Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTIKUM

ANALISIS PANGAN

ACARA VII
KADAR ABU

Kelompok 3

Penanggung Jawab:

Pegi vidya Pitaloka (A1F016016)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2018
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagian besar bahan pangan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik

dan air sedangkan sisanya merupakan unsur- unsur mineral. untuk menentukan

kandungan mineral suatu bahan hasil pertanian perlu dilakukan analisis

kandungan mineral yang ada dalam bahan hasil pertanian yaitu dengan cara

pengabuan.

Pengabuan merupakan suatu proses pemanasan bahan dengan suhu sangat

tinggi selama beberapa waktu sehingga bahan akan habis terbakar dan hanya

tersisa zat anorganik berwarna putih keabu-abuan yang disebut abu. Abu

merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran bahan organik. Kadar abu dari

suatu bahan dapat menunjukkan kandungan mineral yang ada dalam bahan

tersebut. Pengabuan dapat menyebabkan hilangnya bahan-bahan organik dan

anorganik sehingga terjadi perubahan radikal organik dan segera terbentuk elemen

logam dalam bentuk oksida atau bersenyawa dengan ion-ion negatif. Kandungan

abu dan komposisinya bergantung pada macam bahan dan cara pengabuan yang

digunakan. Ada dua macam cara pengabuan, yaitu cara kering (langsung) dan cara

basah (tidak langsung). Kedua cara pengabuan tersebut memiliki keunggulan dan

kekurangan masing-masing. Cara kering dilakukan dengan mengoksidasikan zat-

zat organik pada suhu 500-600oC kemudian melakukan penimbangan zat-zat


tertinggal. Sedangkan cara basah dilakukan dengan menambahkan senyawa

tertentu pada bahan yang diabukan sepeti gliserol, alkohol asam sulfat atau asam

nitrat.

Penentuan kadar abu total yang dilakukan terhadap bahan hasil pertanian

bertujuan untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan, mengetahui

jenis bahan yang digunakan, serta dijadikan parameter nilai gizi bahan makanan.

Oleh karena begitu pentingnya peranan abu untuk menganalisis kandungan

komponen mineral yang terdapat dalam bahan hasil pertanian.

B. Tujuan

Tujuan dari praktikum kali ini yaitu :

1. Mengetahui dan memahami cara analisis kadar air metode oven

2. Mengetahui dan memahami cara analisis kadar abu metode pengabuan kering
II. TINJAUAN PUSTAKA

Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.

Pada umumnya residu anorganik ini terdiri atas oksida dan garam yang

mengandung anion seperti fosfat, klorida, sulfat, dan halida lain dan juga kation

seperti sodium, kalium, kalsium, magnesium, besi, dan mangan. Kadar abu juga

berhubungan dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu

bahan dapat berupa dua jenis garam yaitu garam-garam organik (Rahmawati et al,

2015).

Analisis gravimetrik merupakan bagian analisis kuantitatif untuk

menetukan jumlah zat berdasarkan pada penimbangan dari hasil reaksi setelah

bahan atau analit yang dihasilkan diperlakukan terhadap pereaksi tertentu

(Widodo dan Retno, 2011).

Pada analisa kadar abu umumnya menggunakan 2 metode, yaitu metode

pengabuan kering dan metode pengabuan basah. Prinsip dari pengabuan cara tidak

langsung yaitu memberikan reagen kmia tertentu kedalam bahan sebelum

dilakukan pengabuan. Senyawa yang biasa ditambahkan adalah gliserol alkohol

maupun pasir bebas anorganik selanjutnya dilakukan pemanasan pada suhu tinggi.

Pemanasan mengakibatkan gliserol alkohol membentuka kerak sehingga

menyebabkan terjadinya porositas bahan menjadi besar dan dapat mempercepat

oksidasi. Sedangkan pada pemanasan untuk pasir bebas dapat membuat

permukaan yang bersinggungan dengan oksigen semakin luas dan memperbesar

porositas, sehingga mempercepat proses pengabuan (Sudarmadji, 2012).


