TESIS
OLEH:
IRWAN
NIM: 097009038
SEKOLAH PASCASARJANA
MEDAN
2013
TESIS
OLEH:
IRWAN
NIM: 097009038
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc)
Melalui tesis ini penulis mengkaji mantra melaut pada suku Melayu di
Araskabu, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara dengan interpretasi
semiotika. Adapun teori yang digunakan untuk mengkaji makna sosial adalah teori
semiotika sosial oleh Halliday dkk., di sisi lain untuk mengkaji lirik mantra melaut ini
semiotika Riffaterre. Untuk melengkapi kajian keduanya digunakan pula teori semiotik
Peirce. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan
bertumpu kepada data yang diperoleh dari para informan kunci.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut.
Mantra melaut adalah salah satu jenis mantra yang terdapat di dalam kebudayaan
Melayu Serdang di Aras Kabu. Mantra ini digunakan oleh para nelayan Melayu ketika
akan melaut, yang diucapkan dan diinternalisasikan di tangkahan tempat akan melaut.
Secara sosial dan visual mantra melaut dilakukan oleh para nelayan yang dipimpin oleh
salah seorang di antara mereka. Mantra ini dipercayai akan mendatangkan tangkapan
hasil laut yang memadai atas izin Allah. Struktur mantra melaut ini terdiri dari
basmalah, Al-Fatihah, shalawat, isi mantra, dan syahadatain. Ini bermakna bahwa
mantra melaut merupakan eksprtesi budaya Melayu yang berasaskan ajaran Islam.
Dalam mantra melaut juga terdapat kearifan lokal berupa penghayatan nilai tradisi,
menjaga keseimbangan alam, berserah diri pada Tuhan, dan lainnya.
Through this thesis the author examines a spell at sea on the Malays in
Araskabu, Deli Serdang regency, North Sumatra Province with semiotic interpretation.
The theory is used to assess the social meanings by social semiotics of Halliday et al.,
in another side to examine the lyrics spell at sea, I use Riffaterre’s semiotic. Then, to
analysis two side I use Peirce’s semiotic theory. The research method used was a
qualitative research method, relying on data obtained from key informants.
The results obtained in this study can be stated as follows. Spell to work on the
sea is one of the spells contained within the Malay culture in Aras Kabu Serdang. This
spell is used by fishermen when going to sea, spoken and internalized in small port
(tangkahan) place would go to sea. Socially and visual spells at sea by fishermen, led
by one of them. Spell is believed will bring adequate marine catch the permission of
Allah. The structure consists of a sail basmalah, Al-Fatihah, prayers, spells contents,
and syahadatain. This means that a spell at sea is a Malay culture expession, based on
Islamic religion. In spells at sea there is also local wisdom in the form of appreciation of
the value of tradition, maintaining the balance of nature, surrender to God, and others.
ii
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Penulis bersyukur kehadirat Allah SWT, atas segala taufik dan hidayah-Nya
yang telah memberikan kekuatan, kesehatan dan kesabaran sehingga tesis ini dapat
diselesaikan. Semoga Allah SWT. Terus melimpahkan karunia-Nya kepada penulis dan
Utara, Medan. Tesis ini berbasis pada penelitian lapangan di lokasi penelitian Aras
Tesis ini masih belum sempurna. Oleh sebab itu, diharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun dari pada pembaca. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita
semua.
IRWAN
NIM. 097009038
iii
Universitas Sumatera Utara
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis pertama sekali mengucapkan puji syukur atas rahmat dan hidayah-Nya
karena tesis ini dapat diselesaikan semasa studi dan pengumpulan data sampai
penyusunan tesis ini banyak dapat memperoleh dukungan dan bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
DTM&H.M.Sc. (CTM), Sp.A.(k) yang banyak memberi bantuan baik dari segi
Erman Munir, M.Sc, yang telah memberi pengarahan dan saran-saran yang sangat
berguna.
3. Ketua Program Studi Linguistik, Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., .Ph.D., yang
4. Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Bapak Dr. Syahron
Lubis, M.A. yang telah memberi izin kepada penulis melanjutkan studi ke jenjang
telah banyak membantu dan penuh perhatian memberi semangat dan dorongan
6. Demikian pula kepada Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. serta Prof. Hamzon
iv
Universitas Sumatera Utara
7. Seluruh staf administrasi yang sangat sabar dan tekun melayani keperluan
perkuliahan.
8. Istri tercinta Febriana Hasibuan yang setia dan anak-anak yang tersayang,
Zikrillah Nasution.
Pascasarjana USU Angkatan Tahun 2010, terutama Syaiful Hidayat yang telah
10. Ketua Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera
Utara, beserta staf pengajar yang selalu memberi dorongan dan saran-saran yang
bermanfaat.
Penulis berdoa dan bermohon kehadirat Allah SWT untuk semua pihak yang
telah memberi dukungan moral, agar memperoleh limpahan rahmat dan pahala. Amin
IRWAN
NIM. 097009038
v
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
NIM : 097009038
Agama : Islam
Medan
HP : 085360646761
vi
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
halaman
ABSTRAK .................................................................................................. i
ABSTRACT ................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ................................................................................ iii
UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... ix
DAFTAR BAGAN ……………………………………………………...... x
DAFTAR PETA …………………………………………………………. xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xii
DAFTAR FIGURA ................................................................................. xii
vii
Universitas Sumatera Utara
BAB IV: MANTRA DAN NELAYAN DALAM KONTEKS
BUDAYA MELAYU ARAS KABU ...................................... 62
4.1 Masyarakat Aras Kabu di Kabupaten Deli Serdang ............. 59
4.2 Kesultanan Serdang ........................................................... 67
4.3 Desa Aras Kabu .................................................................... 71
4.3.1 Adat Melayu Aras Kabu .............................................. 73
4.3.2 Sistem Kekerabatan Melayu Aras Kabu ....................... 79
4.4 Kosmologi Melayu Aras Kabu .............................................. 83
4.5 Jenis-jenis Mantra Melayu Aras Kabu .................................. 86
4.6 Nelayan di Aras Kabu ........................................................... 95
4.6.1 Alat-alat Menangkap Ikan di Laut .............................. 96
viii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
ix
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR BAGAN
x
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PETA
xi
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
xii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR FIGURA
xii
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAIIULUAN
dengan takdir dan kemampuannya. Ada yang bekerja sebagai pegawai, pengusaha,
pedagang, buruh, tani, nelayan, dan lain-lainnya. Dalam konteks Indonesia, sebahagian
besar rakyatnya adalah masyarakat agraris, artinya tergantung dari sektor industri
pertanian. Sektor ini menghasilkan tanaman pangan pokok seperti beras, dan juga
sayur-sayuran, kedelai, jagung, sagu, ubi, dan lain-lainnya. Di sisi lain, sebahagian
masyarakat kita mengandalkan sektor ekonominya dari hasil-hasil laut. Mereka ini
lazim kita sebut dengan nelayan. Biasanya masyarakat nelayan ini bermukim di
kawasan pesisir pantai lautan. Demikian juga secara umum masyarakat Melayu
sebahagiannya adalah nelayan yang mengandalkan perekonomian dari hasil laut ini.
Masyarakat nelayan di Desa Aras Kabu ini memiliki berbagai kearifan lokal
dalam konteks bekerja mencari ikan di laut. Mereka memiliki sistem kosmologi
tersendiri dalam memandang laut, daratan, alam semesta, dan manusia. Mereka tidak
semena-mena dalam mengeksploitasi alam. Ini tercermin dalam konsep adat: “memakai
yang memadai, mengambil yang sepadan, ingat keturunan, jangan habisi alam”
(wawancara dengan Tok Sokbi, 21 Oktober 2012) Salah satu yang menarik perhatian
penulis adalah digunakan dan difungsikannya mantra dalam rangka mencari ikan di
Mantra adalah sesuatu yang lahir dari masyarakat sebagai perwujudan dari
keyakinan dan kepercayaan. Dalam masyarakat tradisional. mantra bersatu dan menyatu
dalam kehidupan sehari-hari. Seorang pawang atau dukun yang ingin menghilangkan
disertai ritus atau upacara secara khas. Berbagai kegiatan yang dilakukan terutama yang
berhubungan dengan adat biasanya disertai dengan mantra. Hal tersebut tidak
bahwa orang yang sakit dapat disembuhkan dengan pembacaan suatu mantra tertentu.
Mereka sangat meyakini bahwa pembacaan mantra merupakan wujud dari sebuah usaha
untuk mencapai keselamatan dan kesuksesan. Untuk itu, keberadaan mantra menjadi
Mantra dan masyarakat mempunyai hubungan yang erat. Artinya mantra ada
mantra dan aktivitas ritualnya, merupakan wujud dari usaha untuk mencapai
kebutuhan. Sebagai salah satu bentuk genre puisi lama, mantra timbul dari suatu hasil
adanya hantu, jin, dan setan. Dalam pandangan mereka ada yang jahat dan selalu
manusia seperti berburu, bertani, menangkap ikan, dan sebagainya. Hal tersebut hanya
dapat terjadi apabila manusia menguasai mantra tertentu. Artinya pembacaan suatu
mantra tertentu dapat menimbulkan pengaruh magis (lihat Hooykaas, 1952: 20).
Menyinggung soal mantra, tentu tidak akan lepas dari persoalan tradisi lisan.
Mantra sebagai jenis sastra lisan yang diyakini memiliki pengaruh magis pastilah
Kenyataan itu sudah menjadi tradisi dalam suatu kelompok masyarakat sehingga dapat
dikatakan bahwa mantra adalah bahagian dari tradisi lisan. Badudu (1984:5)
Setiap kelompok masyarakat tentu memiliki tradisi dan sastra lisan. Demikian
pula dengan kelompok masyarakat suku Melayu di Aras Kabu, Kabupaten Deli
Serdang. Pada umumnya suku Melayu Aras Kabu, Kabupaten Deli Serdang, menetap di
daerah pesisir laut karena terkait dengan mata pencaharian mereka sebagai nelayan.
Dalam realitas sosial, bahwa pola hidup masyarakat suku Melayu cenderung
memisahkan diri dari kehidupan kelompok masyarakat yang tinggal di darat. Pola hidup
seperti itu turut pula mempengaruhi perkembangan sastra-sastra lisan di daerah tersebut,
Kenyataan hidup seperti itu menimbulkan kesan bahwa masyarakat suku Melayu
cenderung menutup diri terhadap masyarakat yang berada di luarnya. Hal itu dapat
memberikan gambaran bahwa dalam lingkaran suku suku Melayu Aras Kabu,
Kabupaten Deli Serdang, ada hal menarik yang patut untuk mendapatkan perhatian
khusus. Dalam hal ini adalah yang berkaitan dengan sastra lisan yaitu mantra.
melaut, dan lain sebagainya. Mantra jenis apa pun diyakini memiliki fungsi tersendiri
sesuai dengan keyakinan pemakainya. Mantra bercocok tanam misalnya, mantra ini
digunakan dalam kaitannya dengan kegiatan bercocok tanam, dalam kaitan sebagai
masyarakat petani. Demikian pula halnya dengan mantra melaut. Mantra ini digunakan
khusus ketika sedang melakukan aktivitas yang berhubungan dengan melaut, yaitu
Dalam hubungannya dengan masyarakat suku Melayu Aras Kabu, Yos Rizal
(2000:3) memberi pengertian mantra melaut yaitu mantra yang digunakan oleh
masyarakat suku Melayu Aras Kabu pada saat akan turun melaut atau pada saat akan
melaut, hingga selesai melaut. Mantra melaut dan masyarakat suku suku Melayu Aras
Kabu adalah dua hal yang memiliki hubungan yang erat. Dalam komunitas suku
Melayu Aras Kabu, tumbuh suatu keyakinan terhadap adanya suatu mantra yang
memberi peranan penting dalam kehidupan mereka. Keyakinan tersebut berkaitan erat
melakukan kegiatannya dengan sangat hati-hati dan penuh pertimbangan. Mulai dari
saat akan ke laut sampai kembali lagi ke darat. Hal tersebut penting dilakukan
mengingat laut adalah medan yang sarat dengan bahaya yang sewaktu-waktu dapat
mengancam keselamatan. Dibandingkan dengan darat, laut lebih berbahaya dan penuh
tantangan. Cuaca di laut yang sewaktu-waktu dapat berubah adalah momok yang sering
Suku Melayu Aras Kabu meskipun cukup berpengalaman di laut, mereka tetap
melakukan persiapan yang penting untuk setiap aktivitasnya. Sebelum melaut, mereka
kembali dengan selamat. Bekal yang diperlukan berupa dalam wujud nyata dan tidak
nyata.
keadaan laut, cuaca, perahu yang bagus, cara melaut yang baik, dan sebagainya yang
ditunjang dengan pengalaman melaut yang terlatih. Bekat dalam wujud tidak nyata
adalah bekal pengetahuan yang berkaitan dengan unsur magis, yaitu mantra. Mantra
dalam hal ini merupakan suatu bentuk komunikasi satu arah kepada Sang Penguasa
(Tuhan Yang Maha Kuasa) untuk memperoleh keselamatan dan kebaikan. Membaca
mantra adalah upaya untuk memohon perlindungan kepada Tuhan baik secara langsung
Dari uraian tersebut di atas, terlihat bahwa mantra melaut memiliki peranan
yang cukup penting dalam kehidupan masyarakat suku Melayu Aras Kabu sebagai
masyarakat pelaut. Oleh karena itu mantra melaut menarik untuk dipahami lebih jelas
Mantra melaut yang diperoleh pada penelitian sebelumnya, disusun atas larik-
larik yang hanya terdiri dari satu bait. Jumlah larik yang terdapat pada mantra melaut
beragam mulai dari mantra yang hanya terdiri dari tiga larik sampai pada mantra yang
terdiri dari sepuluh larik. Setiap mantra melaut dimulai dengan kata
Bismillahirahrnanirrahim
Raja Anggun
Raja Turun
Raja Menurun
Aaaa ...
sesamanya bahkan dengan makhluk di luar dirinya sebagai manusia. Untuk itu, mantra
melaut sebagai salah satu jenis puisi lama, menarik untuk dikaji dari aspek semiotika.
Untuk itu, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian lanjutan terhadap mantra
melaut masyarakat suku Melayu Aras Kabu dengan memfokuskan pada kajian
semiotika. Melakukan analisis semiotika terhadap mantra melaut akan dapat membantu
untuk menangkap makna yang terkadung dalarn mantra tersebut. Hal ini sejalan dengan
pemikiran Zoest (1991) bahwa proses penafsiran dapat terjadi karena tanda yang
Menurut Barker (2006:l2), yang sangat penting dalam proses pemaknaan adalah
bagaimana makna diproduksi dalam interaksi antara teks dan pembacanya sehingga
momen konsumsi juga merupakan momen produksi yang penuh makna. Hal ini berarti
bahwa suatu pemaknaan akan menjdi lebih utuh apabila seorang pembaca mampu
memberi makna karya sastra. Khusus pemaknaan terhadap puisi, proses pemaknaan itu
unsurnya menurut kemampuan bahasa yang berdasarkan fungsi bahasa sebagai alat
komunikasi tentang dunia luar (mimetic function). Akan tetapi, pembaca kemudian
tanda dalam sebuah puisi memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan
utuh terhadap sebuatr puisi, pembaca hartrs bisa menentukan matriks dan model yang
terdapat dalam karya itu. Selain itu, harus pula dilihat dalam hubungannya dengan teks
pemaknaan puisi secara semiotika dengan tuntas. Berdasarkan hal itu, penulis merasa
tepat untuk menerapkannya. pada pemaknaan terhadap mantra melaut suku Melayu
Aras Kabu sebagai salah satu jenis puisi, yang akan dilakukan pada penelitian ini.
sangat memberikan ruang rmtuk dapat mengungkap makna yang terdapat dalam mantra
Melayu Aras Kabu tersebut tidak hanya demi mengembangkan sastra daerah itu semata-
mata, tetapi juga untuk menjawab sejumlah masalah yang ada. Masalah pokok yang
2. Bagaimanakah matriks dan model yang terdapat dalam mantra melaut suku
2. Mendeskripsikan matriks dan model yang terdapat dalam mantra melaut suku
mantra melaut suku Melayu Aras Kabu berdasarkan pembacaan heuristik dan
hermeneutik, matriks, dan model yang terdapat dalam mantra melaut suku Melayu Aras
Kabu, dan hubungan intertekstual mantra melaut suku Melayu Aras Kabu dengan teks
lain.
Manfaat lain dari hasil penelitian ini adalah pembaca diharapkan mendapat
pemahaman bahwa karya sastra lisan khususnya mantra, menarik untuk diteliti secara
ilmiah dari aspek semiotika. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat
Sesuai dengan judul usulan penelitian ini yakni Mantra Melaut suku Melayu
Aras Kabu: Interpreiasi Semiotika, ruang lingkup penelitian ini dibatasi hanya pada
mantra melaut yang digunakan oleh masyarakat suku Melayu Aras Kabu. Mantra
melaut yang akan dikaji adalah mantra ketika nelayan hendak pergi melaut, atau mantra
sebagai persiapan bekerja di tengah lautan nantinya. Mantra ini ini biasanya dibacakan
ketika berada di kuala atau di tangkahan di mana sampan untuk menangkap ikan
ditambatkan.
Karya sasta hadir dalam dua bentuk, yakni sasta lisan dan sastra tulis. Teeuw
Sastra lisan merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan
lisan sebagai milik bersama. Menurut Rusyana dan Raksanegara (1978:56), sastra lisan
itu akan lebih mudah digali karena ada unsurnya yang mudah dikenal oleh masyarakat.
Lebih jauh, bahwa sastra lisan merupakan pencerminan situasi, kondisi, dan tata krama
masyarakat pendukungnya.
Kabu. Mantra tersebut sarat dengan tanda-tanda yang memuat banyak makna Untuk
makna tersebut, terlebih dahulu harus dapat dikenali tanda-tanda yang membangunnya.
Dengan demikian, teori semiotika dianggap paling tepat digunakan untuk dapat
menguraikan makna tanda-tanda yang terdapat dalam mantra melaut suku Melayu Aras
Kabu.
berpandangan bahwa fenomena sosial dan budaya pada dasarnya merupakan tanda-
Dua tokoh penting perintis ilmu semiotika modern, yaitu Charles Sanders Peirce
Dalam penelitian ini, konsep semiotika yang digunakan adalah konsep yang
didasarkan pada pemikiran Saussure yang dikembangkan oleh Riffaterre. Hal ini
Riffaterre, penulis anggap tepat untuk diterapkan dalam penelitian ini. Konsep dan teori
yang digunakan Riffaterre lebih mengkhusus pada pemaknaan puisi secara semiotika,
sehingga lebih memberikan ruang untuk interpretasi makna yang akan dilakukan dalam
penelitian ini. Untuk puisi, secara semiotika Riffaterre dalam bukunya Semiotics of
Poetry (1978) mengemukakan empat hal pokok sebagai langkah pemroduksian makna.
dengan pemakaian bahasa pada umumnya. Puisi memiliki bahasa yang dapat
metonimi, serta bahasa kiasan yang lain. Penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal,
Pembacaan heuristik adalah pembacaan pada taraf mimesis atau pembacaan yang
didasarkan konvensi bahasa. Karena bahasa memiliki arti referensial, pembaca harus
linguistik yang dimiliki oleh pembaca itu berfungsi sebagai sarana untuk memahami
ini juga disebut dengan pembacaan semiotika pada tataran pertama. Dalam pembacaan
pada tataran ini, masih banyak arti yang beraneka ragam, makna yang tidak utuh, dan
ketakgramatikalan. Untuk itu, pembacaan pada tataran ini masih perlu dilanjutkan ke
pembacaan tahap kedua. Pembacaan tataran kedua yang dimaksud adalah pembacaan
hermeneutik. Pada pembacaan ini, akan terlihat hal-hal yang semula tidak gramatikal
(3) Hal ketiga adalah penentuan matriks dan model. Dalam hal ini, matriks dapat
dimengerti sebagai konsep abstrak yang tidak pernah teraktualisasi. Konsep ini dapat
dalam satu kata atau frase. Meskipun demikian, kata atau frase yang dimaksud tidak
aktualisasinya. Aktualisasi pertama dari matriks adalah model. Model ini dapat berupa
kata atau kalimat tertentu. Berdasarkan hubungan ini, dapat dikatakan bahwa matriks
(4) Hal keempat adalah prinsip intertekstual. Prinsip intertekstual adalah prinsip
hubungan antar teks sajak. Sebenarnya hal itu berangkat dari asumsi bahwa karya sasta
termasuk puisi, tidak lahir dari kekosongan budaya. Dalam keadaan seperti ini, sebuah
tersebut dapat berupa penyimpangao atau penerusan tradisi. Dalam hal ini, mau tidak
dalam bentuk atau wujud lain yang pada hakikatnya sama (Pradopo, 1994:25). Dalam
hipogram adalah teks yang menjadi latar atau dasar penciptaan teks lain. Dalam
praktiknya, hipogram dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hipogram potensial dan
hipogram aktual. Hipograrn potensial yang dapat ditelusuri dalam bahasa bersifat
hipotesis, seperti yang terdapat dalam matriks, sedangkan hipogram aktual bersifat
Keempat hal pokok tersebut di atas yang dikemukakan oleh Riffaterre sebagai
langkah pemroduksian makna, tiga di antaranya akan digunakan sebagai acuan untuk
mengungkap makna yang terkandung dalam mantra melaut suku Melayu Aras Kabu.
Lewat tanda-tanda yang terdapat dalam mantra itu, maka proses pemaknaan akan
dilakukan.
Dengan bertotak pada kerangka teori di atas, dapat dikatakan bahwa untuk dapat
memahami hakikat makna dari mantra melaut suku Melayu di Aras Kabu, perlu
dan menerapkan dua sisi pandang. Sisi pertama adalah cara pandang masyarakat
Melayu Aras Kabu sebagai pengamal dan penghayat mantra melaut ini dalam budaya
terhadap mantra melaut yang diamalkan oleh para nelayan di Aras Kabu Deli Serdang.
Dua titik pandang ini menghasilkan suatu sintesa keilmuan yang tentu berdasar kepada
empirisme, logika, pembuktian, penelaahan, tafsiran, dan hasil yang diperoleh dari
1
Dalam dunia ilmu pengetahuan, pendekatan seperti ini lazim disebut dengan pendekatan emik.
Artinya adalah bahwa penelitian yang dilakukan lebih menumpukan perhatian kepada pendapat-pendapat
informan kunci dalam rangka memahami makna-makna yang terkandung di dalam kebudayaan yang
diteliti dalam konteks kerja ilmiah. Namun demikian, seorang peneliti tidaklah harus sepenuhnya
berdasarkan kepada penjelasan yang diperoleh dari para informan kunci. Seorang peneliti diharapkan
lebih jauh menafsirkan sumber data berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang diperoleh dari kinerjanya
sebagai ilmuwan. Tentu saja penafsiran ini bisa berbeda-beda antara seorang peneliti dengan peneliti
lainnya, yang pasti akan dilatarbelakangi oleh pengalaman keimlmuannya. Pendekatan kedua ini lazim
disebut sebagai pendekatan etik.
Mantra melaut dalam kebudayaan etnik Melayu, khususnya di Desa Aras Kabu,
Kabupaten Deli Serdang adalah bahagian dari tradisi masyarakatnya. Mantra melaut ini
memiliki kaitan erat dengan upacara atau ritual, tradisi lisan (termasuk sastra lisan), dan
kearifan lokal. Di dalam mantra melaut ini terdapat makna-makna bahasa yang bisa
hidup. Untuk kepentingan tersebut, secara saintifik perlu dijelaskan teori semiotika.
Pada Bab II ini akan diuraikan konsep-konsep tersebut di atas, serta tinjauan teori
semiotika, dan peneltiian terdahulu yang berkaitan dengan topik penelitian ini yang
Mantra adalah salah wujud kebudayaan yang umum dijumpai di Nusantara ini.
