Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

FARMAKOGNOSI ANALITIK

“Analisis Parameter Non Spesifik Kadar Abu pada Produk


Bahan Baku Obat Alam”

Disusun Oleh :
KELOMPOK 4
Dosen Pengampuh
apt. Muhammad Azwar AR., S.Si., M.Si

A.Sherly Oktavia N (20018040) Maghfirah P.Arifin (20018014)


Ayu Saputri Dastra (20018038) Mely Tresya P. (20018022)
Asmila Aulia Mula (20018036) Nur Hasmita (20018004)
Ernita Pare Tanga (20018017) Sri Rahayu (20018039)
Yesti Silamba (20018028) Wildan Santoso S. (20018048)

PRODI SARJANA FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI
MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan Rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikkan dan
menyusun makalah sampai selesai berjudul
“Analisis Parameter Non Spesifik Kadar Abu pada Produk Bahan Baku
Obat Alam” dapat diselesaikan. Ucapan terimakasih tidak lupa kami ucapkan
kepada pihak yang berwewenang dalam pembuatan makalah ini untuk
memenuhi salah satu tugas Farmakognosi Analitik.
Kami berharap makalah ini menambah pengetahuan dan wawasan
bagi pembaca di masyarakat maupun mahasiswa. Masih terdapat banyak
kekurangan dalam maklah ini oleh karena itu, saran dari berbagai pihak
sangat diharapkan demi kemajuan selanjutnya.

Makassar, 19 April 2022

Kelompok IV

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
I.1 Latar Belakang..........................................................................................1
I.2. Rumusan Masalah...................................................................................2
I.3 Tujuan.......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................3
II.1 Simplisia...................................................................................................3
II.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas simplisia..............................3
II.3 Kadar Abu................................................................................................4
II.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kadar Abu .......................................5
II.5 Metode Penentuan Kadar Abu pada simplisia........................................5
BAB III PENUTUP............................................................................................8
III.1 Kesimpulan.............................................................................................8
III.1 Saran ......................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pengembangan obat tradisional diusahakan agar dapat sejalan dengan
pengobatan modern. Menteri Kesehatan mendukung pengembangan obat
tradisional, yaitu fitofarmaka dimana diperlukan adanya pengendalian mutu
simplisia yang akan digunakan untuk bahan baku obat atau sediaan galenik
(Febriani, D., dkk, 2015). Simplisia dikatakan bermutu jika memenuhi
persyaratan yang tertera dalam monografi simplisia yaitu susut pengeringan,
kadar abu total, kadar abu tidak larut asam, kadar sari larut etanol, kadar sari
larut air. Persyaratn ini digunakan dengan tujuan pengobatan dan
pemeliharaan kesehatan (Azizah, B., dan Nina, S, 2013).
Salah satu upaya untuk menjamin ketersediaan obat yang aman,
memberikan manfaat dan mutu yang baik, maka perlu dilakukan uji kualitas
dari tanaman obat tersebut. Meskipun sudah dibuktikan secara empiris
namun akan lebih baik lagi jika dapat dibuktikan secara ilmiah agar
penggunaan dari tanaman obat tersebut dapat dimaksimalkan potensinya.
Namun karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi kandungan dari
tanaman tersebut dimana salah satunya adalah faktor lingkungan oleh
karena itu akan dilakukan uji kualitas parameter non-spesifik kadar abu agar
menjamin mutu simplisia.
Penetapan kadar abu dimaksudkan untuk mengetahui kandungan
komponen yang tidak mudah menguap (komponen anorganik atau garam
mineral) yang tetap tinggal pada pembakaran dan pemijaran senyawa
organik. Semakin rendah kadar abu suatu bahan, maka semakin tinggi
kemurniannya. Tinggi rendahnya kadar abu suatu bahan antara lain
disebabkan oleh kandungan mineral yang berbeda pada sumber bahan baku
dan juga dapat dipengaruhi oleh proses demineralisasi pada saat
pembuatan.
I.2 Rumusan Masalah 1
Bagaimana cara menganalisis kadar abu pada bahan baku obat alam?
I.3 Tujuan
Untuk mengetahui cara analisis kadar abu pada bahan baku obat alam.

