Anda di halaman 1dari 16

BAGIAN NEUROLOGI REFARAT DAN LAPSUS

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

HUNTINGTON DISEASE

Disusun Oleh:
Fatimah Marwah
11120192062

Pembimbing
dr.Moch. Erwin Rachman, Sp.S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN NEUROLOGI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :


Nama : Fatimah Marwah
NIM : 11120192062
Universitas : Universitas Muslim Indonesia
Referat : Huntington Disease

Adalah benar telah menyelesaikan tugas kepanitraan klinik berjudul


Huntington Disease dan telah disetujui serta telah dibacakan dihadapan
supervisor pembimbing dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian
Neurologi RS Ibnu Sina Makassar Fakultas Kedokteran Universitas Muslim
Indonesia.

Makassar, Juli 2020


Supervisor Pembimbing

dr.Moch. Erwin Rachman, Sp.S


BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Huntington adalah penyakit warisan yang menyebabkan


kerusakan progresif (degeneratif) sel-sel saraf di otak. Penyakit
Huntington memiliki dampak yang luas pada orang yang
kemampuan fungsional dan biasanya hasil dalam gerakan, berpikir
(kognitif) dan gangguan kejiwaan. Kebanyakan orang dengan penyakit
Huntington mengembangkan tanda-tanda dan gejala dalam 40-an
mereka atau 50-an, tetapi onset penyakit mungkin sebelum atau
sesudahnya dalam hidup. Ketika onset penyakit dimulai sebelum usia
20, kondisi yang disebut penyakit Huntington remaja. Sebelumnya
onset sering mengakibatkan presentasi agak berbeda dari gejala dan
mempercepat perkembangan penyakit ini. Obat-obatan tersedia untuk
membantu mengelola gejala penyakit Huntington, tapi perawatan
tidak dapat mencegah penurunan fisik, mental dan perilaku yang
terkait dengan kondisi. Penyakit Huntington disebabkan oleh cacat
warisan gen tunggal. Penyakit Huntington adalah gangguan dominan
autosomal. Dengan pengecualian dari gen pada kromosom seks, orang
yang mewarisi dua salinan dari setiap gen,satu salinan dari setiap
orangtua. Orang tua dengan gen Huntington cacat bisa
menyampaikan salinan cacat gen atau Salin sehat. Setiap anak dalam
keluarga, oleh karena itu, memiliki kesempatan 50 persen mewarisi gen
yang menyebabkan gangguan genetik.

BAB II
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : Tn. T
Tanggal Lahir :-
Umur : 42 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan :-
Alamat :-
Tanggal Masuk :-

Persentasi kasus

Seorang pria berusia 42 tahun dirujuk ke neurogi karena sejarah


perkembangan selama 5 tahun penurunan nilai gaya berjalan ditandai dengan
ditandai ketidakstabilan postural. Selama setahun terakhir, dia merasakan
disartria, kecanggungan pada tungkai atas dan keluhan memori sepanjang
kesulitan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, yang mengharuskannya
untuk berhenti dari pekerjaannya 5 bulan sebelum waktu yang pertama
konsultasi. Riwayat penyakit keluarga ayahnya yang menderita gangguan
neurodegeneratif yang termasuk di antaranya gejalanya gangguan kognitif
dan gerakan gangguan pada usia 50 tahun. neneknya menderita kondisi
serupa yaitu, pada waktu itu, didiagnosis sebagai demensia.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umum normal. Penilaian kognitif di samping tempat tidur
menunjukkan Mini Skor Mental State 18/30 dan Clock Drawing Tes 3/7.
Pemeriksaan saraf kranial mengungkapkan nistagmus tidak ada, penilaian
saraf kranial lainnya biasa-biasa saja. Kami tidak menemukan disfungsi pada
piramidal. Refleks primitif didaptakan tanda glabellar tap adalah positif dan
bilateral refleks palmomental ada. Kekuatan otot normal.Kami menemukan
kekakuan yang melibatkan tubuh sebelah kanan dan bilateral bradikinesia
sedang di tungkai atas dan bawah. Pemeriksaan sensorik biasa-biasa saja.

