Disusun oleh:
1. Ariel Fattah - 20216210059
2. Depa Sepriyani - 2020210103
3. Fatih Izuddien - 2020210065
4. Fransiska Nathasia – 2020219006
5. Hermanus – 2020210019
6. Khumil Laila – 2020210102
7. Rifqi Dias Mahendra – 2020210035
8. Rifqi Fathirrahman – 2020210019
9. Syahrul Bahri - 2020210003
10. Tanza Ayu Faradila – 2020210036
Pertimbangan stress dan burnout serta peran komunikasi sebagai penyebab dan
mengatasi masalah komunikasi dengan critical workplace emotions. Proses stress
digambarkan sebagai proses dimana beberapa aspeknya yaitu lingkungan stress,
menciptakan ketegangan pada individu (burnout) yang dapat menyebabkan pengaruh
negatif pada psikologis, fisiologis, dan hasil organisasi. Burnout pertama kali diciptakan
oleh Freudenberger (1974).Burnout adalah kondisi kronis yang dihasilkan dalam
keseharian di lingkungan kerja; yang menjadi korban adalah para karyawan.
Maslach melihat burnout terdiri dari tiga dimensi yang saling terkait:
• Emotional Exhaustion:
• Lack of Personal Accomplishment:
• Depersonalization
Stress dalam beban kerja dapat berasal dari berbagai sumber organisasi. Konflik peran
dan ambiguitas berperan penting bagi stressor di tempat kerja. Konflik peran melibatkan
dua atau lebih peran yang bentrok satu sama lain, dan ambiguitas peran terjadi ketika ada
ketidakpastian tentang penentuan peran (Matteson & Ivancevich, 1982). Kejenuhan juga
dapat dihasilkan dari stres di luar tempat kerja.
Burnout memiliki efek seperti fisiologis, sikap, dan organisasi. Secara fisiologis,
burnout telah dikaitkan dengan berbagai penyakit seperti penyakit jantung koroner (House
& Cottington, 1986) dan tekanan darah tinggi (Fox, Dwyer & Ganster, 1993). Peneliti
lainnya telah menyelidiki hasil sikap dari kejenuhan. Sebagai contoh, para peneliti
menyelidiki berbagai pekerjaan dan pekerja yang berkaitan dengan tingkat kejenuhannya
memberi dampak untuk kepuasan kerja (Miller, Ellis, Zook & Lyles, 1990). Demikian pula,
pekerja yang jenuh seringkali memiliki tingkat komitmen yang rendah karena mereka
menjadi kecewa dengan organisasi atau pekerjaannya.
Ada banyak alasan dimana komunikasi menjadi penyebab terjadinya burnout dalam
organisasi. Beban kerja, konflik peran, dan ambiguitas peran dapat berfungsi sebagai
stressor dan menyebabkan burnout.
2.2 Keterkaitan Emotion Process in The Workplace terhadap Organisasi
Pengorganisasian merupakan suatu bentuk usaha pemberian keteraturan, yaitu suatu
usaha untuk mengontrol agar tercapai keteraturan. Apabila kontrol merupakan tujuan
dalam pengorganisasian maka factor emosi akan menjadi masalah, karena emosi
merupakan “mahluk” yang sulit dikontrol (Rafaeli and Worline, 2001).
Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan maka perubahan organisasi selalu
bersifat menyeluruh (organization-wide) sehingga perubahan tersebut bukan merupakan
suatu perubahan yang bersifat piece meal namun mengarah pada penggunaan cara maupun
system (termasuk struktur organisasi) yang lebih efisien dalam menjalankan organisasi agar
dapat bertahan dan berkembang sejalan dengan perubahan dan perkembangan lingkungan.
Perubahan organisasi dan pengelolaan perubahan (Organizational Change and Change
Management) merupakan kajian yang menarik dalam masa-masa sekarang ini.
Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa pegawai BPS Kota Jakarta
memiliki tingkat emotional process yang baik dan menunjukkan bahwa pegawai tidak
merasa terbebani dengan pekerjaannya, sehingga memiliki pandangan yang positif
terhadap lingkungan pekerjaan dan terlibat secara penuh saat menyelesaikan tugas-tugas
yang diberikan, serta yakin terhadap kemampuan yang dimiliki.
Salah satu faktor internal yang membantu tingkat emotional process yang baik pada
pegawai adalah emotional labor. Hal tersebut selaras dengan arah persamaan garis regresi
yang menyatakan bahwa penambahan satu skor variabel emotional labor maka emotional
process akan teroganisir dengan baik.
Pegawai dengan tingkat kecerdasan emosional yang baik mengindikasikan bahwa
individu mampu mengatasi segala tuntutan yang ada di tempat kerja sehingga berperan
terhadap peningkatan kinerja pegawai (Fajriani dan Septiari, 2015). Selain itu, individu
dengan emotional labor tinggi mampu mengelola situasi-situasi sulit yang dihadapi ketika
berinteraksi dengan reponden sehingga akan merasa puas dalam bekerja (Gabriel dan
Diefendorff , 2015).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keunggulan kompetitif suatu perusahaan/organisasi dapat dibentuk dengan berbagai
cara, salah satunya dengan keunggulan sumber daya manusia yang efektif. Salah satu
upaya pendayagunaan sumber daya manusia yang berkinerja tinggi adalah meningkatkan
kecerdasan emosional SDMnya.
