Anda di halaman 1dari 10

PAPER KOMUNIKASI ORGANISASI

EMOTION PROCESS IN THE WORKPLACE


PADA BADAN PUSAT STATISTIK (BPS) JAKARTA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Komunikasi Organisasi

Disusun oleh:
1. Ariel Fattah - 20216210059
2. Depa Sepriyani - 2020210103
3. Fatih Izuddien - 2020210065
4. Fransiska Nathasia – 2020219006
5. Hermanus – 2020210019
6. Khumil Laila – 2020210102
7. Rifqi Dias Mahendra – 2020210035
8. Rifqi Fathirrahman – 2020210019
9. Syahrul Bahri - 2020210003
10. Tanza Ayu Faradila – 2020210036

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI


PROGRAM STUDI KOMUNIKASI
UNIVERSITAS SAHID JAKARTA
TAHUN AJARAN 2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehidupan era globalisasi pada saat ini merupakan sebuah tantangan bagi karyawan
atau pegawai dalam melaksanakan tugasnya, banyak tugas dan tantangan yang harus
dilakukan dalam dunia kerja termasuk pengembangan sumber daya manusia yang
berkualitas untuk meraih dan mencapai prestasi kerja yang baik. Sumber daya manusia
mempunyai peranan penting dalam pencapaian tujuan organisasi dibandingkan faktor lain.
Tanpa sumberdaya manusia yang tangguh atau berkualitas maka sulit untuk mencapai
tujuan sesuai dengan rumusan yang ditetapkan dari awal. Keberhasilan organisasi sangat
tergantung pada kehandalan sumber daya dan pengelolaan serta pengembangannya.
Keberhasilan pengelolaan sumber daya manusia tak terlepas dari faktor perencanaan dan
pengembangan sumber daya manusia dimasa yang akan datang, salah satu program untuk
pengembangan sumber daya manusia adalah dengan mengembangkan kecerdasan
emosional (Emosional Entellegency). Perencanaan dan pengembangan kecerdasan
emosional sumber daya manusia yang optimal tidak terlepas dari peran serta diri sendiri
dalam pengembangan dan perencanaan sumber daya yang ada. Hal ini menujukkan bahwa
sangat penting karyawan memiliki kecerdasan emosional yang tinggi di tempat kerja,
karena keberhasilan antar pribadi yang berasal dari kecerdasan emosional akan menjadi
keterampilan yang paling penting.
Dunia kerja mempunyai berbagai masalah dan tantangan yang harus dihadapi oleh
karyawan, misalnya persaingan yang ketat, tuntutan tugas, suasana kerja yang tidak
nyaman dan masalah hubungan dengan orang lain. Masalah-masalah tersebut dalam dunia
kerja bukanlah suatu hal yang hanya membutuhkan kemampuan intelektualnya, tetapi
dalam menyelesaikan masalah tersebut kemampuan emosi atau kecerdasan emosi lebih
banyak diperlukan. Bila seseorang dapat menyelesaikan masalah-masalah di dunia kerja
yang berkaitan dengan emosinya maka dia akan menghasilkan kerja yang lebih baik.
Goleman, (2001) menyimpulkan bahwa “ prestasi kerja ditentukan hanya 20% dari dari IQ,
sedangkan 80% lagi ditentukan oleh kecerdasan emosi (Emotional Intelegency)”
