Anda di halaman 1dari 42

14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pembelajaran Inkuiri

1. Pengertian Pembelajaran Inkuiri

Istilah inkuiri berasal dari kata inquiry dalam bahasa inggris yang diartikan

sebagai suatu penyelidikan, atau proses bertanya dan mencari tahu jawaban

terhadap pertanyaan ilmiah yang diajukan (Eggen & Kauchach, 1996).

Pembelajaran dengan menggunakan metode inkuiri pertama kali dikembangkan

oleh Richard Suchman (Joyce, 1992), Ia menginginkan agar siswa bertanya

mengapa suatu peristiwa terjadi, kemudian siswa melakukan kegiatan,

menggumpulkan dan menganalisis data, sampai akhirnya siswa menentukan

jawaban dari pertanyaan itu. Berikut merupakan beberapa definisi inkuiri yang

dikemukakan oleh para ahli:

a. Eggen & Kauchack (1996) mengemukakan bahwa inkuiri dapat dipandang

sebagai suatu proses untuk menjawab pertanyaan dan memecahkan masalah

berdasarkan fakta dan observasi.

b. Schmith mengemukakan inkuiri adalah suatu proses untuk memperoleh dan

mendapatkan informasi dengan melakukan observasi dan atau eksperimen

untuk mencari jawaban atau memecahkan masalah terhadap pertanyaan atau

rumusan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir kritis dan logis

(Ibrahim, 2007).

c. Piaget menyatakan bahwa inkuiri merupakan pembelajaran yang

mempersiapkan situasi bagi siswa untuk melakukan ekperimen: dalam artian


15

ingin melihat, ingin melakukan sesuatu, ingin menggunakan simbol-simbol

dan ingin mencari jawaban atas pertanyaan sendiri, menghubungkan

penemuan yang satu dengan yang lain, membandingkan apa yang ditemukan

sendiri (Siswanto, 2001).

d. Inkuiri merupakan proses yang bervariasi dan meliputi kegiatan-kegiatan

observasi, merumuskan masalah yang relevan, mengevaluasi buku dan

sumber informasi lain yang kritis, merencakan penyelidikan atau eksperimen

dengan menggunakan alat untuk memperoleh data, menganalisis dan

menginterpretasikan data serta membuat prediksi dan mengkomunikasikan

hasilnya (NRC, 2000).

Dari keempat kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa inkuiri adalah

rangkaian kegiatan pembelajaran dalam rangka mempelajari peristiwa ilmiah,

memahami fenomena alam, memperjelas pemahaman, yang menggunakan

kemampuan berpikir kritis dan logis dengan pendekatan dan jiwa ilmuwan yang

bertumpu pada penyelidikan atau eksperimen sehingga dapat menarik kesimpulan

dan mengkomunikasikan hasilnya.

2. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Inkuiri

Setiap model pembelajaran pasti memiliki kelebihan dan kelemahan.

Menurut Amin (1987), model pembelajaran inkuiri memiliki kelebihan dan

kekurangan. Kelebihan model inkuiri adalah sebagai berikut:

a. Pengembangan kemandirian dan kegiatan mandiri siswa belajar memecahkan


masalah (problem solving).
b. Stimulasi kemampuan merencanakan, mengorganisasi dan melaksanakan
kegiatan.
16

c. Pengembangan tanggungjawab terhadap suatu kegiatan.


d. Pengenalan metode-metode kerja dan berpikir dalam bidang penelitian
termaksud.
e. Meraih pemahaman yang individual mengenai dunia.
f. Memacu keingintahuan siswa, memotivasi mereka untuk melanjutkan
pekerjaannya hingga menemukan jawabannya.
g. Ketrampilan berpikir kritis karena mereka harus selalu menganalisis dan
menangani informasi.
h. Siswa dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran.
i. Terjadinya interaksi antar siswa maupun siswa dengan guru.
j. Materi yang dipelajari dapat mencapai tingkat kemampuan yang tinggi dan
lebih lama membekas karena siswa dilibatkan dalam proses menemukannya.
Selain mempunyai kelebihan, pembelajaran inkuiri juga memiliki

beberapa kekurangan. Kekurangannya adalah sebagai berikut:

a. Untuk materi tertentu, cukup banyak menyita waktu.


b. Siswa yang kurang berbakat, kurang mampu menonjolkan diri (terutama
dalam kelompok-kelompok kecil) kadang-kadang menunjukkan hasil belajar
yang lebih rendah dibandingkan siswa berbakat yang mampu menonjolkan
diri.
c. Siswa yang kurang mampu itu mungkin akan menunjukkan hasil lebih baik
kalau materi yang diajarkan dipresentasikan dan diterangkan didalam
konteksnya.
d. Sangat sulit diterapkan jika pengetahuan siswa tentang materi prasyarat
kurang.
e. Tidak semua siswa dapat mengikuti kegiatan pembelajaran inkuiri ini,
kadangkala siswa masih terbiasa dan mudah mengerti dengan model-model
pembelajaran lainnya.
f. Tidak semua topik cocok disampaikan dengan model inkuiri.
17

3. Jenis Pembelajaran Inkuiri

Pembelajaran inkuiri terbagi menjadi 4 level (Bell dan Banchi, 2008;

Meador, 2010; Rezba dan Rhea dalam Bell, 2005) yaitu inkuiri konfirmasi

(confirmation inquiry), inkuiri terstruktur (structured inquiry), inkuiri terbimbing

(guded inquiry) dan inkuiri terbuka (open inquiry). Keempat level pembelajaran

inkuiri tersebut didasarkan pada pemberian pertanyaan/permasalahan, prosedur

dan penyelesaian. Berikut merupakan penjelasan singkat tentang keempat level

inkuiri tersebut.

a. Inkuiri Konfirmasi (Confirmation inquiry)

Pada level inkuiri konfirmasi, siswa diberikan pertanyaan atau permasalahan,

prosedur/metode untuk memecahkan masalah dan hasil atau solusi. Inkuiri

konfirmasi berguna ketika guru ingin menguatkan pendahuluan ide/konsep yang

terdahulu, mengenalkan siswa untuk melakukan percobaaan investigasi atau untuk

melatih kemampuan inkuiri siswa misalnya mengumpulkan dan mencatat data.

Level inkuiri ini biasanya diimplementasikan pada anak sekolah dasar yang baru

belajar melakukan percobaan dan melatih ketrampilan inkuiri. Siswa diminta

untuk membuktikan sebuah ide/konsep tertentu dengan meminta siswa untuk

mengikuti langkah-langkah percobaan, mencatat data dan menganalisis hasil yang

mereka peroleh.

b. Inkuiri Terstruktur (Structured Inquiry)

Pada level inkuiri terstruktur, pertanyaan/permasalahan dan

langkah/prosedur percobaan masih diberikan oleh guru namun siswa harus


18

merumuskan sebuah kesimpulan yang diperkuat dengan bukti-bukti yang mereka

kumpulkan. Pada tahap inkuri terstruktur siswa diharapkan dpat mengembangkan

kemampuan penalaran dan tidak hanya sekedar membuktikan sebuah ide. Level

inkuiri ini juga biasa ditetapkan pada kurikulum sekolah dasar. Inkuiri level

konfirmasi dan terstruktur sangat penting karena kedua level ini mampu

mengembangkan kemampuan siswa untuk mengarah kepada inkuiri terbuka.

c. Inkuiri Terbimbing (Guided Inkuiry)

Pada level inkuiri terbimbing, guru hanya menyediakan rumusan masalah

saja dan siswa merancang langkah-langkah percobaan (metode) untuk menjawab

permasalahan yang diajukan dan menghasilkan sebuah penjelasan dan simpulan.

Pada tahap ini siswa diberi kebebasan untuk merancang langkah-langkah

percobaan dan guru membimbing siswa untuk menentukan benar tidaknya

langkah yang mereka buat. Karena inkuiri level ini lebih komplek daripada inkuiri

terstruktur maka akan sukses jika siswa diberi kesempatan untuk belajar dan

mempraktikkan cara berbeda untuk merancang percobaan dan memperoleh data.

d. Inkuiri Terbuka (Open Inquiry)

Inkuiri terbuka adalah level inkuri yang paling tinggi. Pada inkuiri terbuka

siswa mempunyai kesempatan untuk bertindak sebagai sebagai ilmuan,

merumuskan masalah, membuat hipotesis, mendesain dan melakukan

investigasi/percobaan dan mengkomunikasikan hasil yang mereka peroleh. Pada

level ini guru hanya menyediakan topik yang harus dipelajari dan diinvestigasi

sehingga membutuhkan penalaran yang tinggi dan kemampuan kognitif yang


19

paling tinggi dari siswa. Inkuri jenis ini hanya cocok pada siswa yang telah

mampu merancang dan melakukan investigasi permasalahan yang mereka buat.