Mantra selalu menggunakan bahasa verbal dan juga pilihan kata yang khas, yang
maknanya baru dapat diketahui melalui pembacaan kultural dan saintifik secara
bertujuan untuk membuat orang lain menjadi gila. Dalam kebudayaan Melayu terdapat
mantra ulit mayang yang bertujuan untuk mengobati orang yang sakit karena gangguan
makhluk halus (jembalang). Dalam masyarakat Jawa terdapat mantra pengasih yang
bertujuan agar seseorang dikasihi atau dicintai oleh orang lain. Begitu juga dalam
setempat. Bagaimanapun, mantra ini berkait erat dengan sistem religi dan kosmologi
Menurut Haron Daud (2001:21) mantra ialah semua jenis pengucapan dalam
bentuk puisi atau bahasa berirama, yang mengandung unsur magis dan diamalkan oleh
orang tertentu, terutama bomoh, 2 dengan tujuan kebaikan atau sebaliknya. Mantra itu
mempunyai simbol tersendiri yang perlu diketahui untuk memahami mantra sebagai
sastra lisan atau lebih tepat lagi tradisi lisan. Lebih-lebih lagi menurut mereka, sebagai
tradisi lisan, mantra sangat erat hubungannya dengan kepercayaan dan pandangan hidup
Mantra dipercayai berasal dari arwah leluhur. 3 Kata-kata leluhur juga dianggap
berasal dari Tuhan (Yang Maha Kuasa). Pesan Tuhan yang diteruskan kepada leluhur
melalui media komunikasi yang berbeda. Pada saat nenek moyang mengekspresikan
artikulasi pesan Tuhan dalam formula lisan, maka pesan itu menjadi tuturan. Mantra
kemudian menjadi sarana komunikasi yang dapat dipakai untuk berhubungan dengan
makhluk supernatural, dan juga dapat menghubungkannya dengan sumber kekuatan dari
2
Di dalam kebudayaan masyarakat di Nusantara ini, istilah bomoh dalam bahasa Melayu ini,
memiliki kaitan dengan peristilahan yang digunakan oleh berbagai etnik yang merujuk kepada pengertian
yang sama atau hampir sama. Dalam bahasa batak Toba dikenal dengan datu atau datu bolon yang artinya
adalah dukun atau dukun besar. Dalam kebudayaan masyarakat Mandailing dikenal dengan guru sibaso.
Kemudian dalam masyarakat Karo dikenal dengan terminologi guru. Dalam masyarakat Sunda dan Jawa
dikenal dengan istilah dukun atau mbah dukun. Selanjutnya pada masyarakat Nias dikenal dengan foere.
Prinsipnya bomoh, dukun, atau istilah-istilah rersebut merujuk kepada seseorang yang menguasai mantra
dan dapat memanfaatkannya dalam berbagai aktivitas sosial dan budaya, yang melibatkan sistem religi
dan kosmologi, yang berkaitan dan berhubungan dengan makhluk gaib. Pada masa sekarang ini, istilah
bomoh atau dukun sering pula digeneralisasi dengan istilah paranormal sebagai unsur serapan yang
berasal dari bahasa Inggris.
3
Dalam kajian-kajian terbentang sistem religi, kepercayaan kepada roh leluhur dan juga
kemudian menyembah dan menghormatinya adalah bagian penting dalam tradisi animisme. Roh leluhur
yang telah meninggal ini dipercayai akan dapat menolong dan membantu kehidupan keturunannya di atas
dunia ini, dari gangguan-gangguan supernatural, bahkan roh leluhur akan dapat membantu rezeki para
leluhurnya. Di samping itu, animsime ini selalu dikaitkan juga dengan dinamisme, yaitu kepercayaan
kepada makhluk-makhluk gaib selain manusia, flora, dan fauna di bumi ini. Makhluk gaib tersebut
memiliki kekuasaan yang besar, merea hidup di pohon-pohon besar, batu-batu, gua, dan berbagai tempat
lainnya. Di sisi lain ada juga kepercayaan yang disebut totemisme, yaitu makhluk gaib yang berwujud
hewan-hewan tertentu seperti harimau, singa, buaya, dan lain-lain. Oleh karena itu makhluk-makhluk
totem ini perlu dihormati.
membangkitkan kekuatan spiritual, sama seperti yang dilakukan oleh nenek moyang
Menurut Goffman (1979), mantra meliputi tiga tingkatan penutur: (a) Tuhan
sebagai penutur tertinggi mantra, (b) leluhur sebagai penulis (author), dan (c) pelaku
karena kata-kata itu sendiri mengandung kekuatan magis. Bahkan dengan mengulang-
ulang kata-kata itu dalam konteks masa kini, akan membawa kekuatan kreatif yang
sama seperti ketika digunakan oleh para leluhur. Melalui kata-kata yang sama dengan
yang diucapkan oleh para leluhur, orang dapat membawa kekuatan magis dalam konteks
masa kini.
Mantra melaut dalam budaya suku Melayu di Aras Kabu Deli Serdang
dipraktikkan sebagai salah satu ritual (upacara). Untuk itu penting diuraikan pengertian
ritual. Menurut pendapat Muhammad (2011:1) kata ritual secara etimologis berarti
Secara etimologis ritual merupakan ikatan kepercayaan antar orang yang diwujudkan
dalam bentuk nilai, bahkan dalam bentuk tatanan sosial. Ritual merupakan ikatan yang
4
Dalam agama-agama baik yang penganutnya berjumlah relatif besar atau kecil, ritual menjadi
tumpuan utama dalam tata ibadah mereka. Dalam agama Yahudi terdapat ritual tangisan dan ratapan di
tembok Nabi Sulaiman. Di dalam agama Kristen terdapat ritual Ekaristi, misa Natal, Ritual Jumat Agung,
pengakuan dosa, dan lain-lainnya. Di dalam agama Islam terdapat ritual haji, yaitu melakukan ibadah haji
di dalam bulan Zulhijjah setiap tahunnya di Mekah dan Medinah, juga shalat Idul Fitri, Idul Adha, Jumat,
Istisqa, puasa, dan lain-lainnya. Di dalam agama Hindu terdapat ritual pembacaan Veda, taipusam, dan
lainnya. Dalam agama Budha dikenal ritual Waisyak, memperingati kelahiran Sidharta Gautama. Dalam
religi Parmalim di Toba Sumatera Utara, terdapat ritual sipaha sada dan sipaha lima. Kemudian dalam
religi Pemena di Taneh karo Simalem terdapat ritual erpangir kulau. Demikian pula dalam religi-religi
lain seperti Karahyangan di Kalimantan, Hindu Dharma Bali, Kejawen, dan lainnya.
mendorong masyarakat untuk melakukan dan mentaati nilai dan tatanan sosial yang
sudah disepakati bersama. Dengan bahasa lain, ritual memberikan motivasi dan nilai-
dua bagian, yaitu: pertama, ritual krisis hidup, artinya ritual yang berhubungan dengan
krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan mengalami krisis hidup, ketika dia
masuk masa peralihan. Pada masa ini, manusia akan masuk dalam lingkup krisis karena
terjadi perubahan tahap hidup. Kedua, ritual gangguan, yaitu ritual sebagai negosiasi
dengan roh agar tidak mengganggu hidup manusia. Turner juga menjelaskan bahwa
ritual memiliki fungsi penting bagi keberlangsungan hidup. Fungsi ritual tersebut antara
lain: (1) ritual akan mampu mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan
memperkuat kunci dan nilai utama kebudayaan melampaui dan di atas individu atau
kelompok. Ritual menjadi alat pemersatu atau integritas; (2) ritual juga menjadi sarana
ritual merupakan suatu kegiatan yang unik, bersifat khas yang sarat akan makna,
memiliki suatu kekuatan tertentu, dan juga mencerminkan identitas diri sebagai
fenomena budaya. Boleh dikatakan juga, ritual sering bertolak belakang atau berbeda
dalam praktik dan penerapan keyakinan serta agama. Namun demikian, antara ritual dan
agama, keduanya sering bertemu dan hal ini sangat sering kita jumpai dalam praktik di
dilaksanakannya ritual, tempat ritual, pemimpin ritual, pelaku ritual, benda-benda dan
ada yang sifatnya kolosal, terbuka, dan umum. namun tidak jarang ritual ada juga yang
sifatnya tertutup, hanya untuk kalangan tertentu saja, dan rahasia. namun demikian pola
umum dari ritual ini adalah hamper sama dalam setiap kebudayaan manusia di dunia,
Mantra Melaut etnik Melayu di Aras Kabu, dalam konteks pewarisannta adalah
melalui tradisi yang disampaikan secara lisan, yaitu dari sumber kepada orang lain.
Penyampaian mantra ini dilakukan dalam situasi tidak formal, tetapi informal, alamiah,
dan apa adanya. Menurut Pudentia (2008) tradisi lisan, dalam berbagai bentuknya
sangat kompleks dan mengandung, tidak hanya berupa cerita, mitos, dan dongeng, 5
tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas
pemiliknya seperti kearifan lokal, sistem nilai, sistem kepercayaan dan religi, serta
Menurut Dick van der Meij (2011), tradisi lisan mencakup semua kegiatan
5
Mitos (myth) adala bahagian dari folklor (cerita rakyat). Dari bentuk atau genre
folklor, yang paling banyak diteliti oleh para ahli folklor adalah cerita prosa rakyat. Menurut
William R. Bascom, cerita prosa rakyat dapt dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu: (1)
mite (myth), (2) legenda (legend), dan (3) dongeng (folktale). Mitos adalah cerita prosa rakyat
yag dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh pemilik cerita. Mite ditokohi oleh
para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang
bukan seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Legenda adalah cerita prosa
rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar
terjadi, tetapi tidak dianggap suci—namun legenda ditokohi oleh manusia, meski kadangkala
memiliki sifat-sifat luar biasa, dan sering juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat
terjadinya adalah di dunia seperti yang kita kenal sekarang, dan waktu terjadinya belu begitu
lama. Kemudian yang dimaksud dengan dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak
dianggap benar-benar terjadi oleh pemilik ceritanya, tidak terikat oleh waktu dan ruang (lihat
Bascom, 1965:3-20). Parafrase pengertian tiga bentuk cerita rakyat ini, penulis kutip dari James
Danandjaja (1984:50-51).
suatu pembicaraan yang amat sukar dibatasi. Sebab tradisi dalam arti serangkaian
kebiasaan dan nilai-nilai, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya,
boleh dikatakan hampir meliputi semua segi kehidupan suatu masyarakat tertentu. Pada
segi lain kesulitan tampak bagaimana tradisi itu bergeser dan berubah mendapatkan
semacam erosi dalam faktor-faktor yang sangat kompleks dan sukar dibatasi batas
waktunya.
disampaikan dari mulut ke mulut secara turun temurun. Setidaknya ada enam ciri-ciri
dari tradisi lisan, yaitu sebagai berikut. (1) Lahir dari masyarakat yang polos, belum
melek huruf, dan bersifat tradisional. (2) Menggambarkan budaya milik kolektif
tertentu, yang tidak jelas siapa penciptanya. (3) Lebih menekankan aspek khayalan, ada
sindiran, jenaka, dan pesan mendidik. (4) Sering melukiskan tradisi kolektif tertentu. (5)
Tradisi lisan memiliki kaitan dengan masyarakat pemilik tradisi lisan tersebut.
Menurut Dick van der Meij (2011), pemilik tradisi lisan paling berpengetahuan tentang
apa yang diperlukan untuk melestarikan tradisi mereka. Para pemilik tradisi lisan juga
adalah orang yang paling mudah dapat menggairahkan orang, apalagi generasi muda
Mantra melaut sukuu Melayu aas Kabu di Deli Serdag adalah termasuk ke dalam
tradisi lisan. Mantra ini disampaikan melalui aspek-aspek kelisanan. Mantra ini adalah
bahagian dari tradisi yang diwarisi secara turun-temurun. Mantra melaut tersebut
kosmolog Melayu. Selain itu, di dalam mantra melaut ini terkandung berbagai kearifan
lokal suku Melayu Aras jabu, dan juga Melayu Serdang, Sunmatera Utara, dan Dunia
Melayu.
Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha
manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap
terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di
seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai
hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah
Istilah lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan
sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian
rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan
manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain
tersebut disebut setting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat
kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-
nilai tersebut yang akan menjadi alasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah
Lebih jauh lagi, kearifan lokal menurut Ridwan (2008), merupakan pengetahuan
yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan
yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal
sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk
hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak
sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu
sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam
sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno, yang melekat dalam perilaku sehari-
yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam
nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi
pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak
terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari (Ridwan
Menurut Sibarani (2012) ada tiga hal yang saling terkait jika membicarakan
tradisi lisan, yaitu mengingat masa lalu, memahami masa kini, dan mempersiapkan
masa depan. Oleh karena itu, para penggiat kebudayaan diharapkan dapat menggali,
menjelaskan, dan menginterpretasi secara ilmiah warisan budaya leluhur (masa lalu)
yang dapat dimanfaatkan untuk menjawab permasalahan masa kini serta untuk
tersebut sangat tergantung pada metode penelitian tradisi lisan sebagai sumber kearifan
lokal tersebut. Dalam makalah ini, Sibarani membahas jenis-jenis kearifan lokal yang
lama menjadi bahan kajian dalam dunia filsafat. Kaum sofis sejak abad kelima Seb. M.
Telah menamai dirinya sebagai sophist yang berarti orang yang bijaksana atau kaum
yang arif. Awal kajian filsafat juga dilandasi oleh kajian mengenai kearifan atau
kebijaksanaan. Saat itu kajian tentang kebijaksanaan dirasakan sangat penting untuk
selanjutnya disebut dengan kebenaran pragmatis. Secara praktis, pengetahuan asli dan
sesungguhnya yang dapat dimanfaatkan untuk menata kehidupan manusia secara arif.
Upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal
merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas
daerah-daerah Nusantara (Sayuti, 2005). Dalam kaitan ini, kearifan lokal yang
terkandung dalam sistem seluruh budaya daerah atau etnik yang sudah lama hidup dan
berkembang adalah menjadi unsur budaya bangsa yang harus dipelihara dan diupayakan
penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan
budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri.
Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, dengan
pengamalan mantra melaut dalam kebudayaan suku Melayu Serdang di Aras Kabu. Di
antaranya adalah sebagaii berikut. (a) Terdapat kearifan lokal bahwa manusia adalah
(b) di dalamn mantra melaut suku Melayu Aras Kabu ini, terdapat sistem kosmologi,
bahwa manusia adalah bahagian dari alam, jadi jangan mengeksploitasi alam
makhluk-makhluk lain, (c) di dalam aktivitas mantra melaut suku Melayu Aras Kabu ini
terdapat pula kearifan lokal tentang bagaimana cara menangkap ikan di laut dan
bekerja secara berkelompok dan membentuk organisasi nelayan secara tradisional, yang
merupakan ekspresi bahwa manusia termasuk nelayan adalah makhluk sosial, (e) di
dalam mantra melaut ini terekspresi adat Melayu yang bersumber dari konsep adat
bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah, artinya orang Melayu adalah
orang beradat yang mendasarkan kegiatannya menurut ajaran agama Islam yang
Kearifan lokal dalam budaya suku Melayu Serdang di Aras Kabu ini bukan
hanya terdapat di dalam mantra melaut saja, tetapi juga dalam semua isi kebudayaan
organisasi sosial, kesenian, teknologi, dan sistem religi. Kearifan lokal ini bisa juga
Juga dapat dilihat melalui kegiatan sosial sehari-hari seperti pola-pola berinteraksi,
rumah, sampan kolek, perahu, ramuan rinjisan, tepung tawar, sirih genggam, tumbuk
lada, keris, dan lain-lainnya. Kesemua ini dapat dilihat secara menyeluruh sebagai
bahagian dari kearifan lokal etnik Melayu, termasuk melayu Serdang di Aras Kabu.
2.5 Semiotika
Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti tanda. Semiotika
adalah cabang ihnu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan tanda seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi
sebagai ilmu yang mengkaji tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Secara implisit
dalam definisi Saussure ada prinsip bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada
aturan main (rule) atau kode sosial (social code) yang berlaku di dalam masyarakat
Pada awalnya semiotika merupakan ilmu yang mempelajari setiap sistem tanda
yang digunakan dalam masyarakat manusia. Dengan kata lain, semiotika adalah ilmu
yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang berkaitan dengan makna tanda-tanda
Tokoh yang dianggap pendiri semiotika adalah dua orang yang hidup sezaman,
yang bekerja secara terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama (tidak saling
Charles Sanders Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu itu dengan nama
semiologi, sedangkan Peirce semiotika. Kedua istilah ini mengandung pengertian yang
persis sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya
sebuah tanda terlebih dahulu harus dipahami hakikat dari sebuah tanda (sign). Dalam
semiotika, tanda bisa berupa kata-kata, kalimat, atau gambar yang bisa menghasilkan
makna.
“tanda" sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari dua bidang seperti halnya
selembar kertas, yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan bentuk atau
ekspresi dan bidang petanda (signified) untuk menjelaskan konsep atau makna. Saussure
meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan pemilahan antara penanda
(signifier) dan petanda (signfied). Penanda wujud materi tanda tersebut. Petanda adalah
konsep yang diwakili oleh penanda yaitu artinya. Contohnya kata “ayah” merupakan
tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti “orang tua laki-laki.”
yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan
Sementara itu, seorang tokoh semiotika lain, Charles Sanders Peirce (1839-
petanda (signified) atau yang merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan antara
penanda dan petanda, tanda terdiri atas tiga jenis. Jenis-jenis tanda tersebut adalah ikon,
indeks, dan simbol (Zoest, 1993:23-24). Ikon adalah tanda yang memperlihatkan adanya
hubungan yang bersifat alami antara penanda dengan petandanya. Hubungan itu adalah
hubungan persamaan. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-
akibat) antara penanda dengan petandanya. Simbol adalah tanda yang tidak memiliki
hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, melainkan hubungan yang ada
fundamental.
adanya tiga hal, yaitu ground, representamen, dan interpretan. Peirce melihat tanda
dengan mata rantai tanda yang tumbuh. Oleh karena itu, Peirce sengat lekat dengan
konsep pragmatisme. Pragmatisme sebagai teori makna menekankan hal-hal yang dapat
didasarkan dijabarkan dalam bentuk tripihak (triadic) yakni setiap gejala secara
fenomenologis mencakup tiga hal. Pertama, bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus
mengacu pada sesuafu yang lain (qualisigns, firstness, initselfness). Kedua, bagaimana
hubungan gejala tersebut dengan realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan
Aras kabu ini, penulis menggunakan teori dan metode semiotika yang ditawarkan
seorang ahli sastra yaitu Riffaterre. Menurutnya, sistem bahasa dan sastra merupakan
dua aspek penting dalam semiotika. Karya sastra merupakan sistem tanda yang
bahwa bahasa merupakan sistem semiotika tingkat pertama yang sudah mempunyai arti
(meaning). Dalarn karya sastra, arti bahasa ditingkatkan menjadi makna (significance)
memberikan makna tanda-tanda yang terdapat pada karya sastra. Tanda-tanda itu akan
Sesungguhnya, dalam pikiran pembacalah transfer semiotika dari tanda ke tanda terjadi.
dasar dalaur pemaknaan puisi secara semiotika. Keempat prinsip dasar itu adalah
sebagai berikut.
Dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1) bahwa puisi itu dari dahulu hingga
sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan konsep estetik yang selalu berubah
dari periode ke periode. Ia menganggap bawa puisi adalah sebagai salah satu wujud
aktivitas bahasa Puisi berbicara mengenai sesuatu hat dengan maksud yang lain.
Artinya, puisi berbicara secara tidak langsung sehingga bahasa yang digunakan pun
konvensi sastra pada umumnya Karya sastra itu merupakan ekspresi yang tidak
(1978:2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning),
atau apa yang disebut dengan mimesis. Landasan mimesis adalah hubungan langsung
antara kata dengan objek. Pada tataran ini, masih terdapat kekosongan makna tanda
yang perlu diisi dengan melihat bentuk ketidaklangsungan ekspresi untuk menghasilkan
Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra.
Metafora dan metonimi ini dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada
umumnya Jadi, tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Hal ini
disebabkan oleh metafora dan metonimi itu merupakan bahasa kiasan yang sangat
penting hingga dapat mengganti bahasa kiasan lainnya. Di samping itu, ada jenis bahasa
kiasan yang lain yaitu simile (perbandingan), personifikasi, sinekdoke, epos, dan
alegori. Metafora itu bahasa kiasan yang mengumpamakan atau mengganti sesuatu hal
dengan tidak mempergunakan kata pembanding bagai, seperti, bak, dan sebagainya.
Metonimi merupakan bahasa kiasan yang digunakan dengan memakai nama atau ciri
evaluatif atau secara emotif dari batrasa biasa ditujukan untuk membentuk kejelasan,
penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Riffatere (1978:2)
mengemukakan bahwa penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal, yaitu pertama oleh
(polyinterpretable), lebih-lebih bahasa puisi. Kegandaan arti itu dapat berupa kegandaan
arti sebuah kata, frase, ataupun kalimat. Kedua kontradiksi berarti mengandung
pertentangan dibebabkan oleh paradots dan atau ironi. Paradoks merupakan suatu
pernyataan yang berlawanan dengan dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat
Ketiga, nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti
sebab hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, puisi
nonsense itu memiliki makna. Makna itu timbul karena adanya konvensi sastra,
misalnya konvensi mantra. Nonsense berfungsi untuk menimbulkan kekuatan gaib atau
magis, untuk mempengaruhi dunia gaib. Nonsense banyak terdapat dalam puisi mantra
atau puisi yang bergaya mantra. Salah satu contohnya adalah mantra melaut suku
Melayu Aras Kabu yang fungsinya untuk mengatasi angin mati, seperti berikut.
Bismillah
Oiii.. sang penyejuk
Singgalah kau barang sekejap
Bila tak hendak
Maka aku tahu asalmu jadi
Berkat kata
Laillahaillah …
suasana aneh dan suasana gaib. Perumpamaan yang digunakan adalah nama-nama
khusus yang dapat membangkitkan efek magis. Penggunaan nama-nama seperti yang
terdapat dalam mantra di atas memiliki makna sebagai omng yang diyakini rulmpu
menrpakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak
mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna di dalam puisi. Jadi, penciptaan arti ini
merupakan organisasi teks di luar linguistik. Sebagai contoh adalah mantra melaut suku
Bismillahirahmanirahim
Raja Anggun
Raja Turun
Raja Merurun
Aaaa ...
Mantra di atas juga bisa berfirngsi untuk mengatasi badai laut. Pada akhir larik
hanya terdapadat fonem /A/. Secara linguistik larik terakhir ini tidak memiliki arti.
Namun, dalam kesatuan isi mantra "A" mengandung makna konotatif, yaitu sebuah
perintah. Perintah itu ditujukan pada satu wujud yang tidak terlihat. Dalam mantra di
Contoh lain adalah puisi “Tragedi Winka dan Sihka" karya Sutardji Calzoum
Bachri. Puisi ini lebih menekankan pada segi tipografi yang disusun secara zigg-zag.
Puisi ini hanya terdiri dari dua kata: kawin dan kasih. Kedua kata itu diputus-putus dan
dibalik secara metatesis, secara Iinguistik tidak ada artinya kecuali kawin dan kasih itu.
Dalam puisi, kata kasih dan kawin mengandung arti konotatif yaitu perkawinan itu
Tipografi zig-zag itu memberi sugesti bahwa perkawinan yang semula bermakna
angan-angan kebahagiaan hidup, setelah melalui jalan yang berliku-Iiku dan penuh
bahaya pada akhirnya menemui bencana. Perkawinan itu akhirnya berbuntut menjadi
Untuk dapat memberi makna secara semiotika, pertama kali dapat dilakukan
dengan heuristik dan hermeneutik atau retoaktif (Riffaterre, 1978:5-6). Konsep ini akan
diterapkan sebagai langkah awal dalam usaha untuk makna yang terkandung dalam
merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam
pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian
yang didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan
HaI ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang
bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa. Sedangkan Pradopo
struktur bahasanya atau secara semiotika adalah berdasarkan konvensi sistem semiotika
tingkat pertama.
bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh dan terpadu. Sementara
berdasarkan konvensi sistem semiotika tingkat kedua (makna konotasi). Pada tahap ini,
pembaca hanrs meninjau kembali dan membandingkan hal-hal yang telah dibacanya
pada tahap pembacaan heuristik. Dengan cara demikian, pembaca dapat memodifikasi
bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh karena itu, pembacaan
hermeneutik pun dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai
unsur kebahasaan. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu bagian
ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini
dilakukan pada interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matriks
(lihat Riffaterre, 1978:5). Proses pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre (dalam
Selden, 1993:126) dapat diringkas sebagai berikut. (1) Membaca untuk arti biasa. (2)
Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dan yang merintangi penafsiran
mimetik yang biasa. (3) Menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi yang tidak
biasa dalam teks. (4) Menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah
pemyataan tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks.
sebuah donat. Terdapat ruang kosong di tengah-tengah yang berfungsi untuk menunjang
dan menopang terciptanya daging donat di sekeliling ruang kosong itu. Dalam puisi,
ruang kosong ini merupakan pusat pemaknaan yang disebut dengan matriks (1978:13).