2
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Simplisia
Simplisia dalam bentuk jamak berasal dari kata simpleks yang berasal
dari kata simple, berarti satu atau sederhana. Simplisia adalah sebutan untuk
bahan-bahan obat alam yang masih berada dalam wujud aslinya dan belum
mengalami perubahan bentuk. Simplisia adalah bahan alami yang digunakan
untuk obat yang belum mengalami proses pengolahan apapun kecuali
dinyatakn lain umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Berdasarkan
hal itu maka simplisia dibagi menjadi tiga golongan yaitu simplisia nabati,
simplisia hewani dan simplisia pelikan/mineral (Gunawan, D dan Sri, M,
2004).
a. Simplisia nabati ialah simplisia berupa tanaman utuh, bagian tanaman,
eksudat tanaman atau merupakan gabungan/campuran antara ketiganya
(Gunawan, D dan Sri, M, 2004).
b. Simplisia hewani ialah simplisia berupa hewan utuh atau zat-zat berguna
yang dihasilkan oleh hewan dan belum bahan kimia murni. Contohnya
adalah minyak ikan dan madu (Gunawan, D dan Sri, M, 2004).
c. Simplisia pelikan atau mineral Simplisia ialah simplisia berupa bahan
pelikan atau mineral yang belum mengalami pengolahan atau yang sudah
diolah dengan sederhana dan belum berupa bahan kimia murni.
Contohnya serbuk seng dan serbuk tembaga (Gunawan, D dan Sri, M,
2004).
II.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Simplisia
Kualitas dari simplisia dapat dipengaruhi oleh faktor bahan baku dan
proses pembuatannya.
a. Bahan baku simplisia
Simplisia bisa diperoleh dari tanaman liar dan tanaman yang
dibudidayakan. Jika simplisia diperoleh dari tanaman budi daya maka
keseragaman umur, masa panen dan
3 galur (asal usul, garis keturunan)
tanaman dapat dipantau. Sementara jika diambil dari tanaman liar maka
banyak kendala yang tidak bisa dikendalikan seperti asal tanaman, umur
dan tempat tumbuh.
b. Proses pembuatan simplisia
Dasar pembuatan simplisia meliputi beberapa tahapan. Adapun tahapan
tersebut dimulai dari pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian,
pengubahan bentuk, pengeringan, sortasi kering, pengepakan dan
penyimpanan.
II.3 Kadar Abu
Abu merupakan zat anorganik yang merupakan hasil dari pembakaran
suatu bahan anorganik dimana kadar abu suatu bahan tergantung pada
bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu ada hubungannya dengan
mineral yang dikandung suatu bahan. Mineral tersebut terdapat dalam bentuk
garam organik, garam anorganik, atau menyerupai bentuk senyawa
kompleks yang bersifat organis. Penentuan kadar abu seringkali dilakukan
untuk mengendalikan garam-garam anorganik seperti garam kalsium
(Sudarmaji, dkk, 1996).
Mineral yang ada dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam
garam yaitu, garam-garam organik (misalnya garam dari asam malat,
oxalate, asetat, pektat dan lain-lain) dan garam-garam anorganik (misalnya
phospat, carbonat, chlorida, sulfat nitrat dan logam alkali) (Winarno, 1991).
a. Tujuan Penetapan Kadar Abu
Penetapan Kadar abu dilakukan dengan tujuan untuk memberikan
gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari
proses awal sampai terbentuknya simplisia. Kadar abu total berkaitan
dengan mineral baik senyawa organik maupun anorganik yang diperoleh
secara internal maupun eksternal (Febriani, D., dkk, 2015).

