Anda di halaman 1dari 177

MANTRA MELAUT PADA SUKU MELAYU ARAS

KABU: INTERPRETASI SEMIOTIKA

TESIS

OLEH:

IRWAN

NIM: 097009038

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013

Universitas Sumatera Utara


MANTRA MELAUT PADA SUKU MELAYU ARAS
KABU: INTERPRETASI SEMIOTIKA

TESIS

Untuk Memperolehg Gelar Magister Humaniora


dalam Program Studi Linguistikk pada Program Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara

OLEH:

IRWAN
NIM: 097009038

PROGRAM STUDI LINGUISTIK


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
201

Universitas Sumatera Utara


Judul Tesis : Mantra Melaut pada Suku Melayu Aras Kabu: Interpretasi
Semiotika
Nama Mahasiswa : Irwan
Nomor Pokok : 097009038
Program Studi : Linguistik

Menyetujui
Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si)


Ketua

(Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.)


Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc)

Universitas Sumatera Utara


Tanggal Lulus:

Telah diuji pada

Tanggal: 30 Desember 2012

Panitia Penguji Tesis

Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.


Anggota : Prof. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.
Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.
Prof. Dr. Hamzon Situmorang, M.S.
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Melalui tesis ini penulis mengkaji mantra melaut pada suku Melayu di
Araskabu, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara dengan interpretasi
semiotika. Adapun teori yang digunakan untuk mengkaji makna sosial adalah teori
semiotika sosial oleh Halliday dkk., di sisi lain untuk mengkaji lirik mantra melaut ini
semiotika Riffaterre. Untuk melengkapi kajian keduanya digunakan pula teori semiotik
Peirce. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan
bertumpu kepada data yang diperoleh dari para informan kunci.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut.
Mantra melaut adalah salah satu jenis mantra yang terdapat di dalam kebudayaan
Melayu Serdang di Aras Kabu. Mantra ini digunakan oleh para nelayan Melayu ketika
akan melaut, yang diucapkan dan diinternalisasikan di tangkahan tempat akan melaut.
Secara sosial dan visual mantra melaut dilakukan oleh para nelayan yang dipimpin oleh
salah seorang di antara mereka. Mantra ini dipercayai akan mendatangkan tangkapan
hasil laut yang memadai atas izin Allah. Struktur mantra melaut ini terdiri dari
basmalah, Al-Fatihah, shalawat, isi mantra, dan syahadatain. Ini bermakna bahwa
mantra melaut merupakan eksprtesi budaya Melayu yang berasaskan ajaran Islam.
Dalam mantra melaut juga terdapat kearifan lokal berupa penghayatan nilai tradisi,
menjaga keseimbangan alam, berserah diri pada Tuhan, dan lainnya.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Through this thesis the author examines a spell at sea on the Malays in
Araskabu, Deli Serdang regency, North Sumatra Province with semiotic interpretation.
The theory is used to assess the social meanings by social semiotics of Halliday et al.,
in another side to examine the lyrics spell at sea, I use Riffaterre’s semiotic. Then, to
analysis two side I use Peirce’s semiotic theory. The research method used was a
qualitative research method, relying on data obtained from key informants.
The results obtained in this study can be stated as follows. Spell to work on the
sea is one of the spells contained within the Malay culture in Aras Kabu Serdang. This
spell is used by fishermen when going to sea, spoken and internalized in small port
(tangkahan) place would go to sea. Socially and visual spells at sea by fishermen, led
by one of them. Spell is believed will bring adequate marine catch the permission of
Allah. The structure consists of a sail basmalah, Al-Fatihah, prayers, spells contents,
and syahadatain. This means that a spell at sea is a Malay culture expession, based on
Islamic religion. In spells at sea there is also local wisdom in the form of appreciation of
the value of tradition, maintaining the balance of nature, surrender to God, and others.

ii
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Penulis bersyukur kehadirat Allah SWT, atas segala taufik dan hidayah-Nya

yang telah memberikan kekuatan, kesehatan dan kesabaran sehingga tesis ini dapat

diselesaikan. Semoga Allah SWT. Terus melimpahkan karunia-Nya kepada penulis dan

semua umat manusia ke jalan yang telah digariskan-Nya.

Tesis ini berjudul MANTRA MELAUT PADA SUKU MELAYU ARAS

KABU: INTERPRETASI SEMIOTIKA, disusun sebagai salah satu persyaratan untuk

menyelesaikan pendidikan dan memperoleh gelar Magister Humaniora pada Sekolah

Pascasarjana, Program Studi Linguistik, Konsentrasi Sastra Etnik, Universitas Sumatera

Utara, Medan. Tesis ini berbasis pada penelitian lapangan di lokasi penelitian Aras

Kabu, Deli Serdang.

Tesis ini masih belum sempurna. Oleh sebab itu, diharapkan kritik dan saran

yang bersifat membangun dari pada pembaca. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita

semua.

Medan, Januari 2013

IRWAN
NIM. 097009038

iii
Universitas Sumatera Utara
UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis pertama sekali mengucapkan puji syukur atas rahmat dan hidayah-Nya

karena tesis ini dapat diselesaikan semasa studi dan pengumpulan data sampai

penyusunan tesis ini banyak dapat memperoleh dukungan dan bantuan dari berbagai

pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr.dr.Syahril Pasaribu,

DTM&H.M.Sc. (CTM), Sp.A.(k) yang banyak memberi bantuan baik dari segi

moral maupun material.

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr.

Erman Munir, M.Sc, yang telah memberi pengarahan dan saran-saran yang sangat

berguna.

3. Ketua Program Studi Linguistik, Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., .Ph.D., yang

telah memberi pengarahan dan saran-saran yang sangat berguna.

4. Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Bapak Dr. Syahron

Lubis, M.A. yang telah memberi izin kepada penulis melanjutkan studi ke jenjang

strata II dan memberi pengarahan dan saran-saran sangat berguna.

5. Seluruh Staf Pengajar Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan

terutama, Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. sekaligus pula sebagai

Pembimbing I dan Dr. Muhammad Takari, M.Hum. sebagai Pembimbing II yang

telah banyak membantu dan penuh perhatian memberi semangat dan dorongan

serta saran-saran yang bermanfaat ketika perkuliahan dan sampai selesai

penyusunan tesis ini.

6. Demikian pula kepada Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. serta Prof. Hamzon

Situmorang, M.S., Ph.D., diucapkan pula terima kasih atas jasa-jasanya

mendorong dan memberi semangat kepada penulis.

iv
Universitas Sumatera Utara
7. Seluruh staf administrasi yang sangat sabar dan tekun melayani keperluan

perkuliahan.

8. Istri tercinta Febriana Hasibuan yang setia dan anak-anak yang tersayang,

Mohammad Irfansyah Nasution, Mohammad Razzak Nasution, Mohammad

Zikrillah Nasution.

9. Teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Linguistik Sekolah

Pascasarjana USU Angkatan Tahun 2010, terutama Syaiful Hidayat yang telah

memberi semangat bagi penulisan tesis ini.

10. Ketua Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera

Utara, beserta staf pengajar yang selalu memberi dorongan dan saran-saran yang

bermanfaat.

Penulis berdoa dan bermohon kehadirat Allah SWT untuk semua pihak yang

telah memberi dukungan moral, agar memperoleh limpahan rahmat dan pahala. Amin

Medan, Januari 2013

IRWAN
NIM. 097009038

v
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Drs. Irwan

NIM : 097009038

Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 12 Oktober 1961

Agama : Islam

Pendidikan : 1. Sekolah Dasar Negeri No. 70 Medan Tahun 1969-1974

2. SMP Negeri VI Medan Tahun 1974-1977

3. SMA Lab. School IKIP Medan Tahun 1977-1982

4. USU Fakultas Ilmu Budaya Tahun 1983-1990 (Sarjana)

5. Sekolah Pascasarjana USU : 2009 – 2013

Pekerjaan : Star Pengajar Tetap Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

NIP : 1961 1012 1990 101 001

Alamat : Jl. Komplek Suka Maju Indah Blok BB No. 01 Sunggal

Medan

No. Telepon : (061) 8741325

HP : 085360646761

vi
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI

halaman
ABSTRAK .................................................................................................. i
ABSTRACT ................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ................................................................................ iii
UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... ix
DAFTAR BAGAN ……………………………………………………...... x
DAFTAR PETA …………………………………………………………. xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xii
DAFTAR FIGURA ................................................................................. xii

BAB I: PENDAHULUAN ......................................................................... 1


1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 7
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 8
1.3.1 Tujuan Penelitian .............................................................. 8
1.4.1 Manfaat Penelitian ............................................................ 8
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ......................................................... 9
1.5 Landasan Teori ............................................................................ 9

BAB II: KONSEP, TINJAUAN TEORETIS, DAN PENELITIAN


TERDAHULU ............................................................................ 14
2.1 Pengertian Mantra ...................................................................... 14
2.2 Pengertian Ritual ........................................................................ 16
2.3 Pengertian Tradisi Lisan ............................................................ 18
2.4 Pengertian Kearifan Lokal......................................................... 20
2.5 Semiotika ................................................................................... 24
2.5.1 Pengertian Semiotika ....................................................... 24
2.5.2 Teori dan Metode Semiotika Michael Riffaterre ............. 27
2.5.2.1 Ketidaklangsungan Ekspresi ............................... 27
2.5.2.2 Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik ............. 31
2.5.2.3 Matriks dan Model ............................................ 32
2.5.2.4 Hubungan Intertekstual ...................................... 33
2.5.3 Teori Semiotika Sosial .................................................... 34
2.5.4 Rangkuman Tiga Teeori Semiotika untuk Mengnalisis
Mantra Melaut ................................................................ 46
2.6 Penelitian Sebelumnya ............................................................. 49

BAB III: METODE PENELITIAN ......................................................... 55


3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 55
3.2 Pendekatan dan Metode Penelitian .......................................... 56
3.3 Data dan Sumber Data ............................................................. 58
3.4 Prosedur Pengumpulan Data .................................................. 59
3.5 Teknik Analisis Data ............................................................. 61

vii
Universitas Sumatera Utara
BAB IV: MANTRA DAN NELAYAN DALAM KONTEKS
BUDAYA MELAYU ARAS KABU ...................................... 62
4.1 Masyarakat Aras Kabu di Kabupaten Deli Serdang ............. 59
4.2 Kesultanan Serdang ........................................................... 67
4.3 Desa Aras Kabu .................................................................... 71
4.3.1 Adat Melayu Aras Kabu .............................................. 73
4.3.2 Sistem Kekerabatan Melayu Aras Kabu ....................... 79
4.4 Kosmologi Melayu Aras Kabu .............................................. 83
4.5 Jenis-jenis Mantra Melayu Aras Kabu .................................. 86
4.6 Nelayan di Aras Kabu ........................................................... 95
4.6.1 Alat-alat Menangkap Ikan di Laut .............................. 96

BAB V: ANALISIS SEMIOTIKA MANTRA MELAUT ..................... 99


5.1 Analisis Melalui Semiotika Sosial ........................................... 100
5.1.1 Pelaksanaan Ritual Mantra Melaut ................................. 100
5.1.2 Konteks Budaya Mantra Melaut ................................... 100
5.1.3 Konteks Situasi Mantra Melaut ...................................... 102
5.1.3 Semantik Gramatika Visual ........................................... 104
5.2 Analisis Melalui Semiotika Riffaterre .................................... 105
5.2.1 Ketidaklangsungan Ekspresi ......................................... 105
5.2.2 Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik ..................... 105
5.2.2.1 Heuristik ......................................................... 106
5.2.2.2 Hermeneutik .................................................. 117
5.2.3 Abstraksi Matriks dan Model ..................................... 133
5.2.4 Penafsiran Intertekstual ................................................ 136
5.3 Analisis Melalui Semiotika Peirce ......................................... 138

BAB VI: SIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 143


6.1 Simpulan ................................................................................. 144
6.2 Saran ....................................................................................... 145

Daftar Rujukan ........................................................................................ 146


Informan ................................................................................................... 151

viii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman


2.1. Hubungan Struktur Semiotika dengan Komponen Fungsi Semantik .. 39
2.2. Klasifikasi Sepuluh Tanda yang Utama dari Peirce ........................... 43

ix
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR BAGAN

No. Judul Halaman


2.1. Tiga Dimensi Tanda oleh Peirce ...................................................... 45
2.2. Mantra Melaut dalam Kebudayaan Melayu Aras Kabu dan
Teori Semiotika yang Digunakan untuk Menganalisisnya ................ 48
5.1. Struktur Mantra Melaut Melayu Aras Kabu ...................................... 116
5.2. Matriks dan Model Mantra Melaut .................................................... 136

x
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PETA

No. Judul Halaman


4.1. Kabupaten Deli Serdang ....................................................................... 66

xi
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman


4.1. Logo Kabupaten Deli Serdang ........................................................ 67
7.1. Haji Amiruddin (Informan Kunci) ................................................. 154
7.2. Tangkahan di Pesisir Pantai Pantai Labu ........................................ 155
7.3. Bahagian Haluan Sampan .............................................................. 155
7.4. Suasana Tangkahan ....................................................................... 156
7.5. Tempat Pelelangan Ikan ................................................................ 157
7.6. Sampan Sedang bersandar di Tangkahan ....................................... 158
7.7. Nelayan Sedang Membaca Mantra Berdiri di Tepi Pantai ............... 159

xii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR FIGURA

No. Judul Halaman


5.1. Imaji Visual dan Struktur Generik Ritual Mantra Melaut ....................102

xii
Universitas Sumatera Utara
BAB I

PENDAIIULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari manusia bekerja sesuai

dengan takdir dan kemampuannya. Ada yang bekerja sebagai pegawai, pengusaha,

pedagang, buruh, tani, nelayan, dan lain-lainnya. Dalam konteks Indonesia, sebahagian

besar rakyatnya adalah masyarakat agraris, artinya tergantung dari sektor industri

pertanian. Sektor ini menghasilkan tanaman pangan pokok seperti beras, dan juga

sayur-sayuran, kedelai, jagung, sagu, ubi, dan lain-lainnya. Di sisi lain, sebahagian

masyarakat kita mengandalkan sektor ekonominya dari hasil-hasil laut. Mereka ini

lazim kita sebut dengan nelayan. Biasanya masyarakat nelayan ini bermukim di

kawasan pesisir pantai lautan. Demikian juga secara umum masyarakat Melayu

sebahagiannya adalah nelayan yang mengandalkan perekonomian dari hasil laut ini.

Termasuk masyarakat Melayu di Aras Kabu, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi

Sumatera Utara, Indonesia.

Masyarakat nelayan di Desa Aras Kabu ini memiliki berbagai kearifan lokal

dalam konteks bekerja mencari ikan di laut. Mereka memiliki sistem kosmologi

tersendiri dalam memandang laut, daratan, alam semesta, dan manusia. Mereka tidak

semena-mena dalam mengeksploitasi alam. Ini tercermin dalam konsep adat: “memakai

yang memadai, mengambil yang sepadan, ingat keturunan, jangan habisi alam”

(wawancara dengan Tok Sokbi, 21 Oktober 2012) Salah satu yang menarik perhatian

penulis adalah digunakan dan difungsikannya mantra dalam rangka mencari ikan di

Universitas Sumatera Utara


laut. Tradisi ini lazim disebut dengan mantra melaut. Mantra memiliki kedudukan

penting dalam konteks tradisi lisan masyarakat Melayu.

Mantra adalah sesuatu yang lahir dari masyarakat sebagai perwujudan dari

keyakinan dan kepercayaan. Dalam masyarakat tradisional. mantra bersatu dan menyatu

dalam kehidupan sehari-hari. Seorang pawang atau dukun yang ingin menghilangkan

atau menyembuhkan penyakit misalnya, dilakukan dengan membacakan mantra dan

disertai ritus atau upacara secara khas. Berbagai kegiatan yang dilakukan terutama yang

berhubungan dengan adat biasanya disertai dengan mantra. Hal tersebut tidak

mengherankan mengingat bahwa terdapat suatu kepercayaan di tengah-tengah mereka,

bahwa orang yang sakit dapat disembuhkan dengan pembacaan suatu mantra tertentu.

Mereka sangat meyakini bahwa pembacaan mantra merupakan wujud dari sebuah usaha

untuk mencapai keselamatan dan kesuksesan. Untuk itu, keberadaan mantra menjadi

penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat.

Mantra dan masyarakat mempunyai hubungan yang erat. Artinya mantra ada

karena ada masyarakat pewarisnya. Masyarakat sangat meyakini bahwa pembacaan

mantra dan aktivitas ritualnya, merupakan wujud dari usaha untuk mencapai

keselamatan dnn kesuksesan. Lahirnya mantra di tengah masyarakat merupakan

perwujudan suatu keyakinan alau kepercayaan.

Kepercayaan tentang adanya suatu kekuatan gaib yang mendorong mereka

untuk merealisasikan kekuatan tersebut ke dalam wujud nyata untuk memenuhi

kebutuhan. Sebagai salah satu bentuk genre puisi lama, mantra timbul dari suatu hasil

imajinasi masyarakat dalam alam kepercayaan animisme. Masyarakat percaya akan

adanya hantu, jin, dan setan. Dalam pandangan mereka ada yang jahat dan selalu

mengganggu kehidupan manusia, tetapi ada pula yang sifatnya baik.

Universitas Sumatera Utara


Makhluk gaib yang bersifat baik tersebut justru dapat membantu kegiatan

manusia seperti berburu, bertani, menangkap ikan, dan sebagainya. Hal tersebut hanya

dapat terjadi apabila manusia menguasai mantra tertentu. Artinya pembacaan suatu

mantra tertentu dapat menimbulkan pengaruh magis (lihat Hooykaas, 1952: 20).

Menyinggung soal mantra, tentu tidak akan lepas dari persoalan tradisi lisan.

Mantra sebagai jenis sastra lisan yang diyakini memiliki pengaruh magis pastilah

penyebarannya dilakukan secara tertutup dari generasi ke generasi berikutnya.

Kenyataan itu sudah menjadi tradisi dalam suatu kelompok masyarakat sehingga dapat

dikatakan bahwa mantra adalah bahagian dari tradisi lisan. Badudu (1984:5)

mengatakan bahwa mantra adalah puisi tertua di Indonesia yang penyebarannya

berlangsung secara lisan dan ketat.

Setiap kelompok masyarakat tentu memiliki tradisi dan sastra lisan. Demikian

pula dengan kelompok masyarakat suku Melayu di Aras Kabu, Kabupaten Deli

Serdang. Pada umumnya suku Melayu Aras Kabu, Kabupaten Deli Serdang, menetap di

daerah pesisir laut karena terkait dengan mata pencaharian mereka sebagai nelayan.

Dalam realitas sosial, bahwa pola hidup masyarakat suku Melayu cenderung

memisahkan diri dari kehidupan kelompok masyarakat yang tinggal di darat. Pola hidup

seperti itu turut pula mempengaruhi perkembangan sastra-sastra lisan di daerah tersebut,

misalnya mantra, nazam, gurindam, seloka, pantun, karmina, dan lain-lainnya.

Kenyataan hidup seperti itu menimbulkan kesan bahwa masyarakat suku Melayu

cenderung menutup diri terhadap masyarakat yang berada di luarnya. Hal itu dapat

memberikan gambaran bahwa dalam lingkaran suku suku Melayu Aras Kabu,

Kabupaten Deli Serdang, ada hal menarik yang patut untuk mendapatkan perhatian

khusus. Dalam hal ini adalah yang berkaitan dengan sastra lisan yaitu mantra.

Universitas Sumatera Utara


Pada dasarnya, mantra terdiri atas beberapa macam berdasarkan jenis dan

fungsinya. Di antaranya adalah: mantra bercocok tanam, minta pengasih, mantra

melaut, dan lain sebagainya. Mantra jenis apa pun diyakini memiliki fungsi tersendiri

sesuai dengan keyakinan pemakainya. Mantra bercocok tanam misalnya, mantra ini

digunakan dalam kaitannya dengan kegiatan bercocok tanam, dalam kaitan sebagai

masyarakat petani. Demikian pula halnya dengan mantra melaut. Mantra ini digunakan

khusus ketika sedang melakukan aktivitas yang berhubungan dengan melaut, yaitu

aktivitas mencari ikan atau hasil-hasil laut lainnya..

Dalam hubungannya dengan masyarakat suku Melayu Aras Kabu, Yos Rizal

(2000:3) memberi pengertian mantra melaut yaitu mantra yang digunakan oleh

masyarakat suku Melayu Aras Kabu pada saat akan turun melaut atau pada saat akan

melaut, hingga selesai melaut. Mantra melaut dan masyarakat suku suku Melayu Aras

Kabu adalah dua hal yang memiliki hubungan yang erat. Dalam komunitas suku

Melayu Aras Kabu, tumbuh suatu keyakinan terhadap adanya suatu mantra yang

memberi peranan penting dalam kehidupan mereka. Keyakinan tersebut berkaitan erat

dengan kegiatan mereka sebagai nelayan.

Sebagai masyarakat nelayan yang mata pencahariannya terdapat di laut, mereka

melakukan kegiatannya dengan sangat hati-hati dan penuh pertimbangan. Mulai dari

saat akan ke laut sampai kembali lagi ke darat. Hal tersebut penting dilakukan

mengingat laut adalah medan yang sarat dengan bahaya yang sewaktu-waktu dapat

mengancam keselamatan. Dibandingkan dengan darat, laut lebih berbahaya dan penuh

tantangan. Cuaca di laut yang sewaktu-waktu dapat berubah adalah momok yang sering

dihadapi oleh para nelayan.

Suku Melayu Aras Kabu meskipun cukup berpengalaman di laut, mereka tetap

melakukan persiapan yang penting untuk setiap aktivitasnya. Sebelum melaut, mereka

Universitas Sumatera Utara


harus memiliki bekal yang cukup agar pekerjaannya dapat diselesaikan dengan baik dan

kembali dengan selamat. Bekal yang diperlukan berupa dalam wujud nyata dan tidak

nyata.

Bekal dalam wujud nyata dimaksudkan sebagai bekal pengetahuan mengenai

keadaan laut, cuaca, perahu yang bagus, cara melaut yang baik, dan sebagainya yang

ditunjang dengan pengalaman melaut yang terlatih. Bekat dalam wujud tidak nyata

adalah bekal pengetahuan yang berkaitan dengan unsur magis, yaitu mantra. Mantra

dalam hal ini merupakan suatu bentuk komunikasi satu arah kepada Sang Penguasa

(Tuhan Yang Maha Kuasa) untuk memperoleh keselamatan dan kebaikan. Membaca

mantra adalah upaya untuk memohon perlindungan kepada Tuhan baik secara langsung

maupun dengan melalui perantaraan makhluk gaib.

Dari uraian tersebut di atas, terlihat bahwa mantra melaut memiliki peranan

yang cukup penting dalam kehidupan masyarakat suku Melayu Aras Kabu sebagai

masyarakat pelaut. Oleh karena itu mantra melaut menarik untuk dipahami lebih jelas

melalui suatu kajian yang lebih terfokus.

Mantra melaut yang diperoleh pada penelitian sebelumnya, disusun atas larik-

larik yang hanya terdiri dari satu bait. Jumlah larik yang terdapat pada mantra melaut

beragam mulai dari mantra yang hanya terdiri dari tiga larik sampai pada mantra yang

terdiri dari sepuluh larik. Setiap mantra melaut dimulai dengan kata

Bismillahirrahmanirohim dan masing-masing mantra memiliki fungsi sendiri-sendiri.

Berikut adalah salah satu contoh mantra melaut.

Bismillahirahrnanirrahim
Raja Anggun
Raja Turun
Raja Menurun
Aaaa ...

Universitas Sumatera Utara


Mantra melaut sebagai sebuah karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai

mediumnya merupakan sistem tanda yang mempunyai makna. Ratna (2006:97)

menyatakan bahwa dengan perantaraan tanda-tanda, proses kehidupan manusia menjadi

lebih efisien. Dengan perantaraan tanda-tanda, manusia dapat berkomunikasi dengan

sesamanya bahkan dengan makhluk di luar dirinya sebagai manusia. Untuk itu, mantra

melaut sebagai salah satu jenis puisi lama, menarik untuk dikaji dari aspek semiotika.

Berangkat dari pemikiran yang telah dikemukakan di atas, maka penulis

menyadari bahwa penelitian sebelumnya masih sangat terbuka untuk dikembangkan.

Untuk itu, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian lanjutan terhadap mantra

melaut masyarakat suku Melayu Aras Kabu dengan memfokuskan pada kajian

semiotika. Melakukan analisis semiotika terhadap mantra melaut akan dapat membantu

untuk menangkap makna yang terkadung dalarn mantra tersebut. Hal ini sejalan dengan

pemikiran Zoest (1991) bahwa proses penafsiran dapat terjadi karena tanda yang

bersangkuan merujuk pada suatu kenyataan atau denotatum (Zoest, 1991:3).

Menurut Barker (2006:l2), yang sangat penting dalam proses pemaknaan adalah

bagaimana makna diproduksi dalam interaksi antara teks dan pembacanya sehingga

momen konsumsi juga merupakan momen produksi yang penuh makna. Hal ini berarti

bahwa suatu pemaknaan akan menjdi lebih utuh apabila seorang pembaca mampu

memahami konteks nyata yang terdapat pada sebuah teks.

Dalam kaitannya dengan pemaknaan, pembacalah yang seharusnya bertugas

memberi makna karya sastra. Khusus pemaknaan terhadap puisi, proses pemaknaan itu

dimulai dengan pembacaan heuristik, yaitu menemukan makna (meaning) unsur-

unsurnya menurut kemampuan bahasa yang berdasarkan fungsi bahasa sebagai alat

komunikasi tentang dunia luar (mimetic function). Akan tetapi, pembaca kemudian

harus meningkatkannya ke tataran pembacaan hermeneutik, yang di dalamnya kode

Universitas Sumatera Utara


karya sastra tersebut dibongkar (decoding) atas dasar significancenya. Untuk itu, tanda-

tanda dalam sebuah puisi memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan

terbadapnya (lihat Riffaterre, 1978:4-6).

Riffaterre lebih jauh menjelaskan bahwa untuk melakukan pemaknaan secara

utuh terhadap sebuatr puisi, pembaca hartrs bisa menentukan matriks dan model yang

terdapat dalam karya itu. Selain itu, harus pula dilihat dalam hubungannya dengan teks

lain/ intertekstual (Riffaterre, 1978:6).

Melalui bukunya Semiotics of Poetry (1978), Riffaterre mengungkapkan metode

pemaknaan puisi secara semiotika dengan tuntas. Berdasarkan hal itu, penulis merasa

tepat untuk menerapkannya. pada pemaknaan terhadap mantra melaut suku Melayu

Aras Kabu sebagai salah satu jenis puisi, yang akan dilakukan pada penelitian ini.

Langkah-langkah pemaknaan terhadap sebuah puisi yang dikemukakan oleh Riffaterre

sangat memberikan ruang rmtuk dapat mengungkap makna yang terdapat dalam mantra

melaut suku Melayu Aras Kabu secara total.

1.2 Rumusan Masalah

Pentingnya melakukan penetitian terhadap mantra melaut dalam masyarakat

Melayu Aras Kabu tersebut tidak hanya demi mengembangkan sastra daerah itu semata-

mata, tetapi juga untuk menjawab sejumlah masalah yang ada. Masalah pokok yang

perlu diuraikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kandungan makna mantra melaut suku Melayu Aras Kabu

berdasarkan pembacaan heuristik dan hermeneutik?

2. Bagaimanakah matriks dan model yang terdapat dalam mantra melaut suku

Melayu Aras Kabu?

Universitas Sumatera Utara


3. Bagaimanakah hubungan intertekstual mantra melaut suku Melayu Aras Kabu

dengan teks lain?

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.2.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan

penelitian ini adalah sebagai berikut.

l. Mendeskripsikan makna yang terkandung pada mantra melaut suku Melayu

Aras Kabu berdasarkan pembacaan heuristik dan hermeneutik.

2. Mendeskripsikan matriks dan model yang terdapat dalam mantra melaut suku

Melayu Aras Kabu.

3. Mencari dan menganalisis hubungan intertekstual mantra melaut suku Melayu

Aras Kabu dengan teks lain.

1.2.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada pembaca,

khususnya pembaca di bidang sastra berupa pemahaman mengenai kandungan makna

mantra melaut suku Melayu Aras Kabu berdasarkan pembacaan heuristik dan

hermeneutik, matriks, dan model yang terdapat dalam mantra melaut suku Melayu Aras

Kabu, dan hubungan intertekstual mantra melaut suku Melayu Aras Kabu dengan teks

lain.

Manfaat lain dari hasil penelitian ini adalah pembaca diharapkan mendapat

pemahaman bahwa karya sastra lisan khususnya mantra, menarik untuk diteliti secara

ilmiah dari aspek semiotika. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat

Universitas Sumatera Utara


bermanfaat sebagai bahan rujukan atau bahan perbandingan untuk penelitian sejenis

yang dilakukan terhadap karya sastra lain.

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

Sesuai dengan judul usulan penelitian ini yakni Mantra Melaut suku Melayu

Aras Kabu: Interpreiasi Semiotika, ruang lingkup penelitian ini dibatasi hanya pada

mantra melaut yang digunakan oleh masyarakat suku Melayu Aras Kabu. Mantra

melaut yang akan dikaji adalah mantra ketika nelayan hendak pergi melaut, atau mantra

sebagai persiapan bekerja di tengah lautan nantinya. Mantra ini ini biasanya dibacakan

ketika berada di kuala atau di tangkahan di mana sampan untuk menangkap ikan

ditambatkan.

1.4 Landasan Teori

Karya sasta hadir dalam dua bentuk, yakni sasta lisan dan sastra tulis. Teeuw

(1984:279) mengemukakan bahwa sastra tulis tidak memerlukan komunikasi secara

langsung antara pencipta dan penikmat--sedangkan sastra lisan biasanya berfungsi

sebagai sastra yang dibacakan atau yang dibawakan bersama-sama.

Sastra lisan merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan

berkembang di tengah-tengah masyarakat dan diwariskan secara turun-temurun secara

lisan sebagai milik bersama. Menurut Rusyana dan Raksanegara (1978:56), sastra lisan

itu akan lebih mudah digali karena ada unsurnya yang mudah dikenal oleh masyarakat.

Lebih jauh, bahwa sastra lisan merupakan pencerminan situasi, kondisi, dan tata krama

masyarakat pendukungnya.

Pada umumnya, sastra lisan dikemas melalui tanda-tanda yang mengandung

banyak makna. Makna yang terkandung di dalamnya merefleksikan realitas yang

Universitas Sumatera Utara


terdapat di dalam masyarakat penutumya. Misalnya, mantra melaut suku Melayu Aras

Kabu. Mantra tersebut sarat dengan tanda-tanda yang memuat banyak makna Untuk

makna tersebut, terlebih dahulu harus dapat dikenali tanda-tanda yang membangunnya.

Dengan demikian, teori semiotika dianggap paling tepat digunakan untuk dapat

menguraikan makna tanda-tanda yang terdapat dalam mantra melaut suku Melayu Aras

Kabu.

Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda (Zaidan, 2002:22). Ilmu ini

berpandangan bahwa fenomena sosial dan budaya pada dasarnya merupakan tanda-

tanda. Semiotika mengkaji sistem-sistem, aturan-aturan dan konvensi-konvensi yang

memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti.

Dua tokoh penting perintis ilmu semiotika modern, yaitu Charles Sanders Peirce

(1839-l9l4 ) dan Ferdinand de Saussure (1857-1813) mengemukakan beberapa pendapat

mereka mengenai semiotika. Saussure menampilkan semiotika dengan membawa latar

belakang ciri-ciri linguistik yang diistilahkan dengan semiologi, sedangkan Peirce

menampilkan latar belakang logika yang diistilahkan dengan semiotika. Peirce

mendudukkan semiotika pada berbagai kajian ilmiah (lihat Zoest 1993:l-2).

Dalam penelitian ini, konsep semiotika yang digunakan adalah konsep yang

didasarkan pada pemikiran Saussure yang dikembangkan oleh Riffaterre. Hal ini

didasarkan pada pertimbangan bahwa konsep semiotika yang dikembangkan oleh

Riffaterre, penulis anggap tepat untuk diterapkan dalam penelitian ini. Konsep dan teori

yang digunakan Riffaterre lebih mengkhusus pada pemaknaan puisi secara semiotika,

sehingga lebih memberikan ruang untuk interpretasi makna yang akan dilakukan dalam

penelitian ini. Untuk puisi, secara semiotika Riffaterre dalam bukunya Semiotics of

Poetry (1978) mengemukakan empat hal pokok sebagai langkah pemroduksian makna.

Universitas Sumatera Utara


(1) Hal pertama adalah bahwa puisi merupakan aktivitas bahasa yang berbeda

dengan pemakaian bahasa pada umumnya. Puisi memiliki bahasa yang dapat

menyatakan beberapa konsep secara tidak langsung. Dalam puisi, ketidaklangsungan

ekspresi menduduki posisi yang utama, Ketidaklangsungan ekspresi yang dimaksud

disebabkan oleh adanya penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti

(distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Riffaterre (1978:2)

menyatakan bahwa penggantian arti disebabkan oleh penggunaan metafora dan

metonimi, serta bahasa kiasan yang lain. Penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal,

yaifu ambiguitas (ketaksaan), kontradiksi, dan nonsens. Penciptaan arti diciptakan

melalui enjambement, homologue, dan tipografi.

(2) Hal kedua adalah pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik.

Pembacaan heuristik adalah pembacaan pada taraf mimesis atau pembacaan yang

didasarkan konvensi bahasa. Karena bahasa memiliki arti referensial, pembaca harus

memiliki kompetensi linguistik agar dapat menangkap arti (meaning). Kompetensi

linguistik yang dimiliki oleh pembaca itu berfungsi sebagai sarana untuk memahami

beberapa hal yang disebut sebagai ungramatikal (ketidakgramatikalan teks). Pembacaan

ini juga disebut dengan pembacaan semiotika pada tataran pertama. Dalam pembacaan

pada tataran ini, masih banyak arti yang beraneka ragam, makna yang tidak utuh, dan

ketakgramatikalan. Untuk itu, pembacaan pada tataran ini masih perlu dilanjutkan ke

pembacaan tahap kedua. Pembacaan tataran kedua yang dimaksud adalah pembacaan

hermeneutik. Pada pembacaan ini, akan terlihat hal-hal yang semula tidak gramatikal

menjadi himpunan kata-kata yang ekuivalen (Riffaterre,1978:54).

(3) Hal ketiga adalah penentuan matriks dan model. Dalam hal ini, matriks dapat

dimengerti sebagai konsep abstrak yang tidak pernah teraktualisasi. Konsep ini dapat

dalam satu kata atau frase. Meskipun demikian, kata atau frase yang dimaksud tidak

Universitas Sumatera Utara


pemah muncul dalam teks puisi yang bersangkutan, tetapi yang muncul adalah

aktualisasinya. Aktualisasi pertama dari matriks adalah model. Model ini dapat berupa

kata atau kalimat tertentu. Berdasarkan hubungan ini, dapat dikatakan bahwa matriks

merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas

derivasi itu (Riffaterre,1978:19-21).

(4) Hal keempat adalah prinsip intertekstual. Prinsip intertekstual adalah prinsip

hubungan antar teks sajak. Sebenarnya hal itu berangkat dari asumsi bahwa karya sasta

termasuk puisi, tidak lahir dari kekosongan budaya. Dalam keadaan seperti ini, sebuah

sajak merupakan respons atau tanggapan terhadap karya-karya sebelumnya. Tanggapan

tersebut dapat berupa penyimpangao atau penerusan tradisi. Dalam hal ini, mau tidak

mau terjadi proses transformasi teks. Mentransformasikan adalah memindahkan sesuatu

dalam bentuk atau wujud lain yang pada hakikatnya sama (Pradopo, 1994:25). Dalam

proses tersebut dikenal adanya istilah hipogram. Riffaterre (1978:2) mendefinisikan

hipogram adalah teks yang menjadi latar atau dasar penciptaan teks lain. Dalam

praktiknya, hipogram dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hipogram potensial dan

hipogram aktual. Hipograrn potensial yang dapat ditelusuri dalam bahasa bersifat

hipotesis, seperti yang terdapat dalam matriks, sedangkan hipogram aktual bersifat

nyata atau eksplisit.

Keempat hal pokok tersebut di atas yang dikemukakan oleh Riffaterre sebagai

langkah pemroduksian makna, tiga di antaranya akan digunakan sebagai acuan untuk

mengungkap makna yang terkandung dalam mantra melaut suku Melayu Aras Kabu.

Lewat tanda-tanda yang terdapat dalam mantra itu, maka proses pemaknaan akan

dilakukan.

