengan yang namanya kekerasan dan ketidak adilan.
bahkan dengan gagahnya Abdurahman Wahid berani meresmikan agama baru yaitu
Konghucu menjadi agama resmi di Indonesia.41
Menurut Abdurahman Wahid Tuhan itu gak perlu dibela, tapi manusia sebagai
makhluknya lah yang harus di bela. Sehingga apabila setiap golongan merasa saya
yang paling benar itu suatu kesalahan, karena agama Islam mewajibkan kita itu untuk
menyebarkan nafas nafas Islam dalam kehidupan budaya Indonesia, bukan lah
mendirikan Negara Islam. Sehingga kata-kata yang sering keluar dari mulutnya yaitu
‚Pribumisasi‛ bukan lah ‚Arabisasi‛.
Abdurahman Wahid tidak sedikitpun memberikan gambaran dirinya sebagai
penganut Pluralisme dengan pengertian pembenaran seluruh agama atau aliran
kepercayaan lainnya dinilai sama derajat keimanannya. Abdurahman Wahid
memberikan rasa hormatnya kepada setipa ajaran agama atau kepercayaan yang
diimani oleh penganutnya. Sikap Abdurahman Wahid menghormati keyakinan yang
berbeda tidaklah berarti Abdurahman Wahid adalah penganut Pluralisme yang
membenarkan dan mensejajarkan ajaran agama sama dengan aliran sekularisme.
Sebagai Guru Bangsa, Abdurahman Wahid berpartisipasi aktif melindungi
pelaksanaan ajaran agama dan kepercayaannya sebagaimana yang tertera dalam UUD
1945 Bab XI Pasal 29 butir kedua.42
Namun disayangkan pluralisme di dalam kehidupan bangsa Indonesia yang ingin
diwujudkan oleh Abdurahman Wahid sempat mengalami permasalahan dikarenakan
40
Wahdjosumidjo, Kiat Kepemimpinan Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta : PT. Harapan Masa PGRI, 1994), h,
20.
41
Ridjaluddin, Demokrasi Pemikiran Gus Dur dan Keterpaduannya Dengan Demokrasi Amien Rais dan Syafi’
Ma’arif, (Jakarta: LKis , 2002). h. 3
42
Ridjaluddin, Demokrasi Pemikiran Gus Dur… h. 3

21
21
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Achmad Mufid Murtadho

terjadinya kerusuhan berbau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan seperti
adanya kerusuhan Sampit yaitu pertikaian antara suku Dayak dan Madura yang
banyak memakan korban jiwa dan kerusuhan ini terjadi pada tanggal 27 Februari
2000.
Dalam kapasitas dan ambisinya, Presiden Abdurrahman Wahid sering melontarkan
pendapat kontroversial. Ketika menjadi Presiden RI ke-4, ia tak gentar mengungkapkan
sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan
menentangnya. Kendati suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak
jarang malah menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia
memang seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan
dia juga tak gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang.
Jika diselisik, kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang
kontroversi.43
Kendati pendapatnya tidak selalu benar untuk menyebut seringkali tidak benar
menurut pandangan pihak lain adalah suatu hal yang sulit dibantah bahwa banyak
pendapatnya yang mengarahkan arus perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai
dengan tujuan bangsa dalam Pembukaan UUD 1945. Bagi sebagian orang, pemikiran-
pemikiran Abdurahman Wahid sudah terlalu jauh melampui zaman. Ketika ia berbicara
pluralisme diawal diawal reformasi, orang-orang baru mulai menyadari pentingnya
semangat pluralisme dalam membangun bangsa yang beragam di saat ini.
Abdurahman Wahidlah menjadi pemimpin yang meletakkan fondasi perdamaian
Aceh. Pada pemerintahan Abdurahman Wahidlah, pembicaraan damai antara Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia menjadi terbuka. Padahal, sebelumnya,
pembicaraan dengan GAM sesuatu yang tabu, sehingga peluang perdamaian seperti
ditutup rapat, apalagi jika sampai mengakomodasi tuntutan kemerdekaan. Saat
sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya untuk Aceh, Abdurahman Wahid.
tetap memilih menempuh cara-cara penyelesaian yang lebih simpatik: mengajak tokoh
GAM duduk satu meja untuk membahas penyelesaian Aceh secara damai. Bahkan
secara rahasia Abdurahman Wahid mengirim Bondan Gunawan, Pjs (pejabat sementara)
Menteri Sekretaris Negara, menemui Panglima GAM Abdullah Syafii di pedalaman
Pidie.
Di masa Abdurahman Wahid. pula, untuk pertama kalinya tercipta Jeda
Kemanusiaan. Selain usaha perdamaian dalam wadah NKRI, Abdurahman Wahid.
disebut sebagai pionir dalam mereformasi militer agar keluar dari ruang politik.44
Berikut peneliti juga menyebutkan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
Gusdur baik di bidang politik, ekonomi, militer, hukum, dan sosial budaya.
1. Bidang Politik
Kebijakan awal pemerintahan Abdurrahman Wahid adalah membubarkan
Departemen Penerangan. Dimasa Orde Baru Departemen penerangan merupakan
alat bagi Presiden Soeharto untuk mengekang kebebasan pers, dengan
dibubarkannya Departemen tersebut maka kebebasan pers di Indonesia semakin
terjamin. Departemen Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah (PKM), yang selama
pemerintahan Habibie menjadi lokomotif ekonomi kerakyatan dijadikan kementerian

43
Ridjaluddin, Demokrasi Pemikiran Gus Dur… h. 3-4
44
Ridjaluddin, Demokrasi Pemikiran Gus Dur… h. 4-5

22
22
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme …

non portofolio alias menteri negara. Akibatnya Departemen Koperasi dan Pengusaha
Kecil Menengah tak punya kaki di daerah Ini sekaligus menandai disisihkanya
kembali sistem ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak.45
Keadaan ini berlangsung sampai sekarang. Lalu Panglima TNI, yang selama
puluhan tahun selalu dipegang Angkatan Darat, diberikan Abdurahman
Wahid kepada Laksamana Widodo HS dari Angkatan Laut. Kemudian ada juga
kebijakan untuk mencabut TAP MPR-RI tentang larangan terhadap Partai Komunis,
ajaran Marxisme, Leninisme, dan Komunisme . Lawan politik KH. Abdurrahman
Wahid menganggap kebijakan ini hanya kepentingan KH. Abdurrahman Wahid
semata, untuk mendapat simpati dari para keluarga mantan tahanan politik yang
terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada titik ini Abdurahman Wahid mulai membuka hubungan langsung dengan
Israel dan tidaklah gampang dijalankan. Protes dan unjuk rasa ke tidak setujuan
marak di seantero negeri. Akibat keinginan membuka hubungan langsung dengan
Israel itu Presiden Abdurahman Wahid yang sampai saat itu masih tercatat sebagai
salah satu pendiri Yayasan Shimon Peres yang berkedudukan di Tel Aviv, langsung
dituduh sebagai agen Yahudi oleh para demonstran. Melihat gelagat tidak
menguntungkan itu, para wakil rakyat lantas meminta Pemerintah menunda
pembukaan hubungan tersebut. Pemerintah memang menyatakan menundanya,
tetapi Abdurahman Wahid secara terbuka menganggap pembukaan hubungan
dagang dengan Israel itu sah-sah saja. Bagi Presiden pembukaan kontak dagang
dengan Israel lebih pantas ketimbang dengan Rusia, Cina atau Korea Utara, Mereka
terang-terangan atheis, menentang Tuhan Sementara orang Yahudi dan Nasrani
masih mengakui adanya Tuhan. Agama Islam masih satu rumpun dengan mereka,
agama samawi.46
Membuka hubungan dagang dengan Israel jauh lebih menguntungkan daripada
membiarkannya berjalan sembunyi-sembunyi sebagaimana terjadi selama ini.
Memang data resmi atas Perdagangan Israel di Singapura menunjukkan
sepanjang 1999 nilai ekspor Indonesia ke Negeri Zionis itu mencapai US$ 11 juta.
Sedang impor Indonesia dari negeri itu mencapai US$ 6 juta. Semuanya dilakukan
melalui pihak ketiga, seperti Singapura dan Belgia.
Kebijakan lain yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid Selama
pemerintahannya adalah mengeluarkan Peraturan Presiden No.6/2000 yang
mencabut Instruksi Presiden No.14/1967 yang dikeluarkan pemerintahan Suharto.
Inpres itu melarang segala bentuk ekspresi agama dan adat Tionghoa di tempat
umum. Dengan pencabutan larangan tersebut maka terbuka jalan bagi etnik
Tionghoa untuk menghidupkan budaya tradisional mereka. Dalam tahun 2000 itu
juga Abdurahman Wahid mengumumkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur
nasional. Dengan demikian maka etnis Cina atau Tionghoa yang selama kekuasaan
Orde Baru mengalami diskriminasi, maka semenjak pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid terlepas dari diskriminasi.47
2. Bidang Ekonomi

45
Andrew Kamal, Spirit 5 Presiden RI (Yogyakarta Syura Media Utama, 2012), h 105
46
Kamal, Spirit 5 Presiden RI….h. 106
47
Kamal, Spirit 5 Presiden RI… 106

