Anda di halaman 1dari 184

I.

TINJAUAN UMUM SIGNAL VIDEO


1.1 SIGNAL VIDEO
Indra penglihatan syaraf retina mata menerima rangsangan radiasi
enerji yang menimbulkan sensasi visual, enerji tersebut berupa gelombang elekro
magnetic dengan panjang gelombang 790 nano meter s/d 385 nano meter atau
385.10¹² Hz s/d 790.10¹², spektrum frekuensi ini lebih dikenal dengan nama
cahaya (gambar 1 .Diagram Chromaticity).
Tanggapan penglihatan mata terhadap rangsangan enerji cahaya dapat dilihat
pada gambar 1.2 yang menyatakan jumlah cahaya relatif enerji yang merangsang
mata dinyatakan dalam luminan dari cahaya yang datang.
Gambar 1,1 DIAGRAM CHROMATICITY

520
515 530
540
510
550
505 560

500 570
580
590
495 600
610
C 620
640
490
700
485

480
470
460 400

Gambar 1.2 Tanggapan penglihatan mata terhadap panjang gelombang

1.2 WARNA – WARNA DASAR


Cahaya yang datang diterima oleh mata dapat terdiri dari ber macam-
macam warna yang merupakan campuran secara aditif dari tiga warna dasar :
Merah ( R ), Hijau (G ), Biru ( B ). Bila diambil cahaya putih sebagai standar atau
pembanding maka cahaya putih tersebut dapat dinyatakan dalam penjumlahan
dari jumlah tertentu dari tiga warna dasar R, G, B.

1
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Warna putih disingkat dengan (W), maka:

W ref = W1 R + W2 R + W3 R ..…………..…………………(1)

Dimana W1,W2 dan W3 adalah jumlah dari masing – masing warna dasar. Bila
W1, W2 dan W3 dibuat =1, kemudian harga (R), (G) dan (B) dianggap harga
satuan dari masing – masing warna dasar, maka satuan warna Khrominan C1
dapat dinyatakan dalam :

C1 = R1 R + G1 G + B1 B…………………………………….(2)

Dimana R1, G1 dan B1 merupakan jumlah dari satuan warna dasar supaya hasil
penjumlahan sama dengan warna C1, R1,G1 dan B1 dinamakan harga
tristimulus dari warna C1. Cahaya putih standard tersebut diatas mempunyai
harga tristimulus = 1.

1.3 HUBUNGAN R, G & B DENGAN HARGA LUMINAN


Berdasarkan standard yang digunakan “National Television System
Committee” (NTSC), suatu harga dari penjumlahan satuan warna dasar R,G dan
B akan memberikan harga luminan Y sama dengan jumlah bagian tertentu dari
satuan – satuan warna dasar, yaitu :

Y = 0,299 R + 0,597 G + 0,114 B……………………….…..(3)

Untuk warna putih akan diperoleh harga Y = 1 sebab harga – harga tristimulus
warna dasarnya sama dengan 1.
Indonesia menggunakan sistem “Phase Alternating Line” (PAL) yang merupakan
pengembangan dari sistem “NTSC” dalam memperbaiki cacat fase yang terdapat
pada sistem tersebut, tetapi untuk satuan warna dasar tetap memakai sistem
“NTSC”.

1.4 SISTEM PHASE ALTERNATING LINE (P.A.L)


Sistem ini dikembangkan oleh ahli televisi Jerman sebagai perbaikan
dari kekurangan sistem “NTSC”. Penelitian sistem “PAL” dilakukan sejak tahun
1956 kemudian tahun 1963 sistem ini disarankan untuk dijadikan standard televisi
di Eropa.
Dibandingkan sistem “PAL”, sistem “NTSC” sangat peka terhadap cacat fase
yang mengakibatkan sebagai berikut :

1. Rumitnya kanal penghubung, terutama signal video akan


menimbulkan parasitic reaktansi.
2. Tapis pelewat bidang (“B.P.F”) yang tidak sempurna akan
mengakibatkan pergeseran fase terhadap frekuensi.
0
Cacat fase tersebut tidak boleh lebih besar dari 5 , sistem “NTSC” memperbaiki
cacat fase tersebut dengan umpan balik atau mengkompensirnya di tempat yang

2
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
diperkirakan fasenya perlu diperbaiki, semakin banyak tempat perbaikan fase
makin rumit sistem tersebut.
Sistem “PAL” memperbaikinya dengan cara merubah fase dari sub carrier yang
0 0
tegak lurus dari 90 ke 270 secara bergantian menurut garis-garis scaning.

1.5 PEMILIHAN SIGNAL WARNA SISTEM “PAL”


Untuk mengirimkan informasi warna berdasarkan sifat warna dasar dan
sifat penglihatan mata manusia terhadap warna, sehingga didapatkan hasil
sebaik mungkin dan warna yang dihasilkan di tabung gambar mendekati warna
aslinya.
Hal tersebut diperoleh dengan cara sebagai berikut : Suatu kamera tv warna
sederhana yang mempunyai tiga tabung pengambil gambar, untuk masing-
masing warna merah, biru dan hijau dihadapkan kepada warna yang tidak
berwarna atau benda putih. Sensitivitas tabung pengambil gambar diatur
sedemikian rupa sehingga tegangan output masing – masing tabung adalah
sama, maka tegangan output dari masing – masing tabung adalah harga satuan
dari warna dasar merah, biru dan hijau.
Bila warna putih ingin terlihat pada tabung TV warna atau signal luminan ingin
dihasilkan dari ketiga warna satuan, perbandingan dari harga satuan warna dasar
dimasukkan ke gun electron masing – masing tabung.
Perbandingan itu adalah : 29,9% untuk ER
58,7% untuk EG
11,4% untuk EB
Signal luminan yang dihasilkan disingkat dengan signal Y, akan berjumlah 100%
atau harganya akan sama dengan masing – masing harga satuan warna dasar.
Bila diambil 29,9% ER + 58,7% EG + 11,4% EB dari suatu kamera warna akan
diperoleh signal luminan Y atau signal TV hitam putih (“Monochrome”). Begitu
pula sebaliknya jika ingin menghasilkan gambar hitam putih pada pesawat
penerima TV warna, maka 29,9% EY dimasukkan ke gun electron Rv. 58,7% EY
dimasukkan ke electron gun G dan 11,4% EY dimasukkan ke electron gun B.
(Gambar 1.3)

0.299 Ey
Merah

Ey 0.587 Ey
Hijau

0.114 Ey
Biru

Gambar 1.3 Ilustrasi mendapatkan signal warna dari signal luminan.

3
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Dengan demikian dapat dilihat bahwa signal luminan Y merupakan penjumlahan
dari warna dasar dengan perbandingan tertentu, warna serta kepekatan warna
suatu benda tergantung kepada perbandingan warna dasar yang dihasilkan oleh
bernda tersebut.
Setiap warna mempunyai harga luminan atau “Brithness” yang sesuai dengan
jumlah perbandingan dari masing – masing harga warna dasar yang dipunyainya.
Pada tingkat kepekatan warna yang paling tinggi adalah warna merah harga EY =
0,299, warna hijau harga EY = 0,587 dan warna biru harga EY = 0,114.
Terlihat juga bahwa Y yang paling tinggi yaitu 1, diperoleh dari warna putih dan
harga Y untuk warna yang lain akan selalu kurang dari 1.
Untuk mendapatkan kompatibilitas antara TV warna dan TV hitam putih
berdasarkan kepada hubungan antara R,G dan B dari warna benda dengan
harga luminan Y nya, maka untuk TV warna signal yang disalurkan adalah :

1) Harga luminan Y, merupakan signal TV hitam putih.


2) Harga R dan B atau dua diantara ketiga komponen warna
dasar.
Komponen warna dasar yang ketiga dapat dicari dari hubungan harga Y dengan
masing – masing harga R,G dan B yaitu :
Luminan Y = 0,299 ER + 0,587 EG + 0,114 EB……….........................(4)
Supaya signal warna dan signal luminan tidak saling mengganggu, bila yang
akan disalurkan adalah sesuatu yang tidak berwarna (R = B = G = Y), kanal
signal warna harus tidak menyalurkan informasi warna, maka untuk kanal warna
yang dilewatkan adalah signal pembeda warna (“Color Difference Signal”). Signal
pembeda warna diperoleh dari hasil komponen warna dasar dikurangi dengan
komponen luminan yaitu
(ER – EY), (EG – EY) atau (EB – EY).
Dari persamaan (4) Y = 0,299 ER + 0,587 EG + 0,114 EB
diperoleh :
( ER – EY ) = 0,701 ER – 0,587 EG – 0,114 EB
( EG – EY ) = 0,299 ER + 0,413 EG – 0,114 EB atau
( EB – EY ) = 0,299 ER – 0,587 EG + 0,886 EB

Untuk gambar tidak berwarna harga R = G = B = Y maka akan


diperoleh signal pembeda warna = 0.
Dengan demikian pada sistem TV warna signal – signal yang disalurkan adalah :
1) Signal luminan Y yang sama dengan signal TV hitam putih
2) Signal pembeda warna dua buah
Sedangkan di pesawat penerima tinggal menjumlahkan signal luminan Y dengan
sinyal pembeda warna untuk mendapatkan warna dasar merah, hijau dan biru.
Sebagai berikut :
EY + (ER – EY) = ER
EY + (EG – EY) = EG
EY + (EB – EY) = EB
Keuntungan dari metode penjumlahan warna diatas adalah jika signal tidak
berwarna yang disalurkan (hitam putih), maka signal pembeda warna menjadi 0
dan tidak ada signal warna yang dipancarkan. Jadi rangkaian warna pada

4
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
penerima tidak bekerja maka tidak ada latar belakang warna pada layar tabung
gambar. Untuk lebih jelas mengapa signal pembeda warna menjadi 0 untuk
pandangan hitam putih, kita ambil pandangan putih sebagai contoh :
ER = EG – EB = 1,0
EY = 0,299 ER + 0,587 EG + 0,114 EB
= (0,299 X 1,0) + (0,587 X 1,0) + (0,114 X 1,0)= 1,0
Sehingga :
( ER – EY ) = 1,0 – 1,0 = 0
( EG – EY ) = 1,0 – 1,0 = 0
( EB – EY ) = 1,0 – 1,0 = 0
Jelaslah signal pembeda warna sama dengan 0, dan hasil yang sama akan
diperoleh jika pandangan warna abu – abu atau hitam sebagai pengganti
pandangan putih.
Meskipun ketiga signal pembeda warna berasal dari Pusat Kontrol Studio yang
dipancarkan hanya dua diantara tiga signal pembeda warna. Pesawat penerima
akan memproses untuk memunculkan kembali signal pembeda warna yang
ketiga, signal pembeda warna yang dipancarkan adalah ( ER – EY ) dan ( EB –
EY ).
Untuk mendapatkan signal pembeda warna yang ketiga (EG – EY) signal
pembeda warna (ER – EY) dan (EB – EY) di “invert” menjadi – (ER – EY) dan –
(EB – EY).
Signal pembeda warna yang ketiga (EB – EY) diperoleh sebagai berikut

:EY = 0,299 ER + 0,587 EG + 0,114 EB


EY = 0,299 EY + 0,587 EY + 0,114 EY –
0= 0,299 (ER-EY) + 0,587 (EG-EY) + 0,114 (EB-EY)
0,587 (EG-EY) = -0,299 (ER-EY) – 0,114 (EB-EY)
(EG-EY) = - 0,51 (ER-EY) – 0,19 (EB-EY)
Dengan demikian seluruh pesawat penerima warna tinggal menambahkan –(ER-
EY) dan – (EB-EY) dengan perbandingan 0,51 : 0,19.
Table ( 1 – 1) memperlihatkan urutan warna yang dimulai dari putih dan diakhiri
dengan hitam, yang biasa dinamakan “Color bar patern” yang terdiri dari tiga
warna primer dan tiga warna skunder. Table ini dapat dilengkapi dengan nilai –
nilai untuk R,G,B,Y dan tiga signal pembeda warna, semua warna disini adalah
pekat yaitu nilai R,G dan B adalah 1 atau 0.
Sebagai ilustrasi bagaimana table ini disusun kita ambil warna kuning dan
menghitung komponen – komponen signal.
Untuk warna kuning,
ER = EG = 1,0
EB = 0
EY = 0,299 ER + 0,587 EG + 0,114 EB
EY = (0,299 X 1,0) + (0,587 X 1,0) + (0,114 X 1,0)
EY = 0,886
Maka :
ER – EY = 1,0 – 0,886 = 0,114
EG – EY = 1,0 – 0,886 = 0,114
EB – EY = 0 - 0,886 = - 0,886

5
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Tanda negatip didepan signal pembeda warna biru maksudnya adalah tabung
gambar warna biru tidak bekerja pada saat pandangan berwarna kuning.

Table (1-1) Signal pembeda warna dan Y,R,G dan Signal V & U untuk
amplitudo100% saturasi color bar.
Putih Putih Kuning Cyan Hijau Magenta Merah Biru Hitam
1.0 Kuning
0.89 0.44 0.44
Cyan
Hijau 0.29 0.29
0.7 0.15
o.59 Magenta 0.15
0.41 Merah 0 0
0.3 Biru
0.11 Hitam
0
Y
0.7
0.59 Signal U
0 0.11 0.61
0 0.61
0.52
- 0.11

ER - EY - 0.7 - 0.59
0.09 0.09
0 0
0.41
0.3
0.11
0 0

- 0.11
- 0.3
EG- EY - 0.41 Signal V

0.89
0.63 0.59 0.63
0.59
0.3
0.44 0.44
0 0

- 0.3
- 0.59
0 0
- 0.89
EB - EY

Penjumlahan signal U dan V

Gambar 1.4 .Signal color bar untuk amplitude 100% saturasi.

6
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Table (1-2) Signal pembeda warna dan Y,R,G dan Signa V & U untuk amplitude
95% saturasi color bar.
Putih Kuning Cyan Hijau Magenta Merah Biru Hitam Putih Kuning Cyan Hijau Magenta Merah Biru Hitam

1.0 0.33 0.33


0.92
0.22 0.22
0.78
0.69 0.11 0.11
0.56 0 0
0.48
0.33

Y 0

0.44 0.53 Signal U

0 0.08
0.46 0.46
0.39
- 0.08 0

0 0.07 0.07 0
- 0.53 - 0.44
ER - EY

0.31 Signal V
0.23

Signal V
0 0.08 0

- 0.08
0.47 0.47
0.34 0.45
0.34
- 0.23
EG- EY - 0.31
0 0
0.67
0.44
0.23
0 0

Penjumlahan signal U dan V


- 0.23
- 0.44
- 0.67
EB- EY

Gambar 1.5. Signal color bar untuk amplitude 95% saturasi.

7
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Dalam proses demodulasi pada pesawat penerima bentuk envelope signal video
color bar 95% saturasi dapat dilihat pada gambar 1.6, pembacaan menggunakan
skala % puncak level warna kuning pada100%, puncak level warna putih pada
80%, level warna hitam pada 25%, hal yang sama akan diperoleh apabila kita
gunakan video color bar 100% modulasi,

0.875 V
100%
0.793 V
Sub carrier chrominance
0.702 V
0.7 V 0.664 V
80

0.470 V

0.405 V
5.12 uS

0.211 V
25 0.3 V 0.173 V

0.082 V
0.3 V 4.7
uS 0.0 V

64 uS

Gambar 1.6. Envelope video carrier untuk 95% saturasi test pattern
color bar

1.6. SIGNAL V DAN U


Signal pembeda warna (ER – EY) dan (EB – EY) pada table (1-1)
mempunyai amplitudo yang dibandingkan dengan signal luminan (1,0) adalah +
0,701 untuk (ER – EY) dan + 0,886 untuk (EB – EY). Apabila signal tersebut
dimodulasikan kepada EY normal, carrier gambar akan mendesak kedalam pulsa
sinkronisasi dan akan melebar masuk kebawah “zero carrier level”, dengan
demikian “cross talk” signal warna akan muncul pada signal luminan.
Untuk menghindari pengaruh tersebut, kedua signal pembeda warna
amplitudonya diturunkan. Signal baru tersebut dinamakan signal V dan U, (table
1-2).
Amplitudo signal V = 0,877 (ER – EY)
U = 0,493 (EB – EY)

Penurunan amplitudo tidak akan menimbulkan kesulitan pada penerima karena


dengan mudah penerima dapat mengatur penguatan kedua signal pembeda
warna kembali kepada amplitudo semula.
Hasil penelitian lebih lanjut dari sifat penglihatan mata yang normal dalam melihat
berbagai kombinasi warna, ketajaman untuk melihat perbedaan warna tidak
sama untuk seluruh warna. Mata dapat membedakan lebih jelas perbedaan
dalam daerah warna oranye dan “cyan” daripada daerah warna hijau dan ungu.
Oleh sebab itu bidang frekuensi yang dibutuhkan untuk menyalurkan signal

8
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
warna disekitar warna oranye dan “cyan” akan lebih lebar dibandingkan dengan
frekuensi yang dibutuhkan untuk warna hijau dan ungu.
Berdasarkan perbedaan bidang frekuensi yang dibutuhkan oleh kedua daerah
diatas, maka untuk meletakkan frekuensi sub carrier setinggi mungkin dalam
bidang frekuensi video, dipilih warna oranye –“cyan” sebagai signal warna yang
0 0
dimodulasikan ke sub carrier yang fasenya berubah dari 90 ke 270 , signal ini
dinamakan V = 0,877 (ER-EY).
Sedangkan untuk daerah warna hijau – ungu sebagai signal warna yang
0
dimodulasikan ke sub carrier yang berfase 0 signal ini dinamakan signal U =
0,493 (EB-EY).

1.7. MODULASI TEGAK LURUS (“QUADRATURE MODULATION”)


Untuk memodulasikan signal V dan signal U menggunakan teknik
modulasi tegak lurus dengan sub carrier ditekan, signal V dan U dimodulasikan
dengan sistem amplitude modulasi pada dua sub carrier yang mempunyai
0
frekuensi yang sama tetapi berbeda fase 90 .
Selain bentuknya yang khusus dari amplitudo modulasi, karena sub carrier itu
sendiri ditekan. Amplitudo kedua jalur sisi sebanding dengan amplitudo signal V
dan U, jadi apabila signal warna hilang tidak ada jalur sisi yang dipancarkan. Jadi
tidak ada gangguan “Beat patern” antara signal carrier luminan dan khrominan.
Proses modulasi tegak lurus dilaksanakan oleh sepasang modulator seimbang
yang rangkaian outputnya saling berhubungan. (gambar 1.7).
Signal masukan terdiri dari signal V dan U, masukan sub carrier mempunyai
0
frekuensi yang sama tetapi berbeda fase 90 . Rangkaian modulator seimbang
memenuhi karakteristik yang diinginkan yaitu tidakmenghasilkan output apabila
kedua signal V dan U tidak ada.
Untuk memperbaiki cacat fase dalam sistem “PAL” dengan cara sub carrier yang
0 0
dimodulasi signal V diubah – ubah fasenya secara bergantian dari 90 ke 270 ,
maka signal V untuk setiap garis scaning akan selalu berlawanan arah.

Gambar 1.7. Balanced Modulator

9
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Gambar 1.8. Koreksi Cacat Fase
Dengan memperhatikan gambar 1.8, misalnya warna F1 merupakan signal yang
seharusnya diterima oleh pesawat penerima. Tetapi dengan adanya cacat fase θ
pada garis ke n dari gambar, yang diterima adalah Fa. Pada garis ke n + 1
pesawat penerima akan menerima signal Fb dengan cacat fase yang sama
arahnya dengan dengan cacat yang dialami Fa, yaitu berjarak θ dari tempat Fb
seharusnya (F2). Jadi disini fase bergeser sebesar θ kearah berlawanan dengan
jarum jam.
Bila pada pesawat penerima bisa diatur sehingga signal Fb dengan komponen –
Vb dan Vb dapat diprosentasikan bersama dengan signal Fa, dengan terlebih
dulu Fb dijadikan signal Fc dengan membalik –Vb menjadi Vb, maka jumlah Fad
an Fc akan menghasilkan signal baru yang sefase dengan F1 dan bila
amplitudonya dibagi dua hasilnya yang selalu berlawanan arah pada dua garis
gambar yang berurutan pada prosentasi bersama signal U (=F) dipesawat
penerima disatukan menjadi satu garis, jika ada kesalahan fase maka kesalahan
itu akan saling menghapuskan, disini cacat fase sudah terkoreksi.
Kekurangan sistem “PAL” jelas terlihat, yaitu makin besar cacat fase yang
dialami, makin berkurang amplitude signal hasilkoreksi, akibatnya adalah warna
0
yang dihasilkan kepekatannya akan berkurang. Bila cacat fase sampai 90 maka
signal warna akan hilang dan gambar akan menjadi hitam putih.

1.8. PEMILIHAN FREKUENSI SUB CARRIER SISTEM “PAL”


Dalam pemilihan sub carrier ada dua hal penting yang perlu
diperhatikan, yaitu:
1).Adanya sub carrier pada sistem TV warna tidak boleh mengganggu
signal luminan, baik pada TV warna maupun TV hitam putih. Gangguan
ini dinamakan “Dot Patern” yang akan mengurangi ketajaman gambar.
2).Signal luminan tidak boleh mengganggu signal khrominan.

Pentingnya pemilihan ini dapat dijelaskan sebagai berikut :


10
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Walau bidang tanggap frekuensi video adalah rata atau flat, tetapi distribusi enerji
dalam bidang itu tidaklah demikian. Untuk rata – rata gambar enerji terbesar
terkumpul pada komponen frekuensi rendah dan makin tinggi frekuensinya, maka
enerjinya makin kecil.
Dengan adanya proses scaning maka frekuensi kelipatannya akan terlihat
dominant pada bidang frekuensi video. Sebagian enerji akan terkumpul dalam
interval frekuensi garis, yaitu pada sekitar dan kelipatan – kelipatan dari frekuensi
garis.
Sub carrier dengan modulasi signal video akan membentuk pola spectrum enerji
seperti signal luminan dan kelipatan dari frekuensi scaning gambar, tetapi
spektrum tersebut berpusat pada frekuensi sub carrier. Bila enerji dari kedua
spektrun tadi frekuensinya berhimpit maka pada gambar yang dihasilkan signal
warna dan signal luminan akan saling mengganggu dan “Dot Patern” akan
timbul.

0 1 2 3 4 4.43 5 5.5 MHz

Gambar 1.9. Spektrum Energi Signal Video dengan Sub Carrier

Bila frekuensi sub carrier dipilih sedemikian rupa sehingga terletak diantara
spectrum enerji signal luminan, maka masing – masing spectrum enerji akan
terlihat terpisah kondisi diatas akan dicapai bila frekuensi sub carrier merupakan :
Fsc = ( 2n + µ ) F1 + Ff/2……………………………………………(5)
Dimana :
Fsc = Frekuensi sub carrier
n = 284
F1 = Frekuensi garis (15625 Hz)
Ff = Frekuensi bingkai (50 Hz)
Maka untuk frekuensi sub carrier standar sistem “PAL” dengan jumlah garis 625,
diperoleh :
Fsc = (284 + ¼) x 15625 Hz + 25 Hz
= 4,43361875 Mhz ±1Hz

1.8 SUBCARRIER “BURST”


Frekuensi sub carrier ditekan sebelum dipancarkan untuk menghindari
pola yang tidak diinginkan pada tabung gambar, hanya informasi jalur sisi yang
11
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
dipancarkan. Dengan tidak dipancarkannya sub carrier, pesawat penerima tidak
mengetahui fase jalur sisi yang dipancarkan.
Untuk mengatasi kesulitas tersebut dengan memancarkan 10 “cycle” frekuensi
sub carrier selama interval “Back Porch” setelah pulsa sinkronisasi (gambar 1.10)
Pada pesawat penerima “burst” dari sub carrier akan menyamakan fase local
osilator agar bekerja pada frekuensi 4,43361875 Mhz. fungsi lain adalah signal V
yang terjadi apakah dia positif atau negative, di “invert” dari garis ke garis
berikutnya, pesawat penerima akan mengetahui garis mana yang mengandung
signal V yang di “invert” atau tidak.
Fase signal “burst” juga berubah sesuai dengan perubahan signal V, perubahan
0
tersebut = 45 dari sumbu –U. Selama pulsa sinkronisasi vertical tidak ada “back
porch” oleh karena tidak perlu melancarkan “burst”, dengan demikian
dikosongkan untuk 9 garis sesudah akhir dari bingkai (lihat gambar 1.11)

SIGNAL BURST 4.43 MHz


(8 s/d 10 PERIODA)

Gambar 1.10 Sub Carrier 4.4336.187,5 Hz

BINGKAI KE EMPAT

308 309 310 311 312 313 314 315 316 317 318 319 320

BINGKAI PERTAMA

621 622 623 624 625 1 2 3 4 5 6 7

BINGKAI KEDUA

308 309 310 311 312 313 314 315 316 317 318 319 320

BINGKAI KETIGA

621 622 623 624 625 1 2 3 4 5 6 7

Gambar 1.11. Pulsa Sinkronisasi Vertikal.

1.9. SIGNAL PHASE ALTERNATING LINE (“PAL”)

Keseluruhan signal luminan dengan pulsa sinkronisasi vertical dan


horizontal, dan frekuensi carrier suara tidak terpengaruh dengan adanya signal
warna (lihat gambar 1.12). Signal warna mempunyai dua jalur sisi yang melebar
12
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
dari frekuensi sub carrier 4,43361875 Mhz ke 5,5 Mhz untuk jalur sisi atas, dan
3,1 Mhz untuk jalur sisi bawah, terlihat bahwa jalur sisi tidak simetri tetapi tidak
akan berpengaruh pada pesawat penerima.
Video carrier

Sub carrier

Audio carrier

Luminance

4.43361875
- 1.25 0 5.5 MHz

Gambar 1.12. Tiga Gelombang Carrier dengan side Band,

II. PERAMBATAN GELOMBANG ELEKTROMAGNIT


Propagasi gelombang radio adalah perambatan gelombang
elektromagnit (GEM) pada permukaan bumi, lapisan atmosfir dan ionosfir,
mekanisme perambatan gelombang berasal dari perangkat antenna pemancar
kemudian diterima oleh perangkat antenna penerima, dalam perambatannya
GEM sangat dipengaruhi bentuk permukaan bumi antara lain : tinggi rendah
permukaan, struktur beton, tumbuhan.
Untuk perhitungan kuat medan (field strength) dimasukan nilai :
a) tinggi rendah permukaan tanah (ground contour)
b) karakteristik elektrik permukaan tanah (electrical characteristic of
ground soil)
Permukaan bumi berbentuk bola dengan radius 6400 km, sebagian besar terdiri
dari : gunung, hutan, laut, dll dan sebagian kecil terdiri dari bangunan tinggi,
jembatan, menara, dsb, dapat di kondisikan sebagai kondisi geometri dari bentuk
permukaan bumi:curvature of earth surface, irregular feature of the terrain,
environmental clutter, ketiga kondisi geometri permukaan bumi akan sangat
berpengaruh kepada perambatan gelombang radio pada frekuensi diatas 30
MHz. Akan menyebabkan refleksi dan dispersi GEM.
Karakteristik elektrik permukaan tanah merupakan medium perambatan
gelombang radio di ekpresikan dalam 3 parameter: relative permeability,
dialektrik konstan, dan konduktivity, ketika relative permeability sebagai satuan,
maka tinggal 2 parameter yaitu dialektrik konstan (ℇ) dan konduktiviti ().
Bentuk formula untuk dialektrik konstan (komplek)
ℇc = e-j . 1800  / f = e-j 60  λ …………………….(6)
dimana : e = spesifik elektrik pemitivity atau dielektrik konstan, ℇ/ℇo
 = elektrik conductivity dalam mho/m
f = frekuensi dalam MHz
λ = panjang gelombang dalam meter

13
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Tabel 2.1 Nilai dari elektrik konstan e dan  untuk beberapa tipe permukaan
tanah
Tipe Permukaan Tanah e  (mho / m)
Air laut (0°) 80 4 – 5 (s/d 1 GHz)
Air laut (10°) 73 4 – 5 (s/d 1 GHz)
Air (10°) 84 1 – 10 x 10‾³ (s/d 100
MHz)
Air (20°) 80 1 – 10 x 10‾³ (s/d 100
MHz)
Tanah (sangat lembab) 30 5 – 20 x 10‾³ (s/d 100
MHz)
Tanah 15 5 x 10‾⁴
Arctic 15 5 x 10‾⁴ x 10‾⁴
Tanah kering , area industri, 3 5 x 10‾⁵- 1x 10‾⁴
kota
Kutub 3 2,5 x 10‾⁵

Pada tabel 2.1 diperlihatkan nilai dialektrik konstan (ℇ) dan konduktiviti () sesuai
dengan ITU-R Report 229-1, nilai efektip ground konstan ditentukan oleh
beberapa factor antara lain: kelembaban, temperature dan frekuensi.
Gelombang radio pada arah perambatannya akan dipengaruhi oleh lapisan –
lapisan atmosfer dan bentuk permukaan bumi, lapisan atmosfer mempunyai sifat
– sifat khusus dalam hubungannya dengan gelombang radio yaitu :
1).Lapisan C dan D,ketinggian semu 60 km sampai 80 km.
Memantulkan frekuensi rendah dan sangat rendah, untuk sistem
telekomunikasi frekuensi tinggi akan menimbulkan redaman, terutama
pada lapisan D.
2).Lapisan E, ketinggian semu 80 km sampai 110 km. Frekuensi kritis
sekitar 4 Mhz, jangkauan lompatan tunggal maksimum sekitar 3000
km.
3).Lapisan F2, ketinggian semu 180 km sampai 300 km pada siang
hari, 350 km pada malam hari, jangkauan lompatan tunggal sekitar
3840 km pada siang hari, dan sekitar 4130 km pada malam hari.
Dengan adanya sifat – sifat khusus tersebut memungkinkan untuk merencanakan
suatu jaringan telekomunikasi radio jarak jauh, dengan memanfaatkan lapisan
atmosfer, dalam perencanaan jaringan televisi lapisan – lapisan atmosfer sedikit
berpengaruh pada band I (47 Mhz s/d 68 Mhz).
Sedangkan pada Band III (174 Mhz s./d 230 Mhz) dan band IV/V (470 Mhz s/d
860 Mhz) tidak berpengaruh sama sekali.

2.1 PEMANTULAN
Pemantulan gelombang radio disebabkan antara lain oleh : tanah,
gunung, gedung, dsb. Pada frekuensi rendah, menengah dan tinggi gelombang
radio dapat melewati suatu obyek yang besar dan padat yang besarnya lebih
kecil daripada panjang gelombangnya, dalam hal ini factor redaman akan
bertambah dengan bertambahnya frekuensi.

14
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Untuk frekuensi sangat tinggi dan ultra tinggi akan lebih sulit melewati obyek
tersebut, yang pada akhirnya obyek tersebut akan memantulkan kembali
gelombang tersebut, dalam hal ini koefisien pantul bertambah dengan
bertambahnya frekuensi .
Dengan demikian dapat dituliskan bila suatu obyek mempunyai ukuran lebih
besar daripada panjang gelombang akan berfungsi sebagai pemantul, koefisien
pantul akan lebih besar pada obyek terbuat dari logam.
0
Pada titik pantul, sudut fase berubah dari 180 tergantung pada bidang polarisasi
dan sudut datang, disamping itu terjadi penyerapan signal gelombang radio.
Apabila sudut datang sangat kecil, pemantulan dapat dianggap terjadi tanpa
perubahan amplitudo dan pembalikan fase.

2.2 PEMBIASAN
Pembiasan terjadi apabila gelombang radio melewati suatu media ke
media lainnya yang mempunyai factor kecepatan gelombang yang berbeda,
apabila kerapatan media berubah maka kecepatan gelombangnya juga berubah,
perubahan ini terjadi secara bertahap maka gelombang radio dibelokkan kearah
media yang lebih padat yang mempunyai factor kecepatan gelombang yang
rendah.
Diatas permukaan bumi kerapatan atmosfer berubah sangat rendah tetapi linier
terhadap ketinggian, maka pembelokan terjadi kearah bawah yang akan
memperluas radio horizon.

2.3 DISPERSI
Dispersi terjadi apabila gelombang radio menghadapi bagian sisi suatu
obyek yang mempunyai ukuran lebih besar daripada panjang gelombangnya,
dimana arah perambatan ada di belakang obyek tersebut. Ini akan
mengakibatkan penyebaran gelombang elektro magnet yang menyebabkan
gangguan “Fringes” (daerah yang sukar menerima gelombang radio) yang
melemah apabila menjauhi sisi obyek tersebut.

III. PERENCANAAN JARINGAN TRANSMISI


Pengertian umum jaringan transmisi (pemancar) adalah gabungan dua
atau lebih pemancar tv/radio yang membentuk suatu jaringan untuk men-
transmisikan program yang sama, dalam wilayah jangkauan terbatas.
Dalam membentuk sebuah jaringan transmisi di perlukan beberapa persyaratan
teknik agar diperoleh kualitas jaringan yang memenuhi standar internasional,
antara lain :

3.1. PROTECTION RATIO


ITU-R merekomendasikan untuk kanal yang sama (co-channel)
dibutuhkan perbandingan wanted to unwanted atau perbandingan desired to
undesired (D/U) >45 dB, untuk kanal yang bersebelahan (adjacent channel)
dibutuhkan D/U >6 dB.
Terdapat beberapa metode untuk mendapatkan D/U>45dB, untuk perencanaan
jaringan transmisi yang menggunakan kanal yang sama (co-channel) dalam satu

15
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
wilayah jangkauan siaran, dengan cara menggeser frekuensi carrier (“Off set
frequency”), dengan catatan
pemancar harus mempunyai kestabilan frekuensi pembawa ± 500 Hz (non
precision offset) atau ± 1 Hz ( precision offset).
Rekomendasi 418-3 “ITU-R” untuk kanal yang sama (co-channel),
merekomendasikan minimum D/U ratio yang di ijinkan dapat dilihat pada table
2.2.

Tabel 2.2. Rekomendasi 418-3 ITU-R Off set frequency untuk system 625 garis
Protection ratio untuk kanal bersebelahan (adjacent channel), misalnya: kanal
34,35 dan 36 diperlukan :
D/U > 12 dB ( 35 ke 36)
D/U > 6 dB ( 35 ke 34 )
Metode yang lain selain offset frekuensi untuk mendapatkan D/U seperti yang di
rekomendasikan oleh “ITU-R” yaitu :
a).Menggunakan tapis (“BPF”) “RF” (diperoleh 30 dB), dengan
menambahkan rangkaian RF filter pada perangkat penerima
(translator).
b).Antenna “diversity” (diperoleh 15 dB), dengan menyusun 2 atau lebih
antenna penerima (translator) secara vertical.
c.Antenna “directivity” (diperoleh 16 dB), dengan menambah elemen
pengarah pada antenna penerima (translator).
d).“Cross polarization” (diperoleh 10 dB), dengan menggunakan
polarisasi yang berbeda (vertikal atau horizontal) pada sisi pemancar.