Dengan bertotak pada kerangka teori di atas, dapat dikatakan bahwa untuk dapat

memahami hakikat makna dari mantra melaut suku Melayu di Aras Kabu, perlu

Universitas Sumatera Utara


dilakukan interpretasi semiotika. Interpretasi ini selanjutnya akan mempertimbangkan

dan menerapkan dua sisi pandang. Sisi pertama adalah cara pandang masyarakat

Melayu Aras Kabu sebagai pengamal dan penghayat mantra melaut ini dalam budaya

mereka. 1 Sisi kedua adalah perlunya penafsiran berdasarkan kaidah-kaidah saintifik

terhadap mantra melaut yang diamalkan oleh para nelayan di Aras Kabu Deli Serdang.

Dua titik pandang ini menghasilkan suatu sintesa keilmuan yang tentu berdasar kepada

empirisme, logika, pembuktian, penelaahan, tafsiran, dan hasil yang diperoleh dari

penelitian lapangan (field work).

1
Dalam dunia ilmu pengetahuan, pendekatan seperti ini lazim disebut dengan pendekatan emik.
Artinya adalah bahwa penelitian yang dilakukan lebih menumpukan perhatian kepada pendapat-pendapat
informan kunci dalam rangka memahami makna-makna yang terkandung di dalam kebudayaan yang
diteliti dalam konteks kerja ilmiah. Namun demikian, seorang peneliti tidaklah harus sepenuhnya
berdasarkan kepada penjelasan yang diperoleh dari para informan kunci. Seorang peneliti diharapkan
lebih jauh menafsirkan sumber data berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang diperoleh dari kinerjanya
sebagai ilmuwan. Tentu saja penafsiran ini bisa berbeda-beda antara seorang peneliti dengan peneliti
lainnya, yang pasti akan dilatarbelakangi oleh pengalaman keimlmuannya. Pendekatan kedua ini lazim
disebut sebagai pendekatan etik.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

KONSEP, TINJAUAN TEORETIS,

DAN PENELITIAN TERDAHULU

Mantra melaut dalam kebudayaan etnik Melayu, khususnya di Desa Aras Kabu,

Kabupaten Deli Serdang adalah bahagian dari tradisi masyarakatnya. Mantra melaut ini

memiliki kaitan erat dengan upacara atau ritual, tradisi lisan (termasuk sastra lisan), dan

kearifan lokal. Di dalam mantra melaut ini terdapat makna-makna bahasa yang bisa

dimenggerti dengan jalan menafsirkan berdasarkan kebudayaan di mana mantar ini

hidup. Untuk kepentingan tersebut, secara saintifik perlu dijelaskan teori semiotika.

Pada Bab II ini akan diuraikan konsep-konsep tersebut di atas, serta tinjauan teori

semiotika, dan peneltiian terdahulu yang berkaitan dengan topik penelitian ini yang

telah dilakukan oleh para penulis atau peneliti.

2.1 Pengertian Mantra

Mantra adalah salah wujud kebudayaan yang umum dijumpai di Nusantara ini.

Mantra selalu menggunakan bahasa verbal dan juga pilihan kata yang khas, yang

maknanya baru dapat diketahui melalui pembacaan kultural dan saintifik secara

mendalam, berdasarkan kebudayaan di mana mantra itu hidup.

Di dalam masyarakat Minangkabau misalnya terdapat mantra sijundai yang

bertujuan untuk membuat orang lain menjadi gila. Dalam kebudayaan Melayu terdapat

mantra ulit mayang yang bertujuan untuk mengobati orang yang sakit karena gangguan

makhluk halus (jembalang). Dalam masyarakat Jawa terdapat mantra pengasih yang

bertujuan agar seseorang dikasihi atau dicintai oleh orang lain. Begitu juga dalam

Universitas Sumatera Utara


berbagai etnik lainnya di Nusantara ini terdapat mantra-mantra yang khas kebudayaan

setempat. Bagaimanapun, mantra ini berkait erat dengan sistem religi dan kosmologi

yang dipercayai dalam suatu kebudayaan etnik.

Menurut Haron Daud (2001:21) mantra ialah semua jenis pengucapan dalam

bentuk puisi atau bahasa berirama, yang mengandung unsur magis dan diamalkan oleh

orang tertentu, terutama bomoh, 2 dengan tujuan kebaikan atau sebaliknya. Mantra itu

mempunyai simbol tersendiri yang perlu diketahui untuk memahami mantra sebagai

sastra lisan atau lebih tepat lagi tradisi lisan. Lebih-lebih lagi menurut mereka, sebagai

tradisi lisan, mantra sangat erat hubungannya dengan kepercayaan dan pandangan hidup

(world view) masyarakat di mana mantra itu wujud.

Mantra dipercayai berasal dari arwah leluhur. 3 Kata-kata leluhur juga dianggap

berasal dari Tuhan (Yang Maha Kuasa). Pesan Tuhan yang diteruskan kepada leluhur

melalui media komunikasi yang berbeda. Pada saat nenek moyang mengekspresikan

artikulasi pesan Tuhan dalam formula lisan, maka pesan itu menjadi tuturan. Mantra

kemudian menjadi sarana komunikasi yang dapat dipakai untuk berhubungan dengan

makhluk supernatural, dan juga dapat menghubungkannya dengan sumber kekuatan dari

2
Di dalam kebudayaan masyarakat di Nusantara ini, istilah bomoh dalam bahasa Melayu ini,
memiliki kaitan dengan peristilahan yang digunakan oleh berbagai etnik yang merujuk kepada pengertian
yang sama atau hampir sama. Dalam bahasa batak Toba dikenal dengan datu atau datu bolon yang artinya
adalah dukun atau dukun besar. Dalam kebudayaan masyarakat Mandailing dikenal dengan guru sibaso.
Kemudian dalam masyarakat Karo dikenal dengan terminologi guru. Dalam masyarakat Sunda dan Jawa
dikenal dengan istilah dukun atau mbah dukun. Selanjutnya pada masyarakat Nias dikenal dengan foere.
Prinsipnya bomoh, dukun, atau istilah-istilah rersebut merujuk kepada seseorang yang menguasai mantra
dan dapat memanfaatkannya dalam berbagai aktivitas sosial dan budaya, yang melibatkan sistem religi
dan kosmologi, yang berkaitan dan berhubungan dengan makhluk gaib. Pada masa sekarang ini, istilah
bomoh atau dukun sering pula digeneralisasi dengan istilah paranormal sebagai unsur serapan yang
berasal dari bahasa Inggris.
3
Dalam kajian-kajian terbentang sistem religi, kepercayaan kepada roh leluhur dan juga
kemudian menyembah dan menghormatinya adalah bagian penting dalam tradisi animisme. Roh leluhur
yang telah meninggal ini dipercayai akan dapat menolong dan membantu kehidupan keturunannya di atas
dunia ini, dari gangguan-gangguan supernatural, bahkan roh leluhur akan dapat membantu rezeki para
leluhurnya. Di samping itu, animsime ini selalu dikaitkan juga dengan dinamisme, yaitu kepercayaan
kepada makhluk-makhluk gaib selain manusia, flora, dan fauna di bumi ini. Makhluk gaib tersebut
memiliki kekuasaan yang besar, merea hidup di pohon-pohon besar, batu-batu, gua, dan berbagai tempat
lainnya. Di sisi lain ada juga kepercayaan yang disebut totemisme, yaitu makhluk gaib yang berwujud
hewan-hewan tertentu seperti harimau, singa, buaya, dan lain-lain. Oleh karena itu makhluk-makhluk
totem ini perlu dihormati.

Universitas Sumatera Utara


kuasa tersembunyi. Mengucapkan mantra atau formula dari leluhur akan dapat

membangkitkan kekuatan spiritual, sama seperti yang dilakukan oleh nenek moyang

zaman dahulu kala (Kang, 2005:69).

Menurut Goffman (1979), mantra meliputi tiga tingkatan penutur: (a) Tuhan

sebagai penutur tertinggi mantra, (b) leluhur sebagai penulis (author), dan (c) pelaku

sekarang sebagai animator. Di luar perubahan penutur, mantra-mantra tetap efektif

karena kata-kata itu sendiri mengandung kekuatan magis. Bahkan dengan mengulang-

ulang kata-kata itu dalam konteks masa kini, akan membawa kekuatan kreatif yang

sama seperti ketika digunakan oleh para leluhur. Melalui kata-kata yang sama dengan

yang diucapkan oleh para leluhur, orang dapat membawa kekuatan magis dalam konteks

masa kini.

2.2 Pengertian Ritual

Mantra melaut dalam budaya suku Melayu di Aras Kabu Deli Serdang

dipraktikkan sebagai salah satu ritual (upacara). Untuk itu penting diuraikan pengertian

ritual. Menurut pendapat Muhammad (2011:1) kata ritual secara etimologis berarti

perayaan yang berhubungan dengan kepercayaan tertentu dalam suatu masyarakat.

Secara etimologis ritual merupakan ikatan kepercayaan antar orang yang diwujudkan

dalam bentuk nilai, bahkan dalam bentuk tatanan sosial. Ritual merupakan ikatan yang

paling penting dalam masyarakat beragama. 4 Kepercayaan masyarakat dan praktiknya

4
Dalam agama-agama baik yang penganutnya berjumlah relatif besar atau kecil, ritual menjadi
tumpuan utama dalam tata ibadah mereka. Dalam agama Yahudi terdapat ritual tangisan dan ratapan di
tembok Nabi Sulaiman. Di dalam agama Kristen terdapat ritual Ekaristi, misa Natal, Ritual Jumat Agung,
pengakuan dosa, dan lain-lainnya. Di dalam agama Islam terdapat ritual haji, yaitu melakukan ibadah haji
di dalam bulan Zulhijjah setiap tahunnya di Mekah dan Medinah, juga shalat Idul Fitri, Idul Adha, Jumat,
Istisqa, puasa, dan lain-lainnya. Di dalam agama Hindu terdapat ritual pembacaan Veda, taipusam, dan
lainnya. Dalam agama Budha dikenal ritual Waisyak, memperingati kelahiran Sidharta Gautama. Dalam
religi Parmalim di Toba Sumatera Utara, terdapat ritual sipaha sada dan sipaha lima. Kemudian dalam
religi Pemena di Taneh karo Simalem terdapat ritual erpangir kulau. Demikian pula dalam religi-religi
lain seperti Karahyangan di Kalimantan, Hindu Dharma Bali, Kejawen, dan lainnya.

Universitas Sumatera Utara


tampak dalam ritual yang diadakan oleh masyarakat. ritual yang dilakukan bahkan dapat

mendorong masyarakat untuk melakukan dan mentaati nilai dan tatanan sosial yang

sudah disepakati bersama. Dengan bahasa lain, ritual memberikan motivasi dan nilai-

nilai mendalam bagi seseorang yang mempercayai dan mempraktikkan.

Menurut Turner (dalam Prasetya, 2008:6) ritual dapat diklasifikasikan menjadi

dua bagian, yaitu: pertama, ritual krisis hidup, artinya ritual yang berhubungan dengan

krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan mengalami krisis hidup, ketika dia

masuk masa peralihan. Pada masa ini, manusia akan masuk dalam lingkup krisis karena

terjadi perubahan tahap hidup. Kedua, ritual gangguan, yaitu ritual sebagai negosiasi

dengan roh agar tidak mengganggu hidup manusia. Turner juga menjelaskan bahwa

ritual memiliki fungsi penting bagi keberlangsungan hidup. Fungsi ritual tersebut antara

lain: (1) ritual akan mampu mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan

memperkuat kunci dan nilai utama kebudayaan melampaui dan di atas individu atau

kelompok. Ritual menjadi alat pemersatu atau integritas; (2) ritual juga menjadi sarana

pendukungnya untuk mengungkapkan emosi, khususnya nafsu-nafsu negatif, (3) ritual

akan mampu melepaskan tekanan-tekanan sosial.

Berdasarkan dari penjelasan mengenai ritual di atas, dapat dikatakan bahwa

ritual merupakan suatu kegiatan yang unik, bersifat khas yang sarat akan makna,

memiliki suatu kekuatan tertentu, dan juga mencerminkan identitas diri sebagai

fenomena budaya. Boleh dikatakan juga, ritual sering bertolak belakang atau berbeda

dalam praktik dan penerapan keyakinan serta agama. Namun demikian, antara ritual dan

agama, keduanya sering bertemu dan hal ini sangat sering kita jumpai dalam praktik di

kehidupan masyarakat atau individu penganut ritual tersebut.

Dalam pelaksanaan ritual ini terdapat beberapa aspek yaitu: waktu

dilaksanakannya ritual, tempat ritual, pemimpin ritual, pelaku ritual, benda-benda dan

Universitas Sumatera Utara


peralatan ritual, dan yang penting adalah tujuan diadakannya ritual. Kegiatan ritual ini

ada yang sifatnya kolosal, terbuka, dan umum. namun tidak jarang ritual ada juga yang

sifatnya tertutup, hanya untuk kalangan tertentu saja, dan rahasia. namun demikian pola

umum dari ritual ini adalah hamper sama dalam setiap kebudayaan manusia di dunia,

seperti penulis uraikan di atas.

2.3 Pengertian Tradisi Lisan

Mantra Melaut etnik Melayu di Aras Kabu, dalam konteks pewarisannta adalah

melalui tradisi yang disampaikan secara lisan, yaitu dari sumber kepada orang lain.

Penyampaian mantra ini dilakukan dalam situasi tidak formal, tetapi informal, alamiah,

dan apa adanya. Menurut Pudentia (2008) tradisi lisan, dalam berbagai bentuknya

sangat kompleks dan mengandung, tidak hanya berupa cerita, mitos, dan dongeng, 5

tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas

pemiliknya seperti kearifan lokal, sistem nilai, sistem kepercayaan dan religi, serta

berbagai hasil seni.

Menurut Dick van der Meij (2011), tradisi lisan mencakup semua kegiatan

kebudayaan yang dilestarikan dan diturunkan ke generasi ke generasi secara tidak

5
Mitos (myth) adala bahagian dari folklor (cerita rakyat). Dari bentuk atau genre
folklor, yang paling banyak diteliti oleh para ahli folklor adalah cerita prosa rakyat. Menurut
William R. Bascom, cerita prosa rakyat dapt dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu: (1)
mite (myth), (2) legenda (legend), dan (3) dongeng (folktale). Mitos adalah cerita prosa rakyat
yag dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh pemilik cerita. Mite ditokohi oleh
para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang
bukan seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Legenda adalah cerita prosa
rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar
terjadi, tetapi tidak dianggap suci—namun legenda ditokohi oleh manusia, meski kadangkala
memiliki sifat-sifat luar biasa, dan sering juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat
terjadinya adalah di dunia seperti yang kita kenal sekarang, dan waktu terjadinya belu begitu
lama. Kemudian yang dimaksud dengan dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak
dianggap benar-benar terjadi oleh pemilik ceritanya, tidak terikat oleh waktu dan ruang (lihat
Bascom, 1965:3-20). Parafrase pengertian tiga bentuk cerita rakyat ini, penulis kutip dari James
Danandjaja (1984:50-51).

Universitas Sumatera Utara


tertulis. Tradisi lisan merangkumi kearifan lokal, sastra dan bentuk kesenian yang lain,

sejarah, obat-obatan, primbon, dan sebagainya.

Sesungguhnya membicarakan suatu tradisi baik lisan maupun tulisan adalah

suatu pembicaraan yang amat sukar dibatasi. Sebab tradisi dalam arti serangkaian

kebiasaan dan nilai-nilai, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya,

boleh dikatakan hampir meliputi semua segi kehidupan suatu masyarakat tertentu. Pada

segi lain kesulitan tampak bagaimana tradisi itu bergeser dan berubah mendapatkan

semacam erosi dalam faktor-faktor yang sangat kompleks dan sukar dibatasi batas

waktunya.

Endaswara (2005) mengatakan tradisi lisan adalah karya yang penyebarannya

disampaikan dari mulut ke mulut secara turun temurun. Setidaknya ada enam ciri-ciri

dari tradisi lisan, yaitu sebagai berikut. (1) Lahir dari masyarakat yang polos, belum

melek huruf, dan bersifat tradisional. (2) Menggambarkan budaya milik kolektif

tertentu, yang tidak jelas siapa penciptanya. (3) Lebih menekankan aspek khayalan, ada

sindiran, jenaka, dan pesan mendidik. (4) Sering melukiskan tradisi kolektif tertentu. (5)

Tradisi lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise. (6)

Tradisi lisan sering bersifat menggurui.

Tradisi lisan memiliki kaitan dengan masyarakat pemilik tradisi lisan tersebut.

Menurut Dick van der Meij (2011), pemilik tradisi lisan paling berpengetahuan tentang

apa yang diperlukan untuk melestarikan tradisi mereka. Para pemilik tradisi lisan juga

adalah orang yang paling mudah dapat menggairahkan orang, apalagi generasi muda

dan juga paling memahami pentingnya tradisi mereka.

Mantra melaut sukuu Melayu aas Kabu di Deli Serdag adalah termasuk ke dalam

tradisi lisan. Mantra ini disampaikan melalui aspek-aspek kelisanan. Mantra ini adalah

bahagian dari tradisi yang diwarisi secara turun-temurun. Mantra melaut tersebut

Universitas Sumatera Utara


merupakan respon terhadap alam yang menjadi bahagian penting dalam sistenm

kosmolog Melayu. Selain itu, di dalam mantra melaut ini terkandung berbagai kearifan

lokal suku Melayu Aras jabu, dan juga Melayu Serdang, Sunmatera Utara, dan Dunia

Melayu.

2.4 Pengertian Kearifan Lokal

Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha

manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap

terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di

atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan

seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai

hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah

istilah wisdom sering diartikan sebagai kearifan.

Istilah lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan

sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian

rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan

manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain

tersebut disebut setting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat

menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting

kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-

nilai tersebut yang akan menjadi alasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah

laku mereka (http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifan-

lokal.pdf, diunduh 2 Maret 2012).

Lebih jauh lagi, kearifan lokal menurut Ridwan (2008), merupakan pengetahuan

yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan

Universitas Sumatera Utara


lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi

yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal

sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk

hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak

sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu

mendinamisasi kehidupan masyarakat penuh keadaban.

Teezzi, Marchettini, dan Rosini (2008), mengatakan bahwa akhir dari

sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam

masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah,

sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno, yang melekat dalam perilaku sehari-

hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat

yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam

nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi

pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak

terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari (Ridwan

dalam http://ibda.files. wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifan-lokal.pdf,

diunduh pada tanggal 21 November 2011).

Menurut Sibarani (2012) ada tiga hal yang saling terkait jika membicarakan

tradisi lisan, yaitu mengingat masa lalu, memahami masa kini, dan mempersiapkan

masa depan. Oleh karena itu, para penggiat kebudayaan diharapkan dapat menggali,

menjelaskan, dan menginterpretasi secara ilmiah warisan budaya leluhur (masa lalu)

yang dapat dimanfaatkan untuk menjawab permasalahan masa kini serta untuk

mempersiapkan generasi masa depan. Penggalian dan pemahaman kearifan lokal

tersebut sangat tergantung pada metode penelitian tradisi lisan sebagai sumber kearifan

lokal tersebut. Dalam makalah ini, Sibarani membahas jenis-jenis kearifan lokal yang

Universitas Sumatera Utara


terdapat dalam tradisi lisan dan cara mengungkapkannya, serta beberapa aspek metode

penelitian tradisi lisan.

Lebih jauh Sibarani (2012:109-123) mengemukakan bahwa kearifan lokal telah

lama menjadi bahan kajian dalam dunia filsafat. Kaum sofis sejak abad kelima Seb. M.

Telah menamai dirinya sebagai sophist yang berarti orang yang bijaksana atau kaum

yang arif. Awal kajian filsafat juga dilandasi oleh kajian mengenai kearifan atau

kebijaksanaan. Saat itu kajian tentang kebijaksanaan dirasakan sangat penting untuk

mengatur tata kehidupan manusia.

Kearifan lokal dan pengetahuan masyarakat setempat yang dapat dimanfaatkan

untuk meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan kedamaian di masyarakat pada

dasarnya adalah kebenaran yang diidam-idamkan oleh masyarakat. Kebenaran ini

selanjutnya disebut dengan kebenaran pragmatis. Secara praktis, pengetahuan asli dan

kearifan lokal merupakan kebenaran yang sesungguhnya karena benar-benar bermanfaat

pada kehidupan manusia. Filsafat kemudian diartikan sebagai pencarian kebenaran

sesungguhnya yang dapat dimanfaatkan untuk menata kehidupan manusia secara arif.

Upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal

merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas

daerah-daerah Nusantara (Sayuti, 2005). Dalam kaitan ini, kearifan lokal yang

terkandung dalam sistem seluruh budaya daerah atau etnik yang sudah lama hidup dan

berkembang adalah menjadi unsur budaya bangsa yang harus dipelihara dan diupayakan

untuk diintegrasikan menjadi budaya baru bangsa sendiri secara keseluruhan.

Pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual memiliki arti

penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan

budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri.

Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, dengan

Universitas Sumatera Utara


demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang,

yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang.

Menurut pendapat penulis, kearifan lokal juga terdapat di dalam konteks

pengamalan mantra melaut dalam kebudayaan suku Melayu Serdang di Aras Kabu. Di

antaranya adalah sebagaii berikut. (a) Terdapat kearifan lokal bahwa manusia adalah

ciptaan Tuhan yang harus mempertanggungjawabkan hidupnya nanti di hadapan Tuhan,

(b) di dalamn mantra melaut suku Melayu Aras Kabu ini, terdapat sistem kosmologi,

bahwa manusia adalah bahagian dari alam, jadi jangan mengeksploitasi alam

berdasarkan keinginan manusia, tetapi pelihara keseimbangan dengan kepentingn

makhluk-makhluk lain, (c) di dalam aktivitas mantra melaut suku Melayu Aras Kabu ini

terdapat pula kearifan lokal tentang bagaimana cara menangkap ikan di laut dan

memfungsikannya untuk kepentingan ekonomi nelayan, (d) adanya kearifan bagaimana

bekerja secara berkelompok dan membentuk organisasi nelayan secara tradisional, yang

merupakan ekspresi bahwa manusia termasuk nelayan adalah makhluk sosial, (e) di

dalam mantra melaut ini terekspresi adat Melayu yang bersumber dari konsep adat

bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah, artinya orang Melayu adalah

orang beradat yang mendasarkan kegiatannya menurut ajaran agama Islam yang

dibumikan menurut keadaan budaya orang Melayu.

Kearifan lokal dalam budaya suku Melayu Serdang di Aras Kabu ini bukan

hanya terdapat di dalam mantra melaut saja, tetapi juga dalam semua isi kebudayaan

dan wujud kebudayaan Melayu. Misalnya dalam bahasa, ekonomi, pengetahuan,

organisasi sosial, kesenian, teknologi, dan sistem religi. Kearifan lokal ini bisa juga

dilihat memalui gagasan-gagasan kebudayaan yang terkompilasi dalam adat Melayu.

Juga dapat dilihat melalui kegiatan sosial sehari-hari seperti pola-pola berinteraksi,

silaturrahmi, kenduri, komunikasi dalam pantun, gurindam, nazam, dan lain-lainnya.

Universitas Sumatera Utara


Begitu juga dapat dilihat melalui benda-benda budaya masyarakat Melayu seperti

rumah, sampan kolek, perahu, ramuan rinjisan, tepung tawar, sirih genggam, tumbuk

lada, keris, dan lain-lainnya. Kesemua ini dapat dilihat secara menyeluruh sebagai

bahagian dari kearifan lokal etnik Melayu, termasuk melayu Serdang di Aras Kabu.

2.5 Semiotika

2.5.1 Pengertian Semiotika

Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti tanda. Semiotika

adalah cabang ihnu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang

berhubungan dengan tanda seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi

penggunaan tanda (Zoest, 1993:l). Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan,

dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.

Saussure seperti yang dikutip oleh Piliang (2003:256) mendefinisikan semiotika

sebagai ilmu yang mengkaji tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Secara implisit

dalam definisi Saussure ada prinsip bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada

aturan main (rule) atau kode sosial (social code) yang berlaku di dalam masyarakat

sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif.

Pada awalnya semiotika merupakan ilmu yang mempelajari setiap sistem tanda

yang digunakan dalam masyarakat manusia. Dengan kata lain, semiotika adalah ilmu

yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang berkaitan dengan makna tanda-tanda

dan berdasarkan atas sistem tanda-tanda. Teeuw (1982:50) mengatakan bahwa

semiotika merupakan tanda sebagai tindak komunikasi.

Tokoh yang dianggap pendiri semiotika adalah dua orang yang hidup sezaman,

yang bekerja secara terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama (tidak saling

mempengaruhi). Tokoh semiotika itu adalah seoraog ahli linguistik berkebangsarn

Universitas Sumatera Utara


Swiss, Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat Amerika Serikat,

Charles Sanders Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu itu dengan nama

semiologi, sedangkan Peirce semiotika. Kedua istilah ini mengandung pengertian yang

persis sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya

menunjukkan pemikiran pemakainya.

Wardoyo (2005: l) mengatakan semiotics is the science of signs. Masalahnya

adalah bagaimdna tanda (sign) dapat diidentifikasikan. Untuk dapat mengidentifikasi

sebuah tanda terlebih dahulu harus dipahami hakikat dari sebuah tanda (sign). Dalam

semiotika, tanda bisa berupa kata-kata, kalimat, atau gambar yang bisa menghasilkan

makna.

Dalam hubungannya dengan tanda, Saussure mempunyai peranan penting dalam

mengidentifikasikan sebuah tanda. Saussure dalam Pilliang (2003:90) menjelaskan

“tanda" sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari dua bidang seperti halnya

selembar kertas, yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan bentuk atau

ekspresi dan bidang petanda (signified) untuk menjelaskan konsep atau makna. Saussure

meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan pemilahan antara penanda

(signifier) dan petanda (signfied). Penanda wujud materi tanda tersebut. Petanda adalah

konsep yang diwakili oleh penanda yaitu artinya. Contohnya kata “ayah” merupakan

tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti “orang tua laki-laki.”

Berkaitan dengan proses pertandaan seperti di atas, Saussure menekankan

perlunya semacam konvensi sosial (social cowention) di kalangan komunitas bahasa,

yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan

adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa (Pilliang, 2004:90).

Sementara itu, seorang tokoh semiotika lain, Charles Sanders Peirce (1839-

1914) mengemukakan pendapatnya mengenai tanda. Menurut Peirce, dalam pengertian

Universitas Sumatera Utara


tanda, maka terdapat dua prinsip, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai dan

petanda (signified) atau yang merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan antara

penanda dan petanda, tanda terdiri atas tiga jenis. Jenis-jenis tanda tersebut adalah ikon,

indeks, dan simbol (Zoest, 1993:23-24). Ikon adalah tanda yang memperlihatkan adanya

hubungan yang bersifat alami antara penanda dengan petandanya. Hubungan itu adalah

hubungan persamaan. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-

akibat) antara penanda dengan petandanya. Simbol adalah tanda yang tidak memiliki

hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, melainkan hubungan yang ada

bersifat arbitrer. Ketiga tanda tersebut merupakan peralatan semiotika yang

fundamental.

Lebih lanjut, Peirce mengemukakan bahwa proses semiosis terjadi karena

adanya tiga hal, yaitu ground, representamen, dan interpretan. Peirce melihat tanda

dengan mata rantai tanda yang tumbuh. Oleh karena itu, Peirce sengat lekat dengan

konsep pragmatisme. Pragmatisme sebagai teori makna menekankan hal-hal yang dapat

ditangkap dan mungkin berdasarkan pengalaman subjek. Dasar pemikiran tersebut

didasarkan dijabarkan dalam bentuk tripihak (triadic) yakni setiap gejala secara

fenomenologis mencakup tiga hal. Pertama, bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus

mengacu pada sesuafu yang lain (qualisigns, firstness, initselfness). Kedua, bagaimana

hubungan gejala tersebut dengan realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan

waktu (sinsigns, secondness/overagainstness). Ketiga, bagaimana gejala tersebut

dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan, dan “ditandai" (legisigns, thirdness/

inbetweenness) (lihat Christomy, 2004:115-116).

Universitas Sumatera Utara


2.5.2 Teori dan Metode Semiotika Michael Riffaterre

Dalam menginterpretasikan makna lirik (tekstual) mantra melaut suku melayu

Aras kabu ini, penulis menggunakan teori dan metode semiotika yang ditawarkan

seorang ahli sastra yaitu Riffaterre. Menurutnya, sistem bahasa dan sastra merupakan

dua aspek penting dalam semiotika. Karya sastra merupakan sistem tanda yang

bermakna yang mempergunakan medium bahasa. Preminger (1974:981) mengatakan

bahwa bahasa merupakan sistem semiotika tingkat pertama yang sudah mempunyai arti

(meaning). Dalarn karya sastra, arti bahasa ditingkatkan menjadi makna (significance)

sehingga karya sastra itu merupakan sistem semiotika tingkat kedua.

Riffaterre (1978:166) mengatakan bahwa pembacalah yang bertugas untuk

memberikan makna tanda-tanda yang terdapat pada karya sastra. Tanda-tanda itu akan

memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya.

Sesungguhnya, dalam pikiran pembacalah transfer semiotika dari tanda ke tanda terjadi.

Dalarn Semiotics of Poetry (1978), Michael Riffaterre mengemukakan empat prinsip

dasar dalaur pemaknaan puisi secara semiotika. Keempat prinsip dasar itu adalah

sebagai berikut.

2.5.2.1 Ketidaklangsungan Ekspresi

Dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1) bahwa puisi itu dari dahulu hingga

sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan konsep estetik yang selalu berubah

dari periode ke periode. Ia menganggap bawa puisi adalah sebagai salah satu wujud

aktivitas bahasa Puisi berbicara mengenai sesuatu hat dengan maksud yang lain.

Artinya, puisi berbicara secara tidak langsung sehingga bahasa yang digunakan pun

berbeda dari bahasa sehari-hari. Jadi, ketidaklangsungan ekspresi itu merupakan

konvensi sastra pada umumnya Karya sastra itu merupakan ekspresi yang tidak

Universitas Sumatera Utara


langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secara tidak langsung, tetapi dengan

cara lain (Pradopo, 2005:124). Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre

(1978:2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning),

penympangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning).

Ketiga jenis ketidaklangsungan ini jelas-jelas akan mengancam representasi kenyataan

atau apa yang disebut dengan mimesis. Landasan mimesis adalah hubungan langsung

antara kata dengan objek. Pada tataran ini, masih terdapat kekosongan makna tanda

yang perlu diisi dengan melihat bentuk ketidaklangsungan ekspresi untuk menghasilkan

sebuah pemaknaan baru (significance).

(1) Penggantian arti (displacing of meaning). Penggantian arti ini menurut

Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra.

Metafora dan metonimi ini dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada

umumnya Jadi, tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Hal ini

disebabkan oleh metafora dan metonimi itu merupakan bahasa kiasan yang sangat

penting hingga dapat mengganti bahasa kiasan lainnya. Di samping itu, ada jenis bahasa

kiasan yang lain yaitu simile (perbandingan), personifikasi, sinekdoke, epos, dan

alegori. Metafora itu bahasa kiasan yang mengumpamakan atau mengganti sesuatu hal

dengan tidak mempergunakan kata pembanding bagai, seperti, bak, dan sebagainya.

Metonimi merupakan bahasa kiasan yang digunakan dengan memakai nama atau ciri

orang atau sesuatu barang untuk manyebutkanhal yang bertautan dengannya.

(2) Penyimpangan arti (distorting of meaning). Penyimpangan bahasa secara

evaluatif atau secara emotif dari batrasa biasa ditujukan untuk membentuk kejelasan,

penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Riffatere (1978:2)

mengemukakan bahwa penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal, yaitu pertama oleh

arnbiguitas, kedua oleh kontadiksi, dan ketiga oleh nonsense.

Universitas Sumatera Utara


Pertama, ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra itu berarti ganda

(polyinterpretable), lebih-lebih bahasa puisi. Kegandaan arti itu dapat berupa kegandaan

arti sebuah kata, frase, ataupun kalimat. Kedua kontradiksi berarti mengandung

pertentangan dibebabkan oleh paradots dan atau ironi. Paradoks merupakan suatu

pernyataan yang berlawanan dengan dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat

umum, tetapi kalau diperhatikan lebih dalam sesungguhnya mengandung suatu

kebenaran. Sedangkan ironi menyatakan sesuatu secara berkebalikan, biasanya untuk

mengejek atau menyindir suatu keadaan.

Ketiga, nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti

sebab hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, puisi

nonsense itu memiliki makna. Makna itu timbul karena adanya konvensi sastra,

misalnya konvensi mantra. Nonsense berfungsi untuk menimbulkan kekuatan gaib atau

magis, untuk mempengaruhi dunia gaib. Nonsense banyak terdapat dalam puisi mantra

atau puisi yang bergaya mantra. Salah satu contohnya adalah mantra melaut suku

Melayu Aras Kabu yang fungsinya untuk mengatasi angin mati, seperti berikut.

Bismillah
Oiii.. sang penyejuk
Singgalah kau barang sekejap
Bila tak hendak
Maka aku tahu asalmu jadi
Berkat kata
Laillahaillah …

Mantra di atas terdiri dari kata-kata perumpamaan yang dapat menimbulkan

suasana aneh dan suasana gaib. Perumpamaan yang digunakan adalah nama-nama

khusus yang dapat membangkitkan efek magis. Penggunaan nama-nama seperti yang

terdapat dalam mantra di atas memiliki makna sebagai omng yang diyakini rulmpu

memberi pertolongan terhadap si pembaca mantra.

Universitas Sumatera Utara


(3) Penciptaan arti (creating of meaning). Penciptaan arti ditimbulkan melalui

enjabement, homologue, dan tipografi (Riffaterre, 1978:2). Penciptaan arti ini

menrpakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak

mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna di dalam puisi. Jadi, penciptaan arti ini

merupakan organisasi teks di luar linguistik. Sebagai contoh adalah mantra melaut suku

Melayu Aras Kabu berikut ini.

Bismillahirahmanirahim
Raja Anggun
Raja Turun
Raja Merurun
Aaaa ...

Mantra di atas juga bisa berfirngsi untuk mengatasi badai laut. Pada akhir larik

hanya terdapadat fonem /A/. Secara linguistik larik terakhir ini tidak memiliki arti.

Namun, dalam kesatuan isi mantra "A" mengandung makna konotatif, yaitu sebuah

perintah. Perintah itu ditujukan pada satu wujud yang tidak terlihat. Dalam mantra di

atas, "A" diartikan dengan “kembalilah ke asalmu.”

Contoh lain adalah puisi “Tragedi Winka dan Sihka" karya Sutardji Calzoum

Bachri. Puisi ini lebih menekankan pada segi tipografi yang disusun secara zigg-zag.

Puisi ini hanya terdiri dari dua kata: kawin dan kasih. Kedua kata itu diputus-putus dan

dibalik secara metatesis, secara Iinguistik tidak ada artinya kecuali kawin dan kasih itu.

Dalam puisi, kata kasih dan kawin mengandung arti konotatif yaitu perkawinan itu

menimbulkan angan-angan hidup.

Tipografi zig-zag itu memberi sugesti bahwa perkawinan yang semula bermakna

angan-angan kebahagiaan hidup, setelah melalui jalan yang berliku-Iiku dan penuh

bahaya pada akhirnya menemui bencana. Perkawinan itu akhirnya berbuntut menjadi

sebuah tragedi (Pradopo, 2005:131).

Universitas Sumatera Utara


2.5.2.2 Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

Untuk dapat memberi makna secara semiotika, pertama kali dapat dilakukan

dengan heuristik dan hermeneutik atau retoaktif (Riffaterre, 1978:5-6). Konsep ini akan

diterapkan sebagai langkah awal dalam usaha untuk makna yang terkandung dalam

mantra melaut suku Melayu Aras Kabu.

Pembacaan heuristik menurut Riffaterre (1978:5) merupakan pembacaan tingkat

pertama untuk memahami makna secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutik

merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam

pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian

memodifikasi pemahamannya tentang hal itu.

Menurut Santosa (2004: 231) bahwa pembacaan heuristik adalah pembacaan

yang didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan

membangun serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau tidak gramatikal.

HaI ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang

bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa. Sedangkan Pradopo

(2005:135) memberi definisi parnbacaan heuristik yaitu pembacaan berdasarkan

struktur bahasanya atau secara semiotika adalah berdasarkan konvensi sistem semiotika

tingkat pertama.

Pembacaan hemteneutik menurut Santosa (2004:234) adalah pembacaan yang

bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh dan terpadu. Sementara

itu, Pradopo (2005:137) mengartikan pembacaan hermeneutik sebagai pembacaan

berdasarkan konvensi sistem semiotika tingkat kedua (makna konotasi). Pada tahap ini,

pembaca hanrs meninjau kembali dan membandingkan hal-hal yang telah dibacanya

pada tahap pembacaan heuristik. Dengan cara demikian, pembaca dapat memodifikasi

pemahamannya dengan pemahaman yang terjadi dalam pembacaan hermeneutik.

