Anda di halaman 1dari 4

Kejadian Stunting pada Balita di Indonesia

1. Pendahuluan
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima tahun) akibat dari
kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi
dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak
setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah
balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan
dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006. Sedangkan definisi
stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya
kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD (severely stunted).
Pada tahun 2021, Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan Biro Pusat Statistik (BPS)
dengan dukungan Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) Sekretariat Wakil Presiden
Republik Indonesia melakukan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) dengan mengumpulkan data di 34
provinsi dan 514 kabupaten/kota dengan jumlah blok sensus (BS) sebanyak 14.889 Blok Sensus (BS)
dan 153.228 balita.
Berdasarkan hasil SSGI tahun 2021 angka stunting secara nasional mengalami penurunan
sebesar 1,6 persen per tahun dari 27.7 persen tahun 2019 menjadi 24,4 persen tahun 2021. Hampir
sebagian besar dari 34 provinsi menunjukkan penurunan dibandingkan tahun 2019 dan hanya 5
provinsi yang menunjukkan kenaikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa implementasi dari kebijakan
pemerintah mendorong percepatan penurunan stunting di Indonesia telah memberi hasil yang
cukup baik.
SSGI 2021 yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan tidak hanya memberikan gambaran status gizi balita saja tetapi juga dapat digunakan
sebagai instrumen untuk monitoring dan evaluasi capaian indikator intervensi spesifik maupun
intervensi sensitif baik di tingkat nasional maupun kabupaten/kota yang telah dilakukan sejak 2019
dan hingga tahun 2024. Saat ini, prevalensi stunting di Indonesia lebih baik dibandingkan Myanmar
(35%), tetapi masih lebih tinggi dari Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%) dan Singapura
(4%). Saat ini di beberapa daerah di Indodneisa, capaian prevalensi sudah dibawah 20% namun
masih belum memenuhi target dari RPJMN tahun 2024 sebesar 14%. Bahkan seandainyapun sudah
tercapai 14% bukan berarti Indonesia sudah bebas stunting tetapi target selanjutnya adalah
menurunkan angka stunting sampai kategori rendah atau dibawah 2,5 persen.

2. Faktor Penyebab

 Stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak)
akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Untuk menekan tingginya prevalensi stunting di
Indonesia, masyarakat perlu memahami faktor apa saja yang menyebabkan stunting. Banyak faktor
yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada anak. Faktor penyebab stunting ini dapat
disebabkan oleh faktor langsung maupun tidak langsung. Penyebab langsung dari kejadian stunting
adalah asupan gizi dan adanya penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah pola
asuh, pelayanan kesehatan, ketersediaan pangan, faktor budaya, ekonomi dan masih banyak lagi
faktor lainnya.

Sedangkan menurut studi terhadap berbagai latar belakang negara di seluruh dunia oleh
World Health Organization (WHO), terdapat dua faktor utama penyebab terjadinya stunting, yaitu
faktor eksternal dari lingkungan masyarakat ataupun negara, dan faktor internal, meliputi keadaan
di dalam lingkungan rumah anak. Suatu negara dan masyarakat di dalamnya berperan dalam
menimbulkan kondisi stunting pada anak-anak di negara tersebut. Berbagai keadaan seperti
kebudayaan, pendidikan, pelayanan kesehatan, keadaan ekonomi dan politik, keadaan perrtanian
dan sistem pangan, serta kondisi air, sanitasi, dan lingkungan berperan sebagai faktor eksternal.
Sementara itu faktor internal di dalam rumah anak sendiri perlu diperhatikan perawatan anak yang
adekuat, pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif dan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) yang
optimal, keadaan ibu, kondisi rumah, kualitas makanan yang rendah, keamanan makanan dan air,
dan infeksi.

3. Dampak Stunting

Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode tersebut, dalam jangka
pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan
gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat
ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan
tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan,
penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas
kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi (Kemenkes R.I,
2016).

Masalah gizi, khususnya anak pendek, menghambat perkembangan anak muda, dengan
dampak negatif yang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya. Studi menunjukkan bahwa
anak pendek sangat berhubungan dengan prestasi pendidikan yang buruk, lama pendidikan yang
menurun dan pendapatan yang rendah sebagai orang dewasa. Anak-anak pendek menghadapi
kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang berpendidikan,
miskin, kurang sehat dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular. Oleh karena itu, anak
pendek merupakan prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia yang diterima secara luas,
yang selanjutnya menurunkan kemampuan produktif suatu bangsa di masa yang akan datang
(UNICEF, 2012).