Pemeriksaan Penunjang
Tes laboratorium rutin normal, kadar vitamin B 12 , asam dan tiroid folat
hormon yang normal juga. Penelitian Penyakit Serum Venereal Serologi
laboratorium dan HIV negatif. Otak MRI scan menunjukkan atrofi cerebellar
ringan tanpa caudate atrophy.
Kami memperoleh informed consent untuk melakukan studi genetik. Analisis
molekuler gen Huntingtin (HTT) menunjukkan 39 pengulangan CAG yang
tidak normal alel dalam ekson 1 dari gen HTT yang konsisten dengan
diagnosis molekuler Huntington Disease.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi

Penyakit Huntington (HD) adalah kelainan genetik neurodegeneratif


yang mempengaruhi otot koordinasi dan mengarah ke penurunan
kognitif dan masalah psikiatri. Biasanya mulai tampak pada usia
dewasa. HD adalah kelainan genetik paling umum yang menyebabka
pergerakan involunter disebut korea, dan memang penyakit ini
disebut juga Huntington korea. Hal ini jauh lebih umum pada orang
keturunan barat Eropa daripada di orang-orang keturunan Asia atau
Afrika. penyakit ini disebabkan oleh mutasi autosomal dominan di
salah satu dari seorang individu atau kedua salinan dari gen yang
disebut huntingtin , yang berarti mengenai pada seorang anak yang
terkena dampak dari salah satu orang tua yang memiliki 50 % risiko
penyakit yang mewarisi. gejala fisik di huntington di salah satu
penyakit yang dapat mulai dari bayi sampai usia tua usia, tetapi
yang antara 35 dan biasanya dimulai dari usia 44 tahun yang lalu
melalui antisipasi genetik yang ada penyakit ini akan berkembang
lebih awal di dalam hidup di setiap generasi berurutan . sekitar 6 %
dari kasus yang mulai sebelum usia 21 tahun ini dengan sindrom
akinetic rigid ; kemajuan yang lebih cepat dan mereka sedikit
berbeda varian tersebut adalah yang diklasifikasikan sebagai juvenile ,
varian westphal akinetic rigid Huntington disease.

Gen Huntingtin menyediakan informasi genetik untuk protein yang


juga disebut 'huntingtin'. Pengulangan CAG triplet dalam hasil gen
Huntingtin dalam bentuk (mutan) yang berbeda dari protein, yang
secara bertahap kerusakan sel-sel di otak, melalui mekanisme yang
tidak sepenuhnya dimengerti. The genetic basis of HD ditemukan
pada tahun 1993 oleh upaya kolaborasi internasional yang dipelopori
oleh Yayasan penyakit turun-temurun. Genetik pengujian dapat
dilakukan pada setiap tahap perkembangan stadium, bahkan sebelum
timbulnya gejala.Fakta ini menimbulkan beberapa perdebatan etis:
usia di mana seorang individu dianggap cukup dewasa untuk
memilih pengujian; Apakah orang-tua mempunyai hak untuk memiliki
anak-anak mereka diuji; dan mengelola kerahasiaan dan
pengungkapan hasil tes. Konseling genetik telah dikembangkan untuk
menginformasikan dan membantu orang-orang yang mengingat
pengujian genetik dan telah menjadi model untuk penyakit genetik
dominan lainnya.

3.2. Epiemiologi

Distribusi global Penyakit Huntington cukup menarik. Umumnya penyakit

tersebut diasosiasikan dengan populasi Eropa Barat, namun kasusnya juga

ada di wilayah lain seperti Tasmania dan Papua Nugini. Pada kasus

Tasmania, seorang Janda, yang pada 1848 meninggalkan desanya di

Somerset, Inggris dan pindah ke Australia bersama 13 anaknya. Pada1964,

sebagian besar di antara 120 orang penderita Huntington di Tasmania

merupakan keturunan keluarga tersebut. Pada kasus Papua Nugini,

kemungkinan Penyakit Huntington dibawa oleh para pemburuikan paus dari

New England pada awal abad ke-20. Buku harian mereka menceritakan

bahwa kapal mereka dikunjungi oleh warga pribumi yang telanjang dan ramah

dan selanjutnya beberapa anak hasil perkawinan warga pribumi dengan para

pelaut mewarisi gen salinan Penyakit Huntington. Data epidemiologis

menunjukkan bahwa Penyakit Huntington umumya menyebar melalui migrasi

manusia dari Eropa Barat.Kasus penyebaran Penyakit Huntington tertinggi di


dunia terletak di desa-desa terpencilsepanjang pantai Danau Maracaibo,

Venezuela. Penyakit tersebut datang (kemungkinan dari seorang pelaut

Inggris) pada awal abad ke-19 dan selanjutnya mengalami

peningkatanfrekuensi hingga lebih dari 70 kali lipat frekuensi biasanya di

Eropa Barat.

