Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Uraian Tanaman
II.1.1 Deskripsi Tanaman
Tanaman Legundi (Vitex trifolia L) merupakan tanaman perdu,
tumbuh tegak mempunyai tinggi 1-4 m. Tumbuh pada tempat yang panas,
tandus dan berpasir. Ditemukan tanaman ini tumbuh liar pada hutan jati,
semak belukar dan sebagai tanaman pagar (Parapat, 2014).
Vitex trifolia Linn. tergolong ke dalam anggota Verbenaceae yang
memiliki sekitar 270 spesies yang tersebar di daerah tropis dan subtropis
dan beberapa spesies juga ditemukan di daerah yang beriklim sedang
(Natheer et al., 2012). Tanaman Legundi merupakan tanaman perdu atau
pohon dengan tinggi yang bisa mencapai 6 meter dengan ciri morfologi
batang menyebar dan berambut halus dengan sistem perakaran adventif,
bunga majemuk berkumpul dalam suatu tandan yang keluar dari ujung
tangkai serta berwarna berwarna biru keunguan atau ungu. Tumbuhan ini
tumbuh di daerah berpasir dan memiliki kemampuan untuk mengikat pasir
dan menahan semburan garam dari laut (Chan dan Tangah, 2016).
II.1.2 Klasifikasi Tanaman

(Gambar 2.1 Daun Legundi)