4. Pencegahan Stunting

Upaya pencegahan stunting sudah banyak dilakukan di negara-negara berkembang


berkaitan dengan gizi pada anak dan keluarga. Upaya tersebut oleh WHO (2010) dijabarkan sebagai
berikut:

a. Zero Hunger Strategy


Stategi yang mengkoordinasikan program dari sebelas kemeterian yang berfokus pada yang
termiskin dari kelompok miskin
b. Dewan Nasional Pangan dan Keamanan Gizi
Memonitor strategi untuk memperkuat pertanian keluarga, dapur umum dan strategi untuk
meningkatkan makanan sekolah dan promosi kebiasaan makanan sehat
c. Bolsa Familia Program
Menyediakan transfer tunai bersyarat untuk 11 juta keluarga miskin. Tujuannya adalah
untuk memecahkan siklus kemiskinan antar generasi
d. Sistem Surveilans Pangan dan Gizi
Pemantauan berkelanjutan dari status gizi populasi dan yang determinan
e. Strategi Kesehatan Keluarga
Menyediakan perawatan kesehatan yang berkualitas melalui strategi perawatan primer

Upaya penanggulangan stunting menurut Lancet pada Asia Pasific Regional Workshop (2010)
diantaranya:
a. Edukasi kesadaran ibu tentang ASI Eksklusif (selama 6 bulan)
b. Edukasi tentang MP-ASI yang beragam (umur 6 bulan- 2 tahun)
c. Intervensi mikronutrien melalui fortifikasi dan pemberiam suplemen
d. Iodisasi garam secara umum
e. Intervensi untuk pengobatan malnutrisi akut yang parah
f. Intervensi tentang kebersihan dan sanitasi
Di Indonesia, ditetapkan suatu Strategi Nasional (Stranas) Percepatan Pencegahan Anak
Kerdil (Stunting) yang merupakan dokumen acuan yang memberikan rancangan strategis intervensi
percepatan pencegahan stunting yang terukur dalam kerangka kebijakan. Stranas Stunting
memaparkan Lima Pilar Pencegahan Stunting yang merujuk pada Keputusan Wakil Presiden pada
Rapat Tingkat Menteri tentang stunting pada 9 Agustus 2017. Lima Pilar tersebut adalah:
a. Komitmen dan visi pemimpinan tertinggi negara;
b. Kampanye nasional berfokus pada pemahaman perubahan perilaku, komitmen politik, dan
akuntabilitas;
c. Konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program nasional, daerah, dan masyarakat;
d. Mendorong kebijakan ketahanan pangan dan
e. Pemantauan dan evaluasi.
Di samping itu, juga ditetapkan Kementerian/Lembaga penanggung jawab upaya percepatan
pencegahan stunting, wilayah prioritas dan strategi percepatan pencegahan stunting, serta
menyiapkan strategi kampanye nasional stunting.
Upaya percepatan pencegahan stunting dilakukan dengan menyasar penyebab langsung dan
tidak langsung melalui pendekatan menyeluruh yang mencakup intervensi gizi spesifik dan gizi
sensitif.
a. Intervensi gizi spesifik, pada:
 Ibu hamil
1) Pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK)
2) Pemberian suplementasi tablet tambah darah
3) Pemberian suplementasi kalsium
4) Pemeriksaan kehamilan
 Ibu menyusui dan anak 0-23 bulan
1) Promosi dan konseling pemberian ASI eksklusif
2) Promosi dan konseling pemberian makan bayi dan anak (PMBA)
3) Penatalaksanaan gizi buruk
4) Pemberian makanan tambahan pemulihan bagi anak gizi kurang
5) Pemantauan dan promosi pertumbuhan
6) Pemberian suplementasi vitamin A
7) Pemberian suplementasi bubuk tabur gizi, seperti Taburia
8) Pemberian imunisasi
9) Pemberian suplementasi zinc untuk pengobatan diare
10) Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
11) Pencegahan kecacingan
 Remaja putri dan wanita usia subur, berupa pemberian suplementasi tablet tambah
darah
 Anak 24-59 bulan
1) Penatalaksanaan gizi buruk
2) Pemberian makanan tambahan pemulihan bagi anak gizi kurang
3) Pemantauan dan promosi pertumbuhan
4) Pemberian suplementasi vitamin A
5) Pemberian suplementasi bubuk tabur gizi, seperti Taburia
6) Pemberian imunisasi
7) Pemberian suplementasi zinc untuk pengobatan diare
8) Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
9) Pencegahan kecacingan
b. Intervensi gizi sensitif
 Peningkatan penyediaan air bersih dan sanitasi
1) Penyediaan akses air bersih dan air minum
2) Penyediaan akses sanitasi yang layak
 Peningkatan akses dan kualitas pelayanan gizi dan Kesehatan
1) Penyediaan akses Jaminan Kesehatan, seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
2) Penyediaan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB)
3) Penyediaan akses bantuan tunai bersyarat untuk keluarga kurang mampu, seperti
Program Keluarga Harapan (PKH)
 Peningkatan kesadaran, komitmen, dan praktik pengasuhan dan gizi ibu dan anak
1) Penyebarluasan informasi mengenai gizi dan kesehatan melalui berbagai media
2) Penyediaan konseling perubahan perilaku antar pribadi
3) Penyediaan konseling pengasuhan untuk orang tua
4) Penyediaan akses pendidikan anak usia dini, promosi stimulasi anak usia dini, dan
pemantauan tumbuhkembang anak
5) Penyediaan konseling kesehatan reproduksi untuk remaja
6) Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
 Peningkatan akses pangan bergizi
1) Penyediaan akses bantuan pangan untuk keluarga kurang mampu, seperti Bantuan
Pangan Non Tunai (BPNT)
2) Pengembangan pertanian dan peternakan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan
gizi di rumah tangga, seperti program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL)
3) Fortifikasi bahan pangan utama, misalnya garam, tepung terigu, dan minyak goreng
4) Penguatan regulasi mengenai label dan iklan pangan

Anda mungkin juga menyukai