Anda di halaman 1dari 16

A.

Kepemimpinan
a. Pengertian dan Fungsi Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah sesuatu yang dilakukan oleh pimpinan
terhadap sesuatu yang bukan milik mereka. Dalam konteks ini
kepemimpinan meliputi usaha mempengaruhi berbagai kegiatan kelompok
yang diarahkan untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu.
Kepemimpinan adalah proses yang melibatkan perilaku diri seseorang
pemimpin dan pengikutnya. Kepemimpinan adalah sebuah proses untuk
mempengaruhi dan menekan pada hubungan antara dua orang atau lebih
yang saling bergantung antara yang satu dengan yang lainnya untuk
mencapai tujuan bersama dalam sebuah situasi yang terkait (Heflin
Frinces, 2008:310).
Menurut Robbins (dalam Suwatno dan Juni Priansa, 2013:140)
kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi kelompok
menuju pencapaian sasaran.
Perilaku kepemimpinan yang mendorong kinerja dalam Wibowo
(2010:91) dikutip dari Robin Stuart-Kottze, dikelompokkan sebagai
berikut:
1. Performance-sustaining Behavior
Merupakan perilaku yang diarahkan pada perbaikan efesiensi,
mendapatkan segala sesuatu dilakukan dengan baik, memastikan
bahwa orang mempunyai keterampilan yang dipersyaratkan dan
menjaga kualitas.
2. Performance-accelerating Behavior
Merupakan perilaku yang diarahkan pada perbaikan efektivitas,
mendorong perubahan dan perbaikan, melakukan ofensif terhadap
pesaing, menciptakan visi dan arah, membangkitkan ketertarikan dan
komitmen, menginspirasikan budaya kemenangan, memastikan bahwa
sistem dan proses beroperasi secara optimal dan meningkatkan hasil.
Fokusnya pada menambah nilai dengan melakukan sesuatu secara
berbeda dan lebih baik.
3. Balancing
Keseimbangan antara Performance-accelerating behavior dan
Performance-sustaining behavior adalah penting untuk keberhasilan
individu maupun organisasi, keduanya harus seimbang agar tidak
menimbulkan kehilangan kontrol dan kebingungan, apabila kelebihan
Performance-accelerating behavior akan mengakibatkan
complacency yaitu perasaan puas terhadap dirinya secara berlebihan
dan stagnancy apabila kelebihan Performance-sustaining behavior.