23
23
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Achmad Mufid Murtadho

Untuk mengatasi krisis moneter dan memperbaiki ekonomi Indonesia,


dibentuk Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang bertugas untuk memecahkan
perbaikan ekonomi Indonesia yang belum pulih dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan. Dewan Ekonomi nasional diketuai oleh Prof. Dr. Emil Salim,
wakilnya Subiyakto Tjakrawerdaya dan sekretarisnya Dr. Sri Mulyani Indraswari.
Presiden Abdurrahman Wahid mewarisi ekonomi Indonesia yang relatif lebih
stabil dari pemerintahan Habibie, nilai tukar Rupiah berada dikisaran Rp
6.700/US$. indeks harga saham gabungan (IHSG) berada di level 700. Dengan bekal
ini di tambah legitimasi yang dimilikinya sebagai presiden bersama wapres yang
dipilih secara demokratis, Indonesia mestinya sudah bisa melaju kencang. Namun
Presiden Abdurrahman Wahid bersama kabinetnya menolak melanjutkan semua
hasil kerja keras kabinet pemerintahan Habibie misalnya Departemen Koperasi dan
Pengusaha Kecil Menengah (PKM), yang selama pemerintahan Habibie menjadi
lokomotif ekonomi kerakyatan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dijadikan
kementerian nonportofolio atau menteri negara non Departemen.48
Meskipun begitu ditengah anggaran negara yang minus sekitar Rp 42 triliun,
sepanjang tahun 2000 ekonomi Indonesia menggeliat pasti. Bila tahun 1999 ekonomi
Indonesia cuma membukukan pertumbuhan 0,13%. maka di tahun 2000-an
ketika Presiden Abdurrahman Wahid berkuasa pertumbuhan ekonomi Indonesia
mencapai 3-4%. Sementara inflasi bertengger pada angka terkendali, sekitar
7%. Hal ini disebabkan oleh konsumsi yang Tertunda, dulu orang menunda
konsumsinya karena krisis dan menyimpan uangnya dibank sekarang mereka
mengonsumsikannya. Kemudian naiknya ekspor komoditas pertanian dan
elektronik, yang diuntungkan oleh rendahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar.
Naiknya harga minyak dan gas bumi juga menjadi faktor penting dalam menambah
pemasukan keuangan Negara.
Selama pemerintahan Abdurrahman Wahid IMF tak pernah mencairkan
pinjamannya, Bagaimanapun juga presiden Abdurrahman Wahid telah
membuktikan kepada dunia luar, bahwa Indonesia bisa diurus tanpa bantuan dana
dari IMF. Pemerintahan Abdurahman Wahid juga memiliki gagasan sekuritisasi aset
yaitu aset-aset negara, terutama barang tambang bisa dinilai dulu, kemudian
pemerintah bisa mengeluarkan saham atas aset-aset Negara tersebut yang kemudian
diperjual-belikan dipasar modal untuk membiayai pembangunan nasional. namun
sayangnya hal itu tidak dapat terwujud karena Abdurrahman Wahid berhasil
dilengserkan oleh MPR melalui Sidang Istimewa kedudukannya kemudian
digantikan oleh Megawati.49
3. Bidang Militer
Pemerintahan Abdurrahman Wahid untuk melanjutkan proses reformasi militer
mengambil tindakan untuk menciptakan supremasi sipil dengan cara memilih
Menteri Pertahanan dari kalangan sipil yaitu menunjuk Juwono Sudarsono yang
kemudian digantikan oleh Prof. Dr. Mahfud M.D. Salah satu langkah lain yang
diambil Abdurrahman Wahid adalah dengan memilih Laksamana Widodo A. S yang
berasal dari Angkatan Laut sebagai Panglima TNI. Pemilihan Laksamana
48
Abdul Munir Mulkhan, Perjalanan Politik Gus Dur, (Jakarta: PT. Kompas, 2010), h. 90
49
Mulkhan, Perjalanan Politik……, h.91

24
24
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme …

Widodo A.S ini merupakan suatu dobrakan atas tradisi mengingat dari awal
berdirinya organisasi militer di Indonesia, Angkatan Darat selalu menempati pucuk
tertinggi. Di samping itu, ada lima kebijakan yang lain diambil oleh Abdurahman
Wahid untuk mereformasi militer dan menciptakan supremasi sipil, yaitu :
1. Mengurangi jumlah perwira yang duduk di jabatan publik baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah seperti jabatan direktur jendral, inspektur jendral,
jabatan setingkat menteri lain yang menjadi langganan perwira militer, gubernur,
bupati, dan walikota.
2. Memisahkan secara tegas Polisi dari struktur militer sehingga Kapolri langsung
berada di bawah komando Presiden.
3. Membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM)
dalam kaitannya dengan peristiwa Timor Timur, Tanjung Priok, dan Trisakti yang
diduga melibatkan personil TNI.
4. Penyelesaian masalah Gerakan Separatis di Aceh yang lebih mengutamakan
pendekatan dialogis daripada pendekatan dengan kekuatan militer.
5. Pergantian Menko Polsoskam dari Jendral (Purn) Yudhoyono kepada Jendral
(Purn) Agum Gumelar karena Yudhoyono ditengarai membahayakan
pemerintahan Wahid sebagai simbolisasi supremasi sipil.50
4. Bidang Hukum
Ketetapan MPR/VI/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri. Pasal 1 dari Tap
berbunyi, ‚Tentara Nasional Indonesia dan kepolisian Negara Republik Indonesia
secara kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masingmasing.‛ Pasal
2 dari Tap tersebut menyiratkan usaha untuk memperkuat, dengan cara
mempertegas peran TNI dan Polri. Ayat (1) berbunyi, ‚TNI adalah alat yang
berperan dalam pertahanan Negara.‛ Ayat (2) berbunyi, ‚ Kepolisian Negara
Republik Indonesia adalah alat Negara yang berpera dalam memelihara keamanan.‛
Dalam pembahasan ini, maka langkah setrategis yang diambil K.H.
Abdurrahman Wahid adalah realisasi pemisahan TNI-Polri dan menempatkan
lembaga TNI dan Polri dibawah lembaga ke Presidenan langsung. Ini merupakan
langkah maju untuk menyibak tabir kerancuan antara tugas dan wewenang TNI
dan Polri. Dalam hal ini, pemerintahan K.H. Abdurrahman Wahid telah mampu
menindaklanjuti cita-cita reformasi dengan mengeluarkan kebijakan yang
gagasannya dimulai pada masa Presiden BJ. Habibie melalui intruksi Presiden No.
2/1999. Keppres ini kemudian dikongkritkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid dengan
menerbitkan Keppres Nomor 89 Tahun 2000 tentang kedudukan kepolisian
NegaraRepublik Indonesia. Dalam pasal 2 ayat 1 Keppres itu berbunyi: ‚Kepolisian
Negara Republik Indonesia berkedudukan langsung dibawah Presiden‛.Terdapat
pula PP No.19/2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Di luar itu ada juga komitmen untuk memberantas korupsi dan
keluarnya PP No.71/2000 tentang peran-serta masyarakat dalam pemberantasan
korupsi. Tim yang terbentuk tersebut ternyata tidak berjalan efektif karena tidak
didukung komitmen politik.51

50
Mulkhan, Perjalanan Politik…….., h. 92-93
51
Ishak Rafick, Catatan Hitam Presiden Indonesia (Jakarta : PT. Cahaya Insan Suci, 2008), h, 201

25
25
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Achmad Mufid Murtadho

Terkait dengan mantan Presiden Soeharto yang diduga terlibat kasus-kasus KKN
di masa pemerintahannya. Maka pemerintahan Abdurrahman Wahid membuka
kembali penyidikan Soeharto untuk kasus 3 Yayasannya, Dharmais, Supersemar dan
Dakab, dimana Soeharto sebagai tersangkanya. Ketiga Yayasan ini diduga
memperoleh dana dari semua BUMN dengan penyalahgunaan wewenang melalui
PP No.15 tahun 1976 dan Kepmenkeu No.33 tahun 1978. Penyalurannya disinyalir
hanya kesejumlah kroninya saja. Dengan demikian, ada penyalahgunaan keuangan
negara tidak kepada seluruh rakyat tetapi kepada beberapa orang saja, dan ini jelas
melanggar ketentuan UU D1945 khususnya Pasal 33, yaitu pasal yang merupakan
aturan dasar pemerintah, maupun rakyatnya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, yang mengatur berbagai hal, dari hal-hal sederhana hingga berbagai hal
yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Setelah melalui proses panjang, dan peradilan dijalankan tetapi Jaksa selaku
penuntut umum tidak pernah bisa mengahadirkan Soeharto di Pengadilan. Sehingga
pada putaran ketiga sidang pengadilan terhadap Soeharto, Hakim menetapkan
bahwa kasus Soeharto tidak bisa diadili karena tiga kali Jaksa tidak bisa
menghadirkan terdakwa.
Dengan demikian maka Abdurrahman Wahid pun gagal untuk mengadili
Soeharto atas semua dugaan KKN yang beliau lakukan selama berkuasa.
Abdurahman Wahid sendiri dimasa kekuasaannya diduga terlibat KKN yaitu
kasus penyalah-gunaan dana yayasan Kesejahteraan Karyawan Bulog (bullogate),
penyalah-gunaan dana bantuan Sultan Brunei (Bruneigate). DPR mengusulkan untuk
melakukan penyelidikan atas kasus Bullogate dan Bruneigate, yang akhirnya
diterima DPR untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) kasus Yanatera Bulog dan
bantuan Sultan Brunei Darussalam pada tanggal 5 September 2000.52
Setelah bekerja hampir lima bulan, Pansus merampungkan penyelidikannya
dalam sebuah laporan yang disampaikan kepada rapat Paripurna DPR pada tanggal
5 Januari 2001. Laporan tersebut, menyimpulkan bahwa Abdurrahman Wahid
diduga berperan dalam pencairan dan penggunaan dana Yanatera Bulog, dan
terdapat inkonsistensi pernyataan presiden tentang masalah bantuan Sultan Brunei
Darussalam, sehingga menunjukkan bahwa presiden telah menyampaikan
keterangan yang tidak benar pada masyarakat.
Kesimpulan Pansus tersebut disetujui Paripurna DPR, kecuali FKB dan pada
rapat yang sama DPR memutuskan, menindaklanjuti hasil Pansus dengan
menyampaikan Memorandum, mengingat Presiden Abdurahman Wahid sungguh-
sungguh melanggar haluan negara, yaitu: melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang
Sumpah Jabatan, dan melanggar ketetapan MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme..
Adapun hal hal-hal yang berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran hukum,
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) menyerahkan persoalan ini untuk diproses
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Seluruh proses dan hasil Rapat
Paripurna termasuk hasil keputusannya kemudian dikirim kepada presiden. Tiga
bulan setelah Memorandum I, DPR mengeluarkan Memorandum II, yang dilanjutkan
dengan permintaan DPR kepada MPR satu bulan sesudahnya untuk

