Anda di halaman 1dari 34

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESA

A. Tinjauan Teori

1. Konsep pernikahan

a. Pengertian

1) Pernikahan menurut Undang – Undang

Menurut pasal 1 undang – undang perkawinan disebutkan pengertian

pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2) Pernikahan menurut agama Islam

a) Pernikahan dalam agama Islam ialah suatu akad atau perjanjian

mengikat antara seorang laki-laki dan perempuan untuk

menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak

merupakan sebuah kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi

rasa kasih sayang dan ketentraman (sakinah) dengan cara-cara

diridhai Allah SWT. (Ihsan, 2008).1

b) Pernikahan adalah hubungan (akad) antara laki-laki dan

perempuan dengan maksud agar masing-masing dapat menikmati

yang lain (istimaa’) dan untuk membentuk keluarga yang sakinah

serta membangun masyarakat yang bersih.

1
Diyan indriani, Asmuji, 2014, Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Yogyakarta; Arruz Media, 94
– 104

8
9

3) Batas usia yang diizinkan dalam suatu perkawinan menurut UU

pernikahan diatur dalam pasal 7 ayat (1), yaitu jika pihak pria sudah

mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16

tahun. Jika ada penyimpangan terhadap pasal 7 ayat (1) ini, dapat

meminta dispensi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk

oleh kedua orang tua pihak pria atau wanita (pasal 7 ayat 2).

b. Tujuan pernikahan

Untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan

antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan perkawinan untuk

membentuk keluarga yang tenteram (sakinah), cinta kasih (mawaddah),

dan penuh rahmat, agar dapat melahirkan keturunan yang saleh dan

berkualitas menuju terwujudnya rumah tangga bahagia ( Ihsan, 2008 ).2

c. Manfaat Pernikahan

1) Menurut hukum perdata

Dalam hukum keluarga menyatakan manfaat dari perkawinan

adalah menghasilkan keturunan yang sah,yang dianggap lahir dari

perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya.

2) Menurut Undand-Undang Perkawinan

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan Bab 1 pasal 1 menetapkan bahwa perkawinan adalah

ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai

2
Diyan indriani, Asmuji, 2014, Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Yogyakarta; Arruz Media, 94
– 104
10

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut pasal 2 ayat 1 undang-undang perkawinan ini adalah sah

apabila dilakukan menurut masing-masing hukum agamanya dan

kepercayaannya.3

d. Kesiapan pernikahan

1) Kesiapan ilmu

Kesiapan ilmu yaitu kesiapan pemahaman hukum-hukum fiqih yang

berkaitan dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah,

pada saat menikah, maupun sesudah menikah.

2) Kesiapan materi atau harta

Maksud harta dsini ada dua macam, yaitu sebagai mahar

(maskawin) dan harta sebagai nafkah suami kepada istri untuk

memenuhi keburuhan pokok atau primer berupa sandang, pangan

dan papan.

3) Kesiapan fisik

a) pemeriksaan kesehatan pranikah

Bagi setiap calon pengantin yang akan melangsungkan

pernikahan perlu melakukan pemeriksaan kesehatan untuk

mengetahui secara dini penyakit-penyakit tertentu yang ada

pada calon pengantin. Ini karena keadaan tersebut dapat

3
Diyan indriani, Asmuji, 2014, Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Yogyakarta; Arruz Media, 94
– 104
11

mempengaruhi bila kedua calon menikah dan memiliki

keturunan, yang mana kemungkinan dapat terjadi anak yang

dikandung berisiko cacat, mewarisi penyakit

kongenital/kelainan bawaan, atau tertular penyakit.4

b) Persiapan gizi pranikah

(1) Penanggulangan KEK (Kekurangan Energi Kronik)

Seorang remaja/calon pengantin perempuan dengan KEK,

bila tidak mendapat perbaikan gizi akan berisiko

melahirkan anak dengan bayi berat lahir rendah (BBLR).

(2) Anemia gizi

Disebut anemia gizi bila calon pengantin menderita

kekurangan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah yang

disebabkan kekurangan gizi yang diperlukan untuk

membentuk Hb.

(3) Imunisasi tetanus toxoid

Untuk mencegah bayi terserang tetanus neonatorum, calon

pengantin perempuan diberikan suntikan TT 2 kali.

4) Persiapan psikis dan psikososial

a) Proses adaptasi setelah menikah

Setelah menikah akan terjadi perubahan besar dalam

kehidupan. Perempuan akan menjadi istri dan pria akan

menjadib suami yang akhirnya akan menjadi ayah dan ibu.

4
Diyan indriani, Asmuji, 2014, Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Yogyakarta; Arruz Media, 94
– 104
12

Syarat kedewasaan dalam perkawinan

(1) Dewasa secara fisik

Seseorang dikatakan dewasa secara fisik apabila ia telah

mampu menghasilkan keturunan. Masa ketika seseorang

telah dewasa secara fisik ialah masa akil balig.5

(2) Dewasa secara mental

Seseorang dikatakan dewasa secara mental jika telah

mampu mengembangkan segenap potensi kejiwaannya

(pikiran, emosi dan kemauan) secara serasi, selaras, dan

seimbang sehingga mampu menghadapi berbagai macam

persoalan hidup.

(3) Dewasa secara psikososial

Seseorang dikatakan dewasa secara psikososial apabila

telah mampu hidup mandiri, tidak tergantung secara

ekonomis kepada orang tuanya dan dapat mengembangkan

kehidupan sosial secara memuaskan dengan lingkunganya.6

e. Hal- hal Mempengaruhi Perkawinan

1) Faktor Agama

Agama merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang

perkawinan.