Prinsip dari pengabuan cara kering (yang paling sering digunakan) yaitu

dengan mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500–

600°C dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses

pembakaran tersebut (Sudarmadji, 2012). Pemilihan metode pengabuan

bergantung pada tujuan pengabuan, jenis mineral yang akan diukur didalam bahan

pangan adalah menimbang berat sisa mineral hasil pembakaran organik pada suhu

sekitar 550°C. penentuan kadar abu dapat dilakukan secara langung dengan cara

membakar bahan pada suhu tinggi (500-600°C) selama beberapa (2-8) jam dan

kemudian menimbang sisa pembakaran yang tertinggal sebagi abu jumlah sampel

pada analisis kadar abu adalah sekitar 2-5 g untuk bahan yang banyak

mengandung mineral (misalnya: ikan, daging, susu, biji-bijian), atau sekitar 0 g

untuk bahan seperti jelly, selai, sirup, dan buah kerin atau lebih besar lagi (2,5-5

g) untuk bahan yang mengandung sedikit mineral seperti bauh segar, jus dan

anggur (Sudarmadji, 2012).

Pengukuran Kadar Abu (SNI, 1992 yang dimodifikasi) Satu gram tepung

ubi jalar dimasukkan ke dalam cawan porselin yang sudah diketahui massanya,

kemudian diabukan dalam furnace pada suhu 550°C sampai pengabuan sempurna,

kemudian didinginkan dalam desikator setelah itu ditimbang dan dilakukan

perhitungan kadar abu menggunakan rumus:

𝑐𝑎𝑤𝑎𝑛+𝑎𝑏𝑢 (𝑔)− 𝑐𝑎𝑤𝑎𝑛 𝑘𝑜𝑠𝑜𝑛𝑔 (𝑔)


Kadar abu = × 100 % (Susetyo, 2016)
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔)

Kedelai merupakan salah-satu jenis kacang-kacangan yang dapat

digunakan sebagai sumber protein, lemak, vitamin, mineral dan serat. Kacang
kedelai mengandung sumber protein nabati yang kadar proteinnya tinggi yaitu

sebesar 35% bahkan pada varietas unggul dapat mencapai 40-44%. Selain itu juga

mengandung asam lemak essensial, vitamin dan mineral yang cukup. Di samping

protein, kacang kedelai mempunyai nilai hayati yang tinggi setelah diolah, karena

kandungan susunan asam aminonya mendekati susunan asam amino pada protein

hewani (Koswara, 1992 dalam Novianti, 2012).

Selain mengandung protein yang tinggi kedelai mempunyai potensi yang

baik sebagai sumber mineral. Beberapa mineral yang terdapat pada kedelai antara

lain adalah Fe, Na, K, Ca, P, Mg, S, Cu, Zn, Co, Mn dan Cl. Mineral yang

terpenting diantara mineral- mineral tersebut adalah Fe karena selain jumlahnya

cukup tinggi, yaitu sekitar 0.9 - 1.5%. Fe juga terdapat dalam bentuk yang

langsung dapat digunakan untuk pembentukan hemoglobin darah (Suliantari dan

Rahayu, 1990 dalam Novianti 2012). Secara umum kedelai merupakan sumber

vitamin B, karena kandungan vitamin B1, B2, nisin, piridoksin dan golongan

vitamin B lainnya banyak terdapat di dalamnya. Vitamin lain 9 yang terkandung

dalam jumlah yang cukup banyak ialah vitamin E dan K.Vitamin A dan D

terkandung dalam jumlah yang sedikit.Dalam kedelai muda terdapat vitamin

Cdengan kadar yang sangat rendah (Koswara, 1992 dalam Novianti 2012).

Kandungan gizi kacang kedelai Kadar/100 g bahan yaitu Energi 442 kal,

Air 7,5 g, Protein 34,9 g, Lemak 38,1 g, Karbohidrat 34,8 g, Mineral 4,7 g,

Kalsium 227 mg, Fosfor 585 mg, Zat besi 8 mg, Vitamin A 33 mcg, dan Vitamin

B 1,07 mg (Suprapti, 2003 dalam Novianti 2012). Komposisi gizi kedelai

bervariasi tergantung varietas yang dikembangkan dan juga warna kulit maupun
kotiledonnya. Kandungan protein dalam kedelai kuning bervariasi antara 31-48%

sedangkan kandungan lemaknya bervariasi antara 11-21%. Antosianin kulit

kedelai mampu menghambat oksidasi LDL kolesterol yang merupakan awal

terbentuknya plak dalam pembuluh darah yang akan memicu berkembangnya 9

penyakit tekanan darah tinggi dan berkembangnya penyakit jantung koroner

(Astuti, 2000 dalam Novianti 2012).

Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah

atau kacang jogo ini mempunyai nama ilmiah yang sama dengan kacang buncis,

yaitu Phaseolus vulgaris L. Biji kacang merah berbentuk bulat agak panjang,

berwarna merah atau merah berbintik-bintik putih. Kacang merah banyak ditanam

di Indonesia. Varietas kacang merah yang beredar di pasaran jumlahnya sangat

banyak dan beraneka ragam (Ningrum 2012).

Menurut Salunkhe et al (1985) dalam Ningrum, (2012), vitamin B yang

terdapat pada kacang merah terdiri dari thiamin 0,88 mg/100g, riboflavin 0,14

mg/100g dan niasin 2,2 mg/100g. Kacang merah juga mempunyai susunan asam

amino essensial yang lengkap. Asam amino pembatas pada protein kacang merah

adalah metionin dan sistein dengan kandungan relatif rendah yaitu 10,56 dan 8,46

mg/100g, namun protein kacang-kacangan biasanya mengandung lisin yang

banyak. Kacang-kacangan selain sebagai sumber protein juga sebagai sumber

mineral, Komposisi gizi kacang merah kering per 100 g yaitu Energi (kkal) 314,

Protein (g) 22,1 , Lemak (g) 1,1, Karbohidrat (g) 56,2, Kalsium (mg) 502, Fosfor

(mg) 429, Zat Besi (mg) 10,3, Vitamin B1 (mg) 0,4, Serat pangan (g) 4 (Ningrum,

2012).
Ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah salah satu ikan air tawar yang

mudah beradaptasi dengan lingkungan dan mudah dipijahkan sehingga

penyebarannya di alam sangat luas, baik di daerah tropis maupun di daerah

beriklim sedang (Angienda dkk., 2010 dalam Ramlah et al, 2016). Ikan nila

memiliki ciri khusus yaitu ada garis - garis vertikal pada bagian sirip

punggung (dorsal) dan sirip ekor (caudal). Komposisi kimia ikan nila per

100 gram menunjukan bahwa ikan nila memiliki kandungan lemak yang

cukup rendah (2,7%), kandungan protein yang cukup tinggi (17,8%), kadar

air yang cukup tinggi (77,8%), dan kadar abu yang cukup rendah (1,2%) sehingga

cocok sebagai bahan dasar dalam pembuatan tepung ikan untuk pangan (Ramlah

et al, 2016).

Ikan kembung (Rastrelliger kanagurta L.) jantan merupakan ikan air laut

yang banyak pada musim puncak (Maret - Juni). Pemanfaatan ikan kembung

jantan banyak digunakan oleh masyarakat luas karena ikan kembung banyak

mengandung Omega 3 dan Omega 6 yang baik bagi pencegahan penyakit dan

kecerdasan otak. Ikan ini suka hidup secara bergerombol, kebiasaan makanan

adalah memakan plankton besar/kasar, Copepode atau Crustacea (Kriswantoro

dan Sunyoto, 1986 dalam Thariq et al, 2014).

Ikan kembung sebagai salah satu bahan pangan memiliki kandungan gizi

yang memenuhi sejumlah besar unsur kesehatan. Kandungan Zat Gizi ikan

kembung dalam 100 gram yaitu Air (gram) 76,0 g, Protein (gram) 22,0 g, Energi

(K) 103,0 K, Lemak (gram) 1,0 g, Kalsium (mg) 20,0 mg, Besi (mg) 1,5 mg,

Fosfor 200,0 mg, Vitamin A (SI) 30,0 Vitamin B1 0,05 (Thariq et al, 2014).
Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan tanaman yang termasuk ke

dalam jenis tanaman palawija, termasuk tanaman tropis dan dapat tumbuh dengan

baik di daerah sub tropis. Disamping iklim, faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan ubi jalar adalah jarak tanam, varietas dan lokasi tanam. Ubi jalar

dibagi dalam dua golongan, yaitu ubi jalar yang berumbi keras karena banyak

mengandung pati dan ubi jalar yang berumbi lunak karena banyak mengandung

air. Warna daging umbinya, ada yang berwarna putih, merah, kekuningan, kuning,

merah, krem, jingga dan lain-lain. Ubi jalar dapat berfungsi sebagai pengganti

beras karena merupakan sumber karbohidrat (Richana, 2013).