Prestasi kerja atau kinerja karyawan akhir-akhir ini tidak hanya dilihat oleh faktor
intelektualnya saja tetapi juga ditentukan oleh faktor emosinya. Seseorang yang dapat
mengontrol emosinya dengan baik maka akan dapat menghasilkan kinerja (prestasi kerja)
yang baik pula. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Mayer (dalam Goleman,
2001) bahwa kecerdasan emosi merupakan faktor yang sama pentingnya dengan kombinasi
kemampuan teknis dan analisis untuk menghasilkan kinerja yang optimal. Salah satu aspek
dalam kecerdasan emosi adalah motivasi. Menurut Salovey dalam Goleman (2001:58)
bahwa memotivasi diri sendiri merupakan landasan keberhasilan dan terwujudnya kinerja
yang tinggi di segala bidang.
Kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai
oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2005:67). Berdasarkan pada tingkat kepentingannya
menurut Yuli (2005:90) prestasi kerja karyawan tercermin dari adanya:
1) peningkatan kemampuan karyawan dimana dalam hal ini prestasi kerja karyawan
tercermin dari kemampuan karyawan dalam memberikan pelayanan terbaik kepada
para pelanggan.
2) adanya kemampuan karyawan dalam mengidentifikasi faktor penghambat kinerja, dan
adanya kemampuan karyawan dalam memahami kebijakan strategis perusahaan
Emotional intelligence (kecerdasan emosional) yakni kemampuan untuk mengenali
perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan
kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan
orang lain (Goleman, 2001).
Emosi yang kuat biasanya menurunkan tingkat perfoma (prestasi kerja/kinerja).
Kematangan kondisi emosional seseorang biasanya dapat diketahui dalam bentuk
kecerdasan emosional atau emotional intelligence. Emotional Intelligence adalah
kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan
memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri
dan dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 2001)
Menurut Goleman, khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan
akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu
kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan
kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf
kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah.
Karena sifat-sifatdi atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan
emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit
bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan
kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya,
dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan
emosional yang tinggi. dimana kecerdasan emosional itu sendiri dibagi menjadi lima aspek
yakni kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
“Apakah ada hubungan emotion in the workplace pada Badan Pusat Statistik (BPS) Kota
Jakarta?”