52
Rafick, Catatan Hitam………..,h. 201-202

26
26
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme …

menyelenggarakan Sidang Istimewa karena menganggap Presiden Abdurrahman


Wahid tidakmengindahkan Memorandum.53
MPR melalui Badan Pekerja MPR menetapkan Sidang Istimewa pada tanggal 1-7
Agustus 2001 dengan alternatif percepatannya berdasarkan permintaan DPR,
sebelum Sidang Istimewa dilaksanakan, pada tanggal 19 Juli 2001 presiden meminta
persetujuan DPR untuk mendukung rencana penetapan Komisaris Jenderal
Chaeruddin Ismail sebagai Kapolri, menggantikan Jenderal S. Bimantoro. Permintaan
presiden tersebut tidak disetujui DPR, namun Abdurrahman Wahid tetap melantik
Komisaris Jenderal Chaeruddin Ismail sebagai Pjs (Pejabat Sementara). Kapolri tanpa
persetujuan DPR, walaupun DPR meminta presiden untuk menunda pelantikan
Kapolri baru. Akibatnya MPR mempercepat Sidang Istimewa yang sebelumnya
direncanakan pada awal bulan Agustus menjadi tanggal 23 Juli 2001 karena
adanya pelantikan Pjs (Pejabat Sementara) Kapolri tersebut. Pada dini hari sebelum
Sidang Istimewa dibuka, Presiden Abdurrahman Wahid mengumumkan maklumat
membekukan MPR dan DPR yang secara resmi ditolak oleh MPR.
Pihak DPR dan MPR jelas menolak maklumat presiden ini. Ketua DPR Akbar
Tanjung menyatakan DPR menolak maklumat karena bertentangan dengan
Penjelasan UUD. Sedang pembubaran MPR, menurut Akbar dari segi logika hukum
saja sudah bertentangan. MPR adalah lembaga tertinggi, sedangkan presiden adalah
lembaga tinggi. Abdurahman Wahid terpilih menjadi Presiden karena dipilih oleh
MPR. Namun akhirnya Abdurahman Wahid tidak mendapat dukungan dan MPR
mengesahkan pemberhentian Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan kemudian
digantikan oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri melalui Sidang Istimewa
pada tanggal 23 Juli 2001.54
5. Bidang Sosial dan Budaya
Untuk mengatasi masalah disintegrasi dan konflik antarumat beragama,
Abdurahman Wahid memberikan kebebasan dalam kehidupan bermasyarakat dan
beragama. Hak itu dibuktikan dengan adanya beberapa keputusan presiden yang
dikeluarkan, yaitu :
a. Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 mengenai Pemulihan Hak Sipil Penganut
Agama Konghucu. Etnis Cina yang selama Orde Baru dibatasi, maka dengan
adanya Keppres No. 6 dapat memiliki kebebasan dalam menganut agama
maupun menggelar budayanya secara terbuka seperti misalnya pertunjukan
Barongsai.
b. Menetapkan Tahun Baru Cina (IMLEK) sebagai hari besar agama, sehingga
menjadi hari libur nasional.
Disamping pembaharuan- pembaharuan di atas, Abdurahman Wahid juga
mengeluarkan berbagai kebijakan yang dinilai Kontroversial dengan MPR dan DPR,
yang dianggap berjalan sendiri, tanpa mau menaati aturan ketatanegaraan,
melainkan diselesaikan sendiri berdasarkan pendapat kerabat dekatnya, bukan
menurut aturan konstitusi negara. Kebijakan-kebijakan yang menimbulkan
kontroversial dari berbagai kalangan yaitu :
1. Pencopotan Kapolri Jenderal Polisi Roesmanhadi yang dianggap Orde Baru.

53
Rafick, Catatan Hitam…………..,h. 202
54
Rafick, Catatan Hitam…………,h. 204

27
27
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Achmad Mufid Murtadho

2. Pencopotan Kapuspen Hankam Mayjen TNI Sudradjat, yang dilatarbelakangi oleh


adanya pernyataan bahwa Presiden bukan merupakan Panglima Tinggi.
3. Pencopotan Wiranto sebagai Menkopolkam, yang dilatarbelakangi oleh
hubungan yang tidak harmonis dengan Abdurahman Wahid.
4. Mengeluarkan pengumuman tentang menteri Kabinet Pembangunan Nasional
yang terlibat KKN sehingga mempengaruhi kinerja kabinet menjadi merosot.
5. Abdurahman Wahid menyetujui nama Irian Jaya berubah menjadi Papua dan
mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora.
Puncak jatuhnya Abdurahman Wahid dari kursi kepresidenan ditandai oleh
adanya Skandal Brunei Gate dan Bulog Gate yang menyebabkan ia terlibat dalam
kasus korupsi, maka pada tanggal 1 Februari 2006 DPR-RI mengeluarkan
memorandum yang pertama sedangkan memorandum yang kedua dikeluarkan pada
tanggal 30 Aril 2001. Di bawah tekanan yang besar, Abdurrahman Wahid lalu
mengumumkan pemindahan kekuasaan kepada wakil presiden Megawati
Soekarnoputri.55
2. Presiden Mega Wati Soekarno Putri
Melalui Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001, Megawati secara resmi
diumumkan menjadi Presiden Indonesia ke-5.Meski ekonomi Indonesia mengalami
banyak perbaikan, seperti nilai mata tukar rupiah yang lebih stabil, namun Indonesia
pada masa pemerintahannya tetap tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam
bidang-bidang lain. Megawati yang merupakan anak dari Presiden terdahulu yakni
Soeharto pada awalnya diharapkan dapat memberikan perubahan namun seirng
sikapnya yang dingin dan jarang memberikan suatu paparan tentang politiknya
dianggap lembek oleh masyarakat. Dan serangan teroris semakin sering terjadi pada
masa pemerintahan ini.
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid
memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan
demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan
alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk
memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan
keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil
presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.
Kabinet pada masa pemerintahan Megawati disebut dengan Kabinet Gotong Royong.
Tahun 2002, Masa pemerintahan ini mendapat pukulan besar ketika Pulau Sipadan dan
Ligitan lepas dari NKRI berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional.56
Selanjutnya proses konstitusionalisme yang terjadi pada masanya Presiden Mega
Wati yaitu terjadi beberapa amandemen yaitu sebagai berikut:
a. Proses Perubahan Konstitusi Dalam Masa Amandemen
1. Amandemen Pertama (1999)
Kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi yang merupakan hasil karya
manusia adalah esuatu hal yang pasti. Bahakan hal itu telah diungkapkan oleh
Soekarno dalam pidatonya di dalam rapat PPKI, seperti yang telah dijelaskan
dalam bab sebelumnya. Perlunya perubahan terhadap UUD 1945 sebenarnya

55
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Ed.Revisi, Cetakan 6, Rajawali Perss, Jakarta, 2014, hlm. 10
56
Suparman Marzuki, Politik Hukum Hak Asasi Manusia, Penerbit Erlangga, Yogyakarta, 2014, hlm..31.

28
28
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme …

adalah gagasan yang telah diungkapkan semenjak jaman Orde Baru. UUD
dipandang terlalu summier, terlalu banyak masalah-masalah yang diserahkan
kepada pembuat peraturan yang lebih rendah. Serta tidak menjamin secara tegas
tentang hak-hak asasi manusia (HAM).
Untuk itu, wajarlah jika terjadi perubahan-perubahan dalam konstitusi.
Amandemen konstitusi dimaksudkan agar negara Indonesia benar-benar
merupakan pemerintahan yang konstitusional (constitutional government).
Pemerintah konstitusional tidak hanya pemerintahan itu berdasarkan pada sebuah
konstitusi, tetapi konstitusi negara itu harus berisi adanya pembatasan kekuasaan
dan jaminan hak-hak warga negara.
Perubahan UUD kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu
agenda Sidang Tahunan MPR dari tahun 1999 hingga perubahan keempat pada
Sidang Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya
Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komperhensif
tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002
tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.
Perubahan pertama dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 1999 yang
meliputi Pasal 5 Ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 Ayat (2), Pasal 14, Pasal 15,
Pasal 17 Ayat (2) dan (3), Pasal 20 dan Pasal 22 UUD. Kesemuanya berjumlah 9
Pasal UUD 1945. Tujuan utama perubahan ini adalah membatasi kekuasaan
Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai
lembaga legislatif.
Dalam perubahan ini terjadi pergeseran kekuasaan Presiden dalam
membentuk undang-undang, yang diatur dalam Pasal 5:‛Presiden memegang
kekuasaan membentuk undang-undang,‛berubah menjadi Presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang. Kekuasaan membentuk undang-undang
dialihkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, sebagaimana tertuang dalam Pasal
20 yang berbunyi: ‚Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang-undang‛, perubahan pasala ini memindahkan titik berat kekuasaan
legislasi nasional yang semula berada di tangan Prresiden, beralih ke tangan
DPR.57
2. Amandemen Kedua (2000)
Perubahan kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR tahun 2000 yang
meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 Ayat (5), Pasal 20A,
Pasal 22A, Pasal 22B, BAB IXA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal
28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, BAB XII, Pasal 30, Bab
XV, Pasal 36A, Pasal 36B dan Pasal 36C UUD 1945.
Perubahan ini terdiri dari 5 BAB dan 25 Pasal.38 Inti dari perubahan kedua ini
meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah,
menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR
dan ketentuan-ketentuan yang lebih merinci mengenai HAM.
Khusus mengenai pengaturan HAM, dapat dilihat pada Perubahan dan
kemajuan signifikan adalah dengan dicantumkannya persoalan HAM secara tegas
dalam sebuah BAB tersendiri, yakni BAB XA (Hak Asasi Manusia) dari mulai