Pantastico (1986) dalam Hernanto (2014) menyatakan, bahwa pada ubi

jalar basah yang berdaging lunak kandungan patinya antara 13-20%, sedangkan

pada jenis yang lebih kering, umbinya lebih kompak mengandung 18-25% zat

pati. Jenis ubi jalar yang berwarna putih mengandung kadar air yang lebih sedikit

daripada yang berwarna merah. Varietas ubi jalar yang berwarna kuning tidak

semanis varietas yang berwarna putih tetapi memiliki bau dan rasa serta sifat-sifat

yang baik untuk dikonsumsi.

Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas var Ayamurasaki) mengandung pigmen

antosianin yang lebih tinggi daripada ubi jalar jenis lain. Pigmennya lebih stabil

bila dibandingkan antosianin dari sumber lain seperti kubis merah, elderberries,

blueberries, dan jagung merah (Larasati, 2016).

Ubi jalar ungu merupakan sumber karbohidrat dan sumber kalori yang

cukup tinggi. Ubi jalar ungu juga merupakan sumber vitamin dan mineral.

Kandungan lainnya adalah protein, lemak, serat kasar dan abu. Total kandungan
antosianin bervariasi pada setiap tanaman dan berkisar antara 20 mg/100 g sampai

600 mg/100 g berat basah. Total kandungan antosianin ubi jalar ungu adalah 519

mg/100 g berat basah. Komposisi Zat Gizi Ubi Jalar ungu Per 100 gram/g adalah

Kalori (123 kal), Protein (1,8 g), Lemak (0,7 g), Kabohidrat (27,9 g), Kalsium (30

mg), Fosfor (49 Mg), Zat besi (0,7 mg) , Natrium (77 mg), Kalium (0,9 mg),

Niacin (22 mg), Vitamin A (62 S1), Vitamin B (0,7 mg) , Vitamin C (22 mg), Air

(62,5 g), dan BBD (75%) (Larasati, 2016).

Ubi jalar putih (Ipomea batatas Linneaus) yang juga dikenal sebagai

ketela rambut, adalah pohon tahunan tropikan dan subtropika. Umbinya dikenal

luas sebagai makanan pokok penghasil karbohidrat dan daunnya sebagai sayuran.

Komposisi dari Jenis Ubi jalar putih yaitu Kalori 123 kkal, Karbohidrat 28,79 % ,

Gas reduksi 0,32 %, Lemak 0,95 %, Protein 0,87 %, Air 65,24 %, Abu 0,93 %,

Serat 65,24 % (Kurniawati, 2013).

Selain mengandung zat gizi yang sangat diperlukan oleh tubuh, ubi jalar

juga mengandung zat anti gizi tripsin inhibitor dengan jumlah 0,26 %, 43,6 IU per

100 g ubi jalar segar (Hernanto, 2014). Tripsin inhibitor tersebut akan menutup

gugus aktif enzim tripsin sehingga aktivitas enzim tersebut terhambat dan tidak

dapat melakukan fungsinya sebagai pemecah protein. Namun demikian, aktivitas

tripsin inhibitor tersebut dapat dihilangkan dengan pengolahan sederhana yakni

dengan cara pengukusan, perebusan dan pemasakan. Senyawa lain yang tidak

menguntungkan pada ubi jalar adalah senyawa-senyawa penyebab flatulensi.

Flatulensi dapat disebabkan oleh senyawa karbohidrat yang tidak tercerna yang

difermentasi oleh bakteri tertentu dalam usus sehingga menghasilkan gas H2 dan
CO2. Flatulensi disebabkan oleh karbohidrat jenis rafinosa, stakiosa dan

verbaskosa (Hernanto, 2014).

Ubi jalar yang berwarna putih umumnya bervarietas sukuh lebih diarahkan

untuk pengembangan tepung dan pati karena umbi yang berwarna cerah

cenderung lebih baik kadar patinya dan warnatepung lebih menyerupai terigu

(Hernanto, 2014). Komposisi kimia yang berbeda dari beberapa varietas/klon ubi

jalar akan menghasilkan mutu tepung yang bervariasi pula. Menurut Suarni

(2005) dalam Hernanto (2014), tingginya kadar abu pada bahan menunjukkan

tingginya kandungan mineral namun dapat juga disebabkan oleh adanya reaksi

enzimatis (browning enzymatic) yang menyebabkan turunnya derajat putih

tepung. kadar abu yang tinggi pada bahan tepung kurang disukai karena

cenderung memberi warna gelap pada produknya. Semakin rendah kadar abu pada

produk tepung akan semakin baik, karena kadar abu selain mempengaruhi warna

akhir produk juga akan mempengaruhi tingkat kestabilan tepung akan semakin

baik, karena kadar abu selain mempengaruhi warna akhir produk juga akan

mempengaruhi tingkat kestabilan adonan (Hernanto, 2014).


