Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Difable merupakan sebutan untuk penyandang cacat atau penyandang

disabilitas sesuai dengan ungkapan Nisirin (2010) bahwa difable yaitu different

ability people untuk memperhalus kata penyandang cacat. Difabel merupakan

kondisi seseorang yang mengalami perbedaaan baik dari segi anggota gerak (fisik),

kemampuan panca indera yang kurang, hingga kemampuan dalam segi kemampuan

intelektualnya. Penjelasan ini didukung pula oleh Maxwell dalam Sugiono, dkk

(2014) bahwa “difabel adalah seseorang yang mempunyai kelainan fisik dan atau

yang dapat menggangu aktivitas”.

Difabel juga dapat disebut dengan istilah disabilitas. Isu disabilitas atau lebih

dikenal dengan orang-orang yang memiliki perbedaan kemampuan (differently

abled people) atau difabel yang sekarang lebih dikenal sebagai disabilitas (Harahap

dan Bustanuddin, 2015). Penyebutan disable atau orang cacat mendapat gugatan

dari aktivis antidiskriminasi, akhirnya golongan ini menggunakan diffability

(difabilitas) yang berarti adalah kemampuan yang berbeda, dan orang-orang

penyandang difabilitas dikenal dengan kaum diffable atau difabel (Asyhabuddin,

2008). Difabel atau disabilitas merujuk pada adanya kondisi seseorang-orang yang

memiliki kekurang atau perbedaan kemampuan. Maka, penggunaan difabel

digunakan oleh peneliti untuk memperhalus kata.

1
Perbedaan yang dimiliki seseorang mengakibatkan adanya perasaan kurang

diterima atau diabaikan oleh kelompoknya dan akhirnya adanya penolakan dari

sekitarnya contohnya adalah teman-teman (Mappiare, 2002 dalam Wicaksono,

2013). Para difable memiliki berbagai macam gangguan dari fisik hingga

intelektualnya. Dirilis dari bpkb.go.id (diakses pada tanggal 10 Maret 2017) pada

Undang-Undang Republik Indonesia No 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat.

Namun karena pasal tersebut sudah tidak valid dan diberlakukan undang-undang

baru yaitu Undang-Undang Republik Indonesia No 8 Tahun 2016 tentang

Penyandang Disabilitas pasal 1 ayat 1 bahwa difabel atau “Penyandang Disabilitas

adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental,

dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan

lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara

penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak”.

Kekurangan para difabel seperti mental, fisik dan keduanya menempatkan

difabel tetap diberikan kesempatan membangun potensi beraktivitas. Hal ini

ditunjang dengan adanya peraturan dari pemerintah yaitu Undang-undang Republik

Indonesia No 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas pasal 1 ayat 2 yaitu “

Kesamaan Kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang dan/atau

menyediakan akses kepada Penyandang Disabilitas untuk menyalurkan potensi

dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat”. Biasanya difabel

dapat dikatakan tidak percaya diri dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.

Sesuai dengan pendapat Virlia dan Wijaya (2015) bahwa penderita difabel

tunadaksa banyak yang malu atau rendah diri karena keterbatasan yang dimiliki.
Adanya keadaan yang berbeda dari para difabel menimbulkan beberapa

permasalahan. Penelitian yang dilakukan oleh Heiman, Zinck, dan Heath (2008)

menjelaskan bahwa remaja yang didiagnosa learning disabilities dengan orang tua

memiliki permasalahan keterbukaan komunikasi berupa anggapan komunikasi ibu

dan ayah remaja kurang terbuka dan problematis, serta orang tua menganggap anak-

anak tidak terlalu terlibat dengan orang tua karena perbedaan nilai dan norma

dengan orang tuanya. Baigas (2002, dalam Heiman, Zinck dan Heath, 2008)

menemukan anak-anak dengan learning disabilities dan keluarga dijelaskan

kecilnya keterlibatan dalam aspek keaktifan keluarga, seperti peran, kontrol

perilaku, komunikasi, dan responsibilitas afektif serta keaktifan secara umum. Hal

lainnya juga dikarenakan adanya gangguan pemaknaan pada proses komunikasi.

Dijelaskan oleh Kanner (dalam Lubis, 2009) bahwa anak autism memiliki

gangguan yang dicirikan atas gangguan interaksi sosial, gangguan perilaku dan

gangguan komunikasi.

Perwanda (2016) menemukan adanya penyimpangan yang dilakukan oleh

anak tunagrahita yaitu melakukan penyimpangan sosial seksual secara khusus

karena keterbatasan mental dan intelegensinya, terutama di rumah. Manoy (2015)

menjelaskan pada anak tunagrahita tingkat sedang memiliki kesulitan dalam

pembelajaran baik membaca hingga berhitung hingga berperilaku non adaptif, yang

mana komunikasi antara guru dan siswa digunakan komunikasi interpersonal untuk

pembelajaran yang efektif. Namun, Pramitha (2015) dalam penelitiannya

menjelaskan bahwa adanya keterbatasan intelegensi siswa berkebutuhan khusus,

mempengaruhi proses komunikasi interpersonal pada proses belajar mengajar.