Perbedaan antara keempat level inkuiri tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1

berikut.

Tabel 2.1. Empat Level Inkuiri dan Informasi yang Diberikan pada Siswa

Level Inkuiri Permasalahan presedur Solusi

1. Inkuri konfirmasi
Siswa mengkorfirmasi sebuah prinsip   
melalui kegaiatan percobaan yang
telah diketahui hasilnya
2. Inkuiri terstruktur
Siswa menginvestigasi permasalahan  
yang diajukan guru melalui prosedur
yang ditetapkan
3. Inkuiri terbimbing
Siswa menginvestigasi permasalahan 
yang diajukan guru menggunakan
metode yang dirancang oleh siswa
4. Inkuiri terbuka
Siswa menginvestigasi permasalahan
yang ditetapkan oleh siswa melalui
prosedur yang mereka rancang
sendiri
(Meador,2010)

Berdasarkan pengertian dan uraian dari keempat level pembelajaran inkuiri,

penulis memilih Pendekatan Inkuiri Terbimbing yang akan digunakan dalam

penelitian ini. Pemilihan ini penulis lakukan dengan pertimbangan bahwa

penelitian yang akan dilakukan terhadap siswa kelas VIII Sekolah Menengah

Pertama (SMP), dimana tingkat perkembangan kognitif siswa masih pada tahap

peralihan dari operasi konkrit ke operasi formal, dan siswa masih belum

berpengalaman belajar dengan pendekatan inkuiri serta karena siswa masih dalam
20

taraf belajar proses ilmiah, sehingga penulis beranggapan pendekatan inkuiri

terbimbing lebih cocok untuk diterapkan.

Selain itu, penulis berpendapat bahwa pendekatan inkuiri terbuka kurang

sesuai diterapkan dalam pembelajaran Sains, karena dalam proses pembelajaran

Sains kompetensi yang diajarkan sudah ditetapkan dalam silabus kurikulum Sains.

Siswa tidak perlu mencari atau menetapkan sendiri permasalahan yang akan

dipelajari namun sesuai yang ditetapkan oleh guru mereka.

B. Pembelajaran Inkuiri Terbimbing (Guided Inquiry)

1. Pengertian Pembelajaran Inkuiri Terbimbing

Menurut Schwarz & Gwekwerere (2002), inkuiri terbimbing adalah model

pembelajaran yang di dalamnya terdapat beberapa kegiatan yang bersifat ilmiah,

dimana siswa disuruh menyampaikan ide-ide mereka sebelum topik tersebut

mereka pelajarai, siswa menyelidiki sebuah gejala atau fenomena yang mereka

anggap ganjil, siswa menjelaskan fakta-fakta dan membandingkannya secara

saintifik, selain itu siswa menanyakan mengenai sebuah situasi yang mendukung

pembelajaran tersebaut seperti perlengkapan sains dan teknologi.

Inkuiri terbimbing merupakan salah satu metode inkuiri dimana guru

menyediakan materi atau bahan dan permasalahan untuk penyelidikan. Siswa

merencanakan prosedurnya sendiri untuk memecahkan masalah. Guru

memfasilitasi penyelidikan dan mendorong siswa mengungkapkan atau membuat

pertanyaan-pertanyaan yang membimbing mereka untuk penyelidikan lebih lanjut.

Pembelajaran inkuiri terbimbing diterapkan agar para siswa bebas

mengembangkan konsep yang mereka pelajari. Mereka diberi kesempatan untuk

memecahkan masalah yang mereka hadapi secara berkelompok, di dalam kelas


21

mereka diajarkan berinteraksi sosial dengan kawan sebayanya untuk saling

bertukar informasi antar kelompok.

2. Karakteristik Inkuiri Terbimbing

Menurut Kuhlthau dan Ross (2008) ada enam karakteristik inkuiri

terbimbing (guided inquiry) yaitu:

a. Siswa belajar aktif dan terefleksikan pada pengalaman

Jhon Dewey menggambarkan pembelajaran sebagai proses aktif individu,

bukan sesuatu dilakukan untuk seseorang tetapi lebih kepada sesuatu itu dilakukan

oleh seseorang. Pembelajaran merupakan sebuah kombinasi dari tindakan refleksi

pada pengalaman. Dewey sangat menekankan pembelajaran Hands on sebagai

penentang metode otoriter dan menganggap bahwa pengalaman dan inkuiri sangat

penting dalam pembelajaran bermakna.

b. Siswa belajar berdasarkan pada apa yang mereka tahu

Pengalaman masa lalu dan pengertian sebelumnya merupakan bentuk dasar

untuk membangun pengetahuan baru. Ausubel prihatin dengan individu yang

belajar materi verbal/tekstual dalam jumlah yang besar di sekolah. Menurut

Ausubel faktor terpenting yang mempengaruhi pembelajaran adalah melalui apa

yang mereka tahu.

c. Siswa mengembangkan rangkaian berfikir dalam proses pembelajaran melalui

bimbingan

Rangkaian berpikir ke arah yang lebih tinggi memerlukan proses yang

mendalam yang membawa kepada sebuah pemahaman. Proses yang mendalam

memerlukan waktu dan motivasi yang dikembangkan oleh pertanyaan-pertanyaan


22

yang otentik mengenai objek yang telah digambarkan dari pengalaman dan

keingintahuan siswa.

Proses yang mendalam juga memerlukan perkembangan kemampuan

intelektual yang melebihi dari penemuan dan pengumpulan fakta. Menurut

Bloom, kemampuan intelektual seperti pengetahuan, pemahaman, aplikasi,

analisis, sintesis, dan evaluasi membantu merangsang untuk berinkuiri yang

membawa kepada pengetahauan dan pemahaman yang mendalam.

d. Perkembangan siswa terjadi secara bertahap

Siswa berkembang melalui tahap perkembangan koginitif, kapasitas, mereka

untuk berpikir abstrak ditingkatkan oleh umur. Perkembangan ini merupakan

proses kompleks yang meliputi kegiatan berpikir, tindakan, refleksi, menemukan,

dan menghubungkan ide, membuat hubungan, mengembangkan dan mengubah

pengetahuan sebelumnya, kemampuan, serta sikap dan nilai.

e. Siswa mempunyai cara yang berbeda dalam pembelajaran

Siswa belajar melalui semua pengertiannya. Mereka menggunakan seluruh

kemampuan fisik, mental dan sosial untuk membangun pemahaman yang

mendalam mengenai dunia dan apa yang hidup di dalamnya.

f. Siswa belajar melalui interaksi sosial dengan orang lain

Siswa hidup di lingkungan sosial di mana mereka terus menerus belajar

melalui interaksi dengan orang lain di sekitar mereka. Orang tua, teman, saudara,

guru, kenalan, dan orang asing merupakan bagian dari lingkungan sosial yang

membentuk pembelajaran lingkungan pergaulan di mana mereka membangun

pemahaman mengenai dunia dan membuat makna untuk mereka. Vigotsky


23

berpendapat bahwa perkembangan proses hidup bergantung pada interaksi sosial

dan pembelajaran sosial berperan penting untuk perkembangan kognitif.

Berdasarkan karakteristik tersebut, inkuiri terbimbing merupakan sebuah

metode yang berfokus pada proses berpikir yang membangun pengalaman oleh

keterlibatan siswa secara aktif dalam pembelajaran. Siswa belajar dengan

membangun pemahaman mereka sendiri berdasarkan pengalaman-pengalaman

dan apa yang telah mereka tahu.

