Tinjauan Pustaka
1.5.1 Nikel Laterit
Istilah “laterite” berasal dari bahasa Latin “later” yang berarti bata. Istilah ini pertama
kali diperkenalkan oleh Buchanan Hamilton pada tahun 1807 untuk bongkahan-
bongkahan tanah yang telah dipotong menjadi bata (bricks) untuk tujuan pembangunan
oleh orang Malabar – South Central India (Ahmad, 2006). Sekarang ini, istilah “laterite”
diartikan sebagai residu tanah yang kaya akan senyawa oksida besi yang terbentuk
akibat pelapukan kimia dengan kondisi air tanah tertentu.
Laterit merupakan salah satu produk yang dihasilkan dari proses pelapukan secara
kimiawi dan berlangsung dalam waktu yang lama. Laterit terbentuk melalui proses
pemecahan mineral induk yang tidak stabil pada kondisi lingkungan yang basah/lembab
sehingga terjadi pelepasan unsur-unsur kimia ke dalam air tanah. Unsur-unsur kimia yang
mudah larut dalam air tanah bersifat asam, hangat, dan lembab akan melarut. Hal ini
menyebabkan unsur-unsur yang tidak mudah larut tersisa dan membentuk mineral baru
yang stabil pada kondisi lingkungan tersebut. Proses ini disebut dengan proses laterit
(Shofi, 2013)(Asy’ari, 2013).
1.5.2. X-Ray Fluorosence Spectrophotometer
X-ray fluorescence (XRF) spektrometer merupakan alat yang digunakan untuk
menganalisis komposisi kimia beserta konsentrasi unsur-unsur yang terkandung dalam
suatu sampel dengan menggunakan metode spektrometri. XRF umumnya digunakan
untuk menganalisa unsur dalam mineral atau batuan. Analisis unsur di lakukan secara
kualitatif maupun kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk menganalisis jenis unsur
yang terkandung dalam bahan sedangkan analisis kuantitatif dilakukan untuk menentukan
konsentrasi unsur dalam bahan.
Persiapan sampel yang relatif mudah dan murah, stabilitas, serta kemudahan dalam
penggunaan alatnya sehingga menjadikan salah satu metode yang paling banyak
digunakan untuk analisis unsur utama dan jejak di batuan, mineral, dan sedimen.
Dasar analisis alat X-Ray Fluorescence ini adalah pencacahan sinar x yang
dipancarkan oleh suatu unsur akibat pengisian kembali kekosongan elektron pada orbital
yang lebih dekat dengan inti (karena terjadinya eksitasi elektron) oleh elektron yang
terletak pada orbital yang lebih luar. Ketika sinar x yang berasal dari radio isotop sumber
eksitasi menabrak elektron dan akan mengeluarkan elektron kulit dalam, maka akan
terjadi kekosongan pada kulit itu. Elektron dari kulit yang lebih tinggi akan mengisi
kekosongan itu. Perbedaan energi dari dua kulit itu akan tampil sebagai sinar x yang
dipancarkan oleh atom. Spektrum sinar x selama proses tersebut menunjukan
peak/puncak yang karakteristik, dimana setiap unsur akan menunjukkan peak
karakteristik yang merupakan landasan dari uji kualitatif untuk unsur-unsur yang ada
dalam sampel.
1.5.2.1 Prinsip Kerja XRF Berdasarkan Efek Fotolistrik :
b. Non-wetting agent
c. Mold effect
a. Flux
Komposisi flux sangat berpengaruh terhadap kelarutan sampel. Fluks yang lebih umum
digunakan adalah lithium tetraborate, lithium metaborate dan sodium tetraborate. Borat
digunakan karena merupakan pelarut yang baik untuk oksida. Termasuk pula hidrat,
karbonat, sulfat dan nitrat, yang juga dapat larut karena merupakan kombinasi dari dua
oksida yang salah satunya mudah menguap (H, O, CO, NO) atau sebagian mudah
menguap. kelembaban juga harus diperhatikan. Saat kelembaban rendah glass beads
akan kering, dan menjadi lengket apabila kelembaban tinggi (James, 2010).