Penelitian ini memperlihatkan terdapat peranan guru dalam dunia pendidikan

dalam proses komunikasi selain orang tua. Dalam Devito (1997) terdapat beberapa

tujuan komunikasi yaitu menemukan jati diri (personal discovery), untuk menjalin

hubungan dengan orang lain, bertujuan untuk meyakinkan seseorang terutama

dalam mengubah sikap dan perilaku seseorang, serta untuk bermain yaitu proses

komunikasi yang dibutuhkan sebagai bentuk hiburan. Tujuan komunikasi

dibutuhkan pula oleh anak-anak difabel terutama yang masih membutuhkan

bimbingan, pendidikan, dan hal-hal lain yang harus dipelajari terutama dalam

menerapkannya pada kagiatan sehari-hari. Hal ini juga sesuai bahwa terdapat salah

satu fungsi komunikasi menurut Mulyana (2010, h. 33) bahwa terdapat fungsi

komunikasi instrumental yang bertujuan untuk “menginformasikan, mengajar,

mendorong, dan mengubah sikap dan keyakinan, mengubah perilaku atau

menggerakkan tindakan, juga menghibur”. Fungsi komunikasi instrumental ini

merujuk pada komunikasi untuk pendidikan.

Proses komunikasi terutama dalam tujuan menemukan jati diri hingga

mengubah sikap perilaku seseorang dapat ditunjang dari proses pendidikan yang

berhak didapatkan untuk para difabel. Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia pasal 54 yang berbunyi “Setiap anak cacat fisik atau mental

berhak memperoleh perawatan, pendidikan, dan pelatihan dan bantuan khusus atas

biaya negara untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan,

meningkatkan diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat

dan bernegara”. Dari sini pendidikan di sekolah dan keberadaan Sekolah Luar Biasa
(SLB) menjadi sarana para difabel dapat membangun potensi diri hingga mengubah

sikap perilaku yang ada.

Pendidikan untuk para difabel juga penting lantaran keberadaan orang tua

masih kurang dalam memberikan bimbingan dan pendidikan untuk anak-anak

terutama dalam menangani anak-anak difabel. Maka, dibutuhkan peran orang lain

seperti para guru-guru dan terapis untuk membantu informan. Boham (2013)

menjelaskan bahwa terdapat sebagian orang tua menangani anak-anaknya dengan

melanjutkan program-program di sekolah dan menyerahkan penanganan anaknya

pada baby sitter dan mendatangkan terapis sebagai guru. Terutama Perwenda

(2016) juga menemukan anak tunagrahita memiliki kecendrungan melakukan

penyesuaian negatif di rumah.

Pada hakikatnya membahas pendidikan maka terdapat proses komunikasi.

Effendy (1997, dalam Putra 2017) menjelaskan bahwa pendidikan tidak dapat

berjalan tanpa adanya komunikasi. Komunikasi dalam ranah pendidikan terdapat

keterlibatan guru. Guru berperan sebagai “pendidik professional dengan tugas

pokok mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan melatih, menilai dan

mengevaluasi peserta didik” (Marwanti dan Sampurno, nd). Komunikasi terjadi

dalam proses pembelajaran, dikutip dari Iriantara dan Syaripudin (2013) bahwa

pada proses pembelajaran baik di sekolah ataupun tempat lain akan terjadi

komunikasi terutama dilakukan oleh guru dan siswa adalah untuk menyampaikan

materi pembalajaran dan membangun relasi.


Proses komunikasi antara guru dan siswa dalam pendidikan merupakan

bentuk komunikasi instruksional. Komunikasi instruksional merupakan

komunikasi bidang kegiatan proses belajar mengajar (Yusuf, 2010). Pada penelitian

Suriani (2013), komunikasi instruksional dilakukan dalam melihat implementasi

pada proses belajar-mengajar menggunakan media-media komunikasi instruksional

untuk proses pembelajaran yang bertujuan untuk mengubah pola pikir dan tingkah

laku siswanya ke arah yang lebih baik. Komunikasi instruksional berperan dalam

proses belajar mengajar untuk mengubah seseorang terutama siswa lebih baik lagi

dalam berfikir dan perilaku, terutama para difabel yang memiliki beberapa

kekurang. Namun di sisi lain, Putra (2017) menemukan dalam komunikasi

instruksional yang dilakukan seorang guru meliputi komunikasi verbal dan

nonverbal guru terdapat dampak konstruksi gender dan sosial seperti pola asuh,

tempat tinggal, dan pengalaman para guru sejak kecil.