Universitas Sumatera Utara


Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural atau

bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh karena itu, pembacaan

hermeneutik pun dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai

unsur kebahasaan. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu bagian

ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini

dilakukan pada interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matriks

(lihat Riffaterre, 1978:5). Proses pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre (dalam

Selden, 1993:126) dapat diringkas sebagai berikut. (1) Membaca untuk arti biasa. (2)

Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dan yang merintangi penafsiran

mimetik yang biasa. (3) Menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi yang tidak

biasa dalam teks. (4) Menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah

pemyataan tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks.

2.5.2.3 Matriks dan Model

Riffaterre menjelaskan bahwa memahami sebuah puisi sama dengan melihat

sebuah donat. Terdapat ruang kosong di tengah-tengah yang berfungsi untuk menunjang

dan menopang terciptanya daging donat di sekeliling ruang kosong itu. Dalam puisi,

ruang kosong ini merupakan pusat pemaknaan yang disebut dengan matriks (1978:13).

Matriks tidak hadir dalam sebuah teks, namun aktualisasi dari matriks itu dapat hadir

dalam sebuah teks yang disebut model. Matriks itulah yang artinya memberikan

kesatuan sebuah sajak (Selden, 1993:126). Hal ini senada dengan konsep yang

dikemukakan oleh Indrastuti (2007:4) bahwa matriks merupakan konsep abstrak yang

tidak pemah teraktualisasi. Konsep ini dapat dirangkum dalam satu kata atau frase.

Aktualisasi pertanda dari matriks adalah model.

Universitas Sumatera Utara


Aktualisasi pertama itu berupa kata atau kalimat tertentu yang khas dan puitis.

Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain

dalam puisi. Eksistensi kata itu dikatakan bila tanda bersifat hipogamatik dan karenanya

monumental. Berdasarkan hubungan antara matriks dengan model, dapat dikatakan

bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi

pembatas derivasi itu. Dalam praktiknya, matriks yang dimaksud senantiasa terwujud

dalam bentuk-bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian itu ditentukan oleh model.

Dengan demikian, konsep semiotika Riffaterre yang akan digunakan dalam kajian ini

dapat membantu untuk menemukan makna yang utuh dan menyeluruh dalam mantra

melaut suku Melayu Aras Kabu.

2.5.2.4 Hubungan Intertekstual

Karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong dan tidak lepas dari sejarah sastra.

Artinya, sebelum karya sastra dicipta, sudah ada karya sastra yang mendahuluinya.

Pengarang tidak begltu saja mencipta, melainkan ia menerapkan konvensi-konvensi

yang sudah ada. Di samping itu, ia juga benrsatra menentang atau menyimpangi

konvensi yang sudah ada. Karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi

dan revolusi, antara yang lama dengan yang baru (Teeuw, 1980:l2). Oleh karena itu,

untuk memberi makna karya sastra maka prinsip kesejarahan itu harus diperhatikan.

Mantra melaut suku Melayu Aras Kabu misalnya, mantra ini tidak terlepas dari

hubungan kesejarahannya dengan teks lain yang turut menunjang keberadaannya.

Riffaterre (1978:11) mengemukakan bahwa sebuah karya sastra baru

mempunyai makna penuh dalam hubungirnnya atau pertentangannya dengan karya

sastra lain. Ini merupakan prinsip intertukstualitas yang ditekankan oleh Riffaterre.

Prinsip intertekstual adalah prinsip hubungan antarteks. Sebuah teks tidak dapat

Universitas Sumatera Utara


dilepaskan sama sekali dari teks yang lain. Teks dalam pengertian umum adalah dunia

semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan. Adat-istiadat kebudayaan, film,

drama dan lain sebagainya secara pengertian umum adalah teks. Oleh karena itu, karya

sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptannya, baik secara umum

maupun khusus.

Sebuah karya sastra seringkali berdasar atau berlatar pada karya sastra yang lain,

baik karena menentang atau meneruskan karya sastra yang menjadi latar itu. Karya

sastra yang menjadi dasar atau latar pencipkan karya sastra yang kemudian oleh

Riffaterre (1978:1l) disebut dengan hipogram. Sebuah karya sastra akan dapat diberi

makna secara hakiki dalam kontrasnya dengan hipogramnya (Teeuw, 1983:65).

Julia Kristeva dalam Pradopo (2005: 132) mengemukakan bahwa tiap teks itu,

termasuk teks sastra merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan

serta transformasi teks-teks lain. Secara khusus, teks yang menyerap dan

menfransformasikan hipogram dapat disebut sebagai teks transformasi. Untuk

mendapatkan makna hakiki dari sebuah karya sastra digunakan metode intertekstual,

yaitu membandingkan, menjajarkan, dan mengkontraskan sebuah teks transformasi

dengan hipogramnya Dengan demikian, sebuah karya sastra hanya dapat dibaca dalam

kaitannya dengan teks lain.

2.5.3 Teori Semiotika Sosial

Untuk mengkaji aktivitas sosial yang dilakukan oleh nelayan Aras Kabu

terutama yang berkaitan dengan penggunaan mantra, maka penulis mengkaji fenomena

ini dengan menggunakan teori semiotika sosial, terutama yang ditawarkan oleh

Halliday. Ilmu semiotika adalah kajian tentang tanda dan segala sesuatu yang

berhubungan dengan tanda. Menurut Sobur (dalam Sartini, 2011), bahwa semiotika atau

Universitas Sumatera Utara


semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion

tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya

pada simtomatologi dan diagnostik inferensial.

Bahasa adalah interaksi, dan semua interaksi adalah multimodal. Implikasinya

adalah bahasa adalah semiotika multimodal karena merupakan tanda atau simbol yang

dihasilkan dalam komunikasi manusia. Ilmu semiotika meliputi studi seluruh tanda-

tanda tersebut baik tanda visual, tanda yang dapat berupa imaji dalam lukisan dan foto

dalam seni dan fotografi, tanda pada kata-kata, bunyi-bunyi, imaji bahasa tubuh,

ekspresi wajah, warna, dan semua unsur-unsur komunikasi. Imaji adalah gambaran yang

terbentuk dari sebuah objek visual. Gramatika didalam bahasa menjelaskan kata, klausa,

frasa, kalimat, dan teks. Sedangkan gramatika visual memperlihatkan orang, tempat,

dan benda-benda dikombinasikan dengan kompleksitas dan perluasan penjelasan visual

dari sebuah objek. Fokus gramatika visual adalah pada deskripsi estetika imaji dan cara

komposisi imaji yang digunakan untuk menarik perhatian penyaksi atau pembaca (Kress

dan van Leeuwen, 1996:1).

Grammar goes beyond formal rules of correctness. It is a means of


representing patterns of experience…. It enables human beings to build a
mental picture of reality, to make sense of their experience of what goes on
around them and inside them (Halliday, 1985: 101)

Analoginya adalah struktur visual merealisasikan makna-makna sebagaimana

struktur linguistik melakukannya, dengan demikian menyebabkan berbeda interpretasi

dari pengalaman dan berbeda bentuk interaksi sosial. Makna dapat direalisasikan dalam

bahasa, sedangkan komunikasi visual diekspresikan kedua-duanya baik dalam verbal

maupun dalam visual. Walaupun keduanya berbeda, misalnya bahasa melalui pilihan

antara kelas kata dan semantik, namun di dalam komunikasi visual ekspresi dilakukan

melalui sistem pilih, pada beberapa hal seperti: penggunaan warna dan struktur

komposisi yang menonjol. Bahasa visual belum dipahami secara universal karena

Universitas Sumatera Utara


bahasa visual itu spesifik secara budaya, misalnya komunikasi visual dalam dunia barat

berbeda dengan dalam dunia timur.

Suatu jaringan sistem makna dalam sebuah budaya masyarakat mempunyai

sumber makna semiotika yang kaya dan beragam. Santoso (2009: 9) mengatakan suatu

kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat mempunyai nilai-nilai dan norma-

norma kultural yang diperoleh melalui warisan nenek moyang mereka dan juga bisa

melalui kontak-kontak sosio-kultural dengan masyarakat lainnya. Nilai-nilai dan norma-

norma dari masyarakat lain tersebut baik langsung maupun tidak langsung

memengaruhi nilai-nilai dan norma-norma yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Sebagai

dampaknya nilai-nilai dan norma-norma kultural ini cenderung untuk berubah secara

terus menerus, apalagi dunia pada saat ini semakin terbuka sehingga batas-batas kultur,

daerah, wilayah, dan negara menjadi tidak tampak.

Sebagaimana yang telah disinggung Santoso di atas mengenai peristiwa-

peristiwa kebudayaan dan sumber tesebut merupakan makna semiotika karena manusia

sebagai makhluk yang hidup di dalam masyarakat berperan melakukan interaksi dan

komunikasi agar dapat saling memahami makna tanda komunikasi tersebut. Supaya

tanda itu bisa dipahami secara universal, dibutuhkan pula konsep yang universal untuk

menghindari salah pengertian.

Menurut Kress dan Van Leeuwen dalam Handayani (2012) ada tiga aliran besar

semiotika yang menerapkan konsep teori berasal dari domain linguistik dan domain

non-linguistik sebagai sarana komunikasi di abad sekarang ini. Yang pertama adalah

Aliran Praha (Prague School) pada tahun 1930-an dan awal 1940-an yang

dikembangkan oleh pakar linguistik formalisme Rusia. Konsep yang menonjol

diterapkan ke dalam bahasa adalah bentuk fonologi dan sintaksis melalui deviasi untuk

tujuan artistik, pada kajian seni (Mukarovsky), teater (Honzl), sinema (Jakobson), dan

Universitas Sumatera Utara


kostum (Bogatyrev). Setiap sistem-sistem semiotika dapat memenuhi fungsi komunikasi

yang sama (fungsi refensial dan fungsi puitis).

Aliran kedua diperkenalkan oleh aliran Paris (Paris School) pada tahun 1960-an

dan 1970-an, yang menerapkan ide de Saussure, linguis lainnya seperti Schefer,

fotografi (Barthes), bidang fashion (Barthes), bidang sinema (Metz), bidang komik

(Frenault-Deruelle), termasuk juga aliran Pierce. Konsep yang dikembangkan aliran ini

pada studi kajian media, seni, dan desain selalunya disebut sebagai semiologi, juga

dikatakan post-strukturalisme. Istilah-istilah semiotika “langue” dan “parole,” signifier”

dan “signified,” “arbitrary” dan “motivated,” “sign”, “icons,” “indexes,” dan “symbols,”

“syntagmatics” dan “paradigmatics.”

Aliran ketiga dinamakan semiotika sosial social semiotics) yang diperkenalkan

oleh Halliday di Australia tahun 70-an dikenal dengan nama teori linguistik Sistemik

Fungsional (SFL). Semiotika sosial ini diterapkan pada kajian sastra oleh Threadgold,

Thibault dan kawan-kawan, semiotika visual oleh O’Toole, Kress, van Leeuwen, musik

oleh van Leeuwen dan sarana semiotika oleh Hodge dan Kress. Konsep semiotika sosial

adalah bahwa hubungan setiap manusia dengan lingkungan manusia penuh dengan arti

dan arti-arti ini dipelajari melalui interaksi seseorang dengan orang lain yang

melibatkan lingkungan arti tersebut. Potensi arti dalam proses belajar menciptakan

sistem bahasa sebagai sistem sosial yang terdiri atas struktur ideologi, budaya, situasi,

semantik, leksikogramatika, dan fonologi atau grafologi.

Pendekatan semiotika sosial menurut Kress dan van Leeuwen dalam Handayani

(2012) menekankan pada dua hal penting. Yang pertama, komunikasi memerlukan

partisipan untuk membuat pesan-pesan secara maksimal untuk dipahami pada konteks

tertentu, kemudian memilih bentuk ekspresi yang diyakini secara maksimal, transparan

kepada partisipan lainnya. Sebaliknya komunikasi terjadi pada struktur sosial yang

Universitas Sumatera Utara


ditandai oleh perbedaan-perbedaan pada kekuasaan, dan hal ini mengakibatkan setiap

partisipan memahami secara maksimal. Partisipan yang mempunyai kekuasaan dapat

memaksakan partisipan lain mengikuti interpretasi yang kuat dengan pemahaman yang

maksimal, sehingga partisipan tersebut mampu melakukan atau menghasilkan pesan-

pesan terbaik dengan usaha yang maksimal untuk memberi interpretasi. Sebaliknya

partisipan yang tidak mempunyai kekuasaan harus bekerja keras untuk memahami

pesan-pesan penting tersebut secara maksimal. Yang kedua, representasi memerlukan

pembuat tanda memilih bentuk-bentuk untuk ekspresi yang ada didalam pikiran mereka,

membentuk pandangan apa yang menurut mereka cocok pada tempatnya dan dapat

dipercayai pada konteks yang diberikan.

Menurut Halliday (1978) bahasa adalah suatu sistem semiotika sosial. Sistem

semiotika bahasa mencakupi unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur konteks

yang berada di luar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks

sosial merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan merupakan wadah terbentuknya

bahasa. Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa atau teks terbentuk, juga merupakan

semiotika. Terdapat tiga (3) hal penting sistem komunikasi bahasa menurut Halliday

(1985), yaitu metafungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual. Metafungsi ideasional

merepresentasikan aspek pengalaman manusia di dalam dan di luar khususnya sebagai

sistem tanda. Dengan kata lain harus mampu merepresentasikan objek dan hubungannya

dengan dunia di luar bahasa sebagai sistem representasi. Metafungsi interpersonal

menawarkan hubungan antara pencipta tanda dengan penerima tanda. Metafungsi

tekstual menjelaskan pembentukan teks, kerumitan tanda-tanda yang dihubungkan baik

secara internal maupun eksternal.

Tabel 2.1 di bawah ini menjelaskan hubungan struktur semiotika situasi dengan

komponen fungsi semantik (Halliday, 1979: 143).

Universitas Sumatera Utara


Tabel2.1. Hubungan struktur Semiotika Situasi dengan Komponen Fungsi Semantik

Semiotic structures associated with functional component


of situation of semantics

field (type of social action) “ experiential


tenor (role relationships) “ interpersonal
mode (symbolic organization) “ textual

Prinsip semiotika sosial pada penelitian ini adalah untuk mengungkap makna

semiotika baik berupa ungkapan verbal dan visual seperti imaji, tanda atau simbol,

seperti berikut. (1) Imaji yang terdapat pada peralatan yang digunakan pada prosesi

mantra melaut tersebut, (2) Pola semiotika (tanda atau simbol) yang terdapat pada

mantra ritual mantra melaut yang mencerminkan simbol gaib dan magis. (3) Tanda dan

simbol digunakan pada ritual mantra melaut, untuk menjelaskan praktik berbahasa pada

masyarakat suku Melayu Aras Kabu. (4) Ungkapan yang dituturkan oleh setiap nelayan

sebagai mantra melaut.

Dalam menganalisis aktivitas sosial tradisi mantra melaut ini akan digunakan

teori semiotika multimodal dan teori semiotika yang dikemukan oleh Charles Sanders

Peirce. Semua interaksi disebut multimodal. Setiap berinteraksi oral manusia secara

otomatis mendengar suara prosodik, intonasi dan bunyi-bunyi, kita juga saling

berpandangan atau menatap, kita memperhatikan setiap gerak gerik lawan bicara

During interaction, (1) you’re aware of your friends’ spoken language in order to hear

the verbal choices, the content, the prosody and the pitch, (2) aware of facial

expression, clothing, standing/sitting, nodding/leaning back or forward, 3) aware of

environment where it takes place, etc (Kress dan van Leeuwen, 2006: 177).

Universitas Sumatera Utara


Teori semiotika multimodal lebih dikenal dengan nama analisis multimodal.

Analisis multimodal mengungkapkan representasi visual dan verbal bahasa dan

menjelaskan berbagai jenis imaji yang ada di dalam konteks sosio-kultural. Kress dan

van Leeuwen (2006: 178) “multimodal texts”, i.e. “any text whose meanings are

realized through more than one semiotic code”. Analisis multimodal dapat

diintegrasikan dengan analisis kode semiotika bahasa misalnya dengan aspek

metafungsi bahasa untuk menjelaskan bagaimana gramatika dapat menjelaskan ekspresi

efek visual gambar atau lambang, warna, tanda simbol dengan aspek verbal dalam teks

multimodal. Dalam sarana tulis aspek multimodal terletak pada disain visual tanda

baca, spasi, warna, font atau gaya, imaji dan sarana representasi dan komunikasi

lainnya. Semua aspek multimodal ini potensi menjadi sumberdaya semiotika

mendekorasi suatu komunikasi untuk menunjukkan potensi penguatan wacana sebagai

suatu semiotika sosial.

Menurut Sinar (2011, 2012) di dalam analisis multimodal, teks-teks dianalisis

dan dimaknai tidak hanya dari fisik bahasa yang terujar atau tertulis secara verbal tetapi

juga teks diungkap dan dimaknai dari tampilan visual seperti yang terdapat pada iklan

media cetak. Dengan kata lain, dalam klasifikasi perspektif semiologis kecenderungan

analisis multimodal yaitu semua aspek semiotika yang muncul dalam teks dianalisis

seluruhnya secara terpadu, baik aspek dan unsur semiotika kebahasaan maupun aspek

dan unsur semiotika non-kebahasaan. Yang terakhir ini lazim disebut sebagai aspek dan

unsur yang dikategorikan sebagai visual representation (lihat misalnya Kress dan

Leeuwen 1996).

Kress dan van Leeuwen (2006, 177) menyarankan tiga prinsip komposisi dalam

menganalisis teks verbal dan visual yaitu nilai informasi (information value), tonjolan

(Salient) dan bingkai (framing), yang diaplikasikan tidak hanya pada gambar tunggal,

Universitas Sumatera Utara


tetapi juga pada teks multi-semiotika. Interaksi langsung diciptakan melalui tatapan

mata seperti pernyataan Kress and van Leeuwen (2006: 116-124) ‘the gaze’ as a central

aspect of the interpersonal metafunction establishing interaction between the

participants in the communicative act. Dalam sebuah tayangan, jika pelibat teks sebagai

imaji menatapkan mata langsung kepada kamera, maka tatapan tersebut langsung tepat

pada mata para penyaksi teks visual, sebagai efeknya hal ini menumbuhkan suatu garis

hubungan ‘connecting the participant’s sight line with the viewers’ sehingga pembaca

atau penyaksi teks mempunyai interpretasi bahwa imagi membalas tatapan matanya.

Analisis ini disebut dengan ‘salience’ (Kress dan van Leeuwen, 2006: 201-203).

Salience dari bagian kepala adalah bagian utama yang menghasilkan jarak sosial

keakraban antara sender dengan penyaksi dan pembaca dibandingkan bahagian lain

dalam tubuh imaji. Tatapan mata menekankan mereka diletakkan dalam ruang luas dan

kosong, wajah sekaligus memperoleh salience di dalam lingkup wajah yang juga

menanti respon dari penyaksinya. Peran sekunder imaji juga memperlihatkan objek-

objek pendukung seperti sarung tangan, topi, sepatu but, jilbab, scarf, bandana,

saputangan, dll yang mengekspresikan hubungan eksplisit sebagai pembuat makna atau

‘meaning-maker’ yang tujuannya untuk menjelaskan setiap kekosongan informasi yang

bersifat interpretasi atau “interpretive gaps” (lihat juga Baumgarten 2008).

Dalam analisis multimodal struktur hirarki di antara unsur penting yang

diperlihatkan oleh imagi secara visual adalah ukuran (size), warna (colour), ketajaman

fokus (focus). Kress dan van Leeuwen (1996) menekankan “how colour is very

important in creating meaning.”

Universitas Sumatera Utara


2.5.4 Teori Semiotika Peirce

Teori semiotika model Peirce disebut sebagai semiotika pragmatik karena

bertolak dari wujud luar tanda yang dapat diindera manusia (representamen) (Hoed,

2001:87). Alasan memilih pendekatan teori Peirce digunakan adalah untuk melihat

tanda, simbol, dan hubungan bahasa dengan konteks dalam peralatan pembuatan lukah

dan teks mantra ritual lukah gilo. Dasar pemikiran tersebut dijabarkan dalam bentuk

tripihak (triadic), yakni setiap gejala secara fenomenologis mencakup (1) bagaimana

sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain, (2) bagaimana

hubungan gejala tersebut dengan realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan

waktu, dan (3) bagaimana gejala tersebut dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan,

dan ditandai (Christomy, 2004:16). Dikaitkan dengan data penelitian ini, proses

pemaknaan triadic ini yang dinamakan semiosis. Setiap tanda dapat ditempatkan

sebagai tanda itu sendiri, sebagai tanda yang terkait dengan yang lainnya, sebagai

mediator antara objek dan interpretan. Cara Peirce melihat realitas dalam tiga

kemungkinan itu sangat penting untuk memahami jargon-jargon lainnya.

Dengan tiga penjelasan di atas kemudian dihasilkan tiga trikotomi: trikotomi

pertama adalah qualisign, sinsign, dan legisign, trikotomi kedua adalah ikonis

(hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan), indeks (tanda

yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda atau hubungan

sebab akibat), dan simbol (tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda

dengan petandanya atau hubungan berdasarkan perjanjian); trikotomi ketiga adalah term

(rheme), proposisi (dicent), dan argument. Relasi itu dapat digambarkan pada Tabel 2.2

sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.2. Klasifikasi Sepuluh Tanda yang Utama dari Peirce
(dalam Christomy, 2004:116)

Relasi dengan Relasi dengan Relasi dengan


representamen objek Interpretan
Kepertamaan Bersifat potensial Berdasarkan Terms (rheme)
(firstness) (qualisign) keserupaan
(ikonis)
Keduaan Bersifat Berdasarkan Suatu pernyataan yang
(secondness) keterkaitan penunjukkan bisa benar bisa salah
(sinsign) (indeks) (proposisi atau dicent)
Ketigaan Bersifat Berdasarkan Hubungan proposisi
(thirdness) kesepakatan kesepakatan yang dikenal dalam
(legisign) (simbol) bentuk logika tertentu
(internal) (argument)

Berdasarkan berbagai klasifikasi tersebut, Peirce membagi tanda menjadi

sepuluh jenis, sebagai berikut. (1) Qualisign, yakni kualitas sejauh yang dimiliki tanda.

Kata keras menunjukkan kualitas tanda. Misalnya, suaranya keras yang menandakan

orang itu marah atau ada sesuatu yang diinginkan. (2) Iconic Sinsign, yakni tanda yang

memperlihatkan kemiripan. Contoh: foto, diagram, peta, dan tanda baca. (3) Rhematic

Indexical Sinsign, yakni tanda berdasarkan pengalaman langsung, yang secara langsung

menarik perhatian karena kehadirannya disebabkan oleh sesuatu. Contoh: pantai yang

sering merenggut nyawa orang yang mandi di situ akan dipasang bendera bergambar

tengkorak yang bermakna berbahaya, dilarang mandi di sini. (4) Dicent Sinsign, yakni

tanda yang memberikan informasi tentang sesuatu. Misalnya, tanda larangan yang

terdapat di pintu masuk sebuah kantor. (5) Iconic Legisign, yakni tanda yang

menginformasikan norma hukum. Misalnya, rambu lalu lintas. (6) Rhematic Indexical

Legisign, yakni tanda yang mengacu kepada objek tertentu, misalnya kata ganti

penunjuk. Seseorang bertanya, “Mana buku itu?” dan dijawab, “Itu!” (7) Dicent

Indexical Legisign, yakni tanda yang bermakna informasi dan menunjuk subjek

informasi. Tanda berupa lampu merah yang berputar-putar di atas mobil ambulans

Universitas Sumatera Utara


menandakan ada orang sakit atau orang yang celaka yang sedang dibawa ke rumah

sakit. (8) Rhematic Symbol atau Symbol Rheme, yakni tanda yang dihubungkan dengan

objeknya melalui asosiasi ide umum. Misalnya, kita melihat gambar harimau. (9)

Dicent Symbol atau Proposition (proposisi) adalah tanda yang langsung

menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Kalau seseorang berkata,

“Pergi!”, penafsiran kita langsung berasosiasi pada otak, dan sertamerta kita pergi. (10)

Argument, yakni tanda yang merupakan iferens seseorang terhadap sesuatu berdasarkan

alasan tertentu. Seseorang berkata, “Gelap.” Orang itu berkata gelap sebab ia menilai

ruang itu cocok dikatakan gelap. (Sobur, 2004:42-43)

Bagi Peirce, semiotis dapat menggunakan tanda apa saja (linguistis, visual,

ruang, perilaku) sepanjang memenuhi syarat untuk sebuah tanda. Dengan demikian,

sebuah tanda melibatkan proses kognitif di dalam kepala seseorang dan proses itu dapat

terjadi kalau ada representamen, acuan, dan interpretan.

Dengan kata lain, sebuah tanda senantiasa memiliki tiga dimensi yang saling

terkait: Representamen (R) sesuatu yang dapat dipersepsi, Objek (O) sesuatu yang

mengacu kepada hal lain, dan Interpretan (I) sesuatu yang dapat diintepretasi. Ketiganya

dihubungkan dalam bentuk segitiga sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara


Bagan 2.1

Tiga Dimensi Tanda oleh Peirce

(dalam Christomy, 2004:117)

Representamen (R)

Interpretan (I) Objek (O)

Kesusastraan Melayu Sumatera Utara yang berwujud sastra lisan adalah bagian

dari tradisi lisan. Dalam kehidupan orang Melayu Sumatera Utara, tradisi lisan ini

diungkapkan dalam tiga bentuk pengungkapan, yaitu: (1) pengungkapan melalui kata-

kata atau bahasa, (2) pengungkapan melalui bunyi dan, (3) pengungkapan melalui

gerak. Adapun jenis-jenis sastra lisan yang mentradisi pada masyarakat Melayu

Sumatera Utara, antara lain: mantra, pantun, syair, ungkapan (pepatah-petitih), seni

tutur/teater tutur, kayat, nyanyi panjang, dan koba. Jenis dan bentuk sastra lisan di atas

tidak merata dimiliki oleh pesukuan atau puak yang terdapat dalam masyarakat Melayu

Sumatera Utara. Banyak ragam tradisi lisan ini antara lain disebabkan keadaan alam

daerah Pesisir Timur Sumarera Utara yang sebagian terdiri dari wilayah lautan dan

sebagian lainnya merupakan daratan (hutan belantara) serta pulau-pulau (kepulauan).

Universitas Sumatera Utara


2.5.5 Rangkuman Tiga Teori Semiotika untuk menganalisis Mantra Melaut

Dari uraian-uraian seperti di atas, maka sebenarnya semiotika itu sebuah teori

yang luas dan digeluti oleh para ahli dan berbagai bidang disiplin ilmu. Namun inti dari

teori semiotika ini adalah mengkaji tanda-tanda yang ternyata sangat kompleks dan

rumit. Untuk itu setiap pengkaji yang menggunakan teori semiotika ini perlu untuk

memahami seiotika apa yang sesuai untuk mengkaji pokok masalah penelitiannya.

Seperti diketahui bahwa keberadaan mantra melaut di dalam kebudayaan suku

Melayu Serdang di Aras Kabu mencakup berbagai hal. Mantra itu sendiri adalah

sebagai budaya lirik (sastra) yang di dlaam lirik tersebut mengandung makna-makna.

Untuk menganalisis mantra melaut dalam bentuk lirik ini, penulis menggunakan teori

semiotika yang ditawarkan Riffaterre. Dalam semiotika Riffaterre ini penulis akan

melakukan kajian dalam empat tahap: (a) kitadaklangsungan ekspresi dalam mantra

melaut; (b) pembacaan heuristik, yaitu pembacaan tingkat pertama yang merupakan

kajian terhadap makna-makana bahasa terutama kosa kata dan frase mantra melaut,

dilanjutkan ke pembacaan hermeneutik yaitu menginterpretasi atau menafsirkan makna-

makna yang terdapat dalam teks mantra melaut tersebut; (c) mencari dan

menggambarkan matriks dan model mantra melaut; dan (d) melkukan kajian terhadap

hubungan intertekstual mantra melaut dengan berbagai mantra dan tradisi sastra lainnya

di dalam kebudayaan Melayu Aras Kabu Deli Serdang.

Selain itu tradisi lisan mantra melaut dalam kebudayaan masyarakat melayu

Aras Kabu ini adalah sebuah fenomena sosial, terutama di kalangan nelayan tradisional

Melayu. Kegiatan ini jelas berdimensi sosial, yang dilakukan dan dipercayai

kemujarabannya bagi setiap nelayan gar memperoleh ridha Tuhan dan menjaga

hubunmgan antar makluk ciptaan Tuhan. Untuk menginterpretasi fenomena dan fakta

Universitas Sumatera Utara


sosial ini, penulis (peneliti) menggunakan teori semiotik sosial yang ditawarkan oleh

Halliday dan semiotika multimodal Peirce.

Pada dasarnya penggunaan semiotika sosial pada penelitian terhadap aktivitas

sosial mantra melaut pada budaya Melayu Aras Kabu adalah untuk mengungkap makna

semiotika baik berupa ungkapan verbal dan visual. Ungkapan ini berupa (1) Imaji yang

terdapat pada peralatan yang digunakan pada prosesi mantra melaut tersebut, seperti

sampan, dayung, pakian, makanan persiapan ke laut, alat penangkap ikan, dan lainnya,

(2) Pola semiotika (tanda atau simbol) yang terdapat pada mantra ritual mantra melaut

yang mencerminkan simbol gaib dan magis, seperti yang terkandung dalam sistem

kosmologi Melayu yaitu adanya makhluk gaib mambang hitam, mambang kuning,

mambang hijau, jembalang, jin, juga Nabi Khaidir, dan lain-lain. (3) Tanda dan simbol

digunakan pada ritual mantra melaut, untuk menjelaskan praktik berbahasa pada

masyarakat suku Melayu Aras Kabu. (4) Ungkapan yang dituturkan oleh setiap nelayan

sebagai mantra melaut. Dalam menggunakan teori semiotika sosial Halliday ini, karena

untuk aspek lirik (verbal) dibedah dengan semiotikanya Riffaterre, maka dalam

semiotika sosial mantra melaut difokuskan kepada interpretasi visual dan segala

perilaku nelayan.

Selain itu untuk mempertajan interopretasi terhadap budaya mantra melaut

dalam kebudayaan masyarakat Melayu Aras Kabu ini, penulis menggunakan teori

semiotikanya Peirce. Beliau adalah salah seorang pendiri awal teori semiotika. Dengan

menggunakan teori semiotikanya Peirce ini penulis akan menginterpretasikan makna-

makna budaya yang terdapat di dalam wujud gagasan, aktivitas, dan wujud (verbal dan

visual) mantra melaut, melalui tiga hal utama yaitu: ikon, indeks, dan simbol melalui

dimensi trikotomik: obejk (O), representamen (R), dan interpretan (I). Ketiga teori

Universitas Sumatera Utara


semiotika yang penulis gunakan dalam mengkaji tradisi lisan mantra melaut dalam

kebudayaan suku Melayu di Ras Kabu adalah sebagai berikut.

Bagan 2.2

Mantra Melaut dalam Kebudayaan Melayu Aras Kabu

dan Teori Semiotika yang Digunakan untuk Menganalisisnya

Universitas Sumatera Utara


2.6 Penelitian Sebelumnya

Secara keilmuan, banyak hasil penelitian sebelumnya yang relevansi dengan

penelitian ini, maka pada sub-bab penelitian sebelumnya penulis hanya mengambil

beberapa penelitian pada bagian ini. Adapun beberapa penelitian sebelumnya, seperti

yang diuraikan berikut ini.

(1) Penelitian tradisi lisan oleh Syafa’at, dkk (2008) dengan judul penelitian

Negara, Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal yang bertemakan “Mendayagunakan

Kearifan Lokal,” Pergulatan Masyarakat Adat atau Lokal dalam Pengelolaan Sumber

Daya Alam. Hasil penelitian menguraikan secara kritis tentang pengakuan terhadap

eksistensi kearifan lokal dan politik, hukum dan hak masyarakat adat terhadap akses

sumber daya alam serta memahami posisi dan kapasitas hukum adat dalam politik

pembangunan hukum di Indonesia dalam perspektif antropologi hukum.

Penelitian ini juga mendeskripsikan bagaimana pengalaman empiris masyarakat

adat dalam mengelola sumber daya alam, hutan, pesisir dan lautan, ruang di atas dan di

bawah air secara berkelanjutan dengan menerapkan sistem kearifan lokal. Kemudian

mendeskripsikan strategi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan berdasarkan

kearifan lokal terhadap alat penangkapan ikan yang tidak ramah dan cenderung merusak

sumber daya pesisir dan lautan.

(2) Penelitian Amri (2011) yang bertajuk Tradisi Lisan Upacara Perkawinan

Adat Tapanuli Selatan: Pemahaman Leksikon Remaja di Padangsidimpuan, hasil

penelitiannya adalah tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan di

Padangsidimpuan merupakan suatu kebiasaan yang masih ada di tengah-tengah

masyarakat, karena masih kerap terselenggara dengan baik upacara perkawinan adat.

Perubahan yang terjadi pada tradisi upacara perkawinan adat, akibat perkembangan

zaman, sehingga tradisi masyarakat yang menjadi kebiasaan tersebut sedikit demi

Universitas Sumatera Utara


sedikit mulai disederhanakan, karena yang sebelumnya tujuh hari dan tiga hari, kini

lebih sering satu hari saja. Faktor penyebabnya adalah finansial dan efektivitas waktu,

sehingga penyelenggaraan upacara perkawinan adat mulai disederhanakan.

Tradisi lisan pada upacara adat di Padangsidimpuan, setelah dianalisis leksikon

yang berasal dari lingkungan sebanyak 264 kata. Penyebab terjadinya penyusutan

pemahaman leksikon pada komunitas remaja di Padangsidimpuan, karena faktor

internal penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada upacara

perkawinan adat di Kota Padangsidimpuan, karena remaja tidak memahami upacara

perkawinan adat Tapanuli Selatan. Remaja tidak memahami urutan dan kronologis

upacara perkawinan adat dan remaja tidak memahami jenis-jenis upacara perkawinan

adat. Remaja tidak mengetahui apa pengukur besar kecilnya upacara perkawinan adat.

Remaja jarang mendengar leksikon pronominal dan tidak memahami leksikon adat dan

mereka tidak berusaha untu mencari tahu (bertanya) agar memahami makna leksikon

tersebut kepada pelaku adat.

(3) Penelitian Yunita (2011) yang bertajuk Analisis Semiotika Tradisi Bermantra

Pagar Diri di Desa Ujung Gading Julu, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi

Sumatera Utara, hasil penelitian menunjukkan bahwa mantra pagar diri merupakan

salah satu mantra yang termasuk ke dalam tradisi lisan yang perkembangannya

dilakukan secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Mantra pagar diri tidak

pernah dibukukan, sehingga dalam pelaksanaannya selalu mengalami perbedaan

walaupun mereka seketurunan. Kearifan lokal yang terdapat dalam mantra ritual pagar

diri dapat dilihat dari kesalinghubungan antara alam semesta dan alam kesadaran

manusia yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal juga terdapat

dalam mantra-mantra, jampi-jampi, nyanyian, pepatah, petuah, kitab-kitab kuno dan

sebagainya. Interpretasi mantra yang digunakan dalam ritual pagar diri merupakan

Universitas Sumatera Utara


semiotika yang terdiri atas mantra itu sendiri sebagai penanda dan suatu persembahan

kepada makhluk gaib, semoga pemohon mendapat perlindungan dari segala kejahatan,

baik kejahatan yang tampak oleh mata, maupun kejahatan yang kasat mata.

(4) Penelitian Daud (2001), mengenai Mantra Melayu Analisis Pemikiran,

menjelaskan bahwa mantra Melayu memang mempunyai banyak fungsi dan digunakan

dalam hampir semua aspek hidup individu dan kelompok masyarakat, khususnya untuk

kesejahteraan dan keselamatan. Di samping sifatnya yang fungsional, keberkesanan

sebuah mantra itu menjamin kedudukan dan pengekalannya dalam masyarakat. Mantra

menjadi berkesan karena adanya kuasa magik dan kepadatan serta ketepatan kata

dengan suatu maksud, sama ada secara nyata atau simbolik. Ketepatan itu penting untuk

memudahkan pengamal berinterakasi dengan Allah, makhluk gaib, roh seseorang dan

sebagainya. Mantra sebagai pernyataan sastra memang mempunyai nilai estetik,

terutama, apabila dibaca menimbulkan irama yang menarik karena terdapatnya pola

rima, aliterasi, asonansi dan perulangan berupa anafora, epifora, dan lain-lain. Dari segi

lain mantra dengan jelas memancarkan world-view dan pemikiran orang Melayu

berhubung dengan kosmologi, kepercayaan warisan, ketuhanan, makhluk gaib, hakikat

diri dan lain-lain. Sehubungan itu mantra memang boleh diterima sebagai dokumen

sosiobudaya dan sukar ditandingi karya-karya lain dalam memberikan gambaran

tentang masyarakat Melayu.