b. Non-wetting agent (NWA)
Bergantung pada komposisinya, borate glass liquid atau padat memiliki
kecenderungan untuk menempel pada cawan peleburan. Pada beberapa kasus,
penggunaan non-wetting agent (NWA) sangat penting. Halogen adalah satu-satunya
unsur yang diketahui efektif sebagai NWA, tetapi hanya Iodine dan Bromide yang
mungkin digunakan. NWA dapat ditambahkan sebagai garam alkali atau dalam bentuk
larutan. Non-wetting agent yang paling umum digunakan antara lain: LiI, KI, NaI, NH4I,
NaBr, KBr, LiBr, dan NH4Br. Volatilitas senyawa halogen sangat tinggi dan makin naik
seiring kenaikan nomor atom. Volatilitas zat pelepas belum dijelaskan sepenuhnya tetapi
beberapa pengamatan menunjukkan bahwa laju penguapan zat pelepas bergantung pada
bilangan oksidasinya. Iodine adalah yang paling volatil sedangkan Bromide adalah yang
paling stabil. Non- wetting agent merupakan reduktor yang baik, oleh sebab itu dapat
dioksidasi dan terpecah dengan mudah. Reaksi oksidasi yang umum terjadi adalah:
1
2NH4Br+ O2(gas) → 2NH2O+ Br2(gas)
2
Oksigen yang terkandung pada atmosfir cukup untuk menghasilkan reaksi tersebut. Pada
kenyataannya, semua oksidator yang digunakan ketika fusion akan menyebabkan
dekomposisi non-wetting agent. Penambahan non-wetting agent yang optimal bergantung
pada sampel, flux, dan rasio flux sampel. Cara mudah untuk menentukan jumlah yang
tepat adalah dengan melihat bentuk glass beads dalam cetakan setelah pendinginan. Jika
permukaan atasnya rata atau agak cembung, kuantitas tepat. jika cekung di tepi kuantitas
terlalu kecil, jika cembung, kuantitas mungkin terlalu besar.
Keterangan:
Cs = Konsentrasi sertifikat
Cu = Konsentrasi rata-rata pengukuran
Rentang kesalahan yang diperbolehkan pada setiap konsentrasi analit pada matriks
dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Nilai % recovery berdasarkan nilai konsentrasi sampel (Harmita 2004).
Metode analisis yang mungkin digunakan untuk menetapkan akurasi yaitu metode
menggunakan CRM (Certified Refference Material) dan adisi standar. CRM mempunyai
nilai tertelusur ke SI dan dapat dijadikan sebagai nilai acuan (refference value) untuk nilai
yang sebenarnya. Syarat CRM yang digunakan matriksnya cocok dengan contoh uji
(mempunyai komposisi matriks yang mirip matriks contoh uji). Apabila CRM tidak tersedia
maka dapat menggunakan bahan yang mirip contoh uji yang diperkaya dengan analit
yang kemurniannya tinggi atau disebut metode adisi standar, lalu diuji persen recovery-
nya. Analit yang terkait dalam matriks contoh harus dilarutkan atau dibebaskan sebelum
dapat diukur karena analit tidak boleh hilang selama proses agar hasil pengujian akurat
maka efisiensi pelarutan harus 100%.
1.5.7 Presisi
Presisi atau precision adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara
hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata. Jika prosedur
diterapkan secara berulang pada sampel maka sampel yang diambil dari campuran yang
homogen. Presisi diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien
variasi). Precision dapat dinyatakan sebagai repeatability (keterulangan) atau
reproducibility (ketertiruan). Metode ini dilakukan terhadap paling sedikit 6 (enam) replika
sampel yang diambil dari campuran sampel dengan matriks yang homogen (Rohman,
2018). Tujuan parameter ini adalah melihat konsistensi analis, kesulitan metode,
kesesuaian metode, dan contoh uji.