Anda di halaman 1dari 10

1.

Tatalaksana STEMI
a. Perawatan gawat darurat
Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak pertama tim medis
dengan pasien, baik untuk diagnosis hingga penatalaksanaan awal.
Diagnosis STEMI dapat berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan EKG saja. Nyeri dada tipikal (typical chest pain) merupakan anamnesis
utama yang diutarakan oleh pasien. Nyeri dada tipikal meliputi nyeri dada
kiri yang berlangsung 20 menit atau lebih, tidak membaik dengan istirahat,
nyeri yang menajalar ke tangan kiri atau ke rahang bawah yang disertai
dengan keringat dingin, mual, atau muntah. Pemeriksaan fisik digunakan
menyingkirkan penyebab nyeri dada lainnya seperti trauma, kelainan
neurologis, kelainan paru, atau penyebab metabolik lainnya. EKG
merupakan modalitas awal yang sangat penting untuk menegakkan
diagnosis STEMI. Gambaran EKG dengan elevasi segmen ST merupakan
tanda pasti pada pasien STEMI. Pasien dengan keluhan nyeri dada harus
sudah dilakukan pemeriksaan EKG < 10 menit sejak kontak pertama medis.
(PERKI, 2018)
Terapi definitif untuk pasien STEMI berupa terapi reperfusi. Tedapat
2 metode terapi reperfusi yakni IKP (intervensi koroner perkutan) atau
fibrinolitik. Terapi fibrinolisis harus diberikan sebelum < 30 menit dari
kontak medis pertama. Jika terdapat fasilitas IKP, maka terapi IKP harus
diberikan sebelum < 90 menit sejak kontak medis pertama. IKP merupakan
gold standard untuk pasien STEMI. Namun tidak semua rumah sakit
memiliki fasilitas IKP emergensi. Sehingga kebanyak rumah sakit atau
fasilitas kesehatan lainnya lebih sering memberikan terapi fibrinolisis
terlebih dahulu sebelum merujuk ke rumah sakit yang lebih tinggi. Semua
rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang kontak pertama dengan pasien
STEMI harus mencatat dan mengawasi segala penundaan pemberian terapi
reperfusi. Hal ini bertujuan untuk mencapai timing target terapi yang
optimal. (PERKI, 2018)
b. Terapi reperfusi
Terdapat 2 jenis terapi reperfusi untuk kasus STEMI yakni terapi IKP
dan terapi fibrinolitik. Terapi IKP atau PCI (percutaneous coronary
intervention) merupakan tindakan invasif minimal yang bertujuan untuk
melonggarkan arteri koroner yang mengalami obstruksi oleh trombus yang
terbentuk. (PERKI, 2018)
 Metode IKP
Metode IKP merupakan tindakan definitif untuk seluruh kasus
penyakit jantung koroner. Berdasarkan waktu dilakukannya IKP terbagi
menjadi 2 jenis yakni primary PCI dan rescue PCI. Primary PCI
merupakan IKP emergensi yang dikerjakan pada arteri yang infark tanpa
terapi fibrinolitik sebelumnya. Sedangkan rescue PCI merupakan IKP
emergensi yang dikerjakan sesegera mungkin jika terapi fibrinolitik gagal.
IKP dapat dikerjakan dengan indikasi:
1. Seluruh kasus STEMI
2. Kasus NSTEMI yang disertai angina refrakter, tanda-tanda gagal
jantung, hemodinamik tidak stabil dan ventricular tachicardy atau
ventricular fibrilation yang persisten
3. UAP (unstable angina pectoris)
4. Stable angina
5. Angina equivalent
(Ahmad, et al, 2021)
Sedangkan untuk kontraindikasi dilakukannya IKP adalah:
1. Risiko perdarahan tinggi
2. Multiple PCI restenosis
3. Intoleransi terhadap pemberian dual antiplatelet dalam jangka panjang
4. Koagulopati
5. CKD stage lanjut
6. Stenosis < 50 %
7. Obstruksi LM tanpa adanya bypass graft atau aliran darah dari arteri
koroner lainnya.
(Ahmad, et al, 2021)
Sebelum dilakukan PCI, pasien dipersiapkan terlebih dahulu. Pasien
diberikan dual antiplatelet therapy (DAPT) yang bertujuan untuk
menghambat pembentukan thrombus yang lebih cepat saat dilakukan PCI.
Hal ini dikarenakan saat PCI dilakukan, sebuah kateter kecil dimasukkan ke
dalam arteri hingga mencapai arteri koroner yang dituju, sehingga terjadi
pembentukan thrombus yang tidak diinginkan sangat tinggi. Pembentukan
thrombus akibat PCI dapat meningkatkan mortalitas pasien PJK. (Baig &
Bodle, 2021)