(5) Penelitian mengenai mantra oleh Jalil, et al. (2008), menjelaskan bahwa

mantra merupakan sastra lisan. Sastra lisan adalah susastra yang perkembangannya

secara lisan atau dari mulut ke mulut. Sastra lisan ini di Nusantara yang paling awal

dikenal dan dikembangkan oleh masyarakat tradisional, sebagian pakar lainnya

menyebutnya dengan sastra rakyat atau sebagian lainnya mengelompokkan kepada

tradisi lisan. Hal tersebut terkait dengan medium pengucapan sastra itu sendiri. Dalam

Universitas Sumatera Utara


hal demikian, masyarakat tradisional di Nusantara memang terlebih dahulu

mendayagunakan bahasa lisan (orality) sebagai medium pengucapan sastra dari bahasa

tulis (literacy) yang baru dikenal dan digunakan kemudian secara intensif sekitar abad

ke-19.

Mantra oleh para pakar dan pengamat kebudayaan, dianggap sebagai susastra

yang paling awal dikenal oleh manusia. Sastra lisan mantra dapat dikategorikan sebagai

sastra lama atau sastra tradisional. Sastra lama dapat berbentuk puisi dan prosa. Jenis

sastra yang termasuk jenis puisi ini misalnya, mantra, pantun, syair, dan lain-lain.

Masyarakat tradisional bahkan hingga kini, mantra dan segala aspek yang berhubungan

dengannya masih berperanan dalam sebagian kegiatan hidup masyarakat.

(6) Penelitian selanjutnya yang ada kaitannya dengan penelitian ini, adalah

penelitian yang dilakukan oleh Wan Syaifudin (1999) dengan judul penelitian Tarian

Lukah atau Jambang Lukah Menari. Hasil penelitiannya membahas mengenai ritual

tarian lukah yang di masyarakat Melayu Pesisir Timur tepatnya pada masyarakat

Melayu Pesisir Asahan, yang berkaitan dengan teks-teks atau mantra Tarian Lukah atau

Jambang Lukah Menari. Selain itu, pada penelitiannya juga membahas mengenai

paparan etnografi masyarakat Melayu Pesisir Asahan yang menghubungkan tradisi

naratif suatu kebudayaan dalam kegiatan lisan khalayaknya dengan lembaga

masyarakat. Buku ini memberikan wawasan kepada penulis, bagaimana mantra

berfungsi dalam masyarakat nelayan di Asahan Sumatera Utara. Lukah atau bubu itu

sendiri adalah salah satu alat penangkap ikan yang juga digunakan oleh para nelayan di

Aras Kabu untuk menangkap ikan di laut. Begitu pula dengan penggunaan mantranya

yang juga berkait dengan mantra melaut di Aras Kabu. keduanya merupakan doa

kepada Tuhan tentang bagaimana menjaga hubungan manusia, alam, dan Tuhan, dalam

konteks perekonomian rakyat. Antara mantra melaut dan mantra lukah menari di dalam

Universitas Sumatera Utara


kebudayaan Melayu memberikan gambaran bagaimana sistem kosmologi yang terdapat

di dalam kebudayaan Melayu. Kosmologi ini mencakup alam nyata dan faktual dan juga

alam gaib. Dalam kedua mantra ini terdapat kesamaan perlunya menjaga keseimbangan

antara dunia darat, laut, nyata, dan gaib, dengan dipandu oleh ajaran-ajaran agama

Allah.

(7) Chalida Fachruddin menuis disertasi doktor filsafat (falsafah) yang bertajuk

Labuhan Deli: Organisasi Sosial Sebuah Komuniti Melayu di Sumatera Utara, 1998.

Disertasi ini diajukan ke Fakulti Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan Universiti

Kebangsaan Malaysia. Disertasi ini secara umum menganalisis keberadaan masyarakat

nelayan Melayu di Labuhan Deli Sumatera Utara. Pendekatan keilmuan yang digunakan

oleh Chalida Fachruddin sepenuhnya adalah antropologi dengan menyoroti tentang

sejarah orang Melayu di Sumatera Utara, mendeskripsikan budaya yang merangkumi

organisasi dan institusi sosial masyarakat Melayu dari segi ekonomi, kekerabatan,

keagamaan, dan kepemimpinan, serta membicarakan sejauh mana orang Melayu telah

diintegrasikan ke dalam sistem nasional Indonesia sebagai negara yang sedang

membangun. Bagaimanapun disertasi ini sangat membantu pemahaman penulis tentang

organisasi sosial dan ekonomi masyarakat nelayannya di Sumatera Utara, khususnya di

Labuhan Deli. Permasalah yang dihadapi nelayan di kawasan ini sama juga dengan

yang terjadi di Aras Kabu Deli Serdang. Namun dalam penelitian ini penulis lebih jauh

akan mengkaji mantra melaut, tidak sebatas memerikan kondisi organisasi sosial dan

ekonomi nelayan saja.

(8) Penelitian lainnya yang secara saintifik berkaitan dengan topik penelitian

penulis adalah yang dilakukan oleh Nurhayati Lubis. Penelitian yang ditulis dalam

bentuk tesis ini, bertajuk Analisis Semiotika dalam Upacara Ritual Jamuan Laut di

Jaring Halus, 2008. Tesis ini fokus mengkaji keberadaan upacara dan mantra yang

Universitas Sumatera Utara


terjadi di dalam jamuan laut atau jamu laut yang umum dilakukan masyarakat Melayu

di seluruh Dunia Melayu, termasuk yang terdapat di Jaring Halus, Kabupaten Langkat,

Provinsi Sumatera Utara. Tesis ini berjumlah 93 halaman ditambah bahagian abstrak,

kata pengantar dan lainnya, dibagi ke dalam lima bab. Fokus utama kajian skripsi ini

adalah upacara atau ritual jamuan laut yang melibatkan pawang, tempat dan waktu

upacara, masyarakat pendukung, kegiatan, persiapan, pasca upacara, makan bersama,

dan lainnya. Sementara itu teori semiotika dari Umberto Uco, dioperasikan untuk

mengkaji upacara dan mantra jamuan laut.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Morse (dalam Denzin et al., 2009:279), menjelaskan bahwa perencanaan

penelitian mencakup banyak elemen (unsur), termasuk pemilihan lokasi. Menentukan

lokasi merupakan tahapan penting dalam penelitian, dan karena biasanya melakukan

negosiasi tempat menyita banyak waktu (sering kali melibatkan para tetua dan pamong

sebagai penilai apa saja dampaknya terhadap institusi setempat).

Berdasarkan uraian di atas, adapun lokasi dan waktu penelitian ini adalah

sebagai berikut. Lokasi Penelitian penelitian ini tepatnya dilaksanakan pada masyarakat

suku Melayu, yang berlokasi di Desa Aras Kabu, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi

Sumatera Utara. Waktu penelitian ini dimulai dari bulan Januari 2012 dan selesai pada

bulan Desember 2012, dengan proses pengambilan data hingga tahap penulisan.

Pemilihan Desa Aras Kabu sebagai daerah lokasi penelitian penulis, didasarkan

kepada masih terdapatnya para nelayan yang mengamalkan dan melakukan mantra

sebelum mereka melaut ke kawasan Selat Melaka di sepanjang pantai Deli Serdang.

Para pengamal mantra ini tetap meneruskan tradisi tersebut kepada para nelayan yang

lebih muda, termasuk kepada anak dan cucunya yang berprofesi sebagai nelayan atau

bukan nelayan. Selain itu, para informan kunci yang mengamalkan mantra ini umumnya

juga memahami adat dan budaya Melayu secara umum, dan mereka bukan saja

memelihara mantra melaut tetapi juga mantra yang lain dan budaya Melayu yang

lainnya. Selain itu, para pengamal mantra ini juga memiliki tingkat pengetahuan agama

Universitas Sumatera Utara


Islam yang baik di atas pengetahuan umat Islam pada umumnya. Ini dsebabkan bahwa

mantra Melayu adalah berasas kepada nilai-nilai dan ajaran agama Islam.

3.2 Pendekatan dan Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami suatu objek. Jadi, metode

penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek penelitian. Kumpulan metode

disebut metodik, sedangkan ilmu yang mempelajari metode-metode disebut metodologi

(Subyantoro dkk., 2006:65).

Metode yang digunakan pada penelitian tradisi ritual mantra melaut suku

Melayu di Aras Kabu adalah metode kualitatif. Analisis kualitatif mantra melaut

menyiratkan penekanan pada proses dan makna yang tidak dikaji secara ketat atau

belum diukur dari sisi kuantitas, jumlah, intensitas atau frekuensinya. Menurut Denzin,

et al. (2009:6) menjelaskan bahwa peneliti kualitatif menekankan sifat realita yang

terbangun secara sosial, hubungan erat antara peneliti dengan subjek yang diteliti, dan

tekanan situasi yang membentuk penelitian. Para peneliti semacam ini mementingkan

sifat penelitian yang sarat nilai. Mereka mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan

yang menyoroti cara munculnya pengalaman sosial sekaligus perolehan maknanya.

Penelitian kualitatif merupakan bidang antar-disiplin, lintas-disiplin, dan

kadang-kadang kontradisiplin. Penelitian kualitatif menyentuh humaniora, ilmu-ilmu

sosial, dan ilmu-ilmu fisik. Penelitian ini teguh dengan sudut pandang naturalistik

sekaligus kukuh dengan pemahaman interpretif mengenai pengalaman manusia (Nelson,

dkk., dalam Denzin dan Lincoln, 2009:5).

Denzin dan Lincoln menyatakan secara eksplisit tentang penelitian kualitatif

dalam sejarah ilmu pengetahuan manusia sebagai berikut.

QUALITATIVE [sic.] research has a long and distinguished history in


human disiplines. In sociology the work of the "Chicago school" in the

Universitas Sumatera Utara


1920s and 1930s established the importance of qualitative research for
the study of human group life. In anthropology, during the same period,
... charted the outlines of the field work method, where in the observer
went to a foreign setting to study customs and habits of another society
and culture. ...Qualitative research is a field of inquiry in its own right. It
crosscuts disiplines, fields, and subject matter. A complex, interconnected,
family of terms, concepts, and assumtions surround the term qualitative
research (Denzin dan Lincoln, 1995:1).

Artinya:
Penelitian kualitatif telah membentuk masa yang panjang dan memiliki
sejarah yang khas dalam disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan. Di dalam ilmu
sosiologi karya-karya yang dihasilkan oleh “aliran Chichago” pada
dasawarsa 1920-an dan 1930-an telah menghasilkan peneltian kualitatif
terhadap kelompok manusia yang begitu penting sumbangannya. Di dalam
antropologi pula, dalam masa yang sama, ... telah membentuk kerangka
kerhja dalam metode kerja lapangannya, yaitu para peneltinya melakukan
penelitian terhadap masyarakat asing di luar kelompok peneliti untuk
melakukan kajian terhadap adat dan kebiasaan masyarakat dan budaya lain.
Penelitian kualitatif adalah sebuah penelitian yang berdasar kepada
lapangan penelitian itu sendiri. Penelitian kualitatif adalah berlandaskan
kepada silang disiplin ilmu, lapangan, dan lingkup kajian. Istilah-istilah
yang kompleks, saling keterhubungan, seperangkat istilah, konsep, dan
asumsi, mendukung keberadaan penelitian kualitatif ini.

Lebih jauh Nelson menjelaskan menegnai apa itu penelitian kualitatif menurut

keberadaannya di dalam dunia ilmu pengetahuan adalah seperti yang diperturunkan

berikut ini.

Qualitative research is an interdisiplinary, transdisiplinary, and sometimes


counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the social and
physical sciences. Qualitative research is many things at the same time. It
is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the
value of the multimethod approach. They are commited to the naturalistic
perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At
the same time, the field is inherently political and shaped by multiple
ethical and political positions (Nelson dan Grossberg, 1992:4).

Artinya:
Penelitian kualitatif adalah penelitian lapangan yang bersifat interdisiplin,
transdisiplina, dan adakalanya kounterdisiplin. Penelitian ini merupakan
hasil persilangan ilmu-ilmu humaniora, sosial, dan alam. Penelitian
kualitatif ini menggunakan ilmu-ilmu itu secara bersamaan. Penelitian
kualitatif fokus terhadap multiparadigma. Para penggiat penelitian kualitatif
biasanya sangat peka terhadap nilai-nilai pendekatan multimetode. Mereka
sangat setia kepada pendekatan yang berperspektif alamiah, serta
menafsirkan pengetahuan mengenai pengalaman manusia. Pada saat yang

Universitas Sumatera Utara


sama, lapangan penelitian kualitatif ini inheren dengan politik dan dibentuk
oleh berbagai posisi etik dan politis.

Dari kedua kutipan di atas secara garis besar dapat dinyatakan bahwa

penelitian kualitatif umumnya ditujukan untuk mempelajari kehidupan kumpulan

manusia. Biasanya manusia di luar kumpulan penelitian. Penelitian ini melibatkan

berbagai jenis disiplin, baik dari ilmu kemanusiaan, sosial, ataupun ilmu alam. Para

penelitinya nya percaya kepada perspektif naturalistik, serta menginterpretasi

untuk mengetahui pengalaman manusia, yang oleh karena itu biasanya inheren dan

dibentuk oleh berbagai nilai etika posisi politik.

3.3 Data dan Sumber Data

Pelaporan jenis data, sumber data dan teknik penjaringan data perlu diberikan

dengan keterangan yang memadai. Uraian tersebut meliputi data apa saja yang

dikumpulkan, bagaimana karakteristiknya, siapa saja yang dijadikan subjek dan

informan penelitian, bagaimana ciri-ciri subjek dan informan itu, dan dengan cara

bagaimana data dijaring, sehingga kredibilitasnya dapat dijamin. (Denzin dkk., 2009:vi).

Berdasarkan uraian di atas, pada penelitian ini data dan sumber datanya adalah

sebagai berikut. (i) Data Primer. Pengumpulan data primer dilakukan dengan

menggunakan wawancara dengan pedoman daftar pertanyaan terstruktur yang ditujukan

kepada informan kunci. Data primer ini berupa data lisan hasil wawancara dan

diperoleh dari sumber dukun atau bomoh yang menjalankan ritual melaut. (ii) Data

Sekunder. Data-data sekunder pada penelitian ini berupa: teks, dokumen, surat-surat,

foto, hasil rekaman kaset, kombinasi teks, gambar dan suara: film ataupun video.

Universitas Sumatera Utara


3.4 Prosedur Pengumpulan Data

Beberapa prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut

ini. (1) Metode Partisipatoris. Metode partisipatoris adalah metode yang digunakan

dalam penelitian ini. Penelitian ini memerlukan kemampuan peneliti untuk terjun

langsung ke lapangan bergabung dengan masyarakat yang hendak diteliti, pada

penelitian ini penulis langsung dan berbaur dengan kehidupan masyarakat suku Melayu

Desa Aras Kabu Deli Serdang. Dengan demikian, penulis dapat menggambarkan liku-

liku kehidupan mereka secara mendetail berdasarkan data yang objektif.

(2) Metode Observasi. Metode observasi berbeda dengan metode

partisipatoris. Menurut Arikunto (dalam Triswanto, 2010:32) menjelaskan bahwa

observasi disebut pengamatan atau peninjauan secara cermat. Pengamatan adalah

pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan semua kemampuan

pancaindra. Biasanya observasi dapat dilakukan dengan cara melihat, mendengar,

meraba, mencium, dan merasakan.

Sedangkan menurut Poerlvanto (dalam Triswanto, 2010:32) mengatakan,

observasi ialah metode atau cara-cara menganalisis dan mengadakan pencatatan secara

sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau

kelompok secara langsung. Data berupa informasi faktual secara cermat dan terinci

mengenai keadaan lapangan, kegiatan, dan situasi sosial sesuai dengan konteks tempat

kegiatan-kegiatan itu terjadi.

Dari uraian di atas, penelitian ini menganalisis dan mengadakan pencatatan

secara sistematis mengenai prosesi ritual dan pembacaan mantra melaut serta

mengamati semua pola tingkah laku masyarakat suku Melayu di Desa Aras Kabu.

Universitas Sumatera Utara


1. Wawancara. Semula istilah wawancara diartikan sebagai tukar-menukar

pandangan antara dua orang atau lebih. Kemudian, istilah ini diartikan lebih lanjut, yaitu

sebagai metode pengumpulan data atau informasi dengan cara tanya jawab sepihak,

dikerjakan secara sistemik dan berlandaskan pada tujuan penelitian. Tujuan wawancara

sendiri adalah mengumpulkan data atau informasi (keadaan, gagasan/pendapat,

sikap/tanggapan, keterangan dan sebagainya) dari suatu pihak tertentu. (Subyantoro,

dkk., 2006:97).

Dari uraian di atas dapat digambarkan bahwa penelitian ini menggunakan teknik

wawancara dalam pengumpulan data. Wawancara pada penelitian, yakni ada dua orang

atau lebih yang melakukan tanya jawab, di mana pihak pertama yaitu orang yang

bertanya (pewawancara) yang memerlukan data atau informasi dari pihak lain (yang

diwawancarai). Pihak yang diwawancarai pada penelitian ini adalah dukun atau bomohh

yang akan menjadi pemandu dalam acara melaut suku Melayu Aras Kabu ini.

2. Kajian Dokumen. Metode pengumpulan data selanjutnya pada penelitian

ini adalah kajian dokumen. Berbagai data baik fakta yang terkumpul dalam surat-surat,

catatan harian, foto, laporan, artefak, naskah-naskah, dan sebagainya maupun dalam

bentuk yang lain, perlu disimpan dalam bentuk dokumentasi. Sifat data ini tidak terbatas

ruang dan waktu sehingga penulis mengetahui hal-hal yang terjadi pada waktu yang

lalu.

3. Rekaman. Perekaman merupakan salah satu metode pengumpulan data

pada penelitian ini. Perekaman merupakan data pendukung untuk penelitian ini.

Perekaman dilakukan mulai dari persiapan, saat dilakukan, dan berakhirnya ritual

melaut tersebut. Hasil dari perekaman akan dibuat dalam bentuk video atau dalam

bentuk film untuk mengecek kembali kesesuaian data.

Universitas Sumatera Utara


3.5 Teknik Analisis Data

Sesuai dengan metode analisis yang digunakan, ada beberapa bentuk analisis

data dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut. (1) Mengumpulkan semua data baik

sekunder maupun primer yang berhubungan mantra ritual melaut. (1)

Mengklasifikasikan semua data yang ditemukan mengenai mantra ritual melaut. (2)

Menganalisis data mantra ritual melaut yang telah diklasifikasikan. (3) Menerjemahkan

semua data yang didapat baik itu berupa mantra atau dalam bentuk yang lainnya ke

dalam bahasa Indonesia. (4) Mencari makna yang terdapat dari setiap unsur-unsur yang

menjadi tanda yang digunakan selama prosesi ritual melaut. (5) Pengembangan ceri-

ta ditambah dengan penjelasan dan menulis pengalaman yang dialami selama terlibat di

dalam ritual melaut.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

MANTRA DAN NELAYAN

DALAM KONTEKS BUDAYA MELAYU ARAS KABU

Mantra melaut pada suku Melayu di Aras Kabu adalah ekspresi dari kebudayaan

Melayu secara umum. Mantra melaut ini merupakan bahagian yang integral dari

kehidupan nelayan yang menggantungkan mata pencahariannya pada tangkapan ikan di

laut. Selain itu, mantra melaut ini adalah mencerminkan sistem kosmologi Melayu

dalam memandang alam dan isisnya dalam konteks ajaran agama. Seterusnya aspek-

aspek etnografis, seperti keberadaan Kesultanan Serdang, sistem kekerabatan, adat, dan

budaya Melayu Serdang pada umumnya adalah meletarbelakangi eksistensi mantra

melaut ini. Untuk itu perlu diuraikan hal-hal tersebut di atas, sebagai latar belakang

kultural yang melahirkan mantra melaut.

4.1 Masyarakat Aras Kabu di Kabupaten Deli Serdang

Kabupaten Deli Serdang adalah sebuah kabupaten di provinsi Sumatra Utara,

Indonesia. Ibukota kabupaten ini berada di Lubuk Pakam.Kabupaten Deli Serdang

dikenal sebagai salah satu daerah dari 25 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.

Kabupaten yang memiliki keanekaragaman sumber daya alamnya yang besar sehingga

merupakan daerah yang memiliki peluang investasi cukup menjanjikan. Dahulu wilayah

ini disebut Kabupaten Deli dan Serdang, dan pemerintahannya berpusat di Kota Medan.

Memang dalam sejarahnya, sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, wilayah ini

terdiri dari dua pemerintahan yang berbentuk kerajaan (kesultanan) yaitu Kesultanan

Deli berpusat di Kota Medan, dan Kesultanan Serdang berpusat di Perbaungan. Bandar

Universitas Sumatera Utara


udara baru untuk kota Medan yang direncanakan akan menggantikan Polonia, Bandara

Kuala Namu, sebenarnya terletak di kabupaten ini (Wikipedia)

Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945,

Kabupaten Deli Serdang yang dikenal sekarang ini merupakan dua pemerintahan yang

berbentuk Kerajaan (Kesultanan) yaitu Kesultanan Deli yang berpusat di Kota Medan,

dan Kesultanan Serdang berpusat di Perbaungan (sekitar 38 km dari Kota Medan

menuju Kota Tebing Tinggi).

Dalam masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), keadaan Sumatera

Timur mengalami pergolakan yang dilakukan oleh rakyat secara spontan menuntut agar

NST (Negara Sumatera Timur) yang dianggap sebagai prakarsa Van Mook (Belanda)

dibubarkan dan wilayah Sumatera Timur kembali masuk Negara Republik Indonesia.

Para pendukung NST membentuk Permusyawaratan Rakyat se Sumatera Timur

menentang Kongres Rakyat Sumatera Timur yang dibentuk oleh Front Nasional.

Negara-negara bagian dan daerah-daerah istimewa lain di Indonesia kemudian

bergabung dengan NRI, sedangkan Negara Indonesia Timur (NIT) dan Negara

Sumatera Timur (NST) tdak bersedia. Akhirnya Pemerintah NRI meminta kepada

Republik Indonesia Serikat (RIS) untuk mencari kata sepakat dan mendapat mandat

penuh dari NST dan NIT untuk bermusyawarah dengan NRI tentang pembentukan

Negara Kesatuan dengan hasil antara lain Undang-Undang Dasar Sementara Kesatuan

yang berasal dari UUD RIS diubah sehingga sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945

(Wikipedia).

Atas dasar tersebut terbentuklah Kabupaten Deli Serdang seperti tercatat dalam

sejarah bahwa Sumatera Timur dibagi atas 5 (lima) Afdeling, salah satu diantaranya Deli

en Serdang, Afdeling ini dipimpin seorang Asisten Residen beribukota Medan serta

terbagi atas 4 (empat) Onder Afdeling yaitu Beneden Deli beribukota Medan, Bovan

Universitas Sumatera Utara


Deli beribukota Pancur Batu, Serdang beribukota Lubuk Pakam, Padang Bedagai

beribukota Tebing Tinggi dan masing-masing dipimpin oleh Kontelir.

Selanjutnya dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Timur

tanggal 19 April 1946, Keresidenan Sumatera Timur dibagi menjadi 6 (enam).

Kabupaten ini terdiri atas 6 (enam) Kewedanaan yaitu Deli Hulu, Deli Hilir, Serdang

Hulu, Serdang Hilir, Bedagei/ Kota Tebing Tinggi pada waktu itu ibukota

berkedudukan di Perbaungan. Kemudian dengan Besluit Wali Negara tanggal 21

Desember 1949 wilayah tersebut adalah Deli Serdang dengan ibukota Medan meliputi

Lubuk Pakam, Deli Hilir, Deli Hulu, Serdang, Padang dan Bedagei (Pemdasu, 1982).

Pada tanggal 14 November 1956. Kabupaten Deli dan Serdang ditetapkan

menjadi Daerah Otonom dan namanya berubah menjadi Kabupaten Deli Serdang sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 yaitu Undang-Undang Pokok-pokok

Pemerintahan Daerah dengan Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1956. Untuk

merealisasikannya dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan

Pertimbangan Daerah (DPD).

Tahun demi tahun berlalu setelah melalui berbagai usaha penelitian dan seminar-

seminar oleh para pakar sejarah dan pejabat Pemerintah Daerah Tingkat II Deli Serdang

pada waktu itu (sekarang Pemerintah Kabupaten Deli Serdang), akhirnya disepakati dan

ditetapkanlah bahwa Hari Jadi Kabupaten Deli Serdang adalah tanggal 1 Juli 1946

(Pemdasu, 1982).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1984, ibukota Kabupaten

Deli Serdang dipindahkan dari Kota Medan ke Lubuk Pakam dengan lokasi perkantoran

di Tanjung Garbus yang diresmikan oleh Gubernur Sumatera Utara tanggal 23

Desember 1986. Demikian pula pergantian pimpinan di daerah inipun telah terjadi

beberapa kali.

Universitas Sumatera Utara


Dahulu daerah ini mengelilingi tiga “daerah kota madya” yaitu kota Medan yang

menjadi ibukota Provinsi Sumatera Utara, kota Binjai dan kota Tebing Tinggi

disamping berbatasan dengan beberapa Kabupaten yaitu Langkat, Karo, dan

Simalungun, dengan total luas daerah 6.400 km² terdiri dari 33 Kecamatan dan 902

Kampung.

Daerah ini, sejak terbentuk sebagai kabupaten sampai dengan tahun tujuh

puluhan mengalami beberapa kali perubahan luas wilayahnya, karena kota Medan,

Tebing Tinggi dan Binjai yang berada didaerah perbatasan pada beberapa waktu yang

lalu meminta/mengadakan perluasan daerah, sehingga luasnya berkurang menjadi

4.397,94 km².

Di awal pemerintahannya Kota Medan menjadi pusat pemerintahannya, karena

memang dalam sejarahnya sebagian besar wilayah kota Medan adalah “tanah Deli”

yang merupakan daerah Kabupaten Deli Serdang. Sekitar tahun 1980-an, pemerintahan

daerah ini pindah ke Lubuk Pakam, sebuah kota kecil yang terletak di pinggir jalan

lintas Sumatera lebih kurang 30 kilometer dari Kota Medan yang telah ditetapkan

menjadi ibukota Kabupaten Deli Serdang.

Tahun 2004 Kabupaten ini kembali mengalami perubahan baik secara Geografi

maupun Administrasi Pemerintahan, setelah adanya pemekaran daerah dengan lahirnya

Kabupaten baru Serdang Bedagai sesuai dengan UU No. 36 Tahun 2003, sehingga

berbagai potensi daerah yang dimiliki ikut berpengaruh. Dengan terjadinya pemekaran

daerah, maka luas wilayahnya sekarang menjadi 2.394,62 km² terdiri dari 22 kecamatan

dan 403 desa/kelurahan, yang terhampar mencapai 3,34% dari luas Sumatera Utara.

Tercatat dalam sejarah bahwa Bupati di Kabupaten Deli Serdang adalah

1. Moenar S. Hamidjojo,

2. Sampoerno Kolopaking,

Universitas Sumatera Utara


3. Wan Oemaroeddin Barus (1 Februari 1951 s.d 1 April 1958),

4. Abdullah Eteng (1 April 1958 s.d 11 Januari 1963),

5. Abdul Kadir Kendal Keliat (11 Januari 1963 s.d 11 November 1970),

6. Haji Baharoeddin Siregar (11 November 1970 s.d 17 April 1978),

7. Abdul Muis Lubis ( 17 April 1978 s.d 3 Maret 1979),

8. H. Tenteng Ginting (3 Maret 1979 s.d 3 Maret 1984 ),

9. H. Wasiman ( 3 Maret 1984 s.d 3 Maret 1989),

10. H. Ruslan Mansur ( 3 Maret 1989 s.d 1994 ),

11. H. Maymaran NS (3 Maret 1994 s.d 3 Maret 1999),

12. Drs.H. Abdul Hafid, MBA (3 Maret 1999 s.d 7 April 2004),

13. Drs. H. Amri Tambunan (periode 2004 s.d 2009),

14. Drs. H. Amri Tambunan (periode 2009 s.d 2014).

Peta 4.1

Kabupaten Deli Serdang

Universitas Sumatera Utara


Gambar 4.1

Logo Kabupaten Deli Serdang

4.2 Kesultanan Serdang

Sebagai pelindung bagi rakyat yang diperintahnya, maka setiap suktan di

Kerajaan Serdang selalu memperhatikan kesejahteraan dan semua aktivitas warganya,

termasuk masyarakat nelayan. Sultan Serdang biasanya menurut penjelasan para

informan selalu terlibat dalam kegiatan masyarakat nelayan ini, terutama dalam

aktivitas jamu laut. Hal ini tercermin seperti yang dikemukakan oleh Haji Amiruddin.

Sultan Serdang memang tidak ikut melaut bersama kami. Namun


demikian, sejauh pengalaman atok menjadi nelayan, yaitu saat Sultan
Serdang Sulaiman, selalu memeberikan kerbau untuk acara jamu laut di
tempat kami ini. Paduka Baginda Sultan Serdang biasanya datang ke
tempat jamuan laut ini dan melihat semua upacara jamu laut, yang
bertujuan agar para nelayan selamat mencari ikan di laut, banyak
memperoleh ikan, dan diberkahi hasil tangkapan ikannya oleh Tuhan, dan
mereka juga menjaga keseimbangan alam dengan makhluk gaib penguasa
laut. (Wawancara dengan Haji Amiruddin, 21 November 2012).

Universitas Sumatera Utara


Dengan melihat paparan seperti tersebut di atas, maka pada bahagian ini akan

diurai secara ringkas bagaimana keberadaan Kesultanan Serdang yang tidak dapat

dipisahkan dari kehidupan nelayannya di Aras Kabu. Di kawasan lain Sumatera Timur,

berjarak lebih kurang 39 kilometer dari Kota Medan menuju ke arah timur, terdapat

kesultanan Serdang. Kesultanan ini berbatasan dengan sebelah utara kesultanan

Langkat dan selat Melaka, sebalah selatan dengan Simalungun dan Kesultanan Deli,

sebelah timur dengan kesultanan Asahan dan Selat Melaka, sebelah barat dengan

Tanah Karo dan Tapanuli.

Serdang adalah salah satu dari empat kesultanan besar di Sumatera Timur. Di

masa Sultan Basyaruddin (1850-1880) istana berada di Rantau Panjang. Digantikan

oleh Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah, istana pindah ke Perbaungan.

Pengangkatan dan pemberhentian orang besar (Landsgrooten) kesultanan harus

mendapat persetujuan pemerintah Belanda Sulaiman (1881-1946) memasuki

kejayaan karena konsesi-konsesi tanah yang dibagi-bagikan kepada pengusaha

swasta Eropa yang ingin menginvestasikan modelnya dalam industri perkebunan.

Di masa Sultan Thafsinar Basyarsah yang lebih dikenal sebagai Sultan Besar

(1790-1850), ibu negeri Serdang berada di Rantau Panjang. Karena letaknya dekat

dengan pantai, kerajaan ini cepat berkembang dan menjadi salah satu bandar terkenal

di Sumatera Timur. Serdang di kala itu menghasilkan lada dan diekspor ke bandar

perdagangan internasional, seperti Melaka. Di masa pemerintahan Sultan Besar

Serdang banyak dilalui kapal-kapal dengan tujuan perdagangan. Sebelum berlayar

ke negeri Sumatera Timur, biasanya kapal lebih dahulu singgeh di Rantau Panjang.

Jika kapal akan ke Penang sering berlayar melewati Deli, Langkat, dan Serdang untuk

memgambil lada (Broersma, 1919:16).

Universitas Sumatera Utara


Menurut Anderson yang melawat ke Serdang pada tahun 1823, di Rantau

Panjang dijumpai tempat pembuatan kapal dan jumlah penduduknya tiga ribu orang

Melayu dan delapan ribu orang Batak, yang gemar menghibur diri dengan melaga

burung puyuh (Anderson, 1971:302-305).

Unsur magis dalam kerajaan acapkali dihidup-hidupkan untuk memberi

legitimasi sultan. Istana beserta perangkatnya memiliki daya magis yang luar

biasa. Ibukota kerajaan bukan saja sebagai pusat politik dan kebudayaan, tetapi juga

pusat magis (Geldern 1972:6).

Sultan dianggap pribadi sempurna. Namun dalam kebudayaan Melayu, bisa

saja rakyat berontak, dengan menuruti konsep: raja adil raja disembah, raja lalim raja

disanggah. Sumber kekuasaan Sultan lain yang dapat mengukuhkan legitimasinya

adalah alat-alat kebesaran, di antaranya: (1) alat-alat musik seperti gendang nobat,

serunai, seruling, dan terompet; (2) beberapa lencana jawatan seperti kayu gamit,

puan naya, taru, kumala, surat ciri, cap halilintar, ubor-ubor, bantal, dan langsir; (3)

senjata-senjata seperti pedang, tombak, dan keris. Yang terakhir ini dipercayai

mampu menjelma sendiri dan dipenuhi kuasa sakti sehingga dapat memusnahkan

siapa saja yang memegangnya tanpa ijin (Gullick, 1972:73-74).

Pada tahun 1891 Sultan menikah dengan Tengku Darwisyah. Perkawinannya

ini merupakan perkawinan politis. Tengku Darwisyah adalah saudara tiri Sultan

Deli, yang saat itu sering berselisih dengan Kesultanan Serdang karena soal batas

kerajaan. Untuk menyelesaikan wilayah ini pemerintah Belanda campur tangan

melalui perkawinan antara Sultan dengan Tengku Darwisyah (Mohammad Said, t.t.:

67).

Kehidupan istana Serdang tidak ketat dengan ritus upacara yang rumit.

Upacara besar dalam istana adalah penabalan Sultan. Sultan Serdang lebih senang

Universitas Sumatera Utara


bepergian di tempat tertentu sambil menonton seni pertunjukan. Putera Mahkota

Tengku Rajih Anwar adalah seorang pemusik yang sangat berbakat. Ia pandai

memainkan piano, gendang, serunai, dan terutama gesekan biolanya yang khas. Dia

juga pernah sekolah musik ke Jerman.

Bentuk administrasi birokrasi kesultanan Melayu Sumatera Timur

bercorak patrimonial, dan memprioritaskan status sosial dalam hirarki jabatan. Sultan

Melayu yang beragama Islam dalam kekuasaannya tetap didukung oleh bermacam-

macam atribut suci dan sakti, walau pada kenyatannya bukan merupakan

jaminan loyalitas abadi para bawahannya (Ratna, 1990:xi).

Dalam rangka memperluas apresiasi budaya, Kesultanan Serdang mengadakan

hubungan dengan Kesultanan Yogyakarta, yang pada tahun 1922 menerima

seperangkat gamelan Jawa dan sekalian dengan para pemainnya dari Sultan

Yogyakarta. Dalam perkembangan sosial dan politik setelah Indonesia merdeka, para

Keturunan Sultan Serdang sangat dikenal di Sumatera Utara, sebagai ahli-ahli

intelektual, budayawan, dan militer. Generasi Sinar ini menduduki beberapa posisi

strategis dalam tata pemerintahan di Sumatera Utara. Bahkan kesenian-kesenian

dikembangkan oleh mereka, seperti: makyong, mendu, ronggeng, dan bangsawan.

Para sultan yang memerintah Negeri Serdang adalah: (1) Raja Osman atau

Teuku Umar; (2) Sultan Pahlawan Alamsyah; (3) Sultan Thaf Sinar Basyarah

(1790-1850); (4) Sultan Basyarudin (1809-1850); (5) Sultan Sulaiman (1862-1946),

Sultan Sulaiman ini ditetapkan oleh Belanda menjadi Sultan Serdang tanggal 29

Januari 1887) ; (6) Sultan pemangku budaya Melayu Serdang berikutnya adalah

Tengku Abu Nawar Sinar Al-Haj (1946-1996). (7) Tuanku Luckman Sinar Basharsyah

II, S.H., Al-Haj yang memangku Kesultanan Serdang dari tahun 1996-2010. (8) Selepas

Universitas Sumatera Utara


itu pemerintahan kesultanan Serdang ini diteruskan oleh Tuanku Drs. Ahmad Thala’a,

dari tahun 2010 hingga sekarang.

4.3 Desa Aras Kabu

Aras Kabu adalah sebuah desa yang berada di bahagian pesisir timur Kabupaten

Deli Serdang. Desa ini berada di Kecamatan Beringin. Nama desa ini berasal dari

keadaan awalnya, yaitu tempat tumbuhnya pohon-pohon kabu (kapuk), yang biasa

dibuat menjadi bantal dan katil (tilam). Pohon kabu ini banyak tumbuh di desa tersebut

sejak awalnya. Maka oleh penduduknya desa ini diberi nama Aras Kabu.