Berdasarkan taksonomi tanaman, legundi termasuk dalam suku
Verbenaceae (Yulianti, 2011):
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Lamiales
Suku : Verbenaceae
Marga : Vitex
Jenis : Vitex trifolia Linn.
Nama Daerah :Gendarasi (palembang), Lagundi, Lilegundi
(Minangkabau), Lagondi (sunda), Legundi (jawa),
Galumi (sumbawa), Sangari (bima), Lenra (makasar),
Lawarani (bugis), Ai tuban (ambon).
Nama Asing : Man Jing ( Cina), simplel eaf shrub chaste tree
(Inggris)
(Yulianti, 2011)
II.1.3 Morfologi Tanaman
Tanaman Legundi (Vitex trifolia L) memiliki beberapa bagian seperti
daun, batang, bunga dan buah, yaitu :
1. Daun
Memiliki jenis daun majemuk menjari beranak 3, anak daun ujung
bertangkai kurang dari 0,5 cm, helaian daun berbentuk bulat telur,
ujung dan pangkal runcing, permukaan atas berwarna hijau,
permukaan bawah berambut rapat berwarna putih, memilikipanjang 4
– 9,5 cm dan lebar 1,75 – 3,75 cm. Daun berbau khas aromatik
(Musara, 2016).
2. Batang
Batang tanaman legundi ini memiliki kulit batang berwarna coklat
muda – tua, batang muda memiliki bentuk segi empat, banyak
bercabang (Yanti, 2018).
3. Bunga
Bunga tanaman legundi berbentuk majemuk berkumpul dalam tandan,
bunganya memiliki warna ungu muda dan keluar dari ujung tangkai
(Musara, 2016).
4. Buah
Memiliki buah berbentuk bulat, bakal buah sempurna 2 ruang,
perruang 2 bagian, bakal biji duduk lateral, tangkai buah putih
berambut halus, ujung bercabang dua. Buah tipe drupe, berdinding
keras dan berair atau kering (Yanti, 2018)
II.1.4 Kandungan Kimia Tanaman
Bagian tanaman yang dapat dimanfaatkan adalah biji, daun dan
tangkai legundi. Legundi memiliki rasa pahit, pedas, dan bersifat sejuk.
Beberapa bahan kimia yang terkandung dalam legundi, diantaranya
Camphene, L-α-pinene, silexicarpin, casticin, terpenyl acetate, luteolin-7-
glucosideflavopurposid, vitrisin, dihidroksi, asam benzoate, dan vitamin A.
Bahan kimia akan masuk ke meridian lever, lambung, dan kandung
kencing (vesical urinaria) (Hariana, 2013).
Daun legundi mengandung minyak atsiri yang tersusun dari
seskuiterpen, terpenoid, senyawa ester, alkaloid (vitrisin), glikosida flavon
(artemetin dan 7- 10 desmetil artemetin) dan komponen non-flavonoid
friedelin,β-sitosterol, glukosida dan senywa hidrokarbon. Hasil penelitian
terhadap minyak atsiri daun legundi atas dasar reaksi warna
menggunakan metode kromatografi lapis tipis ditemukan senyawa
golongan aldehida dan atau keton, senyawa tidak jenuh, senyawa dengan
ikatan rangkap terkonjugasi, senyawa terpenoid. Sedangkan analisis
dengan kromatografi gas ditemukan keberadaan sineol (Herbie, 2015).
Minyak biji mengandung senyawa-senyawa hidrokarbon, asam lemak.
Pada jenis tumbuhan lain yaitu Vitex negundo L. ditemukan asam
protokatekuat, asam 5-hidroksi isoftalat, glukononitol. Sedangkan pada
jenis Vitex agnus cactus L. disamping mengandung minyak atsiri juga
megandung glikosida iridoid yaitu aukubin dan agnusid (Herbie, 2015).
Kandungan senyawa kimia dari daun legundi memiliki mekanisme kerja
dalam menghambat pertumbuhan bakteri.
Adapun fungsi dari masing-masing senyawa tersebut yaitu :
a) Saponin
Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti
sabun. Saponin dideteksi berdasarkan dari kemampuannya untuk
membentuk busa dan menghemolisis sel darah merah. Senyawa aktif
permukaan yang kuat sehingga menurunkan tegangan permukaan sel
yang mengakibatkan terjadinya kerusakan dinding sel bakteri.
Senyawa saponin yang meresap pada permukaan sel akan
mengakibatkan kebocoran membran sel, sehingga sel kehilangan
bahan-bahan esensialnya (Suryani,2014).
b) Flavonoid
Mekanisme kerja flavonoid sebagai antibakteri adalah membentuk
senyawa kompleks dengan protein ekstraseluler bakteri, sehingga
dapat merusak membrane sitoplasma bakteri dan diikuti dengan
keluarnya senyawa intraseluler. Senyawa flavonoid bersifat lopifilik
sehingga mampu mengikat fosfolipid pada dinding sel bakteri. Dinding
sel bakteri lisis dan senyawa dapat masuk ke dalam inti sel bakteri.
Pada inti sel senyawa akan berikatan dengan lipid DNA bakteri
sehingga menghambat replikasi DNA dan menyebabkan perubahan
kerangaka mutase pada sintesis protein (Suryani, 2014).
c) Alkaloid
Alkaloid merupakan kelompok metabolit sekunder tanaman terbesar
yang terdiri atas nitrogen dasar yang disintesis dari pembentukan blok
asam amino dengan berbagai radikal menggantikan satu atau lebih
dari atom hidrogen dalam cincin peptide yang mengandung oksigen.
Senyawa nitrogen inilah yang dapat dimanfaatkan sebagai antibakteri
dan dieksploitasi sebagai obat-obatan, stimulan psiko-narkotika, dan
narkotika racun karena kegiatan biologis tanaman yang terkenal
(Omojate et al., 2014).
II.1.5 Khasiat Tanaman
Efek farmakologis daun legundi diantaranya adalah sebagai anti-