Matriks tidak hadir dalam sebuah teks, namun aktualisasi dari matriks itu dapat hadir
dalam sebuah teks yang disebut model. Matriks itulah yang artinya memberikan
kesatuan sebuah sajak (Selden, 1993:126). Hal ini senada dengan konsep yang
dikemukakan oleh Indrastuti (2007:4) bahwa matriks merupakan konsep abstrak yang
tidak pemah teraktualisasi. Konsep ini dapat dirangkum dalam satu kata atau frase.
Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain
dalam puisi. Eksistensi kata itu dikatakan bila tanda bersifat hipogamatik dan karenanya
bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi
pembatas derivasi itu. Dalam praktiknya, matriks yang dimaksud senantiasa terwujud
dalam bentuk-bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian itu ditentukan oleh model.
Dengan demikian, konsep semiotika Riffaterre yang akan digunakan dalam kajian ini
dapat membantu untuk menemukan makna yang utuh dan menyeluruh dalam mantra
Karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong dan tidak lepas dari sejarah sastra.
Artinya, sebelum karya sastra dicipta, sudah ada karya sastra yang mendahuluinya.
yang sudah ada. Di samping itu, ia juga benrsatra menentang atau menyimpangi
konvensi yang sudah ada. Karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi
dan revolusi, antara yang lama dengan yang baru (Teeuw, 1980:l2). Oleh karena itu,
untuk memberi makna karya sastra maka prinsip kesejarahan itu harus diperhatikan.
Mantra melaut suku Melayu Aras Kabu misalnya, mantra ini tidak terlepas dari
sastra lain. Ini merupakan prinsip intertukstualitas yang ditekankan oleh Riffaterre.
Prinsip intertekstual adalah prinsip hubungan antarteks. Sebuah teks tidak dapat
semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan. Adat-istiadat kebudayaan, film,
drama dan lain sebagainya secara pengertian umum adalah teks. Oleh karena itu, karya
sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptannya, baik secara umum
maupun khusus.
Sebuah karya sastra seringkali berdasar atau berlatar pada karya sastra yang lain,
baik karena menentang atau meneruskan karya sastra yang menjadi latar itu. Karya
sastra yang menjadi dasar atau latar pencipkan karya sastra yang kemudian oleh
Riffaterre (1978:1l) disebut dengan hipogram. Sebuah karya sastra akan dapat diberi
Julia Kristeva dalam Pradopo (2005: 132) mengemukakan bahwa tiap teks itu,
serta transformasi teks-teks lain. Secara khusus, teks yang menyerap dan
mendapatkan makna hakiki dari sebuah karya sastra digunakan metode intertekstual,
dengan hipogramnya Dengan demikian, sebuah karya sastra hanya dapat dibaca dalam
Untuk mengkaji aktivitas sosial yang dilakukan oleh nelayan Aras Kabu
terutama yang berkaitan dengan penggunaan mantra, maka penulis mengkaji fenomena
ini dengan menggunakan teori semiotika sosial, terutama yang ditawarkan oleh
Halliday. Ilmu semiotika adalah kajian tentang tanda dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan tanda. Menurut Sobur (dalam Sartini, 2011), bahwa semiotika atau
adalah bahasa adalah semiotika multimodal karena merupakan tanda atau simbol yang
dihasilkan dalam komunikasi manusia. Ilmu semiotika meliputi studi seluruh tanda-
tanda tersebut baik tanda visual, tanda yang dapat berupa imaji dalam lukisan dan foto
dalam seni dan fotografi, tanda pada kata-kata, bunyi-bunyi, imaji bahasa tubuh,
ekspresi wajah, warna, dan semua unsur-unsur komunikasi. Imaji adalah gambaran yang
terbentuk dari sebuah objek visual. Gramatika didalam bahasa menjelaskan kata, klausa,
frasa, kalimat, dan teks. Sedangkan gramatika visual memperlihatkan orang, tempat,
dari sebuah objek. Fokus gramatika visual adalah pada deskripsi estetika imaji dan cara
komposisi imaji yang digunakan untuk menarik perhatian penyaksi atau pembaca (Kress
dari pengalaman dan berbeda bentuk interaksi sosial. Makna dapat direalisasikan dalam
maupun dalam visual. Walaupun keduanya berbeda, misalnya bahasa melalui pilihan
antara kelas kata dan semantik, namun di dalam komunikasi visual ekspresi dilakukan
melalui sistem pilih, pada beberapa hal seperti: penggunaan warna dan struktur
komposisi yang menonjol. Bahasa visual belum dipahami secara universal karena
sumber makna semiotika yang kaya dan beragam. Santoso (2009: 9) mengatakan suatu
kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat mempunyai nilai-nilai dan norma-
norma kultural yang diperoleh melalui warisan nenek moyang mereka dan juga bisa
norma dari masyarakat lain tersebut baik langsung maupun tidak langsung
memengaruhi nilai-nilai dan norma-norma yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Sebagai
dampaknya nilai-nilai dan norma-norma kultural ini cenderung untuk berubah secara
terus menerus, apalagi dunia pada saat ini semakin terbuka sehingga batas-batas kultur,
peristiwa kebudayaan dan sumber tesebut merupakan makna semiotika karena manusia
sebagai makhluk yang hidup di dalam masyarakat berperan melakukan interaksi dan
komunikasi agar dapat saling memahami makna tanda komunikasi tersebut. Supaya
tanda itu bisa dipahami secara universal, dibutuhkan pula konsep yang universal untuk
Menurut Kress dan Van Leeuwen dalam Handayani (2012) ada tiga aliran besar
semiotika yang menerapkan konsep teori berasal dari domain linguistik dan domain
non-linguistik sebagai sarana komunikasi di abad sekarang ini. Yang pertama adalah
Aliran Praha (Prague School) pada tahun 1930-an dan awal 1940-an yang
diterapkan ke dalam bahasa adalah bentuk fonologi dan sintaksis melalui deviasi untuk
tujuan artistik, pada kajian seni (Mukarovsky), teater (Honzl), sinema (Jakobson), dan
Aliran kedua diperkenalkan oleh aliran Paris (Paris School) pada tahun 1960-an
dan 1970-an, yang menerapkan ide de Saussure, linguis lainnya seperti Schefer,
fotografi (Barthes), bidang fashion (Barthes), bidang sinema (Metz), bidang komik
(Frenault-Deruelle), termasuk juga aliran Pierce. Konsep yang dikembangkan aliran ini
pada studi kajian media, seni, dan desain selalunya disebut sebagai semiologi, juga
dan “signified,” “arbitrary” dan “motivated,” “sign”, “icons,” “indexes,” dan “symbols,”
oleh Halliday di Australia tahun 70-an dikenal dengan nama teori linguistik Sistemik
Fungsional (SFL). Semiotika sosial ini diterapkan pada kajian sastra oleh Threadgold,
Thibault dan kawan-kawan, semiotika visual oleh O’Toole, Kress, van Leeuwen, musik
oleh van Leeuwen dan sarana semiotika oleh Hodge dan Kress. Konsep semiotika sosial
adalah bahwa hubungan setiap manusia dengan lingkungan manusia penuh dengan arti
dan arti-arti ini dipelajari melalui interaksi seseorang dengan orang lain yang
melibatkan lingkungan arti tersebut. Potensi arti dalam proses belajar menciptakan
sistem bahasa sebagai sistem sosial yang terdiri atas struktur ideologi, budaya, situasi,
Pendekatan semiotika sosial menurut Kress dan van Leeuwen dalam Handayani
(2012) menekankan pada dua hal penting. Yang pertama, komunikasi memerlukan
partisipan untuk membuat pesan-pesan secara maksimal untuk dipahami pada konteks
tertentu, kemudian memilih bentuk ekspresi yang diyakini secara maksimal, transparan
kepada partisipan lainnya. Sebaliknya komunikasi terjadi pada struktur sosial yang
memaksakan partisipan lain mengikuti interpretasi yang kuat dengan pemahaman yang
pesan terbaik dengan usaha yang maksimal untuk memberi interpretasi. Sebaliknya
partisipan yang tidak mempunyai kekuasaan harus bekerja keras untuk memahami
pembuat tanda memilih bentuk-bentuk untuk ekspresi yang ada didalam pikiran mereka,
membentuk pandangan apa yang menurut mereka cocok pada tempatnya dan dapat
Menurut Halliday (1978) bahasa adalah suatu sistem semiotika sosial. Sistem
semiotika bahasa mencakupi unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur konteks
yang berada di luar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks
sosial merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan merupakan wadah terbentuknya
bahasa. Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa atau teks terbentuk, juga merupakan
semiotika. Terdapat tiga (3) hal penting sistem komunikasi bahasa menurut Halliday
sistem tanda. Dengan kata lain harus mampu merepresentasikan objek dan hubungannya
Tabel 2.1 di bawah ini menjelaskan hubungan struktur semiotika situasi dengan
Prinsip semiotika sosial pada penelitian ini adalah untuk mengungkap makna
semiotika baik berupa ungkapan verbal dan visual seperti imaji, tanda atau simbol,
seperti berikut. (1) Imaji yang terdapat pada peralatan yang digunakan pada prosesi
mantra melaut tersebut, (2) Pola semiotika (tanda atau simbol) yang terdapat pada
mantra ritual mantra melaut yang mencerminkan simbol gaib dan magis. (3) Tanda dan
simbol digunakan pada ritual mantra melaut, untuk menjelaskan praktik berbahasa pada
masyarakat suku Melayu Aras Kabu. (4) Ungkapan yang dituturkan oleh setiap nelayan
Dalam menganalisis aktivitas sosial tradisi mantra melaut ini akan digunakan
teori semiotika multimodal dan teori semiotika yang dikemukan oleh Charles Sanders
Peirce. Semua interaksi disebut multimodal. Setiap berinteraksi oral manusia secara
otomatis mendengar suara prosodik, intonasi dan bunyi-bunyi, kita juga saling
berpandangan atau menatap, kita memperhatikan setiap gerak gerik lawan bicara
During interaction, (1) you’re aware of your friends’ spoken language in order to hear
the verbal choices, the content, the prosody and the pitch, (2) aware of facial
environment where it takes place, etc (Kress dan van Leeuwen, 2006: 177).
menjelaskan berbagai jenis imaji yang ada di dalam konteks sosio-kultural. Kress dan
van Leeuwen (2006: 178) “multimodal texts”, i.e. “any text whose meanings are
realized through more than one semiotic code”. Analisis multimodal dapat
efek visual gambar atau lambang, warna, tanda simbol dengan aspek verbal dalam teks
multimodal. Dalam sarana tulis aspek multimodal terletak pada disain visual tanda
baca, spasi, warna, font atau gaya, imaji dan sarana representasi dan komunikasi
dan dimaknai tidak hanya dari fisik bahasa yang terujar atau tertulis secara verbal tetapi
juga teks diungkap dan dimaknai dari tampilan visual seperti yang terdapat pada iklan
media cetak. Dengan kata lain, dalam klasifikasi perspektif semiologis kecenderungan
analisis multimodal yaitu semua aspek semiotika yang muncul dalam teks dianalisis
seluruhnya secara terpadu, baik aspek dan unsur semiotika kebahasaan maupun aspek
dan unsur semiotika non-kebahasaan. Yang terakhir ini lazim disebut sebagai aspek dan
unsur yang dikategorikan sebagai visual representation (lihat misalnya Kress dan
Leeuwen 1996).
Kress dan van Leeuwen (2006, 177) menyarankan tiga prinsip komposisi dalam
menganalisis teks verbal dan visual yaitu nilai informasi (information value), tonjolan
(Salient) dan bingkai (framing), yang diaplikasikan tidak hanya pada gambar tunggal,
mata seperti pernyataan Kress and van Leeuwen (2006: 116-124) ‘the gaze’ as a central
participants in the communicative act. Dalam sebuah tayangan, jika pelibat teks sebagai
imaji menatapkan mata langsung kepada kamera, maka tatapan tersebut langsung tepat
pada mata para penyaksi teks visual, sebagai efeknya hal ini menumbuhkan suatu garis
hubungan ‘connecting the participant’s sight line with the viewers’ sehingga pembaca
atau penyaksi teks mempunyai interpretasi bahwa imagi membalas tatapan matanya.
Analisis ini disebut dengan ‘salience’ (Kress dan van Leeuwen, 2006: 201-203).
Salience dari bagian kepala adalah bagian utama yang menghasilkan jarak sosial
keakraban antara sender dengan penyaksi dan pembaca dibandingkan bahagian lain
dalam tubuh imaji. Tatapan mata menekankan mereka diletakkan dalam ruang luas dan
kosong, wajah sekaligus memperoleh salience di dalam lingkup wajah yang juga
menanti respon dari penyaksinya. Peran sekunder imaji juga memperlihatkan objek-
objek pendukung seperti sarung tangan, topi, sepatu but, jilbab, scarf, bandana,
saputangan, dll yang mengekspresikan hubungan eksplisit sebagai pembuat makna atau
diperlihatkan oleh imagi secara visual adalah ukuran (size), warna (colour), ketajaman
fokus (focus). Kress dan van Leeuwen (1996) menekankan “how colour is very
bertolak dari wujud luar tanda yang dapat diindera manusia (representamen) (Hoed,
2001:87). Alasan memilih pendekatan teori Peirce digunakan adalah untuk melihat
tanda, simbol, dan hubungan bahasa dengan konteks dalam peralatan pembuatan lukah
dan teks mantra ritual lukah gilo. Dasar pemikiran tersebut dijabarkan dalam bentuk
tripihak (triadic), yakni setiap gejala secara fenomenologis mencakup (1) bagaimana
sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain, (2) bagaimana
hubungan gejala tersebut dengan realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan
dan ditandai (Christomy, 2004:16). Dikaitkan dengan data penelitian ini, proses
pemaknaan triadic ini yang dinamakan semiosis. Setiap tanda dapat ditempatkan
sebagai tanda itu sendiri, sebagai tanda yang terkait dengan yang lainnya, sebagai
mediator antara objek dan interpretan. Cara Peirce melihat realitas dalam tiga
pertama adalah qualisign, sinsign, dan legisign, trikotomi kedua adalah ikonis
(hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan), indeks (tanda
yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda atau hubungan
sebab akibat), dan simbol (tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda
dengan petandanya atau hubungan berdasarkan perjanjian); trikotomi ketiga adalah term
(rheme), proposisi (dicent), dan argument. Relasi itu dapat digambarkan pada Tabel 2.2
sebagai berikut.
sepuluh jenis, sebagai berikut. (1) Qualisign, yakni kualitas sejauh yang dimiliki tanda.
Kata keras menunjukkan kualitas tanda. Misalnya, suaranya keras yang menandakan
orang itu marah atau ada sesuatu yang diinginkan. (2) Iconic Sinsign, yakni tanda yang
memperlihatkan kemiripan. Contoh: foto, diagram, peta, dan tanda baca. (3) Rhematic
Indexical Sinsign, yakni tanda berdasarkan pengalaman langsung, yang secara langsung
menarik perhatian karena kehadirannya disebabkan oleh sesuatu. Contoh: pantai yang
sering merenggut nyawa orang yang mandi di situ akan dipasang bendera bergambar
tengkorak yang bermakna berbahaya, dilarang mandi di sini. (4) Dicent Sinsign, yakni
tanda yang memberikan informasi tentang sesuatu. Misalnya, tanda larangan yang
terdapat di pintu masuk sebuah kantor. (5) Iconic Legisign, yakni tanda yang
menginformasikan norma hukum. Misalnya, rambu lalu lintas. (6) Rhematic Indexical
Legisign, yakni tanda yang mengacu kepada objek tertentu, misalnya kata ganti
penunjuk. Seseorang bertanya, “Mana buku itu?” dan dijawab, “Itu!” (7) Dicent
Indexical Legisign, yakni tanda yang bermakna informasi dan menunjuk subjek
informasi. Tanda berupa lampu merah yang berputar-putar di atas mobil ambulans
sakit. (8) Rhematic Symbol atau Symbol Rheme, yakni tanda yang dihubungkan dengan
objeknya melalui asosiasi ide umum. Misalnya, kita melihat gambar harimau. (9)
menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Kalau seseorang berkata,
“Pergi!”, penafsiran kita langsung berasosiasi pada otak, dan sertamerta kita pergi. (10)
Argument, yakni tanda yang merupakan iferens seseorang terhadap sesuatu berdasarkan
alasan tertentu. Seseorang berkata, “Gelap.” Orang itu berkata gelap sebab ia menilai
Bagi Peirce, semiotis dapat menggunakan tanda apa saja (linguistis, visual,
ruang, perilaku) sepanjang memenuhi syarat untuk sebuah tanda. Dengan demikian,
sebuah tanda melibatkan proses kognitif di dalam kepala seseorang dan proses itu dapat
Dengan kata lain, sebuah tanda senantiasa memiliki tiga dimensi yang saling
terkait: Representamen (R) sesuatu yang dapat dipersepsi, Objek (O) sesuatu yang
mengacu kepada hal lain, dan Interpretan (I) sesuatu yang dapat diintepretasi. Ketiganya
Representamen (R)
Kesusastraan Melayu Sumatera Utara yang berwujud sastra lisan adalah bagian
dari tradisi lisan. Dalam kehidupan orang Melayu Sumatera Utara, tradisi lisan ini
diungkapkan dalam tiga bentuk pengungkapan, yaitu: (1) pengungkapan melalui kata-
kata atau bahasa, (2) pengungkapan melalui bunyi dan, (3) pengungkapan melalui
gerak. Adapun jenis-jenis sastra lisan yang mentradisi pada masyarakat Melayu
Sumatera Utara, antara lain: mantra, pantun, syair, ungkapan (pepatah-petitih), seni
tutur/teater tutur, kayat, nyanyi panjang, dan koba. Jenis dan bentuk sastra lisan di atas
tidak merata dimiliki oleh pesukuan atau puak yang terdapat dalam masyarakat Melayu
Sumatera Utara. Banyak ragam tradisi lisan ini antara lain disebabkan keadaan alam
daerah Pesisir Timur Sumarera Utara yang sebagian terdiri dari wilayah lautan dan
Dari uraian-uraian seperti di atas, maka sebenarnya semiotika itu sebuah teori
yang luas dan digeluti oleh para ahli dan berbagai bidang disiplin ilmu. Namun inti dari
teori semiotika ini adalah mengkaji tanda-tanda yang ternyata sangat kompleks dan
rumit. Untuk itu setiap pengkaji yang menggunakan teori semiotika ini perlu untuk
memahami seiotika apa yang sesuai untuk mengkaji pokok masalah penelitiannya.
Melayu Serdang di Aras Kabu mencakup berbagai hal. Mantra itu sendiri adalah
sebagai budaya lirik (sastra) yang di dlaam lirik tersebut mengandung makna-makna.
Untuk menganalisis mantra melaut dalam bentuk lirik ini, penulis menggunakan teori
semiotika yang ditawarkan Riffaterre. Dalam semiotika Riffaterre ini penulis akan
melakukan kajian dalam empat tahap: (a) kitadaklangsungan ekspresi dalam mantra
melaut; (b) pembacaan heuristik, yaitu pembacaan tingkat pertama yang merupakan
kajian terhadap makna-makana bahasa terutama kosa kata dan frase mantra melaut,
makna yang terdapat dalam teks mantra melaut tersebut; (c) mencari dan
menggambarkan matriks dan model mantra melaut; dan (d) melkukan kajian terhadap
hubungan intertekstual mantra melaut dengan berbagai mantra dan tradisi sastra lainnya
Selain itu tradisi lisan mantra melaut dalam kebudayaan masyarakat melayu
Aras Kabu ini adalah sebuah fenomena sosial, terutama di kalangan nelayan tradisional
Melayu. Kegiatan ini jelas berdimensi sosial, yang dilakukan dan dipercayai
kemujarabannya bagi setiap nelayan gar memperoleh ridha Tuhan dan menjaga
hubunmgan antar makluk ciptaan Tuhan. Untuk menginterpretasi fenomena dan fakta
sosial mantra melaut pada budaya Melayu Aras Kabu adalah untuk mengungkap makna
semiotika baik berupa ungkapan verbal dan visual. Ungkapan ini berupa (1) Imaji yang
terdapat pada peralatan yang digunakan pada prosesi mantra melaut tersebut, seperti
sampan, dayung, pakian, makanan persiapan ke laut, alat penangkap ikan, dan lainnya,
(2) Pola semiotika (tanda atau simbol) yang terdapat pada mantra ritual mantra melaut
yang mencerminkan simbol gaib dan magis, seperti yang terkandung dalam sistem
kosmologi Melayu yaitu adanya makhluk gaib mambang hitam, mambang kuning,
mambang hijau, jembalang, jin, juga Nabi Khaidir, dan lain-lain. (3) Tanda dan simbol
digunakan pada ritual mantra melaut, untuk menjelaskan praktik berbahasa pada
masyarakat suku Melayu Aras Kabu. (4) Ungkapan yang dituturkan oleh setiap nelayan
sebagai mantra melaut. Dalam menggunakan teori semiotika sosial Halliday ini, karena
untuk aspek lirik (verbal) dibedah dengan semiotikanya Riffaterre, maka dalam
semiotika sosial mantra melaut difokuskan kepada interpretasi visual dan segala
perilaku nelayan.
dalam kebudayaan masyarakat Melayu Aras Kabu ini, penulis menggunakan teori
semiotikanya Peirce. Beliau adalah salah seorang pendiri awal teori semiotika. Dengan
makna budaya yang terdapat di dalam wujud gagasan, aktivitas, dan wujud (verbal dan
visual) mantra melaut, melalui tiga hal utama yaitu: ikon, indeks, dan simbol melalui
dimensi trikotomik: obejk (O), representamen (R), dan interpretan (I). Ketiga teori
Bagan 2.2
penelitian ini, maka pada sub-bab penelitian sebelumnya penulis hanya mengambil
beberapa penelitian pada bagian ini. Adapun beberapa penelitian sebelumnya, seperti
(1) Penelitian tradisi lisan oleh Syafa’at, dkk (2008) dengan judul penelitian
Kearifan Lokal,” Pergulatan Masyarakat Adat atau Lokal dalam Pengelolaan Sumber
Daya Alam. Hasil penelitian menguraikan secara kritis tentang pengakuan terhadap
eksistensi kearifan lokal dan politik, hukum dan hak masyarakat adat terhadap akses
sumber daya alam serta memahami posisi dan kapasitas hukum adat dalam politik
adat dalam mengelola sumber daya alam, hutan, pesisir dan lautan, ruang di atas dan di
bawah air secara berkelanjutan dengan menerapkan sistem kearifan lokal. Kemudian
kearifan lokal terhadap alat penangkapan ikan yang tidak ramah dan cenderung merusak
(2) Penelitian Amri (2011) yang bertajuk Tradisi Lisan Upacara Perkawinan
penelitiannya adalah tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan di
masyarakat, karena masih kerap terselenggara dengan baik upacara perkawinan adat.
Perubahan yang terjadi pada tradisi upacara perkawinan adat, akibat perkembangan
zaman, sehingga tradisi masyarakat yang menjadi kebiasaan tersebut sedikit demi
lebih sering satu hari saja. Faktor penyebabnya adalah finansial dan efektivitas waktu,
yang berasal dari lingkungan sebanyak 264 kata. Penyebab terjadinya penyusutan
internal penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada upacara
perkawinan adat Tapanuli Selatan. Remaja tidak memahami urutan dan kronologis
upacara perkawinan adat dan remaja tidak memahami jenis-jenis upacara perkawinan
adat. Remaja tidak mengetahui apa pengukur besar kecilnya upacara perkawinan adat.