Dari penelitian Putra mengenai komunikasi intruksional, background

mempengaruhi pengalaman dari seorang guru yang masing-masing mempengaruhi

komunikasi dengan siswa difabel. Penelitian Putra (2017) menjelaskan guru

melakukan komunikasi instruksional berdasarkan pengalaman-pengalaman sosial

informan. Untuk itu penelitian ini dilihat dari penelitian fenomenologi karena

Langdridge (2007, dalam Kafle, 2011) menjelaskan fenomenologi merupakan

metode kualitatif yang berfokus pada topik pengalaman manusia yang berkaitan

dengan makna dan cara makna muncul dari pengalaman. Pengalaman dari masing-

masing guru dengan background yang berbeda dapat memunculan makna dan cara

yang dimiliki masing-masing guru.


Terdapat peran guru dalam proses belajar mengajar dengan kemampuan yang

memadai. Hal ini diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia No 14 Tahun

2005 tentang Guru dan Dosen yaitu pasal 8 yang berbunyi “Guru wajib memiliki

kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidikan, sehat jasmani dan rohani,

serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional” (L

LPTIK, 2005). Selain itu dalam Undang-undang Republik Indonesia No 14 Tahun

2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10 ayat 1 dijelaskan pula kompetensi guru yang

dimaksud adalah “kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi

sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”

(Fathurrohman dan Suryana, 2012, h. 16). Para guru yang membimbing siswa

difabel merupakan guru-guru yang telah lulus Pendidikan Luar Biasa (PLB) sesuai

dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 32 Tahun

2008 tetang Standar Kualifkasi Akademik dan Kompetensi Guru Pendidikan yang

berbunyi “berpendidikan minuman D-IV atau S1 SLB/PKh yang diperoleh dari

program studi/jurusan PLB/PKh yang terakreditasi…” . Salah satu contoh dalam

penelitian Pramitha (2015) sendiri salah satu informan sebagai guru pengajar di

SDLB Manisrejo, Madiun merupakan lulusan dari Sarjana PLB dan memiliki

pengalaman mengajar selama 20 tahun.

Namun, permasalahannya masih adanya guru-guru yang mengajar bukan dari

lulusan sarjana PLB atau non Pendidikan Luar Biasa (non PLB). Hal ini sesuai

dengan adanya permasalahan umum yang ada pada ranah pendidikan Indonesia

yang dinyatakan oleh Fathurrohman dan Surya (2012) bahwa terdapat 33 % guru

yang mengajar di luar bidang keahliannya yang dipertanyakan akan


keprofesionalitasnya. Hal ini memungkinkan informan kesulitan dalam

berkomunikasi dengan para siswa difabel. Paramitha (2015) juga menjelaskan

bahwa dalam keterbatasan yang dimiliki siswa difabel dapat mempengaruhi

komunikasi interpersonal dalam kegiatan pembejaran di sekolah.

Di lapangan salah satunya SLB Pelangi LombokCare memiliki guru-guru

yang mengajar dengan background non PLB. SLB Pelangi LombokCare bernaung

di bawah Yayasan LombokCare salah satu yayasan yang ada di Lombok, Nusa

Tenggara Barat bergerak dalam penanganan anak-anak difabel. Yayasan

LombokCare memiliki tempat penanganan siswa difabel di SLB dan penanganan

anak-anak berupa tempat terapi. Siswa difabel yang ditangani di LombokCare ini

sendiri banyak merupakan siswa difabel tunaganda dan fisik (LombokCare

Foundation, 2015). SLB Pelangi LombokCare menangangi beberapa jenis siswa

difabel. Yayasan LombokCare menampung siswa difabel seperti autis, cerebral

palsy, mental retardation, lambat belajar, hiperaktif, dan tunadaksa (Wawancara

dengan informan Pak Hayat, 17 Januari 2017). Sedangkan, dalam pendiriannya

SLB memiliki katagori tertentu berdasarkan golongan yang ditangani. Latifah

(2015) menjelaskan terdapat pembagian kelas SLB berdasarkan keterbatasan yaitu,

SLB Tunanetra A, Tunarungu B, SLB Tunaganda G, Autis, dan lain-lain.