Apabila kepemimpinan adalah tentang akselerasi dan melanjutkan


kinerja, maka setiap orang secara berkelanjutan mengajukan saran atas
bagaimana memelihara dan memperbaiki kualitas, memperbaiki
produktifitas, memangkas biaya dan bagaimana melakukan sesuatu yang
lebih baik dengan mendemonstrasikan kepemimpinan. Tanpa
kepemimpinan manajemen menjadi cacat, sehingga kewajiban manajemen
untuk mendorong dan mendukung kepemimpinan berasal dari semua orang
tidak hanya dari manajer tingkat bawah. Apabila hal itu tidak terjadi maka
hasil kinerja akan selalu buruk (Wibowo, 2010).
Menurut Wibowo (2010) dikutip dari Robin Stuart-Kottze Agar
organisasi dapat berjalan efektif, seorang pemimpin harus dapat
menjalankan fungsi utama sebagai berikut:
1) Fungsi-fungsi yang berhubungan dengan tugas (task-related), fungsi
ini menyangkut pemberian saran penyelesaian, informasi dan
pendapat;
2) Fungsi-fungsi pemeliharaan kelompok (group-maintenance), fungsi ini
mencakup segala sesuatu yang dapat membantu kelompok berjalan
lebih lancar melalui persetujuan dengan kelompok lain, dan
penengahan perbedaan pendapat.
b. Tipe-tipe Kepemimpinan
Ada beberapa tipe kepemimpinan yang diutarakan oleh G.R. Tery
yang dikutip oleh Susilo Martoyo (2000:184-185), yaitu:
1) Tipe Pribadi (Personal Leadership)
Pimpinan tipe ini, kepemimpinan didasarkan pada kontak pribadi
secara langsung dengan bawahannya. Tipe ini sifatnya umum dan
sangat efektif dan secara relatif sangat sederhana pelaksanaannya.
2) Tipe Non-Pribadi (Non-Personal Leadership)
Pimpinan dengan tipe ini memberikan cermin kurang adanya kontak
pribadi pemimpin yang bersangkutan dengan bawahan-bawahannya.
3) Tipe Otoriter (Authoritarian Leadership)
Pimpinan tipe ini menganggap kepemimpinannya merupakan hak
pribadinya dan berpendapat bahwa ia dapat menentukan apa saja dalam
organisasi, tanpa mengadakan konsultasi dengan bawahan-
bawahanyang melaksanakannya.
4) Tipe Demokratis (Democratic Leadership)
Pemimpin tipe ini menitikberatkan pada partisipasi kelompok dengan
memanfaatkan pandangan-pandangan dengan atau pendapat-pendapat
kelompok dalam mengambil keputusan, sehingga mereka akan merasa
dilibatkan dalam setiap permasalahan yang ada, dan merasa bahwa
pendapatnya masih selalu diperhitungkan.
5) Tipe Kebapakan (Paternalistis Leadership)
Tipe ini cenderung terlalu ke-“bapak”-an, sehingga sangat memikirkan
keinginan dan kesejahteraan anak buah, terlalu melindungi dan
membimbing. Hal ini dapat berakibat menumpuknya pekerjaan
pemimpin, karena tipe pemimpin ini terlalu melindungi bawahannya.
6) Tipe Bakat (Indigenous Leadership)
Pimpinan tipe ini timbul dalam organisasi-organisasi kemasyarakatan
yang bersifat informal, di mana interaksi antar orang perorang dalam
organisasi tersebut ditentukan oleh keaslian sifat dan pembawaan
pemimpin. Tipe ini memiliki kemampuan untuk mengajak orang lain
dan diikuti oleh orang lain. Tipe ini membuat para bawahan senang
untuk melaksanakan perintah yang diberikan pemimpinnya, karena
pembawaannya yang menyenangkan.

Sedangkan Rivai dan Mulyadi (2012:36-37) mengatakan gaya


kepemimpinan memiliki tiga pola dasar yang akan membentuk perilaku
kepemimpinan yang berwujud pada katagori kepemimpinan yang terdiri
dari tiga tipe pokok kepemimpinan, yaitu:
1. Tipe Kepemimpinan Otoriter
Tipe kepemimpinan ini merupakan kekuasaan ditengah satu
kekuasaan. Pemimpin bertindak sebagai penguasa tungga. Kedudukan
dan tugas anak semata-mata hanya sebagai pelaksana keputusan,
perintah dan bahkan kehendak pimpinan.
2. Tipe Kepemimpinan Bebas
Tipe kepemimpinan ini merupakan kebalikan dari tipe
kepemimpinan otoriter. Pemimpin berkedudukan sebagai simbol.
Dijalankan dengan memberikan kebebasan penuh pada orang-orang
yang dipimpin dalam mengambil keputusan dan melakukan kegiatan
menurut kehendak dan kepentingan masing-masing, baik secara
perorangan maupun kelompok kecil.
3. Tipe Kepemimpinan Demokratis
Tipe kepemimpinan ini merupakan manusia sebagai faktor utama
dan terpenting dalam setiap kelompok/organisasi. Pemimpin
memandang dan menempatkan orang-orang yang dipimpinnya sebagai
subjek yang memiliki keperibadian dengan berbagai aspeknya seperti
dirinya juga. Tipe pemimpin ini selalu berusaha untuk memanfaatkan
setiap orang yang dipimpinnya.