Remaja jarang mendengar leksikon pronominal dan tidak memahami leksikon adat dan
mereka tidak berusaha untu mencari tahu (bertanya) agar memahami makna leksikon
(3) Penelitian Yunita (2011) yang bertajuk Analisis Semiotika Tradisi Bermantra
Pagar Diri di Desa Ujung Gading Julu, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi
Sumatera Utara, hasil penelitian menunjukkan bahwa mantra pagar diri merupakan
salah satu mantra yang termasuk ke dalam tradisi lisan yang perkembangannya
dilakukan secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Mantra pagar diri tidak
walaupun mereka seketurunan. Kearifan lokal yang terdapat dalam mantra ritual pagar
diri dapat dilihat dari kesalinghubungan antara alam semesta dan alam kesadaran
manusia yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal juga terdapat
sebagainya. Interpretasi mantra yang digunakan dalam ritual pagar diri merupakan
kepada makhluk gaib, semoga pemohon mendapat perlindungan dari segala kejahatan,
baik kejahatan yang tampak oleh mata, maupun kejahatan yang kasat mata.
menjelaskan bahwa mantra Melayu memang mempunyai banyak fungsi dan digunakan
dalam hampir semua aspek hidup individu dan kelompok masyarakat, khususnya untuk
sebuah mantra itu menjamin kedudukan dan pengekalannya dalam masyarakat. Mantra
menjadi berkesan karena adanya kuasa magik dan kepadatan serta ketepatan kata
dengan suatu maksud, sama ada secara nyata atau simbolik. Ketepatan itu penting untuk
memudahkan pengamal berinterakasi dengan Allah, makhluk gaib, roh seseorang dan
terutama, apabila dibaca menimbulkan irama yang menarik karena terdapatnya pola
rima, aliterasi, asonansi dan perulangan berupa anafora, epifora, dan lain-lain. Dari segi
lain mantra dengan jelas memancarkan world-view dan pemikiran orang Melayu
diri dan lain-lain. Sehubungan itu mantra memang boleh diterima sebagai dokumen
(5) Penelitian mengenai mantra oleh Jalil, et al. (2008), menjelaskan bahwa
mantra merupakan sastra lisan. Sastra lisan adalah susastra yang perkembangannya
secara lisan atau dari mulut ke mulut. Sastra lisan ini di Nusantara yang paling awal
tradisi lisan. Hal tersebut terkait dengan medium pengucapan sastra itu sendiri. Dalam
mendayagunakan bahasa lisan (orality) sebagai medium pengucapan sastra dari bahasa
tulis (literacy) yang baru dikenal dan digunakan kemudian secara intensif sekitar abad
ke-19.
Mantra oleh para pakar dan pengamat kebudayaan, dianggap sebagai susastra
yang paling awal dikenal oleh manusia. Sastra lisan mantra dapat dikategorikan sebagai
sastra lama atau sastra tradisional. Sastra lama dapat berbentuk puisi dan prosa. Jenis
sastra yang termasuk jenis puisi ini misalnya, mantra, pantun, syair, dan lain-lain.
Masyarakat tradisional bahkan hingga kini, mantra dan segala aspek yang berhubungan
(6) Penelitian selanjutnya yang ada kaitannya dengan penelitian ini, adalah
penelitian yang dilakukan oleh Wan Syaifudin (1999) dengan judul penelitian Tarian
Lukah atau Jambang Lukah Menari. Hasil penelitiannya membahas mengenai ritual
tarian lukah yang di masyarakat Melayu Pesisir Timur tepatnya pada masyarakat
Melayu Pesisir Asahan, yang berkaitan dengan teks-teks atau mantra Tarian Lukah atau
Jambang Lukah Menari. Selain itu, pada penelitiannya juga membahas mengenai
berfungsi dalam masyarakat nelayan di Asahan Sumatera Utara. Lukah atau bubu itu
sendiri adalah salah satu alat penangkap ikan yang juga digunakan oleh para nelayan di
Aras Kabu untuk menangkap ikan di laut. Begitu pula dengan penggunaan mantranya
yang juga berkait dengan mantra melaut di Aras Kabu. keduanya merupakan doa
kepada Tuhan tentang bagaimana menjaga hubungan manusia, alam, dan Tuhan, dalam
konteks perekonomian rakyat. Antara mantra melaut dan mantra lukah menari di dalam
di dalam kebudayaan Melayu. Kosmologi ini mencakup alam nyata dan faktual dan juga
alam gaib. Dalam kedua mantra ini terdapat kesamaan perlunya menjaga keseimbangan
antara dunia darat, laut, nyata, dan gaib, dengan dipandu oleh ajaran-ajaran agama
Allah.
(7) Chalida Fachruddin menuis disertasi doktor filsafat (falsafah) yang bertajuk
Labuhan Deli: Organisasi Sosial Sebuah Komuniti Melayu di Sumatera Utara, 1998.
nelayan Melayu di Labuhan Deli Sumatera Utara. Pendekatan keilmuan yang digunakan
organisasi dan institusi sosial masyarakat Melayu dari segi ekonomi, kekerabatan,
keagamaan, dan kepemimpinan, serta membicarakan sejauh mana orang Melayu telah
Labuhan Deli. Permasalah yang dihadapi nelayan di kawasan ini sama juga dengan
yang terjadi di Aras Kabu Deli Serdang. Namun dalam penelitian ini penulis lebih jauh
akan mengkaji mantra melaut, tidak sebatas memerikan kondisi organisasi sosial dan
(8) Penelitian lainnya yang secara saintifik berkaitan dengan topik penelitian
penulis adalah yang dilakukan oleh Nurhayati Lubis. Penelitian yang ditulis dalam
bentuk tesis ini, bertajuk Analisis Semiotika dalam Upacara Ritual Jamuan Laut di
Jaring Halus, 2008. Tesis ini fokus mengkaji keberadaan upacara dan mantra yang
di seluruh Dunia Melayu, termasuk yang terdapat di Jaring Halus, Kabupaten Langkat,
Provinsi Sumatera Utara. Tesis ini berjumlah 93 halaman ditambah bahagian abstrak,
kata pengantar dan lainnya, dibagi ke dalam lima bab. Fokus utama kajian skripsi ini
adalah upacara atau ritual jamuan laut yang melibatkan pawang, tempat dan waktu
dan lainnya. Sementara itu teori semiotika dari Umberto Uco, dioperasikan untuk
METODE PENELITIAN
lokasi merupakan tahapan penting dalam penelitian, dan karena biasanya melakukan
negosiasi tempat menyita banyak waktu (sering kali melibatkan para tetua dan pamong
Berdasarkan uraian di atas, adapun lokasi dan waktu penelitian ini adalah
sebagai berikut. Lokasi Penelitian penelitian ini tepatnya dilaksanakan pada masyarakat
suku Melayu, yang berlokasi di Desa Aras Kabu, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi
Sumatera Utara. Waktu penelitian ini dimulai dari bulan Januari 2012 dan selesai pada
bulan Desember 2012, dengan proses pengambilan data hingga tahap penulisan.
Pemilihan Desa Aras Kabu sebagai daerah lokasi penelitian penulis, didasarkan
kepada masih terdapatnya para nelayan yang mengamalkan dan melakukan mantra
sebelum mereka melaut ke kawasan Selat Melaka di sepanjang pantai Deli Serdang.
Para pengamal mantra ini tetap meneruskan tradisi tersebut kepada para nelayan yang
lebih muda, termasuk kepada anak dan cucunya yang berprofesi sebagai nelayan atau
bukan nelayan. Selain itu, para informan kunci yang mengamalkan mantra ini umumnya
juga memahami adat dan budaya Melayu secara umum, dan mereka bukan saja
memelihara mantra melaut tetapi juga mantra yang lain dan budaya Melayu yang
lainnya. Selain itu, para pengamal mantra ini juga memiliki tingkat pengetahuan agama
mantra Melayu adalah berasas kepada nilai-nilai dan ajaran agama Islam.
Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami suatu objek. Jadi, metode
penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek penelitian. Kumpulan metode
Metode yang digunakan pada penelitian tradisi ritual mantra melaut suku
Melayu di Aras Kabu adalah metode kualitatif. Analisis kualitatif mantra melaut
menyiratkan penekanan pada proses dan makna yang tidak dikaji secara ketat atau
belum diukur dari sisi kuantitas, jumlah, intensitas atau frekuensinya. Menurut Denzin,
et al. (2009:6) menjelaskan bahwa peneliti kualitatif menekankan sifat realita yang
terbangun secara sosial, hubungan erat antara peneliti dengan subjek yang diteliti, dan
tekanan situasi yang membentuk penelitian. Para peneliti semacam ini mementingkan
sifat penelitian yang sarat nilai. Mereka mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
sosial, dan ilmu-ilmu fisik. Penelitian ini teguh dengan sudut pandang naturalistik
Artinya:
Penelitian kualitatif telah membentuk masa yang panjang dan memiliki
sejarah yang khas dalam disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan. Di dalam ilmu
sosiologi karya-karya yang dihasilkan oleh “aliran Chichago” pada
dasawarsa 1920-an dan 1930-an telah menghasilkan peneltian kualitatif
terhadap kelompok manusia yang begitu penting sumbangannya. Di dalam
antropologi pula, dalam masa yang sama, ... telah membentuk kerangka
kerhja dalam metode kerja lapangannya, yaitu para peneltinya melakukan
penelitian terhadap masyarakat asing di luar kelompok peneliti untuk
melakukan kajian terhadap adat dan kebiasaan masyarakat dan budaya lain.
Penelitian kualitatif adalah sebuah penelitian yang berdasar kepada
lapangan penelitian itu sendiri. Penelitian kualitatif adalah berlandaskan
kepada silang disiplin ilmu, lapangan, dan lingkup kajian. Istilah-istilah
yang kompleks, saling keterhubungan, seperangkat istilah, konsep, dan
asumsi, mendukung keberadaan penelitian kualitatif ini.
Lebih jauh Nelson menjelaskan menegnai apa itu penelitian kualitatif menurut
berikut ini.
Artinya:
Penelitian kualitatif adalah penelitian lapangan yang bersifat interdisiplin,
transdisiplina, dan adakalanya kounterdisiplin. Penelitian ini merupakan
hasil persilangan ilmu-ilmu humaniora, sosial, dan alam. Penelitian
kualitatif ini menggunakan ilmu-ilmu itu secara bersamaan. Penelitian
kualitatif fokus terhadap multiparadigma. Para penggiat penelitian kualitatif
biasanya sangat peka terhadap nilai-nilai pendekatan multimetode. Mereka
sangat setia kepada pendekatan yang berperspektif alamiah, serta
menafsirkan pengetahuan mengenai pengalaman manusia. Pada saat yang
Dari kedua kutipan di atas secara garis besar dapat dinyatakan bahwa
berbagai jenis disiplin, baik dari ilmu kemanusiaan, sosial, ataupun ilmu alam. Para
untuk mengetahui pengalaman manusia, yang oleh karena itu biasanya inheren dan
Pelaporan jenis data, sumber data dan teknik penjaringan data perlu diberikan
dengan keterangan yang memadai. Uraian tersebut meliputi data apa saja yang
informan penelitian, bagaimana ciri-ciri subjek dan informan itu, dan dengan cara
bagaimana data dijaring, sehingga kredibilitasnya dapat dijamin. (Denzin dkk., 2009:vi).
Berdasarkan uraian di atas, pada penelitian ini data dan sumber datanya adalah
sebagai berikut. (i) Data Primer. Pengumpulan data primer dilakukan dengan
kepada informan kunci. Data primer ini berupa data lisan hasil wawancara dan
diperoleh dari sumber dukun atau bomoh yang menjalankan ritual melaut. (ii) Data
Sekunder. Data-data sekunder pada penelitian ini berupa: teks, dokumen, surat-surat,
foto, hasil rekaman kaset, kombinasi teks, gambar dan suara: film ataupun video.
Beberapa prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut
ini. (1) Metode Partisipatoris. Metode partisipatoris adalah metode yang digunakan
dalam penelitian ini. Penelitian ini memerlukan kemampuan peneliti untuk terjun
penelitian ini penulis langsung dan berbaur dengan kehidupan masyarakat suku Melayu
Desa Aras Kabu Deli Serdang. Dengan demikian, penulis dapat menggambarkan liku-
observasi ialah metode atau cara-cara menganalisis dan mengadakan pencatatan secara
sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau
kelompok secara langsung. Data berupa informasi faktual secara cermat dan terinci
mengenai keadaan lapangan, kegiatan, dan situasi sosial sesuai dengan konteks tempat
secara sistematis mengenai prosesi ritual dan pembacaan mantra melaut serta
mengamati semua pola tingkah laku masyarakat suku Melayu di Desa Aras Kabu.
pandangan antara dua orang atau lebih. Kemudian, istilah ini diartikan lebih lanjut, yaitu
sebagai metode pengumpulan data atau informasi dengan cara tanya jawab sepihak,
dikerjakan secara sistemik dan berlandaskan pada tujuan penelitian. Tujuan wawancara
dkk., 2006:97).
Dari uraian di atas dapat digambarkan bahwa penelitian ini menggunakan teknik
wawancara dalam pengumpulan data. Wawancara pada penelitian, yakni ada dua orang
atau lebih yang melakukan tanya jawab, di mana pihak pertama yaitu orang yang
bertanya (pewawancara) yang memerlukan data atau informasi dari pihak lain (yang
diwawancarai). Pihak yang diwawancarai pada penelitian ini adalah dukun atau bomohh
yang akan menjadi pemandu dalam acara melaut suku Melayu Aras Kabu ini.
ini adalah kajian dokumen. Berbagai data baik fakta yang terkumpul dalam surat-surat,
catatan harian, foto, laporan, artefak, naskah-naskah, dan sebagainya maupun dalam
bentuk yang lain, perlu disimpan dalam bentuk dokumentasi. Sifat data ini tidak terbatas
ruang dan waktu sehingga penulis mengetahui hal-hal yang terjadi pada waktu yang
lalu.
pada penelitian ini. Perekaman merupakan data pendukung untuk penelitian ini.
Perekaman dilakukan mulai dari persiapan, saat dilakukan, dan berakhirnya ritual
melaut tersebut. Hasil dari perekaman akan dibuat dalam bentuk video atau dalam
Sesuai dengan metode analisis yang digunakan, ada beberapa bentuk analisis
data dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut. (1) Mengumpulkan semua data baik
Mengklasifikasikan semua data yang ditemukan mengenai mantra ritual melaut. (2)
Menganalisis data mantra ritual melaut yang telah diklasifikasikan. (3) Menerjemahkan
semua data yang didapat baik itu berupa mantra atau dalam bentuk yang lainnya ke
dalam bahasa Indonesia. (4) Mencari makna yang terdapat dari setiap unsur-unsur yang
menjadi tanda yang digunakan selama prosesi ritual melaut. (5) Pengembangan ceri-
ta ditambah dengan penjelasan dan menulis pengalaman yang dialami selama terlibat di
Mantra melaut pada suku Melayu di Aras Kabu adalah ekspresi dari kebudayaan
Melayu secara umum. Mantra melaut ini merupakan bahagian yang integral dari
laut. Selain itu, mantra melaut ini adalah mencerminkan sistem kosmologi Melayu
dalam memandang alam dan isisnya dalam konteks ajaran agama. Seterusnya aspek-
aspek etnografis, seperti keberadaan Kesultanan Serdang, sistem kekerabatan, adat, dan
melaut ini. Untuk itu perlu diuraikan hal-hal tersebut di atas, sebagai latar belakang
dikenal sebagai salah satu daerah dari 25 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.
Kabupaten yang memiliki keanekaragaman sumber daya alamnya yang besar sehingga
merupakan daerah yang memiliki peluang investasi cukup menjanjikan. Dahulu wilayah
ini disebut Kabupaten Deli dan Serdang, dan pemerintahannya berpusat di Kota Medan.
terdiri dari dua pemerintahan yang berbentuk kerajaan (kesultanan) yaitu Kesultanan
Deli berpusat di Kota Medan, dan Kesultanan Serdang berpusat di Perbaungan. Bandar
Kabupaten Deli Serdang yang dikenal sekarang ini merupakan dua pemerintahan yang
berbentuk Kerajaan (Kesultanan) yaitu Kesultanan Deli yang berpusat di Kota Medan,
Timur mengalami pergolakan yang dilakukan oleh rakyat secara spontan menuntut agar
NST (Negara Sumatera Timur) yang dianggap sebagai prakarsa Van Mook (Belanda)
dibubarkan dan wilayah Sumatera Timur kembali masuk Negara Republik Indonesia.
menentang Kongres Rakyat Sumatera Timur yang dibentuk oleh Front Nasional.
bergabung dengan NRI, sedangkan Negara Indonesia Timur (NIT) dan Negara
Sumatera Timur (NST) tdak bersedia. Akhirnya Pemerintah NRI meminta kepada
Republik Indonesia Serikat (RIS) untuk mencari kata sepakat dan mendapat mandat
penuh dari NST dan NIT untuk bermusyawarah dengan NRI tentang pembentukan
Negara Kesatuan dengan hasil antara lain Undang-Undang Dasar Sementara Kesatuan
yang berasal dari UUD RIS diubah sehingga sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945
(Wikipedia).
Atas dasar tersebut terbentuklah Kabupaten Deli Serdang seperti tercatat dalam
sejarah bahwa Sumatera Timur dibagi atas 5 (lima) Afdeling, salah satu diantaranya Deli
en Serdang, Afdeling ini dipimpin seorang Asisten Residen beribukota Medan serta
terbagi atas 4 (empat) Onder Afdeling yaitu Beneden Deli beribukota Medan, Bovan
Kabupaten ini terdiri atas 6 (enam) Kewedanaan yaitu Deli Hulu, Deli Hilir, Serdang
Hulu, Serdang Hilir, Bedagei/ Kota Tebing Tinggi pada waktu itu ibukota
Desember 1949 wilayah tersebut adalah Deli Serdang dengan ibukota Medan meliputi
Lubuk Pakam, Deli Hilir, Deli Hulu, Serdang, Padang dan Bedagei (Pemdasu, 1982).
menjadi Daerah Otonom dan namanya berubah menjadi Kabupaten Deli Serdang sesuai
Tahun demi tahun berlalu setelah melalui berbagai usaha penelitian dan seminar-
seminar oleh para pakar sejarah dan pejabat Pemerintah Daerah Tingkat II Deli Serdang
pada waktu itu (sekarang Pemerintah Kabupaten Deli Serdang), akhirnya disepakati dan
ditetapkanlah bahwa Hari Jadi Kabupaten Deli Serdang adalah tanggal 1 Juli 1946
(Pemdasu, 1982).
Deli Serdang dipindahkan dari Kota Medan ke Lubuk Pakam dengan lokasi perkantoran
Desember 1986. Demikian pula pergantian pimpinan di daerah inipun telah terjadi
beberapa kali.
menjadi ibukota Provinsi Sumatera Utara, kota Binjai dan kota Tebing Tinggi
Simalungun, dengan total luas daerah 6.400 km² terdiri dari 33 Kecamatan dan 902
Kampung.
Daerah ini, sejak terbentuk sebagai kabupaten sampai dengan tahun tujuh
puluhan mengalami beberapa kali perubahan luas wilayahnya, karena kota Medan,
Tebing Tinggi dan Binjai yang berada didaerah perbatasan pada beberapa waktu yang
4.397,94 km².
memang dalam sejarahnya sebagian besar wilayah kota Medan adalah “tanah Deli”
yang merupakan daerah Kabupaten Deli Serdang. Sekitar tahun 1980-an, pemerintahan
daerah ini pindah ke Lubuk Pakam, sebuah kota kecil yang terletak di pinggir jalan
lintas Sumatera lebih kurang 30 kilometer dari Kota Medan yang telah ditetapkan
Tahun 2004 Kabupaten ini kembali mengalami perubahan baik secara Geografi
Kabupaten baru Serdang Bedagai sesuai dengan UU No. 36 Tahun 2003, sehingga
berbagai potensi daerah yang dimiliki ikut berpengaruh. Dengan terjadinya pemekaran
daerah, maka luas wilayahnya sekarang menjadi 2.394,62 km² terdiri dari 22 kecamatan
dan 403 desa/kelurahan, yang terhampar mencapai 3,34% dari luas Sumatera Utara.
1. Moenar S. Hamidjojo,
2. Sampoerno Kolopaking,
5. Abdul Kadir Kendal Keliat (11 Januari 1963 s.d 11 November 1970),
12. Drs.H. Abdul Hafid, MBA (3 Maret 1999 s.d 7 April 2004),
Peta 4.1
informan selalu terlibat dalam kegiatan masyarakat nelayan ini, terutama dalam
aktivitas jamu laut. Hal ini tercermin seperti yang dikemukakan oleh Haji Amiruddin.
diurai secara ringkas bagaimana keberadaan Kesultanan Serdang yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan nelayannya di Aras Kabu. Di kawasan lain Sumatera Timur,
berjarak lebih kurang 39 kilometer dari Kota Medan menuju ke arah timur, terdapat
Langkat dan selat Melaka, sebalah selatan dengan Simalungun dan Kesultanan Deli,
sebelah timur dengan kesultanan Asahan dan Selat Melaka, sebelah barat dengan
Serdang adalah salah satu dari empat kesultanan besar di Sumatera Timur. Di
Di masa Sultan Thafsinar Basyarsah yang lebih dikenal sebagai Sultan Besar
(1790-1850), ibu negeri Serdang berada di Rantau Panjang. Karena letaknya dekat
dengan pantai, kerajaan ini cepat berkembang dan menjadi salah satu bandar terkenal
di Sumatera Timur. Serdang di kala itu menghasilkan lada dan diekspor ke bandar
ke negeri Sumatera Timur, biasanya kapal lebih dahulu singgeh di Rantau Panjang.
Jika kapal akan ke Penang sering berlayar melewati Deli, Langkat, dan Serdang untuk
Panjang dijumpai tempat pembuatan kapal dan jumlah penduduknya tiga ribu orang
Melayu dan delapan ribu orang Batak, yang gemar menghibur diri dengan melaga
legitimasi sultan. Istana beserta perangkatnya memiliki daya magis yang luar
biasa. Ibukota kerajaan bukan saja sebagai pusat politik dan kebudayaan, tetapi juga
saja rakyat berontak, dengan menuruti konsep: raja adil raja disembah, raja lalim raja
adalah alat-alat kebesaran, di antaranya: (1) alat-alat musik seperti gendang nobat,
serunai, seruling, dan terompet; (2) beberapa lencana jawatan seperti kayu gamit,
puan naya, taru, kumala, surat ciri, cap halilintar, ubor-ubor, bantal, dan langsir; (3)
senjata-senjata seperti pedang, tombak, dan keris. Yang terakhir ini dipercayai
mampu menjelma sendiri dan dipenuhi kuasa sakti sehingga dapat memusnahkan
ini merupakan perkawinan politis. Tengku Darwisyah adalah saudara tiri Sultan
Deli, yang saat itu sering berselisih dengan Kesultanan Serdang karena soal batas
melalui perkawinan antara Sultan dengan Tengku Darwisyah (Mohammad Said, t.t.:
67).
Kehidupan istana Serdang tidak ketat dengan ritus upacara yang rumit.
Upacara besar dalam istana adalah penabalan Sultan. Sultan Serdang lebih senang
Tengku Rajih Anwar adalah seorang pemusik yang sangat berbakat. Ia pandai
memainkan piano, gendang, serunai, dan terutama gesekan biolanya yang khas. Dia
bercorak patrimonial, dan memprioritaskan status sosial dalam hirarki jabatan. Sultan
Melayu yang beragama Islam dalam kekuasaannya tetap didukung oleh bermacam-
macam atribut suci dan sakti, walau pada kenyatannya bukan merupakan
seperangkat gamelan Jawa dan sekalian dengan para pemainnya dari Sultan
Yogyakarta. Dalam perkembangan sosial dan politik setelah Indonesia merdeka, para
intelektual, budayawan, dan militer. Generasi Sinar ini menduduki beberapa posisi
Para sultan yang memerintah Negeri Serdang adalah: (1) Raja Osman atau
Teuku Umar; (2) Sultan Pahlawan Alamsyah; (3) Sultan Thaf Sinar Basyarah
Sultan Sulaiman ini ditetapkan oleh Belanda menjadi Sultan Serdang tanggal 29
Januari 1887) ; (6) Sultan pemangku budaya Melayu Serdang berikutnya adalah
Tengku Abu Nawar Sinar Al-Haj (1946-1996). (7) Tuanku Luckman Sinar Basharsyah
II, S.H., Al-Haj yang memangku Kesultanan Serdang dari tahun 1996-2010. (8) Selepas
Aras Kabu adalah sebuah desa yang berada di bahagian pesisir timur Kabupaten
Deli Serdang. Desa ini berada di Kecamatan Beringin. Nama desa ini berasal dari
keadaan awalnya, yaitu tempat tumbuhnya pohon-pohon kabu (kapuk), yang biasa
dibuat menjadi bantal dan katil (tilam). Pohon kabu ini banyak tumbuh di desa tersebut
sejak awalnya. Maka oleh penduduknya desa ini diberi nama Aras Kabu.