III. METODE PENELITIAN

A. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu :

1. Cawan porselen 5. Timbangan

2. Oven 6. Tanur

3. Desikator 7. Penjepit

4. Hotplate

Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu :

1. Kacang kedelai 4. Ikan Kembung

2. Kacang Merah 5. Ketela Ungu

3. Ikan Nila 6. Ketela Putih

B. Prosedur Kerja

A. Penentuan Kadar Abu

Disiapkan alat dan bahan

Bahan dihaluskan menggunakan mortal atau blender


Cawan porselein kosong dikeringkan di dalam oven sampai kering,
kemudian didinginkan dalam desikator

Sebanyak 2 g sampel ditimbang dan dimasukkan kedalam cawan,


kemudian di bakar di atas Hotplate sampai tidak berasap

Sampel yang berada di dalam cawan porselein kemudian di abukan di


dalam tanur bersuhu 400-600°C selama 4-6 jam sampai abu berwarna
putih dan beratnya konstan

Setelah mencapai berat konstan, cawan yang berisi sampel dimasukkan


ke dalam desikator dan ditimbang
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

No Bahan Berat Berat Berat Akhir % kadar


Awal(g) Cawan (g) (g) Abu
1. Kacang Kedelai 2,0788 39,7506 39,8339 4%
2. Kacang Merah 2,0 42,5 42,5944 0,047%
3. Ikan Nila 2,2685 57,85 57,825 -1,32%
4. Ikan Kembung 2,0544 49,6100 49,6361 1,27%
5. Ketela Ungu 2,0301 42,0411 42,0048 -1,788%
6. Ketela putih 2,1103 39,9322 39,925 -0,003%

Perhitungan :

1. Kacang Kedelai

Berat abu = Berat akhir – berat cawan


= 39,8339 − 39,7506
= 0,0833

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢
Kadar abu = × 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

0,0833
= × 100%
2,0788

=4%

2. Kacang Merah

Berat abu = Berat akhir – berat cawan


= 42,5944− 39,7506
= 0,0944
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢
Kadar abu = × 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

0,0944
= × 100%
2

= 0,047 %

3. Ikan Nila

Berat abu = Berat akhir – berat cawan


= 57,825 − 57,85
= -0,03 %

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢
Kadar abu = × 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

−0,03
= × 100%
2,2685

= -1,32 %

4. Ikan Kembung

Berat abu = Berat akhir – berat cawan


= 49,6361 − 49,6100
= 0,0261

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢
Kadar abu = × 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

0,0261
= × 100%
2,0544

= 1,27 %

5. Ketela Ungu

Berat abu = Berat akhir – berat cawan


= 42,0048 − 42,0411
= -0,0363
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢
Kadar abu = × 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

−0,0363
= × 100%
2,0301

= -1,788 %

6. Ketela Putih

Berat abu = Berat akhir – berat cawan


= 39,925 − 39,9322
= -0,0072

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢
Kadar abu = × 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

−0,0072
= × 100%
2,1103

= -0,003 %

B. Pembahasan

Abu merupakan residu organik dari proses pembakaran atau oksidasi

komponen organik bahan pangan. Kadar abu dari suatu bahan menunjukkan

kandungan mineral yang terdapat dalam bahan tersebut, kemurnian, serta

kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Abu dalam bahan dibedakan menjadi abu

total, abu terlarut, dan abu tidak terlarut. Bentuk mineral dalam abu sangat

berbeda dari bentuk asalnya dalam bahan pangan (Andarwulan dkk, 2011).