3.3. Etiologi

Huntington merupakan suatu penyakit yang bersifat genetik autosomal,

sehingga penyebab satu-satunya dari Huntington disease ini adalah

terjadinya pewarisan gen dari seorang pengidap ke anaknya, pada kasus

yang sangat jarang, diperkirakan jikalau Huntington Disease dapat terjadi

tanpa faktor keturunan ketika terjadi mutasi spesifik pada kromosom ke 4

yang menyebabkan terjadinya replikasi yang berlebihan pada trinukleotid

CAG.

3.4. Patofisiologi

Atrofi bilateral pada daerah kepala nukleus kaudatus dan putamen

merupakan karakteristik abnormalitas dari Huntington disease, dan umumnya

juga ditemukan atrofi girus pada daerah lobus frontal dan temporal. Atrofi dari

nuklelus kaudatus menyebabkan terjadinya perubahan penampakan dari

frontal horns yang terbentuk pada gambar CT scan kepala karena adanya

ventrikel lateral dextra dan sinisitra, karena kepala dari nukleus kaudatus

akan memberi gambaran menonjol pada ventrikel. Selain itu ventrikel otak

akan nampak membesar yang berjalan seiringan dengan progresivitas

penyakit ini. Secara mikroskopik, degenerasi yang terjadi dibagi menjadi 3

stadium, early, moderately advanced, dan far advanced. Pada stadium awal,
meskipun sudah terdiagnosa oleh pemeriksaan genetik, tidak terdapat lesi

striatal, sehingga dari hal ini dapat disimpulkan bila manifestasi yang muncul

terjadi karena adanya kelainan biokimiawi atau perubahan infrastruktural.

Penemuan ini didukung dengan pemeriksaan PET scan pada penderita

Huntington disease dimana ditemukan karakteristik penurunan metabolisme

glukosa di nukleus kaudatus yang mendahului hilangnya jaringan pada tahap

lanjut. Degenerasi striatal yang terjadi dimulai pada bagian medial nukleus

kaudatus dan menyebar ke daerah lateral. Sel-sel neuron yang ada pada otak

berukuran berbeda-beda dan umumnya degenerasi yang terjadi menyerang

neuron-neuron yang berukuran kecil. Dimulai dari hilangnya dendrit dari

neuron yang berukuran kecil, neuron yang berukuran besar umumnya tidak

terkena. Sel-sel yang mengalami degenerasi akhirnya digantikan oleh astrosit

yang bersifat fibrous. Daerah anterior dari kaudatus dan putamen umumnya

yang terkena secara lebih ekstensif dibandingkan daerah posteriornya.

Beberapa peneliti menemukan berbagai perubahan pada globus pallidus,

nukleus subthalamikus, nukleus merah, cerebellum, dan pars retikulata dari

substansia nigra. Pada daerah korteks serebrum, didapatkan neuronal loss

yang digantikan oleh jaringan glia. Mekanisme dari Huntington disease

merupakan suatu patogenesis yang jelas namun masih sulit dimengerti.

Ekspansi dari regio poliglutamine dari Huntingtin ( protein produk gen

Huntington ) menyebabkan terjadinya agregasi protein tersebut pada nukleus

neuron otak. Lebih dari itu, protein tersebut memiliki kecenderungan untuk

beragregasi pada neuron daerah striatal dan korteks otak. Hasil penelitian

dari Wetz menyimpulkan jikalau protein ini bersifat toksik terhadap neuron

secara langsung atau dalam bentuk yang tak teragregasi. Namun letak
permasalahannya ada pada dominasi agregasi protein Huntingtin yang

terutama pada daerah korteks, sedangkan neuron loss terdapat pada daerah

striatal. Sebuah teori menyatakan jikalau Huntingtin akan menyebabkan

neuron tertentu lebih sensitif pada glutamat- mediated eksitotoksisitas. Selain

itu, sekarang dikemukakan 2 mekanisme yang berdasarkan pada interupsi

transkripsi protein karena ikatan protein huntingtin pada protein untuk

transkripsi, atau terjadi disfungsi mitokondrial terjadi secara langsung atau

melalui mekanisme transkripsi yang sama. Karena ekspansi poliglutamine

ditemui pada berbagai kelainan neurodegeneratif.