2) Faktor kepribadian

5
Diyan indriani, Asmuji, 2014, Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Yogyakarta; Arruz Media, 94
– 104

6
Diyan indriani, Asmuji, 2014, Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Yogyakarta; Arruz Media, 94
13

Kedua pasangan perlu saling mengenal kepribadian masing-masing

agar dapat menyesuaikan diri, saling mengisi, memberi kasih

sayang.

3) Faktor kesehatan jiwa

Kesehatan jiwa amat berpengaruh dalam membina perkawinan.

Seseorang yang cemas berlebihan, merasa rendah diri, atau

mengalami ketergantungan terhadap zat adiktif merupakan salah

satu yang perlu diatasi sebelum menikah.7

4) Faktor umur

Faktor umur memegang peranan penting dalam membina keluarga

harmonis, meskipun usia tidak selalau menunjukkan tingkat

kedewasaan seseorang.

5) Faktor pendidikan

Pendidikan merupakan faktor penting yang menunjang keberhasilan

keluarga. Hal yang terutama di sini bukan latar belakang pendidikan

formal atau gelarnya.

6) Faktor ekonomi, sosial dan budaya

Perbedaan dalam latar belakang ekonomi, sosial dan budaya disetiap

wilayah di indonesia menyebabkan perbedaan dalam norma, adat,

dan perilaku.

7) Faktor latar belakang keluaraga

7
Diyan indriani, Asmuji, 2014,Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Yogyakarta; Arruz Media, 94
– 104 – 104
14

Perkawinan selalu melibatkan keluarga dari masing-masing pihak.8

2. Pernikahan Dini

Pernikahan Dini merupakan institusi agung untuk mengikat dua insan

lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga.

Pernikahan Dini adalah pernikahan di bawah usia yang seharusnya belum

siap unrtuk melaksanakan pernikahan.

Pernikahan Dini biasa terjadi antara usia 12 tahun sampai usia kurang dari

20 tahun.

Faktor-faktor penyebab terjadinya pernikahan dini pada kalangan remaja

ada dua, yaitu sebab dari anak dan dari luar anak.9

a. Sebab dari anak

1) Faktor Pendidikan

Peran pendidikan anak-anak sangat mempunyai peran yang besar.

Jika seorang anak putus sekolah pada usia wajib sekolah, kemudian

mengisi waktu dengan bekerja. Saat ini anak tersebut sudah merasa

cukup mandiri, sehingga merasa mampu untuk menghidupi diri

sendiri.

Hal yang sama juga jika anak yang putus sekolah tersebut

menganggur. Dalam kekosongan waktu tanpa pekerjaan membuat

mereka akhirnya melakukan hal-hal yang tidak produktif. Salah

8
Diyan indriani, Asmuji, 2014, Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Yogyakarta; Arruz Media, 94
– 104
9
Diyan indriani, Asmuji, 2014, Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Yogyakarta; Arruz Media, 94
– 104
15

satunya adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis, yang jika

diluar kontrol membuat kehamilan di luar nikah.10

2) Faktor telah melakukan hubungan biologis

Ada beberapa kasus, diajukannya pernikahan karena anak-anak

telah melakukan hubungan biologis layaknya suami istri. Dengan

kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan cenderung segera

menikahkan anaknya, karena menurut orang tua anak gadis ini,

bahwa karena sudah tidak perawan lagi dan hal ini menjadi aib.

Tanpa mengenyampingkan perasaan dan kegalauan orang tua, hal

ini sebuah solusi yang kemungkinan di kemudian hari akan

menyesatkan anak-anak. Ibarat anak sudah melakukan suatu

kesalahan yang besar, bukan memperbaiki kesalahan tersebut, tetapi

orang tua justru membawa anak pada suatu kondisi yang rentan

terhadap masalah. Karena sangat besar di kemudian hari

perkawinan anak-anak tersebut akan dipenuhi konflik.

3) Hamil sebelum menikah

Jika kondisi anak perempuan itu telah dalam keadaan hamil, maka

orang tua cenderung menikahkan anak-anak tersebut. Bahkan ada

beberapa kasus, walau pada dasarnya orang tua anak gadis ini tidak

setuju dengan calon menantunya, tapi karena kondisi kehamilan si

gadis, maka dengan terpaksa orang tua menikahkan anak gadis

tersebut.

10
Diyan indriani, Asmuji, 2014, Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Yogyakarta; Arruz Media,
94 – 104
16

Bahkan ada kasus, justru anak gadis tersebut pada dasarnya tidak

mencintai calon suaminya, tapi karena terlanjur hamil, maka dengan

sangat terpaksa mengajukan permohonan dispensasi kawin.

Ini semua tentu menjadi hal yang sangat dilematis. Baik bagi anak

gadis, orang tua bahkan hakim yang menyidangkan. Karena dengan

kondisi seperti ini, jelas-jelas perkawinan yang akan dilaksanakan

bukan lagi sebagaimana perkawinan sebagaimana yang

diamanatkan UU bahkan agama. Karena sudah terbayang di

hadapan mata, kelak rona perkawinan anak gadis ini kelak.

Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan rasa cinta saja

kemungkinan dikemudian hari bisa goyah, apalagi jika perkawinan

tersebut didasarkan keterpaksaan.11

b. Sebab dari luar anak

1) Faktor pemahaman agama

Ada sebagian dari masyarakat kita yang memahami bahwa jika anak

menjalin hubungan dengan lawan jenis, telah terjadi pelanggaran

agama. Dan sebagai orang tua wajib melindungi dan mencegahnya

dengan segera menikahkan anak-anak tersebut.