3. Tahapan-Tahapan Pembelajaran Inkuri Terbimbing

Pembelajaran inkuiri terbimbing memilki beberapa fase yaitu; Orientasi,

pemberian masalah, membuat hipotesis, eksperimen, mengevaluasi hipotesis,

membuat kesimpulan (Eggen & Kauchak, 1993). Fase-fase dalam pembelajaran

inkuiri dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Fase 1: Orientasi

Pada tahap ini guru mengarahkan siswa agar siap untuk belajar. Guru

mengatur suasana kelas sehingga pembelajaran dapat berjalan kondusif. Guru

menjelaskan pada siswa tentang aturan-aturan dalam proses pembelajaran, tujuan

pembelajaran dan gambaran umum materi pembelajaran

b. Fase 2: Perumusan Masalah

Pada tahap ini siswa diberikan masalah untuk diselidiki atau dipecahkan

melalui eksperimen. Kemampuan yang harus dicapai oleh siswa pada tahapan ini

adalah siswa dapat menangkap fenomena yang terjadi, sehingga siswa dapat

menentukan prioritas masalah dan memanfaatkan pengetahuannya untuk


24

mengkaji, merinci dan menganalisis masalah sehingga pada akhirnya masalah

tersebut dapat dipecahkan

c. Fase 3: Membuat Hipotesis

Pada tahap ini, guru mendorong agar siswa dapat merumuskan hipotesis

berdasarkan masalah pada fase 2 tersebut. Kemampuan yang diharapkan dari

siswa dalam tahap ini adalah siswa dapat menentukan sebab akibat dari masalah

yang ingin diselesaikan. Melalui analisis sebab akibat inilah pada akhirnya siswa

diharapkan dapat menentukan berbagai kemungkinan penyelesaian masalah.

d. Fase 4: Eksperimen

Untuk menguji kebenaran hipotesis yang dibuat oleh beberapa siswa, guru

meminta siswa untuk melakukan suatu eksperimen. Eksperimen dilakukan agar

siswa mendapatkan data empiris yang dapat digunakan untuk menguji hipotesis

yang mereka buat. Pada tahapan ini siswa diberi kesempatan untuk merancang

sendiri percobaan yang akan mereka lakukan. Pada fase ini guru berperan sebagai

pembimbing siswa yang mengalami kesulitan dan memastikan jika prosedur

mereka benar. Setelah dinyatakan benar oleh guru, siswa didorong untuk

mengumpulkan data yang relevan dan mneganalisisnya hingga dirumuskan

sebuah simpulan.

e. Fase 5: Mengevaluasi Hipotesis

Berdasarkan data yang telah dikumpulkan dalam kegiatan eksperimen,

kemudian siswa diminta untuk mengevaluasi apakah hipotesis yang mereka

ajukan diterima atau ditolak. Kemampuan yang diharapkan dari siswa dalam
25

tahapan ini adalah kecakapan menelaaah data dan sekaligus membahasnya untuk

melihat hubungannya dengan masalah yang dikaji dengan membandingkan

dengan literatur yang ada dan diadakan diskusi kelas.

f. Fase 6: Membuat Kesimpulan

Pada tahap ini siswa membuat keputusan berupa kesimpulan-kesimpulan

berdasarkan hipotesis dan menggunakan kesimpulan tersebut untuk membangun

konsep/teori.

Berdasarkan uraian di atas, guru mempunyai peran yang cukup besar

dalam proses penemuan konsep. Ada beberapa perbedaan peran guru yang

mendasar dalam metode inkuiri terbuka dan metode inkuiri terbimbing. Perbedaan

tersebut dapat dilihat dari fase-fase pembelajaran yang disajikan pada Tabel 2.2

Tabel 2.2. Perbedaan Peran Guru dalam Pembelajaran Inkuri Terbimbing dan

Pembelajaran Inkuri Terbuka

Fase Pembelajaran Inkuiri Terbuka Pembelajaran Inkuiri Terbimbing


(Open Inquiry) (Guided Inquiry)
(1) (2) (3)
1. Orentasi guru melakukan langkah untuk guru melakukan langkah untuk
membina suasana pembelajaran membina suasana pembelajaran
yang kondusif dan menjelaskan yang kondusif dan menjelaskan
tujuan pembelajaran tujuan pembelajaran
2. Perumusan Siswa mengajukan masalah Guru menentukan masalah yang
Masalah akan dipecahkan oleh siswa.
3. Membuat Siswa merumuskan hipotesis Siswa merumuskan hipotesis
Hipotesis
4. Eksperimen Siswa merancang sendiri Siswa diberi kesempatan untuk
prosedur eksperimen merancang prosedur eksperimen
dibawah bimbingan guru
5. Mengevaluasi Siswa secara mandiri Siswa diarahkan oleh guru untuk
hipotesis menganalisis data hasil menganalisis data hasil
eksperimen, mengajukan eksperimen, mempresentasikan
pertanyaan lanjutan yang hasil eksperimen dengan cara
26

mengarah pada pemerolehan ilmiah, guru mengajukan


konsep, mempresentasikan hasil pertanyaan yang mengarah pada
eksperimen denagn cara ilmiah pemerolehan konsep
6. Membuat Siswa menyimpulkan Siswa menyimpulkan
Kesimpulan.

Aktivitas lab mini yang dirancang dapat mencakup fase perumusan masalah,

membuat hipotesis, melakukan percobaan, mengevaluasi hipotesis sampai

membuat kesimpulan. Akan tetapi, pada model pembelajaran inkuiri terbimbing

permasalahan telah diberikan oleh guru sehingga siswa hanya bertanggung jawab

dari membuat hipotesis sampai membuat simpulan.

4. Teori yang Melandasi Pembelajaran Inkuiri Terbimbing

Penerapan inkuiri sangat berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme

yang berkembang atas dasar psikologi perkembangan kognitif dari Jean Piaget

dan teori scaffolding (penyediaan dukungan untuk belajar dan memecahkan

masalah) dari Lev Vygotsky (Slavin, 1994). Berdasarkan hal ini, maka teori

belajar kognitif yang memberikan penjelasan yang berpusat pada proses mental

dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat langsung dalam

mengolah informasi.

a. Teori Piaget

Teori pembelajaran Piaget yang terkenal adalah teori Piaget. Piaget

merupakan salah satu pioner kontruktivisme, karena ia berpendapat bahwa anak

membangun sendiri skematanya, dari pengalamannya sendiri dengan

lingkungannya. Manusia tumbuh, beradaptasi, dan berubah melalui perkembangan

fisik, perkembangan kepribadiaan, perkembangan sosioemosional, perkembangan

kognitif dan perkembangan bahasa. Dalam pandangan Piaget, pengetahuan


27

datang dari tindakan, perkembangan kognitif sebagian besar bergantung pada

seberapa jauh anak memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya

(Slavin, 1994).

Piaget menjabarkan implementasi teori kognitif pada pendidikan yaitu: 1)

memusatkan perhatian kepada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar

kepada hasilnya. Selain kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses

yang digunakan sehingga sampai pada jawaban tersebut. 2) mengutamakan peran

siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam dalam kegiatan

pembelajaran. Anak didorong menemukan sendiri pengetahuan melalui interaksi

spontan dengan lingkungannya, peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk

melakukan eksperimen dengan objek fisik, yang ditunjang dengan interaksi

dengan teman sebaya dan bimbingan guru. 3) memaklumi akan adanya perbedaan

individual dalam kemajuan perkembangan. Seluruh siswa tumbuh melewati

urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada

kecepatan yang berbeda.

Seorang guru yang menerapkan teori Piaget dalam pembelajaran memiliki

tugas menyediakan lingkungan belajar, materi, tugas-tugas yang merangsang, dan

mendorong siswa untuk membangun pengetahuan untuk diri mereka sendiri

melalui pengamatan dan eksperimen. Guru harus menciptakan suasana belajar

yang merangsang keingintahuan siswa. Melalui suasana belajar tersebut

diharapkan siswa dapat secara mandiri menemukan konsep-konsep yang mereka

pelajari.
28

Pada anak SMP kelas 8 yang rata-rata berusia 12 tahun, mereka masih

berada tahap awal operasi formal. Pada usia ini siswa masih membutuhkan

bantuan guru dalam proses belajar mereka oleh karena itu maka dipilih model

inkuiri terbimbing dari pada inkuiri bebas.

Nur (2004) mendeskripsikan teori perkembangan kognitif Piaget seperti

pada Tabel 2.3 di bawah ini:

Tabel 2.3 Tahap-tahap Perkembangan Kognitif Piaget

Tahap Perkiraan Usia Kemampuan-Kemampuan Utama


(1) (2) (3)
Sensori (0-2 tahun) Terbentuknya konsep “kepermanenan obyek” dan
motor kemajuan tahap demi tahap dari perilaku refleksif ke
perilaku yang mengarah pada tujuan.
Pra ( 2-7 tahun) Perkembangan kemampuan menggunakan simbol-
operasional simbol untuk menyatakan obyek-obyek di dunia.
Pemikiran masih egosentris dan sentrasi.
Operasi (7-11 tahun) Kemampuan-kemampuan baru termasuk penggunaan
konkrit operasi-operasi yang dapat dibalik. Pemikiran tidak
lagi sentrasi tetapi desentrasi, dan pemecahan masalah
tidak begitu dibatasi oleh keegosentrisan.
Operasi (11 tahun ke Pemikiran abstrak dan murni simbolis mungkin
formal atas) dilakukan. Masalah-masalah dapat dipecahkan melalui
penggunaan eksperimentasi sistematis.

b. Teori Scaffolding dari Lev Vygotsky

Scaffolding didasarkan pada konsep Vygotsky tentang konsep

pembelajaran dengan bantuan, guru memandu proses pembelajaran sedemikian

rupa sehingga siswa akan menguasai secara tuntas ketrampilan-ketrampilan yang

memungkinkan fungsi kognitif lebih tinggi (Nur, 2008). Menurut Vigotsky, siswa
29

memiliki dua tingkat perkembangan yang berbeda yaitu a) tingkat perkembangan

aktual (tingkat perkembangan intektual individu atas upaya sendiri) dan tingkat

perkembangan potensial (perkembangan intektual yang dapat dicapai individu

dengan bantuan orang lain).