3.5. Manifestasi Klinis

Gangguan mental dapat muncul sebagai gejala awal sebelum terjadi

kemunduran fungsi kognitif menjadi nyata. Hampir separuh dari pasien yang

memiliki Huntington, mengalami perubahan kepribadian yang mengganggu

orang-orang disekitarnya. Pasien umumnya mempersalahkan keadaan

dirinya kepada orang-orang lain, menjadi pencuriga, mudah tersinggung,

impulsif, tidak rapih, atau mendadak menjadi fanatik mengenai suatu

keyakinan. Pasien sering marah dan umumnya mencari suatu pelarian seperti

alkoholisme atau narkoba. Depresi ditemukan pada lebih dari separuh pasien

dengan Huntington. Setelah itu, tingkat kecerdasan pasien akan menurun

secara menyeluruh. Pasien akan menarik diri dari kehidupan sosial dan dapat

mengalami psikosis Penurunan kemampuan produktivitas kerja,

ketidakmampuan dalam menangani masalah, dan gangguan tidur

memerlukan konsultasi medis. Pasien akan mengalami kesulitan

berkonsentrasi dalam mempelajari suatu hal yang baru. Seiring berjalannya

waktu, kemampuan motorik pasien akan berkurang dan menghilang. Pasien


juga akan mengalami penurunan dalam kemampuannya berbahasa. Namun

umumnya ingatan pasien tetap terjaga. Hal tersebut dikategorikan sebagai “

Subcortical Dementia” Kelainan fungsi motorik akan muncul pertama pada

tangan dan wajah pasien. Umumnya pasien hanya akan dianggap resah oleh

orang-orang disekitarnya. Pergerakan tangan akan menjadi melambat dan

pasien akan kesulitan dalam melakukan hal yang didominasi tangan seperti

menulis. Hal ini akan terus berkembang sehingga menjadi suatu chorea.

Frekuensi berkedip akan meningkat, dan umumnya lidah pasien akan

dijulurkan, selain itu umumnya bila pasien ingin melakukan sesuatu,

pergerakannya akan terganggu karena kecenderungan gerakan chorea yang

tidak terkontrol. Tonus otot pasien akan menurun, terdapat rigiditas,

bradikinesia, dan tremor seperti pada parkinsonisme. Pada sepertiga pasien

mengalami hiperrefleks namun hanya beberapa yang menunjukan reflek

babinski positif. Pergerakan pasien menjadi lambat tanpa adanya penurunan

kekuatan atau ataxia. Pasien akan mengalami kesulitan berbicara karena

inkoordinasi otot-otot lidah dan diafragma Selain itu, pasien akan mengalami

kesulitan dalam menggerakan bola matanya baik dalam gerakan mengejar

ataupun melirik, sehingga umumnya pasien harus menoleh untuk dapat

melihat ke samping. Pasien akan mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi

pada satu titik, karena pasien tidak dapat melawan “ keinginannya “ untuk

menatap benda lain. Gejala chorea dan dementia dapat terjadi tidak

berurutan, namun pada umumnya bila gejala chorea dan dementia sudah

muncul, rata-rata dalam 10 – 15 tahun pasien akan memasuki fase vegetatif

dan kemudian meninggal karena infeksi atau keadaan medis lainnya.


3.6. Diagnosis

Bila pasien sudah menunjukan manifestasinya secara nyata, pemeriksaan

lanjutan tidaklah diperlukan. Kesulitan dalam penegakan diagnosis terutama

terletak pada kurangnya riwayat keluarga, namun menunjukan chorea yang

progresif, gangguan emosi, dan mengalami dementia. Namun hal tersebut

dapat diatasi dengan pemeriksaan genetik. Adanya pengulangan CAG lebih

dari 39 kali pada lokus huntington merupakan diagnosis definitif dari penyakit

huntington ini.