3.2. SIGNAL to NOISE RATIO


Signal to Noise ratio adalah perbandingan tegangan peak to peak dari
signal video dengan tegangan average noise. {S (p – p) : N (rms) }.
Pada pesawat penerima, karakteristik VSB (vestigial side band) akan dikoreksi
oleh rangkaian demodulator, hasil koreksi akan terdapat perubahan pada signal
video peak to peak menjadi 62,5% dari √2 visual carrier.
. S(p-p) = V - ´.√2.0,625 (volt)
S(p-p) = V - 20 log (´.√2.0,625) (dBv)
S(p-p) = V - 20 .( log´+log√2+log0,625) (dBv)
S(p-p) = V - 20 . ( -0.301 +0.15 -0.204 ) (dBv)
S(p-p) = V dBuv - 7 dB (dBuv) ……………….…………….…..(7)

16
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Average noise voltage pada input terminal translator adalah:
N(w) = KTBF(watt)
Dimana : N(w) = besarnya noise dalam watt pada input terminal tv
translator
K = konstanta (1.38 x 10²³)
T = 30º C = 303º k = 273º + 30º
B = band width (5 MHz untuk system B&G)
F = noise figure
N(dBw) = 10 log (1.38 x 10²³ x 303 x 5000.000) + F
= -136.8 + F(dBw) ………………..…………………(8)
Hubungan antara tegangan (v) dan daya (w) pada impedance 50 ohm input
terminal adalah:
N(w) = N²(v)/50
N(dBw) = 10 log [N²(v) x (1/50)]
= NdBuv – 137 (dBw) ……..……………...…(9)
Dari persamaan (8) dan (9) tegangan input voltage tv translator adalah :
NdBuv ≈ F(dBuv) ……………………………….…(10)
Dari persamaan (7) dan (10), S/N. diperoleh :
S(p-p) / N(rms) = VdBuv – 7 – F(dB) ………………..….…(11)
Hubungan antara input voltage penerima dengan Field strength
V = ½ E . λ/ π . √G . √(R/73). 1/L (V) ………..…………..…(12)
= 20 log½ E . 20 log (300.10²/F. π) + 10 log G . (R/73) + 20 log (1/L)
= -6 +20 log E + 39.6 – 20 log F + GdB – 1.64 – LdB
≈ 20 log E – 20 log F(MHz) + G dB – LdB + 32

V(dBuv) ≈E(dBuv/m)–20logF(MHz+(GdB)–L(dB)+32 (dBuv)..…(13)


Dimana: V = receiving input voltage
E = receiving input field strength
λ = panjang gelombang
G = gain antenna penerima
R = antenna impedance 50 ohm
L = loss kabel
Hubungan antara Field strength dengan S/N diperoleh dari distribusi
persamaan (13) dan (11), diperoleh :

S(p-p)/N(rms)=E(dBuv/m)–20logF(MHz)+G(Db)–L(dB)–F+25 (dBuv)…(14)

Jaringan transmisi yang terdiri dari beberapa pemancar dapat terhubung


menggunakan : microwave link, fiber optic, demodulator/transposer dll, untuk
membentuk jaringan transmisi ITU-R Report 944 merekomendasikan
penggunaan Regular Lattice Network dapat dijadikan acuan untuk memenuhi
standar internasional dalam merencanakan jaringan transmisi yang efisien dalam
penggunaan frekuensi, band width (9 kHz untuk siaran AM, 100 atau 200 kHz
untuk siaran audio FM, 7 atau 8 MHz untuk siaran TV).

17
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
3.3. INTERFERENSI
Interferensi adalah signal yang tidak di inginkan (undesired)
mengganggu signal yang di inginkan (desired), gangguan ini akan mengurangi
kualitas reproduksi signal informasi. Pada dasarnya ada empat macam
interference yaitu:
a).Interference kanal yang sama (co-channel) dan kanal bersebelahan
(adjacent channel), pemakaian kanal yang sama atau bersebelahan
oleh dua buah pemancar dapat menyebabkan gangguan, gangguan ini
akan tampak pada layar tv sebagai bentuk pola yang bergerak
mendatar.
b).Interference “RF”, disebabkan oleh kelipatan frekuensi dari suatu
pemancar yang masuk ke kanal televisi, gangguan ini akan tampak
sebagai pola yang tidak beraturan.
c).“Man the impulsive interference”, disebabkan oleh loncatan listrik,
misalnya pengapian dalam suatu sistem kendaraan bermotor, kontak
listrik, dll. Akan tampak pada layar televisi berupa bintik – bintik putih.
d).“Atmospheric noise interference”, disebabkan oleh NOISE RF yang
ditimbulkan oleh petir, akan tampak pada layar televisi berupa bintik –
bintik putih.
Dalam perencanaan suatu jaringan transmisi apabila terjadi interferensi yang
tidak dapat dihindari harus diusahakan pengaruh yang timbul sekecil mungkin
dengan menterapkan perbandingan proteksi signal yang diinginkan terhadap
signal yang tidak diinginkan lebih, dikenal dengan “desired undesired “ (“D/U
Protection Ratio”).

3.4. REGULAR LATTICE NETWORK


Dalam meng-implementasikan Regular Lattice Network (RLN) harus
diasumsikan bahwa perencanaan perangkat pemancar dalam satu jaringan
harus identik yaitu mempunyai daya pancar (ERP) yang sama, oleh karena itu
harus di asumsikan mempunyai ketinggian lokasi yang sama, dalam
implementasinya dan kenyataanya permukaan bumi tidak rata disebabkabkan
oleh contour permukaan tanah yang berbeda, apabila asumsi daya pancar (ERP)
harus identik akan menyebabkan perbedaan jangkauan siaran dari masing-
masing pemancar dalam satu jaringan akan mengakibatkan interferensi ke
jangkauan siaran pemancar yang lain, hal ini dapat diatasi dengan menurunkan
daya pancar (ERP) sesuai dengan kebutuhan jangkauan siaran apabila lokasi
pemancar berada di daerah contour permukaan tanahnya tinggi.

18
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
c
d

a b

y 2 2 1/2
D = (x + xy + y )

3 = 37
D

60
0 4 x
2 2
a + a.b + b = N (number of channels)
a ; b = Rhombic number

b.p + a.q = k. N
k = bil integer = 2

Gambar 3.1 ; Lokasi dan jangkauan siaran pemancar dalam regular


network

Dapat dilihat pada gambar 3.1 bahwa titik a,b,c merupakan pusat lingkaran yang
me-representasikan jangkauan siaran, masing-masing lingkaran terbagi dalam 6
segmen yang identik dengan jajaran genjang (rhombic) abcd.
Pada gambar berikutnya merupakan penjelasan untuk menentukan jumlah kanal
yang digunakan dalam sebuah grup jaringan transmisi, sumbu x dan y dengan
perbandingan panjang 4 : 3 membentuk sudut 60º di titik O, panjang diagonal D =
√37 = N (jumlah kanal).
Pada gambar 3.2 adalah contoh perencanaan frekuensi untuk menentukan N
(jumlah nsi/kanal) = 13, kita sebut modulo 13 = (2,4,6,8,10,12,1,3,5,7,9,11,0),
dalam perencanaan/perhitungan tersebut kita merencanakan penggunaan
alokasi kanal yang minimum untuk meradiasi satu wilayah dan se-rendah
mungkin terjadinya interferensi yaitu dengan memperhitungkan co-channel
protection ratio, dengan demikian diawal perencanaan kita harus sudah
menentukan channel spacing = 2 kanal, dan re-used channel, panjang diagonal
D atau jarak OD adalah jarak terjauh untuk menggunakan frekuensi yang sama
(co-channel),dengan memperhitungkan interferensi paling rendah.
Dari persamaan a² + a.b + b² = N (dimana N=13)
a² + a.b + b² = 13
dapat ditulis 3² + 3.1 + 1² = 13 (diperoleh : a = 3, b = 1)
19
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Dari persamaan b.p + a.q = k.N (k = bilangan integer =2)
1.p + 3.q = 2.13
1.11 + 3.5 = 26 (diperoleh : p = 11, q = 5)
dimana : p = sumbu x, q = sumbu y.
Nilai p dan q adalah channel spacing pada arah sumbu x dan y, untuk sumbu y
diperoleh ( 0,5,10,2,7,12,4,9,1,6,11,3,8,0,dst), untuk sumbu x diperoleh
(0,11,9,7,5,3,1,12,10,8,6,4,2,dst).
Untuk memudahkan perhitungan mencari nilai a dan b (disebut bilangan rhombic)
dengan menggunakan table 3.1.

Table 3.1 Bilangan rhombic

Kita tentukan terlebih dahulu jumlah kanal (N) untuk jaringan transmisi yang
direncanakan (N = 21) kemudian di tarik vertical diperoleh (a = 4), horizontal
diperoleh (b = 1), nilai p dan q dapat diperoleh menggunakan persamaan b.p +
a.q = k.N (k = bilangan integer =2), yaitu (p = 2), (q = 10).
Pada gambar 3.3 menunjukan contoh jaringan dengan jumlah kanal 26, untuk
nilai N=26, keadaan seperti ini dimana 26 adalah bukan rhombic number, dapat
dilihat jarak terdekat untuk co-channel adalah sisi sejajar terpendek = 4,358 (nilai
ini mendekati √26 = 5,099), panjang untuk jarak co-channel berikutnya adalah sisi
sejajar terpanjang atau diagonal terpendek adalah 5,291 dan 6,082.

20
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Gambar 3.2 – Contoh Regular lattice untuk 13 kanal (Modulo 13)

0
Example of network for 26 channels
6 15

3 12 21 4

0 9 18 1 10 19 2

24 7 16 25 8 17 0

13 22 5 14 23

11 20

0
Example of regular lattice for 31 channels
4 24 13 2 22 11 0
q = 27 8 28 17 6 26 15

12 1 21 10 30 19

p = 20 16 5 25 14 3 23

0 20 9 29 18 7 27

Gambar 3.3 – Contoh Regular lattice untuk 26 & 31 kanal.


21
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Rekomendasi ITU-R (Rec 417-2), dalam perencanaan pemancar untuk siaran
televisi pada band I, III, IV & V, ditentukan median field strength untuk mencegah
interferensi tidak boleh lebih rendah dari:

Band I III IV V
dB (uV/m) + 48 + 55 + 65 + 70

Tabel 3.2. Median field strength diukur 10 meter dari permukaan tanah.

Rekomendasi ITU-R (Rec 412-4), minimum usable field strength dalam


perencanaan pemancar untuk siaran radio pada band II radio siaran FM.
Siaran FM Mono
48 dB (uV/m) untuk rural area
60 dB (uV/m) untuk urban area
70 dB (uV/m) untuk kota besar (luas)

Siaran FM stereo
54 dB (uV/m) untuk rural area
66 dB (uV/m) untuk urban area
74 dB (uV/m) untuk kota besar (luas)

3.5. JARINGAN TRANSMISI TRANSLATOR.


Terdapat banyak cara untuk membentuk jaringan pemancar
diantaranya adalah menggunakan: fiber optic, cable carrier, microwave link,
transposer (translator),dsb. Menggunakan transposer (stasiun pengulang) adalah
cara termudah dan cukup efisien untuk low & medium power transmitter, hal ini
sudah dilakukan di banyak negara termasuk Jepang (NHK) dan Indonesia
(TVRI), yaitu dengan menerima frekuensi carrier signal dari stasiun pemancar
induk kemudian di turunkan hanya sampai tingkat IF (33,4 s/d 38,9 MHz) dan
kemudian di campurkan dengan local osilator untuk mendapatkan frekuesi carrier
yang baru.
Kualitas informasi (gambar & suara) sangat ditentukan oleh besarnya signal to
noise ratio (S/N) yang diterima oleh stasiun penerima, untuk menghasilkan
kualitas informasi yang sempurna dibutuhkan S/N = >40 dB, untuk itu tv jaringan
transposer dibatasi hanya 3 lintasan.

Pada dasarnya ada 2 macam stasiun pengulang yaitu :


1) Pemancar pengulang tanpa frekuensi menengah (IF)
2) Pemancar pengulang dengan frekuensi menengah (IF)
Dimana :
Fr = Frekuensi penerima
Ft = Frekuensi pemancar
Fo = Frekuensi local osilator.
= (Fr – Ft) atau (Ft – Fr).

22
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Kekurangan pemancar pengulang tanpa sistem frekuensi menengah dalam
meneruskan signal warna akan mengalami cacat “Group delay” akibat
pemotongan band frekuensi pada rangkaian masukan dan output.
Pada gambar 3.4 memperlihatkan pemancar pengulang dengan frekuensi
menengah, cacat “Group delay” dapat diatasi dengan menambahkan rangkaian
kompensasi pada bagian frekuensi menengah yang bekerja pada daerah
frekuensi 33,4 Mhz s/d 38,9 Mhz.

Gambar 3.4. Blok diagram Translator

3.6 SIGNAL to NOISE RATIO (S/N) JARINGAN TRANSLATOR.


S/N untuk multi hop translator dapat dihitung dengan persamaan :

1 n 1
------ = Σ ------- ………………….…..(15)
(S/N)t i=0 (S/N)i

Gambar 3.5a Multi hop translator


Total S/N dihitung dengan menggunakan persamaan

(S/N)t = 1/n (S/N)


= (S/N) - 10 log (dB) …………………………………(16)

Contoh perhitungan:
Vi = 65 dBuv, Vi = 63 dBuv, Vi = 58 dBuv,
Noise figure (F) = 8 dB, F = 8 dB, F = 8 dB

Gambar 3.5b Multi hop translator


23
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Menggunakan persamaan (11) dihitung individual S/N
S(p-p)
-------- = VdBuv – 7 – F
N(rms)

(S/N) TLR1 = (S/N)1 = 65-7-8 = 50 dB


(S/N) TLR2 = (S/N)2 = 63-7-8 = 48 dB
(S/N) TLR3 = (S/N)3 = 58-7-8 = 43 dB

Menggunakan persamaan dibawah ini dihitung total S/N

IV. PERAMBATAN GELOMBANG RUANG BEBAS (FREE SPACE)


Perambatan gelombang dengan arah lurus tanpa hambatan dinamakan
gelombang ruang, gelombang radio akan merambat lurus, dan mengarah ke
angkasa apabila antenna ditempatkan pada menara yang tinggi.
Gelombang radio terdiri dari medan listrik dan medan magnit yang saling tegak
lurus pada arah perambatan, diruang bebas daya (P) diradiasikan menyebar
kesegala arah. Rapat daya radiasi adalah berbanding terbalik dari kuadrat jarak
dengan sumber radiasi isotropis yang menyebar ke segala arah, dapat dituliskan
sebagai berikut :
2 2
P = Pt / 4 π d ( W/m ) …………………….……..…(17)

Dimana Pt adalah daya pancar dan d adalah jarak.

Kuat medan listrik pada titik pengukuran dalam volt per meter, hubungan antara
kuat medan listrik Eo dengan rapat daya adalah :
2
P = Eo / Z ………………………..……………..…(18 )

24
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Dimana Z adalah impedensi karakteristik ruang.

Seperti diketahui impedansi karakteristik ruang adalah √µ/c, dimana µ adalah


permeabilitas magnit dan c adalah permitivitas media.
-6
Untuk ruang bebas µ = 1,26 x 10 H/m
-12
c = 8,85 x 10 F/m

Substitusi kedua nilai diatas kedalam persamaan diperoleh: Z = õ/c = 277 ohm
(120π).

Gabungan persamaan ( 17 ) dengan ( 18 ) dengan memasukkan nilai Z diperoleh


:
2 2
Eo / Z = Pt / 4 π d
2 2
Eo = ZPt /4 π d
Eo = √(30 Pt) / d ( V/m) ………………….……….…..( 19 )

Persamaan diatas menunjukkan kuat medan listrik Eo diruang bebas pada jarak
d dari sumber radiasi isotropis Pt yang memancar kesegala arah, untuk sumber
radiasi yang mempunyai perolehan daya persamaan ( 19 ) menjadi :

Eo = √(30 Pt Gt) / d (V/m) ………………….……..( 20 )

Dimana Gt adalah perolehan daya antenna pada suatu arah dibandingkan


dengan sumber radiasi isotropis, antenna isotropis sangat berguna untuk
pembanding pola radiasi yang khusus dari suatu antenna yang rumit, tetapi pada
kenyataannya antenna isotropis tidak ada,bentuk antenna yang sederhana dalam
praktek adalah “dipole” setengah gelombang, yang mempunyai gain Gr = 2,1484
dB ( 1.64 kali ) maka persamaan (20 ) menjadi :

Eo = √(30 Pt Gt Gr) / d
Eo = √(30 x 1,64.Pt.Gt) / d
Eo = 7√(Pt.Gt) / d (V/m) ……………….……………….( 21 )

Karena bentuk permukaan bumi yang sedemikian rupa, sehingga daerah


perambatan gelombang ruang dibatasi oleh jarak bebas pandang (“line of sight”)
dari antenna pemancar, batas jarak untuk gelombang ruang adalah horizon radio
seperti diperlihatkan pada gambar 4.1.

25
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Gelombang radio

d1 d2

dt
Gelombang optik

ht hr

R
R R

Gambar 4.1. Horison Radio

4.1 DAERAH BEBAS PANDANG (Line of Sight)


Gelombang radio yang dapat diterima oleh pesawat penerima adalah
jumlah jarak horizon radio antenna pemancar dan antenna penerima, untuk
sebuah antenna dengan tinggi ht, jarak horizon radio diperoleh dari geometri
garis rambat dengan permukaan bumi.
Dengan asumsi bahwa ht << R, dimana R adalah jari–jari bumi = 6400 km, jarak
horizon radio dt sama dengan garis rambat.
2 2
d t + R = (R + ht)2
2 2
= R + 2R ht + H t
2 2
= R + 2R ht (h diabaikan)

maka dt = √2R. √ ht …………………..…..……..(22)


= √2. √6400. √ht
= 112√ht(m) (km)
= 3,7√ht(km) (km)

Pada kondisi atmosfer dibawah normal, indeks bias atmosfer berkurang pada
suatu ketinggian diatas permukaan bumi, yang berakibat pembelokan gelombang
radio kearah permukaan bumi, dengan demikian horizon radio harus dimasukkan
kedalam perhitungan dengan pertimbangan jari – jari bumi yang dimodifikasi
dengan factor K, walaupun demikian lengkungan relatif antara gelombang radio
dan permukaan bumi tetap sama.
Factor K mempunyai nilai rata – rata 1,33 pada temperature normal, dengan
demikian persamaan ( 22 ) dapat dirubah menjadi :

dt = √2R. √ht. √K
dt= 4,12 √ht(m) (km) ……………………….…..…(23)

4.2. DIAGRAM PERMUKAAN BUMI (Profil Diagram)


Dalam menentukan titik pantul gelombang radio diperlukan suatu
diagram yang mewakili bentuk permukaan bumi, pada gambar ( 4.2 a dan b ) AB

26
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
adalah garis bujur permukaan bumi, CE bidang tangensial permukaan bumi pada
titik D, dan DF jarak diukur sepanjang permukaan bumi : sudut DOG kecil, DF
dapat dianggap sama dengan DG, GF = h adalah tinggi di titik F diukur sepanjang
jari – jari bumi: Ka adalah jari – jari modifikasi, dimana a adalah jari – jari
sesungguhnya dan K = 4/3.
C D d G E

h
F

A B

ka

ka
O

Gambar 4.2a. “Spherical Meridian” permukaan bumi

Dari segitiga DOG dapat diuraikan sebagai berikut :


2 2 2
(ka) + d = (ka + h)
2 2 2
= k a + 2ka h + h
2
d = h(2 ka + h) = 2ka h
(h dapat diabaikan dibandingkan dengan 2 ka)

Maka :
2
H = d /2 ka (mtr) ………………..……….…..(24)

Untuk memudahkan dalam penggunaan diagram, skala tegak diperbesar dengan


perbandingan n, yang kemudian dinamakan factor perbandingan skala, akibatnya
1
apabila h jarak tegak yang mewakili suatu panjang yang diketahui, dan apabila h
adalah jarak mendatar yang sesuai dengan panjangnya maka akan diperoleh :
1
h = n.h
2
Atau h1 = n.d /2ka (mtr) ……………………...…..(25)

Dimana :
d = jarak antara pemancar dengan penerima diukur tangensial
terhadap permukaan bumi.
a =jari – jari permukaan bumi 6400 km.
k =koefisien, dengan memasukkan factor pembiasan / pembelokan
pada atmosfer.
n = koefisien, pertambahan skala tegak atau perbandingan skala.
1
h = ketinggian relative, tangensial terhadap titik penerima pada jarak d
dari titik pemancar.

27
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Jika skala mendatar sudah ditentukan, misalnya dipilih 1 cm = 1 km, bila n = 10,
jarak 1 cm tegak akan mewakili 1/10 cm atau 100 meter.
1 1 1
Tinggi relatif pada permukaan bumi diwakili oleh jarak parabola (A D B 1 pada
gambar gambar 4.2 b) yang selanjutnya digambarkan sejajar keatas sesuai
dengan skala tegak.
C' D' d G' E'

h'

F'

A' B'

Gambar 4.2b. Pedekatan parabola lengkungan bumi

Dalam praktek biasanya satu diagram permukaan (Gambar 4.2c), Profile


Diagram dapat digunakan untuk beberapa skala berbeda, yang penting adalah
perbandingan antara skala tegak h dan skala mendatar d diperoleh dari
persamaan :
2
h1/ h2 = (d1 / d2) ………………………………………..(26)

Contoh penggunaan profile diagram dapat dilihat pada Gambar 4.2c, antara Tx
Jakarta dengan Rx Cibuaya (Lokasi Cibuaya adalah salah satu dari 8 test point
untuk wilayah layanan Jabobetabek).
Tx Jakarta menggunakan menara 300 meter, Rx Cibuaya menggunakan antena
standar dipole ´ λ, 10 meter dari permukaan tanah.
Profile permukaan tanah dapat dicari menggunakan peta skala 1:50000, ditarik
garis lurus antara koordinat:
Tx Jakarta (06˚12'43'’S;106˚43'51'’E) dengan
Rx Cibuaya (06˚00'12'’;107˚23'33'’),
tinggi dan rendah permukaan tanah di catat pada setiap perpotongan antara garis
ketinggian kontour peta dengan garis lurus antar koordinat. Pada gambar
Gambar 4.2c dapat dilihat bahwa antara Tx Jakarta dengan Rx Cibuaya relatif
datar tidak terdapat halangan permukaan tanah yang tinggi.

28
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Gambar 4.2c. Profile Diagram antara Tx Jakarta dengan Rx Cibuaya
Pada Gambar 4.2d. Dapat dilihat contoh pengukuran field strenght pada jarak
75km dari lokasi pemancar, lengkungan permukaan bumi sudah mulai terlihat,
hal ini tidak berpengaruh kepada line of sight tetapi berpengaruh kepada Fresnel
zone yang akan mengurangi (loss) besarnya field strenght di titik penerima.

Gambar 4.2d. Line of Sight


29
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
4.3. PERAMBATAN PADA PERMUKAAN RATA
Kuat medan listrik pada antenna penerima diperoleh dari dua jalur
yaitu :
1) Gelombang langsung, dengan panjang jangkauan Ro.
2) Gelombang pantul r1, r2 pada satu titik dipermukaan bumi, dengan
besaran sudut datang = sudut pantul.
Ro
ht

r1

ht
r2

d
Gambar 4.3. Gelombang langsung dan gelombang pantul

Gelombang radio menuju ke penerima lewat gelombang langsung berbeda


dengan gelombang yang dipantulkan, dengan sudut fase sebagai fungsi dari
perbedaan panjang jangkauan.
Apabila d >> ht dan hr, maka sudut Ǿ sangat kecil, oleh sebab itu sedikit sekali
perubahan amplitudo dan fase, dari gambar 4.3 dapat diuraikan sebagai berikut:
Perbedaan jangkauan (r1 + r2) – r0 = 2ht hr / d
Perbedaan fase Ǿ = (2 π ht hr / λ d)
Dan E = 2Eo sin Ǿ
Dimana Eo adalah kuat medan gelombang langsung = 7√(P.Gt) / d
maka kuat medan:
E = 2 Eo . sin (2 π ht hr / λ d) …………………………..(27)
= 7√(P.Gt) / d . 2 sin(2 π ht hr / λ d) ……………….…(28)
Dimana: ht = Tinggi antenna pemancar (mtr)
hr = Tinggi antenna penerima (mtr)
λ = Panjang gelombang (mtr)

Dalam persamaan (28) koefisien pantul dianggap sama dengan 1, pendekatan


tersebut cukup memuaskan dalam kasus sudut pantul yang lancip (kecil) dengan
permukaan bumi dan polarisasi gelombang adalah mendatar. Pada kasus
polarisasi tegak, pendekatan ini tidak memuaskan terutama untuk daerah yang
dekat dengan pemancar, dengan demikian koefisien pantul tergantung pada sifat
hantar listrik permukaan bumi, frekuensi dan sudut datang.
0
Untuk sudut elevasi 2 dan konstanta dialektrik 10, koefisien pantul adalah :
rh = 0,98 untuk polarisasi mendatar
rv = 0,79 untuk polarisasi tegak.

30
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
4.4. MENENTUKAN TITIK PANTUL
Apabila diagram permukaan seperti gambar 4.4, maka dalam
menentukan titik pantul dapat dilaksanakan sebagai berikut :
1
Garis PT dianggap sebagai tinggi antenna semu yang panjangnya sama dengan
1 1 1
PT, demikian pula QR = QR, kemudian ditarik garis TR dan T R, perpotongan
kedua garis tersebut menghasilkan titik pantul 0.
T

P Q
O

R'

T'

Gambar 4.4. Menentukan titik pantul

4.5. DAERAH FRESNEL PERTAMA


Dalam menghitung kuat medan listrik yang diterima, harus
diperhitungkan besarnya redaman yang diakibatkan terhalangnya daerah
“fresnel” berkas gelombang elektromagnet oleh sebuah obyek yang besar
(gedung, gunung, dsb), biasanya dalam perhitungan tersebut besarnya redaman
tergantung pada seberapa besar daerah “fresnel” pertama terhalang oleh obyek
tersebut, yang kemudian dikenal dengan nama “shadow loss”.
Pada permukaan yang berbentuk bola dengan titik pusat sumber S, kita dapat
menggambarkan lingkaran – lingkaran berurutan yang diperoleh dari persamaan
– persamaan berikut :

r = r1 = ro + λ /2 ………………………...….(29)
r = r2 = ro+ λ
r = r3 = ro + 3λ /2
r = rn = ro + n / λ

r1 r2 r3

Gambar 4.5. Lingkaran-lingkaran permukaan berkas gelombang.


31
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Lingkaran-lingkaran pada gambar (4.5) adalah permukaan berkas gelombang
yang dinamakan daerah “fresnel”, jari – jari daerah “fresnel” dapat dihitung
dengan menganggap bahwa titik sumber terletak pada jarak yang jauh, pada
gambar (4.6) r0 adalah jarak dari P ke O, r adalah jarak dari P ke permukaan
berkas gelombang, dan R adalah jarak dari titik O ke permukaan berkas
gelombang. Dengan demikian dapat dihitung panjang r, r0 dan R memakai
2 2 2
persamaan r = ro + R .

R
O r

ro
P

Gambar 4.6 Perhitungan jari-jari permukaan berkas gelombang.


Dari persamaan (29) dengan merubah r dapat kita peroleh jari – jari daerah
“fresnel” (R1, R2, ……….Rn) sebagai berikut :

R1 = ro + λ/2
R2 = r1 + λ/2
| | |
Rn = r(n-1)+λ/2 dimana λ << ro
Maka:
2 2
r = (r (n-1) + λ/2)
2 2
= (r(n-1) ) + λ r(n-1) + λ /4

Diperoleh :
2 2 2
R1 = r1 – r0 = λr0
2 2 2 2 2 2 2
r2 = R2 – r0 = (r2 – r1 ) + (r1 – r0 )
= λ (r0 + r1)
2
( Rn ) = λ (r0 + r1 + ……r(n-1) )

Untuk n yang bernilai kecil r1, r2, ………r(n-1) tidak berpengaruh pada r0 maka
dapat dituliskan sebagai berikut :
2
( Rn ) = n λ r0
Rn = √ (nλ r0) ……….……….…..(30)

32
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Dalam menghitung daerah “fresnel” dengan jarak pemancar ke penerima yang
sudah diketahui, dapat dijelaskan dengan gambar 4.7 dibawah ini.
r1
R
S ro P
d1 d2

Gambar 4.7 Perhitungan jari-jari daerah fresnel

Pada gambar 4.7 dapat dilihat bahwa S adalah sumber, P adalah penerima, r0
adalah jarak dari S ke P, r1 adalah daerah permukaan berkas gelombang dan R
adalah jari – jari lingkaran permukaan berkas gelombang. Dengan menterapkan
persamaan (29) dan prinsip dasar segitiga siku-siku dimana d1 = d2, dapat
dihitung besarnya jari – jari R sebagai berikut :
Dari persamaan (29);
r = r1 = r0 + λ /2
r1 – r0 = λ/2
2 2 2 2
Dari prinsip dasar segitiga : r1 = √ ((d1) + R ) +√ ((d2) + R )

Diperoleh :
2 2 2 2
√((d1) + R ) +√ ((d2) + R ) – (d1 + d2) = λ/2
2 2 2 2 2 2
√((d1) (1 + R / d1 )) + √((d2) (1 + R / d2 ))-(d1 + d2) = λ/2
2 2 2 2
d1√((1 + R / d1 )) + d2√((1 + R / d2 ))-(d1 + d2) = λ/2

Dimana : √1+x = 1 + X/2


x 0
Maka :
2 2 2 2
d1 (1 + R / d1 ) + d2(1 + R / d2 ) - (d1 + d2) = λ/2
2 2) 2 2)
d1 +( d1R / 2d1 + d2 + (d2R / 2d2 - (d1 + d2) = λ/2
2 2
(R /2d1) + (R /2d2) = λ/2
2
R ( 1/d1 + 1/d2) = λ/2
2
R = λ / ((1/d1) + (1/d2))

R= √(λ.d1.d2) / √( d1 + d2) (mtr) ..…(31)

33
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
V. DECIBEL, PROPAGASI MAKSIMUM & WILAYAH JANGKAUAN SIARAN

5.1. DECIBEL (dB)


Nilai satuan decibel (dB) banyak digunakan dalam sistem transmisi
untuk perhitungan gain, loss, noise, dsb.
1 decibel (dB) adalah 1/10 bel (B) maka 10 dB = 1 B, Bel adalah logaritma (base
10) dari perbandingan antara dua besaran power. Gain dan losses dapat dicari
dalam satuan decibel jika diketahui besaran tegangan atau arus dalam 2 besaran
power yang akan diperbandingkan.
Rumus dasar besaran power (P) adalah:
Power. P(w) ={E²/Z} atau ={I²xZ}
Nilai Z adalah konstan
Sebagai ilustrasi seperti gambar dibawah ini

P1= (E1² / Z1) P2= (E2² / Z2)


P1= (I1² x Z1) P2= (I2² x Z2)

Dengan membanding kan dua besaran power


(P2 : P1) = (E2²/Z2) : (E1²/Z1) ;atau
(P2 : P1) = (I2²xZ2) : (I1²xZ1) ;
Z konstan dan besarnya sama dapat di hilangkan.
Maka :
Power (P) gain (dB)= 10. Log(10) (P2/P1) = 10. Log(10)(P2/P1)
Amplitudo(E)gain (dB) =10. Log(10) (E2/E1)² = 2.10. Log(10)(E2/E1)
= 20. Log(10)(E2/E2)
Amplitudo (I) gain (dB) =10. Log(10) (I2/I1)² = 2.10. Log(10)(I2/I1)
= 20. Log(10)(I2/I1)
Contoh perhitungan gain, loss menggunakan decibel (dB) sebagai berikut:
Ditanyakan : Gain

Pi = 1w Gain=? Po = 10w

Gain = 10. log(10).(Po/Pi)


10.log(10). (10w/1w)= 10dB

Ditanyakan : Loss

Pi = 10w Loss=? Po = 1w

Loss = 10. log(10).(Po/Pi)


10.log(10). (1w/10w)= -10dB (tanda negatip didepan menyatakan loss)

34
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Diketahui: P1= 1watt, P2=2watt, P3= 4watt, P4=8watt, P4=10watt
Ditanyakan: Gain total
P1 P2 P3 P4 P5

G1=? G2=? G3=? G4=?

Gain 1 = 10. log(10).(P2/P1)


10. log(10). (2w/1w)= 3dB
Gain 2 = 10. log(10).(P3/P2)
10. log(10). (4w/2w)= 3dB
Gain 3 = 10. log(10).(P4/P3)
10. log(10). (8w/4w)= 3dB
Gain 4 = 10. log(10).(P5/P4)
10. log(10). (10w/8w)= 0,969dB
Gain 5 (total) = 3dB+3dB+3dB+1dB=10dB

5.2. BESARAN POWER DAN AMPLITUDO DALAM SATUAN DECIBEL


Besaran power dan amplitude dalam satuan decibel seperti dBm
(dBmili watt), dBw(dBwatt), dBk(dBkilowatt), dBuv, semuanya itu digunakan untuk
memudahkan perhitungan.
Sebagai reference biasa digunakan : 0 dBm = 1mw, 0 dBw = 1watt, 0 dBk =
1kilowatt, 0 dBuv = 1uv.

Contoh perhitungan: diketahui P1=0dBw (1watt), ditanyakan P2, P3,P4 dan P5


P1=0dBw P2 P3 P4 P5

G1=3dB G2=3dB G3=3dB G4=1dB

P1= 0dBw = 1 watt


P2= 0dBw + 3dB = 3dBw = 2 watt
P3= P2 + 3dB = 3dBw + 3dB = 6 dBw = 4 watt
P4= P3 +3dB = 6dBw + 3dB = 9 dBw = 8 watt
P5= P4 +3dB = 9dBw + 1dB = 10 dBw = 10 watt
Contoh perhitungan:
Diketahui : P1 = 0,02 watt, dan P2 = 2 watt
Ditanyakan: Gain
Menggunakan rumus P(w) ={E²/Z} dan{I²xZ},dimana Z=50ohm
Diperoleh: E1 = 1 volt dan E2 = 10 volt
I1 = 0,02amp dan I2 = 0,2amp

35
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
P=0,02w P2=2w
E1= 1 volt E2 = 10 volt
I1=0,02A I2=0,2A
Z=50 ohm Z=50 ohm
Gain

Maka:
Power gain= 10.log(10) (P2/P1) = 10.log(10) (2w/0,02w) = 20dB atau
Amplitudo (E) gain =20. log(10) (E2/E1) = 20.log(10) (10v/1v) = 20dB atau
Amplitudo (I) gain =20. log(10) (I2/I1) = 20.log(10) (0,2A/0,02A) = 20dB

Dari contoh perhitungan diatas, kita dapat menghitung besaran gain atau loss
dalam satu rangkaian (amplifier, filter), jika diketahui besaran: power (watt),
amplitudo E (volt) atau I (amper).

Tabel 5.1. Power dan Amplitudo ratio.

5.3. REKOMENDASI ITU-R

36
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Rekomendasi “ITU-R” untuk perencanaan jaringan pada “band” I, III,IV
dan V, kuat medan minimum untuk mendapatkan kualitas signal informasi yang
baik dapat dilihat pada table, besarnya kuat medan minimum akan berubah sesuai
dengan pengaruh noise lingkungan; daerah perkotaan dan daerah industri
memerlukan kuat medan listrik yang lebih besar dibandingkan daerah pedesaan.
Dalam keadaan penerimaan pada input antenna penerima tanpa interferensi dari
pemancar televisi yang lain maupun dari noise yang dibuat oleh manusia (man
made noise), besarnya usable field strength sebesar +47 dBuV/m untuk band I, +53
dBuV/m untuk band III , +62 dBuV/m untuk band IV, +67 dBuV/m untuk band V,
akan memberikan kualitas penerimaan informasi yang memuaskan.
Tabel dibawah ini memperlihatkan perhitungan usable field strength minimum
(bebas dari interferensi) yang dibutuhkan pesawat penerima tv untuk mendapatkan
kualitas signal informasi yang baik.
BAND I III IV V
Input resistance (75 Ohm), 1,5 1,5 1,5 1,5
thermal noise dB(uV)
Noise figure (dB) 9,5 8,5 11 12
Radio frequency S/N (dB) 36 36 36 36
Minimum Rx voltage 47 46 48,5 49,5
dB(uV)
Dipole conversion factor 2 13 20,5 25
and mismatch allowance
(dB)
Antenna gain (dB) 3 7,5 10 12
Cable loss (dB) 1 1,5 3 4,5
Minimum usable field 47 53 62 67
strength dB(uV/m)
Tabel 5.2. Minimum Usable Field strength.

Tabel dibawah ini adalah rekomendasi ITU-R (Rec 417-2), untuk perencanaan
pemancar siaran televisi analog pada band I, III, IV & V, ditentukan median field
strength untuk mendapatkan kualitas signal informasi yang baik tidak boleh lebih
rendah dari:

Band I III IV V
Minimum median field +48 +55 +65 +70
strength dB (uV/m)

Tabel 5.3. Rekomendasi ITU-R (Rec 417-2) median field strength diukur 10 meter
dari pemukaan tanah.

Propagasi maksimum & wilayah jangkauan siaran dibatasi oleh garis countur
terluar wilayah jangkauan dari group kanal frekuensi dan diukur 10 meter dari
permukaan tanah tidak boleh lebih besar dari table (4-1), aturan ini dibuat untuk
mencegah interferensi dengan garis countur terluar wilayah jangkauan dari group
kanal frekuensi yang lain, hal ini dapat dilakukan dengan membatasi ERP (daya

37
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
radiasi efektip) yaitu besarnya daya pemancar (dBw) ditambah dengan gain
antenna (dB dan pola radiasi antena yang sesuai dengan wilayah layanan akan
menentukan besarnya kuat medan listrik (dBv/m), membatasi ketinggian antenna
pemancar yang akan menentukan jarak maksimun propagasi.
Dari table diatas dapat dilihat bahwa kuat medan listrik jalur “VHF” lebih besar
daripada jalur “UHF”, ini disebabkan karena adanya perbedaan pada :

a) Redaman ruang bebas (“free space loss”), Lo.


b) Tegangan masukan pada pesawat penerima, Vin.