57
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 50

29
29
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Achmad Mufid Murtadho

Pasal 28A sampai dengan 28J. Dapat dikatakan bahwa konseptualisasi HAM di
Indonesia telah mengalami proses dialektika yang seruis dan panjang yang
mengambarkan komitmen atas upaya penegakan hkum dan HAM.58
3. Amandemen Ketiga (2001)
Perubahan ketiga ini terdiri dari 3 BAB dan 22 Pasal, ditetapkan pada Sidang
Tahunan MPR Tahun 2001 mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan
Pasal 1 Ayat (2) dan (3), Pasal 3 Ayat (1), (3) dan (4), Pasal 6 Ayat (1) dan (2), Pasal
6A Ayat (1), (2), (3) dan (5), Pasal 7A, Pasal 7B Ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6) dan (7),
Pasal 7C, Pasal 8 Ayat (1) dan (2), Pasal 11 Ayat (2) dan (3), Pasal 17 Ayat (4), BAB
VIIIA, Pasal 22C Ayat (1), (2), (3) dan (4), Pasal 22D Ayat (1), (2), (3) dan (4), BAB
VIIB, Pasal 22E Ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6), Pasal 23 Ayat (1), (2) dan (3), Pasal
23A, Pasal 23C, BAB VIIIA, Pasal 22E Ayat (1), (2) dan (3), Pasal 23F Ayat (1) dan
(2), Pasal 23G Ayat (1) dan (2), Pasal 24 Ayat (1) dan (2), Pasal 24A Ayat (1), (2), (3),
(4) dan (5), Pasal 24B Ayat (1), (2), (3) dan (4), Pasal 24C Ayat (1), (2), (3), (4), (5)
dan (6) UUD 1945.
Inti perubahan yang dilakukan pada amandemen ketiga ini adalah Bentuk
dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan, Impeachment,
Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman dam ketentuan-ketentuan mengenai
Pemilihan Umum.59
4. Amandemen Keempat (2002)
Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2002.
Perubahan dan atau penambahan tersebut yakni meliputi Pasal 2 Ayat (1), Pasal
6A Ayat (4), Pasal 8 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (1), Pasal 16, Pasal 23B, Pasal 23D,
Pasal 24 Ayat (3), BAB XIII, Pasal 31 Ayat (1), (2), (3),(4) dan (5), Pasal 32 Ayat (1),
(2), (3) dan (4), BAB IV, Pasal 33 Ayat (4) dan (5), Pasal 34 Ayat (1), (2), (3) dan (4),
Pasal 37 Ayat (1), (2), (3), (4) dan (5), Aturan Peralihan Pasal I, II dan III, Aturan
Tambahan Pasal I dan II UUD 1945.
Materi perubahan pada perubahan keempat adalah ketentuan tentang
kelembagaan negara dan hubungan antar negara, penghapusan Dewan
Pertimbanga Agung (DPA), ketentuan mengenai pendidikan dan kebudayaan,
ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial dan aturan peralihan
serta aturan tambahan.60
3. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
a. Memperjelas Sistem Pemerintahan
Di titik inilah diperlukan sejumlah strategi politik hukum untuk dapat
mewujudkan negara kesejahteraan di Indonesia berdasarkan UUD 1945
pascaamendemen. Karena teks konstitusi hanya akan dapat berfungsi secara nyata
jika diterjemahkan dalam aneka bentuk kebijakan nyata melalui desain kelembagaan
politik yang mampu menopang jalannya konstitusi. Sebab kebijakan negara
kesejahteraan hanya akan dapat terukur jika mampu diterjemahkan dalam kebijakan
negara yang konkret.

58
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 51
59
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 52-53
60
Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, 30-35

30
30
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme …

Guna mewujudkannya diperlukan lembaga-lembaga negara yang kuat dan


adaptif dengan perubahan masyarakat. Desain kelembagaan politik ini akan menjadi
tumpuan utama perwujudan negara kesejahteraan. Sebab jika desain kelembagaan
politik ini tak efektif dalam menjalankan mandat konstitusi, maka dapat dipastikan
konsep negara kesejahteraan hanya ada dalam bayangan teks belaka.
Itulah sebabnya jika politik hukum dipahami sebagai sebuah tindakan kebijakan
negara yang akan dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan tujuan negara. Maka
mewujudkan negara kesejahteraan perlu ditopang oleh kebijakan desain
kelembagaan negaranya sebagai instrumen utama guna menjalankan tujuan negara.
Tak pelak lagi, desian kelembagaan negara yang perlu diubah agar sesuai
dengan mandat konstitusi melalui desain kelembagaan suprastruktur politik terlebih
dahulu, yakni memperjelas sistem pemerintahan Indonesia. Karena sistem
pemerintahan adalah relasi antara sistem kepartaian, sistem pemilu dan sistem
parlemen. Ketiganya akan membentuk sistem pemerintahan. Karena itu, sistem
pemerintahan merupakan penjelmaan dari ketiga sistem tersebut.
Jika sistem pemerintahannya menempatkan posisi Presiden sebagai institusi
paling supreme dalam pengambilan keputusan dan kebijakan negara maka sistem ini
disebut sistem presidensial. Sendangkan jika sistem pemerintahan menempatkan
parlemen sebagai institusi paling ‚supreme‛, maka disebut sistem parlementer.
Sebaliknya jika antara Presiden dan parlemen berbagi kekuasaan dalam menjalankan
keputusan dan kebijakan negara disebut ‚Cohabitation‛ (Kohabitasi) atau biasanya
dikenal juga sistem ‚quasi‛.61
b. Desain Sistem Suprastruktur Indonesia
1. Presidensialisme Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Memperkuat kelembagaan suprastruktur, yakni kelembagaan presiden
melalui penegasan kembali akan sistem yang digunakan di Indonesia apakah
sistem presidensial murni, parlementer, sistem pseudo- presidensial. Sebab
kendati Presiden dan Wakil Presiden telah dipilih secara langsung sejak tahun
2004 melalui pemilu presiden pada tahun 2004, pilpres 2009, dan 2014, tapi dalam
praktikknya tidak cukup jelas.
Belakangan ini publik disuguhi oleh fenomena politik yang tak sehat, yakni
tidak efektifnya sistem presidensial yang dianut Indonesia karena sejumlah
prasyarat sistem presidensial tak terpenuhi. Akibatnya Indonesia mengalami
kemacetan politik (political gridlock) antara eksekutif (Presiden) Versus legislatif
(DPR) dan bahkan antara Presiden Vs Wakil Presiden.
Sejumlah realitas yang terjadi saat pemerintahan Jilid I SBY-JK (2004-2009)
dan Jilid II (2009-2014) yang selalu diselimuti kemacetan politik itu, antara lain:
tuntutan sejumlah partai politik pada Presiden SBY dan Jokowi untuk melakukan
reshuffle kabinet dengan meminta penempatan kader parpolnya dalam pos
kementerian tertentu; disharmoni dan rivalitas wakil Presiden JK dengan Presiden
SBY dalam mengambil kebijakan-kebijakan strategis.
Untuk memperjelas problem praktik sistem presidensialisme di era SBY-JK ini
akan diperlihatkan dalam dua kasus. Pertama, kasus upaya pemakzulan

61
Mishra, Satish Candra. Pemerintah dan Pemerintahan: Memahami Ekonomi Politik Reformasi Institusi‖ Jurnal
Reformasi Ekonomi, Vol 1 (2), 2005, hlm 42-45.

31
31
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Achmad Mufid Murtadho

(impeachment) terhadap Presiden SBY dalam kasus Bailout Bank Century. Kedua,
rendahnya kualitas produk legislasi di era SBY karena waktunya lebih banyak
tersita oleh kegiatan kompromi politik untuk mensolidkan koalisi parlemen.62
Keduanya akan dijelaskan sebagai berikut.
a. Usaha Pemakzulan SBY
Pertama, tensi politik di republik ini kian memanas seiring dengan sepak
terjang anggota Pansus DPR RI dalam pengucuran dana talangan (bail out)
Bank Century Rp 6,7 triliun kian zig-zag dan sulit diprediksi. Bahkan dalam
beberapa hari terakhir ada sinyalemen mengarah pada pemakzulan
(impeachment) kepada Presiden SBY.
Presiden pun cepat menyikapi dengan mengundang sejumlah pejabat
tinggi negara (Ketua MA, MK, BPK, DPA, KY, DPR, dan DPD) di Istana Bogor
dengan agenda pokok membahas sinergitas hubungan antar lembaga tinggi
negara dalam menyikapi suhu politik nasional. Seusai pertemuan, SBY
mengimbau agar kasus Century tidak diarahkan pada impeachment atas
dirinya.
Mudah diduga SBY dan timnya hari-hari ini tengah alergi mendengar
impeachment, kosa kata keramat dan bermantra dalam politik hukum di negeri
ini terutama sejak diintroduksi oleh UUD 1945 setelah diamendemen.
Impeachment adalah proses pemberhentian yang dilakukan oleh parlemen.
Secara tekstual ia berarti dakwaan atau tuntutan yang telah dipraktikkan sejak
zaman Mesir Kuno dengan istilah iesangelia, yang pada abad ke-17 diadopsi
pemerintah Inggris dan dimasukkan dalam konstitusi Amerika Serikat akhir
abad ke-18. Hingga awal 2000 diidentifikasi 93 negara yang konstitusinya
secara eksplisit mengadopsi konsep ini. Sampai akhir 2002 tercatat baru 12
negara yang mencoba memakzulkan presidennya.63
Presiden SBY alergi mendengar kata impeachment karena dalam sejarah
perpolitikan kita, kendati dengan model dan tipe yang berbeda cara itu pernah
dipergunakan untuk menggusur kursi Presiden KH Abdurrahman Wachid
pada tahun 2001. Siapa pun yang menjadi presiden pastilah alergi bahkan takut
mendengar kata ini karena berkonotasi buruk atas kinerjanya dan berpotensi
menghabisi nyawa kekuasaan presiden.
Sebenarnya SBY tak perlu alergi dan takut atas munculnya sinyalemen
impeachment dari Pansus DPR, bahkan tak perlu penuh melodramatik dengan
mengimbau dan menghiba publik agar memahami Century secara jernih dan
juga mempelajari sistem presidensial. Ini semua tak perlu terjadi sepanjang
Presiden tidak bersalah dalam membuat kebijakan dalam pengucuran bantuan
dana Rp 6,7 triliun yang cenderung irasional itu.
Gaya Presiden yang melodramatik dan penuh hiba ini justru menjadi
blunder politik atas nasib kekuasaannya. Seharusnya ia justru bersikap penuh
kesatria dengan mempersilakan Pansus DPR serius mengumpulkan fakta
untuk menemukan titik terang atas salah urus dalam kasus ini. Bukan

62
Muhammad Rosyidin, “The Indonesian Quarterly: Reflection on ASEAN at its 50th Anniversary,” Centre for
Strategic and International Studies (CSIS), Third Quarter, Vol. 45 No. 3 (2017): 225.
63
Situmorang, “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan SBY”, 69.