Serdang. Di zaman Belanda, ketika Belanda membangun rel kereta api dari Medan
sampai ke Rantauprapat Labuhanbatu, maka di desa ini dibangun sebuah stasiun kereta
api Aras Kabu. Di zaman pendudukan Jepang, di stasiun ini, Jepang mengebom gerbong
kereta api. Saat itu ada seniman musik Melayu, Lily Suheiry. Ketika selepas kejadian
itu, Lily Suheiry menciptakan lagu yang berjudul Aras Kabu. Lagu ini populer sebagai
lagu Melayu untuk memperkuat petjuanan bangsa Indonesia untuk merdeka dari
Sejak awal Indonesia merdeka, Desa Aras Kabu berada di kawasan Kabupaten
Deli Serdang, yang beribukota di Lubuk Pakam. Masyarakat Desa Aras Kabu,
berjumlah 3498 jiwa. Sebahagian besarnya 55 persen adalah suku Melayu, kemudian
disusul suku Jawa 26 persen. Suku Batak (Mandailing, Karo, Simalungun, dan Toba)
Suku Melayu, Jawa, dan Mandailing umumnya beragama Islam. Suku Batak
Desa ini penghasilan utamanya adalah kelapa sawit, padi sawah, dan ikan. Padi
sawah ditanam di seluruh sawah yang ada di desa ini. Sebahagian dari mereka adalah
nelayan di Selat Melaka. Nelayan ini ada yang menggunakan boat bermotor dan ada
Desa ini dibelah oleh jalan raya aspal yang menghubungkan Kota Lubuk Pakam
dengan Kota Batang Kuis. Sehingga transportasi dikatakan lancar, untuk urusan-urusan
bisnis, pekerjaan, dan lain-lainnya. Jalan raya ini umumnya telah diaspal dengan
mengguankan dana anggaran dari pemerintah Kabupaten Deli Serdang. Desa Aras Kabu
kaum lain di kawasan ini, yang berjalan dengan baik dan rukun damai.
Mantra melaut Melayu adalah cerminan dari identitas etnik Melayu. Seperti
budaya, akulturasi, dan fungsi sosialnya. Keberadaan mantra melaut Melayu ini
didasari oleh identitas etnik Melayu. Untuk dapat memahami siapakah orang Melayu,
yang menjadi pendukung seni mantra melaut Melayu, maka akan dijelaskan
(1) secara biologi mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai
budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya;
(3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, dan (4) menentukan ciri
kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dpaat dibedakan dari
diri dalam ikatan perkahwinan di antara suku, dan selanjutnya memakai adat resam
serta bahasa Melayu dalam kehidupan sehari-hari (Lah Husni, 1975:7). Selanjutnya
Husni menyebutkan lagi, bahwa orang Melayu Pesisir Sumatera Timur merupakan
keturunan campuran antara orang Melayu yang memang sudah menetap di Pesisir
Sumatera Timur dan suku-suku Melayu pendatang, seperti Johor, Melaka, Riau,
Aceh, Mandailing, Jawa, Minangkabau, Karo, India, Bugis, dan Arab, yang
selanjutnya memakai adat resam dan bahasa Melayu sebagai bahasa penghantar
dalam pergaulan di antara sesamanya atau dengan orang dari daerah lain, serta yang
terpenting adalah beragama Islam. Suku Melayu itu berdasarkan falsafah hidupnya,
terdiri dari lima dasar: Islam, beradat, berbudaya, berturai, dan berilmu (Lah Husni,
Sumatera Timur pada tahun 1823, dia menjelaskan bahwa permukiman orang
Palembang, Jawa, Minangkabau, dan Bugis, yang telah menetap dan bercampur
Hal mendasar yang dijadikan identitas etnik Melayu adalah adat resam,
termasuk aplikasinya dalam mantra. Dalam bahasa Arab adat berarti kebiasaan,
lembaga, peraturan atau hukum. Sedangkan dalam bahasa Melayu dapat dipadankan
biasanya digunakan untuk kalam, alat tulis untuk menulis huruf-huruf Arab. Arti lain
kata resam adalah adat. Jadi dalam bahasa Melayu yang sekarang ini, adat dan
Menurut Lah Husni adat pada etnik Melayu tercakup dalam empat ragam,
yaitu: (1) adat yang sebenar adat; (2) adat yang diadatkan; (3) adat yang teradat,
dan (4) adat istiadat. (1) Adat yang sebenar adat adalah apabila menurut waktu dan
keadaan, jika dikurangi akan merusak, jikalau dilebihi akan mubazir (sia-sia). Proses
ini berdasar kepada: (a) hati nurani manusia budiman, yang tercermin dalam ajaran
adat: Pisang emas bawa belayar; Masak sebiji di dalam peti; Hutang emas dapat
dibayar; Hutang budi dibawa mati. (b) kebenaran yang sungguh ikhlas, dengan
berdasar pada: berbuat karena Allah bukan karena ulah; (c) keputusan yang berpadan,
dimakan bersama-sama. yang benar itu harus dibenarkan, yang salah disalahkan.
Adat murai berkicau, tak mungkin menguak. Adat lembu menguak, tidak mungkin
berkicau. Adat sebenar adat ini menurut konsep etnosains Melayu adalah: penuh
tidak melimpah, berisi tidak kurang, yang besar dibesarkan, yang tua dihormati,
yang kecil disayangi, yang sakit diubati, yang bodoh diajari, yang benar diberi hak,
yang kuat tidak melanda, yang tinggi tidak menghimpit, yang pintar tidak menipu,
harmonis, baik mencakup diri sendiri, seluruh negara, dan lingkungan hidupnya.
Tidak ada hidup yang bernafsi-nafsi. Inilah adat yang tidak bisa berubah (Lah Husni,
1986:51).
Dalam konteks masyarakat nelayan, adat yang sebenar adat ini diaplikasikan ke
dalam konsep mengambil yang sepadan, tinggalkan untuk anak cucu. Adat ikan adalah
memelihara semestinya. Adat lelaki menghidupi keluarga, adat wanita sebagai ibu suri
rumah tangga. Adat manusia adalah sebagai makhluk sosial, yang perlu bekerjasama
(2) Adat yang diadatkan adalah adat itu bekerja pada suatu landasan tertentu,
diserahkan oleh rakyat kepada yang dipercayakan kepada mereka. Sebagai pemangku
adat adalah seorang raja atau penghulu. Pelaksanaan adat ini wujudnya adalah
untuk kebahagiaan penduduk, baik lahir ataupun batin, dunia dan akhirat, pada saat
itu dan saat yang akan datang. Tiap-tiap negeri itu mempunyai situasi yang berbeda
dengan negeri-negeri lainnya, lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya,
lain manisia lain sifatnya. Perbedaan keadaan, tempat, dan kemajuan sesuatu negeri
itu membawa resam dan adatnya sendiri, yang sesuai dengan kehendak rakyatnya,
yang diwarisi dari leluhurnya. Perbedaan itu hanyalah dalam lahirnya saja, tidak
dalam hakikinya. Adat yang diadatkan ini adalah sesuatu yang telah diterima untuk
menjadi kebiasaan atau peraturan yang diperbuat bersama atas muafakat menurut
ukuran yang patut dan benar, yang dapat dimodifikasi sedemikian rupa secara
fleksibel. Dasar dari adat yang diadatkan ini adalah: penuh tidak melimpah, berisi
tidak kurang, terapung tidak hanyut, terendam tidak basah (Lah Husni, 1986:62).
Dalam konteks yang lebih luas, adat yang diadatkan ini mencakup sistem
organisasi sosial dan kepemimpinan dalam masyarakat Melayu. Bahwa setiap kelompok
masyarakat Melayu itu mesti ada pemimpin yang mengarahkannya menuju kedudukan
dan arah yang benar. Pemimpin adalah tempat bertanya dan memberikan arahan hidup.
ilmu dan kedudukan sosial dibanding orang yang dipimpinnya, pemimpin harus
menyinari sekitarnya. Dalam konteks nelayan di Aras Kabu ini, maka setiap kelompok
dan berperilaku, termasuk menangkap ikan, menjualnya, dan bersatu dalam organisasi
nelayan.
atau cepat menjadi adat. Sesuai dengan pepatah: sekali air bah, sekali tepian
berpindah, sekali zaman beredar, sekali adat berkisar. Walau terjadi perubahan adat
itu, inti adat tidak akan lenyap: adat pasang turun-naik, adat api panas, dalam gerak
berseimbangan, di antara akhlak dan pengetahuan. Perubahan itu hanya terjadi dalam
bentuk ragam, bukan dalam hakiki dan tujuan semula. Umpamanya jika dahulu orang
memakai tengkuluk atau ikat keypala dalam suatu majlis, kemudian sekarang memakai
kopiah itu menjadi pakaian yang teradat. Jika dahulu berjalan berkeris atau disertai
pengiring, sekarang tidak lagi. Jika dahulu warna kuning hanya raja yang boleh
Adat yang teradat ini adalah bagaimana masyarakat Melayu tetap konsisten
menghadapi segala perubahan yang terjadi, baik perubahan yang berasal dari dalam
maupun dari luar. Perubahan adalah sifat dari manusia, kebudayaan, dan alam. Oleh
karena itu, perubahan bukan untuk dihindari tetapi dihadapi. Dalam ajaran budaya
Melayu tercermin pada kata-kata, kalau takut dilanda ombak jangan berumah di tepi
mengganggu tatanan yang telah ada di bawah panduan Tuhan. Perubahan dan
kesinambungan adalah dua sisi yang harus terjadi di dalam alam ini. Dalam konteks
nelayan, maka selalu dikonsepkan sekali air bah, sekali tepian berubah, artinya
pula perubahan musik juga skan mempengaruhi perubahan ikan yang ada di laut, serta
perubahan hari dan bulan akan mengakibatkan perubahan pasang dan surutnya air laut,
serta perubahan ikan dan hasil-hasil laut. Untuk itu seorang nelayan Melayu harus
(4) Adat istiadat adalah kumpulan dari berbagai-bagai kebiasaan, yang lebih
banyak diertikan tertuju kepada upacara khusus seperti adat: perkah-winan, penobatan
raja, dan pemakaman raja. Jika hanya adat sahaja maka kecen-derungan pengertiannya
adalah sebagai himpunan hukum, misalnya: hukum ulayat, hak asasi dan sbagainya.
Budaya mantra Melayu Serdang, khususnya Aras Kabu bukan hanya didukung
oleh masyarakat kebanyakan (rakyat), tetapi juga oleh golongan bangsawan. Oleh
karena itu dikaji pula tingkatan kebangsawanan Melayu. Dalam kebudayaan Melayu
tertentu. Namun demikian, seorang bangsawan yang berbuat salah dalam ukuran
norma-norma yang berlaku dalam kebudayaan, boleh dikritik bahkan diturunkan dari
kekuasaannya, seperti yang tercermin dalam konsep raja adil raja disembah, raja
zalim raja disanggah. Hirarki kekuasaan adalah dari Allah, kemudian berturut-turut
itu adalah sebagai berikut: (1) Tengku (di Riau disebut juga Tengku Syaid) adalah
penjelasan Tengku Lah Husni (wawancara 17 Maret 1988), istilah Tengku pada budaya
Melayu Sumatera Timur, secara rasmi diambil dari Kerajaan Siak pada tahun 1857.
ayahnya bergelar Tengku dan ibunya juga bergelar Tengku. Atau ayahnya bergelar
Tengku dan ibunya bukan Tengku. Jadi gelar Tengku secara genealogi diwarisi
(c) Raja, yaitu gelar kebangsawanan yang dibawa dari Indragiri (Siak),
ataupun anak bangsawan dari daerah Labuhan Batu: Bilah, Panai dan Kota Pinang.
Pengertian raja di daerah Melayu tersebut adalah sebagai gelar yang diturunkan
secara genealogi, bukan seperti yang diberikan oleh Belanda. Oleh pihak penjajah
Belanda, gelar raja itu diberikan baik mereka yang mempunyai wilayah pemerintahan
hukum yang luas ataupun hanya mengepalai sebuah kampung kecil saja. Pengertian
raja yang diberikan Belanda ini adalah kepala atau ketua. Menurut keterangan Sultan
Kesebelas Kesultanan Deli, Tengku Amaluddin II, seperti yang termaktub dalam
suratnya yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Timur tahun 1933, jika seorang
wanita Melayu bergelar Tengku bernikah dengan seorang bangsawan yang bergelar
Raden dari Tanah Jawa atau seorang bangsawan yang bergelar Sutan dari
(d) Wan. Jika seorang wanita Melayu bergelar Tengku kahwin dengan
seorang yang bukan Tengku, dengan seseorang dari golongan bangsawan lain atau
masyarakat awam, maka anak-anaknya berhak memakai gelar wan. Anak lelaki
keturunan mereka seterusnya dapat memakai gelar ini, sedangkan yang wanita
tergantung dengan siapa dia bernikah. Jika martabat suaminya lebih rendah dari wan,
maka gelar ini berubah untuk anaknya, mengikuti gelar suaminya--dan hilang jika
Kesultanan Aceh, baik langsung ataupun melalui perantaraan Wakil Sultan Aceh di
Deli. Gelar ini diberikan kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan daerah
pemerintahan autonomi yang dibatasi oleh dua aliran sungai. Batas-batas ini disebut
dengan kedatuan atau kejeruan. Anak-anak lelaki dari datuk dapat menyandang
gelar datuk pula. Sultan atau raja dapat pula memberikan gelar datuk kepada
seseorang yang dianggap berjasa untuk kerajaan dan bangsanya. Di Malaysia gelar
datuk diperolehi oleh orang-orang yang dianggap berjasa dalam pengembangan budaya
Malaysia. Kemudian tingkatan datuk lainnya adalah datuk seri. (f) Kaja. Gelar ini
kelebihan tertentu dalam berbagai-bagai bidang sosial dan budaya seperti: kesenian,
dagang, bahasa, agama, dan lainnya. Panggilan itu bisa diucapkan oleh sultan, raja,
dilakukan oleh mereka rakyat awam saja, tetapi ada juga yang bergelar bengsawan
seperti tengku yang menjadi nelayan. Oleh karena itu, pekerjaan sebagai nelayan ini
bukan identik dengan kerja orang tertentu, tetapi bisa siapa saja.
baik dari pihak ayah maupun ibu, dan masing-masing anak wanita atau pria
mendapat hak hukum adat yang sama. Dengan demikian termasuk ke dalam sistem
dahulu mengatur pembagian yang adil terhadap hak syarikat, yaitu harta yang
diperoleh bersama dalam sebuah pernikahan suami-isteri. Hak syarikat ini tidak
pada pengertian saham yang sama diberikan dalam usaha hidup, yang ertinya
mencakup: (1) suami berusaha dan mencari rezeki di luar rumah; (2) isteri berusaha
vertikal adalah dimulai dari sebutan yang tertua sampai yang muda: (1) nini, (2) datu,
(3) oyang (moyang), (4) atok (datuk), (5) ayah (bapak, entu), (6) anak, (7) cucu, (8)
cicit, (9) piut, dan (10) entah-entah. Hirarki horizontal adalah: (1) saudara satu emak
dan ayah, lelaki dan wanita; (2) saudara sekandung, yaitu saudara seibu, laki-laki
atau wanita, lain ayah (ayah tiri); (3) saudara seayah, yaitu saudara laki-laki atau
wanita dari satu ayah lain ibu (emak tiri); (4) saudara sewali, yaitu ayahnya saling
bersaudara; (5) saudara berimpal, yaitu anak dari makcik, saudara perempuan ayah; (6)
saudara dua kali wali, maksudnya atoknya saling bersaudara; (7) saudara dua kali
impal, maksudnya atok lelaki dengan atok perempuan bersaudara, (8) saudara tiga
kali wali, maksudnya moyang laki-lakinya bersaudara; (9) saudara tiga kali impal,
seterusnya empat kali wali, lima kali wali, empat kali impal, dan lima kali impal.
Sampai tiga kali impal atau tiga wali dihitung alur kerabat yang belum jauh
hubungannya.
Dalam sistem kekerabatan Melayu Sumatera Utara dikenal tiga jenis impal: (1)
impal larangan, yaitu anak-anak gadis dari makcik kandung, saudara perempuan ayah.
impal larangannya. Kalau terjadi, dan impal larangan mengadu kepada raja, maka
orang tua si gadis didenda 10 tail atau 16 ringgit. Sebaliknya jika si gadis itu cacat
atau buruk sekali rupanya, impal larangan wajib mengawininya untuk menutup malu
"si gadis yang tak laku;" (2) impal biasa, yaitu anak laki-laki dari makcik; (3) impal
Istilah kekerabatan lainnya untuk saling menyapa adalah sebagai berikut: (1)
ayah, (2) mak (emak, asal katanya mbai); (3) abang (abah); (5) akak (kakak); (6)
uwak, dari kata tua, yaitu saudara ayah atau mak yang lebih tua umurnya; (7) uda,
dari kata muda, yaitu saudara ayah atau mak yang lebih muda umurnya; (8) uwak
ulung, uwak sulung, saudara ayah atau mak yang pertama baik laki-laki atau
perempuan; (9) uwak ngah, uwak tengah, saudara ayah atau emak yang kedua baik
laki-laki atau perempuan; (10) uwak alang atau uwak galang (benteng), saudara ayah
atau mak yang ketiga baik laki-laki atau perempuan; (11) uwak utih, uwak putih,
saudara ayah atau mak yang keempat baik laki-laki atau perempuan; (12) uwak
andak, wak pandak, saudara ayah atau mak yang kelima baik laki-laki atau
perempuan; (13) uwak uda, wak muda, saudara ayah atau mak yang keenam baik laki-
laki atau perempuan; (14) uwak ucu, wak bungsu, saudara ayah atau mak yang ketujuh
baik laki-laki atau perempuan; (15) wak ulung cik, saudara ayah atau mak yang
kedelapan baik laki-laki atau perempuan; dilanjutkan ke uwak ngah cik, uwak alang
cik, dan seterusnya. Jika anak yang dimaksud adalah naka dari andak misalnya, maka
panggilan pada nomor 8 sampai 11 tetap uwak, dan nomor 11 dan seterusnya ke bawah
disebut dengan: (1) ayah uda, (2) ayah ucu, (3) ayah ulung cik, (4) ayah ngah cik, (5)
kedua orang tua isteri; (2) bisan (besan) sebutan antara orang tua isteri terhadap orang
tua sendiri atau sebaliknya; (3) menantu, panggilan kepada suami atau isterinya
anak; (4) ipar, suami saudara perempuan atau isteri saudara laki-laki, demikian juga
panggilan pada saudara-saudara mereka; (5) biras, suami atau isteri saudara isteri
sendiri. Misalnya Ahmad berbiras dengan Hamid, karena isteri Ahmad adalah
kakak kandung isteri Hamid. Kedua saudara itu dalam keadaan bersaudara kandung.
Dapat juga sebaliknya. (6) semerayan (semberayan), yaitu manantu saudara perempuan
dari mertua perempuan; (7) kemun atau anak kemun, yaitu anak laki-laki atau
perempuan dari saudara-saudar kita; (8) bundai, yaitu panggilan aluran ibu yang
bukan orang bangsawan; (9) bapak, kata asalnya pak, yang bererti ayah atau entu
(ertinya suci), dapat juga dipanggil abah; (10) emak, berasal dari kata mak, yang
bererti ibu atau bunda, yang melahirkan kita (embai); (11) abang, yang berasal dari
kata bak atau bah yang ertinya saudara tua laki-laki; (12) kakak, berasal dari kata kak,
yang berarsaudara tua perempuan; (13) adik, yang berasal dari kata dik, ertinya
saudara lelaki atau perempuan yang lebih muda; (14) empuan, ertinya sama dengan
atas masih tetap dipelihara dan dipertahankan. Namun demikian, sesuai dengan
Demikian pula halnya nama-nama Melayu dengan kosa kata kuno sudah jarang
dipengaruhi oleh filsafat dan pandangan dunia Islam yang juga bercampur dengan
filsafat dan pandangan hidup orang Melayu sebelum datangnya Islam. Kehadiran
ini termasuk ke dalam kehidupan orang-orang Melayu (Naquib, 1990:58). Filsafat Islam
ini telah menyatu dan bersenyawa dalam kosmologi Melayu (Taib, 1993:125). Walau
demikian, kepercayaan tradisional tentang alam nyata, alam gaib, dan berbagai
fenomena kehidupan tetap kuat melekat dalam konsep budaya orang Melayu (Ali,
1985:57).
Salah satu aspek kosmologi Melayu adalah konsep tentang alam. Menurut
pemahaman orang Melayu di Aras Kabu, alam semesta bercirikan peraturan yang
bersifat alamiah. Semua makhluk dan benda-benda dalam dunia ini, termasuk manusia,
etnik Melayu menunjukkan hal tersebut dalam banyak pribahasa, di antaranya adalah
adat air membasahi, adat murai berkicau, adat kambing mengembik, adat api panas, adat
muda menanggung rindu, adat tua mengandung ragam, dan sejenisnya. Jika makhluk,
benda, atau manusia menyalahi fungsi keberadaannya, hal ini akan mengganggu
berdasarkan kepada norma adat yang telah digariskan Tuhan secara alamiah, menurut
mencari nafkah untuk memenuhi keperluan dasar keluarganya. Hal ini dilatarbelakangi
oleh norma bahwa seorang lelaki yang telah berumah tangga sesuai dengan fitrahnya
nafkah haruslah memiliki tenbaga kuat, apalagi yang bekerja sebagai nelayan di laut.
Kaum laki-laki bertanggungjawab sebagai kepala keluarga dan bukan istrinya. Ini sesuai
dengan ajarran Islam, bahw kaum laki-laki adalah sebagai imam dan memimpin
keluarga. Wanita adalah sebagai mitra laki-laki, melahirkan anak, dan mengurus rumah
tangganya. Maka sejak kecil anak-anak Melayu tugas, kewajiban, dan haknya adalah
Dalam konteks nelayan di Aras Kabu, dalam rangka menangkap ikan di laut,
kepada alam seperti pasang dan surutnya air, siklus bulan, dan tanda-tanda alam yang
ditentukan Tuhan. Orang Melayu lebih menyukai alat penangkap ikan yang bersifat
menunggu ikan seperti jaring, lukah, dan pancing berdasarkan sifat alamiah ikan,
maka para nelayan ini akan membuang kembali ke laut, karena menurut konsep budaya
Melayu, akan tiba saatnya ikan tersebut akan besar untuk siap ditangkap.
Orang Melayu juga percaya bahwa dalam alam semesta ciptaan Tuhan ini, selain
alam nyata, ada pula alam gaib. Penghuni alam nyata bisa dilihat, dipegang, dan kasat
mata. Sebaliknya, alam gaib dihuni oleh makhluk gaib yang memiliki kekuasaan
mata kasar manusia, tetapi dapat menimbulkan kebaikan atau keburukan kepada
manusia. Di Aras Kabu kekuasaan supernatural atau makhluk gaib ini dikenal sebagai
berbagai kuasa luar biasa ini merupakan refleksi orang Melayu sebagai manusia sebagai
kepercayaan secara tradisional yaitu alam semesta ini terdiri dari alam nyata dan alam
gaib. Alam itu terdiri dari wujud seperti tanah, gunung, air, awan, api, air, gas, danau,
tanjung, teluk, manusia, hewan, tumbuhan, jasad renik, dan lain-lainnya. Oleh karena
itu, seorang Melayu harus mendudukkan dirinya secara seimbang dalam sistem
kosmologi ini.
Bagi orang Melayu, mereka percaya bahwa jika terjadi perubahan di alam nyata
atau (alam fana) ini, maka itu adalah manifestasi dari perubahan secara keseluruhannya
termasuk di alam gaib. Fenomena alam itu bisa berupa awan berarak, ribut petir, guruh,
air pasang, gelombang besar, cuaca ekstrim, dan lain-lainnya. Di sisi lain, orang Melayu
menggunakan alam nyata untuk memenuhi ekonomi atau kebutuhan hidupnya, seperti
komunitas nelayan di Aras Kabu yang menangkap berbagai jenis ikan d laut Selat
Melaka. Mereka menjaga keseimbangan alam ini dengan cara mengambil secukupnya
kesalahan memanfaatkan sumber daya alam seperti menangkap ikan secara semena-
mena oleh pukat harimau, dapat menimbulkan bencana kepada keidupan manusia.