Untuk lebih jelasnya kedua perbedaan tersebut dapat diterangkan sebagai


berikut :

Redaman ruang bebas, Lo.


2 2 2
Lo = 10 log 16 π d / λ (dB)
= 20 log ( 4 π d / λ) (dB)
= 20 log 4 π + 20 log d - 20 log λ (dB)

Dimana : d = jarak antenna pemancar dengan antenna penerima (mtr).


λ = panjang gelombang (mtr)

Dimisalkan : d = 50 km
f1 = 189,25 Mhz (kanal 6 jalur “vhf”)
f2 = 807,25 Mhz (kanal 70, jalur “uhf”)
Diperoleh :
3
Lo vhf = 21,984 dB + 20 log 50.10 – 20 log 1,58
= 21,984 dB + 93,97 dB – 4 dB
= 111,95 dB
Lo uhf = 21,984 dB + 93,97 dB – 20 log 0,37
= 21,984 dB + 93,97 dB + 8,59 dB
= 124,54 dB

Tegangan masukan pada pesawat penerima Vin.


Vin = E x (λ/π) x √(50 ohm/73ohm)x√(gt/L)(V)…………………...…..(32)
Dimana :
E = kuat medan listrik
λ / π = panjang efektif antenna (mtr)
gt = gain antenna
L = redaman “feeder line”
50 ohm = impedansi “feeder line”
73 ohm = impedansi antenna λ/2

Persamaan (26) dapat dirubah kedalam besaran decibel sebagai berikut :


Vin = 10 log E(dBu) + 10log (λ/π) +10log √(50 ohm/73ohm)+10 log √(gt/L)
Dimisalkan :
E = 70 dBu

38
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
f1 = 189,25 Mhz, λ = 1,58 meter
f2 = 807,25 Mhz, λ = 0,37 meter
gt = 6,3 kali
L= 2 dB = 1,58 kali
Diperoleh :
Vin vhf = 70dBu + 10 log(1.58/ π ) + 10 log √(50/73) + 10log√(6.3/1.58)
= 70 dBu – 2,98 dB – 0,82 dB + 3 dB
= 69,2 dB

Vin uhf = 70 dB + 10 log(0.37/ π) – 0.82 dB + 3 dB


= 70 dB – 9.29 dB – 0.82 dB + 3 dB
= 62.8 dB
Dari kedua perhitungan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.Redaman band UHF lebih besar daripada band VHF, dapat dituliskan
bahwa semakin tinggi frekuensi akan semakin besar redaman.
2.Tegangan masukan (Vin) pada input terminal penerima UHF lebih kecil
daripada terminal penerima VHF walaupun keduanya menerima field
strength yang sama.

5.4. PENGUKURAN FIELD STRENGTH

a) Menentukan kekuatan signal radio dalam jangkauan wilayah.


b) Menentukan pengaruh signal interferensi.
c) Meng-observasi phenomena propagasi gelombang radio.
d) Mengukur kekuatan radiasi yang tidak diinginkan dalam
semua bentuk gelombang dari peralatan yang menghasilkan
gelombang elektro magnetic.

5.5. ANTENA PENGUKURAN


Untuk pengukuran Field strength dapat menggunakan antenna model
apapun, tetapi pada umumnya untuk frekuensi dibawah 30MHz menggunakan
antenna loop atau antenna rod, untuk VHF dan UHF menggunakan antenna
dipole setengah lamda dengan tambahan beberapa elemen director dan reflector.

5.6. PENGARUH LINGKUNGAN


Pengukuran Field strength sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan
seperti: gedung, bukit, pohon dsb, factor-faktor ini tidak dapat dihindari. Dalam
menenentukan titik lokasi pengukuran beberapa factor yang perlu diingat bahwa:
a) Frekuensi radio band VHF dan UHF sangat dipengaruhi oleh
tumbuhan yang tinggi dan bangunan terbuat dari beton akan
berfungsi sebagai konduktor yang menyebabkan pemantulan dan
disperse.
b) Polarisasi vertical pada band VHF dan UHF sangat
dipengaruhi oleh kondisi tanah.
c)Frekuensi radio pada seluruh band akan dipengaruhi oleh kabel
listrik (Overhead wires).

39
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
d) Pada frekuensi dibawah 2 MHz akan dipengaruhi oleh kabel
listrik di bawah tanah.

5.7. SATUAN PENGUKURAN


Field strength diukur dalam satuan Volt per meter atau lebih umum
dalam sub unit uV/meter, satuan ini digunakan untuk mengukur komponen listrik
dari gelombang elektro magnetic, tetapi juga dipakai untuk mengekpresikan
pengukuran komponen magnetic terutama untuk radiasi gelombang ruang (free
space) dimana energi komponen listrik dan magnetic adalah sama. Untuk
frekuensi diatas 1 GHz , daya flux-density (field intensity) diukur dalam Watt/m²
atau dalam sub unitnya..

5.8. PERANGKAT PENGUKURAN


Perangkat pengukuran field strength harus mampu mengukur kurang
dari 1 microvolt/meter sampai dengan 10 volt/meter, dilengkapi dengan
kemampuan mengukur dalam skala linier/logaritmik, dan fasilitas untuk
mengkalibrasi peralatan itu sendiri.

5..9. PARAMETER PENGUKURAN


Terdapat beberapa tipe pengukuran field strength antara lain ( average,
peak, quasi-peak, r.m.s, average log, dll), dalam kaitan dengan penyiaran sering
di gunakan pengukuran average dan peak.
a) Nilai rata-rata (average value), dapat terukur apabila envelope
detector linier terdapat dalam perangkat, adalah mengukur rata-
rata tegangan output detector selama interval waktu yang cukup
panjang untuk suatu variasi perubahan tengangan yang cepat,
pengukuran nilai rata-rata umumnya dilakukan untuk mengukur
emisi termodulasi termasuk amplitude & frekuensi modulated
telephony (A3 dan F3) dan telegrafi (A1 atau A2).
b) Nilai puncak (peak value), pengukuran nilai puncak sangat cocok
untuk mengukur signal-signal yang rendah seperti impulsive
interference.

VI. DAERAH BAYANGAN (“SHADOW ZONES”)


Perambatan gelombang ruang pada jalur “UHF” dan “VHF” akan
menimbulkan daerah bayangan dibelakang suatu obyek yang besar (gunung,
gedung, dsb) yang menghalangi arah perambatan, walaupun demikian pengaruh
pembelokan dan pemantulan trofosfir dapat mengurangi pengaruh daerah
bayangan terutama pada jalur “VHF” (“band I”).
Pada jalur VHF (band III) dan UHF pengaruh – pengaruh daerah bayangan
hanya dapat diatasi dengan memasang stasiun pengulang pada puncak obyek
yang menghalangi arah perambatan. Redaman yang disebabkannya biasa
disebut “Shadow loss” besarnya dihitung secara empiric yang kemudian dibuat
dalam suatu bentuk grafik dinamakan “Clearence parameter”.
Menghitung besarnya redaman bayangan yaitu dengan mengukur s eberapa
besar (H) daerah “fresnel” pertama (Rs) terhalang oleh uatu obyek. Dapat
dituliskan sebagai berikut

40
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
“Clearence parameter” U = Hc / Rs …………..……………….....(33 )
Dimana :
Hc= Tinggi daerah “fresnel” yang terhalang (meter)
Rs= Jari – jari daerah “fresnel” pertama
=√((λ.dl.d2)/(d1+d2)) (meter)

Pada gambar (6.1) dapat dilihat apabila ketinggian antenna pemancar (h1) dan
antenna penerima (h2) adalah rendah dibandingkan dengan ketinggian obyek
penghalang, maka besarnya kuat medan E dapat dihitung sebagai berikut :

E = Eo (2 sin Ө1).(2 sin Ө2). SL…………….………….( 34 )


=Eo.2sin(2πh1.H1/λ.d1).2 sin(2π.h2.H2/λd2).SL... (V/m)

Dimana : Eo = kuat medan di ruang bebas


h1 = tinggi antenna pemancar
h2 = tinggi antenna penerima
H1 = tinggi obyel penghalang sebagai penerima
H2 = tinggi obyek penghalang sebagai pemancar
SL = shadow loss

T H1 H H2
R

h1
h2

R'
d1 d2
T'
d

Gambar 6.1 Daerah bayangan, h1 dan h2n<< penghalang.

VII. FADING
Perambatan gelombang radio pada arah perambatannya akan
mengalami redaman yang tidak tetap, sehingga kuat medan listrik pada suatu
tempat akan berubah – ubah, kejadian seperti ini biasa disebut “fading”.
Untuk mengatasi redaman yang diakibatkan “fading” dengan cara :
a)“Antenna diversity”, yaitu dengan menyusun beberapa antenna
penerima berderet kebawah, cara ini sangat efektif untuk fading yang
diakibatkan berubahnya titik pantul akibat pasang surut permukaan laut.
b)“Frequency diversity”, yaitu dengan memancarkan dua frekuensi carrier
yang berdeda dengan informasi yang sama, sedangkan pada sisi
penerima akan memilih secara otomatis signal yang paling baik.

Pada table 7.1 dapat dilihat besarnya redaman yang disebabkan oleh “fading”
pada daerah frekuensi 30 Mhz s/d 3000 Mhz.
41
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Table 7.1. Redaman disebabkan oleh “fading”
Frekuensi (Mhz) Fading (dB.km)
30 – 300 0,1
300 – 3000 0,2

VIII. ANTENNA
Dalam suatu sistem radio, gelombang elektromagnet merambat dari
pemancar ke penerima lewat media ruang, memerlukan antenna di kedua ujung
tersebut untuk keperluan penggandengan pemancar dan penerima ke hubungan
ruang (space), fungsi pemancaran dan penerimaan mempunyai sifat – sifat yang
identik.
Dalam hal ini terdapat beberapa sifat – sifat yang penting dan sering digunakan
untuk kedua fungsi tersebut, antenna dapat dibuat dari kawat atau material yang
menghantarkan arus listrik, dengan ukuran panjang disesuaikan dengan panjang
gelombang yang digunakan. Ada tiga macam antenna yang biasa digunakan
dalam komunikasi radio yaitu :
1. Antena celah (“aperture antenna”). Digunakan pada frekuensi
gelombang mikro, dalam pemakaiannya biasa digandengkan ke
“wave guide”
2. Antenna resonansi. Digunakan pada frekuensi sangat tinggi dan ultra
tinggi, dimana terdapat distribusi arus dengan pola gelombang berdiri.
3. Antenna bukan resonansi. Digunakan pada frekuensi tinggi.

8.1. POLARISASI
Polarisasi gelombang didefinisikan sebagai arah dari vector medan
listrik terhadap arah rambatan, sampai saat ini diketahui ada 3 macam polarisasi
gelombang yaitu :
a) Polarisasi linier, yaitu bila vector listrik tetap berada pada bidang yang
sama, seperti yang diperlihatkan pada gambar 7.1. Suatu gelombang
yang dipolarisasi linier diatas permukaan bumi disebutkan polarisasi
tegak apabila vector medan listrik tegak terhadap permukaan bumi dan
polarisasi mendatar vector medan listrik sejajar dengan permukaan
bumi.

42
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
E E

Arah perambatan

(a) (b)
Gambar 7.1 Polarisasi linier (a) dilihat dari sumbu pancaran, (b) dilihat
dari arah perambatan

b) Polarisasi elip, yaitu bila vector listrik dapat berputar terhadap garis
rambatan, seperti diperlihatkan pada gambar 7.2. Jenis antenna
dengan polarisasi elip digunakan untuk komunikasi satelit, bila
perputaran vector listriks searah jarum jam dilihat dari arah rambatan
dituliskan polarisasi kanan demikian pula sebaliknya dituliskan
polarisasi kiri apabila vector berputar kebalikan arah jarum jam.

X X
ω
ω
Ex
E
E

Ey Y Y

(a) (b)
Z

Gambar 7.2 Polarisasi elip (a) dilihat dari sumbu pancaran, (b) dilihat dari
arah perambatan

c) Polarisasi lingkaran, seperti pada polarisasi elip dimana vector listrik


dapat berputar terhadap garis rambatan. Perbedaannya adalah bentuk
polarisasi berupa lingkaran seperti ditunjukkan pada gambar (7.3), jenis
antenna semacam ini digunakan untuk transmisi siaran radio FM (”band
II”).

43
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
X ω

Ey
E

Y
Ex

Gambar 7.3. Polarisasi lingkaran.

8.2. PERADIASI ISOTROPIK


Isotropic berarti dapat memancarkan sama baiknya kesegala arah,
tetapi pada kenyataannya semua antenna nyata akan memancarkan lebih baik
ke beberapa arah dibandingkan arah yang lain, oleh karena itu tidak mungkin
isotropik. Konsep peradiasi isotropik dipakai sebagai pembanding bagi antenna –
antenna nyata, karena peradiasi isotropik dapat dianggap tanpa rugi maka
efisiensi nya sama dengan satu.
Pada gambar (8.1) dimisalkan P adalah masukan daya kesebuah peradiasi
isotropik yang mempunyai efisiensi sama dengan satu, karena setiap bola
mempunyai suatu sudut ruang sebesar 4 π steradian pada titik tengahnya maka
daya per unit sudut ruang adalah :

Pi = Ps / 4 π (W/Sr) …………………………...(35)
2
Dimana luas permukaan bola dengan jari – jari d adalah 4 π rd , maka kerapatan
daya untuk peradiasi isotropik :

PDi = Ps / 4 π d2 (W/m2) ………………………...….(36)

Dimana kerapatan daya dan daya per unit sudut ruang adalah saling
berhubungan.

44
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
X

Bidang meridian Θ P

Y
Bidang ekuator
Φ

Gambar 8.1. Koordinat bola di titik P, dengan radius d dan sudut θ dan Φ.

8.3. GAIN ANTENA (G )


Seperti diketahui bahwa peradiasi isotropik tidak ada, akan tetapi
pendekatannya sangat mendekati antenna terarah, yaitu pancaran enerjinya
dipusatkan kearah tertentu. Perolehan (“gain”) akan bertambah dengan
terarahnya antenna yang digambarkan sebagai perolehan daya G terhadap
peradiasi isotropik.
Untuk mendapatkan besarnya perolehan daya G, kita letakkan karakteristik
terarah A bersebelahan dengan peradiasi isotropic B, karakteristik arahnya
digambarkan dalam diagram polar pada gambar (8.2). Apabila keduanya
memancarkan daya yang sama P jelas antenna terarah A akan menghasilkan
medan yang lebih kuat pada suatu penerima yang jauh, kemudian daya yang
diberikan kepada peradiasi isotropik dinaikkan secara bertahap sampai
menghasilkan kuat medan yang sama pada penerima seperti yang diberikan oleh
antenna terarah. Factor G adalah yang menyatakan berapa kali daya yang
diberikan kepada peradiasi isotropik harus dinaikkan untuk menghasilkan kuat
medan yang sama, dengan demikian kuat medan yang diterima dari suatu
antenna terarah ekivalen yang kuat medan yang diterima dari peradiasi isotropik
yang memancarkan daya G kali.

Terarah

Isotropik

Gambar 8.2. Diagram polar antenna terarah dan isotropic.

8.4 DIREKTIVE GAIN


45
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Hubungan yang erat dengan perolehan daya (gain) adalah perolehan
terarah (D), yaitu perbandingan dari P(Ө,Ǿ) terhadap daya rata–rata per unit
sudut ruang yang dipancarkan oleh antenna, dan dinyatakan dengan D(Ө,Ǿ).
Daya rata – rata per unit sudut ruang adalah :

(ήa Ps / 4 π) ………………………….……………..(37)

Dimana : ήa = efisiensi antenna


Ps = daya masukan
Dengan demikian tampak hubungan antara keterarahan dengan perolehan daya
yaitu :

D (Ө.Ǿ) = g (Ө,Ǿ) / ήa ……………………….…....(38)

Nilai maksimum dari D(Ө.Ǿ) disebut perolehan terarah yaitu

Dm = gm / ήa …………………………………..…… (39)

Maka persamaan (28) dapat dituliskan menjadi :

E = (7√P.gt/d). 2 sin (2 π ht hr / λd) . Dh. Dv...(V/m…………....(40)

Dimana : Dv = Directivity vertical


Dh = Directivity horizontal

Persamaan (40) dapat digunakan untuk menghitung prediksi field strength dalam
merencanakan dan membangun sebuah stasiun transmisi

IX. . INFRASTRUKTUR PERANGKAT TRANSMISI

9.1. ANTENNA
9.1.1 RADIASI ANTENNA ELEMENTER
Umumnya, ketika arus listrik mengalir didalam suatu media akan
menyebabkan medan electromagnit didalam medium tersebut. Besarnya medan
listrik (E) dan medan magnit (H) pada titik jauh (far point) r>>λ, dalam ruang
bebas (free space) dapat dilihat pada gambar 9.1, diperoleh dari persamaan
berikut dimana satuan panjang (m) satuan arus (A).

HǾ = (Ids/2λr) sin Ө (AT/m)


EӨ = (60π Ids/λr) sin Ө (V/m) ……………….……….…….(41)

Besarnya nilai (H) dan (E) berubah sesuai dengan perubahan Ө. Kenyataannya
intensitas medan berubah sesuai dengan arah seperti di definisikan bahwa
system radiasi mempunyai pola arah (directional pattern). Medan elektromagnit
akan terbentuk ketika arus di distribusikan sepanjang saluran atau bidang datar,
yaitu dengan integrasi masing-masing elemen arus.

46
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
X

θ Hǿ
r
O Eθ
Ids Y
ǿ

Z
Gambar 9.1. Radiasi antenna elementer

9.1.2. IMPEDANSI RADIASI


Tahanan radiasi diperoleh dari pembagian power total radiasi dengan
akar dari arus total, satuan arus antenna I (A) dan power radiasi P (W).

R = P/I² (Ω)………………………………………………..(42)

Tahanan radiasi untuk dipole pendek (small dipole) dengan panjang L dan arus I
di distribusikan seragam sepanjang saluran adalah :

R = P/I² = 80 π² (L/λ) (Ω)……………………………….(43)

Dalam hal dipole di umpan dari pusat dipole, impedansi dilihat dari titik umpan
(feeding point) disebut i nput impedance, dan umumnya di ekspresikan dengan
perbandingan tegangan dan arus pada titik umpan (feeding point), jadi ada
perbedaan dengan impedansi radiasi.
Jika antenna dibuat dari penghantar sempurna, dan tidak ada kerugian resistansi
, maka input impedance sama dengan radiation impedance. Radiation impedance
dari dipole setengah lamda adalah (73,13 + j 42,55) Ω.
Karakteristik radiasi dipole setengah lamda yang di umpan dari pusat dipole.
Distribusi arus dalam hal diameternya sangat kecil, adalah bentuk sinusoidal,
dan pola directivity diperoleh dari persamaan :

F = cos (π/2sinӨ)/cos Ө…………………………………(44)


Ө diambil dari sudut Ө (gambar 9.1)

Radiasi kuat medan dipole setengah lamda dalam ruang bebas, arah tegak lurus
terhadap dipole diperoleh dari persamaan sebagai berikut:

E = 60π Ih/ λr = 60 I/r (V/m)………………….……….(45)

47
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Dimana h, adalah panjang efektif dari setengah lamda dipole. Power radiasi (P)
diperoleh dari persamaan:

P = 73,13 I² (W)…………….…………………………..(46)
Atau P = 73,13 π²(I he//λ)² /λ (W)……………….……….…..(47)

Radiasi kuat medan dipole setengah lamda dalam ruang bebas diperoleh dari
subtitusi persamaan (46) dengan persamaan (47), dimana I = √p/√73,13.

Maka E = 7√P/r (V/m)………………………..……………….(48)


dimana P (watt), r (m)
Atau E = 222√P/r (mV/m)……………….………………… .(49)
dimana P (Kwatt), r (Km)

9.1.3. POLA DIRECTIVE


Pola directive adalah bagan dari intesitas relative gelombang
elektromagnit yang berubah-ubah sesuai dengan arah radiasi gelombang dari
antenna transmitter, pada umum nya pola directive di representasikan dengan
nilai relative gelombang listrik, apabila direpresentasikan dengan nilai relative
power disebut pola directive power. Pola directivity selalu digambarkan hanya
polarisasi horizontal atau polarisasi vertical.

9.2 ANTENA PEMANCAR TELEVISI


Dalam sistem jaringan televisi sudah pasti akan melibatkan pemancar,
penerima, dan antenna, pada umumnya harus mampu beroperasi dalam satu
“band”, yang artinya walaupun dalam satu “band” frekuensi itu terdiri dari
beberapa kanal, pemancar/penerima tetap beroperasi pada satu kanal, hanya
saja pemancar dan penerima tersebut dapat dirubah dari satu kanal ke kanal lain
dalam satu “band”, dengan demikian diperlukan suatu antenna yang mampu
beroperasi pada satu “band” penuh dengan “SWR” < 1,1 sepanjang “band”
tersebut (broad band antenna).

9.3. ANTENNA BROAD BAND


Suatu antenna biasanya mempunyai impedansi masukan dengan
besar tertentu, tergantung dari band kerja antenna tersebut. Apabila suatu
antenna dituliskan mempunyai impedansi masukan sebesar 50 ohm pada
frekuensi 519,25 s/d 524,75 Mhz, artinya hanya pada daerah frekuensi tersebut
mempunyai impedansi masukan 50 ohm, diluar frekuensi tersebut impedansi ≠
50 ohm.

Impedansi suatu antenna dapat dituliskan sebagai berikut :

Z = R + jx ………………………….….(50)

Dimana : Z = impedansi masukan


R = tahanan yang dilihat ke antenna
X = reaktansi yang dilihat ke antena

48
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
9.3. ANTENA MENGGUNAKAN REFLEKTOR
Untuk memperbaiki pola radiasi, biasanya suatu antenna dilengkapi
dengan suatu pemantul bidang datar yang dapat memperkecil atau
menghilangkan pola radiasi disebelah belakang antenna tersebut, dengan
demikian pola radiasi kearah depan lebih tajam dan perolehan daya makin besar.
Jarak antara pemantul dengan antenna sangat menentukan besarnya perolehan
daya dan bentuk pola radiasi, pada gambar 8.1 dapat dilihat hubungan perolehan
daya dengan jarak. Dimana perolehan daya akan minimum bila mendekati jarak
setengah panjang gelombang.

Gain dB

Jarak λ
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7

Gambar. 9.2. Hubungan Gain antenna dengan jarak reflector.

9.4. ANTENNA ARRAY


Selain menggunakan pemantul untuk meningkatkan perolehan daya
(gain), dapat juga dengan menyusun antenna sedemikian rupa berderet tersusun
vertical atau horizontal dengan jarak tertentu (misal 1 λ). Kombinasi pemantul
dengan antenna tersusun akan memberikan perolehan daya yang lebih besar,
pada gambar (8.2) dapat dilihat suatu bentuk antenna 2 dipole array dengan satu
panel pemantul untuk jalur “VHF”, pada dasarnya bentuk antena dapat tersusun
dalam 1 dipole, 2 dipole atau 4 dipole dalam satu reflector.

Gambar 9.3. Antenna dua dipole dengan reflector.

49
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
9.4.1. ANTENNA BEAM TILT.
Antenna pada kenyataannya akan di pasang sejajar dengan menara
atau tegak lurus terhadap permukaan bumi, dalam keadaan demikian berkas
GEM (gelombang elektro magnit) akan merambat sejajar dengan permukaan
bumi, berarti tidak menyentuh bumi, untuk itu perlu dilakukan penurunan sudut
berkas (beam) agar menyentuh permukaan bumi, hal ini dinamakan Beam Tilt.
Ilustrasi perhitungan beam tilt dapat dilihat pada gambar 9.4, antenna terpasang
pada menara dengan tinggi (h) tegak lurus terhadap permukaan bumi, berkas
GEM akan merambat sejajar dengan permukaan bumi.
Diketahui bahwa : jari-jari bumi (a) = 11333,33km, Line of sight = 4,12√(h)m,
difraksi=4/3. Maka dapat dicari besar sudut beam tilt (Ө°).

Gambar 9.4. Beam tilt

Beam tilt dapat dilakukan secara mekanik, dengan cara memasang mounting
antenna dengan sudut tertentu terhadap menara, agar diperoleh sudut Ө yang di
inginkan. Hal ini akan sulit dilakukan jika antenna yang terpasang lebih dari satu
panel, maka harus dilakukan elektrikal beam tilt. Seperti dijelaskan pada Gambar
9.4.
Dengan tidak merubah sudut kemiringan susunan antenna terhadap menara,
untuk mendapatkan beam tilt dengan sudut tertentu yaitu dengan menambah
panjang salah satu feeder, perbedaan panjang feeder line akan mengakibatkan
delay (terlambat) pada salah satu feeder (yang lebih panjang), feeder ini akan
berfungsi sebagai delay line.
Delay line akan mengakibatkan perbedaan phase diantara kedua feeder tersebut,
dengan demikian akan terjadi penjumlahan vector pada antenna dengan kondisi
amplitudo yang sama tetapi terdapat perbedaan phase, menghasilkan beam
radiasi dengan sudut tertentu.
Ilustrasi perhitungan beam tilt dapat dilihat pada gambar 9.5, yaitu jika di inginkan
sudut beam tilt (Ө°) sebesar 3°, berapa panjang delay line (∂°), dalam (°) atau
(cm) yang harus ditambahkan pada salah satu feeder line. Hal ini sangat mudah
dilakukan dengan menurunkan persamaan ; (∂°) =(2πNsSinӨ)/λ.

50
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Dari contoh perhitungan pada gambar 9.5, untuk sudut beam tilt sebesar 3°,
dibutuhkan panjang delay line 22,1 cm atau beda phase 56,58°, pada frekuensi
ch 40

Gambar 9.5. Ilustrasi beam tilt

9.5. POLA RADIASI


Pola radiasi terdiri dari pola radiasi tegak (vertical) dan pola radiasi
mendatar (mendatar) yang bentuknya bergantung dari susunan antenna dan
pemantulnya, dengan demikian sangat erat hubungannya dengan perolehan
daya (gain) dalam hal ini perolehan terarah (directive gain). Oleh sebab itu dalam
perencanaan dan perhitungan ERP, kuat medan listrik dititik penerima dapat
dihitung menggunakan diagram pola radiasi tegak dan mendatar, Seberapa
besar directive gain, keterarahan mendatar (Dh) dan keterarahan tegak (Dv)
dalam dB (decibell), yaitu dengan menghitung berapa (dB), pengurangan pada
sudut tertentu (pada diagram pola radiasi) sesuai dimana lokasi penerima yang
akan di hitung besaran field strength nya.
Pola radiasi akan sangat membantu dalam perencanaan jaringan transmisi,
terutama dalam menentukan seberapa besar daya pemancar dan gain antenna
untuk meradiasi suatu wilayah layanan. Penggambaran pola radiasi dalam
gambar 2 dimensi, adalah dengan menurunkan persamaan fungsi tri goneometri
seperti dalam table (persamaan pola radiasi untuk beberapa macam tipe

51
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
antenna). Pada prakteknya pola radiasi sangat dipengaruhi oleh ukuran menara
(spine) dan penempatan di menara. Ukuran spine yang ideal (tidak berpengaruh
kepada pola radiasi) untuk penempatan antenna adalah 60x60 cm untuk band
UHF dan 120x120cm untuk band VHF.

52
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
53
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
54
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
55
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
56
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
57
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
58
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
59
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
PERSAMAAN POLA HORIZONTAL ANTENNA SUPERGAIN

DoA dan AoC C


C D(Ø)=sin(ßHcosØ) x
(1)
Cos(π/2xsinØ)/cosØ
Ø
o B A
A o
2D

D D

C AoC; C
D(Ø)=√(A1²+A2²+2A1A2 x H=0.3λ
(2) cos(ßD(cosØ-sinØ)) 2D=0.5λ
A1=sin(ßHcosØ)xcos
B
Ij o (π/2sinØ) /cosØ B o A
A
Ij
A2= sin(ßHsinØ)x
cos(π/2cosØ) /sinØ
D
D
ß=2π/λ
CoB; D’(Ø)=sin(ßHcosØ)x
cos(π/2sinØ) /cosØ
DoA; D”Ø)=sin(ßHsinØ)
xcos(π/2cosØ) /sinØ
C AoC; D(Ø)=√(A1²+A2²-
C
(3) 2A1A2 x cos(ßD(cosØ-
sinØ))
CoB dan DoA (sama
I o dengan (2))
B A
Ij
B o A
D
D

C AoC; D(Ø)=√(A1²+A2²- C
2A1A2 x sin(ßD(cosØ-
(4)
sinØ))
Ij+λ/4 CoB dan DoA (sama
o dengan (2))
B A
Ij B o A

D D

60
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
C AoC; C
(5)
D(Ø)=√(A1²+A2²+2A1A2 x
cos(ßD(cosØ-sinØ))
CoB; (Ø)=√(A1²+A2²-
Ij o
B A 2A1A2 x cos(ßD(cosØ- B A
Ij o
Ij sinØ))
BoD; D(Ø)=A3 D
D
DoA; D(Ø)=A4

C AoC; C
(6) D(Ø)=√(A1²+A2²+2A1A2 x
cos(ßD(cosØ-sinØ))
Ij o CoB;
B A (Ø)=√(A1²+A2²+2A1A2 x B o A
Ij Ij os(ßD(cosØ-sinØ))
BoD; D(Ø)=A3 D
D
DoA; D(Ø)=A4

C AoC; D(Ø)=√(A1²+A2²- C
2A1A2 x sin(ßD(cosØ-
(7)
sinØ))
CoB; D(Ø)=√(A1²+A2²-
Ij o
B A 2A1A2 x sin(ßD(cosØ- B A
o
Ij+λ/4 Ij+λ/4 sinØ))
BoD; D(Ø)=A3 D
D DoA; D(Ø)=A4

C AoC; D(Ø)=√(A1²+A2²- C
2A1A2 x sin(ßD(cosØ-
(8)
sinØ))
CoB;
Ij o D(Ø)=√(A1²+A2²+2A1A2 x
B A o
sin(ßD(cosØ-sinØ)) B A
Ij+λ/4 Ij+λ/4
BoD; D(Ø)=A3 D
D DoA; D(Ø)=A4

C AoC; C
D(Ø)=√(A1²+A2²+2A1A2 x
(9) sin(ßD(cosØ-sinØ))
Ij+λ/4 CoB; D(Ø)=√(A1²+A2²-
B o 2A1A2 x sin(ßD(cosØ- o
A B A
Ij Ij sinØ))
BoD; D(Ø)=A3 D
D DoA; D(Ø)=A4

61
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
C AoC; C
D(Ø)=√(A1²+A2²+2A1A2 x
(10)
sin(ßD(cosØ-sinØ))
Ij
CoB; D(Ø)=√(A1²+A2²-
B o 2A1A2 x sin(ßD(cosØ- B o A
A
Ij+λ/4 Ij+λ/4 sinØ))
Ij
BoD;
D(Ø)=√(A1²+A2²+2A1A2 x
D sin(ßD(cosØ-sinØ)) D
DoA; D(Ø)= √(A1²+A2²-
2A1A2 x sin(ßD(cosØ-
sinØ))
C AoC;D(Ø)=√(A1²+A2²+2A1 C
A2xsin(ßD(cosØ-sinØ))
(11)
Ij
CoB;D(Ø)=√(A1²+A2²-
B o A
B o 2A1A2xsin(ßD(cosØ-
A
Ij+λ/4 Ij+λ/4 sinØ))
Ij
BoD;D(Ø)=√(A1²+A2²+2A1
D D
A2 x sin(ßD(cosØ-sinØ))

DoA;D(Ø)=√(A1²+A2²-
2A1A2x sin(ßD(cosØ-
sinØ))
C AoC;D(Ø)=√(A1²+A2²- C
2A1A2x sin(ßD(cosØ-
(12) sinØ))
Ij

B o
A CoB;D(Ø)=√(A1²+A2²- B o A
Ij+λ/4 Ij+λ/4 2A1A2x sin(ßD(cosØ-
sinØ))
Ij

D BoD;D(Ø)=√(A1²+A2²- D
2A1A2x sin(ßD(cosØ-
sinØ))

DoA;D(Ø)=√(A1²+A2²-
2A1A2x sin(ßD(cosØ-
sinØ))

62
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
C AoC;D(Ø)=√(A1²+A2²- C
2A1A2x sin(ßD(cosØ-
(13)
sinØ))
Ij
o B o A
B A CoB;D(Ø)=√(A1²+A2²+2A1
Ij+λ/4 Ij+λ/4 A2 x sin(ßD(cosØ-sinØ))
Ij
D
BoD;D(Ø)=√(A1²+A2²- D
2A1A2x sin(ßD(cosØ-
sinØ))

DoA; D(Ø)= √(A1²+A2²-


2A1A2 x sin(ßD(cosØ-
sinØ))

63
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
9.5.1. PERSAMAAN UMUM POLA RADIASI
a) Pola radiasi horizontal
Persamaan umum pola radiasi horizontal antenna 1/2λ dipole :
Jika L=λ/2
D(φ)=Cos(π/2.Cos φ ) / Sin φ ≈ Sin φ ………….……….(51)

D(φ)=Horizontal pattern 1/2 λ dipole ant

1
3493533573161 5 9 13 17
345
341 2125
333337 29
329 0.9 33
325 37
321 0.8 41
317 45
313 0.7 49
309 53
305 0.6 57
301 0.5 61
297 65
293 0.4 69
289 0.3 73
285 77
281 0.2 81
277 0.1 85
273 89
0 93
269
265 97
261 101
257 105
253 109
249 113
245 117
241 121
237 125
233 129
229 133
225 137
221 141
217 145
213 149
209 157153
205
201197 161
193189185 181177173169165

64
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Persamaan umum pola radiasi horizontal antenna 1λ dipole:
Jika L=λ/2
D(φ)=Cos(π.Cos φ )+1 / Sin φ ………………………….(52)

D (ǿ)=Horizontal pattern 1 λ dipole ant

1
357361 5 9 13
341345349353 2 1721
337 2529
333 1.8 33
329 37
325
321 1.6 41
317 45
313 1.4 49
309 53
305 1.2 57
301 1 61
297 65
293 0.8 69
289 0.6 73
285 77
281 0.4 81
277 0.2 85
273 89
0 93
269
265 97
261 101
257 105
253 109
249 113
245 117
241 121
237 125
233 129
229 133
225 137
221 141
217 145
213 149
209 153
157
205
201197 161
193189185 181177173169165

65
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Persamaan umum pola radiasi horizontal antenna Yagi 2 elemen :
D(ǿ)=Cos{( π/4 (1 - Cos ǿ)} ……………………….(53)

Hor patern Yagi 2EL

1
3493533573161 5 9 13 17
345
341 2125
337 29
333 0.9 33
329 37
325
321 0.8 41
317 45
313 0.7 49
309 53
305 0.6 57
301 0.5 61
297 65
293 0.4 69
289 0.3 73
285 77
281 0.2 81
277 0.1 85
273 89
0 93
269
265 97
261 101
257 105
253 109
249 113
245 117
241 121
237 125
233 129
229 133
225 137
221 141
217 145
213 149
209 157153
205
201197 161
165
193189185 181177173169

66
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Persamaan umum pola radiasi horizontal antenna superturnstyle :
D(ǿ)= √{A1²+A2²+2A1A2 Cos∂0} …………………………(54)
Dimana
A1= {Cos(πL/λ. Sinǿ) – (Cos πL/λ) }/ (Cosǿ)
A2= k i . {Cos(πL/λ.Cosǿ) – (Cos πL/λ) }/( Sinǿ)
Dimana k i = I2/I1, rasio arus untuk 2 batwing antenna.