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana emotion process in the workplace
akan memperoleh suatu pengetahuan baru sehingga dapat digunakan untuk memahami,
memecahkan, dan mengantisipasi masalah.
1. Menjelaskan mengenai emotion process in the workplace
2. Menjelaskan keterkaitan emotion process in the workplace dalam organisasi Badan Pusat
Statistik (BPS) Kota Jakarta?

1.4 Manfaat Penelitian


Dari penelitian ini diharapkan memperoleh manfaat baik secara teoritis maupun
manfaat secara praktis.
• Manfaat Teoritis
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa tambahan informasi dan
ilmu pengetahuan serta hasil penelitian khususnya di bidang komunikasi
organisasi
2. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai referensi. dan menambah
pengetahuan di bidang psikologi industri dan organisasi serta memberikan data
empirik untuk memperkuat teori yang ada mengenai Emotional Labor dan
Burnout pada karyawan pelayanan publik.
• Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai informasi bagi semua pihak mengenai
hubungan Emotional in the workplace pada Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Jakarta?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hasil Penelitian


Kebanyakan model kehidupan organisasi melihat tempat kerja sebagai pengatuan yang
diatur oleh logika dan rasionalitas. Menurut model ini, pekerjaan terdiri dari tugas dan
fungsi kognitif yang diperlukan untuk tugas-tugas. Para pekerja melatih logika dan
mekanisme bagaima melakukan pekerjaan mereka. Konflik dan perubahan dikelola dengan
berpikir logis tentang apa yang terbaik bagi perusahaan dan karyawan. Ketika membuat
keputusan, kita harus hati-hati mempertimbangkan pro dan kontra dari setiap keputusan
dan dalam membuat pilihan yang logis yang akan memaksimalkan keuntungan dan
meminimalkan kerugian.
Pada akhirnya, teori ini mendorong kita untuk mulai memandang kehidupan emosional
sebagai fokus utama penelitain organisasi untuk mempertimbangkan cara-cara yang
memperlihatkan emosi, yang dapat mengakibatkn cara-cara baru untuk memahami tempat
kerja.
Interaksi dengan klien merupakan aspek penting dari pekerjaan. Dalam hal ini,
komunikasi antara karyawan dan klien melibatkan beberapa derajat konten emosional atau
afektif. Arlie Hochschild menggunakan istilah tenaga kerja emosionaluntuk mengacu pada
pekerjaan dimana pekerja diharapkan untuk menampilkan perasaan tertentu dalam rangka
memenuhi harapan organisasi.
Karakteristik tentang tenaga kerja emosional:
• Pekerja layanan di garis depan dalam organisasi yang membayar emosi dalam
pelayanan pelanggan. Dengan demikian, tenaga kerja emosional dipandang sebagai
cara untuk meningkatkan keberhasilan dan keuntungan-organisasi.
• Emosi secara eksplisit dan manual dikendalikan melalui pelatihan oleh karyawan
• Emosional yang diciptakan melalui akting tanpa menunjukkan otentik emosi saat ini.
• Ketika buruh memberlakukan tenaga kerja emosional, mereka sangat menyadari
bahwa mereka bertindak untuk tujuan manajerial dan (kadang-kadang) keuntungan
pribadi.
Ada beberapa aspek hubungan kerja yang menciptakan potensi emosi yang kuat dalam
organisasi, yaitu:
• The tension between the public and private in work relationships
• Relational networks and emotional “buzzing”
• Conflicting allegiances
• Emotional rights and obligations at work
Emosi adalah bagian sentral dari kehidupan organisasi baik dalam hal interaksi dengan
pelanggan atau klien dan dalam hal interaksi dengan anggota lain dari organisasi.Beberapa
ahli mencoba memahami aturan-aturan emosi untuk tampilan emosional di tempat kerja
dan dengan memahami peran yang mungkin memainkan kecerdasan emosional di berbagai
tempat kerja interaksi.

Pertimbangan stress dan burnout serta peran komunikasi sebagai penyebab dan
mengatasi masalah komunikasi dengan critical workplace emotions. Proses stress
digambarkan sebagai proses dimana beberapa aspeknya yaitu lingkungan stress,
menciptakan ketegangan pada individu (burnout) yang dapat menyebabkan pengaruh
negatif pada psikologis, fisiologis, dan hasil organisasi. Burnout pertama kali diciptakan
oleh Freudenberger (1974).Burnout adalah kondisi kronis yang dihasilkan dalam
keseharian di lingkungan kerja; yang menjadi korban adalah para karyawan.
Maslach melihat burnout terdiri dari tiga dimensi yang saling terkait:
• Emotional Exhaustion:
• Lack of Personal Accomplishment:
• Depersonalization
Stress dalam beban kerja dapat berasal dari berbagai sumber organisasi. Konflik peran
dan ambiguitas berperan penting bagi stressor di tempat kerja. Konflik peran melibatkan
dua atau lebih peran yang bentrok satu sama lain, dan ambiguitas peran terjadi ketika ada
ketidakpastian tentang penentuan peran (Matteson & Ivancevich, 1982). Kejenuhan juga
dapat dihasilkan dari stres di luar tempat kerja.