inflamasi, obat penenang, obat demam, peradangan, meningkatkan berat
badan, menyembuhkan luka, antibakteri, anti HIV, aktivitas antikanker dan
antipiretik (Chan et al., 2016; Natheer et al., 2012). Sedangkan buahnya
dapat digunakan untuk menghambat pembelahan dan pertumbuhan sel
tumor, meredakan sakit kepala, rematik, migrain, sakit mata dan pilek.
Negara China dan Korea telah memanfaatkan buah legundi kering sejak
lama untuk digunakan sebagai obat asma dan bebrapa penyakit alergi
(Chan et al., 2016).
II.2 Simplisia
Menurut kutipan (Yanti, 2018), Simplisia merupakan bahan yang
telah dikeringkan dan belum mengalami perubahan bentuk maupun
proses apa pun. Simplisia dibedakan menjadi 3, yaitu :
1. Simplisia hewani
Simplisia yang didapat atau dihasilkan dari hewan atau berupa hewan
utuh dan belum berupa bahan kimia murni, misalnya madu (Mel
depuratum) dan minyak ikan (Oleum iecoris asseli)
2. Simplisia nabati
Simplisia yang dapat berupa eksudat tanaman, bagian tanaman,
tanaman utuh, atau gabungan dari ketiganya. Eksudat tanaman dapat
berupa bahan – bahan atau zat – zat nabati dengan cara tertentu
dipisahkan atau diisolasi dari tanamannya dan isi sel dari eksudat
tanaman ini yang secara spontan atau sengaja dikeluarkan dari sel
tanaman.
3. Simplisia pelican dan mineral
Simplisia berupa bahan pelican dan mineral yang telah diolah maupun
yang belum diolah dengan cara sederhana dan belum berupa bahan
kimia.
II.3 Ekstraksi
Ekstrasi merupakan suatu proses penarikan zat aktif yang terdapat
pada tanaman atau bahan yang menggunakan suatu pelarut atau suatu
cairan penyari. Metode ekstrasi dipilih dengan cara melihat tekstur dari
bahan yang akan diekstrasi agar menghasilkan hasil yang tepat.
Pembagian metode ekstrasi cukup beragam, ada yang membaginya
berdasarkan suhu. Pembagian metode ekstrasi berdasarkan suhu tentu
sesuai dengan karakter komponen kimia. Dasar pemilihan metode
ekstrasi ada 2, yaitu :
1. Dengan melihat tekstur dari sampel yang akan diekstraksi.
Dengn melihat teksturnya dapat menentukan jenis ekstraksi yang
akan digunakan. Bagi bahan yang bertekstur lunak dapat
menggunakan ekstrasi dengan metode dingin, sedangkan yang
dapat menggunakan ekstraksi dengan metode panas adalah
bahan yang bertekstur keras.
2. Berdasarkan pada sifat polaritas dari senyawa yang akan
diekstrak.
Pemilihan berdasarkan sifat polaritas pelarut dimana pelarut –
pelarut 14 dengan sifat kepolaran yang rendah akan menarik
komponen nonpolar, sedangkan untuk pelarut yang sifat
kepolarannya tinggi akan menarik komponen polar (Najib, 2018).
Jenis – jenis dari metode ekstraksi sebagai berikut :
a. Cara dingin
1. Maserasi ; Jenis ekstraksi yang sederhana karena
pengerjaannya hanya dilakukan dengan cara merendam simplisia
dalam cairan penyari merupakan metode ekstraksi maserasi.
Metode ini digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung
zat aktif yang mudah larut dalam pelarut, tidak mengandung lilin,
benzoin dan tiraks, dan juga tidak mengandung zat yang mudah
mengembang dalam pelarut. Cairan pelarut akan masuk kedalam
rongga sel dan menembus dinding sel yang mengandung zat aktif.
Keuntungan dari metode ekstrasi maserasi ini adalah peralatan
dan cara pengerjaannya yang mudah dan sederhana (Najib,
2018).
2. Perkolasi ; Perkolasi merupakan ektraksi yang menggunakan
pelarut yang sempurna sampai selalu baru yang biasanya
dilakukan pada suhu ruangan. Proses terdiri dari tahapan
pengembangan bahan, tahap maserasai antara, tahap perkolasi
sebenarnya (penampungan/penetesan ekstrak), terus menerus
sampai diperoleh ekstrak yang jumlahnya 1 – 5 kali bahan
(DepKes RI, 2000).
b. Cara panas
1. Infusa : Proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur suhu 90oC selama 15-20 menit merupakan jenis
metode ekstraksi infusa (Najib, 2018).
2. Soxhlet : Soxhlet merupakan metode ekstrasi untuk bahan yang
tahan dengan pemanasan dengan cara memasukan bahan pada
kantong ekstraksi didalam sebuah alat ekstrasi yang bekerja
kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin
balik dan turun menyari simplisia dalam klongsongan dan
selanjutnya masuk kembali pada labu alas bulat setelah melewati
pipa sifon (Najib, 2018).
3. Refluks Menurut DepKes RI (2000) : metode ekstraksi refluk
adalah ekstraksi dengan pelarut selama waktu tertentu dan jumlah
pelarut yang terbatas relatif konstan dengan adanya pendingin balik
pada temperatur titik dididihnya. Proses pengulangan pada residu
pertama dilakukan umumnya 3 – 5 kali sehingga dapat termasuk
proses ekstraksi yang sempurna.
4. Dekok Menurut DepKes RI (2000) : metode ekstraksi dekok
adalah ekstraksi dengan pelarut air dengan waktu yang lebih lama
(30 menit) pada temperatur sampai titik didih air.