32
32
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme …

sebaliknya justru terkesan hendak cuci tangan dengan menggunakan dalih-


dalih politis tanpa memperhatikan perasaan keadilan publik yang telah kian
terkoyak.64
Kalau pun hasil kerja Pansus akan diarahkan pada proses impeachment
sekalipun sesungguhnya ia tidak perlu alergi karena memang dalam konstitusi
diatur model dan sistem kontrol DPR pada Presiden yang puncaknya adalah
pada proses impeachment. Karena itu impeachment bukan merupakan proses
politik melainkan proses hukum. Jika demikian maka pastilah proses hukum
didahului dengan mematuhi hukum acara dalam menjatuhkan vonis
impeachment.
Seperti diatur dalam Pasal 7A UUD 1945 Pascaamendemen yang
menyatakan bahwa Presiden/Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh MPR atas usul DPR dengan alasan: (1) apabila terbukti
melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lain, atau perbuatan tercela; (2) apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden.
Hukum acaranya pun sangat ketat dan seolah berbelit, sebagaimana diatur
dalam Pasal 7B Ayat (3) misalnya, DPR perlu mendakwa, diperiksa Mahkamah
Konstitusi (MK), bila MK menyatakan dakwaan terbukti sah dan meyakinkan
secara hukum maka proses ini pun belum selesai. Putusan MK akan kembali
lagi diperdebatkan di wilayah politik, yaitu DPR untuk diparipurnakan lagi
barulah diusulkan ke MPR yang harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua
pertiga) anggota DPR dan 2/3 (dua pertiga) di antaranya harus menyetujui usul
pemakzulan ini. Barulah Presiden dapat benar-benar dimakzulkan.65
Model ini memang belum ideal karena dalam hal MK tidak sependapat
dengan DPR maka proses impeachment berhenti, dan Presiden tidak dapat
diberhentikan. Sebaliknya, jika MK sependapat dengan DPR, maka proses
berlanjut ke MPR.
Di sini sebenarnya ada potensi putusan MK yang secara yuridis telah
menyatakan Presiden layak diberhentikan, dimentahkan. Pengaruh MPR
sebagai lembaga politik berpotensi tidak menjunjung tinggi putusan yuridis
dari MK. Maka sebaiknya perlu dibangun konvensi bahwa MPR hanya
merupakan proses konfirmasi atas putusan MK yang lebih bersifat yuridis
ketimbang politis.
Melihat prosedur hukum acaranya yang cukup rumit ini mudah diduga
sebenarnya sediktator macam apa pun, amat sulit rasanya menjatuhkan
Presiden. Sepanjang komposisi dukungan politik di DPR berupa koalisi
antarpartai kuat, solid, dan tidak pecah kongsi. Komposisi dukungan SBY di
DPR sesungguhnya sangat kuat.66
Maka seharusnya justru SBY tidak perlu alergi malah mempersilakannya,
toh impeachment tidak otomatis mampu dengan mudah menjatuhkannya. Di
sinilah fungsi impeachment akan terlihat sebagai sarana pendidikan politik dan

64
Situmorang, “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan SBY”,70-72
65
Situmorang, “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan SBY”, 73-75
66
Situmorang, “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan SBY”, 76-77

33
33
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Achmad Mufid Murtadho

uji coba sistem ketatanegaraan setelah terwujudnya lembaga MK sebagai


penguji secara yuridis atas putusan DPR.
Justru ketika SBY dengan koalisi partainya mati-matian menolak arah
Pansus ke impeachment, tampak jelas bahwa Pansus hanya diarahkan pada
semacam penyidikan pembantu polisi atau KPK dalam menelusuri kasus
korupsi, dan kasus Century berarti menjadi tak ubahnya kasus kriminal biasa.
Kalau ini terjadi, maka SBY, partai koalisi, dan Pansus DPR akan berhadapan
dengan parlemen jalanan (demonstrasi mahasiswa dan kelompok kepentingan)
yang berpotensi menjadi lokomotif instabilitas politik nasional.67
b. Rendahnya Kualitas dan Kuantitas Legislasi Era SBY
Kedua, praktik sistem presidensialisme era SBY ini yang dapat dicatat
adalah bahwa era ini telah menghasilkan paradoks pada rendahnya kuantitas
dan kualitas produk legislasi yang dihasilkan oleh DPR 2009- 2014 hasil pemilu
2009.
Jumlah 9 (sembilan) fraksi di DPR telah mempersulit pengambilan
keputusan dalam proses legislasi, di sinilah ungkapan Giovani Sertori terbukti,
bahwa sesungguhnya problem-problem sistem presidensial tidak terletak
dalam arena eksekutif melainkan dalam arena legislatif, saat mewujudkan
produk legislasi dan nonlegislasi.
Amendemen UUD 1945 telah menempatkan fungsi dan kedudukan yang
sama antara Presiden dan DPR dalam proses pembahasan dan persetujuan
RUU.68
Model ini mirip dengan sistem parlementer karena DPR membagi
kekuasaan fungsi legislasi dengan Presiden. Bahkan, model ini telah
memasukkan sebagian sistem parlementer seiring dengan pemurnian sistem
presidensial.66 Padahal seharusnya sistem presidensial murni tidak
memasukkan Presiden dalam barisan pengusul dan pembuat RUU karena
Presiden adalah pelaksana atas suatu UU. Sedangkan parlemen merupakan
lembaga legislatif berfungsi untuk mengajukan RUU dan sekaligus
memutuskan pemberlakuan suatu UU.
Itulah sebabnya prinsip presidensial dan parlementer secara teori
seharusnya menegaskan dan memisahkan tugas pembuat dan pelaksana
legislasi. Ketika kedua lembaga ini saling berbagi peran bahkan bekerja sama
dalam pengusul RUU dan pengesah RUU menjadi UU, maka sesungguhnya
sistem pemerintahan presidensialisme Indonesia mengidap sindrome anomaly
(pengecualian) dari sistem yang berlaku di dunia.
Kesulitan konsolidasi akibat multipartai di DPR telah mengakibatkan dua
hal: pertama, secara kuantitas produk legislasi DPR dan Presiden 2009-2014 ini
sangat rendah. Kedua secara kualitatif, produktivitas legislasi DPR dan
Presiden periode 2009-2014 ini amat buruk. Hal ini dapat dibuktikan dengan
rendahnya kualitas produk-produk UU di bidang politik yang lebih banyak
mencerminkan kepentingan politik jangka pendek partai politik di DPR

67
Situmorang, “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan SBY”,77-788.
68
Ratna Shofi Inayati, “Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Politik Luar Negeri Indonesia,” E-Journal
Politik LIPI, 2016, diakses 27 Februari 2022, http://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/
article/viewFile/390/227

34
34
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme …

ketimbang kepentingan publik. Hampir semua produk baru legislasi telah


diujimaterikan (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Realitas serupa dengan bentuk yang berbeda tampaknya benar terjadi saat
pemerintahan Jilid II SBY-Boediono (2009-2014) yang mulai bekerja pada 20
Oktober 2009 lalu pasca terpilih secara mutlak dalam pilpres langsung 2009
dengan persentase di atas 60 persen. Lihatlah bagaimana riuhnya suasana
politik nasional saat Presiden SBY hendak merekrut menteri-menterinya di
dalam pemerintahannya. Betapa SBY tak kuasa untuk menolak ajakan semua
partai politik yang lolos parlementhary treshold (PT) atau ambang batas
perhitungan suara di DPR untuk bergabung dalam kabinet.67 Fenomena
serupa terjadi pada era pemerintahan Jokowi-JK (2014-2019).69
Padahal semestinya dengan kapasitas sebagai Presiden yang dipilih secara
langsung dengan mandat yang kuat ia tak perlu memedulikan menterinya
berasal dari parpol atau yang terpenting adalah profesional (zaken kabinet). Ini
adalah cermin lemahnya daya tawar Presiden di hadapan partai-partai politik.
Model ini sebenarnya mengambarkan ketidakjelasan system-sistem
presidensial murni.
Jika realitas itu terus berulang dan dibiarkan dalam bentuk yang berbeda,
maka dipastikan akan dapat mengganggu stabilitas pemerintahan, karena
eksekutif (Presiden) selalu disibukkan untuk menepis dan mencari strategi agar
masa kepemimpinannya tak selalu diganggu oleh mayoritas partai di parlemen
(DPR), ketimbang memikirkan implementasi program kerja pemerintah untuk
kesejahteraan rakyat.
Karena itu, kini saatnya menggagas sistem presidensial yang efektif atau
semacam purifikasi sistem presidensial dengan memenuhi prasyarat yang
memadai, yakni menyederhanakan sistem kepartaian. Sebagaimana dipahami,
SBY terpilih sebagai presiden melalui pemilihan langsung dalam pemilihan
presiden 2004 dan 2009 secara demokratis, itu artinya SBY seharusnya
mempunyai legitimasi yang signifikan. Akan tetapi karena SBY pada tahun
2004 hanya didukung oleh minoritas partai (Demokrat, PKPI, dan PKS) di
parlemen (DPR), akibatnya SBY hanya punya legitimasi di mata rakyat dan
tidak di mata DPR. Ketika pada tahun 2009 dalam pemilu legislatif memenangi
kompetisi atas 20 persen, seharusnya SBY legitame di dua ranah, yakni: di mata
rakyat dan DPR.70
4. Presiden Jokowidodo
Demikian pula di era pemerintahan Jokowi-JK (2014-2019). Dalam hal ini akan
diperlihatkan dalam dua kasus. Pertama, kasus perebutan pimpinan DPR RI antara
kubu koalisi pro pemerintahan Jokowi dan kubu kontra pemerintahan Jokowi. Kedua,
percobaan penggunaan hak interpelasi untuk menurunkan Jokwi. Keduanya akan
diuraikan sebagai berikut :
a. Perebutan Kursi Pimpinan DPR di Era Jokowi
Pertama, perilaku menyimpang yang dipertontonkan oleh elite politik di DPR
dalam memperebutkan kursi pimpinan dan alat kelengkapan DPR. Seolah telah