c. Perilaku Kepemimpinan
Dilihat dari perilaku kepemimpinan dalam Heflin Frinces (2008:317-
320), terdapat empat teori perilaku kepemimpinan sebagai berikut:
1. Teori X dan Y, yang dikembangkan Prof. Dr. Douglas Mc.Gregor
Dasar teori ini menekankan dan meyakini kepemimpinan seseorang
dipengaruhi oleh anggapan sifat dasar bawahan. Kepemimpinan
menurut teori X bersifat otoriter karena dasar teori yang dikemukakan
beranggapan bahwa rata-rata bawahan memiliki sifat malas dan tidak
suka bekerja, bekerja harus dipaksa, diawasi dan diancam lebih dulu.
Bawahan juga lebih suka diarahkan, menghindari tanggung jawab dan
punya ambisi kecil tetapi menginginkan jaminan hidup.
Kepemimpinan menurut teori Y bersifat demokratis karena dasar teori
yang dikemukakan beranggapan bawahan menyadari bahwa bekerja
adalah kodrat umat manusia, karena itu mereka dapat melakukan
pengendalian diri, pengarahan diri serta mempunyai keterkaitan
dengan tujuan dan kondisi yang layak, mau belajar untuk berkembang
dan bertanggung jawab.
2. Teori Sistem Manajemen
Teori ini dikembangkan oleh Rensis Likert. Isi dan kandungan teori
ini memadukan dua gaya dengan mengemukakan empat sistem
manajemen, keempat sistem manajemen tersebut adalah:
a. Sistem Otoritatif Eksploitatif
Pada sistem ini semua keputusan yang menyangkut organisasi
dibuat sendiri oleh pemimpin dan bawahan hanya menerima
perintah.
b. Sistem Otoritatif Benevelen
Pada sistem ini pemimpin mengambil keputusan yang dinilai baik
dan terbaik bagi keberlangsungan organisasi, dan bawahan
diperintah melaksanakannya tetapi diberi kebebasan menilai
perintah sehingga bawahan mempunyai fleksibilitas untuk
melaksanakan tugas yang terkandung dalam perintah tersebut.
c. Sistem Konsultatif
Pemimpin pada sistem ini menetapkan tujuan dan memberikan
perintah setelah didiskusikan atau dimusyawarahkan terlebih
dahulu dengan bawahan, kemudian mereka mendapat keputusan
pelaksanaan tugas dan bagi mereka yang berprestasi diberi hadiah
dan penghargaan.
d. Sistem Partisipatif
Pada sistem ini semua pengambilan keputusan dan tujuan yang
ditetapkan dilakukan oleh pemimpin bersama kelompok.
Keputusan yang diambil pemimpin berdasarkan saran bawahan,
dan mereka diberi motivasi sesuai dengan kebutuhan organisasi.
Sistem partisipatif ini dipandang yang terbaik untuk diterapkan
dan diimplementasikan kedalam roda perjalanan organisasi.
3. Teori Ohio State
Teori ini merupakan hasil penelitian yang berdasarkan pada
variabel pertimbangan dan struktur pemrakarsa, serta realitasnya
menyimpulkan bahwa bawahan lebih senang pada mekanisme
kepemimpinan yang demokratis.
4. Teori Kepemimpinan Ki Hajar Dewantara
Teori merupakan teori kepemimpinan yang diterapkan di
Indonesia, dalam teori ini memuat tiga hal penting yang harus
diterapkan oleh seorang pemimpin, ketiga hal tersebut adalah:
a. Ing Ngarso Sung Tulodo
Pimpinan harus memberikan pengarahan, membimbing dan
memberi contoh kepada bawahan.
b. Ing Madyo Mangunkarso
Pimpinan mendelegasikan wewenangnya kepada pimpinan
menengah dan pimpinan menengah dapat memanfaatkan
pendelegasian wewenang ini untuk mengembangkan ide dan
gagasan yang dimiliki.
c. Tutwuri Handayani
Setelah pendelegasian wewenang kepada pemimpin menengah,
pemimpin puncak perlu senantiasa mengawasi dan
mengendalikan bawahan.