Ada satu kasus, dimana orang tua anak menyatakan bahwa jika anak

menjalin hubungan dengan lawan jenis merupakan satu:

“perzinahan”. Oleh karena itu sebagai orang tua harus mencegah hal

tersebut dengan segera menikahkan. Saat mejelis hakim

11
Diyan indriani, Asmuji, 2014, Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Yogyakarta; Arruz Media, 94
– 104
17

menanyakan anak wanita yang belum berusia 16 tahun tersebut,

anak tersebut pada dasarnya tidak keberatan jika menunggu dampai

usia 16 tahun yang tinggal beberapa bulan lagi. Tapi orang tua yang

tetap bersikukuh bahwa pernikahan harus segera dilaksanaka.

Bahwa perbuatan anak yang saling suka sama suka dengan anak

laki-laki adalah merupakan “zina”. Dan sebagai orang tua sangat

takut dengan azab membiarkan anak tetap berzina

2) Faktor ekonomi.

Kita masih banyak menemui kasus-kasus dimana orang tua terlilit

hutang yang sudah tidak mampu dibayarkan. Dan jika si orang tua

yang terlilit hutang tadi mempunyai anak gadis, maka anak gadis

tersebut akan diserahkan sebagai “alat pembayaran” kepada si

piutang. Dan setelah anak tersebut dikawini, maka lunaslah hutang-

hutang yang melilit orang tua si anak.12

3) Faktor adat dan budaya.

Di beberapa belahan daerah di Indonesia, masih terdapat beberapa

pemahaman tentang perjodohan. Dimana anak gadisnya sejak kecil

telah dijodohkan orang tuanya. Dan akan segera dinikahkan sesaat

setelah anak tersebut mengalami masa menstruasi. Padahal

umumnya anak-anak perempuan mulai menstruasi diusia 12 tahun.

Maka dapat dipastikan anak tersebut akan dinikahkan pada usia 12

12
iyan indriani, Asmuji, 2014, Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Yogyakarta; Arruz Media, 94 –
104
18

tahun, jauh di bawah batas usia minimum sebuah pernikahan yang

diamanatkan UU.

3. Dampak pernikahan dini

Resiko pernikahan dini berkait erat dengan beberapa aspek, sebagai

berikut :

a. Segi kesehatan

Dilihat dari segi kesehatan, pasangan usia muda dapat berpengaruh

pada tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi

serta berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak.

Menurut ilmu kesehatan, bahwa usia yang kecil resikonya dalam

melahirkan adalah antara usia 20-35 tahun, artinya melahirkan pada

usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun mengandung resiko

tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun ke bawah sering mengalami

prematuritas (lahir sebelum waktunya) besar kemungkinan cacat

bawaan, fisik maupun mental , kebutaan dan ketulian.13

b. Segi fisik

Pasangan usia muda belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang

memerlukan keterampilan fisik, untuk mendatangkan penghasilan

baginya, dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Faktor ekonomi

adalah salah satu faktor yang berperan dalam mewujudkan dalam

kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga. Generasi muda tidak

13
Diyan indriani, Asmuji, 2014, Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Yogyakarta; Arruz Media, 94
– 104
19

boleh berspekulasi apa kata nanti, utamanya bagi pria, rasa

ketergantungan kepada orang tua harus dihindari.

c. Segi mental / jiwa

Pasangan usia muda belum siap bertanggung jawab secara moral, pada

setiap apa saja yang merupakan tanggung jawabnya. Mereka sering

mengalami kegoncangan mental, karena masih memiliki sikap mental

yang labil dan belum matang emosinya.

d. Segi pendidikan

Pendewasaan usia kawin ada kaitannya dengan usaha memperoleh

tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan persiapan yang sempurna

dalam mengarungi bahtera hidup.

e. Segi kependudukan

Perkawinan usia muda di tinjau dari segi kependudukan mempunyai

tingkat fertilitas (kesuburan) yang tinggi, sehingga kurang mendukung

pembangunan di bidang kesejahteraan.14

f. Segi kelangsungan rumah tangga

Perkawinan usia muda adalah perkawinan yang masih rawan dan belum

stabil, tingkat kemandiriannya masih rendah serta menyebabkan banyak

terjadinya perceraian (Ihsan, 2008). 15

4. Konsep kecemasan

14
Diyan indriani, Asmuji, 2014, Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Yogyakarta; Arruz Media, 94
– 104

15
Diyan indriani, Asmuji, 2014, Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Yogyakarta; Arruz Media, 94
– 104
20

Kecemasan adalah ketegangan, rasa tidak aman dan kekawatiran yang

timbul karena dirasakan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan tetapi

sumbernya sebagian besar tidak diketahui dan berasal dari dalam (DepKes

RI, 1990).

Kecemasan dapat didefininisikan suatu keadaan perasaan keprihatinan,

rasa gelisah, ketidak tentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi

ancaman sumber aktual yang tidak diketahui atau dikenal (Stuart and

Sundeens, 1998).

Kecemasan adalah suatu keadaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan

yang disertai dengan tanda somatik yang menyatakan terjadinya

hiperaktifitas sistem syaraf otonom. Kecemasan adalah gejala yang tidak

spesifik yang sering ditemukan dan sering kali merupakan suatu emosi

yang normal (Kusuma W, 1997).

Kecemasan adalah respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak

diketahui, internal, samar-samar atau konfliktual (Kaplan, Sadock, 1997).16

5. Teori Kecemasan

Kecemasan merupakan suatu respon terhadap situasi yang penuh

dengan tekanan. Stres dapat didefinisikan sebagai suatu persepsi

ancaman terhadap suatu harapan yang mencetuskan cemas. Hasilnya

adalah bekerja untuk melegakan tingkah laku (Rawlins, at al, 1993).