Tabel 1. Dosis ko-terapi antiplatelet dan antikoagulan pada pasien yang akan menjalani
IKP
Pada metode IKP sebuah kateter kecil yang fleksibel akan dimasukkan
ke arteri femoralis atau arteri radialis dan akan menelusuri hingga mencapai
aorta dan selanjutnya akan masuk ke left main coronary arteries (LM) atau
ke right coronary arteries (RCA) bergantung dimana letak thrombus.
Selanjutnya jika sudah sampai di lokasi thrombus sebuah struktur kecil yang
terbuat dari metal (stent) akan dimasukkan dan direngganggkan untuk
memlonggarkan arteri koroner yang mengalami obstruksi. Selanjutnya stent
akan ditinggalkan di dalam arteri koroner tersebut untuk mencegah
terjadinya pembentukan thrombus berulang di lokasi yang sama. (Baig &
Bodle, 2021)
 Metode fibrinolitik
Terapi reperfusi dengan fibrinolitik bertujuan untuk melisiskan
thrombus yang terbentuk pada arteri koroner dengan agen fibrinolitik
seperti streptokinase, alteplase, reteplase, dan tenecteplase. Agen
fibrinolitik memiliki mekanisme kerja yang mirip yakni dengan
mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Plasmin merupakan protease
yang dapat mendegradasi fibrin yang terbentuk oleh agregasi platelet.
Degradasi dari fibrin yang terbentuk akan memecah thrombus yang
mengobstruksi arteri, yang pada kasus STEMI adalah arteri koroner.
(PERKI, 2018)
Selain pemberian agen fibrinolitik, pasien dengan STEMI juga
diberikan ko-terapi antikoagulan dan ko-terapi antiplatelet. Antikoagulan
direkomendasikan pada pasien STEMI yang menjalani terapi reperfusi
fibrinolitik sampai revaskulerisasi (jika dilakukan) atau selama dirawat
dirumah sakit. Ko-terapi antikoagulan diberikan maksimal selama 8 hari.
Ko-terapi antiplatelet yang direkomendasikan adalah pemberian aspirin
oral. Clopidogrel oral dapat diberikan pada pasien STEMI dengan indikasi
sebagai tambahan untuk aspirin. (PERKI, 2018)
Tabel 2. Dosis agen fibrinolitik dan ko-terapi fibrinolitik

Tabel 3. Kontraindikasi pemberian agen fibrinolitik


c. Terapi jangka panjang
PJK merupakan sebuah penyakit kronis dengan risiko relaps yang tinggi.
Oleh karena itu diperlukan berbagai intervensi untuk menurunakan angka
morbiditas dan mortalitas pasien STEMI. Terapi jangka panjang meliputi:
1. Mengendalikan faktor resiko
2. Terapi antiplatelet dosis rendah diindikasikan tanpa henti
3. DAPT hingga 12 bulan setelah serangan STEMI
4. Pemberian beta blocker oral untuk pasien dengan disfungsi ventrikel
5. Pemberian statin dosis tinggi
(PERKI, 2018)
2. Pencegahan PJK
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyakit kronis yang timbul akibat
berbagai macam faktor risiko metabolik. Pencegahan pada kasus PJK bertujuan
untuk mengurangi angka morbiditas dan angka mortalitas bahkan setelah
dilakukannya intervensi. Pencegahan PJK meliputi:
1. Perubahan lifestyle seperti kebiasaan merokok, minum alkohol,
begadang, dan faktor risiko lainnya.
2. Pengurangan berat badan bertujuan untuk mengurangi beban kerja
jantung sehingga asupan oksigen yang dibutuhkan oleh jantung juga
ikut berkurang.
3. Meningkatkan aktivitas fisik bertujuan untuk membuat jantung menjadi
lebih kuat dalam menjalani aktivitas.
4. Diet sehat merupakan faktor penting dalam pencegahan PJK seperti diet
kolesterol dan garam untuk mengkontrol kadar kolesterol dalam tubuh
dan tekanan darah.
(Fitchett, et al, 2016)

Daftar Pustaka

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2018. Pedoman


Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Edisi Keempat. Jakarta: Indonesia Heart
Association
Ahmad, M. Mehta, P., Reddivari, A. K. R., Mungee, S., 2021. Percutaneous
Coronary Intervention. Statpearls [internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK556123/

Fitchett, D. H., Goodman, S. G., Leiter, L. A., Lin, P., Welsh, R., Stone, J.,
Gregoire, J., et al. 2016. Secondary Prevention Beyond Hospital Discharge for
ACS: Evidence-based Recomendation. Canadian Journal of Cardiology. doi:
10.1016/j.cjca.2016.03.002.