Vygotsky juga percaya bahwa pertumbuhan anak dipengaruhi oleh

kekuatan biologis dan kekuatan sosial (budaya). Kekuatan biologis

menghasilkan fungsi dasar memori, perhatian, persepsi, dan stimulus respons

pembelajaran, sedangkan kekuatan sosial sangat diperlukan bagi perkembangan

mental yang lebih tinggi, seperti pengembangan konsep, penalaran logis, dan

pengambilan keputusan. Apa yang dapat dilakukan siswa saat belajar di sekolah

dipengaruhi oleh faktor usia, rentang perhatian, kemampuan mengingat, dan

berbagai faktor biologis lainnya. Tetapi, apa yang dapat dilakukan saat belajar

juga tergantung pada interaksi di antara siswa, antara siswa dengan orang

dewasa (terutama orang tua dan guru). Melalui interaksi sosial, siswa menjadi

sadar fungsi mental dasarnya dan mampu menggunakan fungsi-fungsi dalam

pertumbuhannya untuk pengendalian diri, pengarahan diri, cara berpikir, dan

bertindak otonomi.

Guru menggunakan ide Vygotsky dalam mengajarkan Sains dengan cara

menetapkan tugas-tugas yang melampaui kemampuan siswa sendiri, tetapi yang

dapat dicapai dengan bantuan guru. Pada awalnya, apa yang dilakukan siswa

tergantung pada guru, tetapi semakin mandiri setelah menguasai tugas belajar

dan mendapatkan kontrol atas fungsi baru. Tugas guru adalah menyediakan

lingkungan dan kondisi yang memungkinkan siswa belajar untuk menguasai

keterampilan baru dan belajar hal baru.


30

c. Pendekatan Jerome Bruner

Fokus dari pendekatan Bruner adalah pendekatan penemuan (discovery

approach). Pembelajaran dengan pendekatan penemuan merupakan suatu

komponen penting dalam pendekatan kontruktivisme dalam inovasi pendidikan.

Menurut Bruner (dalam Nur, 2008) pembelajaran penemuan menekankan pada

pengalaman-pengalaman aktif dan pembelajaran yang berpusat pada siswa,

sehingga siswa menemukan ide-ide mereka sendiri dan memperoleh makna oleh

mereka sendiri. Burner mendeskripsikan Scaffolding sebagai suatu proses dari

siswa yang dibantu untuk mengatasi masalah tertentu yang berada diluar kapasitas

perkembangannya dengan bantuan (scaffolding) guru atau orang lain yang lebih

mampu. Bruner menyarankan agar seorang guru tidak hanya memikirkan

“bagaimana siswa belajar,” tetapi juga “bagaimana cara membantu siswa untuk

belajar yang terbaik.” Penemuan (discovery) merupakan salah satu cara untuk

mendorong siswa berfikir, karena mereka terlibat secara langsung dalam

menemukan suatu konsep tertentu.

Berdasarkan urain dari teori Piaget, Lev Vigotsky dan Bruner, maka

implementasi inkuiri diharapkan siswa mendapatkan kesempatan berlatih

mengembangkan berpikir, bersikap ilmiah melalui proses pencarian dan

penemuan fakta dan konsep, bekerjasama dalam membangun pemahaman dan


31

ketrampilan melalui interaksi dengan teman sejawat, guru dan sumber belajar

lain melalui kegiatan tanya jawab atau diskusi. Seorang guru dalam proses

pembelajaran inkuiri harus memiliki sikap keterbukaan terhadap ide-ide siswa,

membuat mereka lebih aktif, dan antusias dalam belajar.

C. Miskonsepsi

1. Pengertian Miskonsepsi

Istilah miskonsepsi berasal dari kata misconception atau konsepsi yang salah.

Konsepsi merupakan tafsiran perseorangan dari suatu konsep ilmu tertentu.

Tafsiran konsep seseorang atau konsepsi tersebut kadang sesuai dengan tafsiran

yang dimaksud oleh para ilmuwan atau pakar dalam bidang itu kadang pula tidak

sesuai. Konsepsi yang tidak sesuai dengan yang diterima para pakar dalam bidang

itu disebut salah konsep atau miskonsepsi (Berg, 1991). Suparno (1997: 95)

memandang miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep,

penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan

konsep-konsep yang berbeda dan hubungan hierarkis konsep-konsep yang tidak

benar. Jadi bentuk miskonsepsi fisika yang dialami siswa berupa kesalahan

konsep awal, hubungan yang tidak benar antara konsep satu dengan lainnya, atau

gagasan intuitif atau pandangan yang naif. Untuk pembelajar pemula, miskonsepsi

sering juga diistilahkan dengan konsep alternatif.

Materi pelajaran dalam ilmu sains tersusun secara hirarkhi mulai dari

konsep-konsep dasar sampai kepada konsep-konsep yang lebih tinggi

tingkatannya. Apabila siswa dapat mengaitkan antara konsep satu dengan konsep

lainnya, maka siswa telah memiliki pemahaman yang utuh akan konsep tersebut.
32

Sebaliknya, apabila siswa tidak dapat mengaitkan antara konsep satu dengan

konsep lainnya akan mengakibatkan proporsi yang sehingga dapat menimbulkan

terjadinya kesalahan dalam memahami konsep (miskonsepsi).

Kesalahan yang diperbuat oleh siswa dalam belajar Fisika diantaranya

adalah (Berg, 1991):

a. Kesalahan yang terjadi secara acak tanpa sumber tertentu (misalnya salah

hitung atau salah dalam penulisan rumus).

b. Kesalahan dalam mengingat/menghafal.

c. Kesalahan yang terjadi secara terus-menerus serta menunjukkan kesalahan

dengan sumber tertentu.

Kesalahan jenis ketiga inilah yang biasa disebut miskonsepsi dan sangat

menarik perhatian para ahli bidang pendidikan. Siswa yang mengalami jenis

kesalahan ketiga ini cenderung salah dalam banyak soal yang berbeda konteksnya,

tetapi dasar konseptualnya sama. Hal tersebut mengindikasikan adanya

miskonsepsi yang terjadi secara luas atau banyak dialami siswa pada berbagai

jenjang pendidikan.

Berg (1991) menyatakan bahwa miskonsepsi merupakan gagasan-gagasan

yang muncul dari pikiran siswa yang bersifat pribadi dan umumnya gagasan

tersebut tidak bersifat ilmiah. Miskonsepsi sebagai suatu interpretasi konsep-

konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima karena tidak sesuai

dengan konsep ilmuan. Definisi lain dari miskonsepsi adalah pengertian yang

tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-
33

contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan hubungan hirarkis

konsep-konsep yang tidak benar. Secara ringkas, miskonsepsi dapat diartikan

sebagai konsepsi yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang

yang diterima oleh ilmuan yang berlangsung secara terus menerus.

2. Penyebab Miskonsepsi

Miskonsepsi akan terbentuk bila konsepsi seseorang mengenai suatu

materi tidak sesuai dengan konsepsi yang diterima oleh ilmuwan atau pakar

dibidangnya. Suatu miskonsepsi siswa bisa berasal dari beberapa sebab.

Miskonsepsi siswa bisa berasal dari siswa sendiri, yaitu siswa salah

menginterpretasi gejala atau peristiwa yang dihadapi dalam hidupnya. Selain itu,

miskonsepsi yang dialami siswa bisa juga diperoleh dari pembelajaran dari

gurunya. Pembelajaran yang dilakukan gurunya mungkin kurang terarah sehingga

siswa melakukan interpretasi yang salah terhadap suatu konsep, atau mungkin

juga gurunya mengalami miskonsepsi terhadap suatu konsep sehingga apa yang

disampaikannya juga merupakan suatu miskonsepsi.