Stress dapat berbentuk psikologis, sosial atau fisik. Beberapa teori


16
Abdul Nasir, Abdul Muhit, 2011, Dasar – dasar keperawatan jiwa, Jakarta, Salemba Medika ; 8.
21

memberikan kontribusi terhadap kemungkinan faktor etiologi dalam

pengembangan kecemasan. Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :

a. Teori psikodinamik

Freud (1993) mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan hasil

dari konflik psikis yang tidak disadari. Kecemasan menjadi tanda

terhadap ego untuk mengambil aksi penurunan cemas. Ketika

mekanisme diri berhasil, kecemasan menurun dan rasa aman datang

lagi. Namun bila konflik terus berkepanjangan, maka kecemasan

ada pada tingkat tinggi. Mekanisme pertahanan diri dialami sebagai

simptom, seperti phobia, regresi dan tingkah laku ritualistik. Konsep

psikodinamik menurut Freud ini juga menerangkan bahwa

kecemasan timbul pertama dalam hidup manusia saat lahir dan

merasakan lapar yang pertama kali. Saat itu dalam kondisi masih

lemah, sehingga belum mampu memberikan respon terhadap

kedinginan dan kelaparan, maka lahirlah kecemasan pertama.

Kecemasan berikutnya muncul apabila ada suatu keinginan dari Id

untuk menuntut pelepasan dari ego, tetapi tidak mendapat restu dari

super ego, maka terjadilah konflik dalam ego, antara keinginan Id

yang ingin pelepasan dan sangsi dari super ego lahirlah kecemasan

yang kedua. Konflik-konflik tersebut ditekan dalam alam bawah

sadar, dengan potensi yang tetap tak terpengaruh oleh waktu, sering

tidak realistik dan dibesar-besarkan. Tekanan ini akan muncul ke

permukaan melalui tiga peristiwa, yaitu : sensor super ego menurun,


22

desakan Id meningkat dan adanya stress psikososial, maka lahirlah

kecemasan-kecemasan berikutnya (Prawirohusodo, 1988).17

b. Teori perilaku

Menurut teori perilaku, Kecemasan berasal dari suatu respon

terhadap stimulus khusus (fakta), waktu cukup lama, seseorang

mengembangkan respon kondisi untuk stimulus yang penting.

Kecemasan tersebut merupakan hasil frustasi, sehingga akan

mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang di

inginkan.

c. Teori interpersonal

Menjelaskan bahwa kecemasan terjadi dari ketakutan akan

penolakan antar individu, sehingga menyebabkan individu

bersangkutan merasa tidak berharga.

d. Teori keluarga

Menjelaskan bahwa kecemasan dapat terjadi dan timbul secara

nyata akibat adanya konflik dalam keluarga.