Burnout memiliki efek seperti fisiologis, sikap, dan organisasi. Secara fisiologis,
burnout telah dikaitkan dengan berbagai penyakit seperti penyakit jantung koroner (House
& Cottington, 1986) dan tekanan darah tinggi (Fox, Dwyer & Ganster, 1993). Peneliti
lainnya telah menyelidiki hasil sikap dari kejenuhan. Sebagai contoh, para peneliti
menyelidiki berbagai pekerjaan dan pekerja yang berkaitan dengan tingkat kejenuhannya
memberi dampak untuk kepuasan kerja (Miller, Ellis, Zook & Lyles, 1990). Demikian pula,
pekerja yang jenuh seringkali memiliki tingkat komitmen yang rendah karena mereka
menjadi kecewa dengan organisasi atau pekerjaannya.
Ada banyak alasan dimana komunikasi menjadi penyebab terjadinya burnout dalam
organisasi. Beban kerja, konflik peran, dan ambiguitas peran dapat berfungsi sebagai
stressor dan menyebabkan burnout.
2.2 Keterkaitan Emotion Process in The Workplace terhadap Organisasi
Pengorganisasian merupakan suatu bentuk usaha pemberian keteraturan, yaitu suatu
usaha untuk mengontrol agar tercapai keteraturan. Apabila kontrol merupakan tujuan
dalam pengorganisasian maka factor emosi akan menjadi masalah, karena emosi
merupakan “mahluk” yang sulit dikontrol (Rafaeli and Worline, 2001).
Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan maka perubahan organisasi selalu
bersifat menyeluruh (organization-wide) sehingga perubahan tersebut bukan merupakan
suatu perubahan yang bersifat piece meal namun mengarah pada penggunaan cara maupun
system (termasuk struktur organisasi) yang lebih efisien dalam menjalankan organisasi agar
dapat bertahan dan berkembang sejalan dengan perubahan dan perkembangan lingkungan.
Perubahan organisasi dan pengelolaan perubahan (Organizational Change and Change
Management) merupakan kajian yang menarik dalam masa-masa sekarang ini.
Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa pegawai BPS Kota Jakarta
memiliki tingkat emotional process yang baik dan menunjukkan bahwa pegawai tidak
merasa terbebani dengan pekerjaannya, sehingga memiliki pandangan yang positif
terhadap lingkungan pekerjaan dan terlibat secara penuh saat menyelesaikan tugas-tugas
yang diberikan, serta yakin terhadap kemampuan yang dimiliki.
Salah satu faktor internal yang membantu tingkat emotional process yang baik pada
pegawai adalah emotional labor. Hal tersebut selaras dengan arah persamaan garis regresi
yang menyatakan bahwa penambahan satu skor variabel emotional labor maka emotional
process akan teroganisir dengan baik.
Pegawai dengan tingkat kecerdasan emosional yang baik mengindikasikan bahwa
individu mampu mengatasi segala tuntutan yang ada di tempat kerja sehingga berperan
terhadap peningkatan kinerja pegawai (Fajriani dan Septiari, 2015). Selain itu, individu
dengan emotional labor tinggi mampu mengelola situasi-situasi sulit yang dihadapi ketika
berinteraksi dengan reponden sehingga akan merasa puas dalam bekerja (Gabriel dan
Diefendorff , 2015).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Keunggulan kompetitif suatu perusahaan/organisasi dapat dibentuk dengan berbagai
cara, salah satunya dengan keunggulan sumber daya manusia yang efektif. Salah satu
upaya pendayagunaan sumber daya manusia yang berkinerja tinggi adalah meningkatkan
kecerdasan emosional SDMnya.
Kecerdasan emosional merupakan bagian dari kepribadian yang turut mempengaruhi
kemampuan seseorang termasuk perilaku seseorang saat bekerja pada suatu organisasi.
Tidak dapat dihindari baik dalam kadar yang besar maupun kecil, tekanan-tekanan dalam
dunia kerja selalu ada baik tekanan yang berasal dari individu karyawan itu sendiri,
pekerjaan yang dihadapi, rekan kerja, pimpinan, dan tekanan lingkungan lainnya. Dengan
adanya kecerdasan emosional yang tinggi atau positif dalam dunia kerja, membuat
seorang karyawan mampu menempatkan emosinya pada porsi yang tepat saat menjalani
tugas yang dibebankan serta saat berinteraksi dengan rekan kerjanya. Rekan kerja disini
bisa antara sesama bawahan, pimpinan terhadap bawahan, maupun bawahan terhadap