Demikian pula jika manusia mengeksploitasi kehidupan di darat dengan cara menebang
hutan dan memanfaatkannya untuk nemenuhi keserakahan, maka tunggu saja alam itu
Selain itu, sebagaimana diketahui bahwa orang Melayu adalah orang yang
beragama Islam, maka Islam memberikan dasar-dasar filsafat dalam memandang alam,
yang terdiri darti alam dunia dan akhirat (Suwardi, 1991:37). Alam dunia ini tempat
manusia hidup dan alam akhirat yang abadi adalah tempat manusia setelah meninggal
dunia. Oleh karena itu, masyarakat Melayu selalu melakukan kenduri (jamu sukut)
arwah tujuh hari setelah seseorang meninggal dunia, sambil berdoa dan membacakan
bukanlah satu-satunya mantra yang tetap diamalkan. Ada berbagai jenis mantra lagi
yang terdapat dalam masyarakat Melayu ini, seperti mantra merawat tulang patah,
mantra ritual tolak bala, mantra puja pantai dan tolak bala, mantra senam Melayu,
mantra jamu laut, dan lain-lainnya. Berikut ini dideskripsikan beberapa contoh mantra
Mantra dikenal sebagai jampi, serapah, puja, cuca, tangkal, dan sebagainya.
Mantra dituturkan oleh seorang pawang atau bomohh atau dukun dan dipercayai dapat
(Harun Mat Piah, 1989). Isi mantra mengandung kata-kata pujian yang mengandungi
mengghalau makhluk halus, mencari pemanis, pengasih, dan turut digunakan pada
upacara-upacara adat istiadat (Mutiara Sastera Melayu, 2003:361). Di bawah ini dimuat
mantra Merawat Tulang Patah yang dijadikan media komunikasi untuk memohon
Bismillahirahmanirrahim,
Selain itu, mantra dalam budaya Melayu dapat juga digunakan untuk tujuan
utama memperkuat fisik manusia. Kedudukan ketahanan dan kekuatan fisik masing-
masing tokoh itu dalam kehidupan anggota masyarakat dianggap mampu menguasai
Katimah Panglima Merah, Datuk Panglima Babu Rahman, dan Babu Rahim
Laailaahaillallah,
Muhammadarrasuuulullaah.
Bismillahirrahmanirrahim
Berkat Laillahaillallah
Berkat Muhammadarasullullah.
Bismi’llahi’l-Rahmani’l-Rahim
Jibril
Mikail
Israfil
Izrail
Bismi’llahi’l-Rahmani’l-Rahim
Kesadaran dalam membentuk perilaku menjaga alam sekitar tidak hanya dalam masa-
masa tertentu, melainkan untuk selamanya. Kesadaran itu dalam teks mantra ritual puja
gerak senam Melayu itu adalah seperti yang diperturunkan berikut ini. (Diperoleh dari
apa yang diturunkan oleh Tok Sokbi kepada peneliti yang juga bertindak sebagai
Bismillahirrahmanirrahiim
Mantra di atas terdiri dari lima ayat yang saling kait-berkait makna dan susunan
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ayat ini umum digunakan dalam semua doa di
galam kegiatan mengikut ajaran Islam. Dalam ayat ini terkandung bahwa apa yang akan
diperbuat dan dilakukan adalah atas nama Allah. Apa saja yang manusia lakukan wajib
menyerahkannya karena Allah, bukan kepada yang lain. Kata arrahmanirrahiim pula
merupakan dua sifat Allah kepada makhluknya. Ia Maha Pengasih dan Allah Maha
Penyayang terhadap semua makhluknya tidak terkecuali bagi pelaksana mantra melaut
Melayu ini.
Ayat berikut yaitu Ya Ali, Fatimah Ali, Abu Bakar bangkitkan tunggul yang
tunggal, maknanya bahwa apa yang dilakukan menerusi mantra Melayu ini adalah agar
si pesenam menjadi kuat jasmani dan rohani sebagaimana kekuatan dan kesehatan Ali
Begitu juga ucapan kepada Khalifah pertama di era khulagaurrasyiddin, yaitu Abu
Bakar ibnu Khattab. Ketika pimpinan Islam ini menjadi simbol akan kekuatan,
kebenaran, dan keadilan. Si pesenam memohon kepada Allah seperti halnya Ali,
Fatimah, dan Abu Bakar tolong dikuatkan tunggul yang tunggal. Secara semiotika,
tunggul yang tunggal maknanya adalah sebagai simbol zakar lelaki. Tunggul adalah
bekas pohon yang telah tumbang dan tinggal sisa-sisa saja. Bahwa zakar yang akan
disenamkan adalah seperti tunggul itu perlu dibela dan dibina. Tunggul yang tunggal
maknanya adalah bahwa kalau lelaki haruslah bersifat tulen dan tunggal sebagai lelaki
bukan bersifat mendua, sedikit kewanita-wanitaan. Ini yang dimaksudkan oleh ayat
kedua.
Ayat ketiga yaitu Uratku kerabat tulangku, urat Muhammad di dalam tubuhku.
Maknanya adalah bahwa urat si pesenam adalah bahagian yang tidak terpisahkan dari
tulang manusia itu. Kemudian dipertegas bahwa urat Muhammad di dalam tubuhku.
Maksud ayat ini adalah bahwa si pesenam adalah seorang Islam, umat Nabi
Muhammad, jadi ia bermohon kepada Allah bangkitkanlah kesedia kala agar kuat fisik
si pesenam, terutamanya di bahagian tulang dan urat (otot). Ayar ini adalah indeks
bahwa si pesenam telah mengislamkan dirinya sebagai umat Muhammad. Bahwa urat
Ayat keempat yaitu Pan besi aku membaca doa si putar Ali. Maknanya adalah
si pesenam memohon atau membaca doa agar dirinya dikuatkan seperti halnya benda
Allah besi yang kuat. Kekuatan ini kembali lagi seperti kuatnya Saidina Ali. Kata pan
dalam bahasa Melayu Sumatera tara maknanya adalah sebagai partikel yang
menguatkan, sebagaimana halnya pada bahasa Melayu Betawi. Misalnya kata pan aku
yang mengajarinya. Artinya sama dengan Tentu saja aku yang mengajarinya. Makna
besi. Doa si utar Ali maknanya adalah doa yang berkaitan dengan Saidina Ali, biasanya
dalam Islam adalah doa untuk kekuatan fisik. Ali adalah ikon dari keperkasaan, baik
untuk perang jihad maupun untuk berbagai keperluan hidup di dunia yang memerlukan
kekuatan seperti mengangkat benda berat, memikul beban, mengangkat air, melakukan
Ayat kelima Berkat Laa ilaaha ilaallah, maknanya adalah semua aktivitas
tersebut akan dikabulkan oleh Sang Khalik jika Ia meredai apa yang kita lakukan.
Dalam hal ini, mantra melaut untuk memperbaiki urat dan tulang agat kuat, dan
akhirnya kuat untuk melakukan hubungan suami isteri. Ini boleh terwujud kalau Allah
memberikan izin. Laa ilaaha ilaallah itu sendiri merupakan bahagian dari ayat
muslim. Pengakuan atau syahadat umat Islam adalah Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Ini adalah
bahagian dari rukun Islam yang pertama. Yang kemudian selepas itu harus disertai
dengan empat rukun lainnya, yaitu mengerajkan shalat, melakukan puasa, menunaikan
zakat, dan pergi haji bagi yang mampu. Itulah inti dari mantra senam Melayu yang
Mantra jamu laut adalah mantra yang diucapkan oleh bomoh (dukun) Melayu
ketika mengadakan ritual jamu laut. Adapun ritual jamu laut ini adalah berupa
keseimbangan alam dengan penguasa gaib di laut, agar para nelayan memperoleh ikan
yang banyak dan direstui segala aktvitasnya di laut. Adapun mantra jamu laut yang
penulis peroleh dari informan kunci di Desa Aras Kabu adalah sebagai berikut.
Bismillahirrahmanirrahim
Panggillah kawan-kawanmu
dalam kebudayaan Melayu Aras Kabu. Di antaranya adalah mantra jamu sampan, jamu
perahu, mantra pengasih, mantra membuat pintar, mantra pemanis, mantra kekuatan,
dan lain-lain. dengan demikian, mantra merupakan bahagian kebudayaan yang penting
Mantra melaut adalah hasil dari kebudayaan masyarakat Melayu yang bekerja
sebagai nelayan, yang menangkap ikan di laut. Bisa dikatakan bahwa mantra melaut,
termasuk juga mantra-mantra seperti jamu laut, mantra jamu sampan, sinandong, dan
lain-lainnya adalah hasil dari kebudayaan masyarakat maritim yang juga sebahagiannya
penangkapan ikan di laut. Dalam hal ini mereka kemudian membentuk organisasi
nelayan baik secara formal maupun informal. Mereka sesama nelayan juga merasa
senasib dan sepenanggungan. Menurut pengamatan penulis, antara nelayan ini terjalin
Secara finansial, para nelayan diberi kredit usaha oleh pemerintah Republik
Indonesia melalui perbankan dengan sistem kredit lunak. Mereka diberi pinjaman
dengan agunan berupa sampan atay tanah dan lainnya, yang kemudian dicicil per bulan
dengan bunga bank yang relatif lunak. Ini bertujuan untuk membantu taraf hidup
nelayan dengan cara membeli perahu atau mesin boat, dan lainnya agar tangkapan lebih
Suku Melayu di Aras Kabu ini, dalam rangka menangkap ikan-ikan di laut
Adapun alat-alat tradisional untuk menangkap ikan, yang diwarisi oleh para
nelayan di Desa Aras Kabu ini adalah: jarring tancap, ambai, jarring apolo, langgei
laying, sondong, lukah (bubu), tangkul kepiting, pancing rawai, pukat jerut, dan lain-
lainnya. Menurut penjelasan para informan (narasumber) setiap alat penagkap ikan di
Jaring tancap yang disebut juga dengan insang hanyut, karena jaring ini khusus
digunakan untuk menjerang belakang lobang penutup insang ikan. Pada saat operasi
penangkapan dijalankan jaring tancap ini dihanyutkan searah dengan arus air laut. Di
Aras Kabu dan lainnya di pesisir Deli Serdang ada dua jenis jaring insang hanyut yaitu
jaring satu lapis dan jaring tiga lapis. Jaring selapis adalh jaring tancap yang dibuat dari
bahan tali tangsi atau tali kail, disebut juga benang atom. jaring ini membentuk segi
enpat, panjangnya sekitar 40 meter, lebarnya tergantung dari jenis ikan yang akan
ditangkap. Begitu juga dengan luas mata jaringnya. Jika digunakan untuk menangkap
udang, maka jaring adalah satu sampai dua sentimeter dan untuk menangkap kepiting
Jaring apolo adalah jenis jaring hanyut yang terdiri dari tiga lapis. Dua dari
lapisan luar jaring ini mempunyai mata jaring yang kasar, yaitu sebesar empat sampai
sembilan sentimeter. Mata jaring pada lapisan sebelah dalam adalah setengah hingga
dua sentimeter. Oleh karena itu, ikan dan udang akan tersangkut pada jaring di sebelah
menangkap udang. Panjang jaring adalah sekitar 40 meter dengan lebar 1,5 meter.
Selanjutnya ambai adalah salah satu jenis alat penangkap ikan yang digunakan
para nelayan di kawasan ini yang dapat diklasifikasikan sebagai alat penghadang ikan.
Ambai berbentuk kantong yang divbuat dari benang atom atau kail. Mulutnya berukuran
3 kali 5 meter, serta panjangnya sekitar 7 meter. Kedua sisi mulut ambai terdapat
kudang, yaitu alat untuk menyangkutkan ambai pada tiangnya, yang biasanya terbuat
dari kayu pinang atayu kayu nibung. Tiang ini dipacakkan pada tepian pantai dan paluh.
Langgei layang adalah jaring dorong, yang cara bekerjanya digunakan dengan
operasionalnya lenggei layang ini menggunakan takal atau katrol yang dijalankan
dengan mesin pada boat. Tangkai lanngei layang biasanya dibuat dari kayu atau bambu
bersilang yang berukuran enam sampai tujuh meter. bagian mulut lanngei berbentuk
segitiga sama sisi yang panjang setiap sisinya adalah lima meter.
Di sisi lain, sondong mertupakan alat penangkap ikan yang banyak digunakan
oleh nelayan pantai di Nusantara. Di Borneo (Kalimantan) alat ini disebut sangkut, di
Sulawesi anggo, di Ambon tanggo. Cara penggunaan alat ini tidak memerlukan boat,
karena nelayan bisa menolaknya sendiri. Sondong memiliki bingkai yang terbuat dari
Lukah atau bubu adalah alat penangkap ikan yang dikategorikan sebagai
tersebut. Ada yang berbentuk sangkar, gendang, segi tiga, dan bulat. Di pantai Deli
Serdang umumnya bubu ini berukuran 70 sampai 110 sentimeter panjangnya dan 30
sampai 70n sentimeter lebarnya. Lukah dibuat dari bambu yang dianyam sedemikian
Tangkut kepiting termasuk ke dalam kategori jenis jaring angkat. Alat ini dibuat
khusus untuk menangkap kepiting (ketam), terutama yang disebut oleh para nelayan
sebagai kepiting kelapa. Tangkul kepiting dibuat dari tali tangsi, dan mata jaringnya
berukuran empat samapi enam sentimeter. jaring tangkul kepiting ini berbentuk segi
empat, setiap sisinya berukuran setengah meter, diberi bingkai bambu atau rotan.
Alat lainnya yaitu pancang rawai adalah alat penangkap ikan yang dibuat dari
bahan dasar seutas tali kajar, yang anjangnya sekitar 100 meter. Pada setiap setenah
meter terdapat tali cabang, yang diikatkan mata pancing (kail) yang dilekati umpan,
berupa ikan kecil. mata kail yang ada pada rawai ini berjumlah 200 sampai 300 buah.
Salah satu ujung talinya diberi batu pemberat, sementara ujung tali yang satu lagi
Alat penangkap ikan pukat jerut, biasanya digunakan oleh para nelayan yang
menjadi pekerja di kapal pukat. Pukat jerut ini dikenal juga sebagai pukat cincin, karena
cincin yang dibuat dari tembaga. Bagian ini bisa ditarik atau dijerutkan untuk
membentuk lingkaran yang mampu mengurung kelompok ikan. Pukat jerut ini
adakalanya disebut juga dengan pukat langgar. Nama ini berasal dari waktu menangkap
ikan, jaring tersebut harus dilanggarkan kepada sekumpulan ikan, hingga ikan-ikan
ANALISIS SEMIOTIKA
MANTRA MELAUT
Bab V ini adalah bab ini yang secara rinci merupakan temuan penelitian. Analisis
yang dikerjakan mencakup (a) analisis semiotika pelaksanaan ritual mantra melaut, dan
(b) kemudian secara linguistik kebudayaan dianalisis pula secara khusus lirik mantra
melaut yang diucapkan oleh para nelayan, yang dipimpin oleh seorang nelayan ketua,
tetapi tidak mau disebut dengan bomoh. Seperti sudah disebutkan sebelumnya untuk
mengkaji mantra melaut dalam kebudayaan Melayu Aras Kabu digunakan teori semiotik
sosialnya Halliday yang disebut juga dengan Linguistik Sistemik Fungsional (LSF).
Selanjutnya untuk mengenalisis lirik mantra melaut yang diguanakan para nelayan
semiotika yang ditawarkan oleh Michael Riffaterre. Teori semiotika yang dikemukakannya
ini sering juga disebut dengan teori semiotika puisi. Sesuai dengan arahan Riffaterre, maka
pertama yait memahami makna mantra melaut secara linguistic. Kemudian kedua, penulis
utuh dan integral. Dengan cara kerja analisis seperti itu, maka akan didapatkan hasil
Untuk mempertajam analisis semiotik sosial dan lirik kajian ini juga dilengkapi
dengan analisis semiotikanya Peirce, yang memperhatikan tiga unsur dalam semiotika
yaitu: representamen (R), obejk (O), dan interpretan (I). Dengan mensintesiskan ketiga
multimodal Halliday, Kress, dan van Leeuwen (1996), Kress (2000) dan model Royce
(2007). Dapat dijelaskan dalam model tersebut terdapat tingkat ekstravisual dan visual
ritual mantra melaut. Di sisi lain, tingkat ekstravisual ritual mantra melaut terdiri dari
konteks budaya dan konteks situasi mantra melaut. Pada tingkat visual ritual mantra melaut
dipdapati makna semantik visual, sistem desain (gramatika) visual, dan simbologi
Secara konteks budaya, struktur ekstravisual imaji mantra melaut terdiri atas tiga
(3) struktur generik yaitu: (1) struktur persiapan, (2) struktur pembacaan mantra, dan (3)
struktur setelah pembacaan mantra dan siap-siap pergi melaut. Deskripsinya adalah sebagai
berikut.
Adapun struktur imaji sebelum acara pembacaan mantra melaut dimulai, pemimpin
upacara dan dua nelayan lain mempersiapkan semua kebutuhan yang diperlukan selama
melaut di lautan lepas (Selat Melaka), yaitu: makanan seperti beras, garam, gula, kopi, teh,
air tawar, dan lain-lainnya. Ini adalah bahagian dari persiapan untuk memenuhi kebutuhan
pokok makan dan minum selama melaut nantinya. bahan-bahan keperluan ini dibeli di
kedai di Desa Aras Kabu ada juga yang dibeli di Desa Pantai Labu sebagai tempat
Dalam rangka melaksanakan upacara mantra melaut, yang paling utama adalah
pembacaan mantra di atas sampan yang dipimpin oleh pemimpin nelayan, dan diikuti oleh
dua nelayan lainnya. Mantra yang diucapkan ini juga berfungsi sebagai doa, agar nanti
selamat melaut dan mendapatkan hasil tangkapan seperti yang diharapkan, dan akhirnya
dalam kebudayaan nelayan suku Melayu di Aras Kabu merupakan kearifan lokal yang
dioleh dari konsep adat berseandikan syarak, dan syarakak bersendikan kitabullah. Artinya
terjadi harmonisasi secara akulturasi antara kebudayaan Melayu dan agama Islam.
Figura 5.1:
Imaji Visual dan Struktur Generik Ritual Mantra Melaut
mantra, ketiga orang nelayan tersebut istirahat, sambil memandang ke laut lepas. Mereka
tampak seperti memiliki kekuatan rohani dan jasmani untuk siap-siap menuju ke lautan
lepas.
Di dalam konteks situasi mantar melaut, imaji visual mengungkapkan entitas dan
mengungkapkan setiap gerak dan aktivitas secara berurutan dan bertautan. Berdasarkan
(a) Medan
rangkaian aktivitas dipengaruhi oleh masyarakat, benda, proses, tempat, dan kualitas
(Sinar, 2008: 56). Berkaitan dengan data konteks situasi, maka medan pada penelitian ini
adalah ritual mantra melaut yang dimiliki oleh masyarakat suku Melayu di Aras Kabu. Ada
dua referensi (referents menurut Martin dan Rose, 2003:324) yang bisa diungkapkan
sebagai medan imaji visual yaitu (a) doa kepada Tuhan agar diberi perlindungan selama
melaut, (b) bentuk menjaga hubungan antara alam yaitu alam manusia dan alam gaib yang
menguasai lautan.
Referensi menggambarkan imaji benda, proses, tempat, dan kualitas ritual mantra
melaut yang dikaitkan dengan sistem religi dalam mengawali sebuah ritual dalam tradisi
Melayu di Aras Kabu. Mantra melaut yang diucapkan para nelayan ini dimulai dengan
Qur’an, dan kemudian berkomunikasi dengan makhluk-makhluk gaib agar diijinkan melaut
(b) Pelibat
situasi dan berhubungan dengan siapa yang berperan, status dan peranan mereka, seluruh
jenis ucapan yang mereka lakukan dalam dialog, dan ikatan hubungan sosial di mana
2. Nelayan 1
3. Nelauan 2
(bisa ditambah dengan nelayan-nelayan lain sesuai dengan kehendak bersama, mau
(c) Sarana
Sarana menurut Sinar (2008:61) berkaitan erat dengan kegiatan menyalurkan komunikasi
yang dilakukan dengan bentuk informasi. Berkaitan dengan data visual, sarana pada ritual
mantra melaut nelayan Aras Kabu ini terdiri dari dua bagian, yaitu lisan dan visual. Sarana
lisan yang terdapat pada ritual mantra melaut berupa mantra, sedangkan sarana visualnya
berupa seluruh aspek visual yang terdapat pada ritual mantra melaut tersebut. Contoh :
jarring tancap, ambai, jarring apolo, langgei laying, sondong, lukah (bubu), tangkul
Semantik dan gramatika visual mengandungi sistem makna dan sistem desain
Pemimpin nelayan adalah orang yang bertundak sebagai pemimpin nelayan baik
sebelum melaut, ketika melaut, dan selepas melaut. Pemimpin nelayan ini adalah
orang yang juga memimpin ritual mantra melaut. Pemimpin ini biasanya
keselamatan ritual dan jalannya penangkapan ikan di laut dengan meminta ridha Allah
SWT. Pemimpin nelayan ini menerima mantra ritual dalam tradisi lisan yang
(b) Nelayan 1
Nelayan ini adalah anggota dari pemimpin nelayan yang tugasnya adalah bekerja
bersama nelayan-nelayan lain dalam satu sampan. Ia dalam konteks ritual mantra
melaut adalah mengikuti upacara tersebut dan selalu mengikuti mantra yang diucapkan
oleh pemimpin nelayan. Nelayan ini nantinya di laut akan menangkap ikan secara
(c) Nelayan 2
Sama dengan nelayan 1 maka nelayan 2 ini tugasnya adalah untuk bekerja bersama-
sama nelayan lain dan pemimpin nelayan dalam mencari ikan di laut. Ia juga
mengikuti upacara mantra melaut yang dipimpin oleh pemimpin nelayan. Dalam
konteks ritual ini nelayan 2 mengikuti mantra yang diucapkan pemimpin nelayan dan
mengamini mantra tersebut yang juga berfungsi sebagau doa. Nelayan ini nantinya
akan menangkap ikan di laut dengan menggunakan peralatan penangkapan ikan yang
Penting untuk diketahui bahwa mantra melaut adalah agak berbeda dengan puisi
pada umumnya yang selalu menggunakan ketidaklangsungan ekspresi sebagai salah satu
gaya penyampaian verbal. Mantra ini lebih bersifat ekspresi langsung kepada Allah dan
makhluk gaib di laut. Menurut teori seiotika Riffaterre seperti yang sudah diuraikan
Dalam mantra melaut ini ketidaklangsungan ekspresi itu dapat dilihat pada lirik
berikut ini. (a) Untuk ketidaklangsungan ekspresi berupa penggantian arti adalah pada
Kata kuala pada larik di atas sebenarnya adalah menggantikan objek yaitu mambang atau
makhluk gaib yang berada di kuala tempat nelayan beridir, dan sedang memabcakan
mantra. Kuala bukanlah dimaksud sebagai daratan yang bersempadan langsung dengan
laut, tepatnya tempat tangkahan, tetapi lebih mengarah kepada makna makhluk gaib yang
ada di kuala.
(b) Ketidaklangsungan ekspresi berupa penciptaan makna, ada pada larik mantra
berikut ini.
Penciptaan makna dari larik mantra di atas adalah sebenarnya datnglah wahai Allah
melalui Nabi Mu yaitu Nabi Khaidir untuk memberkati nelayan dalam melakukan aktivitas
menangkap ikan di laut. Jadi maknanya tidak hanya sekedar kedatangan Nabi Allah
5.2.2.1 Heuristik
Untuk dapat memberi makna secara semiotika, pertama kali dapat dilakukan
(Riffaterre, 1978:5-6). Konsep ini akan diterapkan sebagai langkah awal dalam usaha
untuk makna yang terkandung dalam mantra melaut suku Melayu Aras Kabu.
melaut dalam kebudayaan Melayu Aras Kabu itu berasal dari para informan sebagai
berikut: (a) mantra melaut (I) disajikan oleh Haji Amiruddin; (b) mantra melaut (II) oleh
Tok Sokbi; (c) mantra melaut (III) oleh Basyaruddin; (d) mantra melaut (IV) oleh Alang
Adapun selengkapnya lirik atau teks mantra yang penulis dapatkan di lapangan,
yaitu yang diucapkan oleh kelima informan kunci tersebut adalah seperti berikut ini.