69
Ratna Shofi Inayati, “Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Politik Luar Negeri Indonesia,” 337-338
70
Ratna Shofi Inayati, “Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Politik Luar Negeri Indonesia,” 339-340

35
35
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Achmad Mufid Murtadho

terjadi jalan buntu (deadlock), akibatnya tak terjadi kompromi dan kerjasama antar
dua kubu yang berseberangan antara kubu Koalisi Merah Putih (KMP) Vs kubu
Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dalam mengelola kekuasaan di lembaga terhormat itu.
Kubu KMP ingin menguasai semua pimpinan dan alat kelengkapan DPR tanpa
menyisakan satu pun kepada rekan sejawatnya KIH. Sebaliknya, kubu KIH tak
merelakan dan berujung pada pembentukan pimpinan dan alat kelengkapan DPR
tandingan. Kini komposisi DPR telah terbelah menjadi dua kutub yang
berseberangan. Praktik politik dalam mengelola kekuasaan di DPR seperti ini jelas
merupakan penyimpangan dari nilai- nilai luhur demokrasi Pancasila yang dicita-
citakan oleh para pendiri bangsa. Ciri demokrasi ini antara lain harus menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan martabat dan harkat kemanusiaan.71
Pancasila dapat dilihat terdiri dari sila pertama sebagai sila dasar, sila kedua
sebagai pancaran sila pertama, sila ketiga sebagai wahana, sila keempat sebagai cara,
dan sila kelima sebagai tujuan. Dari kelima sila ini sesunggunya Pancasila telah
memberi panduan moral politik, asas filosofis, arah, maksud dan tujuan dalam
berdemokrasi yang tak terbantahkan sepanjang zaman.
Operasional atau cara berdemokrasi yang paling otentik dalam mengelola
kekuasaan di DPR sebenarnya telah jelas dinyatakan dalam sila keempat: Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Menurut Yudi Latief (2014) sila keempat ini dapat diperas menjadi empat ciri:
pertama, keputusan politik berdasarkan kepentingan bersama. Kedua, keputusan
dibuat tidak dengan logika mayoritas-minoritas, tetapi menyertakan semua
kepentingan dan kelompok, bahkan dari mereka yang paling kecil. Ketiga, politik
diorientasikan untuk jangka panjang, bukan kepentingan sesaat. Keempat, yang
dikembangkan adalah toleransi positif dibangun berdasarkan hikmat kebijaksanaan,
sedangkan toleransi negatif dibentuk oleh politik transaksional.
Perjalanan sejarah negeri ini sejak Orde Lama (1945-1967) melalui hasil pemilu
1955, Orde Baru (1967-1997) melalui hasil pemilu 1971-1997, Era Transisi Demokrasi
(1999) melalui pemilu 1999, dan Era Reformasi Sistemik (2003-2013) melalui hasil
pemilu 2004 dan 2009 membuktikan tradisi demokrasi Pancasila telah relatif mampu
dijalankan oleh elite politik dalam mengelola kekuasaan di DPR terutama dalam
berbagai kekuasaan pimpinan dan alat kelengkapan DPR. Namun di era Pematangan
dan Konsolidasi Reformasi (2014-2019) melalui hasil pemilu 2014 berbasis pemilu
multipartai dengan model suara terbanyak yang seharusnya kian matang dalam
mengelola kekuasaan di DPR terutama dalam pembagian kekuasaan pimpinan dan
alat kelengkapannya, justru menunjukkan kemorosotan yang sangat tajam.72
Lihatlah faktanya di Orde Lama (1945-1967), ini merupakan era emas jalannya
demokrasi Pancasila. Di usia RI yang masih seumur jagung ini para pendiri bangsa
telah berkeyakinan, bahwa mengelola negara sebesar RI tak mungkin dapat
dilakukan oleh satu kelompok, golongan, ras, agama, dan partai politik tertentu saja,
tetapi harus dilakukan secara bersama-sama dan bergotong royong, karena para
pendiri bangsa di era ini berkeyakinan hanya dengan cara membagi peran dan

71
Fetra Tumanggor, “Melihat Politik Luar Negeri Jokowi,” Tagar News, 25 Februari 2022, diakses 25 Februari
2022, https://www.tagar.id/melihat-politik_luar-negeri-jokowi
72
Fetra Tumanggor, “Melihat Politik Luar Negeri Jokowi,” 233-234

36
36
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme …

tanggung jawab masing-masing secara adil dan proporsional dalam mengelola


parlemenlah negara akan dapat menjamin stabilitas politik.
Itulah sebabnya dalam notulen rapat-rapat BPUPKI ketika membahas dasar
negara pada 28 Mei hingga 1 Juli dan dari 10-17 Juli 1945, dan juga rapat-rapat PPKI
pada 18-22 Agustus 1945 dapat dibaca betapa jernih dan arifnya tiga tokoh bangsa,
yaitu Prof Soepomo, Bung Karno, dan Bung Hatta dalam menuangkan ide dan
gagasan besar dalam membentuk asas-asas negara demokrasi Pancasila yang
mencita-citakan membangun NKRI ini dengan berprinsip dasar kekeluargaan atau
kolektivisme, bukan liberal. Prinsip dasar kolektivisme dalam mengelola kekuasaan
parlemen adalah mengutamakan aspek: rapat atau syura (musyawarah) untuk
mencapai kesepakatan tanpa meninggalkan minoritas. Ini adalah nilai filosofis yang
konstitusional dalam memahami demokrasi di era emas itu.73
Itulah sebabnya pula kehadiran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang
merupakan gabungan dari DPR sebagai lembaga ‚tertinggi‛ negara yang merupakan
pengejawantahan dari prinsip dasar kebersamaan dalam mengelola negara melalui
pintu parlemen. Karena dalam Majelis ini semua persoalan bangsa dibicarakan,
dimusyawarahkan, dan dialogkan secara arif dan bijaksana tanpa memandang
kebenaran itu berasal dari kelompok paling kecil sekalipun. Tak heran jika di era ini
semua pimpinan DPR adalah representasi dari semua golongan dan kelompok serta
partai politik yang ada pada saat pemilu pertama tahun 1955 berlangsung. Mereka
mampu bekerjasama dalam mengelola parlemen dengan berbagi pimpinan dan alat
kelengkapannya.
Di era Ode Baru pun demikian, sekalipun Jenderal Soeharto yang dijuluki
sebagai bapak pembangunan yang dalam langgam politiknya lebih mengedepankan
aspek stablitas politik sebagai prasyarat dari pertumbuhan ekonomi. Era ini tak
dikenal tumbuhnya multipartai ekstrim, sebab rezim ini berkeyakinan bahwa
multipartai hanya akan menguras energi dan diduga akan menimbulkan pertikaian
antar partai yang tak berkesudahan seperti di era sebelumnya. Maka di era ini di
dikenal sebagai era ‚deparpolisasi‛, bahkan adanya ‚fusi‛ (penggabungan) beberapa
partai, menjadi hanya ada dua partai politik, yaitu PPP dan PDI, serta satu golongan,
yaitu Golongan Karya (Golkar). Ini dianggap sebagai cara jitu rezim ini dalam
mengendalikan stabilitas politik dan menggantikannya melalui penguatan peran
ABRI, Birokrasi, dan Golkar atau (ABG) sebagai pilar utama penyokong rezim ini
bertahan lebih dari 32 tahun.74
Bahkan Golkar sebagai simbol rezim Orde Baru yang selalu menang dalam
pemilu 1971-1997 dan dapat menguasai kursi secara mutlak di parlemen nasional
(DPR RI) maupun di parlemen lokal (DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota),
tetapi dalam mengelola kekuasaan di DPR terutama pembagian kekuasaan pimpinan
dan alat kelengkapan DPR, tidak terjadi diktator mayoritas. Golkar tidak menguasai
dan mengambil semua kursi pimpinan DPR dan alat kelengkapannya, dan dengan
segala kekurangannya masih bersedia berbagi kursi pimpinan dan alat
kelengkapannya dengan partai politik minoritas, yakni PPP dan PDIP.