Hor pattern superturnstyle (∂₀=90°)

1
3453493533573161 5 9 13 17
341 2125
337 29
333 33
329 37
325
321 0.8 41
317 45
313 49
309 53
305 0.6 57
301 61
297 65
293 0.4 69
289 73
285 77
281 0.2 81
277 85
273 89
0 93
269
265 97
261 101
257 105
253 109
249 113
245 117
241 121
237 125
233 129
229 133
225 137
221 141
217 145
213 149
209 153
157
205201
197193189 165161
185 181177173169

67
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Hor pattern superturnstyle (∂₀=0°)

1
345349353357361 5 9 13 17
341 2125
337 1.2 29
333 33
329 37
325
321 41
317 1 45
313 49
309 0.8 53
305 57
301 61
297 0.6 65
293 69
289 0.4 73
285 77
281 81
0.2
277 85
273 89
0 93
269
265 97
261 101
257 105
253 109
249 113
245 117
241 121
237 125
233 129
229 133
225 137
221 141
217 145
213 149
209 153
157
205201
197193189 165161
185 181177173169

68
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Persamaan umum pola radiasi horizontal antenna supergain :
D(ǿ)= √{A1²+A2²+2A1A2 Cos∂0} ………………………….(55)
Dimana
A1= Sin {2πH/λ) SinǾ} x(( Cos {πL/λ CosǾ} - Cos (πL/λ))/ SinǾ)
A2= ki x {Sin(2πH/λ)x CosǾ} x((( Cos {πL/λ SinǾ} - Cos (πL/λ))/
CosǾ)) ki x {Sin(2πH/λ)x CosǾ} x((( Cos {πL/λ SinǾ} - Cos (πL/λ))/
CosǾ))

Hor pattern Supergain 4 side

1
349353357361 5 9 13 17
345 21 25
337341 1.6 29
333 33
329 37
325 1.4
321 41
317 45
313 1.2 49
309 53
305 1 57
301 61
297 0.8 65
293 69
0.6 73
289
285 0.4 77
281 81
277 0.2 85
273 89
0 93
269
265 97
261 101
257 105
253 109
249 113
245 117
241 121
237 125
233 129
229 133
225 137
221 141
217 145
213 149
209205 153
161157
201197
193189185 181177173169165

69
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
D(Ǿ)= √{A1²+A2²+2A1A2xCos (2πD/λ x (CosǾ - SinǾ)}……….(56)
Dimana:
A1=Sin {2πH/λxCosǾ} x( Cos {π/2xSinǾ}/ CosǾ)
A2=Sin {2πH/λxSinǾ} x( Cos {π/2xCosǾ}/ SinǾ)

Hor pattern Supergain 2 side

1
361 5 9 13
349353357
345 1.4 17 21
337341 2529
333 33
329 1.2 37
325
321 41
317 45
313 1 49
309 53
305 0.8 57
301 61
297 65
0.6
293 69
289 73
0.4 77
285
281 81
0.2 85
277
273 89
0 93
269
265 97
261 101
257 105
253 109
249 113
245 117
241 121
237 125
233 129
229 133
225 137
221 141
217 145
213 149
209 153
205201 161157
197193189 165
185 181177173169

70
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
D(Ǿ)=√{A1²+A2²+2A1A2xSin (2πD/λ x (CosǾ - SinǾ)………..…(57)
D(Ǿ)=√{A1²+A2²-2A1A2xSin (2πD/λ x (CosǾ - SinǾ)}
D(Ǿ)=A3
D7(Ǿ)=A4

Hor pattern Supergain 3 side(I+λ/4)

1
353357361 5 9 13 17
345349 1.2
341 2125
337 29
333 33
329 37
325 1
321 41
317 45
313 49
0.8 53
309
305 57
301 0.6 61
297 65
293 69
289 0.4 73
285 77
281 0.2 81
277 85
273 89
0 93
269
265 97
261 101
257 105
253 109
249 113
245 117
241 121
237 125
233 129
229 133
225 137
221 141
217 145
213 149
209 153
205201 157
197193189 165161
185 181177173169

71
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
b) POLA RADIASI TEGAK (VERTICAL)
Persamaan umum pola radiasi vertical antenna Yagi 2 elemen adalah:
D(Ө)= {Cos(π/2.Cos Ө) / Sin Ө}x Cos{( π/4 (1 - Sin Ө)} ……..….(58)

Ver pattern Yagi 2EL

1
357361 5 9 13
341345349353 1 1721
337 2529
333 33
329 37
325 0.8
321 41
317 45
313 49
0.6 53
309
305 57
301 0.4 61
297 65
293 69
289 0.2 73
285 77
281 0 81
277 85
273 89
-0.2 93
269
265 97
261 101
257 105
253 109
249 113
245 117
241 121
237 125
233 129
229 133
225 137
221 141
217 145
213 149
209 153
157
205
201197 161
193189185 181177173169165

72
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Pola radiasi tegak antenna super turn style
Kondisi:
D(Ө) =D6 x Fs
1.Horizontal polarization D6=2Cos Өv x (1+ 2Cos(4Өv))
2.Vertikal polarization Өv=(πS/λ)xSinӨ
3.6 bay D(Ө)=2Cos (πS/λ xS inӨ) x {1+ 2Cos (4πS/λ x
SinӨ}
4. ∂o=90° Fs=(0,0941+0,7501xCosӨ3+0,9995CosӨ2+0,7071CosӨ1)/2.5508
5.S1=0,72λ, S2=0,48λ, S3=0,48λ
6. Ө1=(πS1/λ xSinӨ), Ө2=(πS2/λ xSinӨ), Ө3=(πS3/λ xSinӨ

Vertical pattern super turn style 6 bay


1
357361 5 9 13
34134534935316 17 21
337 2529
333 14 33
329 37
325
321 12 41
317 45
313 49
309 10 53
305 57
301
8 61
297 6 65
293 69
289 4 73
285 77
2 81
281
277 0 85
273 89
269
-2 93
265 97
261 101
257 105
253 109
249 113
245 117
241 121
237 125
233 129
229 133
225 137
221 141
217 145
213 149
209 153
157
205
201197 161
165
193189185 181177173169

73
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Vertical pattern super turn style 6 bay
20

15

10

0
0 20 40 60 80 100
-5

Depression angle antenna


Kondisi D(Ө) = Sin(N Өv)/Sin Өv x Sin(2 πH/λ x CosӨ)
1.Horizontal polarization Өv=(πS/λ)xSinӨ Dv
2.Vertikal polarization N=jumlah bay
3.6 bay S=jarak antenna upper dengan lower
H=jarak dpole dengan reflektor

D(θ) Depression angle, antenna 6 bay

0
0 20 40 60 80 100

74
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
D(θ) Depression angle, antenna 1 bay
2
1.8
1.6
1.4
1.2
1
0.8
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Null Point pola radiasi vertikal


Titik dimana menerima kuat medan radiasi vertical minimum disebut Null point,
pada diagram Null point antenna 1 bay =30°, dan untuk antenna 6 bay =5°,16°,
27°, 37°, 48°, 58°, 69°, 80°, 90°. Jumlah null point ditentukan oleh jumlah bay
yang terpasang, semakin banyak jumlah bay akan semakin banyak null point.
Titik lokasi null point dapat dicari menggunakan persamaan tan (Ө)=(tinggi
menara/d), jika tinggi menara=300m, sudut null point (Ө) = 30°, maka d=173m
(dari lokasi menara) adalah titik lokasi null point. Keberadaan null point dapat
dikurangi (kedalamannya) dengan mengatur phase kabel distributor antenna agar
dalam perjumlahan vector menghasilkan null fill in.

Null point pola radiasi vertikal


θ E1 E
S Sin θ
c
a
S

E1
θ
φ φ
b E2
c² = a² + b² – 2ab Cos (φ-π)
E2 c² = a² + b² + 2ab Cos (φ+π)
Amplitudo E1=E2 Cos (π- φ)= -Cosφ
E² = E1² (1² + 1² + 2Cosφ)
= E1² ( 2 + 2Cosφ)
E²/ E1² = 2 (1 + Cosφ)
= 2 (2 Cos² φ/2)
E/ E1 = Cos² φ/2
Dimana: φ = (2 π s/λ) Sin θ
E/ E1 = 2 Cos ((2 π s/λ) Sin θ)/2)
E/ E1 = 2 Cos (( π s/λ) Sin θ))
Jika s=λ
Maka : E/ E1 = 2 Cos (π Sin θ)

75
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Null Point 1 bay

2.5

1.5

0.5

0
0 20 40 60 80 100

Null Point 6 bay

2.5

1.5

0.5

0
0 20 40 60 80 100

9.6. PERHITUNGAN GAIN ANTENA


Angka satuan Gain antena untuk keperluan broadcast (penyiaran)
menggunakan satuan dBd (gain antena dibandingkan dengan antena dipole ´ λ),
berbeda dengan antena keperluan telekomunikasi yang menggunakan pemantul
parabolic selalu menggunakan satuan dBi (gain antena dibandingkan dengan
antena isotropik), perbedaan antara dBd dengan dBi sebesar 2,15 dB.
(0dBd=2,15dBi).
Besarnya gain antena per panel tergantung kepada frekuensi kerja yang
digunakan seperti tabel dibawah ini:

76
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Polarization Arrays Band Frequency Gain
Hor /Vertical Dipole Band II (VHF) 47–88Mhz 7dB/panel
TV
Hor /Vertical Dipole Band II (VHF) 87,5–108Mhz 7,5dB/panel
FM
Circular Dipole Band II (VHF) 87,5–108Mhz -1,8dB/panel
FM
Hor /Vertical Dipole Band III (VHF) 174–230 Mhz 8dB/panel
TV
Hor /Vertical 4Dipole Band IV (UHF) 470–860 Mhz 11dB/panel
TV
Horizontal Slot Band IV (UHF) 470–860 Mhz 9,5dB
TV

Contoh perhitungan Gain antena:


a) Gain sistem antena 8 level, 1 side.
8 levels, 1 sides
1

1
1,15
2

2
Uper ant
3

4
4
4 Sistem gain antenna, 8 level,1 side (UHF
9,05

band IV/V) :
5

5
=10 log (Jumlah panel) + gain panel
antenna
2 run main feeder
6 =10 log(8) + 11dBd
6

flexwell 1 5/8",
Lower ant

=9 dB +0 dB + 11 dBd = 20 dBd

de 7 7
hy
dra
tor

8
8

Rigid line 1 5/8"


To Transmitter

DU
MM
Y
LOA
D

77
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
b) Gain sistem antena 8 level, 2 side.
8 levels, 2 sides (16
panels antenna)
2

1,15
2

Uper ant
2
4
2 Sistem gain antenna, 8 level,2 side (UHF
band IV/V) :
4

9,05
=10 log (Jumlah panel) + gain panel
2 antenna
=10 log(16) + 11dBd
2 run main feeder =12dB + 11dBd = 23 dBd
flexwell 1 5/8",
2

Lower ant
Gain antena / side:
=10log(Jumlah panel)+10log(Jumlah panel
de
hy
2 arah/Jumlah panel)+gain panel antena
dra
tor
Arah 45˚=10 log(16) +10log(8/16) + 11dBd
=12dB – 3dB + 11dBd
2 = 20dBd
Rigid line 1 5/8"
Transmitter Arah 315˚=10 log(16) +10log(8/16) + 11dBd
Az = 45º
Az = 315º
Power = 1
=12dB – 3dB + 11dBd
Power = 1
= 20dBd
DU
MM
Y
LOA
D

c) Gain sistem antena 8 level, 3 side.


8 levels, 3 sides (24
panels antenna)
3
1,15

3
Uper ant

Sistem gain antenna, 8 level, 3 side (UHF


3 band IV/V) :
4 =10 log (Jumlah panel) + gain panel
antennal
3 =10 log(24) + 11dBd
=13,8dB + 11 dBd = 24,8 dBd
4
9,05

3 Gain antena / side:


=10log(Jumlah panel)+10log(Jumlah panel
2 run main feeder arah/Jumlah panel)+gain panel antena
flexwell 3 1/8",
3
Lower ant

Arah 45˚=10 log(24) + 10log(8/24)+11dBd


dehydr
= 13,8dB – 4,77dB + 11dBd
ator 3 = 20dBd
dehydr Arah 180˚=10 log(24) + 10log(8/24)+11dBd
ator
3 = 13,8dB – 4,77dB + 11dBd
Rigid line 3 1/8" = 20dBd
Arah 270˚=10 log(24) + 10log(8/24)+11dBd
= 13,8dB – 4,77dB + 11dBd
= 20dBd
0,3

Transmitter Az = 270º Az = 45º


Power = 1 Power = 1

Az = 180º
Power = 1

78
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
d) Gain sistem antena 8 level, 4 side
8 levels, 4 sides (32
panels antenna)
4

1,15
Sistem gain antenna, 8 level,4 side (UHF
band IV/V) :
4
=10 log (Jumlah panel) + gain panel

Uper ant
antenna
4 =10 log(32) + 11dBd
4 =15dB + 11 dBd = 26dBd

4 Gain antena / side:


=10log(Jumlah panel)+10log(Jumlah panel
4

9,05
arah/Jumlah panel)+gain panel antena
4
Arah 0˚=10 log(32) + 10log(8/32)+11dBd
2 run main feeder = 15dB – 6dB + 11dBd
flexwell 3 1/8",
4 = 20dBd

Lower ant
Arah 45˚=10 log(32) + 10log(8/32)+11dBd
dehydr = 15dB – 6dB + 11dBd
ator 4 = 20dBd
dehydr Arah 180˚=10 log(32) + 10log(8/32)+11dBd
= 15dB – 6dB + 11dBd
ator
4
Rigid line 3 1/8"
= 20dBd
Arah 270˚=10 log(32) + 10log(8/32)+11dBd
Az = 0º = 15dB – 6dB + 11dBd
Power =1
= 20dBd
0,3

Transmitter Az = 270º Az = 45º


Power = 1 Power = 1

Az = 180º
Power = 1

8 levels, 4 sides (28


panels antenna)
4
1,15

4 Sistem gain antenna, 8 level,4 side (UHF


Uper ant

band IV/V) :
=10 log (Jumlah panel) + gain antenna/
4 panel
4 =10 log(28) + 11dBd
=14,47dB + 11 dBd = 25,47dBd
4
4 Gain antena / side:
9,05

=10log(Jumlah panel)+10log(Jumlah panel


3 arah/Jumlah panel)+gain panel antena

2 run main feeder Arah 0˚=10 log(28) + 10log(8/28)+11dBd


flexwell 3 1/8",
3
Lower ant

= 14,47dB – 5,44dB + 11dBd


= 20dBd
dehydr
ator 3 Arah 45˚=10 log(28) + 10log(4/28)+11dBd
= 14,47dB – 8,45dB + 11dBd
dehydr = 17dBd
ator
3 Arah 180˚=10 log(28) + 10log(8/28)+11dBd
Rigid line 3 1/8" = 14,47dB – 5,44dB + 11dBd
= 20dBd
Az = 0º
Power =1 Arah 270˚=10 log(28) + 10log(8/28)+11dBd
= 14,47dB – 5,44dB + 11dBd
0,3

Transmitter Az = 270º Az = 45º = 20dBd


Power = 1 Power = 1

Az = 180º
Power = 1

79
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
X. PEMANCAR TELEVISI DAN FM RADIO

10.1. PEMANCAR TELEVISI


Pemanfaatan teknologi solid state untuk pemancar televisi dengan
daya tinggi menggunakan mosfet sudah banyak digunakan untuk pertimbangan
perawatan yang lebih efisien, walaupun demikian penggunaan IOT (induction
output tube) masih cukup populer untuk pemancar televisi dengan daya tinggi
dengan pertimbangan penggunaan daya listrik yang lebih efisien, pada dasarnya
terdapat dua jenis tipe pemancar yaitu :

1) Common Amplification.
Carrier video dan audio diperkuat dalam satu rangkaian penguat,
pemancar tipe ini relatip murah karena hanya memerlukan satu
rangkaian penguat dan tidak memerlukan rangkaian combiner di
output rangkaian untuk menggabungkan carrier video dengan
audio, kekurangannya apabila karakteristik penguatan rangkaian
tidak linier akan mengakibatkan distorsi dan menimbulkan product
carrier yang disebabkan oleh inter carrier dan inter mod, product
carrier yang diperbolehkan > -48dB terhadap carrier video.

2) Split Amplification.
Carrier video dan audio diperkuat oleh masing-masing rangkaian
penguat, pemancar tipe ini relatip lebih mahal karena memerlukan
dua rangkaian penguat dan memerlukan rangkaian combiner di
output rangkaian untuk menggabungkan carrier video dengan
audio, kelebihannya apabila karakteristik penguatan rangkaian
tidak linier tidak akan mengakibatkan distorsi dan menimbulkan
product carrier.

Common amplification

video
Power Amplifier
Exciter RF out
Video + audio
audio

Split amplificatiom

Power Amplifier
Video
video
Exciter diplexer RF out
audio
Power Amplifier
Audio

80
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Exciter common amplification

0 5,5 MHz 0 5,5 MHz 0 5,5 MHz 33,4 38,9 MHz

Video procesor Video corrector VIF modulator UP converter RF amplifier

-1,25 V carrier
A carrier
Oscilator Local Osc
38,9MHz V carrier + Combiner
38,9MHz

FM modulator
Audio procesor Mixer UP converter RF amplifier
5,5 MHz

0 20 KHz 5,5 MHz 33,4 MHz

Exciter Split amplification

0 5,5 MHz 0 5,5 MHz 0 5,5 MHz 33,4 38,9 MHz -1,25 V carrier 5,5

Video procesor Video corrector VIF modulator UP converter RF amplifier

Oscilator Local Osc


38,9MHz V carrier +
38,9MHz

FM modulator
Audio procesor Mixer UP converter RF amplifier
5,5 MHz

0 20 KHz 5,5 MHz 33,4 MHz A carrier

Pada sistem pemancar (split dan common amplification) rangkaian modulator


terletak pada tingkat frekuensi menengah IF (intermediate frequency), yaitu 38,9
MHz untuk video dan 33,4 MHz atau 5,5 MHz untuk audio.
Besarnya frekuensi local oscilator akan menentukan frekuensi channel, dengan
demikian besarnya frekuensi local oscilator adalah 38,9 MHz + frekuensi video
carrier.

81
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
10.2. PEMANCAR FM RADIO
Dalam pemancar FM radio terdapat tiga bagian penting yaitu encoder,
exciter dan power amplifier, masing berfungsi sebagai berikut :
1. Stereo encoder berfungsi untuk menghasilkan audio composite yaitu
berupa multipleksing beberapa informasi yaitu: mono audio, stereo
audio dan tone 19KHz.
2. FM exciter berfungsi untuk menghasilkan modulasi FM (Frequency
modulasi) power output FM exciter antara 1 watt s/d 30 watt.
3. Power amplifier berfungsi untuk memperkuat power output dari exciter.

Left audio Mux Stereo RF o/p


FM Encoder Exciter Power Amplifier
Mono
Right audio

L L-R L-R L-R

0 15 kHz
- 0 15 kHz Balans
modulator
38 kHz

L+R 19 kHz
L-R L-R

38 kHz 0 15 kHz 38 kHz


19 kHz MUX

R L+R

0 15 kHz
+ 0 15 kHz

Proses membentuk audio composite sebagai berikut:


1. Audio input left (L) ditambahkan dengan right (R) menjadi (L + R),
Audio (L+R) kemudian akan menjadi audio mono pada pesawat
penerima.
2. Audio input left (L) dikurangkan dengan right (R) menjadi (L - R),
Audio (L-R) kemudian akan menjadi pembangkit audio stereo pada
pesawat penerima.
3. Pilot tone stereo 19KHz di sisipkan dalam multiplex untuk
membangkitkan local oscilator 38KHz pada pesawat penerima agar
mempunyai phase yang sama dengan di pemancar.
4. Audio (L-R) di modulasikan menggunakan AM balance modulator untuk
menghasilkan AM double sideband suppressed carrier.

Audio composite

Stereo
Left -Right
19KHz
Stereo pilot tone
(10%)
Mono audio Left - Right Left - Right
Left +Right

0 15KHz 19 23 38 53KHz

Proses pada pesawat penerima:


Decoder pada pesawat penerima melakukan fungsi sebagai berikut:
Proses penambahan : (L + R) + (L – R) = ( 2L )
82
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Proses pengurangan : (L + R) - (L – R) = ( 2R )
Maka didapatkan kembali masing- masing audio Left =2L dan Right = 2R
yang lebih besar 2 kali, hal ini tidak akan menjadi masalah karena pesawat
penerima akan dengan mudah untuk menguranginya.

10.3. PERHITUNGAN “ERP” (EFFECTIVE RADIATION POWER)


Perhitungan ERP dapat menggunakan persamaan :
ERP = 10 log (tx power) + Gain panel antena - total loss (feeder, distributor,cable
distributor)

8 levels, 4 sides (32


Sistem gain antenna, 8level,4side (UHF band IV/
panels antenna)
V) :
4

1,15
=10 log (Jumlah panel) + gain panel antenna
=10 log(32) + 11dBd
4 =15dB +11dBd = 27dBd

Uper ant
Gain antena / side:
=10log(Jumlah panel)+10log(Jumlah panel arah/
4 Jumlah panel)+gain panel antena
4 Arah 0˚=10 log(32) + 10log(8/32)+11dBd
= 15dB – 6dB + 11dBd
4
= 20dBd
4 Arah 45˚=10 log(32) + 10log(8/32)+11dBd
9,05

= 15dB – 6dB + 11dBd


4 = 20dBd
2 run main feeder Arah 180˚=10 log(32) + 10log(8/32)+11dBd
flexwell 3 1/8", a= = 15dB – 6dB + 11dBd
1dB/100m
4
Lower ant

= 20dBd
Arah 270˚=10 log(32) + 10log(8/32)+11dBd
dehydr
ator 4 = 15dB – 6dB + 11dBd
= 20dBd
dehydr
Tx power=20kw(pp) =11,8kw(av)=10,7dBk(av)
ator
4 Feeder loss=1dB/100m
Rigid line 3 1/8" Distributor loss=1dB
ERP Sistem:
Az = 0º
Power =1 = Tx power(dB)+Gain ant(dB)-Total loss(dB)
=10,7dBk+27dB-2dB=35,7dBk
0,3

TX power
Az = 270º
Power = 1
Az = 45º =3715,35kw
Power = 1
=20kw(pp)=11,8kw(av) ERP/side: masing-masing Az=0˚,45˚,180˚,270˚
=10,7dBk(av) =Tx power/4+Gain ant/side-Total loss
Az = 180º =10log(11,8kw/4)+20dB-3dB
Power = 1 =4,7dBk+20dB-3dB
=21,7dBk
=147,9kw
10. 4. PERHITUNGAN DAYA PEMANCAR
Perhitungan daya pemancar dapat menggunakan Rec ITU-R. P. 1546,
dapat dipilih sesuai kebutuhan seperti frekuensi range (100 MHz, 600 MHz ),
probabilty waktu (1%,10%,50%), propagasi melewati (daratan, lautan).
Sumbu tegak menentukan besarnya field strength dBuV/m, (untuk daya pancar
ERP = 1KW atau 0dBk) , sumbu mendatar menentukan jarak antara pemancar
dan penerima, kurva (sesuai dengan warnanya) menentukan ketinggian antena
pemancar dari permukaan tanah, dalam perhitungan menggunakan Rec ITU-

83
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
R.P.1546 dengan asumsi antena penerima dengan ketinggian 10m dari
permukaan tanah.

1) Contoh perhitungan field strength pemancar radio FM menggunakan Figure


2, Rec ITU-R P. 1546 :

Diketahui: Jarak antara Pemancar dengan penerima = 30km (sumbu mendatar)


Tinggi antena pemancar h1 = 75m (kurva warna hijau)
Diperoleh:
Field strength=48,733dBuV/m
(sumbu tegak, Figure 2, Rec ITU-R P. 1546)
ERP=1kw=0dBk

Field strength = 48,733 dBuV/m


h1=75m

h2=10m
30 KM

Besarnya field strength 48,733 dBuV/m adalah nilai yang diperoleh pada jarak 30
km dari lokasi pemancar dengan daya pancar ERP 1kw (0dBk) dan pola radiasi
antena terarah (cardiod).
Sedangkan antena pemancar dengan pola radiasi omni directional (4 arah)
dibutuhkan daya pancar ERP = 0dBk + 10 log 4 atau 6dBk.
Minimum median field strength untuk pemancar radio FM adalah 48 dBuV/m
(ITU-R Rec 412-4), dengan demikian nilai field strength 48,733 dBuV/m sudah
cukup memadai.
Besarnya daya pemancar (watt) dapat dihitung menggunakan persamaan:
Tx power (dBk)=ERP(dBk)-Gain antena(dBd)+Loss cable(dB)
Apabila menggunakan sistem antena circular 2level, 1side (gain = 10 log (2) +
gain/panel = 3 dB + 4,5 dBd = 7,5 dBd) dan loss cable = 1 dB, akan diperoleh
daya pemancar = - 6,5 dBk atau 224 Watt.

84
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
ERP=1kw=0dBk

Gain ant =10 log(2)+4,5dBd = 7,5dBd


Loss cable=1dB
Tx power =ERP(dBk)-Gain ant+Loss cable
= 0dBk -7,5dBd+1dB Field strength = 48,733 dBuV/m
h1=75m

= - 6,5dBk
= 224watt

h2=10m
Tx power
=224watt

30 KM

Perhitungan daya pemancar dengan pola radiasi antena omni directional 4 arah,
antena dipole 1/2λ (gain =8dBd), dapat menggunakan cara dibawah ini.
Field strength = Field strength =
48,733 dBuV/m 48,733 dBuV/m
h2=10m

h2=10m
G = 8dB G = 8dB

G = 8dB G = 8dB
h1=75m

km
30

30
km

Field strength = Field strength =


48,733 dBuV/m 48,733 dBuV/m
h2=10m

h2=10m

m 30 k
30 k a = 1dB m

Tx pwr = 794 watt

85
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Perhitungan daya pemancar,
Diketahui: Tinggi antena = 75m
Radius coverage = 30km
Field strength = 48,733 dBuV/m
Gain antena = 8dB/arah
Pola radiasi = Omni directional (4 arah)
Redaman kabel = 1 dB
Diperoleh: Daya pemancar = 0dBk + 10 log 4 - 8dB + 1 dB = -1dBk atau 794 watt.

2) Contoh perhitungan field strength pemancar televisi menggunakan Figure


10, Rec ITU-R P. 1546:

Diketahui: Jarak antara Pemancar dengan penerima = 30km (sumbu mendatar)


Tinggi antena pemancar h1 = 75m (warna hijau)
Diperoleh: Field strength = 45,152 dBuV/m (sumbu tegak, Figure 10. Rec ITU-R
P. 1546)
ERP=1kw=0dBk

Field strength = 45,152 dBuV/m


h1=75m

h2=10m

30 KM

Besarnya field strength 45,152 dBuV/m adalah nilai yang diperoleh pada jarak 30
km dari lokasi pemancar dengan daya pancar ERP 1kw (0dBk) dan pola radiasi
antena terarah (cardiod).
Sesuai dengan rekomendasi ITU-R (Rec 417-2), minimum median field strength
untuk pemancar televisi band IV adalah 65 dBuV/m, dengan demikian nilai field
strength 45,152 dBuV/m masih belum memadai masih diperlukan penambahan
daya ERP = 65 dBuV/m - 45,152 dBuV/m = 19,848 dB (dibulatkan 20 dB).
Untuk antena pemancar dengan pola radiasi omni directional (4 arah) akan
dibutuhkan daya pancar ERP = 20dBk + 10 log 4 = 26dBk.

86
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Field strength = Field strength =
65 dBuV/m 65 dBuV/m
h2=10m

h2=10m
G = 11dB G = 11dB

G = 11dB G = 11dB

h1=75m
km
30

30
km

Field strength = Field strength =


65 dBuV/m 65 dBuV/m
h2=10m

h2=10m
m 30 k
30 k a = 1dB m

Tx pwr = 39,8 kW

Perhitungan daya pemancar,


Diketahui:
Tinggi antena = 75m
Radius coverage = 30km
Field strength = 45,152 dBuV/m
Gain antena = 11dB/arah
Pola radiasi = Omni directional (4 arah)
Redaman kabel = 1 dB
Diperoleh: Daya pemancar =0dBk+20dB+10log4-11dB+1dB
=16dBk atau 39,8 kW

87
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Figure 2, Rec ITU-R P. 1546

100 MHz, land, 10% time

120
110 h1=10m

100
Field Strength (dB uV/m) for 1 kW e.r.p.

90 h1=20m
80
70 h1=37.5
60 m

50
h1=75m
40
30
h1=150m
20
10
0 h1=300m

-10
-20 h1=600m
-30
-40 h1=1
-50 200m

-60
Emax
-70
-80
1 10 100 1000

Distance (km)

88
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Figure 10, Rec ITU-R P. 1546

600 MHz, land, 10% time

120
110 h1=10
m
100
Field Strength (dB uV/m) for 1 kW e.r.p.

90 h1=20
80 m

70
h1=37.
60 5m
50
h1=75
40 m
30
20 h1=150
m
10
0 h1=300
m
-10
-20 h1=600
-30 m

-40
h1=1
-50 200m
-60
Emax
-70
-80
1 10 100 1000

Distance (km)

89
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
XI .PEDOMAN PERHITUNGAN DAN UJI PEMERIKSAAN PERALATAN
Pemeriksaan dan perawatan peralatan pemancar secara berkala akan
memperpanjang umur peralatan, untuk keperluan tersebut dari master control
pusat penyiaran secara bersamaan dengan materi program dikirimkan signal
VITS (video insertion test signal) pada line 17, 18, 330 dan 331, signal video
VITS tidak akan tampak di layar karena hanya menggunakan 4 garis scanning
yang disisipkan pada saat vertical blanking, beberapa parameter pemancar dapat
diukur langsung bersamaan dengan berlangsungnya siaran materi program,
pengukuran menggunakan perangkat video wave form monitor yang dapat
menampilkan hasil demodulasi line 17, 18, 330 dan 331.
Kelebihan pengukuran parameter video menggunakan VITS dapat dilaksanakan
dengan cepat karena dilakukan bersamaan dengan program materi siaran,
kekurangannya hasil pengukurannya tidak cukup akurat, akan tetapi cukup
membantu untuk mengetahui kondisi pemancar untuk segera dilakukan
perbaikan.
Perhitungan field strength sangat bermanfaat dalam merencanakan jaringan
transmisi untuk menentukan kebutuhan ERP, daya pemancar, gain antenna,
tinggi menara dll, dengan demikian kemungkinan terjadinya interferensi dapat
dicegah.

11.1. PERHITUNGAN FIELD STRENGTH SECARA EMPIRIK


Metode empirik dalam perhitungan field strength dapat menggunakan
metode dari “NHK Japan Broadcasting Corporation” sebagai berikut :

1).TANPA HALANGAN ANTARA PEMANCAR DENGAN PENERIMA

1) Didalam daerah “line of sight” d= √ 2 ka h


= 4,12 √h (km)
a) Pada jarak dekat.

Kondisi d < 12 h1 h2 / λ (m)


Kuat medan listrik E = E0 x 2 x sin Ǿ.Ls1
=7 √ (PG) / d x 2 | sin (2 π h1h2) / λd | (v/m)
0
Apabila Ǿ > 150 , dianggap sin Ǿ = 0,5 --- 2 sin Ǿ = 1

Dimana :

E = kuat medan listrik (v/m)


E0 = kuat medan listrik di ruang bebas (v/m)
G = perolehan daya antenna pemancar (kali)
P = daya pemancar (w)
h1 = tinggi antenna pemancar (m)
h2 = tinggi antenna penerima (m)
λ = panjang gelombang (m)

b) Pada jarak jauh

90
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Dengan 0,4 de > dm > 12 h1 h2 / λ
Dimana de = radio horizon
= 4,12 (√h1 + √h2) km

Pada kondisi 2 π h1 h2 / (λd) < 0,5 radian

1) Pada jarak jauh dan dalam “line of sight” bila titik yang dikehendaki
berada dalam daerah (B) (lampiran 2)

Maka E =7√(PG) / d x 2 | sin ((2 π h1 h2) / λd x J)|

Dimana J = factor kelengkungan bumi

Bila (2 π h1 h2) / λd - = 0,5 radian


2
Maka E = (88 h1 h2 √ pg) / λd x J

2) Factor koreksi untuk pola radiasi antenna tegak dan mendatar.


2 2
ERP = PG x Dh x Dv

Dimana: Dh =keterarahan mendatar


Dv = keterarahan tegak

Rumus kompensasi :

E = E0 2 sin Ǿ Dh Dv atau
2
E = (88 h1 h2 √PG) / λd x J x Dh x Dv

2).TERDAPAT HALANGAN ANTARA PEMANCAR DENGAN PENERIMA

a) Bila h1 dan h2 rendah dan halangan tinggi (gambar 4.1.a)

Maka E = E0 x Lr x sL

Dimana :

E0 = kuat medan diruang bebas


= (7 √PG) / d
Lt = factor pantulan di sisi pemancar
= 2 | sin (2 π h1 H1) / (λ d1)|
Lr = factor pantulan dari sisi penerima
= 2 | sin (2 π h2 H2) / λ d2|
º
bila Ǿ > 150 , ditentukan sin Ǿ = 0,5
2 sin Ǿ = 1.

91
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
sL = redaman difraksi = (1/ (2 π U)
U = “celearance parameter” Hc/rs
Hc = tinggi halangan
Rs = daerah “fresnel” (√λ d1 d2) / (d1 + d2)

b) Titik pemancar dan halangan tinggi dan saling berdekatan, titik penerima
rendah (gambar 4.1.b). Dalam kasus ini factor pemantulan di daerah pemancar
dapat diabaikan, karena titik pemancar dan halangan tinggi.
Maka E = E0 x Lr x sL.

c) Titik penerima dan halangan tinggi dan saling berdekatan, titik pemancar
rendah (gambar 4.1.c). Dalam kasus ini factor pemantulan di daerah penerima
dapat diabaikan. Maka E = E0 x Lt x sL.

d) dh1, h2 dan H1 tinggi. Dalam hal ini factor pemantulan dapat diabaikan, kita
hanya menghitung redaman difraksi. (gambar 10.1.d). Maka E = E0 x sL.

M M

(a) (b)
Hc Hc
H H
h1 h1
T T
R R
h1 h2 h1 h2

d1 d2 d1 d2

M M
(C) (D)
Hc
Hc R T R
h1

h2 h2
T h1

h1

d1 d2 d1 d2
Gambar 11.1 Perhitungan field strength metode empirik “NHK”

92
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
11.2. PENGUKURAN PARAMETER SIGNAL VIDEO & AUDIO
Dalam pengukuran parameter video, signal masukan dari “Video
Generator” dengan level 1 volt p – p, impedansi 75 ohm, pemancar dibebani
dengan beban semu 50 ohm.

1.14

1.0

0.86

0.72

0.58

0.44

0.3

Gambar 11.2. Composite video signal

11.3. KEDALAMAN MODULASI (MOD DEPTH)


Tujuan pengukuran ini adalah mengukur kedalaman modulasi
menggunakan signal “saw tooth” pada signal selubung (“Envelope signal”),
spesifikasi teknik untuk kedalaman modulasi adalah 10% s/d 12,5%.
Signal masukan adalah video komplit dengan level 1 v p-p terdiri dari 0,7 volt
untuk video dan 0,3 volt untuk pulsa sinkronisasi.
Carrier zero
0
Quench pulse
12,5%

100% 75% 12,5%

75%

100%

Gambar 11.3. Kedalaman Modulasi

Kedalaman modulasi harus dijaga 12,5%, apabila modulasi menyentuh carrier


zero (over modulasi) berarti pada saat tersebut tidak ada carrier yang
dipancarkan akibatnya informasi video akan mengalami distorsi.
Alat pengukuran dapat menggunakan Envelope Osciloscope untuk mengukur
envelope signal, atau demodulator yang dilengkapi dengan Quench pulse.

93
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
11.4. DAYA EFEKTIP (EFFECTIVE POWER)
0
Enerji yang dibutuhkan untuk menaikkan temperature 1 pada 1 cc air
adalah 4,18 watt/detik, apabila diubah menjadi besaran kilo watt sebagai berikut:
-3 -3 ………………………………
(4,18 x 10 ) / 60 = 0,0698.10 (56)

Karena volume air pendingin yang melewati beban adalah dalam litter per
menit,maka :
-3
0,0698.10 = 0,0698
Daya efektif (Kilo Watt) = 0,0698.T.Q ……………….….….(57)

Dimana :
T = Perbedaan temperature air yang masuk dengan air yang keluar
(Derajat Celcius)
Q = Volume air yang melewati beban (liter per menit)
T out (C)

DUMMY
LOAD

RF

T in (C)

AIR PENDINGIN

Gambar 11.4. Daya efektif

11.5. PERBANDINGAN DAYA PUNCAK (PEAK POWER) DENGAN DAYA


EFEKTIP
Pengukuran dilakukan dengan “Envelope Osciloscope”, untuk
menghitung daya puncak sebagai berikut :
Frekuensi horizontal = 15.625 Khz
Waktu yang diperlukan adalah = 1/15.625 Khz = 64 Mikro det
0,08 horisontal = 5.12 Mikro det.
Amp Level daya Waktu Daya efektip
litud
o
2
Periode level 100 (1) .100 0,08 H 100 x 0,08
daya = 100 =8
2
Periode level 75 ( 0,75 ) . 100 0,92 H 56 x 0,92
Blanking = 56 = 51,52
Total daya = 59,52
efektip

94
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Perbandingan antara daya puncak dengan daya efektip adalah :
(Daya puncak) / (Daya efektip) = (100 / 59.52) = 1.68

11.6. PERUBAHAN DAYA (REGULATION OUTPUT POWER)


Tujuan pengukuran ini adalah mengukur perubahan daya output
apabila signal masukan berubah–ubah dari level hitam ke level putih atau
sebaliknya, spesifikasi teknik yang direkomendasikan adalah 2%.