e. Teori Biologik

Beberapa kasus kecemasan (5 - 42%), merupakan suatu perhatian

terhadap proses fisiologis (Hall, 1980). Kecemasan ini dapat

disebabkan oleh penyakit fisik atau keabnormalan, tidak oleh

konflik emosional. Kecemasan ini termasuk kecemasan sekunder

(Rockwell cit stuart & sundeens, 1998).18

1) Faktor predisposisi kecemasan


17
Abdul Nasir, Abdul Muhit, 2011, Dasar – dasar keperawatan jiwa, Jakarta, Salemba Medika ; 8.
23

Setiap perubahan dalam kehidupan atau peristiwa kehidupan

yang dapat menimbulkan keadaan stres disebut stresor. Stres

yang dialami seseorang dapat menimbulkan kecemasan, atau

kecemasan merupakan manifestasi langsung dari stres

`````kehidupan dan sangat erat kaitannya dengan pola hidup

(Wibisono, 1990).

Berbagai faktor predisposisi yang dapat menimbulkan

kecemasan (Roan, 1989) yaitu faktor genetik, faktor organik

dan faktor psikologi. Pada pasien yang akan menjalani

operasi, faktor predisposisi kecemasan yang sangat

berpengaruh adalah faktor psikologis, terutama ketidak pastian

tentang prosedur dan operasi yang akan dijalani.19

2) Gejala Kecemasan

Penderita yang mengalami kecemasan biasanya memiliki

gejala - gejala yang khas dan terbagi dalam beberapa fase

yaitu;

a) Fase 1 

Keadan fisik sebagaimana pada fase reaksi peringatan,

maka tubuh mempersiapkan diri untuk fight (berjuang),

atau flight (lari secepat-cepatnya). Pada fase ini tubuh

18
Abdul Nasir, Abdul Muhit, 2011, Dasar –Dasar Keperawatan Jiwa, Jakarta, Salemba Medika ;
8.
19
Herri Zan Pieter, Dr. Namora Lumonggo Lubis, 2010, Pengantar Psikologi Dalam
Keperawatan, Edisi I,119.
24

merasakan tidak enak sebagai akibat dari peningkatan

sekresi hormon adrenalin dan nor adrenalin.

Oleh karena itu, maka gejala adanya kecemasan dapat

berupa rasa tegang di otot dan kelelahan, terutama di otot-

otot dada, leher dan punggung. Dalam persiapannya untuk

berjuang, menyebabkan otot akan menjadi lebih kaku dan

akibatnya akan menimbulkan nyeri dan spasme di otot

dada, leher dan punggung. Ketegangan dari kelompok

agonis dan antagonis akan menimbulkan tremor dan

gemetar yang dengan mudah dapat dilihat pada jari-jari

tangan (Wilkie, 1985).  Pada fase ini kecemasan merupakan

mekanisme peningkatan dari sistem syaraf yang

mengingatkan kita bahwa system syaraf fungsinya mulai

gagal mengolah informasi yang ada secara benar (Asdie,

1988).20

b) Fase 2 (dua)

Disamping gejala klinis seperti pada fase satu, seperti

gelisah, ketegangan otot, gangguan tidur dan keluhan perut,

penderita juga mulai tidak bisa mengontrol emosinya dan

tidak ada motifasi diri (Wilkie, 1985).

20
Abdul Nasir, Abdul Muhit, 2011, Dasar – Dasar Keperawatan Jiwa, Jakarta, Salemba Medika ;
8.
25

Labilitas emosi dapat bermanifestasi mudah menangis

tanpa sebab, yang beberapa saat kemudian menjadi tertawa.

Mudah menangis yang berkaitan dengan stres mudah

diketahui. Akan tetapi kadang-kadang dari cara tertawa

yang agak keras dapat menunjukkan tanda adanya

gangguan kecemasan fase dua (Asdie, 1988). Kehilangan

motivasi diri bisa terlihat pada keadaan seperti seseorang

yang menjatuhkan barang ke tanah, kemudian ia berdiam

diri saja beberapa lama dengan hanya melihat barang yang

jatuh tanpa berbuat sesuatu (Asdie, 1988).

c) Fase 3

Keadaan kecemasan fase satu dan dua yang tidak teratasi

sedangkan stresor tetap saja berlanjut, penderita akan jatuh

kedalam kecemasan fase tiga. Berbeda dengan gejala-gejala

yang terlihat pada fase satu dan dua yang mudah di

identifikasi kaitannya dengan stres, gejala kecemasan pada

fase tiga umumnya berupa perubahan dalam tingkah laku

dan umumnya tidak mudah terlihat kaitannya dengan stres.

Pada fase tiga ini dapat terlihat gejala seperti : intoleransi

dengan rangsang sensoris, kehilangan kemampuan toleransi

terhadap sesuatu yang sebelumnya telah mampu ia tolerir,


26

gangguan reaksi terhadap sesuatu yang sepintas terlihat

sebagai gangguan kepribadian (Asdie, 1988).21

3) Respon Fisiologis terhadap Kecemasan

a) Kardio vaskuler;  Peningkatan tekanan darah, palpitasi,

jantung berdebar, denyut nadi meningkat, tekanan nadi

menurun, syock dan lain-lain.

b) Respirasi;  napas cepat dan dangkal, rasa tertekan pada

dada, rasa tercekik.

c) Kulit:  perasaan panas atau dingin pada kulit, muka pucat,

berkeringat seluruh tubuh, rasa terbakar pada muka, telapak

tangan berkeringat, gatal-gatal.

d) Gastro intestinal;  Anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut,

rasa terbakar di epigastrium, nausea, diare.

e) Neuromuskuler;  Reflek meningkat, reaksi kejutan, mata

berkedip-kedip, insomnia, tremor, kejang, , wajah tegang,

gerakan lambat.

f) Perilaku;  Gelisah, tremor, gugup, bicara cepat dan tidak

ada koordinasi, menarik diri, menghindar.

g) Kognitif;  Gangguan perhatian, konsentrasi hilang, mudah

lupa, salah tafsir, bloking, bingung, lapangan persepsi

menurun, kesadaran diri yang berlebihan, kawatir yang

21
Abdul Nasir, Abdul Muhit, 2011, , Dasar – Dasar Keperawatan Jiwa, Jakarta, Salemba Medika
; 8.
27

berlebihan, obyektifitas menurun, takut kecelakaan, takut

mati dan lain-lain.22

h) Afektif;  Tidak sabar, tegang, neurosis, tremor, gugup yang

luar biasa, sangat gelisah dan lain-lain.

6. Pengukuran tingkat kecemasan

Kecemasan dapat diukur dengan pengukuran tingkat kecemasan menurut

alat ukur kecemasan yang disebut HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale). 