d. Faktor yang Mempengaruhi Kepemimpinan


Menurut Mary Parker Folett yang dikutip Hani Handoko (2003:307)
terdapat tiga varibel kritis yang mempengaruhi gaya pemimpin, yaitu:
kemampuan dan kualitas pemimpin, kemampuan dan kualitas pengikut
atau bawahan, serta situasi. Ketiganya saling berhubungan dan saling
berinteraksi.
Kepemimpinan mempengaruhi pihak lain untuk bekerjasama secara
sukarela dalam usaha mengerjakan tugas-tugas yng berhubungan untuk
mencapai hal yang diinginkan oleh pimpinan tersebut. Faktor
kepemimpinan berdampak pada pencapaian kinerja karyawan. Berkaitan
dengan hal tersebut dapat dikemukakan bahwa, terdapat hubungan yang
erat antara kepemimpinan dengan pencapaian kinerja karyawan. Menurut
Anarogo (2011:12), aspek- aspek dalam kepemimpinan ini biasanya diukur
melalui beberapa indikator berupa:
1) Instruksi atau Perintah yang Jelas
Kondisi ini memberikan kepastian tentang apa yang harus dilakukan
oleh karyawan atau pegawai. Apabila instruksi yang diberikan
pimpinan jelas dan bisa dipahami, maka apa yang menjadi sasaran
dalam pekerjaan akan dapat dicapai dengan baik, sehingga kinerja
dapat ditingkatkan (Anarogo, 2011:12).
2) Pemberian Pujian atas Pekerjaan Karyawan
Kondisi ini berkaitan dengan penghargaan langsung pada hasil kerja
karyawan. Artinya karyawan akan merasa bangga apabila diberi
pujian secara santun di depan karyawan lain, sehingga menjadi
dorongan moral dalam meningkatkan kinerjanya (Anarogo, 2011:13).
3) Menegur Karyawan Secara Sopan
Kondisi ini berkaitan dengan faktor psikologis karyawan bila terjadi
kesalahan. Hal ini berkaitan erat dengan pendekatan psikologis bagi
karyawan yang melakukan kesalahan (Anarogo, 2011:13). Artinya
karyawan akan merasa sungkan apabila ditegur secara santun bila
dibandingkan dengan ditegur secara keras yang bernuansa
mempermalukan didepan karyawan lain.
4) Bersikap Terbuka
Kondisi ini berkaitan dengan kepribadian pimpinan yng bisa
intropeksi diri. Artinya dengan kemampuan pimpinan dalam
melakukan intropeksi diri serta keinginan untuk mendengarkan oang-
orang yang dipimpinnya sehingga dapat memnberikan inspirasi bagi
perbaikan kerja (Anarogo, 2011:14).
5) Menerima Masukan Secara Bijaksana
Kondisi ini berkaitan dengan upaya pencapaian kinerja organisasi dan
juga menyangkut kemampuan seorang pimpinan dalam mengarahkan
dan mendelegasikan suatu pekerjaan kepada karyawan yang
dipimpinnya karena bersedia menerima masukan secara bijaksana
(Anarogo, 2011:15). Sehubungan dengan hal tersebut, lebih lanjut
dikemukakan oleh Sondang Siagian (2010:56) bahwa keberhasilan
suatu organisasi baik sebagai keseluruhan maupun berbagi kelompok
dalam suatu organisasi tertentu, sangat tergantung pada mutu
kepemimpinan yang terdapat dalam organisasi yang bersangkutan.
Atas dasar hal tersebut dapat dikatakan bahwa, mutu kepemimpinan
yang terdapat dalam suatu organisasi memainkan peranan yang sangat
dominan dalam keberhasilan organisasi tersebut dalam
menyelenggarakan berbagai kegiatannya terlihat dalam kinerja para
pegawainya.