Di masa Kesultanan Serdang, Aras Kabu berada di dalam kekuasaan Kesultanan

Serdang. Di zaman Belanda, ketika Belanda membangun rel kereta api dari Medan

sampai ke Rantauprapat Labuhanbatu, maka di desa ini dibangun sebuah stasiun kereta

api Aras Kabu. Di zaman pendudukan Jepang, di stasiun ini, Jepang mengebom gerbong

kereta api. Saat itu ada seniman musik Melayu, Lily Suheiry. Ketika selepas kejadian

itu, Lily Suheiry menciptakan lagu yang berjudul Aras Kabu. Lagu ini populer sebagai

lagu Melayu untuk memperkuat petjuanan bangsa Indonesia untuk merdeka dari

penjajah Belanda dan Jepang.

Sejak awal Indonesia merdeka, Desa Aras Kabu berada di kawasan Kabupaten

Deli Serdang, yang beribukota di Lubuk Pakam. Masyarakat Desa Aras Kabu,

berjumlah 3498 jiwa. Sebahagian besarnya 55 persen adalah suku Melayu, kemudian

disusul suku Jawa 26 persen. Suku Batak (Mandailing, Karo, Simalungun, dan Toba)

sebanyak 15 persen. Suku-suku lainnya adalah Tionghoa, Banjar, dan lain-lain.

Suku Melayu, Jawa, dan Mandailing umumnya beragama Islam. Suku Batak

Toba umumnya beragama Kristen Protestan. Sementara suku Karo, Simalungun,

Universitas Sumatera Utara


sebahagian Islam dan sebahagian lainnya Kristen. Orang-orang Tionghoa umumnya

beragama Budha dan Konghucu.

Desa ini penghasilan utamanya adalah kelapa sawit, padi sawah, dan ikan. Padi

sawah ditanam di seluruh sawah yang ada di desa ini. Sebahagian dari mereka adalah

nelayan di Selat Melaka. Nelayan ini ada yang menggunakan boat bermotor dan ada

pula yang berkerja di atas jermal.

Desa ini dibelah oleh jalan raya aspal yang menghubungkan Kota Lubuk Pakam

dengan Kota Batang Kuis. Sehingga transportasi dikatakan lancar, untuk urusan-urusan

bisnis, pekerjaan, dan lain-lainnya. Jalan raya ini umumnya telah diaspal dengan

mengguankan dana anggaran dari pemerintah Kabupaten Deli Serdang. Desa Aras Kabu

merupakan percontohan integrasi sosial antara masyarakat Melayu dengan suku-suku

kaum lain di kawasan ini, yang berjalan dengan baik dan rukun damai.

Mantra melaut Melayu adalah cerminan dari identitas etnik Melayu. Seperti

telah dikemukakan sebelumnya, di dalam mantra melaut Melayu terdapat unsur

budaya, akulturasi, dan fungsi sosialnya. Keberadaan mantra melaut Melayu ini

didasari oleh identitas etnik Melayu. Untuk dapat memahami siapakah orang Melayu,

yang menjadi pendukung seni mantra melaut Melayu, maka akan dijelaskan

pengertian kelompok etnik (ethnic group).

Naroll memberikan pengertian kelompok etnik sebagai suatu populasi yang:

(1) secara biologi mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai

budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya;

(3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, dan (4) menentukan ciri

kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dpaat dibedakan dari

kelompok populasi lain (Naroll, 1965:32).

Universitas Sumatera Utara


Menurut Tengku Lah Husni, orang Melayu adalah kelompok yang menyatukan

diri dalam ikatan perkahwinan di antara suku, dan selanjutnya memakai adat resam

serta bahasa Melayu dalam kehidupan sehari-hari (Lah Husni, 1975:7). Selanjutnya

Husni menyebutkan lagi, bahwa orang Melayu Pesisir Sumatera Timur merupakan

keturunan campuran antara orang Melayu yang memang sudah menetap di Pesisir

Sumatera Timur dan suku-suku Melayu pendatang, seperti Johor, Melaka, Riau,

Aceh, Mandailing, Jawa, Minangkabau, Karo, India, Bugis, dan Arab, yang

selanjutnya memakai adat resam dan bahasa Melayu sebagai bahasa penghantar

dalam pergaulan di antara sesamanya atau dengan orang dari daerah lain, serta yang

terpenting adalah beragama Islam. Suku Melayu itu berdasarkan falsafah hidupnya,

terdiri dari lima dasar: Islam, beradat, berbudaya, berturai, dan berilmu (Lah Husni,

1975:100). Berturai maksudnya adalah mempunyai susunan-susunan sosial, dan

berusaha menjaga integrasi dalam perbedaan-perbedaan di antara individu.

Ketika seorang pegawai pemerintah Inggris, John Anderson berkunjung ke

Sumatera Timur pada tahun 1823, dia menjelaskan bahwa permukiman orang

Melayu merupakan jalur yang sempit terbentang di sepanjang pantai. Penghuni-

penghuni di Sumatera Timur tersebut, diperkirakan sebagai keturunan para migran

dari berbagai-bagai daerah kebudayaan, seperti: Semenanjung Melaka, Jambi,

Palembang, Jawa, Minangkabau, dan Bugis, yang telah menetap dan bercampur

baur di daerah setempat (Pelzer, 1985:18-19).

4.3.1 Adat Melayu Aras Kabu

Hal mendasar yang dijadikan identitas etnik Melayu adalah adat resam,

termasuk aplikasinya dalam mantra. Dalam bahasa Arab adat berarti kebiasaan,

lembaga, peraturan atau hukum. Sedangkan dalam bahasa Melayu dapat dipadankan

Universitas Sumatera Utara


dengan kata resam. Resam adalah jenis tumbuhan pakis besar, tangkai daunnya

biasanya digunakan untuk kalam, alat tulis untuk menulis huruf-huruf Arab. Arti lain

kata resam adalah adat. Jadi dalam bahasa Melayu yang sekarang ini, adat dan

resam sudah digabung menjadi satu yaitu adat resam.

Menurut Lah Husni adat pada etnik Melayu tercakup dalam empat ragam,

yaitu: (1) adat yang sebenar adat; (2) adat yang diadatkan; (3) adat yang teradat,

dan (4) adat istiadat. (1) Adat yang sebenar adat adalah apabila menurut waktu dan

keadaan, jika dikurangi akan merusak, jikalau dilebihi akan mubazir (sia-sia). Proses

ini berdasar kepada: (a) hati nurani manusia budiman, yang tercermin dalam ajaran

adat: Pisang emas bawa belayar; Masak sebiji di dalam peti; Hutang emas dapat

dibayar; Hutang budi dibawa mati. (b) kebenaran yang sungguh ikhlas, dengan

berdasar pada: berbuat karena Allah bukan karena ulah; (c) keputusan yang berpadan,

dengan berdasar kepada: hidup sandar-menyandar, pisang seikat digulai sebelanga,

dimakan bersama-sama. yang benar itu harus dibenarkan, yang salah disalahkan.

Adat murai berkicau, tak mungkin menguak. Adat lembu menguak, tidak mungkin

berkicau. Adat sebenar adat ini menurut konsep etnosains Melayu adalah: penuh

tidak melimpah, berisi tidak kurang, yang besar dibesarkan, yang tua dihormati,

yang kecil disayangi, yang sakit diubati, yang bodoh diajari, yang benar diberi hak,

yang kuat tidak melanda, yang tinggi tidak menghimpit, yang pintar tidak menipu,

hidup berpatutan, makan berpadanan. Jadi ringkasnya, hidup itu seharusnya

harmonis, baik mencakup diri sendiri, seluruh negara, dan lingkungan hidupnya.

Tidak ada hidup yang bernafsi-nafsi. Inilah adat yang tidak bisa berubah (Lah Husni,

1986:51).

Dalam konteks masyarakat nelayan, adat yang sebenar adat ini diaplikasikan ke

dalam konsep mengambil yang sepadan, tinggalkan untuk anak cucu. Adat ikan adalah

Universitas Sumatera Utara


berenang, adat nelayan menangkap ikan. Memakai sepantasnya,mengambil secukupnya,

memelihara semestinya. Adat lelaki menghidupi keluarga, adat wanita sebagai ibu suri

rumah tangga. Adat manusia adalah sebagai makhluk sosial, yang perlu bekerjasama

dengan orang lain.

(2) Adat yang diadatkan adalah adat itu bekerja pada suatu landasan tertentu,

menurut muafakat dari penduduk daerah tersebut--kemudian pelaksanaannya

diserahkan oleh rakyat kepada yang dipercayakan kepada mereka. Sebagai pemangku

adat adalah seorang raja atau penghulu. Pelaksanaan adat ini wujudnya adalah

untuk kebahagiaan penduduk, baik lahir ataupun batin, dunia dan akhirat, pada saat

itu dan saat yang akan datang. Tiap-tiap negeri itu mempunyai situasi yang berbeda

dengan negeri-negeri lainnya, lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya,

lain manisia lain sifatnya. Perbedaan keadaan, tempat, dan kemajuan sesuatu negeri

itu membawa resam dan adatnya sendiri, yang sesuai dengan kehendak rakyatnya,

yang diwarisi dari leluhurnya. Perbedaan itu hanyalah dalam lahirnya saja, tidak

dalam hakikinya. Adat yang diadatkan ini adalah sesuatu yang telah diterima untuk

menjadi kebiasaan atau peraturan yang diperbuat bersama atas muafakat menurut

ukuran yang patut dan benar, yang dapat dimodifikasi sedemikian rupa secara

fleksibel. Dasar dari adat yang diadatkan ini adalah: penuh tidak melimpah, berisi

tidak kurang, terapung tidak hanyut, terendam tidak basah (Lah Husni, 1986:62).

Dalam konteks yang lebih luas, adat yang diadatkan ini mencakup sistem

organisasi sosial dan kepemimpinan dalam masyarakat Melayu. Bahwa setiap kelompok

masyarakat Melayu itu mesti ada pemimpin yang mengarahkannya menuju kedudukan

dan arah yang benar. Pemimpin adalah tempat bertanya dan memberikan arahan hidup.

Pemimpin adalah orang yang “ditinggikan seranting,” memiliki kelebihan-kelebihan

ilmu dan kedudukan sosial dibanding orang yang dipimpinnya, pemimpin harus

Universitas Sumatera Utara


memperhatikan dan mengamalkan hal-hal seperti kepemimpinan, dipercaya, adil, dan

menyinari sekitarnya. Dalam konteks nelayan di Aras Kabu ini, maka setiap kelompok

nelayan biasanya memiliki pemimpin yang mengarahkan bagaimana mesti bertindak

dan berperilaku, termasuk menangkap ikan, menjualnya, dan bersatu dalam organisasi

nelayan.

(3) Adat yang teradat adalah kebiasaan-kebiasaan yang secara berangsur-angsur

atau cepat menjadi adat. Sesuai dengan pepatah: sekali air bah, sekali tepian

berpindah, sekali zaman beredar, sekali adat berkisar. Walau terjadi perubahan adat

itu, inti adat tidak akan lenyap: adat pasang turun-naik, adat api panas, dalam gerak

berseimbangan, di antara akhlak dan pengetahuan. Perubahan itu hanya terjadi dalam

bentuk ragam, bukan dalam hakiki dan tujuan semula. Umpamanya jika dahulu orang

memakai tengkuluk atau ikat keypala dalam suatu majlis, kemudian sekarang memakai

kopiah itu menjadi pakaian yang teradat. Jika dahulu berjalan berkeris atau disertai

pengiring, sekarang tidak lagi. Jika dahulu warna kuning hanya raja yang boleh

memakainya, sekarang siapa pun boleh memakainya (Lah Husni, 1986:62).

Adat yang teradat ini adalah bagaimana masyarakat Melayu tetap konsisten

menghadapi segala perubahan yang terjadi, baik perubahan yang berasal dari dalam

maupun dari luar. Perubahan adalah sifat dari manusia, kebudayaan, dan alam. Oleh

karena itu, perubahan bukan untuk dihindari tetapi dihadapi. Dalam ajaran budaya

Melayu tercermin pada kata-kata, kalau takut dilanda ombak jangan berumah di tepi

pantai. Namun dalam kebudayaan Melayu, perubahan haruslah diikuti oleh

kesinambungan, supaya tidak terjadi perubahan yang sifatnya revolusioner dan

mengganggu tatanan yang telah ada di bawah panduan Tuhan. Perubahan dan

kesinambungan adalah dua sisi yang harus terjadi di dalam alam ini. Dalam konteks

nelayan, maka selalu dikonsepkan sekali air bah, sekali tepian berubah, artinya

Universitas Sumatera Utara


perubahan akan selalu terjadi seperti air laut mencecah pantai di setiap saat. Demikian

pula perubahan musik juga skan mempengaruhi perubahan ikan yang ada di laut, serta

perubahan hari dan bulan akan mengakibatkan perubahan pasang dan surutnya air laut,

serta perubahan ikan dan hasil-hasil laut. Untuk itu seorang nelayan Melayu harus

pandai belajar dari alam ini.

(4) Adat istiadat adalah kumpulan dari berbagai-bagai kebiasaan, yang lebih

banyak diertikan tertuju kepada upacara khusus seperti adat: perkah-winan, penobatan

raja, dan pemakaman raja. Jika hanya adat sahaja maka kecen-derungan pengertiannya

adalah sebagai himpunan hukum, misalnya: hukum ulayat, hak asasi dan sbagainya.

Budaya mantra Melayu Serdang, khususnya Aras Kabu bukan hanya didukung

oleh masyarakat kebanyakan (rakyat), tetapi juga oleh golongan bangsawan. Oleh

karena itu dikaji pula tingkatan kebangsawanan Melayu. Dalam kebudayaan Melayu

dikenal beberapa tingkat kebangsawanan. Menurut Tengku Luckman Sinar

(wawancara pada 23 September 2006), bangsawan dalam konsep budaya Melayu

adalah golongan yang dipercayakan secara turun-temurun menguasai satu kekuasaan

tertentu. Namun demikian, seorang bangsawan yang berbuat salah dalam ukuran

norma-norma yang berlaku dalam kebudayaan, boleh dikritik bahkan diturunkan dari

kekuasaannya, seperti yang tercermin dalam konsep raja adil raja disembah, raja

zalim raja disanggah. Hirarki kekuasaan adalah dari Allah, kemudian berturut-turut

ke negara, raja, pimpinan, rakyat, keluarga dan keturunannya.

Dalam kebudayaan Melayu termasuk di Serdang, tingkatan golongan bangsawan

itu adalah sebagai berikut: (1) Tengku (di Riau disebut juga Tengku Syaid) adalah

pemimpin atau guru—baik dalam agama, akhlak, mahupun adat-istiadat. Menurut

penjelasan Tengku Lah Husni (wawancara 17 Maret 1988), istilah Tengku pada budaya

Melayu Sumatera Timur, secara rasmi diambil dari Kerajaan Siak pada tahun 1857.

Universitas Sumatera Utara


Dalam konteks kebangsawanan, seseorang dapat memakai gelar Tengku apabila

ayahnya bergelar Tengku dan ibunya juga bergelar Tengku. Atau ayahnya bergelar

Tengku dan ibunya bukan Tengku. Jadi gelar Tengku secara genealogi diwarisi

berdasarkan hubungan darah secara patrilineal (nasab ayah).

(c) Raja, yaitu gelar kebangsawanan yang dibawa dari Indragiri (Siak),

ataupun anak bangsawan dari daerah Labuhan Batu: Bilah, Panai dan Kota Pinang.

Pengertian raja di daerah Melayu tersebut adalah sebagai gelar yang diturunkan

secara genealogi, bukan seperti yang diberikan oleh Belanda. Oleh pihak penjajah

Belanda, gelar raja itu diberikan baik mereka yang mempunyai wilayah pemerintahan

hukum yang luas ataupun hanya mengepalai sebuah kampung kecil saja. Pengertian

raja yang diberikan Belanda ini adalah kepala atau ketua. Menurut keterangan Sultan

Kesebelas Kesultanan Deli, Tengku Amaluddin II, seperti yang termaktub dalam

suratnya yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Timur tahun 1933, jika seorang

wanita Melayu bergelar Tengku bernikah dengan seorang bangsawan yang bergelar

Raden dari Tanah Jawa atau seorang bangsawan yang bergelar Sutan dari

Minangkabau (Kerajaan Pagaruyung), maka anak-anak yang diperoleh dari

perkahwinan ini berhak memakai gelar raja.

(d) Wan. Jika seorang wanita Melayu bergelar Tengku kahwin dengan

seorang yang bukan Tengku, dengan seseorang dari golongan bangsawan lain atau

masyarakat awam, maka anak-anaknya berhak memakai gelar wan. Anak lelaki

keturunan mereka seterusnya dapat memakai gelar ini, sedangkan yang wanita

tergantung dengan siapa dia bernikah. Jika martabat suaminya lebih rendah dari wan,

maka gelar ini berubah untuk anaknya, mengikuti gelar suaminya--dan hilang jika

kawin dengan orang kebanyakan.

Universitas Sumatera Utara


(e) Datuk. Terminologi kebangsawanan datuk ini, awalnya berasal dari

Kesultanan Aceh, baik langsung ataupun melalui perantaraan Wakil Sultan Aceh di

Deli. Gelar ini diberikan kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan daerah

pemerintahan autonomi yang dibatasi oleh dua aliran sungai. Batas-batas ini disebut

dengan kedatuan atau kejeruan. Anak-anak lelaki dari datuk dapat menyandang

gelar datuk pula. Sultan atau raja dapat pula memberikan gelar datuk kepada

seseorang yang dianggap berjasa untuk kerajaan dan bangsanya. Di Malaysia gelar

datuk diperolehi oleh orang-orang yang dianggap berjasa dalam pengembangan budaya

Malaysia. Kemudian tingkatan datuk lainnya adalah datuk seri. (f) Kaja. Gelar ini

dipergunakan oleh anak-anak wanita seorang datuk.

(f) Encik dan Tuan adalah sebuah terminologi untuk memberikan

penghormatan kepada seseorang, lelaki atau wanita, yang mempunyai kelebihan-

kelebihan tertentu dalam berbagai-bagai bidang sosial dan budaya seperti: kesenian,

dagang, bahasa, agama, dan lainnya. Panggilan itu bisa diucapkan oleh sultan, raja,

bangsawan, atau masyarakat kebanyakan.

Di dalam kebudayaan masyarakat Melayu di Aras Kabu, nelayan bukan hanya

dilakukan oleh mereka rakyat awam saja, tetapi ada juga yang bergelar bengsawan

seperti tengku yang menjadi nelayan. Oleh karena itu, pekerjaan sebagai nelayan ini

bukan identik dengan kerja orang tertentu, tetapi bisa siapa saja.

4.3.2 Sistem Kekerabatan Melayu Aras Kabu

Dalam kebudayaan Melayu Serdang di Aras kabu sistem kekerabatan berdasar

baik dari pihak ayah maupun ibu, dan masing-masing anak wanita atau pria

mendapat hak hukum adat yang sama. Dengan demikian termasuk ke dalam sistem

parental atau bilateral.

Universitas Sumatera Utara


Pembagian harta pusaka berdasarkan kepada hukum Islam (syara'), yang terlebih

dahulu mengatur pembagian yang adil terhadap hak syarikat, yaitu harta yang

diperoleh bersama dalam sebuah pernikahan suami-isteri. Hak syarikat ini tidak

mengenal harta bawaan dari masing-masing pihak. Harta syarikat dilandaskan

pada pengertian saham yang sama diberikan dalam usaha hidup, yang ertinya

mencakup: (1) suami berusaha dan mencari rezeki di luar rumah; (2) isteri berusaha

mengurus rumah tangga, membela, dan mendidik anak-anak. Hak masing-masing

adalah 50 %, separuh dari harta pencaharian.

Sistem kekerabatan etnik Melayu di Sumatera Utara, berdasar kepada hirarki

vertikal adalah dimulai dari sebutan yang tertua sampai yang muda: (1) nini, (2) datu,

(3) oyang (moyang), (4) atok (datuk), (5) ayah (bapak, entu), (6) anak, (7) cucu, (8)

cicit, (9) piut, dan (10) entah-entah. Hirarki horizontal adalah: (1) saudara satu emak

dan ayah, lelaki dan wanita; (2) saudara sekandung, yaitu saudara seibu, laki-laki

atau wanita, lain ayah (ayah tiri); (3) saudara seayah, yaitu saudara laki-laki atau

wanita dari satu ayah lain ibu (emak tiri); (4) saudara sewali, yaitu ayahnya saling

bersaudara; (5) saudara berimpal, yaitu anak dari makcik, saudara perempuan ayah; (6)

saudara dua kali wali, maksudnya atoknya saling bersaudara; (7) saudara dua kali

impal, maksudnya atok lelaki dengan atok perempuan bersaudara, (8) saudara tiga

kali wali, maksudnya moyang laki-lakinya bersaudara; (9) saudara tiga kali impal,

maksudnya moyang laki-laki sama moyang perempuan bersaudara. Demikian

seterusnya empat kali wali, lima kali wali, empat kali impal, dan lima kali impal.

Sampai tiga kali impal atau tiga wali dihitung alur kerabat yang belum jauh

hubungannya.

Dalam sistem kekerabatan Melayu Sumatera Utara dikenal tiga jenis impal: (1)

impal larangan, yaitu anak-anak gadis dari makcik kandung, saudara perempuan ayah.

Universitas Sumatera Utara


Anak gadis makcik ini tidak boleh kawin dengan pihak lain tanpa persetujuan dari

impal larangannya. Kalau terjadi, dan impal larangan mengadu kepada raja, maka

orang tua si gadis didenda 10 tail atau 16 ringgit. Sebaliknya jika si gadis itu cacat

atau buruk sekali rupanya, impal larangan wajib mengawininya untuk menutup malu

"si gadis yang tak laku;" (2) impal biasa, yaitu anak laki-laki dari makcik; (3) impal

langgisan, yaitu anak-anak dari emak-emak yang bersaudara.

Istilah kekerabatan lainnya untuk saling menyapa adalah sebagai berikut: (1)

ayah, (2) mak (emak, asal katanya mbai); (3) abang (abah); (5) akak (kakak); (6)

uwak, dari kata tua, yaitu saudara ayah atau mak yang lebih tua umurnya; (7) uda,

dari kata muda, yaitu saudara ayah atau mak yang lebih muda umurnya; (8) uwak

ulung, uwak sulung, saudara ayah atau mak yang pertama baik laki-laki atau

perempuan; (9) uwak ngah, uwak tengah, saudara ayah atau emak yang kedua baik

laki-laki atau perempuan; (10) uwak alang atau uwak galang (benteng), saudara ayah

atau mak yang ketiga baik laki-laki atau perempuan; (11) uwak utih, uwak putih,

saudara ayah atau mak yang keempat baik laki-laki atau perempuan; (12) uwak

andak, wak pandak, saudara ayah atau mak yang kelima baik laki-laki atau

perempuan; (13) uwak uda, wak muda, saudara ayah atau mak yang keenam baik laki-

laki atau perempuan; (14) uwak ucu, wak bungsu, saudara ayah atau mak yang ketujuh

baik laki-laki atau perempuan; (15) wak ulung cik, saudara ayah atau mak yang

kedelapan baik laki-laki atau perempuan; dilanjutkan ke uwak ngah cik, uwak alang

cik, dan seterusnya. Jika anak yang dimaksud adalah naka dari andak misalnya, maka

panggilan pada nomor 8 sampai 11 tetap uwak, dan nomor 11 dan seterusnya ke bawah

disebut dengan: (1) ayah uda, (2) ayah ucu, (3) ayah ulung cik, (4) ayah ngah cik, (5)

ayah alang cik, dan seterusnya.

Universitas Sumatera Utara


Peristilahan kekerabatan lainnya adalah sebagai berikut.(1) mentua atau mertua,

kedua orang tua isteri; (2) bisan (besan) sebutan antara orang tua isteri terhadap orang

tua sendiri atau sebaliknya; (3) menantu, panggilan kepada suami atau isterinya

anak; (4) ipar, suami saudara perempuan atau isteri saudara laki-laki, demikian juga

panggilan pada saudara-saudara mereka; (5) biras, suami atau isteri saudara isteri

sendiri. Misalnya Ahmad berbiras dengan Hamid, karena isteri Ahmad adalah

kakak kandung isteri Hamid. Kedua saudara itu dalam keadaan bersaudara kandung.

Dapat juga sebaliknya. (6) semerayan (semberayan), yaitu manantu saudara perempuan

dari mertua perempuan; (7) kemun atau anak kemun, yaitu anak laki-laki atau

perempuan dari saudara-saudar kita; (8) bundai, yaitu panggilan aluran ibu yang

bukan orang bangsawan; (9) bapak, kata asalnya pak, yang bererti ayah atau entu

(ertinya suci), dapat juga dipanggil abah; (10) emak, berasal dari kata mak, yang

bererti ibu atau bunda, yang melahirkan kita (embai); (11) abang, yang berasal dari

kata bak atau bah yang ertinya saudara tua laki-laki; (12) kakak, berasal dari kata kak,

yang berarsaudara tua perempuan; (13) adik, yang berasal dari kata dik, ertinya

saudara lelaki atau perempuan yang lebih muda; (14) empuan, ertinya sama dengan

isteri, tempat asal anak; (15) laki, yaitu suami.

Dalam kebudayaan masyarajat Melayu di Aras kabu, termasuk mereka yang

berprofesi sebagai nelayan, sistem-sistem kekerabatan dan sebutan-sebutan tersebut di

atas masih tetap dipelihara dan dipertahankan. Namun demikian, sesuai dengan

perkembangan zaman, maka berbagai aspeknya mengalami degradasi dan distorsi

terutama penyebutan-penyebutan cara Melayu itu tidaklah kuat dilakukan lagi.

Demikian pula halnya nama-nama Melayu dengan kosa kata kuno sudah jarang

dlakukan seperti nama Awang, Hang, dan sejenisnya.

Universitas Sumatera Utara


4.4 Kosmologi Melayu di Aras Kabu

Kosmologi Melayu di Aras Kabu secara umumnya samda dengan masyarakat

Melayu di semua tempat wilayah kebudayaan Melayu. Kosmologi Melayu ini

dipengaruhi oleh filsafat dan pandangan dunia Islam yang juga bercampur dengan

filsafat dan pandangan hidup orang Melayu sebelum datangnya Islam. Kehadiran

peradaban Islam telah membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat di Nusantara

ini termasuk ke dalam kehidupan orang-orang Melayu (Naquib, 1990:58). Filsafat Islam

ini telah menyatu dan bersenyawa dalam kosmologi Melayu (Taib, 1993:125). Walau

demikian, kepercayaan tradisional tentang alam nyata, alam gaib, dan berbagai

fenomena kehidupan tetap kuat melekat dalam konsep budaya orang Melayu (Ali,

1985:57).

Salah satu aspek kosmologi Melayu adalah konsep tentang alam. Menurut

pemahaman orang Melayu di Aras Kabu, alam semesta bercirikan peraturan yang

bersifat alamiah. Semua makhluk dan benda-benda dalam dunia ini, termasuk manusia,

berprilaku selaras dengan fungsinya berdasarkan sifat masing-masing. Setiap warga

etnik Melayu menunjukkan hal tersebut dalam banyak pribahasa, di antaranya adalah

adat air membasahi, adat murai berkicau, adat kambing mengembik, adat api panas, adat

muda menanggung rindu, adat tua mengandung ragam, dan sejenisnya. Jika makhluk,

benda, atau manusia menyalahi fungsi keberadaannya, hal ini akan mengganggu

harmonisasi kehidupan di dunia ini.

Orang-orang Melayu di Aras Kabu menjalani dan mengisi kehidupannya

berdasarkan kepada norma adat yang telah digariskan Tuhan secara alamiah, menurut

fungsinya masing-masing. Sebasgai contoh, kaum laki-laki kewajibannya adalah

mencari nafkah untuk memenuhi keperluan dasar keluarganya. Hal ini dilatarbelakangi

oleh norma bahwa seorang lelaki yang telah berumah tangga sesuai dengan fitrahnya

Universitas Sumatera Utara


mempunyai fisik yang kuat dan menjadi pemimpin rumah tangga. Bekerja mencari

nafkah haruslah memiliki tenbaga kuat, apalagi yang bekerja sebagai nelayan di laut.

Kaum laki-laki bertanggungjawab sebagai kepala keluarga dan bukan istrinya. Ini sesuai

dengan ajarran Islam, bahw kaum laki-laki adalah sebagai imam dan memimpin

keluarga. Wanita adalah sebagai mitra laki-laki, melahirkan anak, dan mengurus rumah

tangganya. Maka sejak kecil anak-anak Melayu tugas, kewajiban, dan haknya adalah

sesuai dengan jenis kelamin (Chalida, 1996:39).

Dalam konteks nelayan di Aras Kabu, dalam rangka menangkap ikan di laut,

walaupun menggunakan boat bermesin sebahagiannya, namun mereka masih tergantung

kepada alam seperti pasang dan surutnya air, siklus bulan, dan tanda-tanda alam yang

ditentukan Tuhan. Orang Melayu lebih menyukai alat penangkap ikan yang bersifat

menunggu ikan seperti jaring, lukah, dan pancing berdasarkan sifat alamiah ikan,

dibandingkan dengan mengeksploitasi alam di lautan. Jika anak-anak ikan tertangkap,

maka para nelayan ini akan membuang kembali ke laut, karena menurut konsep budaya

Melayu, akan tiba saatnya ikan tersebut akan besar untuk siap ditangkap.

Orang Melayu juga percaya bahwa dalam alam semesta ciptaan Tuhan ini, selain

alam nyata, ada pula alam gaib. Penghuni alam nyata bisa dilihat, dipegang, dan kasat

mata. Sebaliknya, alam gaib dihuni oleh makhluk gaib yang memiliki kekuasaan

supernatural (Suwardi, 1991:36). Kekuasaan supernatural tersebut tidak terlihat oleh

mata kasar manusia, tetapi dapat menimbulkan kebaikan atau keburukan kepada

manusia. Di Aras Kabu kekuasaan supernatural atau makhluk gaib ini dikenal sebagai

hantu, jembalang, jin penunggu, mambang, dan sejenisnya. Kepercayaan terhadap

berbagai kuasa luar biasa ini merupakan refleksi orang Melayu sebagai manusia sebagai

bahagian tidak terpisahkan dari alam semesta.

Universitas Sumatera Utara


Konsep tentang menyatunya manusia sebagai bahagian dari alam ini dijelaskan

dengan terperinci oleh Haji Amiruddin sebagai berikut.

Alam di dalam kepercayaan orang Melayu terdiri dari berbagai


macam jenis, seperti alam kandungan, alam ruh, alam nyata yaitu dunia kita
ini. Selain itu ada pula alam gaib, alam barzakh atau alam kubur, dan alam
akhirat yang terdiri dari sorga dan neraka. Sorga dan neraka ini pun ada
tingkatan-tingkatannya. Dunia yang kita tempati ini pun sebenarnya terdiri
dari berbagai macam jenis lagi, seperti bumi, bulan, planet, satelit, gugusan
bintang dan galaksi, dan lain-lainnya. Dunia ini juga dihuni makhluk gaib
sep0erti mambang, jembalang, jin (muslim dan kafir), hantu, dan lain-
lainnya. Mereka dapat melihat manusia, sebaliknya manusia secara umum
tidak dapat melihat mereka kecuali yang dapat mengasah indera keenamnya.
Manusia adalah bahagian dari alam, seperti yang dikemukakan oleh oyang-
oyang orang Melayu. Alam adalah ciptaan Allah. Alam ini terdiri dari alam
besar, alam kecil, dan alam diri. Alam besar dikecilkan, alam yang telah
dikecilkan, dihabisi, alam yang telah dihabisi dimasukkan ke dalam diri.
Itulah jati dari orang Melayu. Artinya diri manusia Melayu adalah bahagian
dari alam yang luas, sama-sama makhkluk ciptaan Tuhan (wawancara
dengan Haji Amiruddin, tanggal 13 Desember 2012).

Kosmologi orang Melayu khususnya di Aras Kabu memiliki kaitan dedngan

kepercayaan secara tradisional yaitu alam semesta ini terdiri dari alam nyata dan alam

gaib. Alam itu terdiri dari wujud seperti tanah, gunung, air, awan, api, air, gas, danau,

tanjung, teluk, manusia, hewan, tumbuhan, jasad renik, dan lain-lainnya. Oleh karena

itu, seorang Melayu harus mendudukkan dirinya secara seimbang dalam sistem

kosmologi ini.

Bagi orang Melayu, mereka percaya bahwa jika terjadi perubahan di alam nyata

atau (alam fana) ini, maka itu adalah manifestasi dari perubahan secara keseluruhannya

termasuk di alam gaib. Fenomena alam itu bisa berupa awan berarak, ribut petir, guruh,

air pasang, gelombang besar, cuaca ekstrim, dan lain-lainnya. Di sisi lain, orang Melayu

menggunakan alam nyata untuk memenuhi ekonomi atau kebutuhan hidupnya, seperti

komunitas nelayan di Aras Kabu yang menangkap berbagai jenis ikan d laut Selat

Melaka. Mereka menjaga keseimbangan alam ini dengan cara mengambil secukupnya

Universitas Sumatera Utara


saja, tidak mengeksplitasi secara serampangan habitat laut. Bagi nelayan Melayu

kesalahan memanfaatkan sumber daya alam seperti menangkap ikan secara semena-

mena oleh pukat harimau, dapat menimbulkan bencana kepada keidupan manusia.

Demikian pula jika manusia mengeksploitasi kehidupan di darat dengan cara menebang

hutan dan memanfaatkannya untuk nemenuhi keserakahan, maka tunggu saja alam itu

akan marah kepada manusia.

Selain itu, sebagaimana diketahui bahwa orang Melayu adalah orang yang

beragama Islam, maka Islam memberikan dasar-dasar filsafat dalam memandang alam,

yang terdiri darti alam dunia dan akhirat (Suwardi, 1991:37). Alam dunia ini tempat

manusia hidup dan alam akhirat yang abadi adalah tempat manusia setelah meninggal

dunia. Oleh karena itu, masyarakat Melayu selalu melakukan kenduri (jamu sukut)

arwah tujuh hari setelah seseorang meninggal dunia, sambil berdoa dan membacakan

ayat suci Al-Quran khususnya Surah Yasin.

4.4 Jenis-jenis Mantra Melayu Aras Kabu

Dalam kebudayaan masyarakat Melayu Serdang di Aras Kabu, mantra melaut

bukanlah satu-satunya mantra yang tetap diamalkan. Ada berbagai jenis mantra lagi

yang terdapat dalam masyarakat Melayu ini, seperti mantra merawat tulang patah,

mantra ritual tolak bala, mantra puja pantai dan tolak bala, mantra senam Melayu,

mantra jamu laut, dan lain-lainnya. Berikut ini dideskripsikan beberapa contoh mantra

seperti disebutkan itu.

Mantra dikenal sebagai jampi, serapah, puja, cuca, tangkal, dan sebagainya.

Mantra dituturkan oleh seorang pawang atau bomohh atau dukun dan dipercayai dapat

menimbulkan kesan ghaib untuk menyembuhkan penyakit atau memohon perlindungan

(Harun Mat Piah, 1989). Isi mantra mengandung kata-kata pujian yang mengandungi

Universitas Sumatera Utara


irama dan nada tertentu. Mantra juga berfungsi menyembuhkan penyakit atau

mengghalau makhluk halus, mencari pemanis, pengasih, dan turut digunakan pada

upacara-upacara adat istiadat (Mutiara Sastera Melayu, 2003:361). Di bawah ini dimuat

mantra Merawat Tulang Patah yang dijadikan media komunikasi untuk memohon

kepada Allah supaya disembuhkan penyakitnya.

Mantra Merawat Tulang Patah

Bismillahirahmanirrahim,

Jong sengkang kemudi sengkang,

Tarik layar kembang sena,

Urat yang kendur sudah ku tegang,

Urat yang putus sudah ku sambung,

Teguh Allah, tegang Muhammad,

Sendi anggota Baginda Ali,

Tulang gajah, tulang mina,

Ketiga dengan tulang angsa,

Patah tulang berganti sendi,

Badan jangan rosak binasa,

Berkat sidi kepada guru,

Sidi menjadi kepada aku,

Lailahaillallah, Muhammadar Rasulullah.

Selain itu, mantra dalam budaya Melayu dapat juga digunakan untuk tujuan

utama memperkuat fisik manusia. Kedudukan ketahanan dan kekuatan fisik masing-

masing tokoh itu dalam kehidupan anggota masyarakat dianggap mampu menguasai

Universitas Sumatera Utara


penjaga dan penguasa di laut, separti Laksamana Mambang Tali Arus, Mambang Jeruju,

Katimah Panglima Merah, Datuk Panglima Babu Rahman, dan Babu Rahim

(Syaifuddin 2006). Teks mantra yang dinyatakan itu, seperti berikut;

Mantra Ritual Tolak Bala

...jangan engkau masuk tapak guru aku

jikalau engkau masuk tapak guru aku

aku sumpah engkau dengan perkataaan

nabi Allah Sulaiman.