73
Fetra Tumanggor, “Melihat Politik Luar Negeri Jokowi,” 235-236
74
Fetra Tumanggor, “Melihat Politik Luar Negeri Jokowi,” 237-238

37
37
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Achmad Mufid Murtadho

Di era transisi demokrasi (1999) ketika terselenggara pemilu pertama pasca


runtuhya Orde Baru tahun 1999 yang diikuti oleh 48 parpol peserta pemilu dengan
mengenalkan model stambus accord (penggabungan sisa suara). Disebut era transisi
demokrasi karena di era ini sistem dan pelembagaan demokrasi dan politik belum
terbentuk sepenuhnya, karena masih belum mampu membedakan secara tegas
antara tradisi warisan Orde Baru dan tradisi baru hasil Reformasi. Namun uniknya
dalam mengelola kekuasaan di DPR di era ini elite politik relatif dewasa dan mampu
mengamalkan nilai demokrasi Pancasila dengan bersedia berbagi kursi pimpinan dan
alat kelengkapannya kepada semua partai politik yang memiliki kursi di DPR yang
tergabung dalam aneka bentuk dan nama koalisi yang mencerminkan aliran dan
politik ideologinya.75
Demikian pula di era Reformasi Sistemik (2003-2013), disebut sistemik karena di
era ini telah terjadi aneka perubahan sistem politik dan hukum yang sangat
signifikan dan berbeda dari era sebelumnya dan ini merupakan khas dari era ini. Di
era ini terjadi dua kali pemilu, yakni pemilu tahun 2004 dan 2009. Berdasarkan
pemilu tahun 2004 yang dikukti oleh 24 partai politik peserta pemilu dan
mengenalkan model pemilu secara langsung dengan varian pencalonan terbuka,
penentuan pemenang berdasarkan perolehan persentase suara BPP (Bilangan
Pembagi Pemilih), dan pemilu 2009 yang diikuti oleh 44 partai politik yang
menghasilkan 9 Fraksi, kendati kerap terjadi pertentangan politik antara Presiden
dan DPR dalam berbagai bentuk kebijakan politik, tapi di dua era ini elite politik
cukup mampu meredam ego kelompok dan kepentingan jangka pendek.
Partai politik pemenang pemilu tahun 2004 yaitu Golkar, selain dapat menjabat
sebagai ketua DPR, juga bersedia berbagi dengan parpol lainnya baik di wakil
pimpinan DPR maupun di komisi-komisi. Begitu pula pemenang pemilu tahun 2009
partai Demokrat, selain mampu menempatkan kadernya Jenderal Susilo Bambang
Yudyono (SBY) menjadi Presiden RI, partai Demokrat juga dapat menempati pos
ketua DPR, bahkan bersedia berbagi kekuasaan di wakil pimpinan DPR dan aneka
komisi kepada partai-partai lainnya.76
Dari empat era peralihan kekuasaan politik di DPR (Orde Lama, Orde Baru, Era
Transisi Demokrasi, dan Era Reformasi Sistemik) di atas, tampak dengan jelas elite
politiknya masih mampu menyisakan ruang untuk bermusyawarah-mufakat dalam
berbagi kekuasaan di DPR sebagai cermin dari masih bersemayamnya nilai-nilai
demokrasi Pancasila di DPR. Namun di era peralihan kekuasaan politik DPR dari Era
Reformasi Sistemik (2009-2014) hasil pemilu 2009 ke Era Pematangan dan
Konsolidasi Demokrasi (2014-2019) hasil pemilu 2014 ini justru terjadi anomali
politik, berupa raibnya (hilangnya) nilai-nilai demokrasi Pancasila berupa: tradisi
musyawarah-mufakat untuk mencapai keseimbangan politik dalam mengelola
kekuasaan di DPR.
Seharusnya di era ini yang merupakan tikungan terkahir bagi kian
terkonsolidasikannya kekuasaan politik dan pelembagaan demokrasi menjadi spirit
moral tersendiri bagi elite politik di DPR untuk secara matang dapat
menginternalisasikan nilai-nilai demokrasi Pancasila yang berlandaskan pada konsep

75
Fetra Tumanggor, “Melihat Politik Luar Negeri Jokowi,” 239-240
76
Fetra Tumanggor, “Melihat Politik Luar Negeri Jokowi,” 240-241

38
38
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme …

membangun negara secara kolektif kian kokoh. Anehnya justru nilai itu raib ditelan
oleh ganas dan serakahnya elite politik pada kekuasaan.77
Perbedaan pandangan pada pilihan dukungan calon presiden antara Jokowi Vs
Prabowo masih terus terbawa dalam alam bahwa sadar mereka hingga tak bersedia
untuk berbagi kekuasaan pimpinan dan alat kelengakpan DPR, hanya karena ingin
menjadi diktator mayoritas di DPR dan dapat menindas partai minoritas. Padahal
petentangan pilihan presiden di mata rakyat telah berakhir saat KPU mengumumkan
pemenang pilpres adalah Jokowi. Kini rakyat telah berekonsiliasi dapat mengenyam
hidup secara harmoni sesuai pertandingan pilpres.
Karena itu sepantasnya elite politik di DPR belajar dari model rekonsiliasi ala
rakyat ini, untuk kembali merajut nilai dasar demokrasi Pancasila dan bersedia
berekonsiliasi untuk mengedepankan musyawarah- mufakat guna mencapai hikmat
dan kebijaksanaan dalam mengelola kekuasaan politik di DPR dan selalu
mempertimbangkan aspek representasi, kesimbangan politik dan gotong royong di
DPR. Tak ada jalan lain kecuali elite politik di DPR menyudahi kompetisi dan
kontestasi kekuasaan di DPR yang tak sehat itu, dengan duduk bersama
bergandengan tangan untuk saling bermusyawarah dan bermufakat menghilangkan
egonya masing-masing dalam mengelola dan berbagi kekuasaan di DPR. Hanya
dengan cara inilah demokrasi Pancasila akan tetap hidup di DPR. Jika tidak,
sesungguhnya demokrasi Pancasila telah raib di DPR.78
b. Penggunaan Interplasi DPR di Era Jokowi
Kedua, politikus di DPR RI tengah menggulirkan wacana penggunaan hak
interpelasi, yaitu hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai
kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Presiden Jokowi telah menaikkan harga
BBM tanpa persetujuan DPR. Itu diduga merupakan pelanggaran hukum yang
berpotensi melanggar UUD 1945 dan dapat menjadi pintu masuk menuju
pemberhentian atau pemakzulan (impeachment) Jokowi dari kursi presiden ke-7.
Apakah penaikan harga BBM subsidi yang dilakukan Jokowi melanggar UUD
1945 dan dapatkah dijadikan DPR sebagai pintu masuk ke arah pemakzulan
(impeachment)?
Sebenarnya, wacana impeachment terhadap Presiden RI ketika menaikkan harga
BBM subsidi bukan hal baru dalam tradisi politik di Indonesia. Bahkan, kerap terjadi
pada 2004 dan 2005. SBY pernah mengalami hal serupa saat menaikkan harga BBM
yang dianggap melanggar ketentuan UU No. 36/ 2004 tentang APBN 2004. Penaikan
harga BBM subsidi 2005 yang diduga melanggar ketentuan UU No. 46 tentang APBN
2005 bahkan diperkuat surat teguran MK karena pengaturan penaikan harga BBM
subsidi salah dalam membuat konsiderans pada Perpres 55/2005 tentang Kenaikan
Harga BBM. Namun, nyatanya impeachment terhadap SBY tidak terjadi.79
Jika dilacak secara cermat dan pada batas-batas penalaran hukum ekstensif,
sesungguhnya tidak ada ketentuan hukum yang dilanggar Presiden Jokowi dalam
membuat kebijakan menaikkan harga BBM subsidi pada 18 November. Bahkan,

77
Fetra Tumanggor, “Melihat Politik Luar Negeri Jokowi,” 241-242
78
Fetra Tumanggor, “Melihat Politik Luar Negeri Jokowi,” 242-243
79
Mangadar Situmorang, “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan
Jokowi_JK,” 76.

39
39
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Achmad Mufid Murtadho

penaikan harga BBM subsidi tidak perlu persetujuan DPR. Sebab, berdasarkan
ketentuan UU No. 12/2014 tentang APBN Perubahan 2014 secara eksplisit dinyatakan
bahwa pemerintah diberi otoritas kebijakan menaikkan harga BBM subsidi tanpa
harus meminta persetujuan DPR.
Lebih dari itu, kebijakan Jokowi menaikkan harga BBM subsidi itu
sesungguhnya merupakan langkah strategis pemerintah dalam melakukan realokasi
subsidi dari konsumtif ke sektor produktif.
Jika sejumlah politikus dari Koalisi Merah Putih (KMP) berkeyakinan kebijakan
Jokowi menaikkan harga BBM subsidi melanggar ketentuan Pasal 14 Ayat (13) UU
No. 12 Tahun 2014 Tentang Angaran Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara
(APBN) yang menyatakan, bahwa anggaran untuk subsidi energi merupakan bagian
dari program pengelolaan subsidi, dapat disesuaikan dengan kebutuhan realisasi
harga minyak mentah (ICP) dan nilai tukar rupiah. Praduga yang tidak tepat sebab
realitasnya, kendati harga minyak mentah dunia turun, tetapi nilai tukar rupiah kita
terhadap dolar mengalami kenaikan yang signifikan. Itu artinya, kedua parameter
tersebut tidak dapat dijadikan patokan turun dan tidaknya harga BBM. Dengan kata
lain, pemerintah dapat memilih salah satu parameternya, yaitu harga minyak mentah
(ICP) atau nilai tukar rupiah.80
Jika DPR bertekad untuk melakukan interpelasi kepada Presiden Jokowi agar
bersedia menjelaskan sejumlah argumentasi penaikan harga BBM, masih dapat
diterima dalam batas yang wajar sesuai dengan ketentuan UU 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPD, DPR, dan DPRD. Akan tetapi, dengan syarat tidak dilakukan secara
politikus disertai rencana terselubung dan membelokkan ke arah pemakzulan
(impeachment) Presiden Jokowi. Di situlah relevansinya agar Presiden Jokowi untuk
mempersiapkan jawaban secara solid, tegas, dan sejumlah argumentasi yang kuat
dan cermat. Rakyatlah yang akan menilai siapa yang lebih negarawan, DPR atau
Jokowi?
Berdasarkan paham konstitusionalisme Indonesia, baru pascaamendemen UUD
1945 yang selesai dalam empat kali amendemen pada 2002. Seorang presiden hanya
dapat diproses untuk di-impeachment, manakala terbukti melakukan pelanggaran
hukum murni, bukan pelanggaran dilihat dari aspek politik.
Tengoklah, Pasal 7A UUD 1945 tentang Syarat Pemberhentian atau impeachment
Presiden atau Wakil Presiden yang berbunyi, yakni Presiden dan atau Wakil Presiden
dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik terbukti
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun
apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden.
Adapun institusi yang dapat memberhentikan Presiden berdasarkan ketentuan
Pasal 7B dan 24C Ayat (2) UUD 1945 ialah MPR. Sebelumnya MPR harus
mendengarkan pendapat DPR dalam rapat paripurna yang dihadiri minimal dua per
tiga dari jumlah anggota DPR atas dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan
Presiden dan penilaian MK.