Mantra ini dikumpulkan di lapangan dari bulan Agustus sampai Desember 2012. Karena
secara umum, mantra melaut yang disajikan memiliki kesamaan yang besar, maka analisis
lirik mantra akan difokuskan kepada satu mantra saja, mantra melaut (I) yang disajikan
oleh Haji Amiruddin pada tanggal 12 Oktober 2012, di daerah tangkahan di Desa Pantai
Auzubillahiminas syaithonirrajim
Bismillahi rahmanirrahim
Alfatihah
Arrahmanirrahim
Maliki yaumiddin
Iyakanakbudu waiyakanastain
Waladhallin Amiin
Muhammadarrasulullah
Aaa ...
Bismillahi rahmanirrahim
Alfatihah
Arrahmanirrahim
Maliki yaumiddin
Iyakanakbudu waiyakanastain
Ihdinassirathal mustaqim
Waladhallin Amiin
Muhammadarrasulullah
Aaa ...
Oleh: Basyaruddin
Auzubillahiminas syaithonirrajim
Bismillahi rahmanirrahim
Arrahmanirrahim
Iyakanakbudu waiyakanastain
Ihdinassirathal mustaqim
Waladhallin Amiin
Muhammadarrasulullah
Aaa ...
Bismillahi rahmanirrahim
Alfatihah ...
Arrahmanirrahim
Maliki yaumiddin
Iyakanakbudu waiyakanastain
Ihdinassirathal mustaqim
Waladhallin Amiin
Muhammadarrasulullah
Aaa ...
Oleh: Buyung
Auzubillahiminas syaithonirrajim
Bismillahi rahmanirrahim
Arrahmanirrahim
Maliki yaumiddin
Iyakanakbudu waiyakanastain
Ihdinassirathal mustaqim
Waladhallin Amiin
Muhammadarrasulullah
Aaa ...
Secara struktural kelima mantra melaut tersebut di atas terdiri dari kata-kata yang
berasal dari Al-Qur’an dan juga shalawat (pujian) kepada Nabi Muhammad SAW yaitu
dalam bahasa Arab. Diteruskan dengan kata-kata yang berasal dari bahasa Melayu.
Kemudian pada bahagian akhir ditutup dengan kata-kata dalam bahasa Arab. Menurut
penjelasan Haji Amiruddin, mantra ini bersumber pada budaya Melayu yang berdasar
kepada ajaran-ajaran agama Islam. Ini sesuai pula dengan jawaban beliau dalam
menjelaskan sumber mantra Melayu umumnya berasal dari Al-Qur’an, yang kemudian
diterapkan dalam konteks peradaban Melayu. Beliau sendiri menerima mantra melaut dan
mantra-mantra Melayu lainnya dari seorang gurunya yang berasal dari Malaysia yang
bernama Encik Hishamuddin. Ketika penulis tanyakan apakah mantra tersebut tidak
bertentangan dengan akidah Islam, ia menjawab justru mantra ini adalah berunsur
kebudayaan Islam, yang diselaraskan dengan kebudayaan Alam Melayu. Adapun struktur
lirik mantra melaut ini dapat digambarkan seperti pada bagan berikut ini.
Secara heuristik, kata-kata yang digunakan di dalam mantra melaut ini memiliki
arti-artinya secara harfiah, yang dapat diketahui oleh para nelayan walau disampaikan
secara lisan. Arti kata-kata yang terkandung di dalam mantra ini di antaranya adalah
sebagai berikut.
(7) Kuala artinya adalah tempat di tepi pantai sebagai pertemuan sungai dan laut,
(10) Sunnah adalah serapan darai bahasa Arab yang artinya adalah hukum Tuhan,
Kata-kata penting ini kemudian dibentuk dalam larik-larik atau baris yang kemudian
memiliki makna secara kontekstual, dan menjadi integral dalam konteks kebudayaan
5.2.2.2 Hermeneutik
langsung dari sistem kosmologi Melayu, yang mendudukkan posisi nelayan sebagai
makhluk ciptaan Allah yang percaya dengan adanya alam gaib penunggu laut, yang perlu
gaib ini dan mengambil hasil laut tidak sembarangan dan tidak mengeksploitasinya secara
berlebihan.
Adapun makna hermeneutik dari mantra melaut yang diucapkan oleh para nelayan
dari godaan setan yang terkutuk. Kalimat ini adalah kalimat yang umum di dalam
melakukan doa pada bahagian awal adalah sebagai manusia yang selalu berlindung
kepada Allah agar dijauhi oleh godaan setan yang telah dilaknat Allah sejak
diciptakan Nabi Adam oleh Allah. Setan adalah makhluk Allah juga yang ketika
diperintah oleh Allah untuk sujud kepada Nabi Adam tidak mau, Ini tercermin di
kepada Adam. Sejak saat itu maka setan akan menggoda anak cucu Adam, untuk
melanggar perintah Allah dan menjadi penghuni neraka, serta takluk kepada setan.
Jadi inti dari baris ini adalah setiap muslim dalam melakukan doa kepada Allah
(2) Bismillahi rahmanirrahim, baris ini memiliki makna Dengan Nama Allah Yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ayat ini adalah ayat penerus
Auzubillahiminas syaithonirrajim. Dalam doa-doa umat Islam kedua ayat ini selalu
menjadi satu kesatuan di bahagian awalnya. Kata Maha Pengasih dan Maha
Penyayang adalah bahagian dari asma’ul husna (nama-nama dan sifat Allah).
Bahwa sebagai Tuhan pencipta alam semesta, Allah itu memiliki sifat pengasih dan
penyayang. Bahkan seorang hamba yang telah banyak melakukan dosa sekali pun
akan mengampuninya. Sifat pengasih dan penyayang Allah ini tiada batasnya,
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia
dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan
Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang)
melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu
terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia
(3) Allahumma shali ala saidina Muhammad, artinya adalah semoga keselamatan bagi
Nabi Muhammad. Ayat ini lazim disebut pula dengan shalawat, yaitu doa kepada
Allah semoga Nabi Muhammad diberi keselamatan oleh Allah. Walaupun pada
prinsipnya dalam ajaran Islam Nabi Muhammad pastilah selamat dan masuk surga,
tetapi umat Muhammad yaitu kaum muslimin dianjurkan untuk selalu membacakan
shalawat untuk Nabi itu. Tujuan utama dari shalawat kepada Nabi ini nanti adalah
akhirat ketika dosa dan pahala ditimbang oleh Allah. Selain itu shalawat ini adalah
menjadi sarana komunikasi antara setiap orang Islam dengan Nabi Muhammad
disempurnakan Allah.
(4) Wa ala ali syaidina Muhammad, artinya kesaelamatan juga untuk Nebi Muhammad
dan keturunannya. Ayat ini juga masih sebagai rangkaian ayat sebelumnya yaitu
Setiap muslim biasanya dianjurkan untuk membacakan shalawat kepada Nabi dan
keturunannya. Artinya adalah bahwa Nabi sebagai Rasul Ulul Azmi (pilihan),
semoga diberi keselamatan oleh Allah beserta keturunannya. Di sini penting untuk
melihat diri seseorang itu keturunan siapa dalam konteks yang lebih luas.
(5) Alfatihah, adalah salah satu surat dalam Al-Qur’an yang disbut juga sebagai
ummul Qur’an, atau induk Al-Qur’an. Al-Fatihah ini selalu dibacakan dalam setiap
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Ayat ini menjelaskan tentang Allah
dan hubungannya dengan ciptaan-Nya yaitu alam semesta. Bahwa hanya Allah lah
yang menciptakan alam semesta ini. Alam semesta terdiri dari berbagai isinya
seperti: satelit, planet, bulan, bintang, rasi, galaksi, dan lainnya dalam alam
makrokosmos, juga alam dunia, yang terdiri dari berbagai jenis flora, fauna,
Bagaimanapun semua alam dan isinya ini adalah makhluk Tuhan. Oleh karena itu
seluruhnya wajib sujud dan tunduk kepada Tuhan yang menciptakannya. Ayat ini
juga memiliki makna religi bahwa semua makhluk hendaknya mengucapkan puji-
pujian senantiasa kepada Allah. Dalam konteks ajaran Islam, puji-pujian ini disebut
secara umum sebagai zikir. Adapun jenis-jenis zikir itu di antaranya adalah tasbih
ilaha ilallah, artinya Tiada Tuhan selain Allah), dan takbir (mengucapkan Allahu
Sama seperti pada baris kedua bahwa Allah itu adalah Maha Pengasih dan Maha
Penyayang kepada semua makhluk ciptaan-Nya. Allah itu kasih dan sayangnya
tidak terbatas. Bahkan lebih jauh Allah itu adalah Maha Pengampun dan Maha
termasuk eksistensi ciptaan, keperluan ciptaan, apa yang akan terjadi pada ciptaan,
ini menggambarkan bahwa dalam agama Islam diajarkan tentang adanya hari
pembalasan atau alam akhirat. Setelah manusia meninggalkan dunia ini, maka ia
akan mebnuju alam akhirat yang di dalamnya manusia akan kekal. Alam akhirat
ini terdiri dari surga dan neraka. Surga tempat orang yang memiliki amal yang baik
sedangkan neraka adalah tempat orang yang memiliki amal jahat semasa hidupnya
di dunia. Allah lah yang menguasai hari pembalasan atau kedudukan di alam
akhirat ini. Makna agama dalam hal ini adalah bahwa hanya Allah lah yang
menentukan seseorang itu masuk ke neraka atau ke surga, atau sementara di neraka,
hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya Engkaulah kami meminta
pertolongan. Ayat ini mengandung makna bahwa setiap muslim adalah orang yang
dan keduniawian lainnya. Selain itu, setiap muslim juga hanya meminta
pertolongan kepada Allah, bukan kepada yang lainnya. Dalam konteks nelayan di
Aras Kabu, maka mereka menyembah kepada Allah dan meminta pertolongan
kepada Allah, tetapi tetap menjaga hubungan dengan makhluk gaib penunggu laut,
yang juga adalah makhluk Allah. Adalah diharamkan untuk menyembah makhluk-
makhluk gaib ini. Apalagi manusia derajatnya lebih tinggi dari makhluk-makhluk
tersebut.
tunjukkan kami jalan yang lurus. Bahwa setiap umat Islam, selalu memohon
kepada Allah agar selalu ditunjukkan dan diarahkan ke jalan yang lurus. Maksud
dari jalan yang lurus di sini adalah jalan yang benar yang mesti dilalui seorang
manusia, agar selamat di dunia dan akhirat. Jalan yang lurus adalah jalan yang
wajib ditempuh manusia sesuai dengan arahan-arahan yang telah digariskan oleh
Allah kepada manusia. Jalan lurus atau jalan agama ini akan menjadikan manusia
sebagai makhluk yang dapat menerangi alam semesta, dan menjadi rahmat kepada
seluruh alam.
maknanya adalah (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada
mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat. Jalan lurus yang dimaksudkan adalah jalan (kehidupan) seperti yang telah
diarahkan oleh Allah kepada orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah
yaitu orang yang selalu berada di jalan Allah. Di dalam ayat ini didikotomikan
sebagai musuh yang terkutuk. Jadi pilihan yang memang wajib dipilih adalah
(12) Allahumma shali ala Saidina Muhammad, artinya adalah semoga keselamatan
untuk Nabi Muhammad. Ayat ini adalah ulangan dari larik ketiga. Ayat ini juga
(13) Wa ala ali Saidina Muhammad, artinya adalah semoga keselamatan bagi Nabi
(14) Allahumma shali ala Saidina Muhammad, ayat ini adalah ulangan larik ketiga
dan kedua belas, yang juga adalah shalawat kepada Nabi Muhammad,
(15) Wa ala ali Saidina Muhammad, ayat ini adalah ulangan larik keempat dan
ketiga belas, yang juga adalah ayat dari shalawat kepada Nabi Muhammad
SAW.
(16) Hai… kuala tempat berdiri, ayat atau baris ini adalah sampiran mantra yang
mengambil unsur pantun. Baris ini adalah menegaskan bahwa para nelayan yang
akan melaut selalu bermula di kawasan muara (pertemuan sungai dan laut).
(17) Bagai diarah bagai diiring, ayat ini adalah sampiran yang juga indeks dari baris
16, yaitu kuala tempat nelayan berdiri tersebut adalah kuala tempat mereke
seterusnya diiring ke lautan lepas mencari nafkah di lautan. (dalam hal ini adalah
lautan Selat Melaka). Dari kuala inilah mereka selanjutnya diarahkan dan
dibimbing.
Allah yaitu Khaidir Alaihissalam untuk hadir bersama nelayan tersebut dan
bahwa umat Islam meyakini Nabi Khaidiri ini masih hidup sampai sekarang dan
selalu juga menjaga para umat Islam dalam mencari kehidupannya di laut.
Artinya:
Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan
seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu
membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain?
Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar."
Dalam ajaran Islam Nabi Khaidir adalah Nabi Allah yang memiliki ilmu yang
cukup tinggi. Bahkan ketika Nabi Musa bertanya kepada Allah siapa yang
pandai di dunia ini, Allah menjawab Nabi Khaidir. Ketika Musa menjumpai
keduanya, ketika ada kapal yang bagus bentuknya dirusak oleh Nabi Khaidir,
musa bertanya, mengapa dirusak. Begitu juga ketika jumpa seorang anak kecil
lalu dibunuh Nabi Khaidir, Musa pun bertanya kenapa mesti dibunuh. Akhisrnya
Nabi Khaidiri menjawab, kenapa kapal yang bagus dirusak, agar tidak dirampok
oleh bajak laut. Kemudian kenapa anak-anak tersebut mesti dibunuh, karena
Khaidir adalah Nabi Allah yang selalu menolong manusia di tengah lautan
ketika mencari nafkah karena Allah. Nabi Khaidir juga dipercayai kawin dengan
salah satu putri di alam gaib di lautan. Nabi Khaidir juga Nabi yang memiliki
ilmu pengetahuan termasuk kelautan yang relatif luas, karena diperoleh langsung
(19) Ikan pun masuklah ke jaring. Ayat ini berupa pengharapan bahwa para nelayan
untuk masuk ke dalam perlatan penangkapan ikan nelayan yaitu berupa jaring.
Atau lebih jauh lagi ke alat-alat penangkap ikan lainnya yang diindekskan
(20) Hai… jembalang laut, ayat ini merujuk kepada alam gaib di lautan, yang dihuni
oleh salah satu jenis makhluknya yang disebut jembalang. Istilah ini adalah
“asli” dari bahasa Melayu yang menamakan makhluk gaib dengan jembalang.
Dalam persepsi Melayu, jembalang hidup di kuala-kuala, hulu, dan hilir sungai,
(21) Kami datang mencarilah ikan, ayat ini merujuk kepada aktivitas nelayan yang
sedang mencari ikan. Ikan tersebut adalah bahagian dari penghasilan ekonomi
ikan adalah kerjaan utama nelayan, dengan izin Allah SWT. Mereka bersyukur
diciptakan Tuhan sebagai seorang nelayan, yang tentu saja tetap harus mengikuti
nelayan tidak akan mengganggu apa yang menjadi hak dari makhluk gaib
jembalang tadi. Setiap makhluk memiliki hak dan kewajibannya sendiri. Oleh
karena itu, maka antara manusia dan jembalang haruslah menjaga hubungan
(23) Harap kita terus berkawan. Ayat ini memiliki makna bahwa antara nelayan
menyakiti. Nelayan sebagai manusia dengan derajat yang lebih ditinggikan ingin
selalu berkawan dengan jembalang makhluk gaib tersebut. Arti berkawan di sini
adalah tidak saling memusuhi tetapi berkawan sesuai dengan hakikatnya sesama
makhluk Allah di muka bumi ini. Atau lebih jauh berkawan dalam hal ini adalah
(24) Mambang Hitam, Mambang Kuning, Mambang Hijau. Ayat ini menyebutkan
bahwa makhluk gaib lainnya di laut, selain jembalang, adalah mambang. Lebih
diperinci lagi bahwa di dalam lautan tersebut ada Mambang Hitam, Mambang
Kuning, dan Mambang Hijau. Jenis-jenis mambang ini adalah menurut sistem
April 2012) bahwa mambang-mambang laut ini biasanya hidup di tali air, yaitu
tempat pertemuan antara air lautan besar dengan air yang ada di seputar pesisir
pantai, yang dapat dibedakan menurut warnanya, di lautan dalam lebih biru, di
(25) Ijinkan kami menangkap hasil laut. Ayat ini mengemukakan bahwa sang
nelayan meminta ijin kepada para mambang di laut untuk menangkap hasil laut,
terutama ikan. Dalam menangkap hasil laut ini, para nelayan perlu meminta ijin
Dengan meminta ijin seperti terdapat dalam mantra ini, maka diharapkan para
makhluk gaib di laut menghormati para nelayan, dan merasa saling menghormati
eksistensi masing-masing.
(26) Pada sunnah Allah kami pun ikut. Larik ini memiliki makna sosiobudaya bahwa
Allah sebagai Tuha Yang Maha Kuasa telah menciptakan alam beserta isinya,
tumbuhan juga. Misalnya ada ikan dengan berbagai spesiesnya, senangin, bawal,
kerapu, udang, kerang, dan lain-lain. Begitu juga di lautan ada juga tumbuhan
seperti lumut, rumput laut, jaring halus, dan lainnya. Semua ini ada mengikuti
(27) Menjaga semua yang telah dianut. Nelayan sebagai manusia dan makhluk Allah
ingin senantiasa menjaga semua yang telah diperintahkan Tuhan baik kepada
manusia atau jembalang dan mambang. Untuk itu jangan saling mengintervensi
dan merusak alam masing-masing. Perlu dijaga semua yang telah diperintahkan
(28) Semua itu berkat Laa ilaha ilallah, Muhammadarrasulullah. Ayat ini adalah
sebagai ekspresi bahwa semua yang dilakukan oleh para nelayan yang mencari
kehidupan ekonominya di laut sekali lagi adalah karena Allah tiada Tuhan selain
Dia, dan juga karena Muhammad itu Rasul (Pesuruh) Allah. Larik ini dalam
sistem teologi Islam lazim disebut syahadatain atau juga kalimah syahadat, yaitu
pengakuan tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu Rasul Allah.
(29) Aaa ... Ini adalah partikel untuk mengekspresikan mantra melaut tersebut
diperoleh beberapa kerifan lokal dalam teks mantar melaut melayu Aras Kabu ini. Kearifan
lokal adalah satu usaha untuk menemukan kebenaran yang didasarkan kepada fakta-fakta
atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam sebuah budaya masyarakat tertentu.
Dalam hal ini budaya masyarakat Melayu Aras Kabu Serdang. Kearifan lokal lebih jauh
juga merupakan wujud prilaku atau pikiran-pikiran manusia pada masyarakat tertentu
mengeskpresikan pikiran-pikiran manusia, kearifan lokal juga merupakan suatu alat yang
menjaga dan melestarikan alam dan lingkungan sekitar yang merupakan urat nadi
kehidupan mereka. Dalam hal ini adalah urat nadi kehidupan masyarakat nelayan di Aras
Kabu.
Seiring dengan pesat dan derasnya perkembangan zaman di era globalisasi ini, yang
mencakup dan perubahan religi, ekonomi, sosial, dan budaya, masyarakat suku Melayu
Aras Kabu Serdang masih memperlihatkan kuatnya kearifan lokal yang mereka miliki
demi mempertahankan identitas diri, religi, kehidupan sosial, lingkungan, pelestarian, dan
inovasi budaya. Etnik Melayu Aras Kabu Serdang ini percaya bahwa pelestarian kearifan
lokal akan dapat menjaga warisan hutan, tanah, sungai, laut dan budaya masyarakat suku
Melayu dalam konteks masa kini. Usaha-usaha untuk memahami konsep kearifan lokal
masyarakat suku Melayu yang berhubungan dengan lingkungan dan tata hubungan sosial
budaya masyarakat suku Melayu Aras Kabu tersebut. Berikut ini akan diuraikan konsep
Gaib
Pada kebudayaan suku Melayu yang berdasar kepada ajaran agama Islam, maka
mereka mencoba menerapkan ajaran Islam ini dalam konteks memaknai hubungan antara
manusia, alam, dan makhluk gaib. Manusia adalah bahagian dari alam. Manusia itu juga
kadang disebut dengan alam diri. Manusia harus menjaga keharmonisan hubungannya
dengan alam dan segala isi yang diciptakan Tuhan termasuk makhluk gaib (tidak kasat
mata). Dalam hal ini makhluk gaib di lautan tersebut disebut dengan jembalang dan
mambang.
Makhluk gaib yang di dalam ajaran Islam salah satunya disebut jin memang wujud
dan perlu dijaga hubungannya dengan manusia. Oleh karena itu bagi seorang suku Melayu
dilarang merusak alam. Merusak alam juga akan berakibat akan merusakkan tatanan dunia
gaib, yang dihuni oleh para jin. Oleh karena itu jangan sekali-kali merusak alam, termasuk
di dalamnya lautan yang perlu dilestarikan keberadaannya. Begitu juga dengan berbagai
Dalam konsep kearofan lokal suku Melayu Aras Kabu, lingkungan merupakan urat
nadi keberlangsungan hidup mereka. Mereka tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya,
karena semua yang mereka butuhkan telah disediakan oleh lingkungannya. Sebagai
masyarakat nelayan dan berkebun, masyarakat suku Melayu memiliki hubungan yang
Hubungan antara manusia, alam, dan makhluk gaib ini menjadi bahagian dari
hukum alam yang telah ditentukan Tuhan, yang haris dijaga keberadaannya masing-
masing. Jangan saling menghabisi dan menyakiti, jaga keseimbangan ekologis. Manusia
adalah pemimpin di atas dunia. Di tangan manusia alam ini bisa rusak atau di tangan
Dalam persepsi budaya masyarakat Melayu Aras Kabu Serdang, mereka dalam
ritual mantra melaut ini memang memiliki kearifan lokal untuk mempertahankan dan
menunjukkan jati dirinya. Bahwa manusia adalah bahagian dari alam. Manusia perlu
menjaga hubungan yang harmonis dengan alam sekitar, baik yang tampak kasat mata
ataupun yang gaib. Dalam kebudayaan suku Melayu Aras Kabu, mereka mempercayai
adanya alam gaib yang dapat membantu manusia dalam berbagai hal, seperti mengobati
penyakit, menjaga rumah, menjaga lahan pertanian, membantu mencari ikan di laut, dan
lain-lainnya.
yang kuat. Di antaranya adalah bahwa orang Melayu adalah orang yang memiliki adat.
Semua hal berkaitan dengan adat, termasuk ketika melaut. Mereka menunjukkan
identitasnya sebagai masyarakat nelayan yang mempercayai adanya Tuhan yang senantiasa
akan menolong mereka baik ketika di daratan atau di lautan. Mereka pun selalu
kelestarian alam, mempercayai makhluk-makhluk lain ciptaan Allah selain manusia, orang
Melayu adalah rahmat kepada seluruh alam, bukan hanya untuk orang Melayu saja tetapi
juga orang lain yang bukan suku Melayu dan umat agama lain. Ini adalah identitas yang
Dua larik mantra melaut tersebut menunjukkan bahwa orang Melayu selalu taat kepada
hukum Tuhan, mematuhi segala yang diperintahkan Tuhan dan menjauhi yang dilarang
oleh Tuhan. Orang Melayu selalu menjaga harmonisasi baik kepada Tuhan maupun
berpangkal dari sistem nilai dan religi yang dianut suku Melayu dalam komunitasnya.