II.4 Kapsul
II.4.1 Definisi Kapsul
Kapsul adalah sediaan yang mengandung satu macam bahan obat
atau lebih yang dimasukkan ke dalam cangkang atau wadah kecil yang
umumnya dibuat dari gelatin (Suparman, 2019). Kapsul dapat
didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu macam bahan
obat atau lebih bahan yang dimasukkan ke dalam cangkang atau wadah
kecil yang umumnya dibuat dari gelatin yang sesuai. Kebanyakan kapsul
yang beredar di pasaran adalah kapsul yang semuanya dapat ditelan oleh
pasien. Selain itu terdapat sediaan kapsul yang dapat disisipkan ke dalam
rektum sehingga obat dilepaskan dan diabsorbsi di tempat tersebut, atau
isi kapsul dapat dipindahkan dari cangkang gelatin dan digunakan sebagai
pengukur yang dini dari obat-obat bentuk serbuk. Cangkang dapat larut
dan dipisahkan dari isinya. 1. Kapsul Lunak (Soft Capsule): berisi bahan
obat berupa minyak/larutan obat dalam minyak. 2. Kapsul keras (Hard
Capsule): berisi bahan obat yang kering (Ansel, 2011).
II.4.2 Keuntungan dan Kerugian Sediaan Kapsul
1. Beberapa keuntungan sediaan kapsul gelatin keras diantaranya
adalah (Augsburger, 2000 ; Lachman, 1994):
a. dapat menutupi rasa dan bau yang tidak enak dari bahan obat
b. mudah untuk ditelan
c. mudah dalam penyiapan karena hanya sedikit bahan tambahan dan
tekanan yang dibutuhkan
d. dapat digunakan untuk menggabungkan beberapa jenis obat pada
kebutuhan yang mendadak
e. bahan obat terlindung dari pengaruh luar (cahaya, kelembaban)
2. Kerugian sediaan kapsul adalah (Ansel, 1989 ; Augsburger, 2000):
a. garam kelarutan tinggi umumnya tidak dapat digunakan pada
kapsul gelatin keras
b. kapsul tidak cocok untuk bahan obat yang dapat mengembang
c. peralatan pengisi kapsul mempunyai kecepatan yang lebih lambat
dibanding mesin pencetak tablet
II.4.3 Macam-Macam Kapsul
Ada dua macam kapsul yaitu kapsul cangkang keras dan lunak
(Ansel, 1989) :
1. Kapsul cangkang keras
Kapsul cangkang keras biasanya terbuat dari gelatin berkekuatan
gel relatif tinggi. Berbagai jenis gelatin dapat digunakan, tetapi
gelatin dari campuran kulit dan tulang sering digunakan untuk
mengoptimalkan kejernihan dan kekerasan cangkang. Kapsul
cangkang keras dapat juga dibuat dari pati atau bahan lain yang
sesuai. Kapsul cangkang keras juga dapat mengandung zat warna
yang diizinkan atau zat warna dari berbagai oksida besi, bahan
opak seperti titanium dioksida, bahan pendispersi, bahan pengeras
seperti sukrosa dan pengawet. Biasanya bahan-bahan ini
mengandung air antara 10% dan 15%
2. Kapsul cangkang lunak
Kapsul cangkang lunak yang dibuat dari gelatin (kadangkadang
disebut gel lunak) atau bahan lain yang sesuai membutuhkan
metode produksi skala besar. Cangkang gelatin lunak sedikit lebih
tebal dibanding kapsul cangkang keras dan dapat diplastisasi
dengan penambahan senyawa poliol seperti sorbitol atau gliserin.
Perbandingan bahan plastisasi kering terhadap gelatin kering
menentukan kekerasan cangkang dan dapat diubah untuk
penyesuaian dengan kondisi lingkungan dan juga sifat isi kapsul.
Seperti cangkang keras, komposisi cangkang mengandung pigmen
atau pewarna yang diizinkan, bahan opak seperti titanium dioksida
dan pengawet. Bahan pengharum dapat ditambahkan, selain itu
sukrosa hingga 5% dapat dimasukkan sebagai pemanis dan untuk
menhasilkan cangkang yang dapat dikunyah. Cangkang gelatin
lunak umumnya mengandung 6% hingga 13% air. Umumnya
kapsul cangkang lunak diisi dengan cairan. Khususnya bahan aktif
dilarutkan atau disuspensikan dalam bahan pembawa cair
II.4.4 Ukuran Cangkang Kapsul
Kapsul cangkang keras terdiri dari berbagai ukuran mulai dari yang
terbesar yaitu 000 hingga ukuran terkecil yaitu 5. Berikut ini adalah tabel
ukuran cangkang kapsul dan volume yang mampu diisikan kedalamnya.
Tabel 2.1 Ukuran Cangkang Kapsul (Bhaat, 2007)