pimpinan. Dengan mengenali emosi diri (Self Awareness), karyawan dapat mengetahui
kelebihan dan kelemahan emosi diri sendiri sehingga tidak mengganggu hubungan
dengan rekan kerja. Dengan demikian dapat terjalin hubungan yang harnonis dengan
rekan kerja. Selain itu, dengan mengelola emosi diri (Self Management) dan mengenal
emosi orang lain/rekan kerja (Social Awareness) seperti tidak egois, perduli/peka dengan
permasalahan rekan kerja terutama berkaitan dengan permasalahan pekerjaan, tidak
mudah menyalahkan rekan kerja dan tetap bersikap tenang tetapi mampu pula
mengungkapkan keprihatinan dalam menghadapi permasalahan pekerjaan maupun
permasalahan dengan rekan kerja tanpa rasa marah maupun berdiam diri, serta mampu
menunda pemuasan kesenangan pribadi demi mencapai sasaran besar dalam bekerja
seperti pulang lebih cepat, sengaja bekerja lambat, mencuri, dll. Sedangkan dengan
adanya kemampuan dalam diri karyawan sendiri untuk membina hubungan (Social Skill),
karyawan dapat bekerja sama dan berkomunikasi dengan baik dengan rekan kerja.
Kecerdasan emosional dapat dipelajari, tetapi bukan sebagai hasil dari pelatihan yang
berorientasi pengetahuan dalam situasi ruang kelas. Peningkatan yang signifikan dalam
kecerdasan emosional mungkin membutuhkan pelatihan individual yang intensif, umpan
balik yang relevan, dan keinginan kuat untuk pengembangan pribadi yang cukup besar.
Karyawan yang kepribadian yang dewasa akan mampu melakukan hubungan
interpersonal yang sehat dan efektif. Individu yang berkpribadian tersebut merupakan
individu yang memiliki kepribadian yang sehat, orientai dirinya tertuju dan terarah untuk
kepentingan organisasi dan orang banyak, memiliki sikap objektif dan mawas diri,
memiliki falsafah dan pedoman hidup yang jelas berdasarkan kitab suci agama yang
diyakininya, sehingga individu tersebut mampu megendalikan dirinya dalam menghadapi
situasi apapun dalam organisasinya. Individu yang berkepribadian yang dewasa tersebut
memiliki sikap mental positif berpola hidup logis yang terarah dan tertuju tidak hanya
kepentingan dunia semata-mata tetapi justru untuk mendapatkan keridhoan Tuhannya.
Individu tersebut tidak hanya menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja organisasinya,
tetapi ia berusaha keras menciptakan situasi lingkungan yang kondusif agar ia mampu
berinovasi dan berkreatiivitas agar menjadi individu yang yang tidak saja bermanfaat bagi
dirinya tapi juga bagi organisasinya. Loyalitas dan komitmen pada organisasi pun
tertanam dalam dirinya. Oleh karena itu, pimpinan organisasi perlu melakukan program
pembinaan mental secara rutin dan berkala agar setiap individu dalam organisasinya
memiliki kepribadian yang dewasa secara mental, sehingga hubungan interpersonal
dalam organisasi dapat dilakukan secara efektif. Dengan demikian akan tercipta karyawan
yang memiliki integritas tinggi yang mampu bersaing sehingga mampu membawa
kemenangan bagi organisasinya di era yang komparatif dan kompetitif ini. Tetapi perlu
diperhatikan bahwa program-program atau pelatihan-pelatihan pembinaan mental atau
kepribadian harus dilakukansecara berulang-ulang dan intensif yang berkesinambungan
dan didasari oleh suatu kesadaran diri sehingga menjadi suatu kebiasaan dan kemudian
berubah menjadi suatu karakter seperti yang diharapkan.

3.2 Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan peneliti adalah meningkatkan semangat dalam diri
individu ketika menyelesaikan pekerjaan dengan tuntutan kerja yang tinggi. Selain itu,
menjalin hubungan baik dengan rekan kerja dan responden yang diwujudkan dengan
saling memberikan dukungan dalam bekerja, serta menumbuhkan keyakinan untuk dapat
berprestasi dalam bekerja dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang dapat
mengembangkan potensi sesuai bidang kerja seperti pengelolaan waktu. Pelatihan
pengelolaan waktu dapat membantu pegawai menentukan prioritas dalam mencapai target
pekerjaan.

Anda mungkin juga menyukai