Perubahan level daya output (P) adalah :

P = (( X – Y) / ½ (X + Y)) x 100% ………………..(58)

Perubahan level “Blanking” (Q) adalah :

Q = ((A – B)) / ½ (A + B) x 100% ………..……....(59)

Carrier zero
0
Z
12,5% Level Putih

Quench pulse

Quench pulse
B X

Y A

Level Hitam
75%

100%

Gambar 11.5. Perubahan daya

11.7. TANGGAPAN FREKUENSI (FREQUENCY RESPONSE)


Tujuan pengukuran ini adalah untuk melihat lebar bidang video
frekuensi pemancar dalam bentuk “Vestigial Side Band”, signal masukan adalah
frekuensi yang berubah – ubah dari 0 s/d 10 Mhz dengan level tetap 0,7 volt
dicampurkan dengan pulsa sinkronisasi 0,3 volt. Signal ini dinamakan “Sweep
Signal” yang diperoleh dari output “Test Video Generator”.
Pemancar dioperasikan dan dibebani dengan beban 50 ohm, signal output
berupa signal “RF” yang termodulasi oleh “Sweep Signal” dimasukkan ke alat
ukur “Side band Adaptor” yang akan mendeteksi signal masukan.
Signal output dari alat ukur adalah signal vertical dan signal horizontal,
merupakan input osiloskop untuk melihat bentuk “Vestigial Side Band” dari
pemancar yang diukur.
Spesifikasi teknik yang direkomendasikan oleh “ITU-R” untuk sistem B&G dapat
dilihat pada gambar 10-6.
95
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
VIDEO CARRIER

- 0

- 2

- 4

- 6

- 8

SPESIFIKASI (SISTEM B&G)


- 10
Freq Max Min
(MHz) (dB) (dB)
- 12 - 4,43 - 30 ---
- 3,0 - 20 ---
- 14 - 1,25 - 20 ---
- 0,75 + 0,5 - 4,0
- 0,5 + 0,5 - 1,5
- 16
0 + 0,5 - 0,5
+ 1,0 + 0,5 - 0,5
- 18 + 1,5 REF REF
+ 3 + 0,5 - 1,0
- 20 + 4,0 + 0,5 - 1,0
+ 4,43 + 0,5 - 1,0
+ 5,0 --- - 2,5
- 22 + 5,5 --- ---

- 24

- 26

- 28

- 30 dB

-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 MHz

Gambar 11.6. Video Frekuensi Response

11.8. PERUBAHAN PENGUATAN (DIFF GAIN)


Differential Gain (DG) Adalah pengukuran linieritas rangkaian penguat
pada daerah frekuensi sub carrier 4.43 MHz, perubahan level signal sub carrier
4,43 MHz, akan menyebabkan berubahnya warna yang diakibatkan oleh
berubahnya level dan phase chrominance.
Signal video input pengukuran adalah superimpose 4.43 MHz dengan video stair
step, video composite ini dinamakan “Stair Step With Sub Carrier” yang diperoleh
dari output “Test Video Generator”.Pengamatan menggunakan wave form
monitor pada posisi “diff gain”.yang diukur setelah proses penguatan pada
perangkat pemancar, perubahan penguatan (diff gain) dinyatakan dalam %
dengan menghitung perbedaan amplitudo terbesar dengan terkecil.
Tujuan pengukuran ini adalah untuk melihat perubahan penguatan pada daerah
sub carrier warna 4,43 Mhz, spesifikasi teknik yang direkomendasikan lebih kecil
dari 5%.

96
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
4.43 MH z

Gambar 11.7. Video Stair step dengan Sub Carrier 4,43 MHz

C=½(A + B)
A B

Positive
DG=((A-C)/C) x 100%
A A' B' C Negative
DG=((B-C)/C) x 100%
Catatan; A’ dipakai bila A’<B

Positive
DG=((A-C)/C) x 100%
Negative
A C B DG=((B-C)/C) x 100%

Gambar 10.8.Perubahan Penguatan (Diff Gain)

11.9. PERUBAHAN FASE (DIFF PHASE)


Adalah pengukuran pergeseran phase frekuensi sub carrier 4.43 MHz
yang di sebabkan oleh pemotongan amplitude sub carrier band frekuensi pada
rangkaian inductance dan capacitance, perubahan phase akan mengakibatkan
perubahan “hue” pada daerah terang dan gelap objek video.
Diff phase akan timbul apabila signal sub carrier melewati rangkaian tidak linier
dan mengalami pemotongan, Signal video input pengukuran adalah superimpose
4.43 MHz dengan video stair step, pengamatan menggunakan “Vector Scope”
pada posisi “diff phase”, alat ukur akan membaca pergeseran phase dengan
membandingkan phase superimpose 4.43 MHz dengan phase sub carrier 4.43,
97
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
pergeseran phase dinyatakan dalam derajat (º) spesifikasi teknik yang di
0
rekomendaikan adalah lebih kecil dari 5 .

DP

Gambar 11.9. Perubahan Fase (Diff Phase)

Pemotongan mendatar
(normal)

Pemotongan Diagonal
(distorsi)

Gambar 11.10. Pemotongan sub carrier

11.10. FREKUENSI RENDAH TIDAK LINIER (LF NON LINIERITY)


Tujuan pengukuran ini adalah melihat perubahan penguatan pada
daerah frekuensi rendah (signal luminan), perubahan penguatan ini akan
mengakibatkan berubahnya ketajaman video pada pesawat penerima, spesifikasi
teknik yang direkomendasikan lebih kecil dari 5%.
Pengamatan menggunakan wave form monitor pada posisi “LF non linier”.

98
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
A
B

LFNL =((A-B))/A x 100%

Gambar 11.11. Perubahan Penguatan pada Frekuensi rendah (Non linier


distortion)

11.11. DISTORSI WAVEFORM VIDEO


Distorsi bentuk gelombang video dapat diukur mengggunakan signal
square wave; 50Hz, 15 KHz, dan 250 KHz untuk melihat frekuensi response pada
daerah frekuensi rendah , pulsa sin square (sin²) ; ½ T, T, dan 2T untuk melihat
frekuensi response pada daerah frekuensi tinggi, pulsal sin square (sin²) 20T
untuk melihat delay chrominance inequality dan frekuensi response pada daerah
500 KHz, T adalah waktu selama ½ durasi amplitude lazimnya disebut Half
Amplitudo Duration (HAD) dimana T = 100 nS.
Menggunakan formula f = 1/ T dapat dihitung frekuensi dari sin square;

Pulsa ½ T ; f = 1 / (½ T) = 1 / 50 ns = 20 MHz.
Pulsa T ; f = 1 / ( T) = 1 / 100 ns = 10 MHz.
Pulsa 2 T ; f = 1 / (2 T) = 1 / 200 ns = 5 MHz.
Pulsa 20 T ; f = 1 / (½ T) = 1 / 2000 ns = 500 KHz.

Spektrum frekuensi dari masing-masing pulsa akan membentuk frekuensi


response pada daerah frekuensi response video, dengan demikian distorsi dan
penurunan amplitude pada bentuk gelombang sin² menunjukan distorsi pada
frekuensi-frekuensi tersebut diatas.
Pembacaan hasil pengukuran menggunakan skala graticule mask waveform
monitor, besaran K-faktor yang dinyatakan dalam % menentukan besarnya
distorsi.
Spesifikasi teknik K-faktor rating < 2%.

99
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Spesifikasi 50 Hz square wave
B
100 + 2k
100 100
100 - 2k
250 uS 250 uS
5 ms
50
M1 M2

A
0
5 mS
½ Field Periode ½ Field Periode
Gambar 11.12. Graticule untuk square wave 50 Hz

109
107
Standar teknik transient 105 103
response 250 kHz square 100
97
wave 95
90

TIME (Usec) Limit (%)


± 0.075 - 10
± 0.1 + 11
100%

± 0.2 ±7
± 0.4/1.0 ±5

5
3

3 5
8
13

-1.0 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 +0.2 +0.4 +0.6 0.8 +1.0

Gambar 11.13. Graticule untuk square wave 250 Hz

100
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Contoh Pengukuran : Contoh Pengukuran :
Leading Edge Trailing Edge

Gambar10.14 Pembacaan transient response untuk square wave 250 Hz.


DEFINISI DISTORSI BENTUK GELOMBANG PULSE RENSPONSE
Rise Time , TR(uS) = Durasi periode 10% s/d 90%
100 K-RATING GRATICULE UNTUK SISTEM B & G
90 0%

K-rating Limit 2%, 4%


200ns/cm for 2T pulse

1V 20%
10
0

TR
40%
Overshoot = (B/A) x 100%

B 0 100 200 300 ns

60%

A
0.3 V 75%
80%

-8 -6 -4 -2 -1T 1T 2 4 6 8 10
Ringing = (B/A) x100%
¼.43
Ringing Frek (f) = 1/2t (MHz)
t = uSec 0V 1T 100%

Undershoot = (B/A) x 100%

A 2T OVERSHOOT Penurunan amplitudo 2T


2T Ringing
RINGING (distorsi frekuensi response)
(distorsi envelope delay)
(distorsi frekuensi tinggi)

Smearing = (B/A) x 100%

Gambar 11.15. Pembacaan transient response untuk square wave 250 Hz dan
pulsa 2T

101
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
2T,Pulse 2T,Bar

0.7 V

0.3 V

4.7 12.3 15 25 7

64 uSec
SYSTEM B, G HAD F
(uSec) (MHz)
½ T- PULSE 0.05 20.0
T - PULSE 0.1 10.0
2 T - PULSE 0.2 5.0
20 T - PULSE 2.0 500 (Khz)

2T,Pulse 20T,Pulse

4.43 MHz

0.7 V

0.3 V

64 uSec
Gambar 11.16. Signal Video Pulse & Bar.

102
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
DISTORSI PHASE DAN GAIN PULSA 20 T

A = (-) A = (-)
= (+) = (-)
CHROMINANCE LAG CHROMINANCE LEAD

0 0.5 4.43 MHz 0 0.5 4.43 MHz

A = (+) A = (-)

CHROMINANCE GAIN HIGH CHROMINANCE GAIN LOW


A A

100%
A A
100%

0 0.5 4.43 MHz 0 0.5 4.43 MHz

A = (0) PULSA 20 T SEMPURNA A = (+) DELAY & GAIN INEQUALITY


= (0) A = (-) A
100% 100%
A

0 0.5 4.43 MHz 0 0.5 4.43 MHz

0 0.5 4.43 MHz 0 0.5 4.43 MHz

Gambar 11.17 Distorsi Pulsa 20 T

103
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
11.12. NOISE BERKALA (PERIODIC NOISE)
Tujuan pengukuran ini adalah untuk melihat noise video pada daerah
frekuensi dibawah 10 Khz, signal masukan adalah signal video komplit 1 volt p-p
dari “Test video generator”. Pemancar dioperasikan dan dibebani dengan beban
50 ohm, signal output berupa signal RF termodulasi dilewatkan pada “Linier
detector” yang akan mendeteksi komponen frekuensi daerah rendah yaitu signal
video komplit, signal output dimasukkan ke osiloskop setelah melewati “Capasitor
Bypass” 0,01 uf untuk membuang frekuensi diatas 10 Khz.
Spesifikasi teknik yang direkomendasikan untuk komponen “hum” dan “sync”
lebih besar dari -50 dB.

11.13. NOISE ACAK (RANDOM NOISE)


Tujuan pengukuran ini adalah untuk melihat noise signal video pada
daerah frekuensi diatas 10 Khz, cara pengukuran sama seperti mengukur noise
berkala tetapi “Capasitor Bypass” dilepas. Spesifikasi teknik lebih besar dari -40
dB.
DC
VIDEO I/P
Tx

LD
1.0 V
Osciloscope

0.3 V
0

Set modulation depth


0%
12.5% 0.01 uF

0.7 V S (Signal)

75 %
0.3 V
100%

Video input black


Pengukuran Noise S/N (dB) = 20 log (S/N)
0% S = Signal = 0.7 V
12.5% N = Noise terukur (mV)

0.7 V S (Signal)
N (Noise)
75 %
0.3 V
100%

Gambar 11.18 Pengukuran Periodic dan Random Noise

11.14. SIMPANGAN FREKUENSI AUDIO (AUDIO DEVIATION)


Pengukuran simpangan frekuensi ialah dengan mengukur spectrum
signal masukan yang dimodulasikan dengan :Frekuensi modulasi”, dipilih 1 Khz,
3 Khz, 5 Khz dan 7,5 Khz.

104
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Pemancar dioperasikan dan dibebani dengan beban 50 ohm signal output adalah
RF termodulasi dimasukkan ke alat ukur “spectrum analyzer”. Pada layar akan
tampak signal carrier dengan jalur sisi, simpangan frekuensi akan diukur dengan
menaikkan level signal masukan sampai jalur sisi yang pertama hilang, maka
besarnya simpangan modulasi adalah :
fd = fm x Mf
Dimana :
fm = Frekuensi signal masukan (Khz)
Mf = Indeks modulasi
Spesifikasi teknik sebesar +50 Khz untuk 100% modulasi.

Untuk memudahkan pengukuran dapat menggunakan table Bessel’s sebagai


berikut :
Jo(X) = 0 J1(X) = 0 Jo(X) = J1(X)
1 X = 1.4347
2 X = 2.40484
3 X = 3.8317
4 X = 5.5201
5 X = 7.0156
6 X = 8.6535
7 X = 10.1735
8 X = 11.7915
9 X = 13.3237
10 X = 14.9301
Tabel “BESSEL’S FUNCTION”
MODULASI (kHz)
100 kHz deviasi 300 kHz deviasi
Jo(X)=J1(X), X = 1.4347 69.701 kHz 209.103 kHz
Jo = 0 1 st 41.583 kHz 124.748 kHz
CARRIER X=2.40484
ZERO
2 nd 18.116 kHz 54.347 kHz
X=5.5201
3 rd 11.556 kHz 34.668 kHz
X=8.6535
4 th 8.4807 kHz 25.442 kHz
X=11.7915
5 th 6.6978 kHz 20.093 kHz
X=14.9301
Tabel Deviasi untuk Frekuensi 100 kHz, 300 kHz
105
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Gambar 11.19. Index Modulasi ketika carrier ditekan hingga menghilang :
CARRIER
SIDE BAND 1 SIDE BAND 1

SIDE BAND 2 SIDE BAND 2

Frekuensi Index FREKUENSI DEVIASI (kHz)


carrier di modulasi
tekan (RAD) Modulasi Modulasi Modulasi Modulasi
1 kHz 3 kHz 5 kHz 7.5 kHz
0 0 0 0 0 0
1 2.40 2.40 7.20 12.0 18.0

2 5.52 5.52 16.56 27.60 41.40


3 8.65 8.65 25.95 43.25 64.88
4 11.79 11.79 35.37 58.95 88.43

5 14.93 14.93 44.79 74.65 111.98


6 18.07 18.07 54.21 90.35 135.53
7 21.21 21.21 63.63 106.05 159.08
8 24.35 24.35 73.05 121.75 182.63

9 27.49 27.49 82.47 137.45 206.18


10 30.04 30.04 90.12 150.20 225.30

Gambar 11.20. Index Modulasi ketika Side band pertama ditekan hingga
menghilang :
CARRIER
SIDE BAND 1 SIDE BAND 1

SIDE BAND 2 SIDE BAND 2

Frekuensi Index FREKUENSI DEVIASI (kHz)


carrier di modulasi
tekan (RAD) Modulasi Modulasi Modulasi Modulasi
1 kHz 3 kHz 5 kHz 7.5 kHz
0 0 0 0 0 0

106
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
1 3.83 3.83 11.49 19.15 28.73

2 7.02 7.02 21.06 35.10 52.65


3 10.17 10.17 30.51 50.85 76.28
4 13.32 13.32 39.96 66.60 99.90
5 16.47 16.47 49.41 82.35 123.53

6 19.62 19.62 58.86 98.10 147.15


7 22.76 22.76 68.28 113.80 170.70
8 25.90 25.90 77.70 129.50 194.25

9 29.05 29.05 87.15 145.25 217.88


10 32.19 32.19 96.57 160.95 241.43

Contoh Pengukuran Frekuensi deviasi, Oscilator output = +10dBm, Tx input = osc


o/p – ATT
1 kHz 3 kHz 5 kHz 7.5 kHz
ATT Frek ATT Frek ATT Frek ATT Frek
(dB) Dev (dB) Dev (dB) Dev (dB) Dev
(kHz) (kHz) (kHz) (kHz)
36.2 2.41 2.91 7.25 27.4 12.01 26.6 18.02
32.0 3.83 25.1 11.50 23.3 19.16 22.5 28.73

29.0 5.52 22.0 16.55 20.2 27.66 19.3 41.40


26.9 7.00 19.8 21.06 18.1 35.08 17.3 52.65

25.0 8.65 18.0 25.95 16.2 43.27 15.4 64.88

23.7 10.17 16.6 30.51 14.8 50.87 14.0 76.27

22.4 11.79 15.3 35.37 13.6 58.96 88.43

21.4 13.32 14.3 39.96 12.5 66.62 99.90

20.4 14.93 13.3 44.79 74.66 111.98

19.5 16.47 12.4 49.41 82.35 123.53

18.8 18.02 11.6 54.21 90.96 135.53

107
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
100
7.5 kHz
5 kHz
50 3 kHz
40
30
20
DEVIASI (kHz)

1 kHz
10

2
38 36 34 32 30 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10
ATTENUATION (dB)

Gambar 11.21. Contoh Pengukuran Deviasi

11.15. TANGGAPAN FREKUENSI AUDIO


Tujuan pengukuran ini adalah untuk melihat tanggapan frekuensi
antara 30 Hz s/d 15 Khz, pengukuran ini sama dengan mengukur kurva “Pre
emphasis”. Signal masukan adalah frekuensi 30 Hz, 200 Hz, 1 Khz, 2 Khz, 5 Khz,
7,5 Khz, 10 Khz, 12,5 Khz dan 15 Khz, dengan frekuensi 400 Hz dipakai sebagai
standard pengukuran.
Signal output berupa RF termodulasi dengan simpangan frekuensi sebesar 25
Khz (50% modulasi) dimasukkan ke alat ukur “Audio demodulator” dengan posisi
“De empasis off”, signal output diukur memakai “level & Distortion meter”.
Spesifikasi teknik sesuai dengan kurva “Pre empasis” gambar 10.21.

Gambar 10.22. Kurva Pre Emphasis.

108
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Rangkaian pre emphasis ditempatkan pada pemancar untuk memperbaiki signal
to noise ratio (S/N) pada daerah frekuensi tinggi audio signal, sedangkan
rangkaian de emphasis di tempatkan pada pesawat penerima, Indonesia
mengikuti standar ITU-R; time constant untuk pre emphasis dan de emphasis
adalah 50 u detik.

11.16. CACAT HARMONIK (HARMONIC DISTORTION)


Tujuan pengukuran ini adalah melihat cacat pada signal audio, signal
masukan dan cara pengukuran sama dengan mengukur tanggapan frekuensi
tetapi simpangan frekuensi diatur sebesar 50 Khz dan posisi “De empasis on”.
Spesifikasi teknik sebagai berikut :
30 Hz s/d 100 Hz = < 1,5 %
100 Hz s/d 10 Khz = < 1,0 %
10 Khz s/d 15 Khz = < 1,5 %

Gambar 11.23. Contoh pengukuran distorsi harmonic

11.17. NOISE FREKUENSI MODULASI. (FM NOISE)


Simpangan frekuensi diatur sebesar 50 Khz, signal masukan frekuensi
400 Hz, signal output berupa RF termodulasi dimasukan kealat ukur “FM linier
detector”. Kemudian signal masukan dilepas diganti dengan terminator 600 ohm.
Signal output dari “FM linier detector” dimasukan ke alat ukur “Audio
demodulator” yang outputnya dinasukkan ke alat ukur “Level & distortion meter”.
Besarnya NOISE FM = ( level (dB) pada 400 Hz ) – ( level NOISE (dB) pada jalur
30 Hz s/d 15 khz ).
Spesifikasi teknik sebesar -60 dB relative terhadap 100% modulasi pada 400 Hz.

11.18. NOISE MODULASI AMPLITUDO (AM NOISE)


Pemancar dioperasikan sesuai dengan daya output normal tanpa
signal audio modulasi (terminal audio input ditutup dengan penahan terminator
109
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
600 ohm), input RF “AM detector” di hubungkan dengan “Directional coupler” ,
AM detector yang mempunyai dua output yaitu AC dan DC. Output DC
dimasukan ke “VTVM” dan “RF attenuator” diatur untuk mendapatkan level 0,775
volt pada “VTVM”, output AC dimasukkan kealat ukur “Level & distortion meter”,
diatur input impedance sebesar 10 k Ohm.
Menggunakan formula :
AM NOISE (dBrms)= (20 Log (Pembacaan DC/Pembacaan Noise p-p) + 20 Log
2√2
Besarnya spesifikasi teknik adalah < 50 dB dibawah level carrier.

11.19. INTER MODULASI


Video input pemancar berupa signal video superimpose dengan
frekuensi sub carrier 4,43 MHz dengan level 1 volt p-p, pengukuran dilakukan
menggunakan spectrum analyzer, pemancar dibebani dengan dummy load 50
ohm yang sesuai dengan daya output pemancar, input spectrum analyzer di
hubungkan dengan terminal directional coupler pemancar yang mempunyai
redaman 60 db, hasil pengukuran dapat dibaca pada spectrum analyzer seperti
gambar (10.11).
Frekuensi Inter modulasi, F Im = Fv + (Fa –Fsc) = Fv + 1.07 MHz
dB Video
carrier
0

audio
carrier 1
-13
-20 audio
carrier 2

product
carrier
-48
MHz
-1,25 0 1,07 2 3 4 5 6 6,75
Gambar 11.24. Pengukuran level carrier

11.20. ENVELOPE DELAY


Adalah pengukuran keterlambatan (delay), perubahan kecepatan
phase terhadap frekuensi, envelope delay dinyatakan dalam dθ/dω, dimana θ =
phase dan ω = frekuensi, seperti diketahui signal video menggunakan spectrum
frekuensi 0 s/d 5 MHz, oleh karena itu pengukuran envelope delay pada daerah
spectrum video biasa disebut pengukuran “group delay”, keterlambatan phase
terhadap frekuensi disebabkan oleh rangkaian filter yang memotong sebagian
band frekuensi, keterlambatan akan terjadi pada daerah pemotongan tersebut.
Pada perangkat pemancar rangkaian filter yang menyebabkan group delay
adalah :
a) Low pass filter (LPF), melewatkan 0 s/d 5 MHz.
110
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
b) CIN Diplexer (Constant impedance notch diplexer), memotong band
frekuensi 5.5 MHz.
c) Vestigial side band filter (VSBF), memotong band frekuensi –1.25 MHz.
d) Band pass filter (“BPF”), memotong band frekuensi daerah dibawah
dan diatas channel frekuensi.
Pada perangkat penerima rangkaian filter yang menyebabkan group delay
adalah :
a) Niquist filter.
b) Sound notch filter.
Untuk memperbaiki cacat group delay, pada perangkat pemancar dilengkapi
dengan rangkaian compensator (Tx Equalizer), sedangkan cacat group delay
pada sisi penerima dengan menempatkan rangkaian compensator (Rx Equalizer)
di perangkat pemancar, pertimbangannya akan lebih murah dan efisien
memasang satu buah compensator di sisi pemancar dibandingkan dengan
memasang di sisi penerima.
θ

θ1
=dθ1/dω1
(ENVELOPE DELAY)

ω
ω1
ENVELOPE DELAY
PHASE DELAY=dθ1/dω1
=dθ/dω

Gambar 11.25. Envelope delay dan Phase delay

Hubungan antara Phase delay dengan Envelope delay dapat di jelaskan sebagai
berikut, apabila pada daerah frekuensi video (ω) ditempatkan sub carrier
amplitude modulasi akan diperoleh:
ω + Δ ω = ω1
ω - Δ ω = ω2
Ketika signal tersebut diatas melewati rangkaian yang mempunyai phase delay
(θ) akan diperoleh:
A cos ω (t - θ/ω).cos Δ ω (t - dθ/dω),
Dimana:
A = amplitude
θ/ω = phase delay
dθ/dω = envelope delay
Rangkaian Tx-Equalizer terdiri dari 5 rangkaian kompensator yang terhubung
secara cascade untuk memperbaiki cacat envelope delay yang disebabkan oleh
rangkaian filter di perangkat pemancar dan CIN Diplexer.
Rangkaian Rx-Equalizer terdiri dari 5 rangkaian kompensator yang terhubung
secara cascade, ditempatkan pada perangkat pemancar untuk memperbaiki
cacat envelope delay di sisi penerima yang disebabkan oleh rangkaian niquist
slope dan sound nocth, sehingga hasil perpaduan Tx-Equalizer dan Rx-Equalizer

111
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
akan menghasilkan output signal demodular sesuai standar group delay
karakteristik.

A
LPF Phase distortion

Kompensasi/perbaikan
Tx-equalizer

PHASE

F (MHz)
5.5
A Diplexer Phase distortion
Kompensasi/perbaikan
Tx-equalizer
PHASE Diplexer notch

F (MHz)
Fv Fa
A VSBF Phase distortion
Kompensasi/perbaikan
Tx-equalizer
VSBF slope
PHASE

F (MHz)
Fv

A
Band edge Phase distortion
Kompensasi/perbaikan
Tx-equalizer

PHASE
Band edge Band edge

F (MHz)
Fv

Gambar 11.26. Distorsi phase pada perangkat pemancar.

A TV Rec Niquist slope


phase distortion
Kompensasi/perbaikan
Rx-equalizer
Niquist slope
PHASE
Fv F (MHz)
5.5

A TV Rec sound notch


phase distortion
Kompensasi/perbaikan
Rx-equalizer

Sound notch
PHASE

Fv F (MHz)
5.5

Gambar 11.27. Distorsi phase pada perangkat penerima.

112
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Standar teknik Envelope Delay time (n sec)
ns
+100

+50

-50

-100
0 0.25 1 2 3 4 4.5 5 MHz

Gambar 11.28. Standar envelope delay

EBU Standar karakteristik envelope


delay untuk demodulator
ns
+500

+400

+300

+200

+100

-100

-200
0 1 2 3 4 4.43 5 MHz

Gambar 11.29. EBU Standar envelope delay demodulator

Frequency Nominal Value Tolerance


(MHz) (ns) (ns)
0 0 ± 12
0.25 -5 ± 12
1 -53 ± 12
2 -90 ± 12
3 -75 ± 12
3.75 0 ± 12
4.43 +170 ± 25
4.8 +400 ± 50
Tabel 10 -1 Toleransi envelope delay demodulator

113
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
11.21.VOLTAGE STANDING WAVE RATIO (VSWR)
Adalah pengukuran perbandingan daya yang salurkan ke antenna
dengan daya yang di kembalikan, besarnya perbandingan tegangan atau daya
dinyatakan dalam rumus sebagai berikut:

VSWR = (EF +ER)/(EF-ER)


Dimana: EF= tegangan yang disalurkan,
ER= tegangan yang dikembalikan.

VSWR = (1 + √(PR/PF)) / (1 - √(PR/PF))


= (1 + | Γ | ²) / (1 - | Γ | ²)

Dimana: PF= daya yang disalurkan


PR= daya yang dikembalikan
| Γ |= fakor refleksi (nilai mutlak)

Pengukuran VSWR dinyatakan dengan nilai angka tanpa satuan, lain halnya
dengan pengukuran Return loss (RL) dinyatakan dengan nilai angka dengan
satuan decibel (dB), yaitu dengan cara sebagai berikut:

10 log (PR/PF)= Return loss (dB)

114
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Transmission line
DC Coupler

Sumber

Beban
Pf Pr

Gambar 11.30. Contoh pengukuran VSWR.

XI.2.20. ALOKASI KANAL TELEVISI

TV BAND CH PICTURE SOUND COLOR


CARRIER CARRIER SUB
(MHz) (MHZ) CARRIER
(MHZ)
BAND I 2 48.25 53.75 52.68
3 55.25 60.75 59.68
4 62.25 67.75 66.68

BAND III 5 175.25 180.75 179.68


6 182.25 187.75 186.68
7 189.25 194.75 193.68
8 196.25 201.75 200.68
9 203.25 208.75 207.68
10 210.25 215.75 214.68
11 217.25 222.75 221.68
12 224.25 229.75 228.68

BAND IV 21 471..25 476.75 475.68


22 479.25 484.75 483.68
23 487.25 492.75 491.68
24 495.25 500.75 499.68
25 503.25 508.75 507.68
26 511.25 516.75 515.68
27 519.25 524.75 523.68
28 527.25 532.75 531.68
29 535.25 540.75 539.68
30 543.25 548.75 547.68
31 551.25 556.75 555.68
32 559.25 564.75 563.68
33 567.25 572.75 571.68
34 575.25 580.75 579.68
35 583.25 588.75 587.68
36 591.25 596.75 595.68
37 599.25 604.75 603.68

115
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
BAND V 38 607.25 612.75 611.68
39 615.25 620.75 619.68
40 623.25 628.75 627.68
41 631.25 636.75 635.68
42 638.25 644.75 643.68
43 647.25 652.75 651.68
44 655.25 660.75 659.68
45 663.25 668.75 667.68
46 671.25 676.75 675.68
47 679.25 684.75 683.68
48 687.25 692.75 691.68
49 695.25 700.75 699.68
50 703.25 708.75 707.68
51 711.25 716.75 715.68
52 719.25 724.75 723.68
53 727.25 732.75 731.68
54 735.25 740.75 739.68
55 743.25 748.75 747.68
56 751.25 756.75 755.68
57 759.25 764.75 763.68
58 767.25 772.75 771.68
59 775.25 780.75 779.68
60 783.25 788.75 787.68
61 791.25 796.75 795.68
62 799.25 804.75 803.68

XII. TRANSMISI DIGITAL DVB (Digital Video Broadcast)


12.1. DVB-T
System DVB-T (digital video broadcast terrestrial) adalah standar system
transmisi digital terrestrial yang sudah disetujui oleh DVB Steering Board pada
desember 1995. DVB-T menggunakan audio dan video coding MPEG-2 untuk
payload, termasuk spesifikasi teknik antara lain:
 Skema transmisi berdasar kepada orthogonal frequency division
multiplexing (OFDM), yang memungkinkan untuk penggunaan 1705
carriers (2k) atau 6817 carriers (8k), berikut penggunaan error
correction. Mode 2k cocok untuk digunakan untuk single transmitter
dan untuk area SFN yang tidak luas dan daya pemancar yang
terbatas (daya rendah). Mode 8k cocok untuk digunakan untuk
single transmitter dan untuk SFN dengan area yang luas, dalam hal
ini harus dipilih guard interval yang sesuai.
 Reed-Solomon outer coding dan outer convolutional interlaving
 Inner coding (punctured convolutional)
 Data carrier didalam coded orthoghonal frequency division
multiplexing (COFDM), frame dapat menggunakan QPSK dan QAM

116
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
modulation dengan level yang berbeda dan code rate untuk
mengoperasikan bits.
 Dua tingkat hierarchical channel coding dan modulation, tetapi
hierarchical source coding tidak digunakan, ini tidak diperlukan
karena kegunaannya tidak menjustifikasi kerumitan di sisi penerima
(receiver).
 Sistem modulasi adalah kombinasi OFDM dengan QPSK/QAM.
OFDM menggunakan jumlah carrier yang sangat banyak,
keunggulan OFDM adalah tahan terhadap kerugian akibat multipath.
Sistem DVB-T memberikan kebebasan untuk mengimplementasikan dari banyak
macam pilihan layanan penyiaran; Dengan menggabungkan kombinasi dari
pilihan: sistem modulasi, system kompresi, code rates, FFT modes, guard
interval, model penerimaan, kualitas cakupan, jaringan, dsb, dari gabungan ini
akan diperoleh kualitas cakupan yang sempurna.

12.2. DVB-T2
Seperti standar DVB-T, spesifikasi DVB-T2 menggunakan modulasi
OFDM (Orthogonal Frequency Division Multiplex), tambahan untuk standar DVB-
T2 adalah mode 256 QAM yang mampu untuk untuk menambah jumlah bits yang
dibawa dan memperbaiki FEC (Forward Error Correction).
Inner dan outer error-control coding, standar DVB-T berdasar kepada
convolutional dan Reed-Solomon codes. DVB-T2 menggunakan LDPC/BCH
coding, seperti digunakan pada DVB-S2. Coding ini akan memberikan kepastian
proteksi yang baik, memungkinkan lebih banyak data yang dibawa dalam
saluran, juga meningkatkan C/N dalam hubungannya dengan BER yang
mendekati kondisi ideal. (Gambar 12.1).

Gambar 12.1 Perbandingan Error Control Coding DVB-T dan DVB-T2 (DVB Blue
Book Document A133)

117
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Seperti halnya DVB-S2, spesifikasi DVB-T2 menggunakan code LPDC
(Lowdensity Parity Check) di gabungkan dengan BCH (Bose Chaudhuri
Hocquengham) untuk proteksi terhadap noise dan interferensi. Di bandingkan
dengan standar DVB-T yang menggunakan Convolutional Coding dan Reed-
Solomon, standar DVB-T2 menambahkan 2 mode code rates.
Seperti DVB-T, standar DVB-T2 menggunakan Scattered Pilot Patterns untuk
digunakan oleh penerima (receiver) untuk mengkompensasi perubahan channel
(channel variation) sebagai hasil dari waktu (time) dan frekuensi. Spesifikasi
DVB-T2 menambahkan kemudahan untuk memilih 8 (delapan) Scattered Pilot
Patterns yang dapat dipilih berdasarkan kepada mode FFT (fast fourir transform)
dan GI (guard interval) untuk memaksimumkan data payload.
Spesifikasi DVB-T2, memberikan pilihan bermacam tingkat robustness
(ketahanan terhadap noise) dan proteksi untuk masing-masing layanan terpisah
didalam transport stream yang dibawa oleh signal dalam sebuah saluran
(channel). Hal ini memungkinkan masing-masing layanan memiliki mode
modulasi yang berbeda (unique) yang tergantung kepada kebutuhan robustness,
dengan menggunakan Physical Layer Pipe (PLP).
Standar DVB-T2, dengan rotasi konstalasi (rotated constallation) akan
memperbaiki robustness terhadap kehilangan data cell, data yang hilang dalam
satu channel akan diperbaiki oleh komponen channel yang lain.

12.3. DVB-T2 SISTEM ARSITEKTUR (DVB Blue Book Document A133)


Pada Gambar 12.2 (Blok digram DVB-T2) dapat dilihat system
arsitektur DVB-T2 yang dapat dibagi dalam tiga dasar sub system pada sisi
jaringan (SS1,SS2, dan SS3) dan dua sub system pada sisi penerima (receiver)
(SS4 dan SS5), yang berhubungan interface dengan sisi jaringan (A dan B), dan
satu receiver internal interface (D). RF interface (C) adalah kesatuan jaringan dan
penerima.