3.7. Diagnosis Banding

Bila Chorea muncul pada usia tua, kemungkinan penyebabnya bisa

bermacam – macam, contohnya senile chorea yang dapat disebabkan oleh

infeksi, hiperglikemia, stroke, dan tirotoksikosis. Namun umumnya senile

chorea menghilang dalam beberapa minggu. Untuk memastikan diagnosa

pada chorea yang muncul di usia tua, dapat dilakukan anamnesis lengkap

dan penyesuaian gejala dengan Huntington Disease, atau dengan

pemeriksaan gen Huntington Bila Chorea muncul pada usia muda, umumnya

dibandingkan dengan syndenham chorea, atau lupus dengan

antiphospholipid antibodies, atau penggunaan kokain, namun ketiganya tidak

memiliki hubungan familial yang nyata dan tidak terjadi penurunan tingkat

kecerdasan. “ Benign Inherited Chorea “ yang dapat diturunkan secara

autosomal merupakan salah satu diagnosis bandingnya, namun umumnya

Benign Inherited Chorea bermanifestasi pada usia sebelum 5 tahun,

progresivitasnya lambat, dan tidak ada gangguan mental. Terdapat beberapa


penyakit neurodegeneratif yang dapat dibandingkan dengan Huntington,

contohnya seperti polymyoclonus, acanthocytosis dengan chorea progresif,

atau dentatorubropallidoluysian degeneration yang hanya bisa disingkirkan

dengan pemeriksaan genetik Selain itu huntington disease juga dapat

dibandingkan dengan wilson disease dan tardive diskinesia. Wilson disease

dapat disingkirkan dengan pemeriksaan kadar serum tembaga dalam darah

dan ceruloplasmin, sedangkan untuk tardive diskinesia dapat disingkirkan

dengan anamnesa lengkap pasien terutama mengenai pengobatan terakhir

pasien.

3.8. Diagnosis Banding

Pada dasarnya Huntington tidak memeiliki terapi definitif karena bersifat

genetik, terapi yang ada hanya bersifat simptomatik dan suportif. Terapi

simptomatik untuk mengatasi gangguan emosi dan chorea dapat diberikan

Haloperidol ( 2 – 10mg ) namun pemberiannya harus dipantau dengan ketat

karena dapat menimbulkan ketergantungan dan diberikan dalam dosis yang

minimal. Levodopa dan dopamin agonis yang lain hanya memperburuk

manifestasi chorea. Obat-obatan yang memblok reseptor dopamine dapat

mengurangi gejala chorea ( reserpine, clozapine, terutama tetrabenazine )

namun efek sampingnya ( mengantuk dan tardive diskinesia ) melebihi

manfaatnya. Pada tahap awal, pemberian terapi seperti terapi parkinsonisme

dapat membantu untuk kekakuannya. Transplantasi jaringan ganglionik fetus

ke striatum pasien memberikan hasil yang tidak tetap. Umumnya pasien

huntington diberikan antidepresant karena selain merupakan salah satu

manifestasinya, pasien akan merasa tertekan dengan kenyataan penyakit ini.


3.8. Prognosis

Umumnya pasien akan secara progresif mengalami kehilangan fungsi motorik

dan mengalami dementia, sehingga pasien tidak dapat melakukan ADL. Rata-

rata, pasien Huntington akan mengalami kematian 15 – 20 tahun setelah

gejalanya muncul.
BAB IV

KESIMPULAN

Huntington disease merupakan suatu penyakit genetik yang tidak dapat

disembuhkan. Letak gen huntington ada pada kromosom ke 4. Karakterisitik

dari penyakit ini berupa dominasi genetik, chorea, dan dementia. Pasien

secara perlahan akan kehilangan kemampuan motoriknya dan mengalami

gangguan mental. Diagnosa pasti ditegakkan dengan pemeriksaan gen

darah. Terapi yang diberikan hanyalah bersifat simptomatik, suportif, dan

berupa konseling. Prognosis untuk pasien yang terdiagnosa dengan

Huntington disease adalah buruk.


DAFTAR PUSTAKA

1. Ropper A. H., Samuels M. A.. Adams and Victor’s : Principles of Neurology.

Edisi ke 9. Degenerative Diseases of the Nervous Systems. Hal. 1027 – 1031.

McGraw Hill. Singapore.2009.

2. Misulis K. E., Head T. C.. Netter’s : CONCISE NEUROLOGY. Disorders –

Movement. Hal. 162 – 163. Saunders Elsevier. Philadelphia. 2007

3. Simon R. P., Greenberg D. A., Aminoff M. J.. CLINICAL NEUROLOGY.

Edisi ke 7. Movement Disorders. Hal. 255 – 257. . McGraw Hill.

Singapore.2009.

Anda mungkin juga menyukai