Analisa kadar abu dengan metode pengabuan kering dilakukan dengan

mendestruksi komponen organik sampel dengan suhu tinggi dalam tanur

pengabuan, tanpa adanya nyala api sampai terbentuk abu berwarna putih keabuan

dan berat konstan tercapai. Dalam praktikum ini yang digunakan untuk sampel
adalah cawan porselen. Sampel yang digunakan pada pengabuan kering adalah

kacang kedelai, kacang merah, ikan kembung, ikan nila, ketela ungu, dan ketela

putih. Kemudian Sebanyak 2 g sampel ditimbang dan dimasukkan kedalam

cawan, kemudian di bakar di atas Hotplate sampai tidak berasap selanjutnya

cawan dan sampel tersebut dimasukkan kedalam tanur selama 6 jam sehingga

diperoleh berat konstan. Besarnya berat abu dihitung dengan mengurangi selisih

berat akhir dikurang berat awal cawan. Kemudian dibagi dengan berat awal bahan

kemudian dikali seratus persen.

Setelah 6 jam proses tanur, kemudian menunggu suhu tanur sampai 100°C

karena suhu sebelumnya sangat panas yaitu sekitar 800°C agar sampel bisa

diambil untuk dimasukkan ke desikator. Tujuan dimasukkan desikator adalah

untuk menjaga berat konstan karena desikator akan menyerap air sehingga berat

sampel tetap stabil, Kemudian dilakukan penimbangan.

Dari literatur diketahui bahwa saat pengaban ada komponen volatil yang

hilang yaitu unsur-unsur Na, S, Cl, dan P. Kadar abu yang didapatkan adalah

kadar abu atau mineral total yang terdapat dalam suatu bahan dan tidak

mengetahui zat atau senyawa apa yang saja yang terkandung dalam bahan

tersebut.

Berdasarkan tabel hasil diatas diketahui kadar abu total tiap bahan yaitu

Kacang kedelai 4 %, kacang merah 0,047%, ikan nila -1,32%, ikan kembung

1,27%, ketela ungu -1,788%, dan ketela putih -0,003%. Hal ini tidak sesuai

dengan Sudarmadji (2012) yang menyatakan bahwa kandungan kadar abu pada

kacang-kacangan sekitar 1,5-2,5%, begitu juga dengan daging ikan segar


kandungan kadar abu sekitar 1-2%, pada sampel bahan ikan kembung dan ikan

nila sudah sesuai literatur hanya saja pada ikan nila angka yang didapat minus (-),

sedangkan menurut Kurniawati (2013) rata-rata kadar abu yang dimiliki ketela

ungu dan ketela putih yaitu sebesar 0,74%.

Dalam hal ini berarti ada kemungkinan kesalahan dalam praktikum ini,

kemungkinan besar karena suhu dalam tanur terlalu tinggi yaitu 800°C yang

seharusnya suhu sekitar 400-600°C sehingga menyebabkan abu berkurang, juga

ketidaktelitian dalam penimbangan maupun saat penumbukan yang kurang baik

(bahan belum halus atau homogen secara sempurna) sehingga diperoleh beberapa

data yang minus (-) atau tidak sesuai standar dan juga bisa jadi karena kurang

berfungsinya desikator, desikator kurang menyerap uap air yang kembali masuk

ke bahan, karena saat pendinginan tanur dibuka sedikit dan uap air kembali ke

bahan.
V. PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pada praktikum analisis kadar air penentuan kadar air dengan metode oven

dilakukan dengancara mengeluarkan air dari bahan dengan bantuan panas

yang disebut dengan proses pengeringan. Pengeringan dilakukan minimal 4 jam

atau sesuai jenis bahan. Namun pada praktikum kadar air ini pengeringan

dilakukan total 8 jam, untuk mendapatkan berat konstan. Pada praktikum ini kadar

air yang terbesar adalah kadar air dari labu siam dengan nilai kadar air 94,89%,

kemudian disusul oleh pepaya dengan 90,79%, wortel 89,74%, jambu biji 88,12

%, nanas 85,62% dan yangterakhir kentang 84,04 %.

2. Analisa kadar abu dengan metode pengabuan kering dilakukan dengan

mendestruksi komponen organik sampel dengan suhu tinggi dalam

tanur pengabuan, tanpa terjadi nyala api, sampai terbentuk abu berwarna putih

keabuan dan berat konstan tercapai. Setelah 6 jam proses tanur, kemudian

menunggu suhu tanur sampai 100ºC karena suhu sebelumnya sangat panas

yaitu sekitar 800ºC agar sampel bisa diambil untuk kemudian dimasukkan ke

desikator. Dari keenam bahan yang digunakan, diketahui bahwa kacang kedelai

memiliki kadar abu tertinggi yaitu sekitar 4 %, kemudian ikan kembung dengan

1,27%, kacang merah 0,047%, ketela putih -0,003%, ikan nila dengan kadar abu

-1,32 %, dan ketela ungu dengan kadar abu -1,788%.


B. Saran

Sebaiknya untuk kedepannya praktikan lebih teliti dan memahami

prosedur kerja dalam melakukan praktikum, baik dalam penimbangan sebelum

perlakuan, penghalusan bahan, dan penimbangan setelah perlakuan agar hasil

yang diperoleh bisa lebih valid.


DAFTAR PUSTAKA

Andarwulan, Nuri dkk, 2011. Analisis Pangan. Bogor : Dian Rakyat.

Hernanto, J. 2014. Sifat Fisikokimia Tepung Ubi Jalar Ungu Termodifikasi Secara
Fisik pada Berbagai Lama Pemanasan. Skripsi. Fakultas Pertanian,
Universitas Lampung.

Kurniawati,Christina Puput. 2013. Kualitas Kerupuk Kombinasi Ikan Gabus


(Channa striata Bloch), Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatasl.) Putih, dan
Tepung Tapioka. Skripsi. Fakultas Teknobiologi. Universitas Atma Jaya
Yogyakarta.

Larasati, Anggi. 2016. Pengaruh Proporsi Pasta Ubi Jalar Ungu (Ipomoeabatatas.
L) dan Tepung Terigu Terhadap Kualitas Fisik, Kimia dan Organoleptik
Kue Pukis. Tesis, Universitas Muhammadiyah Malang.

Ningrum, Marlinda Retno Budya. 2012. Pengembangan Produk Cake dengan


Substitusi Tepung Kacang Merah. Skripsi. Fakultas Teknik UNY
Yogyakarta.

Novianti, Y. 2012. Pengaruh Waktu Pemasakan dan Jenis Susu terhadap Sifat
Organoleptik Permen Karamel Susu. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian, Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Rahmawati, Arisna et al. 2015. Kandungan Kimia dan Potensi Beberapa Jenis
Tepung Ubi Jalar pada Pembuatan Roti. Jurusan Kimia FMIPA UNS.
Indonesian Journal of Chemical Science 4 (1).

Ramlah et al, 2016. Perbandingan Kandungan Gizi Ikan Nila (Oreochromis


niloticus) Asal Danau Mawang Kabupaten Gowa dan Danau Universitas
Hasanuddin Kota Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Hasanuddin, Makassar
Jurnal Biologi Makassar (Bioma), Vol 1, No 1.

Richana, Nur. 2013. Mengenai Potensi Ubi Kayu & Ubi Jalar. Nuansa Cendikia :
Bandung.

Susetyo, Yosia Adi et al. 2016. Optimasi Kandungan Gizi Tepung Ubi jalar
(Ipomoea batatas L.) Terfermentasi Ditinjau dari Dosis Penambahan
Inokulum Angkak. Skripsi.Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Sudarmadji,Slamet dkk. 2012. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty
Yogyakarta. Yogyakarta.

Thariq, Ahmad Sofie et al, 2014. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Garam Pada
Peda Ikan Kembung (Rastrelliger neglectus) Terhadap Kandungan Asam
Glutamat Pemberi Rasa Gurih (Umami). Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Diponegoro. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi
Hasil Perikanan Vol 3, No 3, Hal 104-111.

Widodo, didik dan Retno A.L. 2011. Kimia analisis Kuantitatif Dasar
Penguasaan Aspek Eksperimental. Yogyakarta: Graha Ilmu.
LAMPIRAN

No Gambar Keterangan

Disiapkan alat dan bahan

Bahan dihaluskan menggunakan


mortal atau blender

3
Sebanyak 2 g sampel ditimbang
dan dimasukkan kedalam
cawan.
4

Ditimbang berat awal bahan dan


cawan

kemudian di bakar di atas


pembakar (Hotpalte) sampai
tidak berasap

Setelah bahan sudah berwarna


hitam keabu-abuan maka
diangkat dari hotplate

7 Sampel yang berada di dalam


cawan porselein kemudian di
abukan di dalam tanur bersuhu
400-600°C 6 jam sampai abu
berwarna putih dan beratnya
konstan
8

Cawan yang berisi sampel


kemudian dimasukkan ke dalam
desikator

10

Setelah mencapai berat konstan,


lalu sampel ditimbang

Anda mungkin juga menyukai