Gambar 12.2 Blok diagram DVB-T2 (DVB Blue Book Document A133)

118
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Jaringan tiga sub system :
 SS1: sub-system Coding dan multiplexing.
Pada SS1 terdapat rangkaian pembangkit MPEG-2 Transport Streams
dan/atau Generic Streams, (contoh. GSE), untuk layanan video, termasuk
video/audio encoding berikut keseluruhan PSI/SI, atau signalling Layer 2.
Tipikal dari video coding (dan juga audio coding) dibentuk dari variabel
bitrate dengan satu control untuk menjaga total bit rate konstan (kecuali
NULL packets), untuk keseluruhan stream diambil bersama-sama.
Sub system coding dan multipleksing berhubungan dengan T2-Gateway
melalui interface A (tipikal satu atau lebih MPEG-2 TS melalui ASI), apabila
DVB-T2 menggunakan PLP, SS1(sub system 1) bertanggung jawab untuk
mengatur keluaran TS yang sesuai dengan kebutuhan. Apabila
konvensional statmux yang membangkitkan TS tunggal (single), dipakai
dalam hubungannya dengan multiple PLP yang akan membawa masing-
masing satu TS. Dalam SS1, termasuk didalamnya beberapa fungsi
remultiplexing seperti PSI/SI handling dan PCR restamping.
Catatan 1: Apabila di butuhkan statistical multiplexing antar PLP dengan
modulation atau coding yang berbeda, mungkin diperlukan mengganti
(merubah) konstan bit rate untuk statistical video (dan juga audio)
multiplexing, dengan data cell rate yang konstan.
 SS2: sub-system Basic T2-Gateway.
- Basic T2-, output interface (B) "T2-MI" stream: sekuen (urutan) dari
packet T2-MI, masing-masing berisi apakah itu : Baseband frame, IQ
vector data untuk bermacam auxiliary streams, atau signaling
information (L1 atau SFN).
- Basic T2-Gateway mengirimkan keluarannya T2-MI stream yang berisi
seluruh informasi yang dibutuhkan untuk menjelaskan waktu (timing)
pada content (isi) dan emission dari T2-frames, dan single T2-MI
stream yang di masukan ke satu atau banyak modulator dalam jaringan
(network).
- Performa operasional Basic T2-Gateway termasuk seluruh bagian
spesifikasi physical-layer, disini tidak sepenuhnya menjelaskan seperti
scheduling dan allocation. Hal ini harus diselesaikan terpusat pada
SFN (single frequency network), untuk menjamin signal yang sama di
bangkitkan oleh semua/seluruh modulator.
 SS3: sub-system DVB-T2 Modulator
DVB-T2 modulators menggunakan perintah Baseband frames dan T2-
frame assembly yang dibawa didalam T2-MI stream untuk membuat
DVB-T2 frames dan menyebarkan pada waktu yang tepat untuk
sinkronisasi SFN yang benar. Hubungan modulator dengan penerima
(receiver) melalui C interface (signal transmisi DVB-T2).
Catatan 2: Jaringan sederhana untuk sub-system coding dan
multiplexing dapat dihubungkan langsung melalui Transport Stream
interface. Dalam hal ini fungsi modulator harus termasuk fungsi seperti
fungsi yang diterangkan dalam spesifikasi DVB-T2 physical layer,
termasuk beberapa bentuk formal operasional Basic T2-gateway,
apabila operasional ini tidak sepenuhnya membantu, pengaturan ini
119
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
tidak dapat dipakai untuk Single Frequency Network (SFN), kecuali
dalam hal yang diterangkan pada catatan 3.
Catatan 3: Untuk pengaturan alternative, Stasiun SFN memerima
signal dari Stasiun Induk dengan frekuensi yang berbeda. Dalam hal ini
modulator Stasiun Induk harus menghimpun signal T2 untuk broadcast,
apakah itu dari T2-MI stream atau TS input.
 SS4: sub-system DVB-T2 demodulator
SS4- sub-system menerima signal RF dari satu (SFN) atau beberapa
pemancar dalam jaringan dan (transport stream). SS4 berhubungan
dengan SS5 melalui D interface, membawa satu atau lebih layanan
transport stream yang benar seperti halnya signal bersama yang keluar
dari PLP. Stream yang melewati B interface identik dengan yang
melewati D interface.
 SS5: sub-system Stream decoder
SS5: sub-system menerima transport stream dan keluaran decoded
video dan audio. Ketika interface D adalah transport stream yang
benar, maka sub-system ini secara esensial sama seperti standar DVB
yang lain, kecuali untuk elemen signaling L2 sudah ditentukan untuk
DVB-T2.
Catatan 4: Dalam hal generic streams, interface D dapat mengambil
bentuk lain dan signal bersama (common signaling) dapat dibawa
terpisah dari layanan stream.

Gambar 12.3 . Menunjukan secara sederhana protocol. Bagian atas garis merah
horizontal menunjukan satu atau lebih TS (transport stream) yang di bangkitkan
oleh SS1 melewati SS2, SS3 dan SS4 (TS yang sama semuanya memungkinkan
dalam interface A-D). Layer T2-M1 termasuk seluruh layer protocol antara
MPEG-2 TS dan physical layer . Bagian bawah garis hitam horizontal
mengidentifikasi physical layer bagian dari signal on air T2 (interface C) dan
physical layer untuk interface A dan B

Gambar 12.3: Reference protocol untuk DVB-T2 (MPEG-2 TS case) (DVB Blue
Book Document A133)
120
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Perbedaan utama antara sistem DVB-T dan DVB-T2 adalah multiplekser dapat
dihubungkan ke T2 gateway. Gateway menerima satu atau beberapa multiplek
dan membungkus data-data ini kedalam Base Band Frame, kemudian output
dari Gateway dikirimkan ke DVB-T2 modulator melalui protocol T2-MI (T2
Modulator Interface Protocol).
DVB-T2 dapat menggunakan konsep PLP (Physical Layer Pipe) yang awalnya
digunakan untuk spesifikasi sistem DVB-S2. PLP adalah sebuah Logical Channel
yang dapat membawa satu atau beberapa layanan. Masing-masing PLP dapat
memiliki bit rate dan error correction yang berbeda. Menggunakan PLP
memungkinkan memisahkan layanan SD dan HD dalam satu PLP. Demikian pula
standar untuk New Generation Handheld (DVB-NGH) akan berdasar kepada
Multiple PLP agar memungkinkan menyiarkan TV mobile melalui DVB-T2.

12.4. PERBEDAAN KAPASITAS ANTARA DVB-T dan DVB-T2


Pada Tabel 12.1 dan Tabel 12.2, dapat dilihat perbandingan
penggunaan mode SFN untuk penerimaan tetap antara DVB-T dengan DVB-T2,
terdapat penambahan kapasitas bit rate 86% untuk DVB-T2 dengan modulation
256-QAM dan penambahan bit rate 88% untuk DVB-T2 dengan modulation 64-
QAM.

Tabel 12.1.Potensi kapasitas bertambah 86% untuk mode SFN penerimaan tetap
DVB-T2
DVB-T DVB-T2
Modulation 64-QAM 256-QAM
FFT Size 8k 32k
Guard Interval ¼ 1/16
Code Rate 2/3 2/3
Carrier Mode Normal Extended
Capacity 19,9 Mbit/s 37,0 Mbit/s
Number of Program 9 SD 20 SD
(MPEG4) 2 HD 4 HD
Emin (500MHz; 10m) 52,5 dBuV/m 51.6 dBuV/m

Tabel 12.2. Potensi kapasitas bertambah 88% untuk mode SFN penerimaan
tetap DVB-T2
DVB-T DVB-T2
Modulation 16-QAM 64-QAM
FFT Size 8k 16k
Guard Interval ¼ 1/8
Code Rate 2/3 2/3
Carrier Mode Normal Extended
Capacity 13,3 Mbit/s 25,0 Mbit/s
Number of Program 6 SD 14 SD
(MPEG4) 1 HD 2 HD
Emin (500MHz; 1,5m) 56,4 dBuV/m 56.8 dBuV/m

121
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Dalam kanal 8 MHz (standar kanal yang dipakai di Indonesia), data rate tertinggi
yang dapat dicapai dengan 32 K, GI=1/128, mode extended-carrier dan tidak ada
tempat untuk tone, untuk pilot-pattern, PP7 yang biasa selalu dipakai. Dapat
dilihat pada lolom pertama tabel 2-1, bit rate maksimum yang dapat dicapai untuk
masing-masing kombinasi constellation dan code-rate, bersama-sama dengan
frame length (LF) dan jumlah total FEC blocks per frame. Frame length
memberikan maksimum variasi bit rate dengan constellation menghasilkan
dummy cells. Pada prakteknya direkomendasikan menggunakan sedikit lebih
pendek frame length,akan memberikan bit rate yang rendah, akan tetapi
memberikan waktu yang panjang interleaving, nilai yang di rekomendasikan
dapat dilihat pada kolom kanan table 12.3. dan gambar 12.3.

Table 12.3: Maksimum konfigurasi rekomendasi bit-rate configurations untuk 8


MHz, 32 K 1/128, PP7 (DVB Blue Book Document A133)
Catatan: Dalam profil T2-lite, terdapat sedikit perbedaan seting code rate yang
tersedia dan selanjutnya maksimum bit rate untuk PLP yang tersedia (plus
common PLP, apabila ada) dibatasi s/d 4Mbit/s.

122
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Gambar 12.4: Maksimum konfigurasi rekomendasi bit-rate configurations
untuk 8 MHz, 32 K 1/128, PP7 (DVB Blue Book Document A133)

12.5. SPESIFIKASI PHYSICAL LAYER


Model umum physical layer (T2) untuk DVB-T2 di representsaikan
pada Gambar 12.5.System input, satu atau lebih Transport Stream dan/atau satu
atau lebih Generic Stream. Yang sudah dimodifikasi oleh proses awal di dalam
T2 Gateway, seperti masukan stream mempunyai hubungan yang sesuai dengan
data channel di dalam modulator, disebut dengan Physical-Layer Pipes (PLPs)..
Spesifikasi physical-layer berhubungan dengan kombinasi Basic T2-Gateway
(SS2) dan modulator (SS3) reference architecture (gambar 3.2). Pembagian
rangkaian signal menjadi dua sub system dan interface T2-MI antara keduanya
tidak penting untuk mendefinisikan signal di udara.
Keluaran dari T2 physical layer adalah saluran RF tunggal. Sebagai pilihan,
keluaran dapat dipisah menjadi keluaran signal kedua, disalurkan ke antenna ke
dua, untuk mode transmisi MISO (multiple input single output), menggunakan
modifikasi bentuk Alamouti encoding. Apabila hanya satu PLP akan hanya ada
satu continuous data channel di udara. Walaupun demikian ketika lebih dari satu
PLP, data channel akan fleksibel melakukan time-sliced pada physical layer,
menyediakan area untuk mengijinkan pilihan parameter untuk time diversity dan
receiver power-saving.

123
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Gambar 12.5. Blok diagram High level T2 (DVB Blue Book Document A133)

Multiple PLP dan time-slicing dipakai oleh T2 memungkinkan untuk tingkat


kedalaman yang berbeda dari coding, modulation dan time interleaving untuk
dimasukan ke PLP yang berbeda, menghasilkan variable robustness.
Konsentrasi fungsi penerima (receiver) adalah men “decode” sumber dari satu
PLP yang berisi data yang dibutuhkan.
Jumlah memori didalam penerima didedikasikan untuk time deinterleaving
(ketahanan terhadap impulsive interference) yang dapat dipakai untuk kedalaman
interleaving yang besar, dibandingkan dengan mode PLP tunggal, ketika
rangkaian (deinterleaver) hanya memproses data untuk kebutuhan PLP. Dengan
PLP tunggal, kedalaman waktu interleaving sekita 70ms, dimana dengan multiple
PLP dapat diperluas menjadi durasi full frame (150ms s/d 250ms), atau untuk
layanan data rate dapat diperluas melewati multiple frame.
Proses input data dan FEC sudah dipilih agar kompatibel dengan mekanisme
yang sama seperti dipakai didalam DVB-S2, meskipun DVB-T2 telah
menambahkan ekstra fitur untuk kebutuhan efisiensi. Dengan demikian struktur
baseband-frame dan baseband-header yang sama dari S2, berikut mekanisme
null-packet deletion dan stream-synchronisation, sudah diduplikasi, seperti yang
terdapat pada LDPC/BCH FEC.
Walaupun demikian, untuk menyelenggarakan untuk kebutuhan modulasi
terrestrial, yang mana berdasar kepada teknik guard-interval COFDM yang
dipakai DVB-T, teknik baru bit-interleaving dan constellation-mapping sudah
termasuk dalam T2.
Standar parameter COFDM sudah diperluas dibandingkan dengan DVB-T, antara
lain:
 FFT sizes: 1 K, 2 K, 4 K, 8 K, 16 K, 32 K.
 Guard-interval fractions: 1/128, 1/32, 1/16, 19/256, 1/8, 19/128, 1/4.
 Scattered-pilot patterns: 8 versi berbeda, yang sesuai dengan guard
interval, agar memberikan range untuk efisiensi.
 Continual pilots, mirip dengan DVB-T tetapi dengan perbaikan untuk
mengurangi overhead.
 Carrier mode yang diperluas, agar pemakaian saluran bandwidth
optimum, bersama dengan FFT sizes yang tinggi. Apabila pilihan ini

124
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
dipakai (8 K, 16 K dan 32 K FFT) spasi carrier akan sama seperti
carrier normal yang dipakai, akan tetapi carrier tambahan di tempatkan
dikedua ujung spektrum.
 Interleaving yang diperluas, termasuk bit, cell, time dan frequency
interleavers.
Perluasan range parameter COFDM, memberikan pengurangan overhead
yang sangat signifikan yang dicapai oleh DVB-T2 dibandingkan dengan
DVB-T, berikut perbaikan error-correction coding yang memberikan
penambahan kapasitas s/d 50% yang akan dicapai dalam operasional MFN
dan akan lebih dari 50% untuk operasional SFN.

Sistem T2 memberikan beberapa fitur baru untuk memperbaiki beberapa hal


antara lain:
 Struktur frame yang berisi identification symbol (yang pendek), dipakai
untuk scanning dan akusisi saluran dengan cepat, juga untuk beberapa
signal dasar parameter frame-structure; rotated constellations, yang
memberikan bentuk modulasi yang beragam, untuk membantu
penerimaan signal code-rate yang tinggi, yang dibutuhkan untuk
transmisi saluran.
 Spesial teknik untuk mengurangi peak-to-average ratio sigal yang
ditransmisikan.

12.6. EXTENDED CARRIER MODE (8 K, 16 K, 32 K)


DVB-T2 memungkinkan untuk memperlebar jumlah penggunaan carrier
mode 8k, 16k and 32k mode, pada saat yang sama menjaga limit bandwidth
saluran RF. Mode ini dinamakan Extended Carrier Mode. Gambar 6.2
menunjukan spectral density extended carrier mode untuk berbagai macam mode
FFT.
Untuk FFT dengan size yang besar, bagian persegi dari spektrum menurun lebih
cepat, sisi luar signal spectrum OFDM dapat diperluas, maka lebih banyak sub-
carriers per symbol dapat dipakai untuk transport data. Penambahan (gain)
dicapai antara 1,4 % (8 K) dan 2,1 % (32 K).
Gambar 12.6. adalah perbandingan untuk carrier mode: 2 K, 32 K (normal) dan
32 K (extended), didalam bentuk normal spektrum.

125
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Gambar12. 6: Power-spectral-density roll-off pada sisi band untuk 2 K and 32 K.
(DVB Blue Book Document A133)

Gambar 12.7: Power-spectral-density untuk berbagai mode FFT (EBU TECH


3348 Frequency and network planning)
126
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Akibat dari penggunaan jumlah usable carrier yang di perlebar (extended)
menyebabkan kapasitas data bertambah. Tabel 12.4 menunjukan penambahan
kapasitas data untuk mode FFT yang berbeda.

Tabel 12.4. Penambahan kapasitas data untuk mode FFT yang berbeda. (EBU
TECH 3348 Frequency and network planning)

12.6.2. ROTATED CONSTELLATION


Perbaikan performan dalam DVB-T2 adalah dengan rotasi konstalasi
(Rotated constellation), dalam modulasi DVB-T2, informasi Frame di encode
melalui binary outer Forward Error Correcting (FEC) code, kemudian diproses
oleh bit interleaver dan hasilnya adalah urutan pemetaan symbol-simbol complex
channel. channel symbol terdiri dari komponen phase (I) dan a quadrature (Q),
direpresentasikan dalam diagram konstalasi (Gambar 12.8).
Symbol carries m bits sesuai dengan pemilihan karakteristik konstalasi 2m-ary.
Dalam QPSK symbol membawa 2 bits, dalam 16-QAM membawa 4 bits, dalam
64-QAM membawa 6 bits, dst.

Gambar 12.8. diagram konstalasi 16 QAM. (EBU TECH 3348 Frequency and
network planning)

127
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
12.6.3. DIAGRAM ROTASI KONSTALASI
Didalam Gray mapping (Gambar 12.9) digambarkan komponen
symbol I dan Q yang bebas (independent). Konsekuensinya, seluruh titik
konstalasi membutuhkan kedua komponen I dan Q uuntuk di identifikasi, I tidak
mengandung informasi tentang Q, demikian pula sebaliknya. Salah satu cara
untuk menghindari ketergantungan adalah diagram rotasi konstalasi seperti pada
gambar 12.9. masing-masing m-bit tunggal memiliki individual komponen I dan Q.

Gambar 12.9. diagram rotasi konstalasi 16 QAM. (EBU TECH 3348 Frequency
and network planning)

12.6.4. SUDUT ROTASI


Dalam menentukan sudut rotasi beberapa asprk harus diperhatikan.
Umumnya proyekssi titik konstalasi pada satu sumbu harus mempunyai jarak
yang sama untuk agar performa bertambah baik. Tabel 12.5 menunjukan sudut
rotasi yang memperikan performa yang baik.

Table 12.5: Values of the rotation angle Rotation angle (in


Constellation degree)
QPSK 29.0
16-QAM 16.8
64-QAM 8.6
256-QAM 3.6

12.6.5. TIME DELAY ANTARA I dan Q


Rotasi konstalasi akan memberikan perbaikan yang berarti jika signal I
dan Q mengalami loss (kerugian) akibat saluran yang fading, untuk menghindari
hal ini menggunakan Q-delay, dengan delay nilai Q tidak ditransmisikan

128
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
menggukanan cell yang sama dengan I, tetapi di geser (didelay) menggunakan
sel (cell) yang berbeda. Frekuensi dan time interleaving akan mengikuti setelah
modulator meyakini bahwa nilai I dan Q di transmisikan dengan benar dengan
cara memisahkan dalam time dan frequency. Seperti ditunjukan pada Gambar
12.10.

Gambar 12.10. Struktur bit interleave coded modulation dengan rotasi


QAM mapper dan delay (EBU Tech 3348)

Sel adalah hasil dari pemetaan carrier yang terakhir. Dalam DVB-T, pemetaan
tidak dilakukan setelah seluruh proses interleaving tetapi pada saat awal, setelah
error protection dan setelah bit interleaver. Walaupun demikian, hal ini masih di
ikuti dengan cell interleaver, time interleaver dan frequency interleaver.

12.6.6. PERBAIKAN PERFORMA


Untuk modulasi 16-QAM, code rate 4/5 dan 64800-bit frames, simulasi
diagram rotasi konstalation memberikan perbaikan performa sekitar 0,5 dB untuk
flat fading Rayleigh channel (tanpa erasure) relevan untuk MFN, dalam hal ini
perbaikan tidak cukup berarti, walaupun demikian untuk flat fading Rayleigh
channel (dengan erasure perkiraan 15%) relevan untuk SFN, perbaikan sekitar 6
dB dalam hal ini perbaikan cukup berarti. (lihat Tabel 12.6)

129
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
12.7. KONSEP SYSTEM T2
Konsep system T2 adalah satu set transmisi dengan sinkronisasi frame
structure, menggunakan physical parameter yang sama (contoh bandwidth, FFT
size), membawa jumlah dan tipe PLP yang sama, memakai physical parameter
untuk masing-masing PLP yang ditransmisikan. Pensignalan L1, oleh karenanya
akan identik dengan seluruh transmisi dalam T2, kecuali untul bentuk Cell akan
berbeda.
Dengan demikian, DVB-T2 memungkinkan untuk insersi muatan local (local
break), jadi system T2 yang sama dapat membawa Transport stream (dan/atau
Generic stream) yang berbeda, dan menggunakan frekuensi transmisi yang
berbeda dalam area geografi yang berbeda.
Transmisi system T2, diawali dari single T2-gateway, membentuk original T2-MI
stream, jadi framing structure and schedulling, ditentukan dalam satu tempat dan
dipakai bersama untuk seluruh transmisi. T2-MI (modulator interface) akan
menyebar melalui jaringan distribusi.
Secara prinsip, seluruh konten (isi/muatan) PLP dapat saja diganti (dirubah)
setiap saat selama waktu transmisi, meskipun pada prakteknya beberapa konten
yang sama untuk seluruh transmisi. (Gambar 12.11, contoh jaringan distribusi).

Gambar 12.11, Jaringan distribusi (DVB Blue Book Document A133)

12.8. DISTRIBUSI LEWAT UDARA


Pemancar Induk berfungsi sebagai mekanisme ditrubutor untuk SFN
yang terpisah, dengan frekuensi yang sama (lihat Gambar 12.12). seluruh
informasi yang dibutuhkan untuk membangkitkan waktu yang identik pada signal
SFN.

130
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Gambar 12.12. Pemancar induk berfungsi sebagai distributor untun SFN
relay (DVB Blue Book Document A133)
Didalam DVB-T, Sinkronisasi informasi ada didalam Transport Streams sebagai
Megaframe Initialisation Packets (MIPs). Pendekatan ini dipakai dalam T2,
dimana konstruksi PLP dan waktu informasi dibawa dalam paket TS, dengan
sinkronisasi baru Id value, untuk membedakan seperti yang dipakai dalam DVB-
T. T2 MIP berisi seluruh informasi yang dibutuhkan oleh masing-masing
modulator untuk menjamin bahwa pembentukan broadcast stream dilakukan
dengan cara yang sama, dan keluaran stream pada waktu yang benar.

12.9. REGIONAL / LOKAL KONTEN


Regional atau layanan lokal dapat di insert dengan cara distribusi
setelah output T2 gateway, dapat dilihat pada Gambar 12.13.

Gambar 12.13. Contoh distribusi layanan video melalui T2 gateway dan T2 MI


interface. (DVB Blue Book Document A133)
131
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
XIII. KOMPRESI

13.1. VIDEO DAN AUDIO KOMPRESI


 MPEG-1, Penggunaan untuk compact disc (bit rate 1,5-2,0 Mbits/s)
MPEG-1 dapat mensuport 525 dan 625 struktur signal video dalam
progressive scaning 204/228 line per frame, sequential-scan frame
rates 29,97 dan 25 per second, dan 352 pixel per line. Untuk coding
signal video yang bergerak cepat, tidak menghasilkan hasil yang baik,
kualitas output video secara gradual menurun. Keseluruhan rasio
pengurangan (kompresi) bit rate dicapai kurang lebih 6:1 dengan bit
rate 6 Mbits/s dan 200:1 untuk 1,5Mbits/s. Sistem MPEG-1 tidak
simetris; proses sisi kompesi sangat komplek dan mahal dibandingkan
sisi dekompresi.
 MPEG-2, Seperti halnya MPEG-1 perbedaannya dapat menghasilkan
hasil yang baik untuk coding signal video yang bergerak cepat. MPEG-
2 sudah di rekomendsikan oleh ITU-R Rec.601. untuk penggunaan
professional dan broadcast, dan sudah dipilih sebagai standar system
untuk ATSC DTV (amerika) dan DVB (Eropa).
 MPEG-3, sama halnya dengan MPEG-2, setelah dilakukan modifikasi
target awalnya untuk kompresi HD (high definition), kemudian
beberapa spesifikasi teknisnya di masukan kedalam MPEG-2, maka
MPEG-3 tidak digunakan lagi.
 MPEG-4, standar ini mengunakan bit rate yang sangat rendah untuk
teleconference dan penggunaan yang berhubungan dengan efisiensi
bit rate yang tinggi. Seperti halnya MPEG-2, MPEG-4 adalah gabungan
alat (tools) dalam bentuk dan tingkat untuk aplikasi video yang
berbeda. Range video coding struktur dari tingkat very low bit rate ratio
(VLBF), termasuk algoritma dan alat (tools) untuk data rate 5 kbits/s
dan 64 kbits/s sampai dengan kualitas video 2 Mbits/s (ITU-R Rec.
601). MPEG-4 tidak melakukan error correction untuk spesifik channel
seperti halnya sellular, tetapi lebih kepada perbaikan kepada cara
payload bit yang disusun lebih baik, hal ini memungkinkan error
correction akan lebih baik.

13.2. VIDEO KOMPRESI


Kebutuhan real time video kompresi untuk saluran transmisi adalah
standar MPEG-2, ditetapkan oleh Internasional Standard Organization (ISO,
Recommendation ITU/T H.262,1995 E) [21], sementara Inggris sudah melakukan
penelitian dan perngembangan standar MPEG-4 untuk penggunaan video
kompresi untuk saluran transmisi video digital.
MPEG-2 adalah salah satu dari sekian banyak bentuk kompresi yang berdasar
kepada discrete cosine transform (DCT), yaitu area gambar dibagi dalam blok
dari 8 data baris x 8 data kolom. Spektrum data dalam masing-masing blok di
analisa dengan bantuan fast fourier transform (FFT). Hasilnya dalam 2 dimensi
spectrum analisis masing-masing blok. Frekuensi vertikal dan horizontal,
keduanya dibagi dalam 8 range dan disimpan didalam array dari 64 bins. Ilustrasi
dapat dilihat pada gambar 13.1.
132
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
HORIZONTAL SPATIAL FREQUENCY
AVERAGE
SIGNAL LEVEL
LOW MAX

LOW
1
VERTICAL SPATIAL FREQUENCY
MAX

64

HIGHEST
DIAGONAL
FREQUENCY

Gambar 13.1 Spektrum 2 dimensi discrete cosine transform (DCT).

Bin no 1 berisi average intensitas blok, yaitu video dc level, turun kebawah di
bagian kiri gambar vertical spatial frequency semakin tinggi tingkat dc level nya
semuanya di simpan dalam memory data, pada bagian mendatar sisi atas
gambar semakin ke kanan horizontal spatial frequency semakin tinggi tingkat dc
levelnya semuanya disimpan dalam memory data. Pada sisi kanan bawah adalah
spatial horizontal dan vertical frequency yang tingkat dc levelnya paling tinggi
semuannya disimpam dalam memory data. Proses scaning menghasilkan
amplitude tinggi pada low spatial frequency dan sebaliknya high spatial frequency
menghasilkan amplitude Fourier component yang rendah. Hal ini wajar, oleh
karena komponen low frequency (dekat bagian kiri atas gambar) mempunyai
level amplitude yang tinggi dan harus mendapat porsi bit rate yang besar,
sementara komponen diagonal high frequency pada bin (kanan bawah gambar)
umumnya levelnya rendah maka mendapat porsi bit rate yang kecil.

13.3 DIGITAL TELEVISION (DTV)


Blok diagram dasar yang merepresentasikan system DTV dapat dilihat
pada gambar 13.2, digital television terdiri dari 3 sub system:

 Source coding and compression


 Service multiplex and transport
 RF/Transmission

Source coding and compression adalah bagian untuk pengurangan bit rate (data
compression) yang disediakan untuk aplikasi video, audio dan digital data stream
meliputi beberapa fungsi dibawah ini:

 Control data
 Conditional acces (CA) control data
 Data layanan program audio dan video

133
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Ancillary data adalah layanan program independen. Tujuan dari Coder ini adalah
meminimalisir jumlah bits yang dibutuhkan untuk mepresentasikan informasi
audio dan video.
Service multiplex and transport adalah membagi digital data stream menjadi
packet information, mengidentifikasi masing-masing paket atau tipe paket.
Metode multipleksing paket video data stream, paket audio data stream, dan
paket ancillary data stream menjadi single data stream. Dalam
pengembangannya mekanisme transport, interoperability antar media digital
seperti terrestrial broadcasting, cable distribution, satellite distribution, recording
media, dan computer interface menjadi perhatian yang utama.
Sistem DTV menggunakan MPEG-2 transport stream syntax untuk paketisasi dan
multipleksing audio, video, dan data signal untuk system digital broadcasting.
MPEG-2 transport stream syntax dikembangkan untuk aplikasi dimana kapasitas
saluran bandwidth atau media recording yang terbatas, dan kebutuhan untuk
efisiensi mekanisme transport yang besar.
MPEG-2 transport stream juga di disain untuk memfasilitasi interoperability (dapat
di operasikan) dengan asynchronous transfer mode (ATM) transport stream.
RF/transmission adalah channel coding dan modulation. Channel coder
mengambil data bit stream dan menambahkan dengan informasi tambahan yang
dapat digunakan oleh receiver (penerima) untuk merekonstruksi data signal yang
diterima, karena kerugian-kerugian akibat transmisi akan memungkinkan tidak
akurat merepresentasikan signal yang ditransmisikan. Modulasi (atau physical
layer) dipakai sebagai informasi digital data stream untuk memodulasi signal
transmisi: 8-VSB, 16-VSB (system Amerika) atau OFDM (system Eropa)

Service Multiplex and Transport RF/ Transmission system

Video Video Subsystem


Video Source Coding and Transport Channel
Compression Coding

Audio Audii Subsystem Service Modulation


Audio Source Coding and Multiplex
Compression

Ancillary data

Control data

Gambar 13.2, Digital Terrestrial Television Broadcasting (DTV Handbook)


134
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
13.4. HIGH LEVEL DTV ENCODING
Gambar 13.3 (High Level DTV Encoding) adalah ilustrasi hubungan
frekuensi clock didalam encoder, terdapat 2 domain didalam encoder dimana
frequency set berkaitan dengan source coding domain dan channel coding
domain.
Source coding domain merepresentasikan secara skematik video, audio dan
transport encoder, menggunakan frekuensi pada 27 MHz clock (f27 MHz). Clock
ini digunakan untuk membangkitkan 42 bit sample frekuensi, yang dipisahkan
kedalam dua elemen spesifikasi MPEG-2:

 33-bit program clock reference base


 9-bit program clock reference extension

33-bit program clock reference base adalah ekivalen dari clock sample 90 kHz
yang dikunci pada clock frekuensi 27 MHz, dan digunakan oleh audio dan video
source encoder ketika meng “encode” presentation time stamp (PTS) dan meng
“decode” time stamp (DTS).

f 27MHz Program
Clock
Reference
33 Program clock reference base

Frequency 9 Program clock reference extension

Divider Adaptation
Network Header
Encoder

Video In Video FEC and f sym Modulator RF Out


A/D Encoder Transport f TP
Sync (VSB or
Encoder
Insertion OFDM)

Audio In Audio
A/D Encoder

Gambar 13.3, High Level DTV Encoding (DTV Handbook)

13.5. KARAKTERISTIK TRANSPORT SYSTEM


13.5.1. Transport Stream MPEG
Transport Stream (TS) adalah gabungan dari beberapa saluran program
(keluaran dari multiplexer) yang ditumpangkan pada saluran signal komunikasi.
MPEG Transport Stream (MPEG-TS) dapat disebut juga dengan multi program
transport stream (MPTS).

135
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
MPEG-TS menggunakan ukuran panjang paket tetap (fixed length packet size)
dan paket identifikasi (packet identifier) untuk mengidentifikasi masing-masing
paket transport didalam transport stream. Paket identifikasi system MPEG
mengidentifikasi packetized elementary streams (PES) dari program channel
(saluran program), program televisi biasanya terdiri dari beberapa saluran PES
(video dan audio).
MPEG-TS membawa beberapa program, untuk mengidentifikasi program
tersebut secara periodik di transmisikan program allocation table dan program
mapping table yang menyediakan daftar program didalam MPEG-TS. program
allocation table menyediakan daftar program dan PID (packet identifier) untuk
program spesifik, yang memungkinkan penerima MPEG (decoder) memilih dan
meng “decode” paket yang benar dari program spesifik.
Ukuran MPEG transport packets adalah tetap 188 bytes, dimulai dengan 4 byte
header. Porsi MPEG-TS adalah 184 bytes (188-4 byte). Transport packet diawali
dengan synchronization byte yang memungkinkan penerima menentukan waktu
awal (start) paket. Kemudian di ikuti oleh bit error indication (EI) yang akan
memberikan indikasi apabila terjadi kesalahan pada proses transmisi. payload
unit start indicator (PUSI), berjaga (flag alert) di penerima (receiver) apabila paket
berisi awal (start) dari PES yang baru. transport priority indicator mengidentifikasi
apabila paket di indikasikan prioritas rendah atau prioritas tinggi. 13 bit packet
identifier (PID) digunakan untuk menentukan PES didalam paket. scrambling
control flag mengidentifikasi apabila data di acak. adaptation field
menentukan/mengontrol apabila adaptation field dipakai didalam payload
transport packet dan menghitung indeks antara urutan paket.
Gambar 13.4 menunjukan diagram struktur MPEG transport stream dan a
transport packet. Ukuran paket MPEG-TS adalah 188 bytes termasuk header 4
byte. Header terdiri dari bermacam field termasuk awal field sinkronisasi, aliran
control bits, packet identifier (PES stream berada didalam payload), dan format
tambahan.
188
bytes

MPEG Transport
Stream

4 bite header 184 bytes

P
U
Transport Packet S TPR EI PID SCR AF CC DATA PAYLOAD
S
I

S- Sync PID-Packet Identifier (stream ID)


TPR-Transport Priority SCR-Scrambling Control Optional Adaptation Field
PUSI-Payload Start AF-Adaptation Field
EI-Error Indicator CC-Continuity Check Index
Gambar 13.4 Diagram MPEG Transport Stream
136
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Format transport dan protocol untuk standar DTV kompatibel dengan spesifikasi
system MPEG-2. Berdasar kepada pendekatan fixed length packet transport
stream.
Tabel 13.1. Standar Video Input Format (DTV Handbook)
Video Standard Active Lines Active Samples/Line
SMPTE 274M-1995 1080 1920
SMPTE 295M-1997 (50Hz)
SMPTE 296M-1997 720 1280
ITU-R Rec.601-4 483 720
SMPTE 293M-1996 (59,94,P)
SMPTE 294M-1997 (59,94,P)

Tabel 13.2. ATSC DTV Compression Format (DTV Handbook)


Vertical Horizontal Aspect Ratio Frame Rate Progressive
Size Value Size Value Information Code Sequence
1080¹ 1920 16:9 square 1,2,4,5 Progressive
pixels 4,5 Interlaced
720 1280 16:9 square 1,2,4,5,7,8 Progressive
pixels
480 704 4:3 ; 16:9 1,2,4,5,7,8 Progressive
4,5 Interlaced
640 4:3, square 1,2,4,5,7,8 Progressive
pixel 4,5 Interlaced
Frame-rate code:1=23,976Hz,2=24Hz,4=29,87Hz,5=30Hz, 7=59,94Hz,8=60Hz
¹) Note that 1088 lines actually are coded in order to satisfy the MPEG-2
requirement that the coded vertical size be a multiple of 16 (progressive scan) or
32 (interlaced scan)

Ilustrasi pada Gambar 13.5, adalah aplikasi fungsi transport stream (audio atau
video) fungsi encoding, decoding dan transmission subsystem. Encoder transport
subsystem bertanggung jawab untuk memformat coded elementary streams dan
multiplexing layanan program yang berbeda untuk kebutuhan transmisi. Pada sisi
penerima (receiver) bertanggung jawab untuk mendapatkan kembali elementary
streams untuk aplikasi individual decoders dan untuk error signaling. Transport
subsystem bergabung dengan higher-protocol-layer yang berfungsi hubungannya
dengan sinkronisasi di sisi penerima.
Secara keseluruhan system multiplexing dapat dibayangkan sebagai kombinasi
dari dua layer yang berbeda. Didalam layer pertama, sebuah program transport
streams dibentuk oleh multiplexing transport packets dari satu atau beberapa
packetized elementary stream (PES). Didalam layer kedua, lebih dari satu single
program transport bit streams di gabungkan untuk membentuk system programs.
Program-specific information (PSI) streams terdiri dari informasi yang
berhubungan dengan identifikasi program dan komponen masing-masing
program.
Tidak ditunjukan dalam gambar secara eksplisit, tetapi sangat esensi dalam
implementasi standar ini, adalah control system yang mengatur pemindahan

137
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
(transfer) dan pemprosesan elementary streams dari aplikasi encoder. Control
system tidak diatur dalam standar tetapi harus menyatu dalam standar MPEG-2.

(video, audio, data, etc) Transmitter


Source for encoding

Transport
Application
packetization and Modem
Encoder Elementary
multiplexxing
bit streams Transport
bit streams

Transmission format
clock

Receiver

Transport
Presentat Application Elementary depacketization
Modem
ion Decoder bit streams and
Transport
with error demultiplexxing
bit streams
signaling
With error
signaling

clock
Clock
control

Gambar 13.5. Fungsi dan pengorganisasian pemancar dan penerima DTV (DTV
Handbook)

XIV. ASPEK TEKNIK PERENCANAAN TRANSMISI DIGITAL


14.1. SFN (Single Frequency Network) dan MFN (Multiple Frequency Network).
Alokasi frekuensi harus dilakukan lebih dahulu untuk meyakinkan wilayah
layanan yang direncanakan agar terbebas dari pengaruh interferensi, alokasi
frekuensi untuk wilayah layanan dapat direncanakan menggunakan:

1) SFN (Single Frequency Network) yang terdiri dari group pemancar


yang terletak di lokasi yang presisi dan termasuk seluruh
karakteristik teknik sudah ditentukan sejak awal perencanaan
dibuat.