No. Cangkang Volume (mL) Berat (mg)

5 0,13 90
4 0,21 145
3 0,30 210
2 0,37 260
1 0,50 350
0 0,68 475
00 0,95 665
000 1,37 960
Penentuan berat isi kapsul dapat dihitung dengan rumus berikut :
Berat isi kapsul = BJ mampat serbuk formulasi x volume kapsul Atau
dengan cara melakukan orientasi terlebih dahulu terhadap cngkang kapsul
yang akan digunakan dengan menggunakan bahan obat yang akan
dimasukkan.
II.4.5 Komposisi Kapsul
Bahan - bahan penyusun kapsul antara lain (Augsburger,1996 ;
Ansel, 1989) :
1. Pengisi
Pengisi sering digunakan untuk meningkatkan bulk dari suatu
formula, yang paling banyak digunakan sebagai pengisi kapsul antara
lain pati, laktosa dan dikalsium fosfat. Sebagai seorang formulator
maka perlu mempertimbangkan kelarutan dari bahan obat dan bahan
pengisi yang akan digunakan karena akan berpengaruh pada disolusi
obat. Contoh pengisi adalah amilum, amilum jagung, kalsium difosfat,
dan lain-lain.
2. Pelincir
Pelincir digunakan untuk meningkatkan fluiditas serbuk. Adanya
partikel berupa fine akan melapisi bulk dan akan menghambat fluiditas
serbuk. Konsentrasi pelincir yang digunakan untuk menghasilkan
fluiditas yang optimum pada umumnya adalah kurang dari 1% atau
antara 0,25- 0,50%. Contoh bahan yang digunakan sebagai pelincir
antara lain talk, corn starch dan magnesium stearat.
3. Lubrikan
Formulasi kapsul biasanya mensyaratkan adanya lubrikan sama
seperti formulasi tablet. Lubrikan yang umumnya dipakai
dalamformulasi tablet dan kapsul antara lain magnesium stearat dan
asam stearat. Peningkatan konsentrasi lubrikan hidrofobik seperti
magnesium stearat akan memperlambat pelepasan bahan obat
karena membuat formula semakin hidrofobik. Namun ada
pengecualian, dalam suatu formula kapsul akan bergantung juga pada
pengisi yang digunakan. Pengisi yang mudah larut maka akan dapat
mencegah pelepasan obat yang lambat akibat peningkatan
konsentrasi lubrikan. Contoh lubrikan dan glidan adalah talk, aerosil,
Mg stearat
4. Disintegran
Penggunaan disintegran dalam suatu formula kapsul tergantung
pada proses atau metode pengisian yang digunakan. Efisiensi
disintegran tergantung pada konsentrasi yang digunakan pada
umumnya antara 2-4% untuk menghasilkan disolusi yang cepat.
5. Adsorben
Digunakan untuk melindungi bahan berkhasiat dari pengaruh
kelembaban, membantu meningkatkan homogenitas campuran, dan
menghindari lembab akibat reaksi antar bahan. Contoh adsorben
adalah Mg oksida, Mg karbonat, aerosil.

II.4.6 Evaluasi Kapsul


Evaluasi sediaan kapsul meliputi evaluasi terhadap massa kapsul
dan evaluasi terhadap sediaan jadi. Evaluasi terhadap massa kapsul
meliputi :
a. Sifat alir
Salah satu hal yang penting dalam produksi sediaan padat adalah sifat
aliran serbuk atau granul. Aliran massa akan mempengaruhi
keseragaman bobot dalam sediaan. Kecepatan aliran serbuk ini
ditentukan oleh faktor ukuran partikel, distribusi ukuran partikel, bentuk
partikel, bobot jenis. Uji terhadap sifat alir ini dilakukan dengan
menggunakan flowmeter (Voight, 1989).
Tabel. 2.2 Laju alir dan Kategorinya
Laju Alir (gram/detik) Keterangan
>10 g Sangat Baik
4 - 10 Baik
1,6 - 4 Sukar
<1,6 Sangat Sukar

b. Sudut istirahat
Cara uji ini juga merupakan uji untuk menentukan sifat aliran massa. Uji
ini dilakukan dengan menggunakan corong, dimana serbuk atau massa
dialirkan melalui corong, kemudian diukur jari-jari dan tinggi dari serbuk
yang jatuh ke bawah (Voight, 1989).
Tabel 2.3 Sudut Istirahat dan Kategorinya
Sudut Istirahat () Kategori
25°C - 30°C Istimewa
31°C - 35°C Baik
36°C - 40°C Cukup Baik
41°C - 45°C Agak Baik
46°C - 55°C Buruk
56°C - 65°C Sangat Buruk
≥ 65°C Sangat Buruk Sekali