Aku sumpah engkau dengan perkataan

Laailaahaillallah,

Muhammadarrasuuulullaah.

Bismillahirrahmanirrahim

Hai ... Mambang Bumi

Hai ... mambang tanah

Hai ... Mambang laut

yang menjaga Pusak Tasek Pauh Jenggi.

Hai ... Datu’ mambang kuning

Hai ... Datu’ Mambang merah

Hai ... Datu’ Mambang hitam...”

... Hai ... Datok ketam

Hai... Datok sontok

Hai... Nini kencong

Hai... nini menti ...

Di kiri datu Gamad

Universitas Sumatera Utara


Di kanan datu Saeh

Di muka datu Sai

Di belakang datu Cong.

Wala tak wala tam

Tubuhku tubuh mulia

Tak mempan di tetak

Tak mempan ditikam

Berkat Laillahaillallah

Berkat Muhammadarasullullah.

Bismi’llahi’l-Rahmani’l-Rahim

Jibril

Mikail

Israfil

Izrail

minta aku turun engkau

menurunkan Syehk Abbdul Kadir Jaelani

tawar Syehk Lukman Hakim.

Bukan aku mempunyai tawar

nur hak nur Baginda

Bismi’llahi’l-Rahmani’l-Rahim

berkat Muhammad s.a.w.

Aku memahami sabuk besi sanukani

Pemberian nabi Allah Khaidir. ...

Universitas Sumatera Utara


Mantra juga digunakan untuk tujuan komunikasi antara manusia dengan alam.

Kesadaran dalam membentuk perilaku menjaga alam sekitar tidak hanya dalam masa-

masa tertentu, melainkan untuk selamanya. Kesadaran itu dalam teks mantra ritual puja

pantai dan tolak bala dikemukakan seperti berikut:

Mantra Puja Pantai dan Tolak Bala

... bukan aku melepas bala mustaka

jin taru melepas bala mustaka

bukan aku melepas bala mustaka

jin yang tua melapas bala mustaka.

... Nenek air jembalang air

yang duduk di atas air di tepi air

nenek yang alus bahasa alus

anak cucu yang kasar bahasa kasar

maaf beribu maaf ampun beribu ampun....

Datuk Mat Kuis

jangan dihalangi lagi anak cucu

jangan diulangi ...

... terimalah jamuan kami ini

inilah pemberian kami.

Jagalah semua anak cucumu yang berada disini

dari semua marabaya

berilah anak cucumu rezeki yang banyak ...

(sumber: Tok Sokbi di Aras Kabu, 20 Januari 2011).

Universitas Sumatera Utara


Mantra senam Melayu adalah mantra yang diucapkan bomoh ketika hendak

melakukan senam kekuatan (seks). Adapun selengkapnya mantra sebelum melakukan

gerak senam Melayu itu adalah seperti yang diperturunkan berikut ini. (Diperoleh dari

apa yang diturunkan oleh Tok Sokbi kepada peneliti yang juga bertindak sebagai

peneliti terlibat, paticipant observer).

Mantra Senam Melayu

Bismillahirrahmanirrahiim

Ya Ali, Fatimah Ali, Abu Bakar bangkitkan tunggul yang tunggal

Uratku kerabat tulangku, urat Muhammad di dalam tubuhku

Pan besi aku membaca doa si putar Ali

Berkat Laa ilaaha ilaallah

Mantra di atas terdiri dari lima ayat yang saling kait-berkait makna dan susunan

ayatnya. Ayat Bismillahirrahmanirrahiim, artinya adalah Dengan nama Allah Yang

Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ayat ini umum digunakan dalam semua doa di

galam kegiatan mengikut ajaran Islam. Dalam ayat ini terkandung bahwa apa yang akan

diperbuat dan dilakukan adalah atas nama Allah. Apa saja yang manusia lakukan wajib

menyerahkannya karena Allah, bukan kepada yang lain. Kata arrahmanirrahiim pula

merupakan dua sifat Allah kepada makhluknya. Ia Maha Pengasih dan Allah Maha

Penyayang terhadap semua makhluknya tidak terkecuali bagi pelaksana mantra melaut

Melayu ini.

Ayat berikut yaitu Ya Ali, Fatimah Ali, Abu Bakar bangkitkan tunggul yang

tunggal, maknanya bahwa apa yang dilakukan menerusi mantra Melayu ini adalah agar

si pesenam menjadi kuat jasmani dan rohani sebagaimana kekuatan dan kesehatan Ali

Universitas Sumatera Utara


bin Abi Thalib, kemenakan Nabi, yang kawin dengan anak Nabi, yaitu Fatimah Ali.

Begitu juga ucapan kepada Khalifah pertama di era khulagaurrasyiddin, yaitu Abu

Bakar ibnu Khattab. Ketika pimpinan Islam ini menjadi simbol akan kekuatan,

kebenaran, dan keadilan. Si pesenam memohon kepada Allah seperti halnya Ali,

Fatimah, dan Abu Bakar tolong dikuatkan tunggul yang tunggal. Secara semiotika,

tunggul yang tunggal maknanya adalah sebagai simbol zakar lelaki. Tunggul adalah

bekas pohon yang telah tumbang dan tinggal sisa-sisa saja. Bahwa zakar yang akan

disenamkan adalah seperti tunggul itu perlu dibela dan dibina. Tunggul yang tunggal

maknanya adalah bahwa kalau lelaki haruslah bersifat tulen dan tunggal sebagai lelaki

bukan bersifat mendua, sedikit kewanita-wanitaan. Ini yang dimaksudkan oleh ayat

kedua.

Ayat ketiga yaitu Uratku kerabat tulangku, urat Muhammad di dalam tubuhku.

Maknanya adalah bahwa urat si pesenam adalah bahagian yang tidak terpisahkan dari

tulang manusia itu. Kemudian dipertegas bahwa urat Muhammad di dalam tubuhku.

Maksud ayat ini adalah bahwa si pesenam adalah seorang Islam, umat Nabi

Muhammad, jadi ia bermohon kepada Allah bangkitkanlah kesedia kala agar kuat fisik

si pesenam, terutamanya di bahagian tulang dan urat (otot). Ayar ini adalah indeks

bahwa si pesenam telah mengislamkan dirinya sebagai umat Muhammad. Bahwa urat

Muhammad juga telah ada di dalam tubuh si pesenam.

Ayat keempat yaitu Pan besi aku membaca doa si putar Ali. Maknanya adalah

si pesenam memohon atau membaca doa agar dirinya dikuatkan seperti halnya benda

Allah besi yang kuat. Kekuatan ini kembali lagi seperti kuatnya Saidina Ali. Kata pan

dalam bahasa Melayu Sumatera tara maknanya adalah sebagai partikel yang

menguatkan, sebagaimana halnya pada bahasa Melayu Betawi. Misalnya kata pan aku

yang mengajarinya. Artinya sama dengan Tentu saja aku yang mengajarinya. Makna

Universitas Sumatera Utara


partikel pan ini adalah menguatkan. Pan besi yang dimaksud adalah tentu kuat seperti

besi. Doa si utar Ali maknanya adalah doa yang berkaitan dengan Saidina Ali, biasanya

dalam Islam adalah doa untuk kekuatan fisik. Ali adalah ikon dari keperkasaan, baik

untuk perang jihad maupun untuk berbagai keperluan hidup di dunia yang memerlukan

kekuatan seperti mengangkat benda berat, memikul beban, mengangkat air, melakukan

olah raga gulat, dan lain-lainnya.

Ayat kelima Berkat Laa ilaaha ilaallah, maknanya adalah semua aktivitas

tersebut akan dikabulkan oleh Sang Khalik jika Ia meredai apa yang kita lakukan.

Dalam hal ini, mantra melaut untuk memperbaiki urat dan tulang agat kuat, dan

akhirnya kuat untuk melakukan hubungan suami isteri. Ini boleh terwujud kalau Allah

memberikan izin. Laa ilaaha ilaallah itu sendiri merupakan bahagian dari ayat

syahadatain, yang menandakan atau indeks kepada masuknya seseorang menjadi

muslim. Pengakuan atau syahadat umat Islam adalah Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan

selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Ini adalah

bahagian dari rukun Islam yang pertama. Yang kemudian selepas itu harus disertai

dengan empat rukun lainnya, yaitu mengerajkan shalat, melakukan puasa, menunaikan

zakat, dan pergi haji bagi yang mampu. Itulah inti dari mantra senam Melayu yang

diwarisi dalam sistem tradisi lisan di atas.

Mantra jamu laut adalah mantra yang diucapkan oleh bomoh (dukun) Melayu

ketika mengadakan ritual jamu laut. Adapun ritual jamu laut ini adalah berupa

penyembelihan kerbau dan kepalanya dihanyutkan ke laut sebagai upaya menjaga

keseimbangan alam dengan penguasa gaib di laut, agar para nelayan memperoleh ikan

yang banyak dan direstui segala aktvitasnya di laut. Adapun mantra jamu laut yang

penulis peroleh dari informan kunci di Desa Aras Kabu adalah sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara


Mantra jamu laut

Hai Mambang laut yang menguasai empat penjuru angin

Engkau pula yang menguasai lautan

Jikalau engkau mengakui persahabatan dengan kami manusia

Datanglah engkau wahai Mambang laut ke mari

Kami persembahkan seekor kerbau, terimalah sajian ini

Bismillahirrahmanirrahim

Mambang Laut hai Jin Tanah Jembalang Tanah

Kami persembahkan seekor kerbau

Terimalah dan peliharalah kami

Hai… Panglima Hitam kemarilah engkau

Panggillah kawan-kawanmu

Semua bala tentaramu datanglah

Kami datang memenuhi janji

Kami membuat jamuan laut

Hai… Panglima Hitam terimalah jamuan ini

Ini dia pembahagian kami setahun ni

Jagalah semua anak cucumuyang ada di sini

Jauhlah mara bahaya, selamatkan kami

Hai… Panglima Merah terimalah jamuan ini

Jagalah semua anak cucumu yang berada di sini

Jauhkan semua marabahaya selamatkan kami

Semuanya berkat Laailahailallah …

Universitas Sumatera Utara


Selain mantra-mantra di atas masih banyak mantra-mantra lain yang dijumpai di

dalam kebudayaan Melayu Aras Kabu. Di antaranya adalah mantra jamu sampan, jamu

perahu, mantra pengasih, mantra membuat pintar, mantra pemanis, mantra kekuatan,

dan lain-lain. dengan demikian, mantra merupakan bahagian kebudayaan yang penting

di dalam kehidupan suku Melayu.

4.5 Nelayan di Aras Kabu

Mantra melaut adalah hasil dari kebudayaan masyarakat Melayu yang bekerja

sebagai nelayan, yang menangkap ikan di laut. Bisa dikatakan bahwa mantra melaut,

termasuk juga mantra-mantra seperti jamu laut, mantra jamu sampan, sinandong, dan

lain-lainnya adalah hasil dari kebudayaan masyarakat maritim yang juga sebahagiannya

ada yang sekaligus agraris.

Masyarakat maritim ini secara ekonomi menggantungkan hidupnya dari

penangkapan ikan di laut. Dalam hal ini mereka kemudian membentuk organisasi

nelayan baik secara formal maupun informal. Mereka sesama nelayan juga merasa

senasib dan sepenanggungan. Menurut pengamatan penulis, antara nelayan ini terjalin

komunikasi sosial sebagai sebuah keliuarga besar.

Secara finansial, para nelayan diberi kredit usaha oleh pemerintah Republik

Indonesia melalui perbankan dengan sistem kredit lunak. Mereka diberi pinjaman

dengan agunan berupa sampan atay tanah dan lainnya, yang kemudian dicicil per bulan

dengan bunga bank yang relatif lunak. Ini bertujuan untuk membantu taraf hidup

nelayan dengan cara membeli perahu atau mesin boat, dan lainnya agar tangkapan lebih

banyak jumlahnya dan mampu melesatkan pendapatan mereka.

Universitas Sumatera Utara


4.5.1 Alat-alat Menangkap Ikan di Laut

Suku Melayu di Aras Kabu ini, dalam rangka menangkap ikan-ikan di laut

menggunakan teknologi tradisional dan modern. Teknologi tradisional adalah alat

diwarisi secara turun-temurun. Sementara teknologi modern umumnya dipandang telah

menggunakan teknologi terkini dengan berbasis mesin, seperti penggunaan perahu

bermesin, dengan solar sebagai bahan bakar utamanya.

Adapun alat-alat tradisional untuk menangkap ikan, yang diwarisi oleh para

nelayan di Desa Aras Kabu ini adalah: jarring tancap, ambai, jarring apolo, langgei

laying, sondong, lukah (bubu), tangkul kepiting, pancing rawai, pukat jerut, dan lain-

lainnya. Menurut penjelasan para informan (narasumber) setiap alat penagkap ikan di

laut ini digunakan berdasarkan kepentingannya.

Jaring tancap yang disebut juga dengan insang hanyut, karena jaring ini khusus

digunakan untuk menjerang belakang lobang penutup insang ikan. Pada saat operasi

penangkapan dijalankan jaring tancap ini dihanyutkan searah dengan arus air laut. Di

Aras Kabu dan lainnya di pesisir Deli Serdang ada dua jenis jaring insang hanyut yaitu

jaring satu lapis dan jaring tiga lapis. Jaring selapis adalh jaring tancap yang dibuat dari

bahan tali tangsi atau tali kail, disebut juga benang atom. jaring ini membentuk segi

enpat, panjangnya sekitar 40 meter, lebarnya tergantung dari jenis ikan yang akan

ditangkap. Begitu juga dengan luas mata jaringnya. Jika digunakan untuk menangkap

udang, maka jaring adalah satu sampai dua sentimeter dan untuk menangkap kepiting

antara empat sampai enm sentimeter.

Jaring apolo adalah jenis jaring hanyut yang terdiri dari tiga lapis. Dua dari

lapisan luar jaring ini mempunyai mata jaring yang kasar, yaitu sebesar empat sampai

sembilan sentimeter. Mata jaring pada lapisan sebelah dalam adalah setengah hingga

dua sentimeter. Oleh karena itu, ikan dan udang akan tersangkut pada jaring di sebelah

Universitas Sumatera Utara


dalam. Para nelayan di Desa Aras Kabu suka menmakai jenis jaring apolo ini untuk

menangkap udang. Panjang jaring adalah sekitar 40 meter dengan lebar 1,5 meter.

Selanjutnya ambai adalah salah satu jenis alat penangkap ikan yang digunakan

para nelayan di kawasan ini yang dapat diklasifikasikan sebagai alat penghadang ikan.

Ambai berbentuk kantong yang divbuat dari benang atom atau kail. Mulutnya berukuran

3 kali 5 meter, serta panjangnya sekitar 7 meter. Kedua sisi mulut ambai terdapat

kudang, yaitu alat untuk menyangkutkan ambai pada tiangnya, yang biasanya terbuat

dari kayu pinang atayu kayu nibung. Tiang ini dipacakkan pada tepian pantai dan paluh.

Dalam setiap dua tiang ambai terdapat satu pintu.

Langgei layang adalah jaring dorong, yang cara bekerjanya digunakan dengan

menggunakan boat. Cara menggunakan alat ini ialah dilayang-layangkan. dalam

operasionalnya lenggei layang ini menggunakan takal atau katrol yang dijalankan

dengan mesin pada boat. Tangkai lanngei layang biasanya dibuat dari kayu atau bambu

bersilang yang berukuran enam sampai tujuh meter. bagian mulut lanngei berbentuk

segitiga sama sisi yang panjang setiap sisinya adalah lima meter.

Di sisi lain, sondong mertupakan alat penangkap ikan yang banyak digunakan

oleh nelayan pantai di Nusantara. Di Borneo (Kalimantan) alat ini disebut sangkut, di

Sulawesi anggo, di Ambon tanggo. Cara penggunaan alat ini tidak memerlukan boat,

karena nelayan bisa menolaknya sendiri. Sondong memiliki bingkai yang terbuat dari

kayu atau bambu, berukuran tiga meter.

Lukah atau bubu adalah alat penangkap ikan yang dikategorikan sebagai

perangkap. Bentuk lukah biasanya berbeda-beda menurut tempat penghasil lukah

tersebut. Ada yang berbentuk sangkar, gendang, segi tiga, dan bulat. Di pantai Deli

Serdang umumnya bubu ini berukuran 70 sampai 110 sentimeter panjangnya dan 30

sampai 70n sentimeter lebarnya. Lukah dibuat dari bambu yang dianyam sedemikian

Universitas Sumatera Utara


rupa. Setiap lukah ini diberi tali sepanjang 3 meter. Tali ini diikatkan pada kayu yang

dipacakkan dan juga sebagai tanda posisi di mana ia diletakkan.

Tangkut kepiting termasuk ke dalam kategori jenis jaring angkat. Alat ini dibuat

khusus untuk menangkap kepiting (ketam), terutama yang disebut oleh para nelayan

sebagai kepiting kelapa. Tangkul kepiting dibuat dari tali tangsi, dan mata jaringnya

berukuran empat samapi enam sentimeter. jaring tangkul kepiting ini berbentuk segi

empat, setiap sisinya berukuran setengah meter, diberi bingkai bambu atau rotan.

masing-masing sudut dihubungkan secara bersilang dengan rotan yang melengkung.

Alat lainnya yaitu pancang rawai adalah alat penangkap ikan yang dibuat dari

bahan dasar seutas tali kajar, yang anjangnya sekitar 100 meter. Pada setiap setenah

meter terdapat tali cabang, yang diikatkan mata pancing (kail) yang dilekati umpan,

berupa ikan kecil. mata kail yang ada pada rawai ini berjumlah 200 sampai 300 buah.

Salah satu ujung talinya diberi batu pemberat, sementara ujung tali yang satu lagi

diikatkan pada sampan aau perahu.

Alat penangkap ikan pukat jerut, biasanya digunakan oleh para nelayan yang

menjadi pekerja di kapal pukat. Pukat jerut ini dikenal juga sebagai pukat cincin, karena

jaringnya berbentuk empat persegi panjang, mempunyai pemberat pelampung dan

cincin yang dibuat dari tembaga. Bagian ini bisa ditarik atau dijerutkan untuk

membentuk lingkaran yang mampu mengurung kelompok ikan. Pukat jerut ini

adakalanya disebut juga dengan pukat langgar. Nama ini berasal dari waktu menangkap

ikan, jaring tersebut harus dilanggarkan kepada sekumpulan ikan, hingga ikan-ikan

tersebut terkumpul dan selanjutnya terkurung.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

ANALISIS SEMIOTIKA

MANTRA MELAUT

Bab V ini adalah bab ini yang secara rinci merupakan temuan penelitian. Analisis

yang dikerjakan mencakup (a) analisis semiotika pelaksanaan ritual mantra melaut, dan

(b) kemudian secara linguistik kebudayaan dianalisis pula secara khusus lirik mantra

melaut yang diucapkan oleh para nelayan, yang dipimpin oleh seorang nelayan ketua,

tetapi tidak mau disebut dengan bomoh. Seperti sudah disebutkan sebelumnya untuk

mengkaji mantra melaut dalam kebudayaan Melayu Aras Kabu digunakan teori semiotik

sosialnya Halliday yang disebut juga dengan Linguistik Sistemik Fungsional (LSF).

Selanjutnya untuk mengenalisis lirik mantra melaut yang diguanakan para nelayan

Melayu Aras Kabu dalam kegiatan sosioekonominya, penulis menggunakan teori

semiotika yang ditawarkan oleh Michael Riffaterre. Teori semiotika yang dikemukakannya

ini sering juga disebut dengan teori semiotika puisi. Sesuai dengan arahan Riffaterre, maka

penulis akan nelaksanakan: pertama, pembacaan heuristik, yaitu pembacaan tingkat

pertama yait memahami makna mantra melaut secara linguistic. Kemudian kedua, penulis

melakukan pembacaan hermeneutik, yaitu menginterpretasi makna mantra melaut secara

utuh dan integral. Dengan cara kerja analisis seperti itu, maka akan didapatkan hasil

penelitiasn ini dalam dua lingkup semiotika.

Untuk mempertajam analisis semiotik sosial dan lirik kajian ini juga dilengkapi

dengan analisis semiotikanya Peirce, yang memperhatikan tiga unsur dalam semiotika

yaitu: representamen (R), obejk (O), dan interpretan (I). Dengan mensintesiskan ketiga

pendekatan semitoik ini diharapkan akan menghasilkan makna-makna di balik aktivitas

verbal dan visual sekali gus.

Universitas Sumatera Utara


5.1 Analisis Melalui Semiotika Sosial

5.1.1 Pelaksanaan Ritual Mantra Melaut

Permainan mantra melaut dianalisis mengikuti analisis semiotika sosial atau

multimodal Halliday, Kress, dan van Leeuwen (1996), Kress (2000) dan model Royce

(2007). Dapat dijelaskan dalam model tersebut terdapat tingkat ekstravisual dan visual

ritual mantra melaut. Di sisi lain, tingkat ekstravisual ritual mantra melaut terdiri dari

konteks budaya dan konteks situasi mantra melaut. Pada tingkat visual ritual mantra melaut

dipdapati makna semantik visual, sistem desain (gramatika) visual, dan simbologi

representasi mantra melaut.

5.1.2 Konteks Budaya Mantra Melaut

Secara konteks budaya, struktur ekstravisual imaji mantra melaut terdiri atas tiga

(3) struktur generik yaitu: (1) struktur persiapan, (2) struktur pembacaan mantra, dan (3)

struktur setelah pembacaan mantra dan siap-siap pergi melaut. Deskripsinya adalah sebagai

berikut.

a. Struktur sebelum pembacaan mantra

Adapun struktur imaji sebelum acara pembacaan mantra melaut dimulai, pemimpin

upacara dan dua nelayan lain mempersiapkan semua kebutuhan yang diperlukan selama

melaut di lautan lepas (Selat Melaka), yaitu: makanan seperti beras, garam, gula, kopi, teh,

air tawar, dan lain-lainnya. Ini adalah bahagian dari persiapan untuk memenuhi kebutuhan

pokok makan dan minum selama melaut nantinya. bahan-bahan keperluan ini dibeli di

kedai di Desa Aras Kabu ada juga yang dibeli di Desa Pantai Labu sebagai tempat

tangkahan pergi dan pulang melaut.

Universitas Sumatera Utara


b. Struktur ritual mantra melaut

Dalam rangka melaksanakan upacara mantra melaut, yang paling utama adalah

pembacaan mantra di atas sampan yang dipimpin oleh pemimpin nelayan, dan diikuti oleh

dua nelayan lainnya. Mantra yang diucapkan ini juga berfungsi sebagai doa, agar nanti

selamat melaut dan mendapatkan hasil tangkapan seperti yang diharapkan, dan akhirnya

dapat memenuhi kebutuhan ekonomi sang nelayang tersebut.

Imaji-imaji di atas menunjukkan bahwa ritual mantra melaut yang terdapat di

dalam kebudayaan nelayan suku Melayu di Aras Kabu merupakan kearifan lokal yang

dioleh dari konsep adat berseandikan syarak, dan syarakak bersendikan kitabullah. Artinya

terjadi harmonisasi secara akulturasi antara kebudayaan Melayu dan agama Islam.

Imaji Visual Struktur generik rutual mantra melaut

Duduk di atas sampan

Universitas Sumatera Utara


Menghadap ke arah lautan (selat Melaka)

Membaca mantra melaut secara perlahan-lahan dipimpin


oleh nelayan pemimpin

Figura 5.1:
Imaji Visual dan Struktur Generik Ritual Mantra Melaut

c. Struktur setelah pembacaan mantra

Setelah dilakukannya pembacaan mantra, maka tahapan berikutnya adalah kegiatan

setelah upacara. Menurut pengamatan penulis di lapangan, setelah dilakukan pembacaan

mantra, ketiga orang nelayan tersebut istirahat, sambil memandang ke laut lepas. Mereka

tampak seperti memiliki kekuatan rohani dan jasmani untuk siap-siap menuju ke lautan

lepas.

5.1.3 Konteks Situasi Mantra Melaut

Di dalam konteks situasi mantar melaut, imaji visual mengungkapkan entitas dan

aktivitas pelibat. Imaji entitas mengklasifikasikan bagian-bagiannya dan imaji aktivitas

mengungkapkan setiap gerak dan aktivitas secara berurutan dan bertautan. Berdasarkan

Universitas Sumatera Utara


konteks situasinya, struktur visual mantra melaut ini terdiri atas 3 (tiga) struktur, yang

kemudian dapat diuraikan sebagai berikut.

(a) Medan

Medan berhubungan dengan aktivitas yang sedang berlangsung, di mana setiap

rangkaian aktivitas dipengaruhi oleh masyarakat, benda, proses, tempat, dan kualitas

(Sinar, 2008: 56). Berkaitan dengan data konteks situasi, maka medan pada penelitian ini

adalah ritual mantra melaut yang dimiliki oleh masyarakat suku Melayu di Aras Kabu. Ada

dua referensi (referents menurut Martin dan Rose, 2003:324) yang bisa diungkapkan

sebagai medan imaji visual yaitu (a) doa kepada Tuhan agar diberi perlindungan selama

melaut, (b) bentuk menjaga hubungan antara alam yaitu alam manusia dan alam gaib yang

menguasai lautan.

Referensi menggambarkan imaji benda, proses, tempat, dan kualitas ritual mantra

melaut yang dikaitkan dengan sistem religi dalam mengawali sebuah ritual dalam tradisi

Melayu di Aras Kabu. Mantra melaut yang diucapkan para nelayan ini dimulai dengan

mengusir setan A’uzubillahhiminasyaitonnirrojim dan menyebut nama Allah SWT

“Bismillahhirrohmanirrahim. Kemudian membaca Surat Al-Fatihah sebagai ummul

Qur’an, dan kemudian berkomunikasi dengan makhluk-makhluk gaib agar diijinkan melaut

dan saling menjaga keseimbangan alam.

(b) Pelibat

Sinar (2008:57) menyebutkan bahwa pelibat mengkarakterisasikan fungsi konteks

situasi dan berhubungan dengan siapa yang berperan, status dan peranan mereka, seluruh

jenis ucapan yang mereka lakukan dalam dialog, dan ikatan hubungan sosial di mana

Universitas Sumatera Utara


mereka terlibat. Pelibat ritual mantra melaut di dalam kebudayaan masyarakat Melayu di

Aras Kabu ini terdiri dari:

1. Pemimpin nelayan dan sekaligus memimpin pembacaan mantra

2. Nelayan 1

3. Nelauan 2

(bisa ditambah dengan nelayan-nelayan lain sesuai dengan kehendak bersama, mau

berapa nelayan dalam satu sampan yang akan melaut)

(c) Sarana

Kemudian bahagian penting dalam konteks situasi selanjutnya adalah sarana.

Sarana menurut Sinar (2008:61) berkaitan erat dengan kegiatan menyalurkan komunikasi

yang dilakukan dengan bentuk informasi. Berkaitan dengan data visual, sarana pada ritual

mantra melaut nelayan Aras Kabu ini terdiri dari dua bagian, yaitu lisan dan visual. Sarana

lisan yang terdapat pada ritual mantra melaut berupa mantra, sedangkan sarana visualnya

berupa seluruh aspek visual yang terdapat pada ritual mantra melaut tersebut. Contoh :

jarring tancap, ambai, jarring apolo, langgei laying, sondong, lukah (bubu), tangkul

kepiting, pancing rawai, pukat jerut, dan lain-lainnya.

5.1.4 Semantik dan Gramatika Visual

Semantik dan gramatika visual mengandungi sistem makna dan sistem desain

visual dari pelibat ritual mantra melaut ini.

(a) Pemimpin nelayan

Pemimpin nelayan adalah orang yang bertundak sebagai pemimpin nelayan baik

sebelum melaut, ketika melaut, dan selepas melaut. Pemimpin nelayan ini adalah

orang yang juga memimpin ritual mantra melaut. Pemimpin ini biasanya

mengucapkan mantra-mantra melaut yang diamini oleh beberapa orang nelayan

Universitas Sumatera Utara


lainnya. Pemimpin nelayan ini dipandang sebagai orang yang mampu membawa

keselamatan ritual dan jalannya penangkapan ikan di laut dengan meminta ridha Allah

SWT. Pemimpin nelayan ini menerima mantra ritual dalam tradisi lisan yang

diwariskan juga secara kelisanan.

(b) Nelayan 1

Nelayan ini adalah anggota dari pemimpin nelayan yang tugasnya adalah bekerja

bersama nelayan-nelayan lain dalam satu sampan. Ia dalam konteks ritual mantra

melaut adalah mengikuti upacara tersebut dan selalu mengikuti mantra yang diucapkan

oleh pemimpin nelayan. Nelayan ini nantinya di laut akan menangkap ikan secara

bersama-sama dengan pemimpin nelayan dan para nelayan lain.

(c) Nelayan 2

Sama dengan nelayan 1 maka nelayan 2 ini tugasnya adalah untuk bekerja bersama-

sama nelayan lain dan pemimpin nelayan dalam mencari ikan di laut. Ia juga

mengikuti upacara mantra melaut yang dipimpin oleh pemimpin nelayan. Dalam

konteks ritual ini nelayan 2 mengikuti mantra yang diucapkan pemimpin nelayan dan

mengamini mantra tersebut yang juga berfungsi sebagau doa. Nelayan ini nantinya

akan menangkap ikan di laut dengan menggunakan peralatan penangkapan ikan yang

telah disediakan sebelum melaut.

5.2 Analisis Melalui Semiotika Riffaterre

5.2.1 Ketidaklangsungan Ekspresi

Penting untuk diketahui bahwa mantra melaut adalah agak berbeda dengan puisi

pada umumnya yang selalu menggunakan ketidaklangsungan ekspresi sebagai salah satu

gaya penyampaian verbal. Mantra ini lebih bersifat ekspresi langsung kepada Allah dan

makhluk gaib di laut. Menurut teori seiotika Riffaterre seperti yang sudah diuraikan

Universitas Sumatera Utara


sebelumnya, ketidaklangsungan ekspresi dalam puisi pada dasarnya dapat digolongkan

kepada tiga jenis yaitu: penggantian, penyimpangan, dan penciptaaan arti.

Dalam mantra melaut ini ketidaklangsungan ekspresi itu dapat dilihat pada lirik

berikut ini. (a) Untuk ketidaklangsungan ekspresi berupa penggantian arti adalah pada

kata-kata bertikut ini.

Hai kuala tempat berdiri

Kata kuala pada larik di atas sebenarnya adalah menggantikan objek yaitu mambang atau

makhluk gaib yang berada di kuala tempat nelayan beridir, dan sedang memabcakan

mantra. Kuala bukanlah dimaksud sebagai daratan yang bersempadan langsung dengan

laut, tepatnya tempat tangkahan, tetapi lebih mengarah kepada makna makhluk gaib yang

ada di kuala.

(b) Ketidaklangsungan ekspresi berupa penciptaan makna, ada pada larik mantra

berikut ini.

Khaidir datnglah ke mari

Penciptaan makna dari larik mantra di atas adalah sebenarnya datnglah wahai Allah

melalui Nabi Mu yaitu Nabi Khaidir untuk memberkati nelayan dalam melakukan aktivitas

menangkap ikan di laut. Jadi maknanya tidak hanya sekedar kedatangan Nabi Allah

Khaidir tetapi juga riodha Allah kepada para nelayan.

5.2.2 Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

5.2.2.1 Heuristik

Untuk dapat memberi makna secara semiotika, pertama kali dapat dilakukan

dengan heuristik dan kemudian bergerak ke pembacaan hermeneutik atau retoaktif

(Riffaterre, 1978:5-6). Konsep ini akan diterapkan sebagai langkah awal dalam usaha

untuk makna yang terkandung dalam mantra melaut suku Melayu Aras Kabu.

Universitas Sumatera Utara


Dari hasil lapangan dengan contoh lima mantra melaut dari informan kunci yang

berbeda didapati persamaan-persamaan struktural secara umum. Kelima contoh mantra

melaut dalam kebudayaan Melayu Aras Kabu itu berasal dari para informan sebagai

berikut: (a) mantra melaut (I) disajikan oleh Haji Amiruddin; (b) mantra melaut (II) oleh

Tok Sokbi; (c) mantra melaut (III) oleh Basyaruddin; (d) mantra melaut (IV) oleh Alang

Dulmail; dan (e) mantra melaut (V) oleh Buyung.

Adapun selengkapnya lirik atau teks mantra yang penulis dapatkan di lapangan,

yaitu yang diucapkan oleh kelima informan kunci tersebut adalah seperti berikut ini.

Mantra ini dikumpulkan di lapangan dari bulan Agustus sampai Desember 2012. Karena

secara umum, mantra melaut yang disajikan memiliki kesamaan yang besar, maka analisis

lirik mantra akan difokuskan kepada satu mantra saja, mantra melaut (I) yang disajikan

oleh Haji Amiruddin pada tanggal 12 Oktober 2012, di daerah tangkahan di Desa Pantai

Labu, Kabupaten Deli Serdang.

1. Mantra Melaut (I)

Oleh: Haji Amiruddin

Auzubillahiminas syaithonirrajim

Bismillahi rahmanirrahim

Allahumma shali ala saidina Muhammad

Wa ala ali syaidina Muhammad

Alfatihah

Alhamdulillahi rabbil alamin

Arrahmanirrahim

Maliki yaumiddin

Iyakanakbudu waiyakanastain

Universitas Sumatera Utara


Ihdinassirathal mustaqim

Sirathalazina anamt ‘alaihim

Ghairil maghdubi alaihim

Waladhallin Amiin

Allahumma shali ala Saidina Muhammad

Wa ala ali Saidina Muhammad

Allahumma shali ala Saidina Muhammad

Wa ala ali Saidina Muhammad

Hai… kuala tempat berdiri

bagai diarah bagai diiring

Khaidir datanglah ke mari

Ikan pun masuklah ke jaring

Hai… jembalang laut

Kami datang mencarilah ikan

Tidak menggangu tempatnya tuan

Harap kita terus berkawan

Mambang Hitam, Mambang Kuning, Mambang Hijau,

Ijinkan kami menangkap hasil laut

Pada sunnah Allah kami pun ikut

Menjaga semua yang telah dianut

Universitas Sumatera Utara


Semua itu berkat Laa ilaha ilallah

Muhammadarrasulullah

Aaa ...

2. Mantra Melaut (II)

Oleh: Tok Sokbi

Bismillahi rahmanirrahim

Allahumma shali ala saidina Muhammad

Wa ala ali syaidina Muhammad

Alfatihah

Alhamdulillahi rabbil alamin

Arrahmanirrahim

Maliki yaumiddin

Iyakanakbudu waiyakanastain

Ihdinassirathal mustaqim

Sirathalazina anamt ‘alaihim

Ghairil maghdubi alaihim

Waladhallin Amiin

Allahumma shali ala Saidina Muhammad

Wa ala ali Saidina Muhammad

Tangkahan tempat aku berdiri

Delapan penjuru mata angin

Wahai Khaidir mari kemari

Universitas Sumatera Utara


Ikan dan udang datang beriring

Wahai Mambang Laut yang bertakhta

Mohon kami mencari nafkah

Minta izin minta dibela

Darinya Allah kita bersama

Mambang Hitam, Mambang Kuning, Mambang Hijau,

Ijinkan kami menangkap hasil laut

Pada sunnah Allah kami pun ikut

Menjaga semua yang telah dianut

Berkat Laa ilaha ilallah

Muhammadarrasulullah

Aaa ...

3. Mantra Melaut (III)

Oleh: Basyaruddin

Auzubillahiminas syaithonirrajim

Bismillahi rahmanirrahim

Allahumma shali ala saidina Muhammad

Wa ala ali syaidina Muhammad

Alfatihah ala Nabi

Alhamdulillahi rabbil alamin

Arrahmanirrahim

Universitas Sumatera Utara


Maliki yaumiddin

Iyakanakbudu waiyakanastain

Ihdinassirathal mustaqim

Sirathalazina anamt ‘alaihim

Ghairil maghdubi alaihim

Waladhallin Amiin

Allahumma shali ala Saidina Muhammad

Wa ala ali Saidina Muhammad

Allahumma shali ala Saidina Muhammad

Wa ala ali Saidina Muhammad

Ahoi... kuala tempat aku berdiri

Bagaikan diarah bagai diiring

Nabi Khaidir datang ke mari

Ikan melambak masuk ke jaring

Ahoi… para jembalang laut

Kami datang mencarilah ikan

Tidak menggangu tempatnya tuan

Harap kita terus berkawan

Mambang Hitam, Mambang Kuning, Mambang Hijau,

Ijinkan kami menangkap hasil laut

Pada sunnah Allah kami pun ikut

Universitas Sumatera Utara


Menjaga semua yang telah dianut

Berkat Laa ilaha ilallah

Muhammadarrasulullah

Aaa ...