b. Prinsip Penetapan Kadar Abu


4
Pada prinsipnya parameter kadar abu bahan dipanaskan pada temperatur
dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap
sehingga hanya meninggalkan unsur mineral dan anorganik. Tujuan dari
parameter ini untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal
yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak (Depkes RI,
2000).
c. Parameter Kadar Abu
Parameter Standarisasi MMI & BPOM RI
Kadar Abu Total ≤16,6 %
Kadar Abu Tidak Larut Asam ≤2 %
II.4 Faktor yang Mempengaruhi Kadar Abu
Menurut Sudarmadji et al (1989) mengatakan bahwa terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi kadar abu suatu bahan pangan yaitu :
1. cara pengabuan
2. Jenis bahan pangan
3. Suhu dan waktu pada saat pengeringan
4. Pada proses pengeringan, semakin lama waktu dan semakin tinggi
suhu yang digunakan maka kadar abu akan meningkat
II.5 Metode Penentuan Kadar Abu
Analisis kandungan mineral suatu sampel dilakukan dengan cara
didestruksi terlebih dahulu. Destruksi merupakan suatu perlakuan untuk
melarutkan atau mengubah sampel menjadi bentuk materi yang dapat diukur
sehingga kandungan berupa unsur-unsur di dalamnya dapat dianalisis.
Dasarnya ada dua jenis destruksi yang dikenal yaitu destruksi kering dan
destruksi basah (Rahmelia, D., dkk, 2015).

1. Dekstruksi Kering
5
Penentuan kadar abu secara destruksi kering ditentukan dengan
cara mengabukan atau membakar dalam tanur sejumlah berat sampel
pada suhu 500 – 6000C sampai semua karbon hilang dari bahan makanan
tersebut. Sisanya adalah abu dan dianggap mewakili bagian anorganik
makanan. Waktu lamanya pengabuan tiap bahan berbeda-beda dan
berkisar antara 2-8 jam. Pengabuan dilakukan pada alat pengabuan yaitu
tanur yang dapat diatur suhunya. Pengabuan dianggap selesai apabila
diperoleh sisa pembakaran yang umumnya berwarna putih abu-abu dan
beratnya konstan dengan selang waktu 30 menit. Penimbangan terhadap
bahan dilakukan dalam keadaan dingin, untuk itu cawan berisi abu yang
ada dalam tanur harus lebih dahulu dimasukkan ke dalam oven bersuhu
1050 C agar suhunya turun menyesuaikan dengan suhu di dalam oven,
selanjutnya dimasukkan ke dalam desikator sampai dingin, kemudian
abunya dapat ditimbang hingga hasil timbangannya konstan. Kadar abu
ditentukan berdasarkan kehilangan berat setelah pembakaran dengan
syarat titik akhir pembakaran dihentikan sebelum terjadi dekomposisi dari
abu tersebut. Fungsi dari kadar abu tersebut yaitu mengetahui bahwa
semakin tinggi kadar abu suatu bahan sampel, maka semakin buruk
kualitas dari bahan sampel tersebut (Amelia, M.R., dkk, 2014).
2. Destruksi Basah
Destruksi basah adalah proses perombakan logam organik dengan
menggunakan asam kuat, baik tunggal maupun campuran, kemudian
dioksidasi menggunakan zat oksidator sehingga dihasilkan logam
anorganik bebas. Destruksi basah sangat sesuai untuk penentuan unsur-
unsur logam yang mudah menguap. Metode destruksi basah merupakan
metode yang menggunakan larutan asam kuat berupa HNO3 (Dini, K.,
dkk, 2014).