c. Uji Keseragaman Bobot


Uji ini dugunakan untuk memperkirakan isi bahan aktif tiap kapsul.
[roedur keseragaman bobot untuk kapsul yang berisi bahan obat kering
menurut FI III adalah sebagai berikut : Ditimbangan 20 kapsul sekaligus
dan ditimbang lagi satu persatu. Dikeluarkan isi semua kapsul,
kemudian timbang seluruh cangkang kosong dari 20 kapsul tersebut.
Lalu dihitung bobot isi kapsul dan bobot rata-rata tiap isi kapsul.
Perbedaan dalam persen bobot isi tiap kapsul terhadap bobot rata-rata
tiap isi kapsul, tidak boleh melebihi dari yang ditetapkan pada kolom A
dan untuk setiap 2 kapsul tidak lebih dari yang ditetapkan pada kolom B
Tabel 2.4 Persyaratan Keseragaman Bobot Kapsul (DepKes RI, 1979)
Perbedaan Bobot Isi Kapsul (%)
Bobot Rata-Rata
A B
120 mg 10 20
120 mg atau lebih 7,5 15
d. Uji Waktu Hancur
Pengujian kehancuran adalah suatu pengujian untuk mengetahui
seberapa cepat tablet hancur menjadi agregat atau partikel lebih halus.
Pengujian dilakukan berdasarkan asumsi bahwa jika produk hancur
dalam periode waktu singkat, misal dalam 5 menit, maka obat akan
dilepas dan tidak ada antisipasi masalah dalam hal kualitas produk
obat. Waktu hancur setiap tablet atau kapsul dicatat dan memenuhi
persyaratan spesifikasi waktu (dalam 15 menit) (Depkes RI, 1979).
e. Uji Disolusi
Disolusi adalah proses dimana suatu zat padat menjadi terlarut dalam
suatu pelarut. Dalam sistem biologik disolusi obat dalam media
“aqueous” merupakan suatu bagian penting sebelum absorbsi sitemik.
Laju disolusi obat-obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari
bentuk sediaan padat yang utuh atau terdesintegrasi dalam saluran
cerna sering mengendalikan laju absorbsi sistemik obat (Shargel,
1988). Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa banyak
persentasi zat aktif dalam obat yang terabsorpsi dan masuk ke dalam
peredaran darah untuk memberikan efek terapi. Persyaratan dalam
waktu 30 menit harus larut tidak kurang dari 85% (Q) dari jumlah yang
tertera pada etiket.
f. Uji Higroskopisitas
Suatu sediaan dikatakan stabil secara fisik apabila tidak menunjukkan
perubahan-perubahan sifat fisik selama masa penyimpanan. Salah satu
sifat fisik yang perlu diamati adalah sifat higroskopisitas sediaan. Uji
higroskopisitas merupakan cara menguji kemampuan bahan obat untuk
menyerap uap dari udara setelah dibiarkan dalam suatu kondisi dan
satuan waktu yang diamati. Sejumlah kapsul ditempatkan perlakuan
pengaturan kelembaban tertentu dan pada temperatur kamar. Masing-
masing perlakuan diamati setiap hari dalam seminggu dan tiap minggu
selama satu bulan. Pengamatan dilakukan terhadap perubahan bobot
kapsul, bentuk kapsul, dan isi kapsul (Augsburger, 2000)
II.5 Informasi Bahan Aktif
II.5.1 Uraian Sediaan
Nama : Legundi (Vitex trifolia L.)
Farmakologi : Infeksi Cacing, kusta, dan ruam kulit, nyeri
sendi, antiinflamasi, antioksidan,
hepatoprotektif, antifungi, peneymbuhan
luka, antikanker, insektisida
Vitex trifolia memiliki khasiat seperti
analgetik, relaksasi, trakeospamolitik, asma,
bronchitis, dan tuberculosis (Tiwani dan
Talreja, 2020)
Indikasi : Batuk
Mekanisme kerja : Salah satu kandungan senyawa pada daun
legundi adalah flavonoid yang terkandung
dalam ekstrak akan memecah untaian
benang dari mukoprotein dan
mukopolisakarida mukus (Auliya et al.,
2021)
Kontraindikasi : Pada ibu menyusui karena dapat
mengurangi jumlah asi (Wahyuni et al.,
2016)
Efek Samping : Mual, Gastrointestinal, lelah, gangguan
menstruasi, mulut kering, pruvitis, dan gatal-
gatal
Toksisitas : Ekstak legundi yang larut dalam etanol,
kloroform dan n-heksan tidak menunjukan
adanya efek toksik (Ikram et al., 1987)
Dosis dan Pemberian : Dosis ekstrak legundi digunakan pada
dewasa adalah 300mg, dengan dosis
terapeutik manusai (1-3 kaplet sehari) yang
sama dengan efek dekstrometorfan pada
dosis terapeutik (Ikiwaki, et al., 2020)
Interaksi : Obat dengan bahan aktif vitex trifolia dapat
berinteraksi dengan obat-obatan
kontrasepsi dan agonis dopamine
(Padmalatha et al., 2009)
II.5.2 Uraian Sifat Fisika Kimia
Nama resmi : Vitex Trifoliae
Nama lain : Legundi
RM : C6C3C6
BM : 284 gr/mol
Pemerian : Cokelat tua, agak kelat, bau khas, bentuk
ekstrak kental
Kelarutan : Larut dalam air,
Pka dan pH : >10
Titik Lebur : 224 - 226°C
Titik Didih : 75 °C
II.6 Informasi Bahan Tambahan
1. PVP (Dirjen POM, 1979 ; Rowe, 2009)