4. Mantra Melaut (IV)

Oleh: Alang Dulmail

Bismillahi rahmanirrahim

Allahumma shali ala saidina Muhammad

Wa ala ali syaidina Muhammad

Alfatihah ...

Alhamdulillahi rabbil alamin

Arrahmanirrahim

Maliki yaumiddin

Iyakanakbudu waiyakanastain

Ihdinassirathal mustaqim

Sirathalazina anamt ‘alaihim

Ghairil maghdubi alaihim

Waladhallin Amiin

Allahumma shali ala Saidina Muhammad

Wa ala ali Saidina Muhammad

Allahumma shali ala Saidina Muhammad

Wa ala ali Saidina Muhammad

Universitas Sumatera Utara


Hoi... tangkahan titik bermula

Laut lepas hamparan permata

Nabi Khaiidir Si Nabi Allah

Bersama engkau kami melata

Wahai… jembalang laut

Kami datang mencarilah ikan

Tidak menggangu tempatnya tuan

Harap kita tetap berkawan

Mambang Hitam, Mambang Kuning, Mambang Hijau,

Ijinkan kami menangkap hasil laut

Pada sunnah Allah kami pun ikut

Menjaga semua yang telah dianut

Berkat Laa ilaha ilallah

Muhammadarrasulullah

Aaa ...

5. Mantra Melaut (V)

Oleh: Buyung

Auzubillahiminas syaithonirrajim

Bismillahi rahmanirrahim

Allahumma shali ala saidina Muhammad

Wa ala ali syaidina Muhammad

Universitas Sumatera Utara


Alfatihah ala Nabi Muhammad

Alhamdulillahi rabbil alamin

Arrahmanirrahim

Maliki yaumiddin

Iyakanakbudu waiyakanastain

Ihdinassirathal mustaqim

Sirathalazina anamt ‘alaihim

Ghairil maghdubi alaihim

Waladhallin Amiin

Allahumma shali ala Saidina Muhammad

Wa ala ali Saidina Muhammad

Allahumma shali ala Saidina Muhammad

Wa ala ali Saidina Muhammad

Ahoi… kuala tempat kami berdiri

bagai diarah bagai diiring

Khaidir datanglah ke mari

Ikan pun masuklah ke jaring

Hai… jembalang laut

Kami datang mencari ikan

Tidak menggangu tempat tuan

Harap kita terus berkawan

Universitas Sumatera Utara


Mambang Hitam, Mambang Kuning, Mambang Hijau,

Ijinkan kami menangkap hasil laut

Pada sunnah Allah kami pun ikut

Menjaga semua yang telah dianut

Semua itu berkat Laa ilaha ilallah

Muhammadarrasulullah

Aaa ...

Secara struktural kelima mantra melaut tersebut di atas terdiri dari kata-kata yang

berasal dari Al-Qur’an dan juga shalawat (pujian) kepada Nabi Muhammad SAW yaitu

dalam bahasa Arab. Diteruskan dengan kata-kata yang berasal dari bahasa Melayu.

Kemudian pada bahagian akhir ditutup dengan kata-kata dalam bahasa Arab. Menurut

penjelasan Haji Amiruddin, mantra ini bersumber pada budaya Melayu yang berdasar

kepada ajaran-ajaran agama Islam. Ini sesuai pula dengan jawaban beliau dalam

menjelaskan sumber mantra Melayu umumnya berasal dari Al-Qur’an, yang kemudian

diterapkan dalam konteks peradaban Melayu. Beliau sendiri menerima mantra melaut dan

mantra-mantra Melayu lainnya dari seorang gurunya yang berasal dari Malaysia yang

bernama Encik Hishamuddin. Ketika penulis tanyakan apakah mantra tersebut tidak

bertentangan dengan akidah Islam, ia menjawab justru mantra ini adalah berunsur

kebudayaan Islam, yang diselaraskan dengan kebudayaan Alam Melayu. Adapun struktur

lirik mantra melaut ini dapat digambarkan seperti pada bagan berikut ini.

Universitas Sumatera Utara


Bagan 5.1:

Struktur Mantra Melaut Melayu Aras Kabu

Secara heuristik, kata-kata yang digunakan di dalam mantra melaut ini memiliki

arti-artinya secara harfiah, yang dapat diketahui oleh para nelayan walau disampaikan

secara lisan. Arti kata-kata yang terkandung di dalam mantra ini di antaranya adalah

sebagai berikut.

(1) Auzubillah artinya adalah aku berlindung,

Universitas Sumatera Utara


(2) Syaithanirrajim artinya setan yang terkutuk,

(3) Bismillah artinya dengan nama Allah,

(4) Rahman artinya yang Pengasih,

(5) Rahim artinya yang Penyayang,

(6) Allahumma shali artinya semoga Tuhan memberi keselamatan,

(7) Kuala artinya adalah tempat di tepi pantai sebagai pertemuan sungai dan laut,

(8) Jembalang adalah makhluk gaib dalam sistem kosmologi Melayu,

(9) Mambang adalah makhluk gaib yang hidup di laut,

(10) Sunnah adalah serapan darai bahasa Arab yang artinya adalah hukum Tuhan,

Kata-kata penting ini kemudian dibentuk dalam larik-larik atau baris yang kemudian

memiliki makna secara kontekstual, dan menjadi integral dalam konteks kebudayaan

Melayu secara umum.

5.2.2.2 Hermeneutik

Secara hermeneutik, maka mantra melaut tersebut sebenarnya adalah ekspresi

langsung dari sistem kosmologi Melayu, yang mendudukkan posisi nelayan sebagai

makhluk ciptaan Allah yang percaya dengan adanya alam gaib penunggu laut, yang perlu

dijaga hubungannya. Sehingga dengan demikian nelayan Melayu menghormati makhluk

gaib ini dan mengambil hasil laut tidak sembarangan dan tidak mengeksploitasinya secara

berlebihan.

Adapun makna hermeneutik dari mantra melaut yang diucapkan oleh para nelayan

Melayu Serdang di Aras Kabu adalah sebagai berikut.

(1) Auzubillahiminas syaithonirrajim, maknanya adalah aku berlindung kepada Allah

dari godaan setan yang terkutuk. Kalimat ini adalah kalimat yang umum di dalam

Universitas Sumatera Utara


peradaban Islam yang mengekspresikan bahwa manusia (muslim) dalam

melakukan doa pada bahagian awal adalah sebagai manusia yang selalu berlindung

kepada Allah agar dijauhi oleh godaan setan yang telah dilaknat Allah sejak

diciptakan Nabi Adam oleh Allah. Setan adalah makhluk Allah juga yang ketika

diperintah oleh Allah untuk sujud kepada Nabi Adam tidak mau, Ini tercermin di

dalam Al-Qur’an, (al-Israa’ ayat 61).

Artinya: Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada para malaikat:


"Sujudlah kamu semua kepada Adam," lalu mereka sujud kecuali iblis.
Dia berkata: "Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau
ciptakan dari tanah?"

Kemudian Allah mengutuk setan karena ketidakmauannya untuk sujud

kepada Adam. Sejak saat itu maka setan akan menggoda anak cucu Adam, untuk

melanggar perintah Allah dan menjadi penghuni neraka, serta takluk kepada setan.

Jadi inti dari baris ini adalah setiap muslim dalam melakukan doa kepada Allah

selalu dimulai agar dijaga Allah dari godaan setan.

(2) Bismillahi rahmanirrahim, baris ini memiliki makna Dengan Nama Allah Yang

Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ayat ini adalah ayat penerus

Auzubillahiminas syaithonirrajim. Dalam doa-doa umat Islam kedua ayat ini selalu

menjadi satu kesatuan di bahagian awalnya. Kata Maha Pengasih dan Maha

Penyayang adalah bahagian dari asma’ul husna (nama-nama dan sifat Allah).

Bahwa sebagai Tuhan pencipta alam semesta, Allah itu memiliki sifat pengasih dan

penyayang. Bahkan seorang hamba yang telah banyak melakukan dosa sekali pun

Universitas Sumatera Utara


jika ia bertobat dengan sesungguh-sungguhnya tobat (taubatan nasuha), maka Allah

akan mengampuninya. Sifat pengasih dan penyayang Allah ini tiada batasnya,

seperti yang difirmankan Allah di dalam Al-Qur’an, Al-Baqarah, ayat 143.

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia
dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan
Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang)
melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu
terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia

(3) Allahumma shali ala saidina Muhammad, artinya adalah semoga keselamatan bagi

Nabi Muhammad. Ayat ini lazim disebut pula dengan shalawat, yaitu doa kepada

Allah semoga Nabi Muhammad diberi keselamatan oleh Allah. Walaupun pada

prinsipnya dalam ajaran Islam Nabi Muhammad pastilah selamat dan masuk surga,

tetapi umat Muhammad yaitu kaum muslimin dianjurkan untuk selalu membacakan

shalawat untuk Nabi itu. Tujuan utama dari shalawat kepada Nabi ini nanti adalah

orang yang mengucapkannya akan memperoleh syafaat (pertolongan) di hari

akhirat ketika dosa dan pahala ditimbang oleh Allah. Selain itu shalawat ini adalah

menjadi sarana komunikasi antara setiap orang Islam dengan Nabi Muhammad

Universitas Sumatera Utara


yang sangat dicintainya. Dengan selalu mengucapkan shalawat ini setiap umat

Islam merasakan kehadiran Nabi Muhammad beserta ajarannya yang

disempurnakan Allah.

(4) Wa ala ali syaidina Muhammad, artinya kesaelamatan juga untuk Nebi Muhammad

dan keturunannya. Ayat ini juga masih sebagai rangkaian ayat sebelumnya yaitu

Setiap muslim biasanya dianjurkan untuk membacakan shalawat kepada Nabi dan

keturunannya. Artinya adalah bahwa Nabi sebagai Rasul Ulul Azmi (pilihan),

semoga diberi keselamatan oleh Allah beserta keturunannya. Di sini penting untuk

melihat diri seseorang itu keturunan siapa dalam konteks yang lebih luas.

(5) Alfatihah, adalah salah satu surat dalam Al-Qur’an yang disbut juga sebagai

ummul Qur’an, atau induk Al-Qur’an. Al-Fatihah ini selalu dibacakan dalam setiap

rakaat shalat, dan semua aktivitas keagamaan.

(6) Alhamdulillahi rabbil alamin, ( ) maknanya adalah

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Ayat ini menjelaskan tentang Allah

dan hubungannya dengan ciptaan-Nya yaitu alam semesta. Bahwa hanya Allah lah

yang menciptakan alam semesta ini. Alam semesta terdiri dari berbagai isinya

seperti: satelit, planet, bulan, bintang, rasi, galaksi, dan lainnya dalam alam

makrokosmos, juga alam dunia, yang terdiri dari berbagai jenis flora, fauna,

mikroba, amuba, protozoa, virus, dan lain-lainnya dalam alam mikrokosmos.

Bagaimanapun semua alam dan isinya ini adalah makhluk Tuhan. Oleh karena itu

seluruhnya wajib sujud dan tunduk kepada Tuhan yang menciptakannya. Ayat ini

juga memiliki makna religi bahwa semua makhluk hendaknya mengucapkan puji-

pujian senantiasa kepada Allah. Dalam konteks ajaran Islam, puji-pujian ini disebut

secara umum sebagai zikir. Adapun jenis-jenis zikir itu di antaranya adalah tasbih

(mengucapkan subhanallah, artinya Maha Suci Allah), tahmid (mengucapkan

Universitas Sumatera Utara


alhamdulillah yang artinya terima kasih kepada Allah), tahlil (mengucapkan la

ilaha ilallah, artinya Tiada Tuhan selain Allah), dan takbir (mengucapkan Allahu

Akbar yang artinya Allah Maha Besar).

(7) Arrahmanirrahim , Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Sama seperti pada baris kedua bahwa Allah itu adalah Maha Pengasih dan Maha

Penyayang kepada semua makhluk ciptaan-Nya. Allah itu kasih dan sayangnya

tidak terbatas. Bahkan lebih jauh Allah itu adalah Maha Pengampun dan Maha

Penolong. Sebagai pencipta alam ia mengetahui segalanya tentang ciptannya itu,

termasuk eksistensi ciptaan, keperluan ciptaan, apa yang akan terjadi pada ciptaan,

dan hal-hal sejenis.

(8) Maliki yaumiddin , yang menguasai di hari pembalasan. Ayat

ini menggambarkan bahwa dalam agama Islam diajarkan tentang adanya hari

pembalasan atau alam akhirat. Setelah manusia meninggalkan dunia ini, maka ia

akan mebnuju alam akhirat yang di dalamnya manusia akan kekal. Alam akhirat

ini terdiri dari surga dan neraka. Surga tempat orang yang memiliki amal yang baik

sedangkan neraka adalah tempat orang yang memiliki amal jahat semasa hidupnya

di dunia. Allah lah yang menguasai hari pembalasan atau kedudukan di alam

akhirat ini. Makna agama dalam hal ini adalah bahwa hanya Allah lah yang

menentukan seseorang itu masuk ke neraka atau ke surga, atau sementara di neraka,

selepas itu dimasukkan ke surga. Ini adalah hak mutlak Allah.

(9) Iyakanakbudu waiyakanastain , maknanya adalah

hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya Engkaulah kami meminta

pertolongan. Ayat ini mengandung makna bahwa setiap muslim adalah orang yang

secara bersungguh-sungguh hanya menyembah satu Tuhan yaitu Allah. Seorang

Universitas Sumatera Utara


muslim tentu saja tidak akan menyembah yang lainnya, seperti dewa, harta, takhta,

dan keduniawian lainnya. Selain itu, setiap muslim juga hanya meminta

pertolongan kepada Allah, bukan kepada yang lainnya. Dalam konteks nelayan di

Aras Kabu, maka mereka menyembah kepada Allah dan meminta pertolongan

kepada Allah, tetapi tetap menjaga hubungan dengan makhluk gaib penunggu laut,

yang juga adalah makhluk Allah. Adalah diharamkan untuk menyembah makhluk-

makhluk gaib ini. Apalagi manusia derajatnya lebih tinggi dari makhluk-makhluk

tersebut.

(10) Ihdinassirathal mustaqim , maknanya adalah

tunjukkan kami jalan yang lurus. Bahwa setiap umat Islam, selalu memohon

kepada Allah agar selalu ditunjukkan dan diarahkan ke jalan yang lurus. Maksud

dari jalan yang lurus di sini adalah jalan yang benar yang mesti dilalui seorang

manusia, agar selamat di dunia dan akhirat. Jalan yang lurus adalah jalan yang

wajib ditempuh manusia sesuai dengan arahan-arahan yang telah digariskan oleh

Allah kepada manusia. Jalan lurus atau jalan agama ini akan menjadikan manusia

sebagai makhluk yang dapat menerangi alam semesta, dan menjadi rahmat kepada

seluruh alam.

(11) Sirathalazina anamta alaihim ghoiril makdubi alaihim waladhalin

maknanya adalah (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada

mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang

sesat. Jalan lurus yang dimaksudkan adalah jalan (kehidupan) seperti yang telah

diarahkan oleh Allah kepada orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah

yaitu orang yang selalu berada di jalan Allah. Di dalam ayat ini didikotomikan

Universitas Sumatera Utara


pula dengan ada satu jalan lagi yaitu jalan yang dimurkai Allah, yaitu jalan yang

sesat, yang mengikuti hawa nafsu serta memperturutkan arahan-arahan setan

sebagai musuh yang terkutuk. Jadi pilihan yang memang wajib dipilih adalah

jalan yang lurus bukan jalan yang sesat.

(12) Allahumma shali ala Saidina Muhammad, artinya adalah semoga keselamatan

untuk Nabi Muhammad. Ayat ini adalah ulangan dari larik ketiga. Ayat ini juga

adalah bahagian dari shalawat kepada Nabi Muhammad yang diharapkan

syafaatnya kelak di hari akhirat.

(13) Wa ala ali Saidina Muhammad, artinya adalah semoga keselamatan bagi Nabi

Muhammad dan keturunannya, yang merupakan ulangan dari larik keempat

dalam mantra melaut ini.

(14) Allahumma shali ala Saidina Muhammad, ayat ini adalah ulangan larik ketiga

dan kedua belas, yang juga adalah shalawat kepada Nabi Muhammad,

(15) Wa ala ali Saidina Muhammad, ayat ini adalah ulangan larik keempat dan

ketiga belas, yang juga adalah ayat dari shalawat kepada Nabi Muhammad

SAW.

(16) Hai… kuala tempat berdiri, ayat atau baris ini adalah sampiran mantra yang

mengambil unsur pantun. Baris ini adalah menegaskan bahwa para nelayan yang

akan melaut selalu bermula di kawasan muara (pertemuan sungai dan laut).

(17) Bagai diarah bagai diiring, ayat ini adalah sampiran yang juga indeks dari baris

16, yaitu kuala tempat nelayan berdiri tersebut adalah kuala tempat mereke

seterusnya diiring ke lautan lepas mencari nafkah di lautan. (dalam hal ini adalah

lautan Selat Melaka). Dari kuala inilah mereka selanjutnya diarahkan dan

dibimbing.

Universitas Sumatera Utara


(18) Khaidir datanglah ke mari. Ayat ini secara langsung adalah mengharap Nabi

Allah yaitu Khaidir Alaihissalam untuk hadir bersama nelayan tersebut dan

melindungi para nelayan dalam mencari ikan di laut. Sebagaimana diketahui

bahwa umat Islam meyakini Nabi Khaidiri ini masih hidup sampai sekarang dan

selalu juga menjaga para umat Islam dalam mencari kehidupannya di laut.

Dalam Al-Qur’an keberadaan Nabi Khaidir ini dijelaskan sebagai berikut

(Qur’an Surah Al-Kahfi ayat 72, 74).

Artinya: Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata:


"Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku."

Artinya:
Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan
seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu
membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain?
Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar."

Dalam ajaran Islam Nabi Khaidir adalah Nabi Allah yang memiliki ilmu yang

cukup tinggi. Bahkan ketika Nabi Musa bertanya kepada Allah siapa yang

pandai di dunia ini, Allah menjawab Nabi Khaidir. Ketika Musa menjumpai

Nabi Khaidir untuk menjadi muridnya, maka Nabi Khaidiri menyanggupiny

tetapi dengan syarat jangan banyak bertanya. Kemudian dalam pengembaraan

keduanya, ketika ada kapal yang bagus bentuknya dirusak oleh Nabi Khaidir,

musa bertanya, mengapa dirusak. Begitu juga ketika jumpa seorang anak kecil

lalu dibunuh Nabi Khaidir, Musa pun bertanya kenapa mesti dibunuh. Akhisrnya

Nabi Khaidiri menjawab, kenapa kapal yang bagus dirusak, agar tidak dirampok

oleh bajak laut. Kemudian kenapa anak-anak tersebut mesti dibunuh, karena

Universitas Sumatera Utara


menurut Allah kalau besar kelak anak itu akan durhaka kepada orang tuanya.

Jadi sebelum dewasa dibunuh agar ia masuk surga.

Bagi masyarakat nelayan di Aras Kabu, mereka mempercayai bahwa Nabi

Khaidir adalah Nabi Allah yang selalu menolong manusia di tengah lautan

ketika mencari nafkah karena Allah. Nabi Khaidir juga dipercayai kawin dengan

salah satu putri di alam gaib di lautan. Nabi Khaidir juga Nabi yang memiliki

ilmu pengetahuan termasuk kelautan yang relatif luas, karena diperoleh langsung

dari Allah SWT.

(19) Ikan pun masuklah ke jaring. Ayat ini berupa pengharapan bahwa para nelayan

dengan pertolongan Allah melalui Nabi Khaidir agar memberikan ikan-ikan

untuk masuk ke dalam perlatan penangkapan ikan nelayan yaitu berupa jaring.

Atau lebih jauh lagi ke alat-alat penangkap ikan lainnya yang diindekskan

dengan jaring, seperti langgei, pukat, jerut, dan lainnya.

(20) Hai… jembalang laut, ayat ini merujuk kepada alam gaib di lautan, yang dihuni

oleh salah satu jenis makhluknya yang disebut jembalang. Istilah ini adalah

“asli” dari bahasa Melayu yang menamakan makhluk gaib dengan jembalang.

Dalam persepsi Melayu, jembalang hidup di kuala-kuala, hulu, dan hilir sungai,

hilir, dan juga lautan lepas.

(21) Kami datang mencarilah ikan, ayat ini merujuk kepada aktivitas nelayan yang

sedang mencari ikan. Ikan tersebut adalah bahagian dari penghasilan ekonomi

sang nelayan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Mencari

ikan adalah kerjaan utama nelayan, dengan izin Allah SWT. Mereka bersyukur

diciptakan Tuhan sebagai seorang nelayan, yang tentu saja tetap harus mengikuti

segala perintah Allah dan menjauhi larangan Allah.

Universitas Sumatera Utara


(22) Tidak menggangu tempatnya tuan. Ayat ini adalah bermakna bahwa sang

nelayan tidak akan mengganggu apa yang menjadi hak dari makhluk gaib

jembalang tadi. Setiap makhluk memiliki hak dan kewajibannya sendiri. Oleh

karena itu, maka antara manusia dan jembalang haruslah menjaga hubungan

kosmologis yang telah digariskan Allah.

(23) Harap kita terus berkawan. Ayat ini memiliki makna bahwa antara nelayan

(manusia) dengan makhluk gaib jembalang jangan saling memusuhi dan

menyakiti. Nelayan sebagai manusia dengan derajat yang lebih ditinggikan ingin

selalu berkawan dengan jembalang makhluk gaib tersebut. Arti berkawan di sini

adalah tidak saling memusuhi tetapi berkawan sesuai dengan hakikatnya sesama

makhluk Allah di muka bumi ini. Atau lebih jauh berkawan dalam hal ini adalah

menjaga komunikasi yang telah digariskan Allah.

(24) Mambang Hitam, Mambang Kuning, Mambang Hijau. Ayat ini menyebutkan

bahwa makhluk gaib lainnya di laut, selain jembalang, adalah mambang. Lebih

diperinci lagi bahwa di dalam lautan tersebut ada Mambang Hitam, Mambang

Kuning, dan Mambang Hijau. Jenis-jenis mambang ini adalah menurut sistem

kosmologi Melayu. Mereka memiliki fungsinya masing-masing di tengah lautan.

Menurut informasi yang diberikan oleh informan Tok Sokbi (wawancara 13

April 2012) bahwa mambang-mambang laut ini biasanya hidup di tali air, yaitu

tempat pertemuan antara air lautan besar dengan air yang ada di seputar pesisir

pantai, yang dapat dibedakan menurut warnanya, di lautan dalam lebih biru, di

pesisir lebih putih.

(25) Ijinkan kami menangkap hasil laut. Ayat ini mengemukakan bahwa sang

nelayan meminta ijin kepada para mambang di laut untuk menangkap hasil laut,

terutama ikan. Dalam menangkap hasil laut ini, para nelayan perlu meminta ijin

Universitas Sumatera Utara


sebagai tanda penghormatan kepada makhluk gaib yang ada di laut. Selain itu

juga untuk menjaga keseimbangan ekologis yang telah digariskan Tuhan.

Dengan meminta ijin seperti terdapat dalam mantra ini, maka diharapkan para

makhluk gaib di laut menghormati para nelayan, dan merasa saling menghormati

eksistensi masing-masing.

(26) Pada sunnah Allah kami pun ikut. Larik ini memiliki makna sosiobudaya bahwa

Allah sebagai Tuha Yang Maha Kuasa telah menciptakan alam beserta isinya,

termasuk laut. Di laut terdapat berbagai kehidupan, baik hewan maupun

tumbuhan juga. Misalnya ada ikan dengan berbagai spesiesnya, senangin, bawal,

kerapu, udang, kerang, dan lain-lain. Begitu juga di lautan ada juga tumbuhan

seperti lumut, rumput laut, jaring halus, dan lainnya. Semua ini ada mengikuti

hukum yang telah Allah gariskan.

(27) Menjaga semua yang telah dianut. Nelayan sebagai manusia dan makhluk Allah

ingin senantiasa menjaga semua yang telah diperintahkan Tuhan baik kepada

manusia atau jembalang dan mambang. Untuk itu jangan saling mengintervensi

dan merusak alam masing-masing. Perlu dijaga semua yang telah diperintahkan

Allah. Itulah maksud larik ini.

(28) Semua itu berkat Laa ilaha ilallah, Muhammadarrasulullah. Ayat ini adalah

sebagai ekspresi bahwa semua yang dilakukan oleh para nelayan yang mencari

kehidupan ekonominya di laut sekali lagi adalah karena Allah tiada Tuhan selain

Dia, dan juga karena Muhammad itu Rasul (Pesuruh) Allah. Larik ini dalam

sistem teologi Islam lazim disebut syahadatain atau juga kalimah syahadat, yaitu

pengakuan tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu Rasul Allah.

(29) Aaa ... Ini adalah partikel untuk mengekspresikan mantra melaut tersebut

menyatu dengan keinginan yang akan dilakukan oleh nelayan.

Universitas Sumatera Utara


Melalui pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan mantra secara utuh, maka

diperoleh beberapa kerifan lokal dalam teks mantar melaut melayu Aras Kabu ini. Kearifan

lokal adalah satu usaha untuk menemukan kebenaran yang didasarkan kepada fakta-fakta

atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam sebuah budaya masyarakat tertentu.

Dalam hal ini budaya masyarakat Melayu Aras Kabu Serdang. Kearifan lokal lebih jauh

juga merupakan wujud prilaku atau pikiran-pikiran manusia pada masyarakat tertentu

dalam mengekspresikan keinginan dan budaya mereka. Di samping untuk

mengeskpresikan pikiran-pikiran manusia, kearifan lokal juga merupakan suatu alat yang

digunakan untuk memperlihatkan bagaimana sistem kehidupan suatu masyarakat dalam

menjaga dan melestarikan alam dan lingkungan sekitar yang merupakan urat nadi

kehidupan mereka. Dalam hal ini adalah urat nadi kehidupan masyarakat nelayan di Aras

Kabu.

Seiring dengan pesat dan derasnya perkembangan zaman di era globalisasi ini, yang

mencakup dan perubahan religi, ekonomi, sosial, dan budaya, masyarakat suku Melayu

Aras Kabu Serdang masih memperlihatkan kuatnya kearifan lokal yang mereka miliki

demi mempertahankan identitas diri, religi, kehidupan sosial, lingkungan, pelestarian, dan

inovasi budaya. Etnik Melayu Aras Kabu Serdang ini percaya bahwa pelestarian kearifan

lokal akan dapat menjaga warisan hutan, tanah, sungai, laut dan budaya masyarakat suku

Melayu dalam konteks masa kini. Usaha-usaha untuk memahami konsep kearifan lokal

dalam tradisi mantra melaut, merupakan ruang untuk memahami pikiran-pikiran

masyarakat suku Melayu yang berhubungan dengan lingkungan dan tata hubungan sosial

budaya masyarakat suku Melayu Aras Kabu tersebut. Berikut ini akan diuraikan konsep

kearifan lokal suku Melayu yang terdapat dalam mantra melaut.

Universitas Sumatera Utara


a. Kearifan Lokal tentang Hubungan Harmonis Manusia, Alam, dan Makhluk

Gaib

Pada kebudayaan suku Melayu yang berdasar kepada ajaran agama Islam, maka

mereka mencoba menerapkan ajaran Islam ini dalam konteks memaknai hubungan antara

manusia, alam, dan makhluk gaib. Manusia adalah bahagian dari alam. Manusia itu juga

kadang disebut dengan alam diri. Manusia harus menjaga keharmonisan hubungannya

dengan alam dan segala isi yang diciptakan Tuhan termasuk makhluk gaib (tidak kasat

mata). Dalam hal ini makhluk gaib di lautan tersebut disebut dengan jembalang dan

mambang.

Makhluk gaib yang di dalam ajaran Islam salah satunya disebut jin memang wujud

dan perlu dijaga hubungannya dengan manusia. Oleh karena itu bagi seorang suku Melayu

dilarang merusak alam. Merusak alam juga akan berakibat akan merusakkan tatanan dunia

gaib, yang dihuni oleh para jin. Oleh karena itu jangan sekali-kali merusak alam, termasuk

di dalamnya lautan yang perlu dilestarikan keberadaannya. Begitu juga dengan berbagai

hasil lautan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia.

Dalam konsep kearofan lokal suku Melayu Aras Kabu, lingkungan merupakan urat

nadi keberlangsungan hidup mereka. Mereka tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya,

karena semua yang mereka butuhkan telah disediakan oleh lingkungannya. Sebagai

masyarakat nelayan dan berkebun, masyarakat suku Melayu memiliki hubungan yang

sangat erat dengan lautan, sungai, hutan, dan tanah.

Hubungan antara manusia, alam, dan makhluk gaib ini menjadi bahagian dari

hukum alam yang telah ditentukan Tuhan, yang haris dijaga keberadaannya masing-

masing. Jangan saling menghabisi dan menyakiti, jaga keseimbangan ekologis. Manusia

adalah pemimpin di atas dunia. Di tangan manusia alam ini bisa rusak atau di tangan

Universitas Sumatera Utara


manusia pula alam ini bisa lestari dan harmoni. Alam memerlukan rekayasa teknologi dan

kebijakan yang bersumber dari ajaran Tuhan.

b. Kearifan Lokal Terhadap Identitas Diri

Dalam persepsi budaya masyarakat Melayu Aras Kabu Serdang, mereka dalam

ritual mantra melaut ini memang memiliki kearifan lokal untuk mempertahankan dan

menunjukkan jati dirinya. Bahwa manusia adalah bahagian dari alam. Manusia perlu

menjaga hubungan yang harmonis dengan alam sekitar, baik yang tampak kasat mata

ataupun yang gaib. Dalam kebudayaan suku Melayu Aras Kabu, mereka mempercayai

adanya alam gaib yang dapat membantu manusia dalam berbagai hal, seperti mengobati

penyakit, menjaga rumah, menjaga lahan pertanian, membantu mencari ikan di laut, dan

lain-lainnya.

Melalui mantra melaut, masyarakat Melayu Serdang ini menunjukkan identitasnya

yang kuat. Di antaranya adalah bahwa orang Melayu adalah orang yang memiliki adat.

Semua hal berkaitan dengan adat, termasuk ketika melaut. Mereka menunjukkan

identitasnya sebagai masyarakat nelayan yang mempercayai adanya Tuhan yang senantiasa

akan menolong mereka baik ketika di daratan atau di lautan. Mereka pun selalu

menunjukkan identitas kemelayuan tersebut sebagai orang yang beragama, menjaga

kelestarian alam, mempercayai makhluk-makhluk lain ciptaan Allah selain manusia, orang

Melayu adalah rahmat kepada seluruh alam, bukan hanya untuk orang Melayu saja tetapi

juga orang lain yang bukan suku Melayu dan umat agama lain. Ini adalah identitas yang

selaras dengan ide bhinneka tunggal ika dalam konteks Indonesia.

Contoh kearifan lokal sebagai pengejewantahan identitas orang Melayu di Aras

kabu ini dapat ditemui di dalam mantra melaut sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara


Pada sunnah Allah kami pun ikut

Menjaga semua yang telah dianut

Dua larik mantra melaut tersebut menunjukkan bahwa orang Melayu selalu taat kepada

hukum Tuhan, mematuhi segala yang diperintahkan Tuhan dan menjauhi yang dilarang

oleh Tuhan. Orang Melayu selalu menjaga harmonisasi baik kepada Tuhan maupun

makhluk di dunia ini.

c. Kearifan Lokal Terhadap Pelestarian Budaya

Kearifan budaya masyarakat suku Melayu Aras Kabu pada hakikatnya

berpangkal dari sistem nilai dan religi yang dianut suku Melayu dalam komunitasnya.

Ajaran agama dan kepercayaan masyarakat suku Melayu menjiwai dan memberi warna

serta mempengaruhi citra budayanya dalam wujud sikap dan perilaku terhadap tradisi dan

budayanya. Hakikat yang terkandung di dalamnya adalah memberi tuntunan kepada

masyarakat untuk berperilaku yang serasi dan selaras dengan tradisinya, sehingga tercipta

keseimbangan hubungan antara manusia dengan budayanya.

Adapun kearifan lokal yang terkandung dalam setiap bait mantra melaut merupakan

sistem seluruh budaya daerah atau etnik yang sudah lama hidup dan berkembang pada

masyarakat suku Melayu. Mantra melaut suku Melayu Aras Kabu dapat dijadikan sebagai

salah satu bentuk kearifan lokal budaya masyarakatnya yang harus dipelihara dan

diupayakan untuk diintegrasikan menjadi budaya di daerah sendiri secara keseluruhan.

Pengembangan kearifan-kearifan lokal pada mantra ritual melaut yang relevan dan

kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu budaya masyarakat Melayu,

terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting

bagi identitas daerah itu sendiri. Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan

Universitas Sumatera Utara


budaya masa lalu, dengan demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada

kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang.

Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh masyarakat suku Melayu Aras Kabu,

dinilai dapat menjadi sebuah potensi kekayaan budaya daerah dan bahkan bisa menjadi

identitas diri bagi masyarakat suku Melayu. Kearifan masyarakat suku Melayu dalam

mengelola tradisi dan budayanya dapat disampaikan lewat media-media tradisional seperti

mitos, ritual, dan pesan-pesan leluhur, fabel, parabel, dongeng, legenda, tetapi

sesungguhnya mengandung pengetahuan religi, yaitu sistem pengetahuan mengenai fungsi

kosmologi dan agama sebagai penyeimbang kehidupan. Bahkan uraian di atas

memperlihatkan tiga elemen kearifan budaya, yaitu sistem nilai, pengetahuan, dan religi.

d. Kearifan Lokal Terhadap Kesejahteraan Hidup

Pada dadasrnya setiap manusia ingin hidup sempurna dan sejahtera lahir batin,

tidak terkecuali juga bagi masyarakat suku Melayu di Aras Kabu. Tuntutan zaman yang

membuat mereka harus lebih giat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.

Keanekaragaman tradisi dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat suku Melayu, bagi

mereka dapat menjadi nilai dan potensi untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.

Salah satu tradisi dan budaya yang memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan

hidup mereka adalah tradisi mantra melaut.

Dengan tradisi mantra melaut ini, para nelayan percaya bahwa ia akan

mendapatkan ikan di laut. Mantra di sini berfungsi sebagai sarana komunikasi kepada

Tuhan, yang Maha Mengatur Rezeki. Jadi dengan dilakukannya ritual mantra melaut ini

menjadi motivasi dan sugesti untuk mencapai kehidupan perekonomian mereka lebih baik

lagi.

Universitas Sumatera Utara


Kesejahteraan hidup yang dikejar oleh orang Melayu tetap memperhatikan

keseimbangan alam. Kemudian tetap menjaga harmoniasai antara manusia, alam, dan

Tuhan sebagai pencipta segalanya di alam ini. Dengan prinsip yang sedemikian rupa maka

sistem ekonomi yang dibangun nelayan Melayu adalah sistem ekonomi yang berdasar

kepada hukum alam yang diatur Tuhan, bukan sistem ekonomi liberal yang

mengeksploitasi alam. Ini tercermin dalam kutipan larik-larik berikut ini.

Mambang Hitam, Mambang Kuning, Mambang Hijau,

Ijinkan kami menangkap hasil laut

Pada sunnah Allah kami pun ikut

Menjaga semua yang telah dianut

5.2.3 Abstraksi Matriks dan Model

Dari pembacaan heuristik dan hermeneutik tersebut, maka dalam konsep etnosains

Melayu di Aras Kabu, Kesultanan Serdang, Kabupaten Deli Serdang, maka secara abstrak

terdapat matriks dan model mantra melaut ini. Ini diperoleh setelah mendalami lirik

mantra melaut dan dikaitkan dalam konteks kebudayaan Melayu Serdang. Adapun matriks

dan model ini tidak terlepas dari wujud dan isi kebudayaan Melayu Serdang.

Menurut tafsiran penulis matriks dan model mantra melaut ini menjadi bahagian

yang integral dari budaya Melayu. Mantra melaut terkespresi dalam bentuk ritual dan

penggunaan bahasa mantra. Di dalamnya terkadung sistem kosmologi, terutama habitan

lautan, dalam hal ini Selat Melaka. Manusia Melayu adalah bahagian dari alam besar dan

alam kecil. Alam ini terdiri dari alam nyata (kasat mata) dan alam gaib, yang sesuai juga

dengan ajaran Islam bahwa alam itu dihuni juga oleh jin dan lainnya. Bahwa jin itu juga

ada yang tunduk dan beriman kepada Allah ada juga yang mungkar kepada Allah.