Skala HARS merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan pada

munculnya symptom pada individu yang mengalami kecemasan. Menurut

skala HARS terdapat 14 syptoms yang nampak pada individu yang

mengalami kecemasan. Setiap item yang diobservasi diberi 5 tingkatan

skor ( skala likert) antara 0 (Nol Present) sampai dengan 4 (severe).

Skala HARS pertama kali digunakan pada tahun 1959, yang diperkenalkan

oleh Max Hamilton dan sekarang telah menjadi standar dalam pengukuran

kecemasan terutama pada penelitian trial clinic.  Skala HARS telah

dibuktikan memiliki validitas dan reliabilitas cukup tinggi untuk

melakukan pengukuran kecemasan pada penelitian trial clinic yaitu 0,93

dan 0,97. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran kecemasan dengan

menggunakan skala HARS akan diperoleh hasil yang valid dan reliable.

Skala HARS Menurut Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)  penilaian

kecemasan terdiri dan 14 item, meliputi:

22
Abdul Nasir, Abdul Muhit, 2011, , Dasar – Dasar Keperawatan Jiwa, Jakarta, Salemba Medika
; 8.
28

a. Perasaan Cemas firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah

tensinggung.

b. Ketegangan merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu dan

lesu.

c. Ketakutan : takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal

sendiri dan takut pada binatang besar.2323

d. Gangguan tidur sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari, tidur

tidak pulas dan mimpi buruk.

e. Gangguan kecerdasan : penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit

konsentrasi.

f. Perasaan depresi : hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada h

oby, sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari.

g. Gejala somatik: nyeni path otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara

tidak stabil dan kedutan otot.

h. Gejala sensorik: perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka

merah dan pucat serta merasa lemah.

i. Gejala kardiovaskuler : takikardi, nyeri di dada, denyut nadi mengeras

dan detak jantung hilang sekejap.

j. Gejala pemapasan : rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering

menarik napas panjang dan merasa napas pendek.

23
H. Dadang Hawari, 2001, Manajemen Stress, Cemas, dan Depresi, Edisi I, Jakarta, Fakultas
Kedokteran Universitas. Indonesia.
29

k. Gejala gastrointestinal: sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun,

mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan,

perasaan panas di perut.

l. Gejala urogenital : sering keneing, tidak dapat menahan keneing,

aminorea, ereksi lemah atau impotensi.

m. Gejala vegetatif : mulut kering, mudah berkeringat, muka merah, bulu

roma berdiri, pusing atau sakit kepala.24

n. Perilaku sewaktu wawancara : gelisah, jari-jari gemetar, mengkerutkan

dahi atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat dan napas pendek

dan cepat.

Cara Penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan

kategori:

0 = tidak ada gejala sama sekali

1 = Satu dari gejala yang ada

2 = Sedang/ separuh dari gejala yang ada

3 = berat/lebih dari ½ gejala yang ada

4 = sangat berat semua gejala ada

Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan

item 1-14 dengan hasil:


24
H. Dadang Hawari, 2001, Manajemen Stress, Cemas, dan Depresi, Edisi I, Jakarta, Fakultas
Kedokteran Universitas. Indonesia.
30

1) Skor kurang dari 6 = tidak ada kecemasan.

2) Skor 7 – 14 = kecemasan ringan.

3) Skor 15 – 27 = kecemasan sedang.

4) Skor lebih dari 27 = kecemasan berat.25

7. Tingkat kecemasan

Stuart dan Sundeen (1995) membagi kecemasan menjadi 4 tingkatan yaitu:

a. Kecemasan ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa

kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini lahan persepsi melebar dab

individu akan berhati-hati dan waspada. Individu terdorong untuk

belajar yang akan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.

1) Respon Fisiologis

a) Sesekali nafas pendek

b) Nadi dan tekanan darah naik

c) Gejala ringan pada lambung

d) Muka berkerut dan bibir bergetar

2) Respon Kognitif

a) Lapang persegi meluas

b) Mampu menerima ransangan yang kompleks

c) Konsentrasi pada masalah

d) Menyelesaikan masalah secara efektif

3) Respon perilaku dan Emosi

25
H. Dadang Hawari, 2001, Manajemen Stress, Cemas, dan Depresi, Edisi I, Jakarta, Fakultas
Kedokteran Universitas. Indonesia.
31

a) Tidak dapat duduk tenang

b) Tremor halus pada tangan

c) Suara kadang-kadang meninggi

b. Kecemasan sedang

Pada tingkat ini lahan persepsi terhadap lingkungan menurun/individu

lebih memfokuskan pada hal penting saat itu dan mengesampingkan hal

lain.26

1) Respon Fisiologis

a) Sering nafas pendek

b) Nadi ekstra systole dan tekanan darah naik

c) Mulut kering

d) Anorexia

e) Diare/konstipasi

f) Gelisah

2) Respon Kognitif

a) Lapang persepsi menyempit

b) Rangsang Luar tidak mampu diterima

c) Berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya

3) Respon Prilaku dan Emosi

a) Gerakan tersentak-sentak (meremas tangan)

b) Bicara banyak dan lebih cepat

c) Perasaan tidak nyaman

26
H. Dadang Hawari, 2001, Manajemen Stress, Cemas, dan Depresi, Edisi I, Jakarta, Fakultas
Kedokteran Universitas. Indonesia
32

c. Kecemasan Berat

Pada kecemasan berat lahan persepsi menjadi sempit. Individu

cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal

yang lain. Individu tidak mampu berfikir berat lagi dan membutuhkan

banyak pengarahan/tuntutan.27

1) Respon Fisiologis

a) Sering nafas pendek

b) Nadi dan tekanan darah naik

c) Berkeringat dan sakit kepala

d) Penglihatan kabur

2) Respon Kognitif

a) Lapang persepsi sangat menyempit

b) Tidak mampu menyelesaikan masalah

3) Respon Prilaku dan Emosi

a) Perasaan ancaman meningkat

b) Verbalisasi cepat

c) Blocking

d. Panik

Pada tingkat ini persepsi sudah terganggu sehingga individu sudah tidak

dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan apa-apa

walaupun sudah diberi pengarahan/tuntunan.

1) Respon Fisiologis

27
H. Dadang Hawari, 2001, Manajemen Stress, Cemas, dan Depresi, Edisi I, Jakarta, Fakultas
Kedokteran Universitas. Indonesia.
33

a) Nafas pendek

b) Rasa tercekik dan berdebar

c) Sakit dada

d) Pucat

e) Hipotensi

2) Respon Kognitif

a) Lapang persepsi menyempit

b) Tidak dapat berfikir lagi.28

3) Respon Prilaku dan Emosi

a) Agitasi, mengamuk dan marah

b) Ketakutan, berteriak-teriak, blocking

c) Persepsi Kacau

d) Kecemasan yang timbul dapat diidentifikasi melalui respon yang

dapat berupa respon fisik, emosional, dan kognitif atau intelektual.

e. Respon Fisiologis

1) Kardiovaskuler : Palpitas berdebar, tekanan darah

meningkat/menurun, Nadi meningkat/menurun

2) Saluran Pernafasan : Nafas cepat dangkal, rasa tertekan di dada,

rasa seperti tercekik

3) Gastrointestinal: Hilang nafsu makan, mual, rasa tak enak pada

epigastrium, diare

28
H. Dadang Hawari, 2001, Manajemen Stress, Cemas, dan Depresi, Edisi I, Jakarta, Fakultas
Kedokteran Universitas. Indonesia.
34

4) Neuromuskuler : Peningkatan refleks, wajah tegang, insomnia,

gelisah, kelelahan secara umum, ketakutan, tremor

5) Saluran Kemih : Tak dapat menahan buang air kecil

6) Sistem Kulit : Muka pucat, perasaan panas/dingin pada kulit, rasa

terbakar pada muka, berkeringat setempat atau seluruh tubuh dan

gatal-gatal

7) Respon Kognitif : konsentrasi menurun, pelupa, raung persepsi

berkurang atau menyempit, takut kehilangan kontrol, obyektifitas

hilang

8) Respon emosional : Kewaspadaan meningkat, tidak sadar, takut,

gelisah, pelupa, cepat marah, kecewa, menangis dan rasa tidak

berdaya.29

8. Fungsi Kecemasan

Kecemasan berfungsi sebagai tanda adanya bahaya yang akan terjadi,

suatu ancaman terhadap ego yang harus dihindari atau dilawan. Dalam hal

ini ego harus mengurangi konflik antara kemauan Id dan Superego.

Konflik ini akan selalu ada dalam kehidupan manusia karena menurut

Freud, insting akan selalu mencari pemuasan sedangkan lingkungan sosial

dan moral membatasi pemuasan tersebut. Sehingga menurut Freud suatu

pertahanan akan selalu beroperasi secara luas dalam segi kehidupan

manusia.

29
H. Dadang Hawari, 2001, Manajemen Stress, Cemas, dan Depresi, Edisi I, Jakarta, Fakultas
Kedokteran Universitas. Indonesia.
35

Layaknya semua perilaku dimotivasi oleh insting, begitu juga semua

perilaku mempunyai pertahanan secara alami, dalam hal untuk melawan

kecemasan. Freud membuat postulat tentang beberapa mekanisme

pertahanan namun mencatat bahwa jarang sekali individu menggunakan

hanya satu pertahanan saja. Biasanya individu akan menggunakan

beberapa mekanisme pertahanan pada satu saat yang bersamaan. Ada dua

karakteristik penting dari mekanisme pertahanan. Pertama adalah bahwa

mereka merupakan bentuk penolakan atau gangguan terhadap realitas.

Kedua adalah bahwa mekanisme pertahanan berlangsung tanpa disadari.

Kita sebenarnya berbohong pada diri kita sendiri namun tidak menyadari

telah berlaku demikian. Tentu saja jika kita mengetahui bahwa kita

berbohong maka mekanisme pertahanan tidak akan efektif.30

Jika mekanisme pertahanan bekerja dengan baik, pertahanan akan menjaga

segala ancaman tetap berada di luar kesadaran kita. Sebagai hasilnya kita

tidak mengetahui kebenaran tentang diri kita sendiri. Kita telah terpecah

oleh gambaran keinginan, ketakutan, kepemilikan dan segala macam

lainnya. Beberapa mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melawan

kecemasan antara lain adalah:

a. Represi

Dalam terminologi Freud, represi adalah pelepasan tanpa sengaja

sesuatu dari kesadaran (conscious). Pada dasarnya merupakan upaya

30
H. Dadang Hawari, 2001, Manajemen Stress, Cemas, dan Depresi, Edisi I, Jakarta, Fakultas
Kedokteran Universitas. Indonesia.
36

penolakan secara tidak sadarterhadap sesuatu yang membuat tidak

nyaman atau menyakitkan. Konsep tentang represi merupakan dasar

dari sistem kepribadian Freud dan berhubungan dengan semua

perilaku neurosis.

b. Reaksi Formasi

Reaksi formasi adalah bagaimana mengubah suatu impuls yang

mengancam dan tidak sesuai serta tidak dapat diterima norma sosial

diubah menjadi suatu bentuk yang lebih dapat diterima. Misalnya

seorang yang mempunyai impuls seksual yang tinggi menjadi seorang

yang dengan gigih menentang pornografi. Lain lagi misalnya

seseorang yang mempunyai impuls agresif dalam dirinya berubah

menjadi orang yang ramah dan sangat bersahabat. Hal ini bukan

berarti bahwa semua orang yang menentang, misalnya peredaran film

porno adalah seorang yang mencoba menutupi impuls seksualnya

yang tinggi. Perbedaan antara perilaku yang diperbuat merupakan

benar-benar dengan yang merupakan reaksi formasi adalah intensitas

dan keekstrimannya.31

c. Proyeksi

Proyeksi adalah mekanisme pertahanan dari individu yang

menganggap suatu impuls yang tidak baik, agresif dan tidak dapat

diterima sebagai bukan miliknya melainkan milik orang lain.


31
H. Dadang Hawari, 2001, Manajemen Stress, Cemas, dan Depresi, Edisi I, Jakarta, Fakultas
Kedokteran Universitas. Indonesia.
37

Misalnya seseorang berkata “Aku tidak benci dia, dialah yang benci

padaku”. Pada proyeksi impuls itu masih dapat bermanifestasi namun

dengan cara yang lebih dapat diterima oleh individu tersebut.

d. Regresi

Regresi adalah suatu mekanisme pertahanan saat individu kembali ke

masa periode awal dalam hidupnya yang lebih menyenangkan dan

bebas dari frustasi dan kecemasan yang saat ini dihadapi. Regresi

biasanya berhubungan dengan kembalinya individu ke suatu tahap

perkembangan psikoseksual. Individu kembali ke masa dia merasa

lebih aman dari hidupnya dan dimanifestasikan oleh perilakunya di

saat itu, seperti kekanak-kanakan dan perilaku dependen.32

e. Rasionalisasi

Rasionalisasi merupakan mekanisme pertahanan yang melibatkan

pemahaman kembali perilaku kita untuk membuatnya menjadi lebih

rasional dan dapat diterima oleh kita. Kita berusaha memaafkan atau

mempertimbangkan suatu pemikiran atau tindakan yang mengancam

kita dengan meyakinkan diri kita sendiri bahwa ada alasan yang

rasional dibalik pikiran dan tindakan itu. Misalnya seorang yang

dipecat dari pekerjaan mengatakan bahwa pekerjaannya itu memang

tidak terlalu bagus untuknya. Jika anda sedang bermain tenis dan

kalah maka anda akan menyalahkan raket dengan cara

membantingnya atau melemparnya daripada anda menyalahkan diri


32
H. Dadang Hawari, 2001, Manajemen Stress, Cemas, dan Depresi, Edisi I, Jakarta, Fakultas
Kedokteran Universitas. Indonesia.
38

anda sendiri telah bermain buruk. Itulah yang dinamakan rasionalisasi.

Hal ini dilakukan karena dengan menyalahkan objek atau orang lain

akan sedikit mengurangi ancaman pada individu itu.33

f. Pemindahan

Suatu mekanisme pertahanan dengan cara memindahkan impuls

terhadap objek lain karena objek yang dapat memuaskan Id tidak

tersedia. Misalnya seorang anak yang kesal dan marah dengan orang

tuanya, karena perasaan takut berhadapan dengan orang tua maka rasa

kesal dan marahnya itu ditimpakan kepada adiknya yang kecil. Pada

mekanisme ini objek pengganti adalah suatu objek yang menurut

individu bukanlah merupakan suatu ancaman.

g. Sublimasi

Berbeda dengan displacement yang mengganti objek untuk

memuaskan Id, sublimasi melibatkan perubahan atau penggantian dari

impuls Id itu sendiri. Energi instingtual dialihkan ke bentuk ekspresi

lain, yang secara sosial bukan hanya diterima namun dipuji. Misalnya

energi seksual diubah menjadi perilaku kreatif yang artistic.

h. Isolasi

Isolasi adalah cara kita untuk menghindari perasaan yang tidak dapat

diterima dengan cara melepaskan mereka dari peristiwa yang

seharusnya mereka terikat, merepresikannya dan bereaksi terhadap

peristiwa tersebut tanpa emosi. Hal ini sering terjadi pada psikoterapi.

33
H. Dadang Hawari, 2001, Manajemen Stress, Cemas, dan Depresi, Edisi I, Jakarta, Fakultas
Kedokteran Universitas. Indonesia.
39

Pasien berkeinginan untuk mengatakan kepada terapis tentang

perasaannya namun tidak ingin berkonfrontasi dengan perasaan yang

dilibatkan itu. Pasien kemudian akan menghubungkan perasaan

tersebut dengan cara pelepasan yang tenang walau sebenarnya ada

keinginan untuk mengeksplorasi lebih jauh.

i. Undoing

Dalam undoing, individu akan melakukan perilaku ataupikiran ritual

dalam upaya untuk mencegah impuls yangtidak dapat diterima.

Misalnya pada pasien dengangangguan obsesif kompulsif, melakukan

cuci tanganberulang kali demi melepaskan pikiran-pikiran

seksualyang mengganggu.

j. Intelektualisasi

Sering bersamaan dengan isolasi; individu mendapatkan jarak yang

lebih jauh dari emosinya dan menutupi hal tersebut dengan analisis

intelektual yang abstrak dari individu itu sendiri.34

34
H. Dadang Hawari, 2001, Manajemen Stress, Cemas, dan Depresi, Edisi I, Jakarta, Fakultas
Kedokteran Universitas. Indonesia.
40

B. Kerangka Konsep Dan Hipotesis Penelitian

1. Kerangka konsep penelitian

Pada kerangka konsep di sajikan alur penelitian terutama yang akan di

gunakan dalam penelitian. Kerangka konsep adalah konsep yang di pakai

sebagai landasan berpikir dalam kegiatan ilmu. 35

Hal – hal yang mempengaruhi Faktor Pernikahan Dini


pernikahan
Usia
1. Faktor Agama
2. Faktor Kepribadian - 12 – 15 Tahun
3. Faktor Kesehatan jiwa - 16 – 17 Tahun
4. Faktor Umur - 18 – 20 Tahun
5. Faktor Pendidikan
6. Faktor Ekonomi,
Sosial, Budaya Ada Pengaruh
7. Faktor Latar Belakang Anak sakit
Keluarga

Tingkat kecemasan

1. Kecemasan Ringan Tidak ada


2. Kecemasan sedang Pengaruh
3. Kecemasan Berat
4. Panik

Keterangan : Pengaruh Pernikahan Dini pada Keluarga dengan Anak Sakit

Terhadap Tingkat Kecemasan di Wilayah Puskesmas Pujer

Bondowoso

: Diteliti

: Tidak Diteliti

2. Hipotesis Penelitian

35
Nursalam, 2009 Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta,
Salemba Medika; 55
41

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau

pertanyaan penelitian. Menurut La Biondo dan Haberv(1994) hipotesis

adalah suatu pernyataan asumsi tentang hubungan antara dua atau lebih

variabel yang di harapkan bisa menjawab suatu pernyataan dalam

penelitian.36

H1 : Ada pengaruh Pernikahan Dini pada Keluarga dengan Anak Sakit

terhadap Tingkat Kecemasan di Puskesmas Pujer Bondowoso.

36
Nursalam, 2009 Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta,
Salemba Medika; 55

Anda mungkin juga menyukai