e. Tanggung Jawab dan Wewenang Kepemimpinan


Menurut Ranupandjoyo et. al. (dalam Martoyo 200:180) dengan
mengutip pendapat Robert C. dalam buku “Effective Leadership and the
Motivation of Human Resources”, mengatakan bahwa tanggung jawab para
pemimpin adalah sebagai berikut:
1) Menentukan tujuan pelaksanaan kerja realistis secara kualitas,
kuantitas, keamanan dan sebagainya.
2) Melengkapi para karyawan dengan sumber dana yang diperlukan untuk
menjalankan tugasnya.
3) Mengkomunikasikan dengan para karyawan tentang apa yang
diharapkan dari mereka.
4) Memberikan susunan hadiah yang sepadan untuk mendorong prestasi.
5) Mendelegasikan wewenang apabila diperlukan dan mengundang
partisipasi apabila memungkinkan.
6) Menghilangkan hambatan untuk pelaksaan pekerjaan yang efektif.
7) Menilai pelaksanaan pekerjaan dan mengkomunikasikan hasil-hasilnya.
8) Menunjukkan perhatian kepada karyawan.
B. Kinerja
Menurut Hasibuan (2001:94) menjelaskan bahwa “kinerja merupakan hasil
kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang di
bebankan kepadanya di dasarkan atas, pengalaman, kesungguhan serta waktu.
Sadarmayanti (2003:147) menyatakan bahwa “kinerja merupakan sistem yang
digunakan untuk menilai dan mengetahui apakah seorang karyawan telah
melaksanakan pekerjaan secara keseluruhan atau merupakan perpaduan dari
hasil kerja dan kompetensi (bagaimana seseorang mencapainya)”.
Menurut Rivai (2009:605) kinerja merupakan suatu istilah umum yang
digunakan untuk sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu
organisasi pada suatu periode dengan referensi pada standar seperti biaya-biaya
masa lalu atau pertunjukan, dengan efisiensi, pertanggungjawaban, atau
akuntabilitas manajemen dan semacamnya. Kinerja organisasi adalah “sebagai
efektifitas organisasi secara menyeluruh untuk memenuhi kebutuhan yang
ditetapkan dari setiap kelompok”. Kinerja atau kinerja adalah keluaran yang
dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau individu-individu pada suatu pekerjaan atau
suatu profesi tertentu.
Menurut Prawirosentono (1999:20) bahwa “kinerja adalah hasil kerja yang
dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai
dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, tidak melanggar
hukum dan sesuai dengan moral maupun etika”.
Dari definisi di atas dapat dipastikan bahwa kinerja merupakan hasil yang
dapat dicapai atau ditunjuk oleh seseorang di dalam pelaksanaan pekerjaan.
Seseorang dapat dikatakan memiliki kinerja yang baik manakala mereka dapat
melaksanakan pekerjaan dengan baik, artinya mencapai standar kerja yang
telah dilakukan sebelumnya dan atau bahkan melebihi standar yang telah
ditentukan.
1. Kriteria Kinerja
Menurut Bernardin and Russel (1993:382) terdapat 6 kriteria untuk
menilai kinerja karyawan, yaitu:
a. Kualitas (Kualitas) yaitu Tingkatan dimana proses atau penyesuaian
pada cara yang ideal dalam melakukan aktifitas atau memenuhi
aktifitas yang sesuai harapan.
b. Kuantitas (Quantity) yaitu Jumlah yang dihasilkan dapat diwujudkan
melalui nilai mata uang, jumlah unit, atau jumlah dari siklus aktifitas
yang telah diselesaikan.
c. Ketepatan Batas Waktu yaitu Tingkatan di mana aktifitas telah
diselesaikan dengan waktu yang lebih cepat dari yang ditentukan dan
memaksimalkan waktu yang ada untuk aktifitas lain.
d. Keefektifan Biaya (Cost Effectiveness) yaitu Tingkatan dimana
penggunaan sumber daya perusahaan berupa manusia, keuangan, dan
teknologi dimaksimalkan untuk mendapatkan hasil yang tertinggi atau
pengurangan kerugian dari tiap unit.
e. Kebutuhan Terhadap (Supervise Need for Supervision) yaitu tingkatan
dimana seorang karyawan dapat melakukan pekerjaan tanpa perlu
meminta bantuan atau bimbingan dari atasannya.
f. Dampak Interpersonal (Interpersonal Impact) yaitu tingkatan dimana
seorang karyawan merasa percaya diri, punya keinginan yang baik,
dan bekerja sama di antara rekan kerja.