Ajaran agama dan kepercayaan masyarakat suku Melayu menjiwai dan memberi warna
serta mempengaruhi citra budayanya dalam wujud sikap dan perilaku terhadap tradisi dan
masyarakat untuk berperilaku yang serasi dan selaras dengan tradisinya, sehingga tercipta
Adapun kearifan lokal yang terkandung dalam setiap bait mantra melaut merupakan
sistem seluruh budaya daerah atau etnik yang sudah lama hidup dan berkembang pada
masyarakat suku Melayu. Mantra melaut suku Melayu Aras Kabu dapat dijadikan sebagai
salah satu bentuk kearifan lokal budaya masyarakatnya yang harus dipelihara dan
Pengembangan kearifan-kearifan lokal pada mantra ritual melaut yang relevan dan
kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu budaya masyarakat Melayu,
terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting
bagi identitas daerah itu sendiri. Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan
Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh masyarakat suku Melayu Aras Kabu,
dinilai dapat menjadi sebuah potensi kekayaan budaya daerah dan bahkan bisa menjadi
identitas diri bagi masyarakat suku Melayu. Kearifan masyarakat suku Melayu dalam
mengelola tradisi dan budayanya dapat disampaikan lewat media-media tradisional seperti
mitos, ritual, dan pesan-pesan leluhur, fabel, parabel, dongeng, legenda, tetapi
memperlihatkan tiga elemen kearifan budaya, yaitu sistem nilai, pengetahuan, dan religi.
Pada dadasrnya setiap manusia ingin hidup sempurna dan sejahtera lahir batin,
tidak terkecuali juga bagi masyarakat suku Melayu di Aras Kabu. Tuntutan zaman yang
membuat mereka harus lebih giat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.
Keanekaragaman tradisi dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat suku Melayu, bagi
mereka dapat menjadi nilai dan potensi untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.
Salah satu tradisi dan budaya yang memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan
Dengan tradisi mantra melaut ini, para nelayan percaya bahwa ia akan
mendapatkan ikan di laut. Mantra di sini berfungsi sebagai sarana komunikasi kepada
Tuhan, yang Maha Mengatur Rezeki. Jadi dengan dilakukannya ritual mantra melaut ini
menjadi motivasi dan sugesti untuk mencapai kehidupan perekonomian mereka lebih baik
lagi.
keseimbangan alam. Kemudian tetap menjaga harmoniasai antara manusia, alam, dan
Tuhan sebagai pencipta segalanya di alam ini. Dengan prinsip yang sedemikian rupa maka
sistem ekonomi yang dibangun nelayan Melayu adalah sistem ekonomi yang berdasar
kepada hukum alam yang diatur Tuhan, bukan sistem ekonomi liberal yang
Dari pembacaan heuristik dan hermeneutik tersebut, maka dalam konsep etnosains
Melayu di Aras Kabu, Kesultanan Serdang, Kabupaten Deli Serdang, maka secara abstrak
terdapat matriks dan model mantra melaut ini. Ini diperoleh setelah mendalami lirik
mantra melaut dan dikaitkan dalam konteks kebudayaan Melayu Serdang. Adapun matriks
dan model ini tidak terlepas dari wujud dan isi kebudayaan Melayu Serdang.
Menurut tafsiran penulis matriks dan model mantra melaut ini menjadi bahagian
yang integral dari budaya Melayu. Mantra melaut terkespresi dalam bentuk ritual dan
lautan, dalam hal ini Selat Melaka. Manusia Melayu adalah bahagian dari alam besar dan
alam kecil. Alam ini terdiri dari alam nyata (kasat mata) dan alam gaib, yang sesuai juga
dengan ajaran Islam bahwa alam itu dihuni juga oleh jin dan lainnya. Bahwa jin itu juga
ada yang tunduk dan beriman kepada Allah ada juga yang mungkar kepada Allah.
kiamat adalah menggoda manusia untuk berbuat dosa, dan ingkar kepada Tuhan.
Dalam kosmologi Melayu ini, mereka memiliki sebutan khusus untuk makhluk
gaib penunggu laut, seperti jembalang, mambang hitam, mambang kuning, mambang
hijau, dan lain-lainnya. Sementara itu mereka juga meyakini bahwa lautan juga dijaga oleh
Nabi Allah yaitu Nabi Khaidir Alaihissalam. Para nelayan juga dalam mantranya selalu
Dalam persepsi budaya Melayu, dalam melaut juga tidak boleh mengeksploitasi
alam secara semena-mena. Mereka akan mengambilnya sesuai dengan kebutuhan saja,
laut. Para nelayan juga sadar bahwa kekayaan yang diperoleh bukan hanya dengan
keimanan dan ketuhanan, untuk mencapai tujuan hidup dunia dan akhirta.
Seterusnya dalam matriks dan model mantra ini terkandung juga konsep adat
Melayu yaitu adat bersendikan syarak dan syarakk bersendikan kitabullah. Artinya semua
wujud dan isi kebudayaan Melayu mestilah berakar dari agama dan adat sekali gus. Agama
Islam telah mengajarkan hal-hal yang universal termasuk di dalam aktivitas melaut.
Demikian juga dengan adat Melayu yang terkodifikasi dalam adat sebenar adat, adat yang
diadatkan, adat yang teradat, dan adat istiadat mengajarkan bagaimana bertindak dan
merespons alam dalam rangka keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Jadi adat dan
konsepnya ini menjadi bahagian integral dari mantra melaut suku Melayu di Aras Kabu,
Serdang.
Matriks dan model yang digunakan dalam mantra melaut suku Melayu di Aras
Kabu juga mengandung aspek estetika setempat. Selian menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an
dan shalawat Nabi Muhammad, estetika yang terkadung di dalam mantra ini juga
terdapat unsur-unsur pantun, walau tidak dapat dikategorikan sebagai pantun, namun ini
dapat dirasakan dengan penggunaan baris, kata, dan suku kata yang menghampiri struktur
pantun (empat baris) dalam sastra Melayu. Dengan demikian, melihat mantra ini baik
secara visual maupun auditif akan mengantarkan pengkajinya kepada matriks dan model
budaya Melayu yang bersifat abstrak. Dalam penafsiran penulis, abstraksi dan model
mantra melaut suku Melayu Aras Kabu itu dapat dilihat pada bagan 5.2 berikut ini.
Bagan 5.2:
Seperti anjuran Riffaterre, dalam analisis semiotika penting pula dilihat dalam
konteks intertekstual. Bahwa mantra melaut ini sebagai hasil kebudayaan Melayu berkait
juga dengan berbagai tekstual yang hidup di dalam kebudayaan Melayu. Menurut penulis
mantra ini memiliki dimensi keagamaan, yang diambil dari ayat Qur’an khususnya surah
Al-Fatihah, sebagai induk Qur’an. Surah ini selalu dibacakan dalam berbagai ritual
Selain itu, intertekstual lainnya yang berkaitan dengan mantra melaut ini adalah
penggunaan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. dan keturunannya. Dalam tradisi
agama Islam, pembacaan shalawat ini adalah sebagai pengharapan akan syafaat Nabi
Muhammad di hari akhirat kelak kepada yang membacanya. Seterusnya syafaat ini juga
bukti cintanya setiap muslim kepada Rasulullah yang selalu menjaga komunikasi
kepadanya.
Intertekstual lainnya adalah di dalam mantra melaut suku Melayu Aras Kabu ini
terkandung unsur-unsur pantun (puisi Melayu Lama), yang umumnya terdiri dari satu bait
empat baris (kuatrin), menggunakan persajakan-persajakan atau rima di akhir setiap baris
atau larik. Kemudian selain itu itu penggunaan kata dan suku kata sebagaimana pantun,
Selain itu di dalam mantra melaut suku Melayu Aras Kabu ini terdapat hubungan
yang erat dengan mantra-mantra lainnya seperti mantra upacara jamuan laut, mantra tolak
bala, mantra pengasih, mantra merawat tulang patah, mantra mandi berminyak, mantra
senam Melayu, mantra mandi bersih diri, dan lain-lain. Dalam semua jenis mantra ini
terkandung nilai filsafat dan kosmologi Melayu yang terkodifikasi secara integral.
Selain dari mantra-mantra dalam budaya Melayu, mantra melaut suku Melayu Aras
Kabu ini juga memiliki hubungan dengan berbagai genre sastra Melayu seperti nazam,
demikian dengan cara kajian intertekstual akan didapati kedalaman makna mantra melaut
ini dalam kebudayaan suku Melayu di Aras Kabu Deli Serdang. Selain itu di dalam mantra
Melalui semiotik Peirce, maka penulis menganalisis aspek verbal yaitu mantera itu
dari sisi intrinsik dan juga aspek nonverbal seperti visual, ruang, dan perilaku nelayan
dalam pelaksanaan ritual mantra melaut ini. Di dalam pemaknaan tersebut penulis
menggunakan tiga unsur semioti yang ditawarkan Peirce yaitu ikon, indeks, dan simbol
atau lambang. Kemudian dimensi triadik yang ditawarkan oleh Peirce yaitu berupa
dipersepsi, kemudian objek adalah sesuatu yang mengacu pada hal lain, dan representamen
adalah sesuatu yang dapat diinterpretasi baik oleh masyarakat maupun peneliti.
Yang pertama adalah dari aspek verbal. Materi analisis adalah mantra melaut yang
disajikan oleh Haji Amiruddin. Selengkapnya larik-larik atau baris mantra melaut itu
Auzubillahiminas syaithonirrajim
Bismillahi rahmanirrahim
Alfatihah
Arrahmanirrahim
Maliki yaumiddin
Iyakanakbudu waiyakanastain
Ihdinassirathal mustaqim
Waladhallin Amiin
Muhammadarrasulullah
Aaa ...
Dari aspek verbal atau bahasa, maka mantra melaut tersebut disusun dari kata-kata
yang diatur baris demi baris. Pemilihan kata atau diksinya diambil dari bahasa Arab dan
bahasa Melayu. Bahasa Arab yang diambil sebahagian besar berasal dari teks Al-Qur’an
terutama Surat Al-Fatihah sebagai induk Qur’an (Ummul Qur’an). Sementara bahasa
Melayu yang digunakan adalah bahasa khas mantra dan menggunakan unsur-unsur pantun
Dalam mantra di atas ada kata-kata yang memiliki makna ikon. Di antaranya Nabi
Khaidir adalah ikon Nabi Allah yang memiliki ilmu yang relatif tinggi atas berkat rahmat
Tuhan. Bahkan Nabi Musa pun pernah berguru kepada beliau. Dalam kepercayaan umat
Islam Nabi Khaidir ini terus hidup sepanjang zaman sampai hari kiamat dan datangnya
kembali Nabi Isa ke dunia. Khaidir adalah ikon hamba Allah yang pandai, bijaksana, dapat
Dalam mantra melaut ini terdapat pula contoh indeks, yaitu suatu kenyataan yang
sebenarnya akan diikuti kenyataan lain. Misalnya ada asap tentu ada muasalnya yaitu api.
Di dalam mantra ini contoh indeks adalah kuala tempat berdiri yang berupa daratan dan
berbatasan langsung dengan lautan. Kuala adalah indeks dari nelayan yang tujuan
Selain itu terdapat juga terdapat istilah sunnah Allah atau hukum Tuhan, yang
merupakan indeks dari apa yang seharusnya dilakukan manusia. Adanya hukum Tuhan
yang diturunkan Tuhan ke atas bumi ini karena perlunya menjaga eksistensi manusia
sebagai makhluk Tuhan. Dalam konsep ajaran agama Islam, Tuhan tidak menciptakan
manusia dan jin kecuali untuk berbakti kepada Allah. Jadi tujuan Allah menciptakan
manusia itu adalah sesuai dengan kehendak Nya ada yang tidak mau mengikuti jalan Allah
dan ada juga yang mengikutinya. Untuk itu diciptakan Tuhan sunnah atau hukum.
Dalam mantra verbal di atas terdapat juga simbol. Dalam hal ini berupa warna-
warna dari mambang, yaitu mambang hitam, kuning, dan hijau. Dalam kebudayaan
Melayu setiap warna mempunyai simbol sendiri. Warna hitam adalah warna kebijaksanaan
yang berkaitan dengan harmoni alam. Kemudian warna kuning adalah warna dari
kemegahan dan kekuasaan. Warna kuning melambangkan kekuatan suatu imperium atau
kerajaan. Selanjutnya warna hijau adalah simbol dari kedamaian dan alam ini. Hijau
melaut tersebut, di antaranya adalah sebagfai berikut. Jembalang laut dapat dipersepsikan
sebagai makhluk gaib dalam sistem alam yang dipercayai orang Melayu. Demikian pula
mambang hitam, mambang kuning, dan mambang hijau adalah representamen dari
makhluk-makhluk gaib yang ada di lautan. Dalam membina hubungan antara manusia
dengan makhluk gaib tadi tidak saling menggangu dan menjaga hubungan dalam hukum
Tuhan.
seorang nabi dalam sistem kepercayaan Islam. Namun demikian, Khaidir selain acuannya
sebagai Nabi juga mengacu kepada Nabi yang bijaksana, pintar dan dikaruniai banyak
ilmu. Ia juga sebagai penjaga lautan yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Khaidir juga
adalah objek yang maknanya mengacu kepada Dunia Lautan, atau dunia pesisir.
Selain itu dalam mantra ini juga terdapat interpretan yang dapat diinterpretasi atau
ditafsirkan baik oleh masyarakat pendukung mantra melaut itu atau juga para peneliti.
Secara umum dalam mantra tersebut terkandung kepercayaan akan harmonisasi antara
mambang), dan tentu dengan Tuhan. Aspek mantra ini menggunakan unsur kebudayaan
dan agama Islam sekali gus. Tujuan utamanya adalah memposisikan manusia sebagai
Melihat dari teks yang dipergunakan yaitu diambil dari Al-Qur’an dan khususnya
Surat Al-Fatihah, ini menunjukkan bahwa teks tersebut telah mengalami perpaduan antara
budaya Melayu dengan ajaran-ajaran agama Islam. Teks ini memberikan daya dorong
kepada semangat untuk mencari nafkat di laut tetapi tetap dengan menjaga keseimbangan
Ayat suci Al-Qur’an yang diambil oleh para nelayan ini memberikan semangat,
kepercayaan dan kekuatan dalam rangka mencari ikan di laut. Ini bahagian dari memenuhi
kebutuihan hidup mereka, dalam menafkahi kebutuhan keluarga dan lainnya. Mereka sadar
dirinya sebagai nelayan adalah fitrah yang sudah digariskan Tuhan. Ayat-ayat Al-Qura’an
tersebut terdiri dari berbuat karena Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Ucapan terima kasih kepada Tuhan seluruh alam, termasuk lautan. Tuhan adalah penguasa
yang beriman sebelum mereka, dan bukan orang-orang yang dimurkai Tuhan.
Di dalam teks mantra ini juga terkandung puji-pujian kepada Nabi Muhammad
yang mengindikasikan bahwa dalam kalangan umat Islam, Nabi Muhammad amatlah
dicintai dan diharapkan syafaat (bantuan)nya kelak di waktu hari pembalasan. Nabi
Muhammad lah yang mengenalkan sinar Islam kepada mereka. Demikian kira-kira tafsiran
6.1 Simpulan
Dari uraian-uraian pada baba-baba sebelumnya, maka pada Bab VII ini akan
beberapa saran untuk menyikapi eksistensi mantra melaut suku Melayu di Ras Kabu ini,
baik dalam kebijakan saintifik atau pembangunan dalam konteks Negara Kesatuan
Dari sudut semiotika visual maka didapati bahwa dalam ritual mantra melaut ini
pelibatnya adalah beberapa nelayan yang dipimpin oleh salah satu seroang di ataranya.
Mantra ini dibacakan di atas sampan di kuala, atau di tangkahan. Proses ritualnya dimulai
dari masa persiapan dari rumah masing-masing, kemudian tahap pembacaan, dan pasca
ritual. Setelah itu barulah mereka melaut. Pakaian yang digunakan adalah pakaian untuk
Dari sudut semiotika lirik (puisi) seperti yang ditawarkan oleh Riffaterre, yaitu
konteks pembacaan heuristik dan hermeneutik, maka didapati secara struktural ayat-ayat
yang digunakan dalam mantra ini terdiri dari kata-kata basmallah, kemudian dilanjutkan
ke shalawat Nabi, kemudian ayat Al-Fatihah yang diambil dari Al-Qur’an, baru
mencermikan pengolahan ajaran Islam dalam konteks adat budaya Melayu. Kemudian
menurut semiotiknya Peirce dalam mantar melaut ini ada makna ikon seperti Nabi
Khaidir, juga indeks seperti kuala tempat berdiri, juga simbol seperti warna kuning, hijau,
nelayan, jembalang, dan lainnya. Ada pula dijumpai representamen, seperti pada kata-
kata kita terus bersahabat, seperti hukum Allah, dan lain-lainnya. Juga kata-kata pada
mantra melaut ini dpaat ditafsirkan berdasarkan kebudayaan Melayu Aras Kabu,
misalnya larik pada sunnah Allah kami pun ikut, makna interpretannya adalah semua
makhluk yang ada di dunia ini harus tunduk kepada pencipta mereka yaitu Allah. Tidak
ada kerusuhan yang akan terjadi bila menjaga keseimbangan alam dan hubungannya.
Secara estetika pula di dalam mantra ini terkandung unsur pantun, walaupun tidak
melaut ini menjadi satu kesatuan dengan kebudayaan Melayu secara umum. Di dalam
pembacaan matriks dan model dijumpai bahwa mantra melaut didasari oleh kebudayaan
Melayu yang memiliki konsep adat bersendikan syarakak dan syarakak bersendikan
kitabullah. Adat ini dibagi empat yaitu adat yang sebenar adat, adat yang diadatkan, adat
yang teradat, dan adat istiadat. Budaya, adat, dan agama Islam menjadi panduan utama
dalam mantra melaut ini, yang di dalam,nya terkandung sistem religi, kosmologi, dan
juga estetika yang bergaya Melayu, seperti rima dan unsur pantun, dan lain-lainnya.
Dalam pembacaan intertekstual dijumpai bahwa mantra melaut ini menjadi satu kesatuan
Serdang, yaitu di ataranya: harmonisasi alam (sebagai makhluk ciptaan Tuhan), identitas
diri, pelestarian budaya, dan penunjang ekonomi nelayan. Keraifan lokal ini muncul dan
berkembang sebagai hasil respons masyarakat nelayan Melayu di Aras Kabu terhadap
lingkungan tempatnya mencari penghidupan. Keraifan lokal ini terus dipertahankan oleh
Melayu Aras Kabu Serdang ini, maka perlu dilakukan lagi studi lanjutan yang melibatkan
berbagai bidang ilmu, untuk dapat meningkatkan kehidupan, dan tujuan hidup dunia dan
akhirat masyarakat nelayan di Aras Kabu. Selain itu diperlukan pula dokumentasi-
dokumentasi akademik dan saintifik terhadap berbagai kearifan lokal Melayu khususnya
di Ars Kabu ini. Seterusnya saran penulis terhadap keberadaan mantra melaut suku
Melayu di Aras Kabu ini adalah perlunya dilakukan pengelolaan pemerintah untuk
memberdayakan ekonomi nelayan dengan cara memberikan kredit usaha kecil dan
berdasarkan ekonomi syariah sebagai dasar kebudayaan Melayu, dengan sistem bagi hasil
baik melalui perbankan Islam atau koperasi yang berbasuis ekonomi Islam.
Al-Attas, Syed Muhammad naquib, 1990. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.
Petaling Jaya: Angkatan Belia Islam Malaysia.
Ali, Haidar, 1994. Nahdhatul Uama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik.
Jakarta: Gramedia Pustaka.
Amanriza, Ediruslan, et al. 1989. Koba Sastra Lisan Orang Riau (dalam Dialek Daerah Rokan
Hilir). Pekanbaru: Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Riau.
Amri, 2011. Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan: Pemahaman Leksikon
Remaja di Padangsidimpuan. Medan: Tesis S2 Linguistik Sekolah Pascasarjana,
Universitas Sumatera Utara.
Amri, Yusni Khairul. 2011. Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan:
Pemahaman Leksikon Remaja di Padangsidimpuan. Medan: Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara (Tesis).
Badudu, 1984. Mari Membina Bahasa Indonesia Baku. Bandung: Pustaka Prima.
Barker, Christ, 2006. Cultural Studies and Discourse Analysis: On Dialogue on Language.
London: Sage Publication.
Beckson, C. and Garu, A. (1990). Literary Term: A Dictionary. London: Andre-Deutsch:
Limited.
Berger, Peter L. 1991. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial. Jakarta: LP3ES.
Budianta, Melani. 2008. “Representasi Kaum Pinggiran dan Kapitalisme,” dalam Sastra
Indonesia Modern: Kritik P ostkolonial. Jakarta: KITLV-Obor.
Christomy (penyunting), 2003. Indonesta: Tanda Yang Retak. Jakarta: Wedatama Widya
Sastra .
Christomy, T., dan Untung Yuwono (ed.). 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya, Direkiorat Riset dan Pengabdian Masyarakat
Universitas Indonesia.
Christomy, Tommy, 2001. "Pengantar Semiotika Pragmatik Pierce: Nonverbal dan Verbal.”
Makalah pada Pelatihan Semiotika. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
Christomy, Tommy, et al. 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan
dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia.
Culler, J., 1975. Structuralist Poetics. London: Routledge & Kegan Paul.
Damono, S.D., 1979. Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Bahasa
Danandjaja,James, 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Cetakan IV.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Daud, Haron, 2001. Mantra Melayu: Analisis Pemikiran. Pulau Pinang: Universiti Sains
Malaysia.
Daud, Haroon. 2001. Mantra Melayu. Pulau Pinang: University Sains Malaysia.
Denzin, Norman K, and Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of Qualitative Research.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.). 1995. Handbook of Qualitative Research.
Thousand Oaks, London, dan New Delhi: Sage Publications.
Direktorat Bantuan Sosial. 2005. Kajian Kearifan Lokal di 8 (Delapan) Provinsi. Jakarta:
Departemen Sosial RI.
Djajasudarma. 1993. Analisis Bahasa Molen. Laporan Penelitian. Makasar: Universitas
Hasanuddin.
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. United Kingdom: Cambridge University
Hartoko, Dick, 1986. Bunga Rampai Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Hobsbawm, Eric, 1992. “Introduction lnventing Traditions" dalam Invention of Tradition.
Cambridge: Cambridge University Press.
Hodges, Robert, dan Kress Gunther. 1999. Sosial Semiotika (Edisi Ringkas). Padang: Breeuw
Print.
Hoed, B.H. 2002. “Strukturalisme, Pragmatik, dan Semiotika Dalarn Kajian Budaya" dalam T.
Christomy (ed.). Indonesia Tanda yang Retak. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Hoed, B.H., 2001. Dari Logika Tuyul Ke Erotisme. Magelang: Indonesia Tera.
Hooykaas, 1952. Cultural Representation. London: Mcmillan.
Indrastuti, 2007. Mantra Melaut Suku Bajo: Interpretasi Semiotika. Semarang: tesis magister
Linguistik Universitas Diponegoro.
Jalil, Abdul, 2008. Kolokium Bahasa dan Pemikiran Melayu/Indonesia. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Jalil, Adul dan Rahman, Elmustian. 2001. Puisi Mantra. Pekanbaru: Universitas Riau.
Junus, Umar, 1988. Mitos dan Komunikasi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kang, Yoonhee. 2005. Untaian Kata Leluhur Marjinalitas, Emosi dan Kuasa Kata-kata Magi
di Kalangan Orang Petalangan Riau. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan
Kemasyarakatan Riau.
Kang, Yoonjung, 2005. Linguistic Inquiry. London: Longman.
Kluckhon, C., 1962. Culture and Behavior. New York: The Free Press.
Koentjaraningrat. 1998. Pengantar Antropologi II. Jakarta: Rineka Cipta.
Kress, G dan van Leeuwn, T. 1996. Reading Images-The Grammar of Visual Design. London:
Routledge.
Internet
http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/Tinjauan%20Teoritik%20tentang%20Semiotika.pdf,
diunduh 3 Maret 2012
hhtp://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifanlokal.pdf), diunduh 15
Maret 2012
(http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/45/41), diunduh 17 April 2012
(http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2003/1018/bud 2.html), diunduh Desember 2011
Umur : 72 tahun
Pekerjaan : Nelayan
Umur : 89 tahun
3. Nama : Basyaruddin
Umur : 62 tahun
Pekerjaan : Nelayan
4. Nama : Buyung
Umur : 55 tahun
Pekerjaan : Nelayan
Umur : 76 tahun
Pekerjaan : Nelayan
Umur : 79 tahun
Pekerjaan : Nelayan
Umur : 77 tahun
Pekerjaan : Nelayan
Umur : 43 tahun
9. Nama : Ridwan
Umur : 41 tahun
Pekerjaan : Nelayan
Umur : 37 tahun
Pekerjaan : Nelayan
Gambar 7.1
Suasana Tangkahan