Penetapan kadar abu total 6


Timbang dengan seksama 2-3 gram contoh ke dalam sebuah cawan
porselin yang telah diketahui bobotnya, untuk contoh cairan, uapkan di atas
penangas air sampai kering. Arangkan di atas nyala pembakar, lalu abukan
dalam tanur listrik. Pada suhu maksimum 550 oC sampai pengabuan
sempurna (sekali-kali pintu tanur di buka sedikit, agar oksigen bisa masuk).
Dinginkan dalam eksikator, lalu timbang dengan bobot tetap (Nasional,
Badan Standar, 1992).
Perhitungan:
W 1−W 2
Kadar Abu = x 100%
W 1−W 0
Keterangan:
W2 = bobot contoh + cawan setelah diabukan, dalam gram
W1 = bobot contoh + cawan sebelum diabukan, dalam gram
W0 = bobot cawan kosong, dalam gram
Penetapan kadar abu yang tidak larut asam
Kadar abu tidak larut asam mencerminkan adanya kontaminasi
mineral atau logam yang tidak larut asam dalam suatu produk.
Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu, dididihkan dengan 25
mL asam klorida (HCl) encer selama 5 menit. Bagian tidak larut asam
dikumpulkan dan disaring dengan kertas saring bebas abu yang
sebelumnya telah ditimbang, kurs dibilas dengan air panas. Abu yang
tersaring, dimasukkan kembali ke dalam kurs yang sama. Lalu,
dimasukkan dalam oven sampai arang hilang, dan ditimbang
hingga memperoleh bobot tetap

BAB III
7
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Abu merupakan zat anorganik yang merupakan hasil dari pembakaran
suatu bahan anorganik dimana kadar abu suatu bahan tergantung pada
bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu ada hubungannya dengan
mineral yang dikandung suatu bahan. Mineral tersebut terdapat dalam bentuk
garam organik, garam anorganik, atau menyerupai bentuk senyawa
kompleks yang bersifat organis.
Dasarnya ada dua jenis destruksi (pengabuan) yaitu destruksi kering
dan destruksi basah. Penentuan kadar abu secara destruksi kering
ditentukan dengan cara mengabukan atau membakar dalam tanur sejumlah
berat sampel pada suhu 500 – 600 0C sampai semua karbon hilang dari
bahan makanan tersebut. Sisanya adalah abu dan dianggap mewakili bagian
anorganik makanan sedangkan destruksi basah adalah proses perombakan
logam organik dengan menggunakan asam kuat, baik tunggal maupun
campuran, kemudian dioksidasi menggunakan zat oksidator sehingga
dihasilkan logam anorganik bebas.
III.2 Saran
Sebagai penulis, kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat
kesalahan dan masih jauh dari kesempurnaan. Tentunya, kami akan terus
memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.

DAFTAR PUSTAKA
Amelia, M.R., dkk. (2014). Penetapan Kadar Abu (AOAC 2005). Fakultas
Ekologi Manusia, 1-3. 8
Azizah, B., dan Nina, S. (2013). Standarisasi Parameter Non Spesifik dan
Perbandingan Kadar Kurkumin Ekstrak Etanol dan Ekstrak
Terpurifikasi Rimpang Kunyit. Jurnal Ilmiah Kefarmasian, 3(11): 22.
Depkes RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.
Dini, K., dkk. (2014). Preparasi Sampel untuk Analisis Mineral. Fakultas
Ekologi Manusia, 1-2.
Febriani, D., dkk. (2015). Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Etanol Daun
Sirsak (Annona muricata Linn.). Prosiding Penelitian SPeSIA Unisba,
475, 477- 478.
Gunawan, D dan Sri, M. (2004). Ilmu Obat Alam. Jakarta: Penebar Swadaya.
Nasional, Badan Standar. (1992). Cara Uji Makanan dan Minuman. SNI 01-
2891-1992. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional.
Rahmelia, D., dkk. (2015). Analisis Kadar Kalium (K) dan kalsium (Ca) dalam
Kulit dan Daging Buah Terung Kopek Ungu (Solanum melongena)
Asal Desa Nupa Bomba Kecamatan Tanantovea Kabupaten
Donggala. Journal akad Kim, 145-147.
Sudarmaji, dkk. (1996). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta:
Liberty.
Winarno, F. (1991). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.

Anda mungkin juga menyukai