Nama : Polivinilpirolidon
RM/BM : (C6H9NO)n/ 2500-3000000
Pemerian : berupa serbuk putih atau putih kekuningan;
berbau lemah atau tidak berbau
Kelarutan : mudah larut dalam air, etanol (95%) P,
kloroform P; praktis tidak larut dalam eter P
pH : 3,0 – 7,0
Stabilitas : Stabil pada suhu 110 – 130 0C ; Mudah
terurai dengan adanya udara dari luar ; Dapat
bercampur dengan air ; Stabil bila disimpan
ditempat kering.
Inkompatibilitas : Ditambahkan thimerosol akan membentuk
senyawa kompleks. Kompatibel terhadap
gerak organik alami, resin sintetik dan
senyawa lainnya. Akan terbentuk senyawa
sulfathiazole, sodium salisilat, asam
salisilat, fenol barbital dan komponen
lainnya.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, sejuk (15-25℃),
dan kering.

2. Magnesium Stearat (Rowe, 2006; Rowe, 2009)

Nama : Magnesium Stearat


RM/BM : C36H62MgO4/ 591,24 g/mol
Pemerian : berbentuk serbuk putih halus dengan bau
lemah khas dan mudah melekat pada kulit
Kelarutan : praktis tidak larut dalam air, etanol (95%) P,
dan dalam eter P, sukar larut dalam benzene
dan etanol (95%)
Stabilitas : stabil pada tempat yang kering dan tertutup
rapat
Inkompatibilitas : tidak tercampur dengan asam kuat, basa
kuat, garam besi dan oksidasi kuat
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik
3. Aerosil (Rowe, 2006; American Pharmaceutical Association and
The Pharmaceutical Society of Great Britian, 1986)
Nama : Aerosil
RM/BM : SiO2/ 60,08 g/mol
Pemerian : Serbuk halus, putih atau hampir putih, bubuk
amorf, dengan ukuran partikel sekitar 15 nm,
tidak berasa, tidak berbau
Kelarutan : praktis tidak larut dalam air dan dalam asam
mineral, kecuali asam fluorida
pH : 3,5-4,0
Stabilitas : Bersifat higroskopis, tanpa mencair.
Inkompatibilitas : Sediaan dietilstilbestrol
Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat, ditempat kering
4. Maltodextrin (Dirjen POM, 1973 ; Sweetman, 2009)

Nama : MALTODEXTRIN
RM/BM : C12H22O11 / 342.30
Pemerian : Serbuk hablur putih, tidak berbau
Kelarutan : Bebas larut dalam air, sedikit larut dalam
etanol 95%
Ph : 4,0-7,0
Stabilitas : Maltodekstrin harus disimpan dalam wadah
yang tertutup rapat di tempat sejuk dan kering.
Inkompatibilitas :Pada Ph tertentu dan kondisi suhu
maltodekstrin mungkin mengalami reaksi
dengan asam amino, dan tidak kompatibel
dengan oksidator kuat
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
5. Talk (Dirjen POM 1979; Rowe et al., 2009)

Nama Resmi :TALCUM


Nama Lain : Hydrous magnesium calcium silicate,
hydrous magnesium silicate, Imperial, Luzenac
Pharma, magnesium hydrogen metasilicate,
Magsil Osmanthus, Magsil/Star, powdered talc,
purified French chalk, Purtalc, soapstone,
steatite, Superiore, talcum.
RM/BM : Mg6(Si2O5)4(OH)4
Pemerian : Serbuk hablur, sangat halus, mudah melekat
pada kulit, bebas dari butiran, warna putih atau
warna kelabu.
Kelarutan : Tidak larut dalam hampir semua pelarut.
Stabilitas : Talk adalah material stabil dan
memungkinkan disterilisasi dengan melakukan
pemanasan pada suhu 160 oC pada waktu
kurang dari 1 jam. Itu juga disterilisasi dan
menekspos dengan menggunakan Etilen
Oksida atau radiasi sinar gamma.
Inkompatibilitas :Terhadap zat yang mengandung aluminium
kuartener.
Penyimpanan : Wadah tertutup baik, sejuk dan tempat kering.
6. Avicel 102 (Rowe, 2009, Sweetman, 2009)

Nama resmi : Cellulose, microcrystalline


RM/BM : C14H26O11 / 370.35
Pemerian : Serbuk kristalin dengan partikel berpori ;
berwarna putih ; tidak berbau ; dan tidak
berasa
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larutan asam dan
sebagian besar pelarut organik
Stabilitas : Material higroskopis yang stabil.
Inkompatibilitas : Inkompatibel dengan agen pengoksidasi yang
kuat
Penyimpanan : Disimpan di wadah tertutup rapat pada
tempat yang sejuk dan kering
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi (Ed.4). (Farida


Ibrahim, Penerjemah). Jakarta: UI Press.