Universitas Sumatera Utara


Sementara syaitan (setan) adalah jin yang ingkar kepada Allah, yang tugasnya sampai hari

kiamat adalah menggoda manusia untuk berbuat dosa, dan ingkar kepada Tuhan.

Dalam kosmologi Melayu ini, mereka memiliki sebutan khusus untuk makhluk

gaib penunggu laut, seperti jembalang, mambang hitam, mambang kuning, mambang

hijau, dan lain-lainnya. Sementara itu mereka juga meyakini bahwa lautan juga dijaga oleh

Nabi Allah yaitu Nabi Khaidir Alaihissalam. Para nelayan juga dalam mantranya selalu

menggunakan nama Nabi Khaidir ini untuk menjaga mereka.

Dalam persepsi budaya Melayu, dalam melaut juga tidak boleh mengeksploitasi

alam secara semena-mena. Mereka akan mengambilnya sesuai dengan kebutuhan saja,

tidak mengambil sebanyak-banyaknya dengan tidak memikirkan kesinambungan biota

laut. Para nelayan juga sadar bahwa kekayaan yang diperoleh bukan hanya dengan

menangkap ikan yang sebanyak-banyaknya tetapi perlu diimbangi dengan nilai-nilai

keimanan dan ketuhanan, untuk mencapai tujuan hidup dunia dan akhirta.

Seterusnya dalam matriks dan model mantra ini terkandung juga konsep adat

Melayu yaitu adat bersendikan syarak dan syarakk bersendikan kitabullah. Artinya semua

wujud dan isi kebudayaan Melayu mestilah berakar dari agama dan adat sekali gus. Agama

Islam telah mengajarkan hal-hal yang universal termasuk di dalam aktivitas melaut.

Demikian juga dengan adat Melayu yang terkodifikasi dalam adat sebenar adat, adat yang

diadatkan, adat yang teradat, dan adat istiadat mengajarkan bagaimana bertindak dan

merespons alam dalam rangka keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Jadi adat dan

konsepnya ini menjadi bahagian integral dari mantra melaut suku Melayu di Aras Kabu,

Serdang.

Matriks dan model yang digunakan dalam mantra melaut suku Melayu di Aras

Kabu juga mengandung aspek estetika setempat. Selian menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an

dan shalawat Nabi Muhammad, estetika yang terkadung di dalam mantra ini juga

Universitas Sumatera Utara


menggunakan unsur rima atau persajakan terutama persajakan rata. Di dalamnya juga

terdapat unsur-unsur pantun, walau tidak dapat dikategorikan sebagai pantun, namun ini

dapat dirasakan dengan penggunaan baris, kata, dan suku kata yang menghampiri struktur

pantun (empat baris) dalam sastra Melayu. Dengan demikian, melihat mantra ini baik

secara visual maupun auditif akan mengantarkan pengkajinya kepada matriks dan model

budaya Melayu yang bersifat abstrak. Dalam penafsiran penulis, abstraksi dan model

mantra melaut suku Melayu Aras Kabu itu dapat dilihat pada bagan 5.2 berikut ini.

Bagan 5.2:

Matriks dan Model Mantra Melaut

Universitas Sumatera Utara


5.2.4 Penafsiran Intertekstual

Seperti anjuran Riffaterre, dalam analisis semiotika penting pula dilihat dalam

konteks intertekstual. Bahwa mantra melaut ini sebagai hasil kebudayaan Melayu berkait

juga dengan berbagai tekstual yang hidup di dalam kebudayaan Melayu. Menurut penulis

mantra ini memiliki dimensi keagamaan, yang diambil dari ayat Qur’an khususnya surah

Al-Fatihah, sebagai induk Qur’an. Surah ini selalu dibacakan dalam berbagai ritual

keagamaan Islam, termasuk juga di dalam mantra melaut ini.

Selain itu, intertekstual lainnya yang berkaitan dengan mantra melaut ini adalah

penggunaan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. dan keturunannya. Dalam tradisi

agama Islam, pembacaan shalawat ini adalah sebagai pengharapan akan syafaat Nabi

Muhammad di hari akhirat kelak kepada yang membacanya. Seterusnya syafaat ini juga

bukti cintanya setiap muslim kepada Rasulullah yang selalu menjaga komunikasi

kepadanya.

Intertekstual lainnya adalah di dalam mantra melaut suku Melayu Aras Kabu ini

terkandung unsur-unsur pantun (puisi Melayu Lama), yang umumnya terdiri dari satu bait

empat baris (kuatrin), menggunakan persajakan-persajakan atau rima di akhir setiap baris

atau larik. Kemudian selain itu itu penggunaan kata dan suku kata sebagaimana pantun,

tetapi tetap kuat mengekspresikan mantra.

Selain itu di dalam mantra melaut suku Melayu Aras Kabu ini terdapat hubungan

yang erat dengan mantra-mantra lainnya seperti mantra upacara jamuan laut, mantra tolak

bala, mantra pengasih, mantra merawat tulang patah, mantra mandi berminyak, mantra

senam Melayu, mantra mandi bersih diri, dan lain-lain. Dalam semua jenis mantra ini

terkandung nilai filsafat dan kosmologi Melayu yang terkodifikasi secara integral.

Selain dari mantra-mantra dalam budaya Melayu, mantra melaut suku Melayu Aras

Kabu ini juga memiliki hubungan dengan berbagai genre sastra Melayu seperti nazam,

Universitas Sumatera Utara


gurindam, seloka, talibun, karmina, zikir Barat, endoi, sinandong, dan lain-lainnya. Dengan

demikian dengan cara kajian intertekstual akan didapati kedalaman makna mantra melaut

ini dalam kebudayaan suku Melayu di Aras Kabu Deli Serdang. Selain itu di dalam mantra

melaut ini terdapat kearifan-kearifan lokal.

5.3 Analisis Melalui Semiotik Peirce

Melalui semiotik Peirce, maka penulis menganalisis aspek verbal yaitu mantera itu

dari sisi intrinsik dan juga aspek nonverbal seperti visual, ruang, dan perilaku nelayan

dalam pelaksanaan ritual mantra melaut ini. Di dalam pemaknaan tersebut penulis

menggunakan tiga unsur semioti yang ditawarkan Peirce yaitu ikon, indeks, dan simbol

atau lambang. Kemudian dimensi triadik yang ditawarkan oleh Peirce yaitu berupa

representamen, objek, dan interpretasn. Representamen adalah sesuatu yang dapat

dipersepsi, kemudian objek adalah sesuatu yang mengacu pada hal lain, dan representamen

adalah sesuatu yang dapat diinterpretasi baik oleh masyarakat maupun peneliti.

Yang pertama adalah dari aspek verbal. Materi analisis adalah mantra melaut yang

disajikan oleh Haji Amiruddin. Selengkapnya larik-larik atau baris mantra melaut itu

adalah sebagai berikut.

1. Mantra Melaut (I)

Oleh: Haji Amiruddin

Auzubillahiminas syaithonirrajim

Bismillahi rahmanirrahim

Allahumma shali ala saidina Muhammad

Wa ala ali syaidina Muhammad

Alfatihah

Universitas Sumatera Utara


Alhamdulillahi rabbil alamin

Arrahmanirrahim

Maliki yaumiddin

Iyakanakbudu waiyakanastain

Ihdinassirathal mustaqim

Sirathalazina anamt ‘alaihim

Ghairil maghdubi alaihim

Waladhallin Amiin

Allahumma shali ala Saidina Muhammad

Wa ala ali Saidina Muhammad

Allahumma shali ala Saidina Muhammad

Wa ala ali Saidina Muhammad

Hai… kuala tempat berdiri

bagai diarah bagai diiring

Khaidir datanglah ke mari

Ikan pun masuklah ke jaring

Hai… jembalang laut

Kami datang mencarilah ikan

Tidak menggangu tempatnya tuan

Harap kita terus berkawan

Universitas Sumatera Utara


Mambang Hitam, Mambang Kuning, Mambang Hijau,

Ijinkan kami menangkap hasil laut

Pada sunnah Allah kami pun ikut

Menjaga semua yang telah dianut

Semua itu berkat Laa ilaha ilallah

Muhammadarrasulullah

Aaa ...

Dari aspek verbal atau bahasa, maka mantra melaut tersebut disusun dari kata-kata

yang diatur baris demi baris. Pemilihan kata atau diksinya diambil dari bahasa Arab dan

bahasa Melayu. Bahasa Arab yang diambil sebahagian besar berasal dari teks Al-Qur’an

terutama Surat Al-Fatihah sebagai induk Qur’an (Ummul Qur’an). Sementara bahasa

Melayu yang digunakan adalah bahasa khas mantra dan menggunakan unsur-unsur pantun

seperti rima (persajakan), isi yang terbagi ke dalam stanza-stanza.

Dalam mantra di atas ada kata-kata yang memiliki makna ikon. Di antaranya Nabi

Khaidir adalah ikon Nabi Allah yang memiliki ilmu yang relatif tinggi atas berkat rahmat

Tuhan. Bahkan Nabi Musa pun pernah berguru kepada beliau. Dalam kepercayaan umat

Islam Nabi Khaidir ini terus hidup sepanjang zaman sampai hari kiamat dan datangnya

kembali Nabi Isa ke dunia. Khaidir adalah ikon hamba Allah yang pandai, bijaksana, dapat

membaca tanda-tanda zaman, dan lain-lainnya.

Dalam mantra melaut ini terdapat pula contoh indeks, yaitu suatu kenyataan yang

sebenarnya akan diikuti kenyataan lain. Misalnya ada asap tentu ada muasalnya yaitu api.

Di dalam mantra ini contoh indeks adalah kuala tempat berdiri yang berupa daratan dan

berbatasan langsung dengan lautan. Kuala adalah indeks dari nelayan yang tujuan

Universitas Sumatera Utara


utamanya adalah melaut di lautan lepas. Kuala dan tangkahannya adalah tempat hubungan

antara daratan dan lautan.

Selain itu terdapat juga terdapat istilah sunnah Allah atau hukum Tuhan, yang

merupakan indeks dari apa yang seharusnya dilakukan manusia. Adanya hukum Tuhan

yang diturunkan Tuhan ke atas bumi ini karena perlunya menjaga eksistensi manusia

sebagai makhluk Tuhan. Dalam konsep ajaran agama Islam, Tuhan tidak menciptakan

manusia dan jin kecuali untuk berbakti kepada Allah. Jadi tujuan Allah menciptakan

manusia itu adalah sesuai dengan kehendak Nya ada yang tidak mau mengikuti jalan Allah

dan ada juga yang mengikutinya. Untuk itu diciptakan Tuhan sunnah atau hukum.

Dalam mantra verbal di atas terdapat juga simbol. Dalam hal ini berupa warna-

warna dari mambang, yaitu mambang hitam, kuning, dan hijau. Dalam kebudayaan

Melayu setiap warna mempunyai simbol sendiri. Warna hitam adalah warna kebijaksanaan

yang berkaitan dengan harmoni alam. Kemudian warna kuning adalah warna dari

kemegahan dan kekuasaan. Warna kuning melambangkan kekuatan suatu imperium atau

kerajaan. Selanjutnya warna hijau adalah simbol dari kedamaian dan alam ini. Hijau

simbol dari hukum alam yang diciptakan Tuhan.

Kemudian berdasarkan segitiga triadiknya Peirce, maka mantra melaut tersebut di

atas memiliki representamen, objek, dan interpretannya sendiri. Representamen mantra

melaut tersebut, di antaranya adalah sebagfai berikut. Jembalang laut dapat dipersepsikan

sebagai makhluk gaib dalam sistem alam yang dipercayai orang Melayu. Demikian pula

mambang hitam, mambang kuning, dan mambang hijau adalah representamen dari

makhluk-makhluk gaib yang ada di lautan. Dalam membina hubungan antara manusia

dengan makhluk gaib tadi tidak saling menggangu dan menjaga hubungan dalam hukum

Tuhan.

Universitas Sumatera Utara


Sedangkan obejk dari mantra tersebut antara lain adalah Khaidir adalah salah

seorang nabi dalam sistem kepercayaan Islam. Namun demikian, Khaidir selain acuannya

sebagai Nabi juga mengacu kepada Nabi yang bijaksana, pintar dan dikaruniai banyak

ilmu. Ia juga sebagai penjaga lautan yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Khaidir juga

adalah objek yang maknanya mengacu kepada Dunia Lautan, atau dunia pesisir.

Selain itu dalam mantra ini juga terdapat interpretan yang dapat diinterpretasi atau

ditafsirkan baik oleh masyarakat pendukung mantra melaut itu atau juga para peneliti.

Secara umum dalam mantra tersebut terkandung kepercayaan akan harmonisasi antara

manusia (nelayan) dengan alam lingkungannya (laut, pantai, tangkahan, jembalang,

mambang), dan tentu dengan Tuhan. Aspek mantra ini menggunakan unsur kebudayaan

dan agama Islam sekali gus. Tujuan utamanya adalah memposisikan manusia sebagai

makhluk yang mencari nafkah di laut dengan bertanggungjawab, tidak sembarangan

mengeksploitasi alam, dan lain-lain.

Melihat dari teks yang dipergunakan yaitu diambil dari Al-Qur’an dan khususnya

Surat Al-Fatihah, ini menunjukkan bahwa teks tersebut telah mengalami perpaduan antara

budaya Melayu dengan ajaran-ajaran agama Islam. Teks ini memberikan daya dorong

kepada semangat untuk mencari nafkat di laut tetapi tetap dengan menjaga keseimbangan

alam, tidak merusakkannya.

Ayat suci Al-Qur’an yang diambil oleh para nelayan ini memberikan semangat,

dengan cara menginternalisasikannya ke dalam diri sang nelayan itu. Ia memiliki

kepercayaan dan kekuatan dalam rangka mencari ikan di laut. Ini bahagian dari memenuhi

kebutuihan hidup mereka, dalam menafkahi kebutuhan keluarga dan lainnya. Mereka sadar

dirinya sebagai nelayan adalah fitrah yang sudah digariskan Tuhan. Ayat-ayat Al-Qura’an

tersebut terdiri dari berbuat karena Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Ucapan terima kasih kepada Tuhan seluruh alam, termasuk lautan. Tuhan adalah penguasa

Universitas Sumatera Utara


mutlak di hari pembalasan (selepas haria kiamat kelak). Hanya kepada Tuhan sang nelayan

meminta perlindungan dan meminta pertolongan. Seperti pertolongan kepada orang-orang

yang beriman sebelum mereka, dan bukan orang-orang yang dimurkai Tuhan.

Di dalam teks mantra ini juga terkandung puji-pujian kepada Nabi Muhammad

yang mengindikasikan bahwa dalam kalangan umat Islam, Nabi Muhammad amatlah

dicintai dan diharapkan syafaat (bantuan)nya kelak di waktu hari pembalasan. Nabi

Muhammad lah yang mengenalkan sinar Islam kepada mereka. Demikian kira-kira tafsiran

terhadap mantar melaut tersebut dengan pendekatan teori semiotiknya Peirce.

Universitas Sumatera Utara


BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Dari uraian-uraian pada baba-baba sebelumnya, maka pada Bab VII ini akan

ditarik simpulan-simpulan penelitian. Kemudian setelah itu akan penulis kemukakan

beberapa saran untuk menyikapi eksistensi mantra melaut suku Melayu di Ras Kabu ini,

baik dalam kebijakan saintifik atau pembangunan dalam konteks Negara Kesatuan

Republik Indonesia dan Dunia Melayu.

Dari sudut semiotika visual maka didapati bahwa dalam ritual mantra melaut ini

pelibatnya adalah beberapa nelayan yang dipimpin oleh salah satu seroang di ataranya.

Mantra ini dibacakan di atas sampan di kuala, atau di tangkahan. Proses ritualnya dimulai

dari masa persiapan dari rumah masing-masing, kemudian tahap pembacaan, dan pasca

ritual. Setelah itu barulah mereka melaut. Pakaian yang digunakan adalah pakaian untuk

melaut tidak formal atau memakai pakaian adat.

Dari sudut semiotika lirik (puisi) seperti yang ditawarkan oleh Riffaterre, yaitu

terdapat sedikit larik yang menggunakan ketidaklangsungan ekspresi. Kemudian dalam

konteks pembacaan heuristik dan hermeneutik, maka didapati secara struktural ayat-ayat

yang digunakan dalam mantra ini terdiri dari kata-kata basmallah, kemudian dilanjutkan

ke shalawat Nabi, kemudian ayat Al-Fatihah yang diambil dari Al-Qur’an, baru

diteruskan ke bahagian mantra, dan kemudian ditutup dengan syahadatain. Ini

mencermikan pengolahan ajaran Islam dalam konteks adat budaya Melayu. Kemudian

menurut semiotiknya Peirce dalam mantar melaut ini ada makna ikon seperti Nabi

Khaidir, juga indeks seperti kuala tempat berdiri, juga simbol seperti warna kuning, hijau,

Universitas Sumatera Utara


hitam, dan lainnya. Dalam mantra melaut juga dijumpai objek, seperti kuala, sampan,

nelayan, jembalang, dan lainnya. Ada pula dijumpai representamen, seperti pada kata-

kata kita terus bersahabat, seperti hukum Allah, dan lain-lainnya. Juga kata-kata pada

mantra melaut ini dpaat ditafsirkan berdasarkan kebudayaan Melayu Aras Kabu,

misalnya larik pada sunnah Allah kami pun ikut, makna interpretannya adalah semua

makhluk yang ada di dunia ini harus tunduk kepada pencipta mereka yaitu Allah. Tidak

ada kerusuhan yang akan terjadi bila menjaga keseimbangan alam dan hubungannya.

Secara estetika pula di dalam mantra ini terkandung unsur pantun, walaupun tidak

dapat dikategorikan sebagai pantun. Makna-makna yang terkandung di dalam mantra

melaut ini menjadi satu kesatuan dengan kebudayaan Melayu secara umum. Di dalam

pembacaan matriks dan model dijumpai bahwa mantra melaut didasari oleh kebudayaan

Melayu yang memiliki konsep adat bersendikan syarakak dan syarakak bersendikan

kitabullah. Adat ini dibagi empat yaitu adat yang sebenar adat, adat yang diadatkan, adat

yang teradat, dan adat istiadat. Budaya, adat, dan agama Islam menjadi panduan utama

dalam mantra melaut ini, yang di dalam,nya terkandung sistem religi, kosmologi, dan

juga estetika yang bergaya Melayu, seperti rima dan unsur pantun, dan lain-lainnya.

Dalam pembacaan intertekstual dijumpai bahwa mantra melaut ini menjadi satu kesatuan

dengan mantra-mantra lain yang merupakan ekspresi kosmologi masyarakat Melayu.

Di dalam mantra melaut terdapat kearifan-kearifan lokal Melayu Aras Kabu

Serdang, yaitu di ataranya: harmonisasi alam (sebagai makhluk ciptaan Tuhan), identitas

diri, pelestarian budaya, dan penunjang ekonomi nelayan. Keraifan lokal ini muncul dan

berkembang sebagai hasil respons masyarakat nelayan Melayu di Aras Kabu terhadap

lingkungan tempatnya mencari penghidupan. Keraifan lokal ini terus dipertahankan oleh

para nelayan Melayu hingga ke hari ini.

Universitas Sumatera Utara


6.2 Saran

Dengan meneliti dan mengkaji keberadaan mantra melaut dalam kebudayaan

Melayu Aras Kabu Serdang ini, maka perlu dilakukan lagi studi lanjutan yang melibatkan

berbagai bidang ilmu, untuk dapat meningkatkan kehidupan, dan tujuan hidup dunia dan

akhirat masyarakat nelayan di Aras Kabu. Selain itu diperlukan pula dokumentasi-

dokumentasi akademik dan saintifik terhadap berbagai kearifan lokal Melayu khususnya

di Ars Kabu ini. Seterusnya saran penulis terhadap keberadaan mantra melaut suku

Melayu di Aras Kabu ini adalah perlunya dilakukan pengelolaan pemerintah untuk

memberdayakan ekonomi nelayan dengan cara memberikan kredit usaha kecil dan

menengah kepada mereka. Perlu juga dilakukan pemberdayaan ekonomi nelayan

berdasarkan ekonomi syariah sebagai dasar kebudayaan Melayu, dengan sistem bagi hasil

baik melalui perbankan Islam atau koperasi yang berbasuis ekonomi Islam.

Selain itu, kebijakan-kebijakan perekonomian dan pembangunan daerah di

Indonesia, harus memperhatikan kearifan lokal dan kebudayaan daerah setempat.

Seharusnya juga dalam membangun sektor perekonomian di mana pun di Indonesia

jangan lupa mengikutsertakan kebijakan-kebijakan daerah setempat.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR RUJUKAN

Al-Attas, Syed Muhammad naquib, 1990. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.
Petaling Jaya: Angkatan Belia Islam Malaysia.
Ali, Haidar, 1994. Nahdhatul Uama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik.
Jakarta: Gramedia Pustaka.
Amanriza, Ediruslan, et al. 1989. Koba Sastra Lisan Orang Riau (dalam Dialek Daerah Rokan
Hilir). Pekanbaru: Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Riau.
Amri, 2011. Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan: Pemahaman Leksikon
Remaja di Padangsidimpuan. Medan: Tesis S2 Linguistik Sekolah Pascasarjana,
Universitas Sumatera Utara.
Amri, Yusni Khairul. 2011. Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan:
Pemahaman Leksikon Remaja di Padangsidimpuan. Medan: Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara (Tesis).
Badudu, 1984. Mari Membina Bahasa Indonesia Baku. Bandung: Pustaka Prima.
Barker, Christ, 2006. Cultural Studies and Discourse Analysis: On Dialogue on Language.
London: Sage Publication.
Beckson, C. and Garu, A. (1990). Literary Term: A Dictionary. London: Andre-Deutsch:
Limited.
Berger, Peter L. 1991. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial. Jakarta: LP3ES.
Budianta, Melani. 2008. “Representasi Kaum Pinggiran dan Kapitalisme,” dalam Sastra
Indonesia Modern: Kritik P ostkolonial. Jakarta: KITLV-Obor.
Christomy (penyunting), 2003. Indonesta: Tanda Yang Retak. Jakarta: Wedatama Widya
Sastra .
Christomy, T., dan Untung Yuwono (ed.). 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya, Direkiorat Riset dan Pengabdian Masyarakat
Universitas Indonesia.
Christomy, Tommy, 2001. "Pengantar Semiotika Pragmatik Pierce: Nonverbal dan Verbal.”
Makalah pada Pelatihan Semiotika. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
Christomy, Tommy, et al. 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan
dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia.
Culler, J., 1975. Structuralist Poetics. London: Routledge & Kegan Paul.
Damono, S.D., 1979. Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Bahasa
Danandjaja,James, 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Cetakan IV.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Daud, Haron, 2001. Mantra Melayu: Analisis Pemikiran. Pulau Pinang: Universiti Sains
Malaysia.
Daud, Haroon. 2001. Mantra Melayu. Pulau Pinang: University Sains Malaysia.
Denzin, Norman K, and Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of Qualitative Research.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.). 1995. Handbook of Qualitative Research.
Thousand Oaks, London, dan New Delhi: Sage Publications.
Direktorat Bantuan Sosial. 2005. Kajian Kearifan Lokal di 8 (Delapan) Provinsi. Jakarta:
Departemen Sosial RI.
Djajasudarma. 1993. Analisis Bahasa Molen. Laporan Penelitian. Makasar: Universitas
Hasanuddin.
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. United Kingdom: Cambridge University

Universitas Sumatera Utara


Press.
Eco, U., 1976. A Theory of Semiotics. Bloomington: IndianaUniversity Press.
Endraswara, Suwardi, 2005. Tradisi Lisan Jawa: Warisan Abadi Budaya Leluhur. Jakarta:
Narasi.
Fachruddin, Chalida, 1996. Sosialisasi Anak dalam Masyarakat Nelayan Melayu di Sumatera
Utara. dalam Mohamed Salleh Lamry. Mereka yang Terpinggir: Orang Melayu di
Sumatera Utara. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.
Fachruddin, Chalida, 1998. Labuhan Deli: Organisasi Sosial Sebuah Komuniti Melayu di
Sumarera Utara, Indonesia. Disertasi doctoral, Universiti Sains Malaysia.
Fatimah, 1985. Pengaruh sosioekonomis Perkebunan Tembakau terhadap Masyarakat di
Sumatera Timur (1863-1900). Tesis magister humaniora, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Goffman, Erving, 1979. Forms of Talk. Oxford: Blackwell.
Goffman, Erving. 1981. Forms of Talk. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Halliday, MAK. et al. 1986. Semiotics Ideology Language. Australia: Sydney Association for
Studies in Society and Culture.
Hamidy, UU. 1991. Masyarakat Terasing Daerah Riau di Gerbang Abad XXI. Pekanbaru:
Zamrad.
Hamidy, UU. 1992. Pengislaman Masyarakat Sakai oleh Tarekat Naksyabandiyah
Babussalam. Pekanbaru: UIR Press.
Hamidy, UU. 1999. Dukun Melayu Rantau Kuantan Riau. Pekanbaru: Universitas Lancang
Kuning Press.
Hamidy, UU. 2009. Kebudayaan Sebagai Amanah Tuhan. Pekanbaru: UIR Press.

Hartoko, Dick, 1986. Bunga Rampai Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Hobsbawm, Eric, 1992. “Introduction lnventing Traditions" dalam Invention of Tradition.
Cambridge: Cambridge University Press.
Hodges, Robert, dan Kress Gunther. 1999. Sosial Semiotika (Edisi Ringkas). Padang: Breeuw
Print.
Hoed, B.H. 2002. “Strukturalisme, Pragmatik, dan Semiotika Dalarn Kajian Budaya" dalam T.
Christomy (ed.). Indonesia Tanda yang Retak. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Hoed, B.H., 2001. Dari Logika Tuyul Ke Erotisme. Magelang: Indonesia Tera.
Hooykaas, 1952. Cultural Representation. London: Mcmillan.
Indrastuti, 2007. Mantra Melaut Suku Bajo: Interpretasi Semiotika. Semarang: tesis magister
Linguistik Universitas Diponegoro.
Jalil, Abdul, 2008. Kolokium Bahasa dan Pemikiran Melayu/Indonesia. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Jalil, Adul dan Rahman, Elmustian. 2001. Puisi Mantra. Pekanbaru: Universitas Riau.
Junus, Umar, 1988. Mitos dan Komunikasi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kang, Yoonhee. 2005. Untaian Kata Leluhur Marjinalitas, Emosi dan Kuasa Kata-kata Magi
di Kalangan Orang Petalangan Riau. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan
Kemasyarakatan Riau.
Kang, Yoonjung, 2005. Linguistic Inquiry. London: Longman.
Kluckhon, C., 1962. Culture and Behavior. New York: The Free Press.
Koentjaraningrat. 1998. Pengantar Antropologi II. Jakarta: Rineka Cipta.
Kress, G dan van Leeuwn, T. 1996. Reading Images-The Grammar of Visual Design. London:
Routledge.

Universitas Sumatera Utara


Kress, G. 2000. Multimodality: Challenges to Thinking about Language. TESOL Quarterly,
34, 337-340.
Martin, J.R dan Rose, David. 2003. Working with Discourse. London: Continuum.
Matthews, P.H., 1997. The Concise Oxford Dictionary of Linguistics. New York: Oxford
University Press.
Meij, van der Dick, 2011. An Interdisciplinary on Language, Gender, and Sexuality. The
Hague: Martinus Nijhoff.
Nazir, Mohd. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Nelson dan Grossberg, 1992. Qualitative Research. London. MacMillan.
Nicholson, R.A., 1962. A Literary History of The Arab. London: The Cambridge.
Noth, W. 1990. Handbook of Semiotics. Indiana University Press: Bloomington.
Pemerintah Daerah Sumatera Utara, 1982. Monografi Sumatera Utara. Medan: Pemerintah
Daerah Sumatera Utara.
Piah, Harun Mat, 1989. Puisi Melayu Tradisional: Suatu Perbincangan tentang Makna dan
Genre. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Piliang, Yasraf Amir, 2003. Wibawa Bahasa. Jakarta: Balai Pustaka.
Pradopo, R.D., 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
Pradopo, Rakhmat Djoko, 1987. Pengkajian Puisi: Analisis Struktur Naskah dalam Analisis
Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.
Prasetya, Adi Y., 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Preminger, 1974., Storytelling and Drama: Exploring Narrative Plays. London: Hugo Bowies.
Pudentia, 2008. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.
Pudentia, MPSS. 2008. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan
(ATL).
Rahardiansah, Trubus. 2011. Transformasi Nilai Kearifan Lokal Dalam Pendidikan Bangsa:
Dialektika Pentingnya Pendidikan Berbasis Local Genius. Jakarta: Universitas
Trisakti.
Rahman, Elmustian, dkk. 2009. Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu. Pekanbaru: Pusat
Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau.
Ratna, 2006. A Grammar of the Pendau Language of Central Sulawesi, Indonesia. Boston:
MIT Press.
Riffaterre, M., 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.
Robson, S.O., 1978. “Pengkajian Sasha-sastra Tradisional Indonesia". Bahasa dan Sastra. Vl
(4),3-48.
Royce, Terry D. 2007. “Multimodal Communicative Competence in Second Language
Contexts” dalam New Directions in the Analysis of Multimodal Discourse. New
Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Publishers.
Rusyana dan Raksanagara, 1978. Pengantar Penelitian Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Rusyana, Y., 1971. "Pesantren dalam Kehidupan Sastra.” Budaya Jaya, 33 (4), 83-90.
Samarin, M., 1988. Metode Penelitan Bahasa. Bandung: Angkasa.
Samuel, Hanneman. 1993. Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar Universitas Bidang
Ilmu-itnu Sosial Universitas Indonesia. Jakarta: UI Press.
Santosa, Edy, 2004. Cerita Rakyat dari Mojokerto Jawa Timur. Jakarta: Grasindo.
Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial Pandangan Terhadap Bahasa. Surabaya: Pustaka
Eureka.
Saragih, Amrin. (2009). Semiotika Bahasa. Bahan Ajar Perkuliahan Semiotika Program Studi
Linguistik USU. Medan.
Sartini, Ni Wayan. 2011. Tinjauan Teoritik tentang Semiotika. Surabaya: Jurnal on-line Unair.

Universitas Sumatera Utara


Sayuti. (2005). Definisi Kearifan Lokal. Wikipedia: Jurnal on-line.
Selden, 1993. Woman in Chinese Long Ninteenth Century. Beijing: Xinbao.
Shari, Ishak, 1990. Ekonomi Nelayan: Pengupahan Modal, Perubahan Teknologi, dan
Pembezaan Ekonomi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Sibarani, Robert. 2011. Nilai-nilai Kearifan Lokal. Medan: Bahan Ajar Perkuliahan Metode
Tradisi Lisan Program Studi Linguistik USU.
Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: PODA.
Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta:
Asosiasi Tradisi Lisan.
Sibarani, Robert. 2012. “Tradisi Lisan sebagai Sumber Kearifan Lokal: Sebuah Pemahaman
Metodologis.” Makalah Seminar Internasional Tradisi Lisan VIII di Tanjungpinang,
Kepulauan Riau.
Sinar, T Silvana. 2010. Teori & Analisis Wacana, Pendekatan Linguistik Sistemik-Fungsional.
Medan: Pustaka Bangsa Press.
Sinar, T Silvana. 2011. Kearifan Lokal Berpantun dalam Perkawinan Adat Melayu Batubara.
Medan: USU Press.
Sinar, T Silvana. 2011. Mitos Cerita Rakyat. Medan: USU Press.
Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Storey, John, 2001 . Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Suastika, I Made. 2011. Tradisi Sastra Lisan (Satua) di Bali Kajian Bentuk, Fungsi, dan
Makna. Bali: Pustaka Larasan bekerjasama dengan Program Studi Magister dan
Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana.
Subyantoro, Arief, dan Suwarto, FX. 2006. Metode & Teknik Penelitian Sosial. Yogyakarta:
C.V. Andi Offset.
Sudaryanto, l988. Metode Penelitian. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sudjiman, P. dan Zoest, A.V., 1992. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia.
Syafa’at, Rachmad, et.al. 2008. Negara, Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal. Malang: In-
TRANS Publishing.
Syafaat dkk., 2008. Negara, Masyarakat Adat, dan Kearifan Lokal yang Bertemakan
mendayagunakan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber daya Alam. Jarkarta:
Jembatan.
Syaifuddin, Wan, 1999. Tarian Lukah atau Jambang Lukah Menari. Medan: Universitas
Sumatera Utara Press.
Syuropati, A. Mohammad. 2011. Teori Sastra Kontemporer & 13 Tokohnya (Sebuah
Perkenalan). Yogyakarta: IN AzNa Books.
Tarigan, H.G., 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa
Teeuw, A., 1984. Sastra dan llmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Triswanto, Sugeng D. 2010. Trik Menulis Skripsi & Menghadapi Presentasi Bebas Stres,
Lengkap dari A sampai Z. Yogyakarta: Tugu Publisher.
van Zoest, Aart 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa yang Kita Lakukan.
(Diterjemahkan oleh Eni Soekowati). Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
van Zoest, Aart dan Panuti Sudjiman. 1993. Serba-Serbi Semiotika. Gramedia Pustaka Utama:
Jakafia.
Wardoyo, Rentantyo, dan Abdullah, 2005. Pengembangan Aplikasi Spatial Data Mining
Menggunakan Metode SAR - Kriging Untuk Prediksi Mutu Pendidikan Di Lokasi
Tidak Tersampel , Jurnal Pengkajian Dan Penerapan Teknik Informatika, January 19th
2009, pp. 1-12
Wellek R. dan Warren, A., 1990. Teori Kesusastraan Terjemahan Metani Budianta. Jakarta:
Gramedia.

Universitas Sumatera Utara


Yos Rizal. 2000. Fungsi Mantra pada Masyarakat Melayu Aras Kabu Kabupaten Deli
Serdang. Medan: LP USU.
Yunita, 2011. Mantra Pagar Diri. Medan: tesis Program Studi Magister Linguistik Universitas
Sumatera Utara.
Yunita, Erni. (2011). Analisis Semiotika Tradisi Bermantra Pagar Diri di Desa Ujung Gading
Julu, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara. Medan: Sekolah
Pascasarjana Program Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara. Tesis.
Zoest, Aart van. 1991. Fiksi dan Non-Fiksi dalam Kajian Semiotika. Jakarta: Intermasa.

Internet
http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/Tinjauan%20Teoritik%20tentang%20Semiotika.pdf,
diunduh 3 Maret 2012
hhtp://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifanlokal.pdf), diunduh 15
Maret 2012
(http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/45/41), diunduh 17 April 2012
(http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2003/1018/bud 2.html), diunduh Desember 2011

Universitas Sumatera Utara


INFORMAN

1. Nama : Datuk Sokbi

Umur : 72 tahun

Pekerjaan : Nelayan

Alamat : Desa Aras Kabu

2. Nama : Haji Amiruddin

Umur : 89 tahun

Pekerjaan : Bekas Nelayan

Alamat : Desa Aras Kabu

3. Nama : Basyaruddin

Umur : 62 tahun

Pekerjaan : Nelayan

Alamat : Desa Aras Kabu

4. Nama : Buyung

Umur : 55 tahun

Pekerjaan : Nelayan

Alamat : Desa Aras Kabu

Universitas Sumatera Utara


5. Nama : Alang Dulmahlil

Umur : 76 tahun

Pekerjaan : Nelayan

Alamat : Desa Aras Kabu

6. Nama : Muhammad Nong

Umur : 79 tahun

Pekerjaan : Nelayan

Alamat : Desa Aras Kabu

7. Nama : Baharuddin bin Abdullah

Umur : 77 tahun

Pekerjaan : Nelayan

Alamat : Desa Aras Kabu

8. Nama : Azarai, S.S., MSP.

Umur : 43 tahun

Pekerjaan : Ilmuwan di Universitas Sumatera Utara

Alamat : Desa Aras Kabu

9. Nama : Ridwan

Umur : 41 tahun

Pekerjaan : Nelayan

Alamat : Desa Aras Kabu

Universitas Sumatera Utara


10. Nama : Uzeir

Umur : 37 tahun

Pekerjaan : Nelayan

Alamat : Desa Aras Kabu

Universitas Sumatera Utara


Lampiran

Gambar 7.1

Haji Amiruddin (Informan Kunci)

Universitas Sumatera Utara


Gambar 7.2

Tangkahan di Pesisir Pantai Pantai Labu

Universitas Sumatera Utara


Gambar 7.3

Bahagian Haluan Sampan

Universitas Sumatera Utara


Gambar 7.4

Suasana Tangkahan

Universitas Sumatera Utara


Gambar 7.5

Tempat Pelelangan Ikan

Universitas Sumatera Utara


Gambar 7.6

Sampan Sedang Bersandar di Tangkahan

Universitas Sumatera Utara


Gambar 7.7

Nelayan Sedang Membaca Mantera Berdiri di Tepi Pantai

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai