PENDAHULUAN
disabilitas sesuai dengan ungkapan Nisirin (2010) bahwa difable yaitu different
kondisi seseorang yang mengalami perbedaaan baik dari segi anggota gerak (fisik),
kemampuan panca indera yang kurang, hingga kemampuan dalam segi kemampuan
intelektualnya. Penjelasan ini didukung pula oleh Maxwell dalam Sugiono, dkk
(2014) bahwa “difabel adalah seseorang yang mempunyai kelainan fisik dan atau
Difabel juga dapat disebut dengan istilah disabilitas. Isu disabilitas atau lebih
abled people) atau difabel yang sekarang lebih dikenal sebagai disabilitas (Harahap
dan Bustanuddin, 2015). Penyebutan disable atau orang cacat mendapat gugatan
2008). Difabel atau disabilitas merujuk pada adanya kondisi seseorang-orang yang
1
Perbedaan yang dimiliki seseorang mengakibatkan adanya perasaan kurang
diterima atau diabaikan oleh kelompoknya dan akhirnya adanya penolakan dari
2013). Para difable memiliki berbagai macam gangguan dari fisik hingga
intelektualnya. Dirilis dari bpkb.go.id (diakses pada tanggal 10 Maret 2017) pada
Namun karena pasal tersebut sudah tidak valid dan diberlakukan undang-undang
dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak”.
dapat dikatakan tidak percaya diri dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
Sesuai dengan pendapat Virlia dan Wijaya (2015) bahwa penderita difabel
tunadaksa banyak yang malu atau rendah diri karena keterbatasan yang dimiliki.
Adanya keadaan yang berbeda dari para difabel menimbulkan beberapa
permasalahan. Penelitian yang dilakukan oleh Heiman, Zinck, dan Heath (2008)
menjelaskan bahwa remaja yang didiagnosa learning disabilities dengan orang tua
dan ayah remaja kurang terbuka dan problematis, serta orang tua menganggap anak-
anak tidak terlalu terlibat dengan orang tua karena perbedaan nilai dan norma
dengan orang tuanya. Baigas (2002, dalam Heiman, Zinck dan Heath, 2008)
perilaku, komunikasi, dan responsibilitas afektif serta keaktifan secara umum. Hal
Dijelaskan oleh Kanner (dalam Lubis, 2009) bahwa anak autism memiliki
gangguan yang dicirikan atas gangguan interaksi sosial, gangguan perilaku dan
gangguan komunikasi.
pembelajaran baik membaca hingga berhitung hingga berperilaku non adaptif, yang
mana komunikasi antara guru dan siswa digunakan komunikasi interpersonal untuk
dalam proses komunikasi selain orang tua. Dalam Devito (1997) terdapat beberapa
tujuan komunikasi yaitu menemukan jati diri (personal discovery), untuk menjalin
dalam mengubah sikap dan perilaku seseorang, serta untuk bermain yaitu proses
bimbingan, pendidikan, dan hal-hal lain yang harus dipelajari terutama dalam
menerapkannya pada kagiatan sehari-hari. Hal ini juga sesuai bahwa terdapat salah
satu fungsi komunikasi menurut Mulyana (2010, h. 33) bahwa terdapat fungsi
mengubah sikap perilaku seseorang dapat ditunjang dari proses pendidikan yang
Hak Asasi Manusia pasal 54 yang berbunyi “Setiap anak cacat fisik atau mental
berhak memperoleh perawatan, pendidikan, dan pelatihan dan bantuan khusus atas
dan bernegara”. Dari sini pendidikan di sekolah dan keberadaan Sekolah Luar Biasa
(SLB) menjadi sarana para difabel dapat membangun potensi diri hingga mengubah
Pendidikan untuk para difabel juga penting lantaran keberadaan orang tua
terutama dalam menangani anak-anak difabel. Maka, dibutuhkan peran orang lain
seperti para guru-guru dan terapis untuk membantu informan. Boham (2013)
pada baby sitter dan mendatangkan terapis sebagai guru. Terutama Perwenda
Effendy (1997, dalam Putra 2017) menjelaskan bahwa pendidikan tidak dapat
dalam proses pembelajaran, dikutip dari Iriantara dan Syaripudin (2013) bahwa
pada proses pembelajaran baik di sekolah ataupun tempat lain akan terjadi
komunikasi terutama dilakukan oleh guru dan siswa adalah untuk menyampaikan
komunikasi bidang kegiatan proses belajar mengajar (Yusuf, 2010). Pada penelitian
untuk proses pembelajaran yang bertujuan untuk mengubah pola pikir dan tingkah
laku siswanya ke arah yang lebih baik. Komunikasi instruksional berperan dalam
proses belajar mengajar untuk mengubah seseorang terutama siswa lebih baik lagi
dalam berfikir dan perilaku, terutama para difabel yang memiliki beberapa
nonverbal guru terdapat dampak konstruksi gender dan sosial seperti pola asuh,
informan. Untuk itu penelitian ini dilihat dari penelitian fenomenologi karena
metode kualitatif yang berfokus pada topik pengalaman manusia yang berkaitan
dengan makna dan cara makna muncul dari pengalaman. Pengalaman dari masing-
masing guru dengan background yang berbeda dapat memunculan makna dan cara
2005 tentang Guru dan Dosen yaitu pasal 8 yang berbunyi “Guru wajib memiliki
2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10 ayat 1 dijelaskan pula kompetensi guru yang
(Fathurrohman dan Suryana, 2012, h. 16). Para guru yang membimbing siswa
difabel merupakan guru-guru yang telah lulus Pendidikan Luar Biasa (PLB) sesuai
2008 tetang Standar Kualifkasi Akademik dan Kompetensi Guru Pendidikan yang
penelitian Pramitha (2015) sendiri salah satu informan sebagai guru pengajar di
SDLB Manisrejo, Madiun merupakan lulusan dari Sarjana PLB dan memiliki
lulusan sarjana PLB atau non Pendidikan Luar Biasa (non PLB). Hal ini sesuai
dengan adanya permasalahan umum yang ada pada ranah pendidikan Indonesia
yang dinyatakan oleh Fathurrohman dan Surya (2012) bahwa terdapat 33 % guru
yang mengajar dengan background non PLB. SLB Pelangi LombokCare bernaung
di bawah Yayasan LombokCare salah satu yayasan yang ada di Lombok, Nusa
anak-anak berupa tempat terapi. Siswa difabel yang ditangani di LombokCare ini
dalam mengatur siswa difabel ketika masuk sekolah setelah libur atau ketika sakit.
Biasanya guru-guru harus mengulang untuk mengajari siswa difabel seperti
2017). Kemudian, dari hasil wawancara ditemukan juga permasalahan bahwa guru
dituntut untuk menyampaikan materi yang bisa dipahami setiap siswa difabel,
namun di sisi lain guru dituntut untuk melangsungkan komunikasi dua arah pada
LombokCare ini sendiri terbilang masih baru yaitu pada tahun 2012. SLB Pelangi
Permasalahan dari SLB Pelangi LombokCare adalah para guru yang bukan
dari background khusus menangani siswa difabel atau non PLB. Adapun para guru
umum dan guru PLB memiliki perbedaan kompetensi, bergantung dari siapa yang
diajarkan. Untuk guru PLB, Mardiana (2014) menjelaskan guru berperan dalam
mobilitas, bina diri, gerak, pribadi, sosial, potensi kecerdasan, bakat istimewa serta
tingkah laku para siswa SMP untuk mengarah ke hal yang lebih baik. Kemudian
berminat meneliti ini karena guru-guru SLB Pelangi LombokCare merupakan guru-
guru dengan background non PLB dan minimnya wawasan serta pengalaman dalam
menangani siswa difabel, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
Komunikasi Instruksional Guru Non Pendidikan Luar Biasa dalam mengajar siswa
adalah bagaimana komunikasi instruksional guru non Pendidikan Luar Biasa (non
b. Penelitian ini juga bermanfaat untuk orang tua dan masyarakat untuk