Berdasarkan hasil wawancara, ditemukan bahwa siswa difabel di SLB

Pelangi LombokCare memiliki permasalahan komunikasi, kurang ekspresif, susah

dalam memahami perintah-perintah sederhana serta permasalahan dalam

kedisiplinan. Guru-guru pada SLB Pelangi LombokCare mengalami permasalahan

dalam mengatur siswa difabel ketika masuk sekolah setelah libur atau ketika sakit.
Biasanya guru-guru harus mengulang untuk mengajari siswa difabel seperti

pembelajaran disiplin. Permasalahan lainnya adanya siswa difabel yang kadang

melakukan kekerasan fisik (Wawancara dengan informan Pak Hayat, 17 Januari

2017). Kemudian, dari hasil wawancara ditemukan juga permasalahan bahwa guru

dituntut untuk menyampaikan materi yang bisa dipahami setiap siswa difabel,

namun di sisi lain guru dituntut untuk melangsungkan komunikasi dua arah pada

masing-masing siswa difabel berdasarkan kemampuannya. Kondisi ini terjadi

karena minimnya jumlah guru dan kebutuhan treatment yang berbeda-beda

terutama dalam komunikasi di kelas mental (Wawancara dengan informan Mbak

Manda, 9 Juni 2017).

Yayasan LombokCare yang berdiri dikarenakan keinginan untuk membantu

masyarakat difabel terutama yang memiliki perbedaan dan kesempatan untuk

mendapatkan pendidikan. Untuk itu Yayasan LombokCare yang mendirikan SLB

Pelangi LombokCare baru memiliki 4 kelas dikarenakan berdirinya Yayasan

LombokCare ini sendiri terbilang masih baru yaitu pada tahun 2012. SLB Pelangi

LombokCare serata-rata merupakan lulusan dari Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan non PLB.

Permasalahan dari SLB Pelangi LombokCare adalah para guru yang bukan

dari background khusus menangani siswa difabel atau non PLB. Adapun para guru

umum dan guru PLB memiliki perbedaan kompetensi, bergantung dari siapa yang

diajarkan. Untuk guru PLB, Mardiana (2014) menjelaskan guru berperan dalam

memfasilitasi dan menyediakan kebutuhan para siswa hingga melakukan apapun

kebutuhan siswa difabel. Kemudian, terdapat standar kompetensi umum menjadi


guru seperti kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial serta profesional dan

ditambah program khusus yaitu pemahaman dasar-dasar tulisan braille, orientasi,

mobilitas, bina diri, gerak, pribadi, sosial, potensi kecerdasan, bakat istimewa serta

keterampilan dalam melayani siswa difabel secara individual berdasarkan jenis

layanannya (Ishartiwi, 2012).

Berdasarkan permasalahan ini peneliti ingin mengetahui pengalaman

komunikasi instruksional yang dilakukan guru yang mengajar siswa difabel.

Ketertatikan peneliti untuk meniliti komunikasi intruksional pada guru-guru SLB

Pelangi LombokCare karena pada penilitian sebelumnya yaitu Suriani (2013)

menyatakan komunikasi instruksional digunakan untuk mengubah pola pikir serta

tingkah laku para siswa SMP untuk mengarah ke hal yang lebih baik. Kemudian

Putra (2017) yang menjelaskan adanya keterlibatan pengalaman dari dampak

konstruksi sosial memepengaruhi komunikasi instruksional. Selain itu, peneliti

berminat meneliti ini karena guru-guru SLB Pelangi LombokCare merupakan guru-

guru dengan background non PLB dan minimnya wawasan serta pengalaman dalam

menangani siswa difabel, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul

Komunikasi Instruksional Guru Non Pendidikan Luar Biasa dalam mengajar siswa

di Sekolah Luar Biasa (Studi Fenomenologi pada SLB Pelangi LombokCare).


1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan background yang ada maka rumasan masalah dalam penelitian ini

adalah bagaimana komunikasi instruksional guru non Pendidikan Luar Biasa (non

PLB) dengan siswa difabel.

1.3 Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui komunikasi instruksional guru non Pendidikan Luar Biasa

(non PLB) dengan siswa difabel pada SLB Pelangi LombokCare.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk perkembangan

ilmu komunikasi terutama dalam kajian komunikasi bidang pendidikan

atau komunikasi instruksional khususnya siswa difabel berkaitan

dengan skill dan kompetensi guru.

b. Hasil penelitian diharapkan menjadi bahan pembelajaran dan

pembanding dalam penelitian selanjutnya yang digunakan peneliti lain

terutama dalam membahas penelitian dengan kajian komunikasi

instruksional antara guru dan siswa difabel.

1.4.2 Manfaat praktis


a. Penilitian ini diharapakan menjadi sumber referensi bagi pembaca

terutama pelajar ilmu komunikasi, orang tua, masyarakat, dan tenaga


pendidik terutama bidang pendidikan luar biasa untuk memahami pola

komunikasi yang dilakukan.

b. Penelitian ini juga bermanfaat untuk orang tua dan masyarakat untuk

mengetahui pola komunikasi yang dilakukan untuk diadaptasikan dalam

melakukan proses komunikasi dengan para difabel.

Anda mungkin juga menyukai