SOAP
S Perempuan/59 tahun
Keluhan utama: nyeri dada kiri
RPS:
 Nyeri dada sejak 5 ½ jam SMRS yang dirasakan terus menerus (>20
menit) dan timbul setelah bekerja mulai dari pagi hingga siang hari.
Nyeri tidak berkurang walaupun pasien beristirahat. Pasien mengaku
nyeri dirasakan seperti ditusuk dan terasa panas dominan di area tengah
dada yang menjalar hingga ke punggung, namun tidak ada penjalaran ke
lengan kanan maupun kiri. Pasien menyebutkan skor nyeri saat keluhan
muncul yaitu 9/10. Pasien juga menyebutkan keluhan disertai dengan
nyeri ulu hati, mual dan muntah yang berisi makanan dalam jumlah
banyak, keringat dingin yang banyak, kemudian pasien tidak sadarkan
diri selama sekitar 1 jam sesaat setelah timbul gejala.
 Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan nyeri dada seperti
yang dirasakan saat ini. Pasien belum mengonsumsi obat-obatan sejak
keluhan muncul saat datang ke RS.
RPD: Hipertensi sejak 1 tahun yang lalu (uncontrolled), DM sejak 3 tahun
yang lalu (controlled)
Riwayat pengobatan: Glibenclamide, obat anti hipertensi (tidak rutin
minum)
Riwayat kebiasaan: konsumsi tinggi kolesterol dan garam
O Vital sign
GCS 456
BP: 129/69 mmHg
N: 55 x/m, reguler, kuat
RR: 20 x/m
Suhu: 36.5oC
SPO2: 99 % on room air
TB: 150 cm
BB: 45 kg
BMI: 20 kg/m2 (normoweight)
Status Lokalis
Kepala/Leher: Anemis (-), Ikterik (-), Sianosis(-), Sesak(-), coated tongue
(-), lesi mukosa oral (-), pembesaran KGB(-), mukosa bibir lembab (+),
pembesaran KGB (-), JVP 5+2 CmH2O, Distensi vena jugular (-), bruit (-)
Thorax:
Pulmo Inspeksi dbn
Perkusi Anterior Posterior
D S D S
S S S S
S S S S
S S S S
Auskultasi
Vesikuler
Anterior Posterior
D S D S
+ + + +
+ + + +
+ + + +
Rhonki
Anterior Posterior
D S D S
- - - -
- - - -
- - - -
Wheezing
Anterior Posterior
D S D S
- - - -
- - - -
- - - -
Cor Inspeksi Iktus Cordis Invisible
Palpasi Iktus cordis ICS 5 MCL
Perkusi Dextra : ICS 4 PSL
Sinistra : ICS 5 AAL
Auskultasi S1 S2 Tunggal regular
Murmur(-), Gallop(-)

Abdomen: Soefl, BU (+) Normal 10-12 x/menit, nyeri tekan superfisial


dan dalam (-)
Hepar : dbn, perkusi diameter ±8cm, palpasi tepi tajam
Lien : Schuffner 0, Hacket 0
Ektremitas : Akral Dingin Kering Merah ¿ , CRT <2s, edema ¿
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
Hb: 13.9
HCT: 39.3
WBC: 19.51 H
PLT: 409
LED: 52 H
SGPT: 116 H
SGOT: 245 H
Ureum: 37.6
Creatinin: 0.46
GDS: 323 H
Na: 129.5 L
K: 3.5
Cl: 106.3
CKMB: 20 H

EKG:
EKG kiri: sinus rhythm HR 60x/m irreguler, ST elevasi di lead II, III, aVF,
V1-V6
EKG kanan: sinus rhythm HR 50 x/m reguler, ST elevasi di lead II, III,
aVF, V2-V6
EKG posterior: sinus rhythm HR 50 x//m reguler, ST elevasi di lead II,
III, aVF, V2,V3, V7, V8,V9

X-ray Thorax:
Cardiomegali dengan aorta dilatasi dan elongasi
A STEMI, Diabetes Mellitus tipe 2
P Terapi IGD
Drip Streptokinase 1,5 juta IU dalam 30-60 menit
Inj. Lovenox 2x0.6 cc sc 2 jam
Inj. Omeprazole 1x40 mg
Inj. Ondansetron 2x4 mg
Inj. Petidin 1amp dalam 10 cc NS
Loading ASA 4 tablet  lanjut Po. ASA 0-0-80 mg
Loading CPG 4 tablet  lanjut Po. CPG 75 mg-0-0
Inj. Lantus 0-0-15 IU s.c
Inj. Apidra 3x6 IU s.c p.c

Anda mungkin juga menyukai