2) MFN (Multiple Frequency Network) Single transmitter yang


diketahui karakteristik tekniknya dan lokasi yang presisi sudah
ditentukan sejak awal perencanaan dibuat.

SFN (Single Frequency Network) yang terdiri dari group pemancar yang terletak
di lokasi yang presisi dan seluruh karakteristik teknik belum ditentukan sejak
awal perencanaan dibuat.
Menggunakan SFN sangat memungkinkan untuk melayani wilayah layanan yang
luas atau sedang, sistem ini diproyeksikan untuk menyediakan beberapa program
138
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
acara (televisi atau radio) menggunakan beberapa pemancar yang menggunakan
satu frekuensi yang disinkronkan menggunakan reference clock dari GPS (Global
Position System). 1 pps (pulse per second).

14.2. PROBABILITAS LOKASI


Standar transmisi digital untuk lembaga penyiaran televisi digital adalah
DVB yang beroperasi pada band IV/V, sedangkan T-DAB untuk lembaga
penyiaran radio yang beroperasi pada band III, bandwidth yang digunakan
disesuaikan dengan bandwidth eksisting (band III/7MHz, band IV/V/8MHz).
Berbeda dengan transmisi analog, untuk transmisi digital dalam perencanaan
transmisi harus memperhitungkan tiga model penerimaan yaitu: penerimaan
tetap (fixed), penerimaan bergerak (mobile), penerimaan portable, masing-
masing memiliki probabilitas lokasi (location probability) yang berbeda:

- Penerimaan tetap = 95%


- Penerimaan bergerak = 99%
- Penerimaan portabel luar ruang = 95%
- Penerimaan portabel dalam ruang = 70% atau 95%

14.3. SISTEM VARIANT


Untuk perencanaan transmisi digital terdapat banyak kemungkinan
sistem variant yang dapat dipilih, tetapi untuk memudahkan proses perencanaan
dapat saja mengurangi kemungkinan-kemungkinan tersebut dengan memilih
sistem variant yang menghasilkan kualitas transmisi yang dikehendaki, kapasitas
data yang dapat ditransmisikan dan ketahanan terhadap pengaruh multipath,
doupler dsb. Sistem variant yang dipilih akan menentukan kebutuhan nilai
minimum fields strength, protection ratio, dsb,

Tabel 14.1. Varian DVB-T2 kompatibel dengan bandwidth 7 MHz . (EBU TECH
3348 Frequency and network planning).

139
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Tabel 14.2. Varian DVB-T2 kompatibel dengan bandwidth 8 MHz. . (EBU TECH
3348 Frequency and network planning)

14.3.1 PEMILIHAN FFT SIZE


Hasil dari pemilihan FFT size seperti diketahui akan memberikan tolerasi
delay yang besar untuk pecahan guard interval yang sama, memungkinkan
membangun Single Frequency Networks (SFNs) yang luas. FFT size yang besar
memberikan symbol duration yang lebih lama, yang berarti pecahan guard
interval lebih kecil dalam durasi waktu (lihat gambar 14.1).
Untuk peneriman bergerak UHF Band IV/V, atau band yang lebih tinggi, FFT size
yang kecil harus digunakan agar memberikan performan Doppler yang baik. FFT
size 1k akan menghasilkan performan Doppler paling baik.

Gambar 14.1 Pengurangan Guard interval overhead dengan FFT size yang besar
EBU Tech 3348 Frequency & Network Planning Aspects of DVB-T2 30)

Untuk layanan high bit rate dengan antenna tetap diatas atap (fixed rooftop
antennas), band VHF atau UHF, penggunaan mode FFT 32k akan lebih sesuai.
Pada situasi seperti ini perubahan waktu saluran(time-varying channels) akan
minimal, dan mode 32k akan memberikan bit rate sangat tinggi yang dicapai
dengan menggunakan DVB-T2.
Untuk FFTsize, constellation dan code rate (yang sudah diketahui). Performa
Doppler proporsional dengan bandwidth RF (pengurangan bandwith akan
mengurangi spasi carrier, hasilnya Performa Doppler akan berkurang setengah)
dan kebalikan proporsional untuk frekuensi RF dan oleh karenanya pada
frekuensi tinggi, waktu (time) dengan cepat akan lebih mudah berubah ( juga
saluran berubah-ubah), menghasilkan Performa Doppler yang sangat jelek.
Dengan demikian, Performa Doppler untuk aplikasi penerimaan bergerak pada
VHF Band III ( 200 MHz) menggunakan mode 32k, seperti halnya jika

140
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
menggunakan mode 8k pada 800 MHz, jadi mode 32k sebagai opsi pada Band
VHF, bandwidth RF 7 MHz. Performa perubahan waktu saluran (time-varying
channels), dapat juga dipengaruhi oleh pemilihan PP (pilot pattern).
Kesimpulan, dengan memperbesar FFT size akan secara proporsional
mengurangi Performa Doppler dalam suatu system.
Tabel 14.3. FFT sizes untuk varian bandwith 8 MHz, menunjukan ketersedian
FFT size untuk varian 8 MHz, parameter bandwidth bergantung kepada fungsi TU
yaitu fungsi dari periode elementer T.

Tabel 14.3. FFT sizes untuk varian bandwith 8 MHz (EBU Tech 3348 Frequency
& Network Planning Aspects of DVB-T2 30)

14.3.2. SCATTERED PILOT PATTERN


Pilot adalah pembawa (carrier) yang tidak mengandung informasi tetapi
hanya untuk tujuan transmisi antara lain equalization, channel estimation,
equalization, Common-Phase-Error correction dan synchronization. Scattered
pilots di pakai oleh penerima DVB-T2 untuk melakukan pengukuran saluran dan
memperkirakan tanggapan saluran untuk setiap sel OFDM agar distorsi pada
signal yang diterima dapat di koreksi. Pada saat pengukuran, kepadatan (density)
141
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Pilot harus cukup besar agar dapat mengikuti fluktuasi saluran sebagai fungsi
dari frekuensi dan waktu.
Didalam DVB-T2, terdapat delapan pilot patterns (PP1 s/d PP8), range pilot
patterns memberikan kebebasan kepada perencana jaringan untuk
menyesuaikan mode transmisi dengan mode pilot patterns untuk transmisi yang
di inginkan atau kebutuhan payload. Apabila akan menentukan pilot patterns
yang akan di pakai, beberapa faktor harus diperhatikan antara lain:

 Performa Doppler : Pattern dengan pengulangan cycle yang cepat


(Dy=2), pilot mengulang setiap detik symbol OFDM, memberikan
performa Doppler yang lebih baik.Untuk jaringan dimana Doppler
sebagai faktor dominan, seperti mobile dan fortable, pattern 2, 4 atau 6
dapat diperhitungkan karena memiliki nilai Dy yang kecil.
 Kapasitas: Kepadatan pattern terendah, dengan jarak yang lebar antar
pilot, dalam waktu (Dy) dan frekuensi (Dx), memberikan payload yang
besar, sebagian kecil carrier di pakai untuk pilot, oleh karenanya
selebihnya dipakai untuk membawa data.
 FFT Size dan Guard Interval: Hanya beberapa pilot pattern yang di
ijinkan untuk setiap FFT Size dan Guard Interval seperti ditunjukan
pada table 14.4 hanya valid untuk SISO (Single Input Single Output).
 C/N: Sangat bergantung kepada pilot patterns dan kepadatan pattern
dibutuhkan untuk C/N tinggi. Apabila C/N adalah faktor dominan
daripada kepadatan pattern rendah, maka PP6 dan PP7 dapat
diperhitungkan untuk digunakan.
 PP8- Receiver Capability : dibutuhkan pada penerima untuk
menggunakan strategi equalisasi saluran, PP8 saluran estimassi
berdasar kepada data daripada kepada pilot.

Tabel 14.4. Perbandingan Scattered Pilot Patterns (EBU Tech 3348 Frequency &
Network Planning Aspects of DVB-T2 30)

Pilot pattern berikut ini dapat digunakan untuk beberapa mode penerimaan:

 Penerimaan Rooftop: Penerimaan dengan antenna terarah diluar


ruang, biasanya memperlihatkan lingkungan Doppler yag rendah
dengan sedikit refleksi, PP7 dapat di pakai me maksimalkan kapasitas,
karena overhead nya rendah dan kurang tahan terhadap Doppler.

142
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
 Penerimaan Mobile: Dimana karakteristik saluran berubah dengan
cepat, lebih banyak pilot akan lebih baik untuk estimasi saluran. Dapat
dipilih PP2, PP4, atau PP6.

 Penerimaan Portable: Dimana karakteristik saluran tidak berubah, akan


lebih baik mengurangi overhead (pilot) tetapi menguatkan pilot, oleh
karenanya dapat dipilih PP3 atau PP4.

 SFN area yang luas: Jaringan SFN dengan area yang luas
memerlukan guard interval yang panjang (1/8), atau lebih panjang.
Dalam hal ini hanya PP1, PP2 atau PP3 yang dapat memungkinkan
dapat dipakai. Terlihat adanya timbal balik antara performa Doppler
dan ukuran guard interval. Oleh karenanya PP2 dapat dipakai sebagai
kompromi antara PP1 dengan PP2.

14.3.2. PEMILIHAN SFN


Pada saat melakukan pemilihan mode transmisi untuk DVB-T2 pemilihan
sebenarnya (seperti hal nya pada DVB-T) tergantung kepada kebutuhan jaringan,
yaitu perpaduan antara kapasitas dan ketahanan terhadap noise (robustness).
Sekali kita memilih mode SFN, harus dipilih panjang guard interval sesuai dengan
ukuran phisik (physical size) SFN spasi jarak antar pemancar. Harus di ingat,
bahwa mungkin saja terdapat spasi jarak antar pemancar yang lebar daripada
guard interval tergantung kepada kenyataan dilapangan seperti terrain (kontur
permukaan bumi), propagasi, system robustness, dsb. Untuk lebih
mengoptimalkan perencanaan coverage area, dengan memodifikasi diagram
antenna, power pemancar, tinggi antenna, transmitter timing dsb, memungkinkan
untuk mode SFN jarak transmitter yang luas daripada guard interval. Oleh karena
simulasi coverage area perlu dilakukan.
Bersamaan dengan pemilihan panjang guard interval, perlu ditentukan pecahan
guard interval. Pecahan guard interval melibatkan pertimbangan FFT size yang
berhubungan dengan skenario penerimaan: fixed rooftop, portable atau mobile
reception. Dalam hal penerimaan fixed rooftop menggunakan mode FFT 32k atau
16k, FFT size yang tinggi akan mengurangi pecahan guard interval dan
menambah kapasitas. Untuk portable dan mobile reception, mode FFT size yang
rendah 16k, 8k bahkan 4k patut diperhitungkan, khususnya untuk mobile
reception ketika Doppler menjadi hambatan.
Pemilihan modulasi akan menentukan bit rate (kapasitas), tetapi juga berdampak
kepada robustness sistim tersebut; bentuk modulasi yang tinggi akan
memberikan kapasitas lebih tetapi lebih rapuh terhadap noise. Oleh karenanya
patut di ingat, disebabkan channel coding efisien, rotasi konstalasi dsb,
digunakan pada DVB-T2 dibandingkan dengan DVB-T, 256-QAM akan
dibutuhkan untuk nilai C/N (carrier to noise) dalam besaran yang sama seperti
dibutuhkan sebelumnya, untuk 64-QAM adalah sekitar 17 – 20 dB tergantung
code rate yang dipakai.

143
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Menaikan system robustness akan memberikan dampak yang besar terhadap
performa SFN ketika diperlukan C/N yang rendah, akan mengurangi kepekaan
terhadap interferensi sendiri (self interference).
Dalam DVB-T2 tersedia beberapa Scattered Pilot Patterns (PP), PP1 s/d PP8
(table 14.5). Pemilihan pilot pattern akan menentukan performa delayed signal
yang datang diluar guard interval seperti yang ditentukan oleh batas Nyquist,
melebihi batas Nyquist berarti equalisasi channel tidak benar, walaupun pecahan
inter-symbol interference (ISI) kecil

Tabel 14.5. Scattered pilot pattern untuk kombinasi FFT size dan guard interval
dalam mode MISO (dari [EN TS 302 755])

14.4. TEST POINT


Apabila wilayah layanan dan alokasi frekuensi sudah diperoleh, garis
terluar dari wilayah layanan tersebut di tandai dengan beberapa test point. Test
point ini akan memberikan kegunaan dalam menentukan posisi secara geografi,
bentuk dan besarnya alokasi (allotment boundary), untuk keperluan tersebut
posisi test point ditandai dengan koordinat dalam bentuk derajat, menit dan detik
sesuai dengan posisinya dalam lintang utara atau lintang selatan dan bujur timur.
Wilayah layanan akan terwakili oleh bentuk poligon atau beberapa poligon yang
terbentuk dari beberapa test point yang dihubungkan, mungkin saja karena
terbatasnya jumlah test point maka bentuk poligon atau beberapa poligon tidak
sesuai dengan wilayah layanan yang dikehendaki, oleh karena itu dibutuhkan
kecermatan dalam menentukan test point agar terdapat kesesuaian antara
wilayah layanan dengan bentuk poligon.
Test point tersebut kedudukan koordinatnya ditentukan sedemikian rupa
sehingga apabila ditarik garis antar test point akan terbentuk poligon tertutup, test
point juga dapat digunakan untuk keperluan perhitungan potensi interferensi
alokasi pada saat perencanaan dan pada saat implementasi.

144
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
14.5. REFERENCE NETWORK (RN)
Reference network (RN) adalah struktur jaringan teoritis yang di disain
untuk di gunakan sebagai alat untuk mengetahui potensi interferensi pada saat
perencanaan, bentuk RN biasanya adalah struktur geometris yang beraturan
seperti hexagonal atau segi empat. Pemancar-pemancar pembanding di
tempatkan di pusat struktur, pemancar pembanding ini harus mempunyai
besaran parameter khusus untuk digunakan sebagai pembanding seperti erp,
tinggi antena efektif, dsb. Parameter-parameter dipilih agar cakupan dapat
menyebar ke segala arah dalam jaringan dan memenuhi kualitas yang di
inginkan, data rate, probabilitas lokasi, dsb.
RN dibangun dimaksudkan agar diperoleh kompromi keseimbangan jumlah
pemancar yang dibutuhkan untuk meradiasi wilayah layanan yang di inginkan
dan potensi untuk menggunakan frekuensi block yang sama dengan konten
program yang berbeda, dengan kata lain RN harus dapat memberikan sistem
variant dan model penerimaan yang di inginkan.
Apabila struktur RN dan parameter sudah ditentukan perhitungan potensi
interferensi sudah dapat dilakukan, untuk perhitungan tersebut diperlukan
propagasi model.

14.6. MODEL PENERIMAAN (RECEPTION MODES)


DVD-T memungkinkan untuk menerapkan dalam penyiarannya
Reception Modes (RM) yaitu:

1. Fixed roof; penerimaan tetap untuk perangkat penerima dengan antena


terpasang secara tetap (pada atap rumah).
2. Mobile; penerimaan bergerak untuk perangkat penerima yang berada
dalam kendaraan yang bergerak.
3. Portable outdoor; penerimaan portabel luar ruang untuk perangkat
penerima jinjing (hand phone)
4. Portable indoor; Penerimaan portabel dalam ruang untuk perangkat
penerima jinjing (hand phone)

Sistem penyiaran digital terestrial secara umum lebih banyak menghadapi


hambatan propagasi dibandingkan sistem penyiaran melalui satelit atau kabel,
propagasi model penerimaan portabel dalam ruang dan luar ruang akan lebih
banyak menghadapi pengaruh lingkungan yang berat dibandingkan dengan
model penerimaan tetap dan penerimaan bergerak walaupun mengalami
penurunan akibat pengaruh doppler. Oleh karena itu untuk model penerimaan
portabel dipilih modulasi 16QAM, sedangkan untuk model penerimaan tetap
dipilih modulasi 64QAM atau 256QAM.

14.7. CODE RATE


Code rate atau information rate ditulis dalam bilangan pecahan (k/n),
dimana (k) menunjukan jumlah informasi terpakai, Coder membangkitkan n bit
data, code rate berguna untuk menghilangkan pengaruh yang tidak di inginkan
pada saat propagasi. Dimana pada penyiaran digital terestrial akan menghadapi
pengaruh-pengaruh tersebut termasuk pada model penerimaan tetap, code rate

145
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
dari convolutional code: ½, 2/3, 3/4, 5/6, 7/8,dst, untuk penyiaran dgital terestrial
dipilih: ½,3/5, 2/3, ¾. 4/5, 5/6

Tabel. 14.6. Code rate atau information rate

14.8. PROBABILITAS LOKASI


Penyiaran digital mempunyai sifat penurunan signal propagasi yang tiba-
tiba ketika melewati kondisi daerah penerimaan yang menerima gambar dan
suara dengan sempurna ke kondisi yang sama sekali tidak bisa menerima signal.
Untuk itu agar menghasilkan cakupan yang sempurna pada dua kondisi tersebut
dipilih probabilitas lokasi dengan nilai yang tinggi 95% untuk model penerimaan
tetap dan penerimaan portabel, 99% untuk model penerimaan bergerak, nilai
70% akan memberikan cakupan kurang sempurna.

14.9. DAYA PEMANCAR


Transmisi penyiaran, bersifat “point to service area”, secara ekonomi
lebih efisien mengoperasikan satu buah pemancar dengan daya yang besar
daripada mengoperasikan dua buah pemancar dengan daya kecil dimana
masing-masing jaringan (dengan daya kecil) harus menyediakan setengah
kapasitas data. Disamping itu secara teknik penggunaan daya dibatasi oleh
keadaan lingkungan (lokasi berbukit, gunung, dsb). Untuk itu dalam perencanaan
daya pemancar transmisi digital harus lebih rendah dari daya pemacar transmisi
analog eksisting, sekurang-kurangnya tidak melebihi. Konsekuensinya untuk
model penerimaan tetap dipilih modulasi dengan nilai yang tinggi (64QAM atau
256 QAM) dan code rate dengan nilai yang rendah (1/2).

14.10. GUARD INTERVAL DAN DATA CAPACITY


DVB-T2, terdapat tambahan modulasi 256-QAM dan teknik error
protection yang baru yang memungkinkan pemakaian mode high modulation
(256-QAM), tambahan pecahan guard interval (guard interval fractions),
kombinasi antara symbol length (mode FFT) dengan pecahan guard interval,
memungkinkan mengurangi overhead yang digunakan oleh guard interval.

146
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Tabel 14.7. Panjang guard interval untuk DVB-T2, bandwith channel 8 MHz
Untuk wilayah layanan SFN yang luas membutuhkan guard interval yang luas
(lebar) juga, oleh karena itu dipilih nilai ¼Tµ untuk menangani delay time yang
luas dalam daerah SFN yang luas, untuk wilayah layanan SFN yang sempit
dipilih nilai 1/8Tµ, dalam keadaan khusus dapat dipilih nilai 1/16Tµ. Untuk
perencanaan menggunakan satu buah pemancar (tanpa SFN) dapat dipilih guard
interval 1/16 atau 1/32Tµ.

Tabel 14.8. Perhitungan interval equalisasi untuk mode DVB-T2

147
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Dari table 14-7. dapat dilihat Tp adalah sama (atau sedikit lebih besar) daripada
panjang guard interval (Tg). Berarti penurunan diluar guard interval akan sangat
perlahan dari ujung guard interval ke ujung interval equalization (EI).
Untuk keperluan perencanaan direkomendasikan untuk mengasumsikan
pemakaian kombinasi waktu dan frekuensi interpolasi sebagai mode predominan
operasi. Apabila pilot pattern sesuai dengan panjang echo seperti yang di
inginkan dalam jaringan, yaitu high density pilot pattern dipakai dalam jaringan
utama didisain sebagai MFN atau hanya area SFN terbatas, hanya dimungkinkan
dengan frekuensi interpolasi, pemakaian interpolasi dimana performa Doppler
menjadi bagian yang kritikal yaitu untuk penerimaan portable dan mobile
(bergerak).

14.11. FFT 2k, FFT 8k, FFT 16k, dan FFT 32k
Pemilihan FFT 2k, 8k, 16k, dan 32k tidak akan mempengaruhi aspek
kompabilti, walaupun demikian FFT 2k tidak dapat menangani SFN dengan time
delay yang lebar, disebabkan panjang guard interval FFT 2k hanya 1/4 dari
panjang guard interval FFT 8k.

Tabel 14.9. Aspek konfigurasi perencanaan, menunjukan beberapa aspek


perencanaan: model penerimaan, kualitas cakupan, struktur jaringan, sistem
variant dan band frekuensi, berikut beberapa elemen yang berkaitan dengan
kebutuhan layanan, Pada Tabel 14.9. menunjukan parameter pilihan untuk
perencanaan.

Tabel 14.9. Aspek konfigurasi perencanaan (ECC Report 49)


148
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Tabel 14.10. Parameter pilihan untuk perencanaan. ( ECC Report 49),

14.12. MISO ( MULTIPLE INPUT SINGLE OUTPUT)


Standar DVB-T2 mempunyai kemampuan untuk mengimplementasikan
jaringan Multiple Input Single Output (MISO), yang tidak dapat dilakukan oleh
BVB-T. Secara umun jaringan MISO dapat dilihat pada gambar 14.2.
Perbedaan utama antara MISO dengan jaringan standar broadcast, adalah;
jaringan MISO pada saat yang sama men-transmisikan signal yang di inginkan
(wanted signal) dengan 2 macam yang berbeda, dari beberapa pemancar yang
berbeda. Biasanya pemancar secara lokasi dan geografi masing-masing terpisah,
dengan men-transmisikan beberapa signal yang di inginkan (wanted signal),
jaringan dengan MISO mampu mengambil manfaat dari ber-macam transmisi
untuk memperbaiki SNR (signal to noise), coverage dan data rate.
Jaringan MISO dapat dipandang sebagai bentuk dari SFN, tetapi dengan ber-
macam transmisi (multiple transmission) yang membutuhkan sinkronisasi dan
timing seperti cara yang dipakai dalam SFN. MISO dalam standar DVB-T2
berdasar kepada modifikasi bentuk skema Alamouti’s, manfaat utama dengan
modifikasi ini, dapat di implementasikan langsung hanya membutuhkan sedikit
kompleksitas pada kedua sisi pemancar dan penerima dalam satu jaringan.
149
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Dengan menggunakan hanya satu antenna penerima, skema Alamouti mampu
memperbaiki penerimaan SNR, sama seperti penerimaan menggunakan sistem
antenna diversity yang menjumlahkan signal input, kerugian yang muncul dalam
dua stasiun SFN biasanya akan terbentuk ripples dan notches yang akan
menurunkan system SNR, hal ini tidak akan muncul dalam jaringan MISO,
sepanjang dua signal yang ditransmisikan tidak identik maka kombinasi dua
signal yang merugikan dapat dihindarkan. Akan diperoleh penambahan 3 dB
pada Gaussian channel dibandingkan dengan standar SFN. Gain yang besar
akan diperoleh jika pada titik lokasi penerimaan menerima level signal yang
besarnya sama, tidak kalah pentingnya coding Alamouti dapat memperbaiki
coverage, memungkinkan data rate yang besar atau penggunaan spectrum yang
efisien, atau kombinasi dari keduanya.

Gambar 14.2. Jaringan MISO DVB-T2

Dasar operasional Alamouti dapat dimengerti dengan mempelajari (Gambar 14.2.


Jaringan MISO DVB-T2). Masing-masing jaringan multiple transmitter di bentuk
dari satu atau dua grup dimana masing-masing pemancar dapat dibayangkan
mentransmisikan sepasang payloads cell. Pemancar pada grup 1
mentransmisikan versi yang tidak dimodifikasi untuk setiap konstalasi (seperti
standar SFN), dalam gambar 14.2, pasangan cell yang pertama ditunjukkan
dengan C0 dan C1. Pemancar pada grup 2 mentransmisikan versi dengan sedikit
modifikasi untuk masing-masing pasangan konstalasi, dan reverse frequency
dalam orde 2. Grup 2 mentransmisikan –C1* dan C0*, dimana (*) menunjukkan
operasi complex conjugation. Penerima (receiver) kemudian memulihkan kembali
komponen dari kombinasi 2 versi signal.
Dalam gambar 14.2 dapat dilihat di butuhkan dua perangkat untuk
mengoperasikan jarinagn MISO dengan sempurna yaitu T2-Gateway dan DVB-
T2 modulator. T2-Gateway menghasilkan T2-MI (T2-Modulator Interface) stream
yang berisi seluruh informasi yang dibutuhkan untuk menjelaskan isi (content)
150
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
dan waktu emisi (emission timing) dari T2-frames. T2-MI stream (berikut delay
yang diinginkan dan Alamouti coding) di umpankan ke T2 modulator
Dalam gambar 14.2, seluruh jaringan MISO terkunci oleh clock reference yang
sama dengan demikian signal akan sinkron dan delayed, mirip dengan SFN
standar. Untuk keperluan ini menggunakan GPS.
Dalam gambar menunjukan per grup dapat terdiri dari pemancar dengan jumlah
tak terhingga (n), tetapi pada prakteknya per grup akan terdiri dari dua atau tiga
pemancar.

XV. KONFIGURASI GROUPING PLANING DVB-T


Reference planning configuration (RPC) dimaksudkan untuk di
terapkan dalam beberapa tipe konfigurasi perencanaan DVB-T, dimana di
inginkan variasi konfigurasi perencanaan ini dapat di terapkan di masa yang akan
datang, maka sangat beralasan jika menampilkan variasi-variasi tersebut tidak
hanya satu reference planning configuration tetapi beberapa reference planning
configuration yang berbeda.
Tabel 15-1 s/d tabel 15-3 (konfigurasi perencanaan), memperlihatkan group
perencanaan, MMEFS (minimum median equivalent field strength) dan besaran
power budget untuk jaringan yang relevan. Peng-groupan dapat dilihat pada tabel
16-1 dan 16-2, dapat dibentuk tiga group yaitu:
1. Fixed reception
2. Portable outdoor reception, mobile reception dan portable indoor
reception dengan kualitas cakupan rendah
3. Portable indoor reception kualitas cakupan tinggi

Nilai rata-rata (average) di hitung untuk masing-masing group dapat dilihat dalam
tabel pada baris terahir, selanjutnya dapat dilihat bahwa terdapat tiga perbedaan
yang konsisten untuk minimum field strength pada daerah frekuensi 500 s/d 800
MHz untuk seluruh planning configuration. Besarnya perbedaan sekitar 4dB
untuk penerimaan fixed roof level dan 6dB untuk penerimaan portable dan
mobile, hal ini memberikan kemungkinan untuk menyeragamkan band IV dan
band V planning configuration dengan memilih nilai rata-rata.

151
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Tabel 15-1. Konfigurasi perencanaan untuk Band III, 200 MHz (bandwidth 8
MHz)

Tabel 15-2. Konfigurasi perencanaan untuk Band IV, 500 MHz (bandwidth 8
MHz)

Tabel 15-3. Konfigurasi perencanaan untuk Band V, 800 MHz (bandwidth 8 MHz)

152
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
XVI. REFERENCE PLANNING CONFIGURATION
Dalam tiga group planning configuration, masing-masing group
terdapat kesamaan nilai rata-rata minimum field strength, maka dapat
dikelompokan tiga group parameter Reference Planning Configuration (RPC)
yang berkaitan dengan model penerimaan tetapi tidak berkaitan dengan sistem
variant.
RPC1: fixed roof-level reception
RPC2: portable outdoor reception, mobile reception,lower coverage quality
portable indoor reception
RPC3: higher coverage quality portable indoor reception.

Tabel 16-1. Emed untuk tiga reference planning configuration (RPC)

Emed ref tidak ada hubungannya dengan Emed planning configuration, demikian
juga nilai C/N berbeda untuk masing-masing planning configuration. Dalam tabel
16-2. (C/N untuk tiga referenca planning) EEC report 49, dapat dilihat besarnya
C/N (dB) untuk masing-masing reference planning configuration (RPC1, RPC2,
RPC3).

Tabel 16-2. C/N untuk tiga reference planning configuration (RPC)

XVII. REFERENCE NETWORK (RN)


17.1. UMUM
Pada dasarnya ketika menetapkan perencanaan frekuensi adalah
melakukan kompabiliti analisis antara pemancar dan/atau jaringan. Untuk
keperluan perhitungan, karakteristik pemancar harus sudah diketahui, akan

153
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
menjadi masalah apabila karakteristik tersebut belum diketahui pada saat
perencanaan pemancar sudah ditetapkan. Masalah akan timbul pada saat
penerapan SFN pemancar, dimana wilayah layanan sudah diketahui tetapi belum
ada kepastian jumlah, posisi, daya pemancar. Meskipun kurangnya informasi
tersebut perhitungan kompabiliti harus tetap dilakukan untuk menyelesaikan
perencanaan. Untuk itu akan sangat membantu membuat struktur jaringan umum
(generic network structure) yang akan mewakili jaringan yang sebenarnya yang
kompabiliti analisisnya belum diketahui, Generic network ini dinamakan
Reference Networks (RN).
Dalam penjelasan sebelumnya sudah dipilih tiga reference planning configuration
dua buah pada band III dan satu buah pada IV/V. Untuk masing-masing RN yang
akan di bangun dan kelengkapan teknik dari masing-masing RN akan berbeda
sesuai dengan karakteristik dari kesatuan reference planning configuration.
Aspek berikutnya yang harus dimasukan kedalam perhitungan mendisain
reference network;

Yang pertama adalah tipe dari operasi network harus dimasukan dalam
perhitungan: akankah network MFN atau SFN ?. Dalam MFN pemancar tunggal
akan berfungsi sebagai reference, sedangkan dalam SFN masing-masing
pemancar di kelompokan membentuk reference network.

Yang kedua adalah besaran (luas) wilayah yang akan dilayani harus dimasukan
kedalam perhitungan, untuk dua buah transmitter tunggal yang meradiasi wilayah
yang luas akan di layani oleh pemancar ber-daya yang besar dan wilayah yang
sempit akan dilayani oleh pemancar ber- daya rendah. Begitu pula untuk SFN
yang secara prinsip tidak ada hambatan dengan besaran wilayah dari yang
sempit sampai ke wilayah sangat luas, hal inilah sebenarnya bahwa reference
network pantas diterapkan karena mewakili dari berbagai kasus.

Yang ketiga adalah keadaan lingkungan dari wilayah yang akan dilayani, wilayah
padat penduduk akan membutuhkan pemancar ber-daya lebih besar daripada
wilayah berpenduduk kurang padat walaupun keduanya mempunyai besaran luas
wilayah yang sama. Yang terakhir adalah penentuan lokasi, pola antena radiasi,
tipe jaringan tertutup atau terbuka, hal ini berkaitan dengan mengurangi
interferensi jaringan, reference network adalah ideal network yang mewakili
implementasi network yang sebenarnya.

Dapat di kategorikan beberapa parameter penting sebagai berikut:

1. Jumlah pemancar
2. Jarak pemancar
3. Geometri pemancar
4. Daya pemancar
5. Tinggi antena pemancar
6. Pola radiasi antena
7. Wilayah layanan

154
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Dalam mendisain reference network di asumsikan karakteristik pemancar harus
sama untuk seluruh pemancar SFN; seperti: daya, ketinggian dan pola radiasi
antena, tujuan utama refererence network adalah menentukan potensi
interferensi dan interferensi yang dihasilkan oleh penerapan tipe dari DVB-T.

Single reference transmitter;

Untuk single reference transmitter, dalam hal ini adalah MFN akan lebih
sederhana daripada reference network. Pada umumnya karakteristik pemancar
tunggal sudah diketahui dan jika tidak diketahui dapat dengan mudah dihitung,
oleh karena itu dalam hal pemancar tunggal tidak perlu adanya reference
transmitter melainkan pemancar yang sebenarnya (real transmitter) digunakan
untuk analisa perbandingan.

Reference SFN;

Untuk SFN di inginkan untuk meradiasi wilayah layanan yang luas, dan umumnya
tidak semua karakteristik pemancar SFN sudah di ketahui dan karakteristik-
karakteristik pemancar tersebut baru akan diketahui pada saat proses penetapan
perencanaan frekuensi. Selanjutnya karakteristik-karakteristik pemancar tersebut
tidak diperlukan untuk perencanaan alokasi frekuensi pada saat proses
penetapan perencanaan frekuensi. Perhitungan kompabiliti dapat diselesaikan
dengan reference network, untuk keperluan ini karakterisitik dan lokasi yang
benar harus sudah diketahui.

Interference Potential;

Potensial interferensi dari pemancar atau jaringan pemancar adalah intenferensi


yang keluar dihasilkan dari pemancar atau jaringan pemancar. Apabila dalam
proses perencanaan potensi interferensi yang benar belum diketahui, maka
potensial interferensi dari reference network dapat dipakai mewakili potensial
interferensi yang sebenarnya, untuk keperluan ini karakteristik reference network
dan prosedur bagaimana menghitung potensial interferensi harus diketahui.

17.2. PERENCANAAN SATU PEMANCAR TUNGGAL


Untuk pemancar tunggal perhitungan potensial interferensi
menggunakan daya pemancar yang sebenarnya dan perhitungan daerah
cakupan untuk karakteristik yang diinginkan seperti: model penerimaan, kualitas
layanan, sistem variant, dengan cara ini masing-masing pemancar tunggal
adalah individual potensial interferensi dan individual wilayah layanan.
Dua hal yang harus diperhatikan apabila karakteristik wilayah belum diketahui :

1. Dalam perhitungan ERP dapat di asumsikan tinggi efektif antena


pemancar dibuat 150m, tentukan pusat alokasi wilayah layanan.
2. Tentukan masing-masing test point, hitung ERP dari pusat area ke test
point untuk mendapatkan E med, hitung ERP untuk keseluruhan
wilayah layanan tambahkan 3dB untuk power margin.

155
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Sebagai kesimpulan bahwa untuk pemancar tunggal dapat dengan mudah
ditangani menggunakan karakteristik pemancar yang sebenarnya.

17.3. SINGLE FREQUENCY NETWORK (SFN)


Untuk menentukan kebutuhan daya (power budget) reference
networks, tinggi antena dan daya diatur sedemikian rupa sehingga probabilitas
cakupan diperoleh untuk masing-masing wilayah layanan. Perhitungan harus
dilakukan untuk mendapatkan aspek network gain dan interferensi sendiri (self
interference) dalam menghitung probabilitas cakupan di wilayah layanan
rekomendasi ITU-R P-1546 dapat digunakan sebagai model prediction field
strength. Statistical field strength summation dapat dipenuhi menggunakan
metode k-LNM.

1. kalibrasi faktor k=0,5 untuk UHF, portabel indoor reception


2. kalibrasi faktor k=0,7 untuk VHF, portabel indoor reception
3. kalibrasi faktor k=0,8 untuk VHF/UHF,fixed, portable outdoor and
mobile reception
4. kalibrasi faktor k=1,0 untuk seluruh unwanted signal summations

Untuk pengaturan power budget jaringan ditambahkan 3dB, dan tinggi efektif
antenna pemancar reference network =150m.