Miskonsepsi yang bersumber dari guru ini ditekankan pula oleh Sadia

(1996:13) yang menyatakan bahwa miskonsepsi mungkin pula diperoleh melalui

proses pembelajaran pada jenjang pendidikan sebelumnya. Secara lebih lengkap,

Suparno (2005) menyatakan faktor penyebab miskonsepsi fisika bisa dibagi

menjadi lima sebab utama, yaitu berasal dari siswa, pengajar, buku teks, konteks,

dan cara mengajar. Adapun penjelasan rincinya seperti yang disajikan pada tabel

2.4.
34

Tabel 2.4 Penyebab Miskonsepsi

Penyebab utama Penyebab Khusus

Siswa Prakonsepsi, pemikiran asosiatif, pemikiran humanistik,


reasoning yang tidak lengkap, intuisi yang salah, tahap
perkembangan kognitif siswa, kemampuan siswa, minat
belajar siswa
Pengajar Tidak menguasai bahan, bukan lulusan dari bidang ilmu
fisika, tidak membiarkan siswa mengungkapkan
gagasan/ide, relasi guru-siswa tidak baik
Buku Teks Penjelasan keliru, salah tulis terutama dalam rumus, tingkat
penulisan buku terlalu tinggi bagi siswa, tidak tahu
membaca buk teks, buku fiksi dan kartun sains sering salah
konsep karena alasan menariknya yang perlu,
Konteks Pengalaman siswa, bahasa sehari-hari berbeda, teman
diskusi yang salah, keyakinan dan agama, penjelasan orang
tua/orang lain yang keliru, konteks hidup siswa (tv, radio,
film yang keliru, perasaan senang tidak senang, bebas atau
tertekan.
Cara Mengajar Hanya berisi ceramah dan menulis, langsung ke dalam
bentuk matematika, tidak mengungkapkan miskonsepsi,
tidak mengoreksi PR, model analogi yang diapakai kurang
tepat, model demonstrasi sempit,dll
(Suparno, 2005:53)

3. Identifikasi Miskonsepsi

Miskonsepsi memiliki sifat yang resisten dan sulit diubah. Miskonsepsi

akan mempengaruhi pola pikir siswa pada jenjang selanjutnya bahkan kadang

terbawa selamanya. Oleh karena itu maka perlu upaya untuk membenarkan

kesallahan konsep yang dialami siswa. Langkah awal yang untuk memperbaiki

miskonsepsi adalah mengidentifikasi miskonsepsi yang terjadi pada siswa.

Banyak cara yang dapat digunakan untuk mnegidentifikasi miskonsepsi siswa,

diantaranya yaitu tes pilihan ganda dengan alasan terbuka dan Certainty Of

Response Index (CRI).


35

Soal pilihan ganda dengan alas an terbuka mengacu pada penelitian yang

telah dilakukan oleh Amin dan Treagust (dalam Suparno, 2005: 123). Soal pilihan

ganda dengan alasan terbuka merupakan tes dimana siswa harus menjawab dan

menulis alasan mengapa ia mempunyai jawaban seperti itu. Jawaban siswa pada

pilihan ganda kemudian dicocokkan dengan alasan mereka, apakah ada hubungan

antara jawaban dengan alasan. Dalam menjawab pertanyaan tersebut, siswa akan

menjawab dengan beberapa kemungkinan berikut:

a. Jawaban benar dan alasannya benar

b. Jawaban benar tetapi alasannya salah

c. Jawaban salah tetapi alasannya benar

d. Jawaban salah dan alasannya juga salah

e. Siswa tidak menjawab

Dari kelima kemungkinan jawaban di atas, ketika anak mempunyai jawaban

a maka anak dikatakan paham konsep sedangkan jawaban e dikatakan anak tidak

tahu konsep. Selanjutnya untuk jawaban b, c, dan d adalah jawaban yang

kemungkinan besar mengandung miskonsepsi. Kemudian agar dapat terbedakan

mana yang miskonsepsi atau tidak tahu konsep maka soal dilengkapi dengan CRI.

Certainty Of Response Index (CRI) merupakan teknik untuk mengukur

miskonsepsi seseorang dengan cara mengukur tingkat keyakinan atau kepastian

seseorang dalam menjawab setiap pertanyaan yang diberikan. Metode CRI

dikembangkan oleh Saleem Hasan. CRI sering digunakan dalam survei-survei

terutama yang meminta rensponden untuk memberikan derajat kepastian yang dia

miliki dari kemampuannya untuk memilih dan membangun pengetahuan, konsep-

konsep, atau hukum-hukum yang terbentuk dengan baik dalam dirinya untuk

menentukan jawaban dari suatu pertanyaan.


36

CRI biasanya berdasarkan pada suatu skala yang tetap, misalnya skala sebelas

ataupun skala enam. Dalam penelitian skala yang digunakan adalah skala enam (0-5)

yang dikemukakan oleh Hasan (1999:297) sebagai berikut :

Tabel 2.5 Tingkat Kepercayaan dalam CRI

Skala Keterangan
0 Jika menjawab soal 100% ditebak
1 Jika dalam menjawab soal presentase unsur tebakan antara 75% - 99%
2 Jika dalam menjawab soal presentase unsur tebakan antara 50% - 74%
3 Jika dalam menjawab soal presentase unsur tebakan antara 25% - 49%
4 Jika dalam menjawab soal presentase unsur tebakan antara 1% - 24%
5 Jika dalam menjawab soal tidak ada unsur tebakan sama sekali (0%)

Skala CRI (0-2) menandakan derajat kepastian rendah. Hal ini menggambarkan

faktor penebakan dalam menjawab sangat tinggi tanpa memandang jawaban tersebut

benar atau salah. Nilai CRI yang rendah (0-2) menunjukan bahwa siswa tidak tahu

akan kosep yang mendasari jawaban. Nilai CRI yang tinggi yaitu memiliki skala (3-

5). Siswa memiliki kepercayaan yang tinggi dalam memilih aturan-aturan atau

konsep-konsep yang digunakan untuk sampai pada jawaban. Pada tingkat skala CRI

yang tinggi jawaban benar ataupun salah sangat berpengaruh, apabila jawaban benar

maka siswa tersebut memiliki kepercayaan yang tinggi dan kebenaran konsep yang

dimilikinya dapat teruji dengan baik. Apabila jawabannya salah maka siswa tersebut

mengalami kekeliruan konsepsi dalam menentukan jawaban dari pertanyaan.

Kejadian ini dapat kita gunakan sebagai indikator terjadinya miskonsepsi pada diri

siswa.
37

Kemungkinan terjadi miskonsepsi atau tidak tahu konsep dirangkum dalam

Tabel 2.6 berikut.

Tabel 2.6 Klasifikasi Jawaban Siswa berdasarkan CRI

Criteria jawaban CRI Rendah (< 2,5) CRI Tinggi (>2,5)


Jawaban benar Jawaban benar tetapi CRI Jawaban benar dan CRI tinggi
rendah berarti tidak tahu berarti menguasai konsep
konsep ( Lucky guess). dengan baik.
Jawaban salah Jawaban salah dan CRI Jawaban salah tetapi CRI
rendah berarti tidak tahu tinggi berarti terjadi
konsep. miskonsepsi.
(Hasan, 1999)

4. Cara mengatasi Miskonsepsi

Miskonsepsi fisika umumnya bersifat resisten dan sulit untuk

disembuhkan meskipun telah diusahakan untuk menjelaskanya dengan penalaran

yang logis. Penyebab resistensinya sebuah miskonsepsi karena setiap orang

membentuk pengetahuan dalam pemikirannya sama dengan pengalaman yang

diperolehnya. Oleh karena itu, banyak cara yang direkomendasikan oleh para ahli

pendidikan untuk meremidiasi atau mengatasi miskonsepsi tersebut.

Berg (1991: 18) mengusulkan beberapa cara untuk meremidiasi

miskonsepsi Fisika diantaranya yaitu:

1. Menyesuaikan urutan silabus dengan cara berfikir siswa

Penelitian miskonsepsi telah menghasilkan banyak informasi mengenai cara

berfikir siswa. Hal tersebut mengenai konsep mana yang sulit, mana yang

mudah dimengerti, mengenai prasyarat pengetahuan yang terpenuhi dan

prasyarat yang tidak harus dipenuhi untuk mengajarkan konsep baru.


38

Eksperimen dari Lincht (dalam Berg, 1991) memperlihatkan bahwa

eksperimentasi dengan urutan silabus mempunyai potensial yang menarik

untuk memperbaiki hasil pendidikan Fisika. Tetapi perlu disadari bahwa

urutan yang terbaik harus ditentukan melalui penelitian.

2. Konflik kognitif

Salah satu dari strategi pengajaran utama yang berdasarkan pada

konstruktifisme adalah strategi konflik kognitif. Strategi ini berkembang

berdasarkan pada asumsi yang menyebutkan bahwa pengetahuan siswa yang

sebelumnya mempengaruhi bagaimana cara mereka mempelajari pengetahuan

yang baru dan membentuk gambaran ide yang baru. Strategi ini adalah sebuah

keadaan dimana siswa merasa adanya ketidakcocokan antara strukur kognitif

mereka dengan keadaan lingkungan sekitarnya atau antara komponen-

komponen dari struktur kognitif mereka (Lee et al, 2003). Melalui konflik

kognitif guru lebih mudah untuk mengarahkan siswa pada konsep yang benar

tetapi beberapa konsep resistan tidak cukup melalui strategi konflik kognitif.