Augsburger, L.L. (2000). Modern Pharmaceutics: Hard and Soft Gelatin


Capsules. (Ed. 2). New York: Mercel Dekker.

Auliya,Y.S. Lestari. 2021. Studi Literatur Beberapa Ekstrak dan Fraksi


Tanaman yang Berpotensi untuk Mengatasi Batuk. Prosiding
Farmasi. 151 (2)

Aulton, M.E. (1988). Pharmaceutics: The Science of Dosage Form Design.


New York: Churchill Livingstone.

Chan, E. W. C., Baba, S., Chan, H. T., Kainuma, M., & Tangah, J. (2016).
Medicinal plants of sandy shores: a short review on Vitex trifolia L.
and Ipomoea pes-caprae (L.) R. Br. Indian Journal of Natural
Products and Resources, 7(2), 107–115

D. Kusuma Wahyuni, W. Ekasari, J. Ridho Witono, and H. Purnobasuki, ,


2016. Toga Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press

Dirjen POM (Direktur Jenderal Pengawas Obat dan Makanan). 1995.


Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. Hal: 72, 157, 186, 551
Dirjen POM (Direktur Jenderal Pengawas Obat dan Makanan). Depkes RI.
2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Hal. 9-11,
16.

Ditjen POM., 1979, Farmakope Indonesia Edisi Ketiga, 33, Jakarta,


Depkes RI

Hariana, A. 2013. Tumbuhan Obat dan Khasiat III. Jakarta: Penebar


Swadaya.

Lachman L. (1994). Teori dan Praktek Farmasi Industri (Ed. 3, jilid 2). (Siti
Suyatmi, penerjemah), Depok: UI Press, hal. 797-798, 831-834

Lieberman, H.A., Lachman, L. & Schwartz, J.B. (1989). Pharmaceutical


Dosage Forms (volume 1). New York: Marcel Dekker, Inc.

Natheer, S. E., C. Sekar, P. Amutharaj, M.S.A. Rahman, and K. F. Khan.


2012. Evaluation of antibacterial activity of Morinda citrifolia, Vitex
trifolia and Chromolaena odorata. African Journal of Pharmacy
and Pharmacology. 6(11): 783–788.

Natheer, S. E., Sekar, C., Amutharaj, P., Rahman, M. S. A., & Khan, K. F.
(2012). Evaluation of antibacterial activity of Morinda citrifolia,
Vitex trifolia and Chromolaena odorata. African Journal of
Pharmacy and Pharmacology, 6(11), 783–788.

Omojate, G., F. Enwa, A. Jewo, and C. Eze. 2014. Mechanisms of


Antimicrobial Actions of Phytochemicals against Enteric
Pathogens – A Review. Journal of Pharmaceutical, Chemical and
Biological Sciences. 2(2): 77–85.

Parapat, I. ramot O. (2014). Analisis komponen kimia dan uji aktivitas


antibakteri minyak atsiri daun legundi (Vitex trifolia L). Universitas
Sumatera Utara

Pelczar, M.J dan Chan, E.C.S. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi, Jilid 1.


Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Rowe RC, Sheskey PJ, Quinn ME, 2009, Handbook of Pharmaceutical


Excipients Sixth Edition, London, Pharmaceutical Press

Suryani, D. 2014. Efektivitas Daun sukun (Artocarpus altilis) dalam


menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli. Karya Tulis
Ilmiah: Fakultas Ilmu Kesehatan,UM Palangkaraya.
Tiwani, S., Talreja., S. 2020. Medicinal and Pharmacological Importance
of Vitex Trifolia : A Review. Research Journal of Pharmaceutical,
Biological and Chemical Science

Voight, R. (1995). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi (hal. 170). (Lehrbuch


den Pharmazeutizchen technologie, Penerjemah). Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Yanti, Puspita. 2018. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Legundi


(Vitex trifolia Linn.) Terhadap Pertumbuhan Streptococcusmutans
Secara Invitro. Skripsi. Kementrian Kesehatan. Politeknik
Kesehatan Kemenkes Denpasar.

Yulianti, O. (2011). Isolasi, identifikasi dan uji aktivitas antibakteri minyak


atsiri daun legundi (Vitex trifolia Linn.). Skripsi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas
Maret Surakarta. Universitas Sebelas Maret.

Anda mungkin juga menyukai