17.3. REFERENCE NETWORK 1


(SFN wilayah layanan luas)
RN 1 terdiri dari 6 individual RN, untuk: fixed, outdoor/mobile dan
indoor reception, masing-masing untuk Band III dan Band IV/V. RN 1 ditujukan
untuk wilayah layanan SFN cakupan luas, di asumsi kan bahwa pemancar utama
dengan tinggi efektif antena yang memadai menjadi tulang punggung untuk tipe
jaringan ini. cakupan penerimaan untuk portabel dan penerimaan bergerak
dibatasi diameter 150 s/d 200km hal ini disebabkan oleh penurunan interferensi
sendiri (self interference), kecuali sistem variant cukup kuat atau konsep jaringan
rapat (closed SFN) yang digunakan.
Jaringan yang terdiri dari 7 pemancar yang ditempatkan pada hexagonal lattice,
dipilih tipe jaringan terbuka seperti: pemancar menggunakan non directional
antenna pattern dan wilayah layanan di asumsikan melewati 15% hexagon.
Geometri hexagonal lattice dapat dilihat pada Gambar 17. 1 : (RN 1 large service
area SFN,EEC report 49)

156
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Gambar 17. 1 : (RN 1 large service area SFN,EEC report 49)

Untuk RN 1 dipilih maksimum nilai panjang guard interval 1/4Tu dan 8k FFT,
jarak antara pemancar dalam SFN tidak boleh melebihi jarak ekivalen panjang
guard interval, dalam hal ini panjang guard interval 224us sama dengan 67km.
Jarak antara pemancar untuk RPC 1 = 70km. Untuk RPC 2 = 50km dan RPC 3 =
40km.
Tabel 17-1 (large service area SFN, EEC report 49) memperlihatkan parameter
dan power budget untuk reference network RN1

. Tabel 17-1 (large service area SFN, EEC report 49)


157
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Gambar 17. 2 (determination of the power budget for RN 1, Band IV/V, EEC
report 49)
Sebagai contoh dalam Gambar 17- 2 (determination of the power budget for RN
1, Band IV/V, EEC report 49) memperlihatkan probabilitas cakupan dalam
wilayah layanan sebagai fungsi dari power radiasi didalam jaringan untuk
penerimaan portable outdoor band IV/V. Radiated power menunjukan daya dari
satu pemancar. kurva menunjukan kebutuhan power budget untuk meradiasi ke
semua arah didalam wilayah layanan dan coverage probabilitas yang di inginkan.
Gambar17.3 (EEC report 49) memperlihatkan plot cakupan RN 1 untuk
penerimaan portable indoor band IV/V, posisi 7 pemancar dapat di identifikasi
dengan jelas, pola radiasi probabilitas cakupan memenuhi simetri hexagonal
jaringan, probabilitas cakupan tidak di ijinkan kurang dari 95%.

158
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Gambar 17.3. Coverage probability plot RN1, portable indoor (EEC report 49)

Gambar17.4. Perhitungan field strength RN1(EEC report 49).

159
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Gambar 17.5. Menunjukan geometri untuk perhitungan potensial interferensi
RN1 (EEC report 49).

17.4. REFERENCE NETWORK 2


(SFN Wilayah layanan sempit, SFN rapat (closed SFN))

RN 2 terdiri dari 6 individual RN, untuk: fixed, outdoor/mobile dan


indoor reception, masing-masing untuk Band III dan Band IV/V. RN 2 ditujukan
untuk wilayah layanan SFN cakupan sempit, pemancar utama dengan tinggi
efektif antena yang memadai menjadi tulang punggung untuk tipe jaringan ini
diharapkan memberikan interferensi sendiri (self interferensi) kecil. Diameter
wilayah cakupan 30 s/d 50km, RN 2 memungkinkan untuk meradiasi wilayah
layanan luas dengan menambah kerapatan SFN, dengan demikian dibutuhkan
jumlah pemancar yang lebih banyak. Oleh karena itu memilih RN 1 untuk
cakupan wilayah luas lebih efisien daripada RN 2 dengan kerapatan SFN.
Jaringan yang terdiri dari 3 pemancar membentuk segitiga sama sisi, dipilih tipe
jaringan terbuka, seperti: pemancar menggunakan non directional antenna
pattern, wilayah layanan membentuk hexagonal seperti ditunjukan pada
Gambar17. 6 (RN 2 small service area SFN ,EEC report 49).

160
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Gambar 17. 6. RN 2 small service area SFN ,EEC report 49.

Untuk RN 2, jarak antara pemancar adalah 25km untuk RPC 2 dan RPC 3, oleh
karena itu memungkinkan menggunakan nilai 1/8 Tu (8k FFT) untuk guard
interval akan menambah data kapasiti di bandingkan dengan RN 1, nilai panjang
guard interval dapat saja dibuat sama (1/4 Tu) hal ini akan menambah jarak
antar pemancar sampai dengan 40km,
kekurangannya untuk penerimaan fixed roof level akan kurang sensitip terhadap
interferensi sendiri yang disebabkan disebabkan oleh ke-terarah-an antena
penerima.
Tabel 17-2 (parameter of RN 2, small service area SFN, EEC report 49)
memperlihatkan parameter dan power budget untuk reference network RN2

Tabel 17-2 (parameter of RN 2, small service area SFN, EEC report 49)

161
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Gambar 17.7 Geometry for calculation of interference potential, EN3, EEC report
49

17.5. REFERENCE NETWORK 3


(SFN Wilayah layanan sempit, Untuk lingkungan perkotaan)
RN 3 terdiri dari 6 individual RN, untuk: fixed, outdoor/mobile dan
indoor reception, masing-masing untuk Band III dan Band IV/V. RN 3 ditujukan
untuk wilayah layanan SFN cakupan sempit lingkungan perkotaan, identik
dengan RN 2 perbedaannya pada menambahkan figure loss (urban type height
figure loss), dapat dilihat pada tabel 2. Hal ini akan menambah kebutuhan daya
pemancar-pemancar SFN sekitar 5 dB, geometri dan wilayah layanan identik
dengan RN 2.

Tabel 17-3. Parameter of RN3 (Small service area SFN for urban environment,
EEC report 49)
162
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
17,6. REFERENCE NETWORK 4
(Semi-closed SFN willayah layanan sempit)
Geometri SFN 4 identik dengan RN 2, kecuali untuk pola radiasi antena
pemancar berkurang 6 dB (seluas 240 derajat atau “semi-closed”), wilayah
layanan dapat dilihat pada Gambar 17. 8 (RN 4 semi-closed small service area
SFN, ECC report 49)

Gambar 17. 8 (RN 4 semi-closed small service area SFN, ECC report
49)
Perbedaan antara RN 4 dan RN 2 adalah pada potensi interferensi, RN 4
memiliki potensi interferensi rendah dibandingkan dengan RN lainnya, oleh sebab
itu untuk jarak dengan frekuensi yang sama dapat digunakan ulang (re-used).
Pada tabel 17-4 dapat dilihat parameter dan power budget untuk reference
network RN 4.

Tabel 17-4. Parameter of RN 4 (Semi cloced small service area SFN, EEC report
49)
163
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Gambar 17.9 : Menunjukan geometri untuk perhitungan potensial interferensi RN
4,( EEC report 49)

17.7. PERHITUNGAN MINIMUM MEDIAN EQUIVALENT FIELD


STRENGTH (ECC REPORT 49, Page 32)

Excpert from ITU-R TG 6/8 report, chapter 5 (Document RRC(04)07)


Calculation of minimum median equivalent field strength
The minimum median equivalent field strength can be calculated using the
following formulas:

Pn= F + 10 log10 (k T0 B)
Ps min = C/N + Pn
Aa = G + 10 log10 (1.64λ2/4π)
φmin = Ps min - Aa + Lf for fixed antenna reception
φmin = Ps min - Aa for portable reception
Emin = φmin + 120 + 10 log10 (120π)
= φmin + 145.8
Emed = Emin + Pmmn + Cl for fixed antenna reception
Emed= Emin + Pmmn + Cl + L h for portable outdoor reception
Emed = Emin + Pmmn + Cl + L h + Lb for portable indoor reception
where:
Pn : Receiver noise input power {dBW}
F : Receiver noise figure {dB}
k : Boltzmann's Constant (k= 1.38 10ˉ²³ {Ws/K})
To: Absolute temperature (To = 290 {K})
B : Receiver noise bandwidth (B=7.61 10⁶{Hz})
Ps min : Minimum receiver input power {dBW}
164
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
C/N : RF signal to noise ratio at the receiver input required by the system {dB}
Aa : Effective antenna aperture {dBm²}
G : Antenna gain related to half dipole {dB}
λ : Wavelength of the signal {m}
φmin : Minimum power flux density at receiving place {dBW/m²}
Lf : Feeder loss {dB}
Emin : Equivalent minimum field strength at receiving place {dBμV/m}
Emed : Minimum median equivalent field strength, planning value {dBμV/m}
Pmmn : Allowance for man made noise {dB}
Cl : Location correction factor {dB}
Lh : Height loss (10 m agl to 1.5 m agl) {dB}
Lb : Building penetration loss {dB}

XVIII. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA RI


NOMOR: 51/PER/M.KOMINFP/12/2009
TENTANG PERSYARATAN TEKNIK PERANGKAT PENYIARAN

1. PERSYARATAN TEKNIS UTAMA


1.1 LEMBAGA PENYIARAN RADIO

No PARAMATER SPESIFIKASI KETERANGAN SIMBOL

Single freq audio


Signal audio
test, 1 kiloHertz.
1 1 KHz untuk testing
Level 1,5 Volt Tone
6 dBm atau check pra-
rms on 600
siaran
Ohm.
Maximum level Signal audio
2 1,5 Volt rms on 6 dBm siaran, amplitudo Audio
600 Ohm. maksimum
Pita Frekuensi
2.1 Frequency Band ±0,5 dB dalam
30Hz sd 20KHz
2.2 Impedance 600 Ohm
Signal to Noise Signal terhadap
3 52 dB S/N
ratio Derau
2 core in 1 shield Spesifikasi kabel
4 2 in1 Batang Balance
cable. audio
1.2 LEMBAGA PENYIARAN TELEVISI

No PARAMETER SPESIFIKASI KETERANGAN SIMBOL

SIGNAL AUDIO

165
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Single freq audio,
Signal audio
1 1 kiloHertz. 1 KHz
untuk testing atau Tone
level 1,5 V rms on 6 dBm
check pra-siaran.
600 Ohm.
Maximum level Signal audio
2 1,5 Volt rms on 6 dBm siaran, ampli tudo Audio
600 Ohm maksimum.
Pita Frekuensi
2.1 Frequency Band ±0,5 dB dalam
30Hz sd 20KHz
2.2 Impedance 600 Ohm
Signal to Noise Signal dibanding
3 52 dB S/N
ratio Derau
2 core in 1 shield Spesifikasi kabel
4 2 in 1 Batang Balance
cable audio

SIGNAL VIDEO
Ukuran Pigura
Frame Picture Gambar, Aspect
1 4:3
Aspect Ratio mendatar Ratio
banding tegak
Populasi garis
Total Horizontal
gam-bar, di
Scanning Lines, 625 Lines
2 paparkan dalam 2 H
in two field picture
bagian gam-bar
interlace scan
yang bersisipan

Horizontal lines in 1 bagian gambar


2.1 312,5 Lines
1 Picture Field. berisi.

Horizontal lines Frekuensi garis


2.2 15.625 HZ
rate per second. gambar.

Frekuensi untuk
Frame Picture
3 25 Hz satu kali populasi F
rate per second.
garis gambar.
Field Picture rate
Frekuensi bagian
per second,
3.1 50 Hz gambar arah V
Vertical lines rate
tegak / Vertikal.
per second.
Colour Bar video Signal video
signal. 100% warna untuk
4 1 Vp-p Colbar
peakwhite with 75 testing dan atau
% colour check pre
166
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
saturation. 100/75 operation.
Colourbar, on 75 Color Bar 100/75.
Ohm termination.
Composite Colour
Video and Sync Signal video
5 Signal (CCVS), 1 Vp-p siaran, ampli tudo CCVS
on 75 Ohm maksimum.
termination.
Amplitudo tetap
Constant Sync
Sync.
Amplitude. 0,3 Vp-p
Lebar pulsa Sync
Sync pulse Width 4,7 µs
5.1 /H. S
every H line.
Vertical Sync 2,5 H
Lebar pulsa Sync
pulse Width.
Vertikal
Maximum Video Amplitudo Video
5.2 0,7 Vp-p
part Amplitude saja maksimum.
Pita Frekuensi 50
5.3 Frequency Band ±0,5 dB
Hz sd 5 MHz
5.4 Impedance 75 Ohm
Signal to Noise Signal dibanding
6 40 dB S/N
ratio. Derau
1 core with
Spesifikasi kabel
7 coaxial shielded 1 in 1 Coaxi Coax
video
cable.
2 PERSYARATAN TEKNIS PERANGKAT POKOK
2.1 JENIS DAN JUMLAH PERANGKAT DALAM SUMBER SINYAL.
2.1.1 Lembaga Penyiaran Radio
NAMA
No JUMLAH KETERANGAN SIMBOL
PERANGKAT MIMINAL

1 Microphone 1 Set Mic


Sound
2 1 Set Aplayer
recorder/player
3 Sound Mixer 1 Set Amixer
4 Loudspeaker 1 Set AMon
2.1.2 Lembaga Penyiaran Televisi
NAMA
No JUMLAH KETERANGAN SIMBOL
PERANGKAT MINIMAL

AUDIO
1 Microphone 1 Set Mic
2 Sound 1 Set ARecorder

167
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
recorder/player
3 Sound Mixer 1 Set AMixer
4 Loudspeaker 1 Set AMon
VIDEO
1 TV Camera 1 Set Cam
Studio Lighting,
as the
2 1 Set Lighting
subtituting Day
Light
Video
3 1 Set VPlayer
recorder/Player
4 Video Mixer 1 Set VMixer
TV Monitor
5 1 Set VMon
Display
2.2 PERSYARATAN TEKNIS KAMERA TV.

PARAMETER SPESIFIKASI KETERANGAN

Image device (Opto CCD (1/3”, ´”, 2/3”)


electrical)
Jumlah CCD 3 CCD
Recorder media Magnetic Tape/Disk, Optical Tergantung
Disk, Memory Card kebutuhan
CCVS 1 Vp-p Sistem Analog
Signal Video Output
SDI 270Mbs, HP@ML Sistem Digital
Optical device Lensa : Tele, Wide, Tergantung
Normal aplikasi
2.3 PERSYARATAN TEKNIS MICROPHONE

PARAMETER SPESIFIKASI KETERANGAN

Impedance 600 Ohm Balance


Output
Type Condencer, Dynamic, tergantung situasi
Ribbon
Pattern sensitivy Omni, Cardioid, Gun tergantung
kebutuhan
Frequency band Audible range Tergantung aplikasi
2.4 PERSYARATAN TEKNIS AUDIO MIXER

PARAMETER SPESIFIKASI KETERANGAN

168
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
600 Ohm Balanced
Input impedance
7 K Ohm Unbalanced
Return Loss ≤ -26 dB
Balance /
Output impedance 600 Ohm
Unbalanced
Output level 6 dBm maximum
Crosstalk ≤ -60 dB
Frequency 50 sd 20 KHz , dalam 3
Respon dB
2.5 PERSYARATAN TEKNIS VIDEO MIXER

PARAMETER SPESIFIKASI KETERANGAN

I/O level 1 volt p/p CCVS / Analog.


Return Loss ≤ -26 dB
Bit Rate (digital) 270 Mbp/s SDI / Digital
Input impedance 75 Ohm Unbalance
Output impedance 75 Ohm Unbalance
Crosstalk ≤ -45 dB
S/N ≥ 40 dB
Frequency Respon 0 sd 5 MHz, dalam 3dB
2.6 JUMLAH DAN JENIS PERANGKAT MASTER CONTROL
2.6.1 Lembaga Penyiaran Radio

NAMA JUMLAH
NO KETERANGAN SIMBOL
PERANGKAT MINIMAL

Precision Audio A
1. 1 Set
Level Meter meter
Audio Master
2. 1 Set A Mon
Monitor
Master audio
3. 1 Set MSW
Switcher
Audio Distribution
4. 1 Unit ADA
Amplifier
2.6.1 Lembaga Penyiaran Televisi

JUMLAH
NO NAMA PERANGKAT KETERANGAN SIMBOL
MINIMAL

TV Sync Pulse
1. 2 Set SPG
Generator
Pulse Distribution
2. 1 Unit PDA
Amplifier
Precision Video
3. 1 Set VWFM
Waveform Meter

169
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Video Master
4. 1 Set VMon
Monitor
Master (video-audio)
5. 1 Set MSW
Switcher
Video Distribution
6. 1 Unit VDA
Amplifier
Audio Distribution
7. 1 Unit ADA
Amplifier.
2.7 JUMLAH DAN JENIS PERANGKAT PEMANCAR
NAMA JUMLAH
NO KETERANGAN SIMBOL
PERANGKAT MINIMAL
RADIO ATAU TELEVISI
1 Transmitter 1 Unit Tx
2 Antenna 1 Set Ant
3. Feeder cable 1 Set
4. Tower 1 Set TWR
5. Program Input 0 Set PIM
Monitor
2.8 PERSYARATAN TEKNIS PERANGKAT PEMANCAR
2.81 SPESIFIKASI TEKNIK
LEMBAGA
PARAMETE
SPESIFIKASI PENYIARA
R
N
Kedalaman
modulasi 10% S/D 12,5%. Televisi
(Mod depth)
Perubahan
daya output
(Regulation 2% Televisi
output
power)

170
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
SPESIFIKASI (SISTEM B&G)
Freq Max Min
(MHz) (dB) (dB)
- 4,43 - 30 ---
- 3,0 - 20 ---
- 1,25 - 20 ---
- 0,75 + 0,5 - 4,0
Tanggapan - 0,5 + 0,5 - 1,5
frekuensi 0 + 0,5 - 0,5 Televisi
(Frequency
+ 1,0 + 0,5 - 0,5
response)
+ 1,5 REF REF
+3 + 0,5 - 1,0
+ 4,0 + 0,5 - 1,0
+ 4,43 + 0,5 - 1,0
+ 5,0 --- - 2,5
+ 5,5 --- ---

Perubahan
penguatan < 5% Televisi
(Diff gain)
Perubahan
0
phase <5 . Televisi
(Diff phase)
Frekuensi
rendah tidak
< 5% Televisi
linier (LF non
linierity)
Distorsi
K-Faktor Rating < 2%. Televisi
bentuk video
Noise
Televisi
berkala
> 50 dB FM Radio
(Periodic
AM Radio
noise)
Noise acak Televisi
(Random > 40 dB FM Radio
noise) AM Radio
Simpangan
Televisi
frekuensi Televisi ±50 Khz Untuk 100%mod
FM Radio
audio (Audio Radio ±75Khz Untuk 100%mod
deviation)
Tanggapan Televisi
frekuensi Flat ± 0,5 dB, reference 500 Hz FM Radio
audio (Audio
171
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
frequency
response)
Cacat
hamonic 30 Hz S/D 100 Hz <1,5%
Televisi
audio (Audio 100 Hz S/D 10 Khz <1,0%
FM Radio
harmonic 10 Khz S/D 15 Khz < 1,5 %
distortion)
Noise
Frekuensi 60 dB Relative Terhadap 100% Televisi
Modulasi. Modulasi Pada 400 Hz FM Radio
(Fm Noise).
Noise
Amplitudo Televisi
> 50 dB Dibawah Level Carrier
Modulasi FM Radio
(AM Noise)

PARAMETE LEMBAGA
SPESIFIKASI
R PENYIARAN
F NLC for L on NLC for R on
(kHz R L
) % dB % dB
-
15 0,05 -66 0,42 67,
5
-
10 0,05 -66 0,048 66,
4
7 0,05 -66 0,044 -67
0,04
5 0,05 -66 -68
%
- Televisi
Crosstalk
2 0,05 -66 0,037 68, FM Radio
(non linier)
6 (stereo)
-
0,04
1 66, 0,035 -69
8
4
- -
0,04
0,8 67, 0,034 69,
2
5 4
- -
0,04
0,2 67, 0,034 69,
2
5 4
-
0,05 0,04 -68 0,034 69,
4

172
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
-
0,03 0,04 -68 0,034 69,
4
F LC for L on
LC for R on L
(kHz R
) % dB % dB
0,70
15 -43 0,199 -54
7
0,22
10 -53 0,63 -44
3
0,22
7 -53 0,562 -45
3
0,22
5 -53 0,501 -46 Televisi
Crosstalk 3
0,17 FM Radio
(linier) 2 -55 0,281 -51
7 (stereo)
0,17
1 -55 0,199 -54
7
0,17
0,8 -55 0,199 -54
7
0,15
0,2 -56 0,158 -56
8
0,19
0,05 -54 0,177 -55
9
0,17
0,03 -55 0,177 -55
7
F (kHz) dB
13 <-6
19 <-20
23 <-12
FM Radio
Intermodulasi 38 <-45 (stereo)
53 <-12
61 <-45
76 <-60
99 <-60
F (kHz) dB
Channel FM Radio
separation 0,003 -10 <-45 (stereo)
10 – 15 <-40
Televisi
Pre-emphasis 50µs
FM Radio
Pilot tone: 19kHz FM Radio
Encoding
Stereo sub carrier: 38kHz (stereo)
Pilot tone
FM Radio
frequency ±1 Hz pada temperatur 0˚ s/d 45˚
(stereo)
stability
173
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
F3E FM
Radio/Televis
Emission
A3E i
AM Radio
>45dB dibawah nominal level
Sub carrier FM Radio
composite output pada 100%
suppression (stereo)
modulasi
Pilot tone
FM Radio
frequency ± 3˚
(stereo)
phase
Audio input Televisi
600 Ohm (balanced)
impedance FM Radio
Video input
75 Ohm (unbalanced) Televisi
impedance
RF output Televisi
50 Ohm
impedance FM Radio
Televisi
Spurious
<-60 dB FM Radio
radiasi
AM Radio
ICPM < 3% Televisi
Return loss Televisi
Input <-20 dB FM Radio
amplifier AM Radio
2.8.2 MODEL / TIPE

MODEL SPESIFIKASI KETERANGAN

Udara (Air cooling) Televisi


Pedinginan FM Radio
Air (Liquid cooling)
AM Radio
Bersama (Common amplification) Televisi
Penguatan
Terpisah (Split amplification)

2.9 PERSYARATAN TEKNIS PERANGKAT ANTENA


2.9.1 SPESIFIKASI TEKNIK

PARAMETER SPESIFIKASI KETERANGAN

UHF Band IV &


470 - 860 MHz
V
Frekuensi range 174 – 230 MHz VHF Band III
88 – 108 MHZ VHF Band II
47 – 68 MHz VHF Band I
174
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Pada band
Return loss > 27 dB
frekuensi
Pada input
Impedansi input 50 Ohm
connector
Televisi, FM
Linier (Horizontal, Vertical) Radio
Polarisasi Linier (Vertical) AM Radio
(MW)
Non Linier (Circular) FM Radio
Horizontal
Pola Radiasi
Vertical
7,5 dBd Band I
Gain /panel (ref to half 7,5 dBd Band II
dipole) 8 dBd Band III
11 dBd Band IV / V

2.9.2 MODEL / TIPE

MODEL SPESIFIKASI KETERANGAN

2 dipole Band I, Band II dan Band III


Panel antena
4 dipole Band IV dan Band V
Band IV dan Band V
Slot antena

Yagi antena Band I, Band II, Band III

2.10 PERSYARATAN TEKNIS PERANGKAT FEEDER CABLE


2.10.1 SPESIFIKASI TEKNIK

PARAMETER SPESIFIKASI KETERANGAN

50 Ohm All Band


Impedansi
75 Ohn All Band
Return loss >26 dB (min) All Band
Velocity factor >82 % All Band

2.10.2 MODEL / TIPE

MODEL SPESIFIKASI KETERANGAN

Dielektrikum Udara
175
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Foam
Teflon
Heliax
Tipe Rigid
Waveguide
2. 11 PERSYARATAN TEKNIS PERANGKAT PIM

PERANGKAT SPESIFIKASI KETERANGAN

I/P & O/P impedance = 600 ohm Audio distribution


ADA
Adjustable O/P level = + 3 dB amp
I/P & O/P impedance = 75 ohm Video
VDA
Adjustable O/P level = + 3 Db distribution amp
Audio equalizer I/P & O/P impedance = 600 ohm
Video equalizer I/P & O/P impedance = 75 ohm
Mampu mengukur kedalaman
V/A Demodulator
modulasi pemancar TV
Mampu mengukur pulsa K rating
(2T,20T)
Video waveform
Mampu mengukur Diff Gain,
Linierity
Mampu mengukur perbedaan
Audio monitor
phase audio1 dan audio 2.

2.12 PERSYARATAN TEKNIS PERANGKAT ENCODER

PARAMETER SPESIFIKASI KETERANGAN

Digital & Anolog (stereo)


Full compliance with MPEG-2
Input audio
Mampu mengurai audio stereo
embedded dari digital video streams
Composite video
Input video Standard serial digital DVB – ASI
Output Standard serial digital DVB – ASI
System Error log terbaca pada panel LCD
alarms
2.13 PERSYARATAN TEKNIS PERANGKAT MODULATOR/EXCITER

PARAMETER SPESIFIKASI KETERANGAN

176
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Pal B/G
Televisi
Standar DVB-T

VHF (Band I,II. III)


Operasi frekuensi
UHF (Band IV,V)

IF frekuensi 38,9 Mhz Pal B/G

IF Band width 7 Mhz (B), 8 Mhz (G) TV analog


Input/Output 50 Ohm
Impedance
Input/Output matching >26dB
Input :
Video-analog 1Vpp 75 Ohm, RGB
Audio-analog L,R
Output:
Modulasi Analog (AM, FM) TV analog
Power output Adjustable s/d 20 watt
Kestabilan frekuensi ± 1hz
Amplitudo frekuensi ± 0,5 dB dalam band
respon frekuensi
Maksimum mismatch 2:1
Spurious emissions <-60 dB Terhadap
carrier
Harmonic emissions <-60 dB Terhadap
carrier
2.14 PERSYARATAN TEKNIS PERANGKAT UPLINK

PARAMETER SPESIFIKASI KETERANGAN

Operasi frekuensi C Band


Ku Band
IF frekuensi 70 Mhz
IF Band width 36 Mhz
Kompresi MPEG2 atau MPEG4
Power output Adjustable s/d 200 watt
Modulasi QPSK
Input/Output Impedance 50 Ohm
Input/Output matching >26dB
Kestabilan frekuensi ± 1hz
Amplitudo frekuensi ± 0,5 dB dalam band
respon frekuensi
Maksimum mismatch 2:1

177
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Spurious emissions <-60 dB
Harmonic emissions <-60 dB

Dish parabola Ǿ 1,8 m


Ǿ 2,5 m
Ǿ 3,0 m
Ǿ 4,5 m
2.15 PERSYARATAN TEKNIS PERANGKAT DOWNLINK/TVRO

PARAMETER SPESIFIKASI KETERANGAN

3,7 - 4,2 GHz C Band


LNB Input frekuensi
11,7 - 12,7 GHz Ku Band
LNB Output frekuensi 950 – 1450 MHz
Noise temperatur <15˚ K
Gain >65 dB
LO stabiliy ± 250 KHz
Cross polarisasi 25 dB
isolasi
IF frekuensi 70 Mhz
IF Band width 36 Mhz
Input/Output 50 Ohm
Impedance
Input/Output >26dB
matching
Kestabilan frekuensi ± 1hz
Amplitudo frekuensi ± 0,5 dB dalam band
respon frekuensi
Maksimum mismatch 2:1
Spurious emissions <-60 dB
Harmonic emissions <-60 dB
Dish parabola Ǿ 2,5 m
Tergantung
kebutuhan
Ǿ 3,0 m Tergantung
kebutuhan
Ǿ 4,5 m Tergantung
kebutuhan
2.16 PERSYARATAN TEKNIS PERANGKAT MICROWAVE LINK

PARAMETER SPESIFIKASI KETERANGAN

Class 2,5 Ghz Transmitter


Operasi frekuensi
Class 7 Ghz
178
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Class 12 Ghz
IF frekuensi 70 mHz Transmitter
IF Band width 20 Mhz Transmitter
Output Impedance 50 Ohm Transmitter
Input/Output matching >26dB Transmitter
Kestabilan frekuensi ± 1hz Transmitter
Power output Adustable s/d 5 Watt Transmitter
Amplitudo 25 Hz-5,5MHz ± 0,5 dB Transmitter
Videofrekuensi respon dalam band frekuensi
Modulasi FM Transmitter
Base band 25Hz-9MHz +/- 0,5 dB Transmitter
Video frekuensi 25Hz-5,5MHz +/- 0,5 dB Transmitter
Video pre-emphasis CCIR 625 Transmitter
Frekuensi deviasi +/- 2MHz Transmitter
Group delay (70 MHz +/-8MHz) <5nS Transmitter
Differential gain <1% Transmitter
Differential phase <1˚ Transmitter
Linearity <1% Transmitter
Audio range frek 20Hz-15KHz Transmitter
Audio preemphasis 50 uS Transmitter
Pilot audio carrier 7020, 7500, 8065, 8590 Transmitter
(KHz)
Audio deviasi 75 KHz pp Transmitter
Maksimum mismatch 2:1 Transmitter
Spurious emissions <-60 Db Transmitter
Harmonic emissions <-60 dB Transmitter
Modulasi Analog Transmitter
Digital
Dish parabola Ǿ 0,8 m Transmitter
Ǿ 1,2 m
Ǿ 2,5 m

Input level sensitivity -75 dBm Receiver


Base band 25Hz-9MHz +/- 0,5 dB Receiver
Video frekuensi 25Hz-5,5MHz +/- 0,5 dB Receiver
Group delay (70 MHz +/-8MHz) <5nS Receiver
Differential gain <1% Receiver
Differential phase <1˚ Receiver
Return loss >25 dB Receiver
Amplitudo 25 Hz-5,5MHz ± 0,5 dB Receiver
Videofrekuensi dalam band frekuensi
response
Video output level 1 Volt pp Receiver
Video output 75 Ohm Receiver
impedance
179
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Demodulator linierity 1% Receiver
Audio frek range 20Hz – 15 KHz Receiver
Audio outpu level 0dBm Receiver
Audio input impedance 600 Ohm Receiver
Audio pre-empahasis 50 uS Receiver
Audio Frekuensi (20Hz – 15 KHz) +/- 0,5 dB Receiver
response
Audio harmonic <0,5% Receiver
distortion
Sub carrier audio 7020, 7500, 8065, 8590 Receiver
frekuensi (KHz)
Audio deviasi 75 KHz pp Receiver
S/N >60 dB Receiver

2.17 PERSYARATAN TEKNIS PERANGKAT TRANSPOSER

PARAMETER SPESIFIKASI KETERANGAN

Input Frek range B I, B III, B IV, B V


Input Level sensitivity 200uV to 10mV
Input SWR <1,2
Noise figure <8Kt
Input connector N (female)
LO frek stability +/- 1ppm
Vision IF frek 38,9 MHz (CCIR)
IF filter SAW acoustic device
Output connector N (female)
Power output 10 – 50watt
In band <-55 dBc (dengan
intermodulation precorrector)
Spourious emission <-60 dBc (dengan output
filter)
Video Output:
S/N <-60 dB
Diff gain <2%
Diff phase <5˚
Group delay < +/- 50nS
3 PERSYARATAN TEKNIS PERANGKAT PENDUKUNG
3.1 PEDOMAN PERSYARATAN TEKNIS PERANGKAT UPS

PARAMETER SPESIFIKASI KETERANGAN

Power factor >95%


Nominal voltage 220/380 V

180
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Frekuensi 50 Hz ± 10%
Current distortion < 4%
< 2% (ph to ph)
Voltage distortion
< 5% (ph to net)
< 3% (ph to ph)
Voltage fluctuation
< 5% (ph to net)
< 2% (linier load)
Harmonic distortion
< 3% (non linier load)
Battery Sealed lead acid
Inverter bridge IGBT
3.2 PERSYARATAN TEKNIS PERANGKAT GENSET

PARAMETER SPESIFIKASI KETERANGAN

Voltage 220/380 V
3 phase
Voltage reg ± 1,5%
Generator Insulation class H
Power factor >0,8
Air cooling

XIX. .SINGKATAN:

1PPS One-pulse-per-second (signal from GPS receiver or other timing reference)


ACE Active Constellation Extension
AGC Automatic Gain Control
ASI Asynchronous Serial Interface
AWGN Additive White Gaussian Noise
BCH Bose-Chaudhuri-Hocquenghem multiple error correction binary block code
BER Bit Error Ratio
BPSK Binary Phase Shift Keying
BUFS ISSY variable indicating the maximum size of the requested receiver buffer
to compensate delay variations
CA Conditional Access
CDS Carrier-Distribution Sequence
COFDM Coded Orthogonal Frequency Division Multiplexing
CP Continual Pilot
CPE Common Phase Error
CSI Channel State Information
CSP Common Simulation Platform
CW Continuous Wave
DFT Discrete Fourier Transform
DJB De-Jitter Buffer
EIT Event Information Table
FEF Future-Extension Frame
181
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
FFT Fast Fourier Transform
FIFO First-In First-Out buffer
FPGA Field Programmable Gate Array
gcd(a, b) greatest common divisor of a and b
NOTE: Also known as highest common factor.
GCS Generic Continuous Stream
GFPS Generic Fixed Packet size Stream
GIF Guard-Interval Fraction (TG/TU)
GPS Global Positioning System
GSE Generic Stream Encapsulated
HEM High Efficiency Mode
I/L Frame InterLeaving Frame
IC Integrated Circuit
ICI Inter-Carrier Interference
ID Iterative Demapping
IFFT Inverse Fast Fourier Transform
ISI Intersymbol Interference
ISSY Input Stream SYnchronizer
LDPC Low Density Parity Check (codes)
LLR Log Likelihood-Ratio
MER Modulation Error Ratio
MFN Multiple Frequency Network
MIMO Multiple Input Multiple Output
MIP Megaframe Initialisation Packet
MODCOD MODulation and CODing
NOTE: This term is used to refer to a particular combination of constellation,
LDPC code rate and block length.
NIT Network Information Table
NM Normal Mode
NPD Null-Packet Deletion
OFDM Orthogonal Frequency Division Multiplexing
PAPR Peak-to-Average Power Ratio
PAT Program Association Table
PCR Programme Clock Reference
PCT Parity and Column Twist
PLP Physical Layer Pipe
PN Pseudo Noise
PSI/SI Program Specific Information / Service Information
QEF Quasi-Error-Free
QPSK Quaternary Phase Shift Keying
RF Radio Frequency
RMS root mean square
RS Reed-Solomon (codes)
SDT Service Description Table
SFN Single-Frequency Network
SI Service Information
SNR Signal-to-Noise Ratio

182
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
SP Scattered Pilot
Statmux Statistical multiplex
SYNCD the distance in bits from the beginning of the DATA FIELD of a
BBFRAME to beginning of the first transmitter User Packet that starts in the
DATA FIELD
T2dsd DVB-T2 delivery system descriptor
T2-MI DVB-T2 Modulator Interface
TDI Time De-Interleaver
TFS Time Frequency Slicing
TI-block Time-Interleaving block
TR Tone Reservation
TS Transport Stream
UHF Ultra High Frequency (band)
VBR Variable Bit Rate
VHF Very High Frequency (band)

183
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant
Tentang penyusun
Nama : Ir.M. Sukarna
Lahir : Bandung, 29 Januari 1952
Alamat e-mail : sukarna.m@gmail.com
Pendidikan :S1Tehnik Elektro, elektronika komunikasi
Institut Sains Teknologi Nasional (ISTN) Jakarta.

Pendidikan Nonformal
1973 : Diklat Operator pemancar TV, TVRI Training Centre (Jakarta)
1976 :Diklat Pemancar TV, TVRI Training Centre (Jakarta)
1978 : Diklat Pemancar TV & Transposer, Marconi College (England/ Norwegia)
1980 :Management Frekuensi TVRI, AIBD (Malaysia)
1989 : Konsep Dasar Management TVRI (Institut Pendidikan dan Pembinaan Management)
1989 :Lokakarya Teknik Mengajar TVRI (Institut Pendidikan dan Pembinaan Management)
1992 :Penataan frekuensi radio, Kalsruhe University (German).
1995 :Fabrikasi antenna pemacar TV, RFS (Australia).
Kegiatan Seminar .
ABU, general assembly :Kyoto, Jepang
ABU, general assembly :Hongkong
ABU, general assembly :Teheran, Iran
Riwayat Pekerjaan
1973 – 1994 :Pegawai Negeri Sipil TVRI Direktorat Televisi.
1994 – 1998 :LPS TPI (Televisi pendidikan Indonesia)
1998 – 2001 :Radio & Television Engineering Consultant
2001 – 2003 :LPS LATIVI Media Karya
2003 – 2007:LPS Cakrawala Andalas Televisi (ANTV).
2007:Anggota team nasional televisi digital, Kementrian Komunikasi dan Informatika.
2007 – 2009 :LPS TVONE,
2009:Tenaga ahli/konsultan dalam penyusun RDTP (Rencana Dasar Teknik Penyiaran) dan
PTPP (Persyaratan Teknik Perangkat Penyiaran) LPS (lembaga penyiaran swasta), Dit jen
SKDI Kementrian Komunikasi dan Informatika.

184
Teknik dasar penyiaran radio & televisi, ir.m.sukarna, television & radio
engineering consultant

Anda mungkin juga menyukai