3. Analogi

Strategi pembelajaran analogi biasanya digunakan untuk mengajarkan suatu

konsep atau keadaan yang sulit dimengerti dan bersifat abstrak. Konsep atau

keadaan yang abstrak dianalogikan dengan keadaan lain yang lebih nyata yang

menjadi jembatan untuk mengajarkan konsep baru. Melalui sebuah analogi,

siswa diarahkan untuk memahami suatu konsep baru yang sulit dimengerti

dengan suatu konsep yang telah dimengerti oleh siswa. Misalkan untuk

mengajarkan listrik dinamis atau arus listrik, guru biasanya menganalogikan


39

dengan aliran air. Di sisi lain, penggunaan analogi dalam mengajarkan konsep

atau meremidiasi miskonsepsi jika tidak hati-hati akan menimbulkan

miskonsepsi baru.

4. Interaksi pasangan

Thorley dan Lochhead (dalam Berg, 1991) menyatakan bahwa interaksi

pasangan dapat menyebabkan perubahan konsep dalam otak meskipun belum

tentu perubahan tersebut menghasilkan konsep yang benar. Prinsip dari

interaksi pasangan adalah dengan menjodohkan siswa yang punya “teori” atau

konsepsi yang berbeda, kemudian mereka bersama dihadapkan dengan suatu

masalah/soal yang perlu diselesaikan maka akan terjadi interaksi antar siswa

tersebut.

5. Metalearning, metakognitif

Belajar seringkali menjadi kegiatan yang agak pasif: membaca, mendengar,

mengerjakan PR. Siswa menganggap bahwa guru atau buku bertanggung

jawab untuk pemahaman materi mereka. Siswa jarang diberi pengarahan

mengenai bagaimana cara belajar yang tepat maka mereka tidak sadar akan

cara belajar mereka kurang efisien. Inti dari meta-learning adalah

mengajarkan/melatihkan pada siswa bagaimana siswa belajar cara belajar

yang baik dan efisien.

6. Demontrasi

Salah satu cara mengajar yang sangat berguna untuk mengatasi miskonsepsi

adalah demontrasi. Demontrasi merupakan percobaan yang pelaksanaannya

dilakukan oleh guru atau dibantu oleh siswa di depan kelas. Demonstrasi dapat

menunjukkan suatu fenomena/kejadian pada siswa secara langsung sehingga


40

dapat menarik perhatian siswa dan memberikan bukti outentik dan dapat

menghindari terjadinya miskonsepsi. Kelebihan utama dari demonstrasi adalah

tidak membutuhkan tempat khusus dan satu set peralatan cukup. Di sisi lain,

demonstrasi membuat siswa tidak mandiri dan tidak dapat terlibat secara

langsung.

7. Praktikum

Praktikum adalah bagian dari pengajaran yang bertujuan agar siswa mendapat

kesempatan untuk menguji dan melaksanakan dalam keadaan nyata apa yang

diperoleh dalam teori (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002). Praktikum

hampir sama dengan demonstrasi namun pada praktikum lebih berpusat pada

siswa. Kegiatan praktikum membantu siswa untuk mengamati dan menyelidiki

secara langsung apa yang mereka pelajari sehingga mereka belajar lebih

mendalam. Kegiatan praktikum membuat pembelajaran Fisika lebih

menyenangkan dan pembelajaran lebih bermakna sehingga dapat

meminimalisir terjadinya miskonsepsi.

Berg (1991: 25) menyatakan sedikitnya ada tiga keunggulan praktikum

dibandingkan demonstrasi, yaitu:

- Dengan praktikum siswa lebih terlibat karena mereka sendiri yang


melaksanakan percobaan.
- Dengan praktikum yang petunjuknya matang, siswa akan berfikir sendiri
sehingga mereka tidak dapat menyembunyikan diri dalam kelas besar.
- Semua siswa memperoleh ketrampilan menggunakan peralatan.
41

D. Laboratorium Mini

1. Pengertian laboratorium mini

Branan dan Morgan (2010) mengungkapkan bahwa aktivitas laboratorium

mini merupakan kegiatan siswa untuk mengobservasi fenomena kimia dan fisika

sederhana, mencatat pengamatan yang mereka anggap penting. Kegiatan lab mini

cenderung singkat kurang dari 60 menit. Penggunaan istilah laboratorium mini

didasarkan pada kesederhanaan alat yang digunakan dalam proses pembelajaran.

Menurut Saragih (2000) dan Hendrikus (2008), laboratorium mini adalah kegiatan

pengamatan dan percobaan yang dapat dilaksanakan baik di dalam laboratorium,

di kelas, maupun di lapangan dengan menggunakan benda-benda konkrit yang

sederhana. Penelitian ini membatasi laboratorium dan laboratorium mini pada

kesederhanaan alat yang digunakan dan tempat kegiatan.

Kegiatan laboratorium lebih cenderung dilaksanakan di ruangan khusus

dan dengan peralatan khusus dan modern sedangkan kegiatan laboratorium mini

tidak membutuhkan ruangan khusus dan menggunakan peralatan sederhana yang

mudah ditemukan. Oleh sebab itu, aktivitas siswa dalam kegiatan laboratorium

mini sama dengan kegiatan laboratorium yaitu melakukan pengamatan, percobaan

dan penemuan. Kegiatan laboratorium mini melibatkan para siswadalam belajar

dengan menguasai konsep, prinsip dan hukum Fisika, menerapkan metode ilmiah

sehingga dapat digunakan melatih kemampuan berfikir dan membangun konsep-

konsep Fisika.
42

2. Arti penting kegiatan laboratorium mini dalam pembelajaran Fisika

Dalam proses belajar mengajar fisika, kegiatan laboratorium mempunyai

arti penting bagi siswa karena dapat melibatkan siswa secara optimal di dalamnya.

Kegiatan laboratorium dirancang untuk meningkatkan kebermaknaan belajar

siswa melalui aktivitas fisik yang konkrit. Siswa dapat menemukan dan

memperkuat konsep mereka melalui pengamatan dan percobaan, selain itu

kegiatan laboratorium juga meningkatkan ketrampilan proses siswa.

Menurut Daniel Lucy dkk (dalam Saragih, 2000: 16), kegiatan laboratorium

mini melibatkan para siswa dalam kegiatan pembelajaran dengan metode ilmiah

sehingga dapat digunakan untuk melatih kemampuan berpikir kritis, sistematis

dan bersikap ilmiah. Laboratorium mini didesain dengan peralatan yang minimum

dan sederhana tetapi melibatkan siswa ikut aktif di dalamnya.

Daniel Lucy dkk (dalam Saragih, 2000) menyebutkan beberapa keunggulan

laboratorium mini yang intinya sebagai berikut:

a. Para siswa dapat melakukan kegiatan praktikum walaupun dengan peralatan


yang minimum
b. Mempermudah siswa memahami materi pembelajaran karena siswa
dihadapkan dengan objek langsung
c. Mempermudah guru membimbing siswa untuk menemukan konsep fisika
sendiri
d. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa
e. Melatih siswa untuk bertanya sehingga siswa lebih aktif
f. Mendorong siswa untuk menemukan konsep-konsep baru
g. Memberikan kesempatan siswa untuk belajar dengan menggunakan metode
ilmiah
43

3. Peranan kegiatan laboratorium mini terhadap penguasaan konsep

Kegiatan Laboratorium sangat penting dalam pembelajaran Fisika untuk

membantu siswa mendapatkan sebuah konsep sains yang harus siswa pelajari

(Branan dan Morgan, 2010). Melalui kegiatan lab mini siswa dapat membuktikan

secara langsung teori, hukum atau konsep tertentu sehingga mereka memahami

dengan benar apa yang mereka pelajari. Siswa tidak hanya membayangkan

fenomena-fenomena alam tertentu ketika guru bercerita atau ketika mereka

membaca buku teks.

Melalui kegiatan laboratorium mini, siswa dapat melibatkan alat indra

secara maksimal. Siswa dapat melihat, mendengar, menyentuh, mencium bahkan

merasakan apa yang terjadi secara nyata. Selain itu siswa akan lebih mudah

mengingat ketika siswa mempraktikkan sendiri dari pada hanya menerima

penjelasan dari guru atau membaca.

Kegiatan laboratorium mini juga dapat mencegah terjadinya miskonsepsi

yang muncul dari penggunaan intuisi atau insting siswa ketika berhadapan dengan

sebuah kejadian. Intuisi muncul karena siswa telah memiliki pra-konsepsi atau

pengetahuan awal yang didapat dari pengalaman sehar-hari atau pada jenjang

sebelumnya.