80
Mangadar Situmorang, “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan
Jokowi_JK,” 78

40
40
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme …

Lebih dari itu, penaikan harga BBM bersubsidi yang dilakukan Presiden Jokowi
merupakan produk kebijakan pemerintah dalam Hukum Tata Usaha Negara dapat
dibenarkan dan tidak boleh dipidanakan yang berpotensi melanggar UUD 1945.
Secara teori, kebijakan penaikan harga BBM bersubsidi oleh Presiden Jokowi
dapat dibaca melalui dua cara, yaitu pertama sebagai bagian dari penyelenggaraan
kepentingan umum yang terkait bestuur naar good oordelen atau kepemerintahan
berdasarkan pertimbangan yang baik. Menurut Crince Le Roy (1952), ada beberapa
prinsip dasar suatu pemerintahan dapat dikatakan baik. Di antaranya, seperti
bertindak cermat atau saksama; penaikan harga BBM itu telah dilakukan kajian
secara teliti dan cermat oleh Jokowi sebagai cara paling rasional.81
Kedua, sebagai bagian dari penerapan freies Ermessen atau pouvoir
discretionnaire, yaitu kebebasan mengambil kebijakan atas dasar kepentingan umum
yang bersifat memaksa dan demi perwujudan kesejahteraan rakyat. Menurut Geraint
Parry dalam Welfare and State Welfare Society (1983) membeberkan teori
kesejahteraan antara lain, yakni upaya mewujudkan kebutuhan rakyat utama dengan
mudah dan murah; kenaikan subsidi BBM dimaksudkan sebagai cara jitu untuk
mewujudkan kebutuhan esensial rakyat menengah ke bawah, yaitu subsidi
kesehatan murah, beasiswa, infrastruktur jalan, irigasi, bibit tanaman, dan pupuk
murah kredit usaha mikro melalui pengalihan subsidi BBM.
Penaikan harga subsidi BBM itu ialah cermin dari hadirnya negara untuk
mengatur distribusi subsidi melalui APBN secara tepat sasaran dan tujuan. Dari
golongan menengah ke atas, berupa subsidi BBM konsumtif keorientasi distribusi
subsidi. Fokus pada kelompok menengah ke bawah, berupa subsidi ekonomi
produktif. Itu ialah cara pemerintah untuk menciptakan pola relasi yang
nondiskriminasi dalam mendistribusikan subsidi negara kepada kelompok
masyarakat yang tepat dan lebih membutuhkan, yakni kelompok menengah ke
bawah daripada kelompok menengah ke atas.
Pendeknya, kebijakan penaikan harga BBM bersubsidi oleh Presiden Jokowi itu
dapat dibenarkan secara teori kebijakan, baik dari aspek hukum tata negara maupun
dari aspek hukum administrasi negara. Sebab itu, tidak ada satu alasan yuridis pun
yang dapat dibenarkan untuk membelokkan hak interpelasi DPR ke arah
pemakzulan Presiden Jokowi karena diduga melanggar haluan negara dan UUD 1945
pascaamendemen.82

Kesimpulan
Bahwa yang melatar belakangi pergeseran konstitusionalisme di Indonesia adalah seiring
perkembangan hukum yang semakin dinamis yang harus disesuaikan dengan latar belakang
negara kita, ditambah seringnya pergantian pucuk pimpinan tertinggi yaitu presiden yang
menyebabkan hal tersebut berdampak pada kebijakan-kebijakan yang diambil. Bahwa doktrin
konstitusionalisme dalam ketatanegaraan indonesia adalah konstitusionalisme memuat esensi
pembatasan kekuasaan dan kekuasaan itu sendiri dibatasi oleh konstitusi sebagai norma
hukum tertinggi. Persoalan yang dianggap terpenting dalam paham konstitusional adalah

81
Mangadar Situmorang, “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan
Jokowi_JK,” 79
82
Mangadar Situmorang, “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan
Jokowi_JK,” 80.

41
41
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Achmad Mufid Murtadho

pengaturan mengenai pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan.


Bahwa implikasi konstitusionalisme dan hukum tata negara dari era gusdur hingga jokowi
adalah terletak pada karakter masing-masing presiden yang berbeda-beda sehingga
menyebabkan implikasi konstitualisme di Indonesia sering mengalami perubahan, dan juga
perkembangan hukum yang semakin hari semakin pelik untuk dipecahkan.

Daftar Pustaka

A. Buku
As Siddiqy, Jimly. 2005. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam
UUD 1945, (Yogyakarta , FH UII PRESS).
As Siddiqy, Jimly. 2006 Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta , Konstitusi
Press).
As Siddiqy, Jimly. 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI).
As Siddiqy. Jimly, 2005. Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana
Permedia Grup 2010.
As Siddiqy. Jimly, 2010. Konstitusi Ekonomi, Jakarta: Kencana Permedia Grup.
Atmadja. I Dewe Gede, 2012. Hukum Konstitusi, Malang: Setara Press
Hoesein, Zainal Arifin. 2006. Kekuasaan Kehakiman Indonesia, (Malang: Setara Press).
Hoesein. Zainal Arifin, 2006.Kekuasaan Kehakiman Indonesia, Malang: Setara Press,
Ibrahim, Johnny. 2007. Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Bayumedia).
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Jember.
Isharyanto, 2018. Konstitusi Rule Of Law dan Demokrasi, Yogyakarta: CV, Absolute Media,
Islam. Faisal, 2019. Islam Konstitusionalisme dan Pluralisme Yogyakarta: IRCSoD.
Isra. Saldi, 2020. Pengujian Konstitusionalitas Perda, Jakarta: PT. Gramedia.
Kamal, Andrew. 2012. Spirit 5 Presiden RI (Yogyakarta Syura Media Utama).
Mahfud MD, Moh. 1998, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta, LP3ES).
Mahfud MD, Moh. 2000, Demokrasi Dan Konstitusi di Indonesia, Studi Tentang Interaksi
Politik dan Kehidupan Keta-tanegaraan, (Jakarta, Rineka Cipta).
Mahfud MD, Moh. 2014. Politik Hukum di Indonesia, Ed.Revisi, Cetakan 6, (Jakarta
Rajawali Perss).
Marwan, Mas. 2018. Hukum Konstitusi dan Kelembagaan Negara, (Depok: PT. Raja
Grafindo Persada
Marzuki, Suparman. 2014. Politik Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Penerbit
Erlangga).
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta,
Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI).
Morissan, 2018. Metode Penelitian Survei, Jakarta: Prenada Media Grup.
Mulkhan, Abdul Munir. 2010. Perjalanan Politik Gus Dur, (Jakarta: PT. Kompas).
Pureklolon. Thomas Tokan, 2016. Komunikasi Politik mempertahankan Integritas
Akademis Politikus, dan Negarawan. Jakarta: gramedia.
Rafick, Ishak. 2008. Catatan Hitam Presiden Indonesia (Jakarta : PT. Cahaya Insan Suci).
Ridjaluddin, 2002. Demokrasi Pemikiran Gus Dur dan Keterpaduannya Dengan Demokrasi
Amien Rais dan Syafi’ Ma’arif, (Jakarta: LKis).

42
42
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022
Pergeseran Pemahaman Konstitusionalisme …

Rinanto. Satya, 2017. Hak Asasi Manusia Transisi Indonesia, Yogyakarta: IRCSoD:
Semiawan, Conny R. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bogor : Grasido)
Sirajuddin, 2006. Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia, Malang: Setara Press,
Soemantri, Sri. 2007. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung, Penerbit
Alumni).
Strong, C.F. 2004. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang
Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, terjemahan SPA Teamwork,
(Bandung: Nuansa dan Nusamedia).
Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, (Bandung: CV Alfa
Beta).
Suharsimi, 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta).
Wahdjosumidjo, 1994. Kiat Kepemimpinan Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta : PT. Harapan
Masa PGRI).
B. Jurnal
Jumadi, Memahami konstitusionalisme Indonesia, Jurnal UIN Alaluddin Makasar,
Jurisprudentie, Vol: 3 No. 2, 2016.
Mishra, Satish Candra. Pemerintah dan Pemerintahan: Memahami Ekonomi Politik
Reformasi Institusi‖ Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol 1 (2), 2005.
Ratna Shofi Inayati, ‚Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Politik Luar Negeri
Indonesia,‛ E-Journal Politik LIPI, 2016, diakses 27 Februari 2022,
http://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/ article/viewFile/390/227.
Rosyidin, Muhammad. ‚The Indonesian Quarterly: Reflection on ASEAN at its 50th
Anniversary,‛ Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Third Quarter,
Vol. 45 No. 3 (2017): 225.
Wahyudi, Agus. ‚Doktrin Pemisahan Kekuasaan Akar Filsafat dan Praktek‛, dalam Jurnal
Hukum Lentera, ‚Nega-ra & Kekuasaan‛, Edisi 8 Tahun III, Maret 2005.

43
43
Rechtenstudent Journal 2 (1), April 2022

Anda mungkin juga menyukai