Kecerdasan emosional merupakan bagian dari kepribadian yang turut mempengaruhi
kemampuan seseorang termasuk perilaku seseorang saat bekerja pada suatu organisasi.
Tidak dapat dihindari baik dalam kadar yang besar maupun kecil, tekanan-tekanan dalam
dunia kerja selalu ada baik tekanan yang berasal dari individu karyawan itu sendiri,
pekerjaan yang dihadapi, rekan kerja, pimpinan, dan tekanan lingkungan lainnya. Dengan
adanya kecerdasan emosional yang tinggi atau positif dalam dunia kerja, membuat
seorang karyawan mampu menempatkan emosinya pada porsi yang tepat saat menjalani
tugas yang dibebankan serta saat berinteraksi dengan rekan kerjanya. Rekan kerja disini
bisa antara sesama bawahan, pimpinan terhadap bawahan, maupun bawahan terhadap
pimpinan. Dengan mengenali emosi diri (Self Awareness), karyawan dapat mengetahui
kelebihan dan kelemahan emosi diri sendiri sehingga tidak mengganggu hubungan
dengan rekan kerja. Dengan demikian dapat terjalin hubungan yang harnonis dengan
rekan kerja. Selain itu, dengan mengelola emosi diri (Self Management) dan mengenal
emosi orang lain/rekan kerja (Social Awareness) seperti tidak egois, perduli/peka dengan
permasalahan rekan kerja terutama berkaitan dengan permasalahan pekerjaan, tidak
mudah menyalahkan rekan kerja dan tetap bersikap tenang tetapi mampu pula
mengungkapkan keprihatinan dalam menghadapi permasalahan pekerjaan maupun
permasalahan dengan rekan kerja tanpa rasa marah maupun berdiam diri, serta mampu
menunda pemuasan kesenangan pribadi demi mencapai sasaran besar dalam bekerja
seperti pulang lebih cepat, sengaja bekerja lambat, mencuri, dll. Sedangkan dengan
adanya kemampuan dalam diri karyawan sendiri untuk membina hubungan (Social Skill),
karyawan dapat bekerja sama dan berkomunikasi dengan baik dengan rekan kerja.
Kecerdasan emosional dapat dipelajari, tetapi bukan sebagai hasil dari pelatihan yang
berorientasi pengetahuan dalam situasi ruang kelas. Peningkatan yang signifikan dalam
kecerdasan emosional mungkin membutuhkan pelatihan individual yang intensif, umpan
balik yang relevan, dan keinginan kuat untuk pengembangan pribadi yang cukup besar.
Karyawan yang kepribadian yang dewasa akan mampu melakukan hubungan
interpersonal yang sehat dan efektif. Individu yang berkpribadian tersebut merupakan
individu yang memiliki kepribadian yang sehat, orientai dirinya tertuju dan terarah untuk
kepentingan organisasi dan orang banyak, memiliki sikap objektif dan mawas diri,
memiliki falsafah dan pedoman hidup yang jelas berdasarkan kitab suci agama yang
diyakininya, sehingga individu tersebut mampu megendalikan dirinya dalam menghadapi
situasi apapun dalam organisasinya. Individu yang berkepribadian yang dewasa tersebut
memiliki sikap mental positif berpola hidup logis yang terarah dan tertuju tidak hanya
kepentingan dunia semata-mata tetapi justru untuk mendapatkan keridhoan Tuhannya.
Individu tersebut tidak hanya menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja organisasinya,
tetapi ia berusaha keras menciptakan situasi lingkungan yang kondusif agar ia mampu
berinovasi dan berkreatiivitas agar menjadi individu yang yang tidak saja bermanfaat bagi
dirinya tapi juga bagi organisasinya. Loyalitas dan komitmen pada organisasi pun
tertanam dalam dirinya. Oleh karena itu, pimpinan organisasi perlu melakukan program
pembinaan mental secara rutin dan berkala agar setiap individu dalam organisasinya
memiliki kepribadian yang dewasa secara mental, sehingga hubungan interpersonal
dalam organisasi dapat dilakukan secara efektif. Dengan demikian akan tercipta karyawan
yang memiliki integritas tinggi yang mampu bersaing sehingga mampu membawa
kemenangan bagi organisasinya di era yang komparatif dan kompetitif ini. Tetapi perlu
diperhatikan bahwa program-program atau pelatihan-pelatihan pembinaan mental atau
kepribadian harus dilakukansecara berulang-ulang dan intensif yang berkesinambungan
dan didasari oleh suatu kesadaran diri sehingga menjadi suatu kebiasaan dan kemudian
berubah menjadi suatu karakter seperti yang diharapkan.
3.2 Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan peneliti adalah meningkatkan semangat dalam diri
individu ketika menyelesaikan pekerjaan dengan tuntutan kerja yang tinggi. Selain itu,
menjalin hubungan baik dengan rekan kerja dan responden yang diwujudkan dengan
saling memberikan dukungan dalam bekerja, serta menumbuhkan keyakinan untuk dapat
berprestasi dalam bekerja dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang dapat
mengembangkan potensi sesuai bidang kerja seperti pengelolaan waktu. Pelatihan
pengelolaan waktu dapat membantu pegawai menentukan prioritas dalam mencapai target
pekerjaan.