E. Pengajaran Remidial

Remedial adalah kata sifat yang artinya berhubungan dengan upaya

perbaikan (Ecols dan Hasan Shadily, 1996). Arti kata remidial menurut kamus

bahasa Indonesia adalah dimaksudkan untuk memperbaiki atau mengulang

sedangkan menurut Oxford Learners Dictionary dijelaskan bahwa remedial berarti


44

bersifat mengobati, menyembuhkan, membetulkan atau membuat menjadi baik.

Adapun batasan remidial sebagai suatu bentuk pengajaran yang bersifat

menyembuhkan atau membetulkan pengajaran sehingga menjadi baik. (Siahaan,

1986).

Pengajaran remidial sebagai upaya untuk menciptakan situasi yang

memungkinkan individu atau kelompok siswa tertentu lebih mampu

mengembangkan dirinya seoptimal mungkin sehingga dapat memenuhi criteria

keberhasilan minimal yang diharapkan, dengan melalui suatu proses interaksi

yang berencana, terorganisasi, terarah, terkoordinasi, dan terkontrol dengan lebih

memperhatikan taraf kesesuaiannya terhadap keberagaman kondisi objektif

individu atau kelompok siswa yang bersangkutan serta daya dukung sarana dan

lingkungannya (Makmum, 2003).

Berdasarkan dari arti kata remidial dan pengertian yang telah

dikembangkan para ahli, dapat dikatakan bahwa pengajaran remedial adalah suatu

bentuk pengajaran yang bertujuan untuk menyembuhkan, membetulkan,

memperbaiki system pengajaran agar tercapai tujuan pembelajaran yang optimal

sebagaimana diharapkan. Hal yang diobati, diperbaiki atau disembuhkan pada

pembelajaran remidial adalah sistem yang berhubungan dengan proses kegiatan

belajar mengajar.

Kegiatan belajar mengajar tersebut meliputi model atau metode mengajar

guru, cara belajar siswa, materi pelajaran, sumber belajar, media belajar maupun

lingkungan belajar. Kondisi lingkungan sekolah dan lingkungan rumah turut

mempengaruhi proses kegiatan belajar mengajar terutama pola belajar siswa.


45

Terkadang ada siswa yang mengalami kesulitan pada sebagian besar mata

pelajaran namun ada juga siswa yang hanya kesulitan pada mata pelajaran atau

pokok bahasan tertentu saja. Proses pemberian pengajaran remidial terhadap siswa

hendaknya disesuaikan dengan jenis kesulitan yang dihadapi siswa (Fataya,

2009).

Proses pelaksanaan pengajaran remedial serupa dengan proses belajar

mengajar biasa namun perbedaannya terletak pada dua prinsip/karakteristik

berikut:

a. Program remedial lebih diarahkan kepada peningkatan prestasi belajar siswa,

baik secara kualitatif maupun kuantitatif, sehingga setidaknya dapat

memenuhi criteria keberhasilan minimal yang telah diterima atau

meningkatkan kemampuan penyesuaian kembali, baik terhadap dirinya

maupun lingkungannya.

b. Strategi pembelajaran lebih ditekankan pada penyesuaian keragaman kondisi

objektif yang dipandang sebagai modifikasi dari proses belajar biasa.

Keragaman kondisi objektif yang dimaksud dalam hal ini, seperti kapasitas

umum/khusus, motivasi, minat, aspirasi, pengetahuan, ketrampilan

dasar/prasyarat, sikap kebiasaan, kematangan/kesiapan, dan sebagainya.

Modifikasi dalam masalah ini diantaranya adalah pengulangan, percepatan,

pengayaan, dan penggantian/subtitusi.


46

F. Tinjauan Materi Tekanan

1. Massa Jenis

Massa jenis (density) sebuah benda didefinisikan sebagai tingkat kerapatan

partikel-partikel penyusun zat tertentu atau biasanya didefinisikan sebagai massa

persatuan volume yang disimbolkan dengan  ( sebuah huruf kecil dari abjad

Yunani “rho”. Secara matematis dapat rumuskan

= (2.1)

Dengan m adalah massa benda dan V merupakan volumenya. Massa jenis

merupakan sifat khas dari suatu zat murni. Benda-benda yang terbuat dari unsur

murni, seperti tembaga, bisa memiliki berbagai ukuran atau massa tetapi memiliki

massa jenis yang sama untuk seluruhnya. Unsur yang berbeda akan mempunyai

massa jenis yang berbeda pula, misalkan massa jenis tembaga 8.920 kg/m 3

sedangkan massa jenis emas 19.300 kg/m3 (Tipler, 2005). Satuan SI dari massa

jenis adalah kg/m3 namun umumnya dinyatakan dalam g/cm3.

2. Tekanan pada Fluida

Tekanan didefinisikan sebagai gaya persatuan luas yang dialami suatu

benda, dimana gaya F dipahami bekerja tegak lurus terhadap permukaan A:

A
(2.2)

Sumber: dokumen penulis


47

Gambar 2.1 Tekanan Merupakan Gaya


tiap Satuan Luas
Satuan SI untuk tekanan adalah N/m2 atau disebut juga Pascal (Pa), untuk

menghormati Blaise Pascal, 1 Pa = 1 N/m2.

Konsep tekanan menjadi dasar untuk membahas tekanan pada fluida.

Fakta experimental menunjukkan bahwa fluida memberikan tekanan ke segala

arah. Salah satu faktanya adalah orang yang menyelam mengalami tekanan dari

air diseluruh bagian tubuhnya, tidak hanya dari atas atau dari bawah saja. Pada

sebuah titik dalam fluida, mendapatkan tekanan dari segala arah dengan sama

besar. Hal ini diilustrasikan pada Gambar 2.2.

Anggaplah sebuah

maka gaya gravitasinya dapat diabaikan dan

dapat dianggap sebagai sebuah titik. Tekanan

pada satu sisi harus sama dengan tekanan di sisi

yang lain. Jika ini tidak terjadi, maka resultan

gaya yang bekerja pada kubus tidak


Sumber: Sutrisno (1997)
samadengan nol sehingga benda akan mulai
Gambar 2.2 Besar Tekanan
dari Semua Arah bergerak. Jika fluida tidak mengalir, maka
Sama Besar
tekanan-tekanan harus sama. Sifat penting

lainnya dari fluida diam adalah bahwa gaya yang disebabkan oleh tekanan fluida

selalu bekerja tegak lurus terhadap permukaan yang bersentuhan dengannya.

Tekanan pada fluida lebih dikenal dengan istilah tekanan hidrostatis.

Untuk menghitung secara kuantitatif tekanan hidrostatis pada zat cair dengan
48

massa jenis serba sama berubah terhadap tekanan yaitu dengan ilustrasi Gambar

2.3 berikut.

dz
dx
dy

Sumber: Tippler (1998)


Gambar 2.3 Menghitung tekanan dalam zat cair

Tekanan P pada kubus tersebut adalah:

Gaya ke atas pada dasar kubus harus lebih besar daripada gaya ke bawah pada sisi

atas kubus untuk mengimbangi berat fluida dalam kubus. Jika tekanan pada sisi

atas = P dan pada sisi bawah = P + dP maka,

(P + dP) dx dz = P dx dz +gV

(P + dP) dx dz = P dx dz +g dx dy dz

Pdxdz + dPdxdz = P dx dz +g dx dy dz

dP dx dz = g dx dy dz

dP = g dy (2.3)

Jika P0 dan P adalah tekanan pada kedalaman y = 0 dan y di bawah

permukaan, maka integral persamaan (2.3) memberikan:

maka,
49

P = P0 +  g y (2.4)

P0 merupakan tekanan pada permukaan zat cair atau tekanan atmosfir sedangkan

yang dimaksud tekanan hidrostatis adalah suku kedua dari persamaan. Persamaan

(2.4) menunjukkan bahwa tekanan hidrostatis (Ph) dalam zat cair yang

kedalamannya y adalah sebesar

Ph =  g h (2.5)

h h h
A B C

Sumber: dokumen penulis


Gambar 2.4. Penentuan kedalaman zat
cair
Berdasarkan persamaan (2.5), besarnya tekanan hidrostatis bergantung

pada massa jenis zat cair, percepatan gravitasi dan kedalaman. Ada beberapa

faktor yang sering terjadi miskonsepsi pada siswa yaitu menentukan kedalaman

karena salah menentukan titik acuan. Pada Gambar 2.4, titik A, B dan C

mempunyai kedalaman yang sama sehingga mempunyai tekanan hidrostatis yang

sama, namun siswa menganggap kedalamannya berbeda. Faktor lain adalah

bentuk zat cair dan luas permukaan zat cair, siswa menganggap wadah yang lebih

luas akan mempunyai tekanan lebih besar.


50

3. Hukum Pascal

Atmosfir bumi memberikan tekanan pada sebuah benda yang bersentuhan

dengannya. Tekanan luar yang bekerja pada fluida disalurkan keseluruh bagian

fluida. Hukum Pascal menyatakan bahwa tekanan yang bekerja pada fluida di

dalam ruang tertutup akan diteruskan oleh fluida tersebut ke segala arah dengan

sama besar.

Sejumlah alat praktis menggunakan hukum Pascal, misalnya rem hidrolik

yang diilustrasikan pada Gambar 2.5. Pada kasus rem hidrolik tersebut, gaya

dorong kecil dapat menghasilkan gaya besar dengan membuat luas piston

keluaran lebih besar daripada luas piston masukan.

Sumber: www.otomotif.web.id

Gambar 2.5 Penerapan hukum Pascal pada rem hidrolik.

Untuk mempermudah pemahaman mengenai hukum Pascal maka

kita ilustrasikan terdapat dua buah piston yang saling berhubungan dan

memppunyai ketinggian sama seperti pada Gambar 2.6. Tekanan yang

diberikan pada piston pertama akan diteruskan oleh zat cair sampai pada

piston kedua. Besarnya tekanan pada piston pertama akan samadengan


51

besar tekanan pada piston kedua karena ketinggiannya sama. Secara

matematis dapat dituliskan:

(2.6)

F1 F2

A1 A2

Sumber: Sutrisno (1997)


Gambar 2.6 llustrasi piston yang
bekerja berdasarkan hukum Pascal

4. Hukum Archimedes

Sebuah benda yang dimasukkan ke dalam zat cair akan terasa lebih ringan

karena benda tersebut mengalami gaya angkat ke atas. Besarnya gaya angkat ke

atas sesuai dengan Hukum Archimedes yang berbunyi “Bila sebuah benda

diletakkan di dalam fluida, maka fluida tersebut akan memberikan gaya ke atas

(FA) pada benda tersebut sebesar berat zat cair yang dipindahkan (W c)”.

Besarnya berat zat cair yang dipindahkan sebanding dengan volume benda yang

masuk ke dalam zat cair.

FA = Wc

FA = mc. g
52

FA = c . Vc . g

Karena volume zat cair yang dipindahkan sama dengan volume benda yang

tercelup (Vbc), maka besar gaya angkat ke atas sebesar (Giancoli, 2001):

FA = c . Vbc . g (2.7)

Dimaaman c adalah massa jenis zat cair dan g adalah percepatan gravitasi.

Sebuah benda yang dimasukkan ke dalam zat cair ada tiga kemungkinan

keadaan akan dialami oleh benda: terapung, melayang dan tenggelam.

1. Tenggelam

Sebuah benda dikatakan tenggelam apabila benda tersebut menyentuh dasar

bejana yang berisi zat cair. Benda tenggelam karena besarnya gaya angkat ke atas

lebih kecil dari pada berat benda sehingga ketika benda dimasukkan ke zat cair

benda bergerak ke bawah hingga menyentuh dasar bejana.

Berat zat cair yang dipindahkan, Wc = mc . g


Wc = c . Vc . g
Karena volume zat cair yang dipindahkan sama dengan

volume benda, maka FA

Wc = c . Vb . g
W
Gaya ke atas yang dialami benda tersebut besarnya :
Sumber: Sutrisno (1997)
F A = c . V b . g Gambar 2.7 Gaya-gaya pada
benda tenggelam

Benda tenggelam maka :

FA < W

c . V b . g < b . V b . g
53

c < b (2.8)

Selisih antara W dan FA disebut Berat Semu (Ws)

Ws = W - FA (2.9)

2. Melayang
Sebuah benda dikatakan melayang apabila benda masuk ke dalam zat cair

seluruhnya dan tidak menyentuh dasar bejana. Benda dapat melayang di dalam zat

cair apabila ketika seluruh benda masuk dalam zat cair besarnya gaya ke atas

sama dengan berat benda sehingga terjadi kesetimbangan.

FA = W

c . Vb . g = b . Vb . g FA

c = b (2.10) W
Sumber: Sutrisno (1997)
Gambar 2.8 Gaya-gaya pada
benda melayang
3. Terapung

Sebuah benda dikatakan terapung apabila ada sebagian dari benda yang

muncul dipermukaan. Sebuah benda dapat terapung karena jika seluruh benda

masuk dalam zat cair maka gaya angkat ke atas lebih besar daripada berat benda

namun ketika benda sudah terapung resultan gayanya sama dengan nol.

Sebelum setimbang (seluruh benda masuk ke zat cair)


FA

FA > W
W
c . V b . g > b . V b . g

c > b (2.11)
Sumber: Sutrisno (1997)

Gambar 2.9 Gaya-gaya pada


benda melayang
54

G. Hasil penelitian yang relevan

Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan miskonsepsi siswa

dengan penerapan laboratorium mini dan inkuiri terbimbing adalah sebagai

berikut:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Maharta (2009) memperoleh bahwa rata-rata

siswa yang mengalami miskonsepsi terhadap konsep-konsep fisika sangat

tinggi yaitu sebesar 65%.

2. Penelitian Rusmiyati (1998) menyatakan bahwa hasil belajar siswa penerapan

laboratorium mini lebih baik dibandingkan hasil belajar siswa yang diajar

menggunakan pembelajaran langsung tanpa menggunakan Laboratorium mini.

3. Risqi (2001) menyatakan bahwa peembelajaran dengan inkuri terbimbing

dapat meningkatkan proporsi jawaban benar (THB produk, proses dan

psikomotor), serta melalui laboratorium mini siswa mampu dan terampil

dalam mengoperasikan alat-alat ukur.

4. Penelitian Ratunguri (2011) memperoleh hasil bahwa penerapan model

pembelajaran berorientasi konstruktivisme, konflik kognitif dan praktikum

dalam pembelajaran IPA dapat meningkatkan hasil belajar siswa atau dapat

mereduksi miskonsepsi siswa.

5. Wardani (2010) menyatakan bahwa miskonsepsi disebabkan oleh siswa tidak

menguasai konsep, siswa tidak menguasai konsep prasarat, buku pegangan

yang salah dan siswa mempunyai penafsiran sendiri berdasarkan pengalaman

yang siswa alami.


55

H. Kerangka Konseptual

Kenyataan: Ada sejumlah siswa kelas VIII Harapan: Siswa diharapkan memahami
SMPN 33 Surabaya yang mengalami konsep Sains (Fisika) secara mendalam dan
miskonsepsi pada bab tekanan pembelajaran diarahkan secara inkuiri

Bagaimana meremidiasi miskonsepsi bab tekanan yang terjadi


pada siswa siswa kelas VIII SMPN 33 Surabaya

Teori Pendukung Temuan Terdahulu


Berg (1991) menyatakan bahwa miskonsepsi bersifat Penelitian yang dilakukan oleh Nengah Maharta
laten atau sulit untuk dihilangkan dan sangat (2009) memperoleh bahwa rata-rata siswa yang
menggangu pemahaman siswa mengalami miskonsepsi terhadap konsep-
konsep fisika sangat tinggi yaitu sebesar 65%.
Daniel Lucky menyatakan kegiatan laboratorium mini
melibatkan para siswa dalam kegiatan Rusmiyati (1998) menyatakan hasil belajar siswa
pembelajaran dengan metode ilmiah sehingga penerapan laboratorium mini lebih baik
dapat digunakan untuk melatih kemampuan dibandingkan hasil belajar siswa yang diajar
berpikir kritis, sistematis dan bersikap ilmiah menggunakan pembelajaran langsung tanpa
menggunakan lab mini.
Teori konstruktivis menyatakan bahwa pengetahuan
datang dari tindakan, perkembangan kognitif Risqi (2001) menyatakan bahwa peembelajaran
sebagian besar bergantung pada seberapa jauh anak dengan inkuri terbimbing dapat meningkatkan
memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan proporsi jawaban benar (THB produk, proses
lingkungannya dan psikomotor), serta melalui laboratorium
Teori Piaget, Lev Vigotsky dan Bruner menyatakan mini siswa mampu dan terampil dalam
implementasi inkuiri memberikan kesempatan mengoperasikan alat-alat ukur.
berlatih mengembangkan berpikir, bersikap ilmiah
melalui proses pencarian dan penemuan fakta dan Penelitian Ratunguri (2011) memperoleh hasil
konsep, bekerjasama dalam membangun bahwa penerapan model pembelajaran
pemahaman dan ketrampilan melalui interaksi berorientasi konstruktivisme, konflik kognitif
dengan teman sejawat, guru dan sumber belajar dan praktikum dalam pembelajaran IPA dapat
lain meningkatkan hasil belajar siswa atau dapat
mereduksi miskonsepsi siswa.

Solusi
Mengembangkan perangkat pembelajaran berorientasi laboratorium mini dengan
model inkuiri terbimbing untuk meremidiasi miskonsepsi siswa pada materi tekanan

Anda mungkin juga menyukai