2. Tujuan Penilaian Kinerja


Penilaian kinerja yang dikenal dengan istilah “performance rating”
atau “penilaian kinerja”. Menurut Dessler (Sastrohadiwiryo Siswanto,
2005:5.7) mengemukakan bahwa penilaian kinerja adalah usaha kinerjanya
pada saat ini dan masa lalu dengan standar kinerjanya. Menurut Rivai dan
Sagala (2009:553) pada dasarnya dari sisi praktiknya yang lazim dilakukan
di setiap organisasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Tujuan penilaian yang berorientasi pada masa lalu adalah:
1) Untuk mengendalikan perilaku pegawai yaitu dengan gunakan
sebagai instrumen untuk memberikan ganjaran, hukuman dan
amcaman.
2) Mengambil keputusan mengenai kenaikan gaji dan promosi.
3) Menempatakan pekerja agar dapat melaksanakan tugas tertentu.
b. Tujuan yang berorientasi pada masa depan adalah:
1) Membantu setiap pekerja untuk meningkatkan banyak pemahaman
tentang mengetahui dan mengetahui secara jelas fungsinya.
2) Instrumen berikut dalam membantu setiap pekerja memahami
kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan sendiri yang
memiliki peran dan fungsi dalam organisasi.
3) Penambahan kebersamaan masing-masing pekerja dengan
penyelia sehingga pekerja memiliki motivasi kerja dan merasa
senang bekerja dan mau memberikan kontribusi sebanyak-
banyaknya kepada organisasi.
4) Merupakan instrumen untuk memberikan peluang bagi pekerja
agar mawas diri dan evaluasi diri serta menetapkan sasaran pribadi
sehingga terjadi pengembangan yang direncanakan dan dimonitori
sendiri.
5) Mempersiapkan membantu pekerja untuk memegang pekerjaan
pada tingkat yang lebih tinggi dengan terus menerus
meningkatkan perilaku dan kualitas bagi posisi posisi yang
tingkatnya lebih tinggi.
6) Membantu dalam berbagai keputusan sumber daya manusia
(SDM) dengan memberikan data setiap pekerja secara berkala.

Penilaian kinerja merupakan proses subjektif yang menyangkut kehidupan


manusia. Dengan demikaian, penilaian sangat mungkin keliru dan sangat
mudah dipengaruhi oleh sumber yang tidak aktual. Tidak sedikit sumber yang
mempengaruhi proses tersebut, sehingga harus dipertimbangkan dan
dipertimbangkan dengan wajar. Penilaian dianggap memenuhi sasaran apabila
memiliki dampak yang lebih baik pada tenaga kerja baru yang dinilai
kinerja/keragamannya (Sastrohadiwiryo, 2003: 231).
Pengukuran kinerja dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat
penyimpangan antara kemajuan yang direncanakan dengan kenyataan. Jika
terdapat penyimpangan berupa kemajuan yang lebih rendah dari rencana, perlu
dilakukan langkah-langkah untuk memacu kegiatan agar tujuan yang
diharapkan dapat dicapai.
c. Teori Komitmen Organisasional terhadap Kinerja
Komitmen organisasional pada pekerja itu bertingkat-tingkat, dari
tingkatan yang sangat rendah hingga tingkatan yang sangat tinggi. Kanter
mengemukakan bahwa “pemimpin organisasi akan memilih pekerja yang
bisa dipercaya dan mengabaikan pekerja yang kurang memiliki komitmen
organisasional”. Hacker menambahkan bahwa “tanpa menunjukan
komitmen yang meyakinkan maka promosi seseorang pekerja ke jabatan
yang lebih tinggi tidak akan dilakukan”.
Ditinjau dari segi organisasi, menurut Koch pekerja yang berkomitmen
rendah akan berdampak pada turn over. Angel menambahkan dampaknya
yaitu dengan ditandai tingginya tingkat absensi, meningkatnya kelambanan
kinerja dan kurangnya intensitas untuk bertahan sebagai pegawai di dalam
organisasi. Streers memperjelas dampak kurangnya komitmen pekerja
yaitu akan dirasakan rendahnya kualitas kerja. Dan Schein juga
memperkuat dampaknya yang paling penting yaitu akan kurangnya
loyalitas pada organisasi (Sopiah, 2008:179).
Menurut Wibowo (2011: 66) kontrak kinerja sangat penting untuk
mempengaruhi hubungan selanjutnya antara manajer (pimpinan) dengan
pekerja. Hasil kesepakatan kinerja merupakan komitmen bersama untuk
dilakukan dan ditindaklanjuti dengan baik oleh manajer maupun pekerja.

3. Evaluasi Kinerja
Kinerja dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung dan
penghambat berjalannya suatu pencapaian kinerja yang maksimal faktor
tersebut meliputi faktor yang berasal dari intern maunpun ekstern. Menilai
suatu kinerja apakah sudah berjalan dengan yang direncanakan perlu
diadakan suatu evaluasi kinerja.
Evaluasi kinerja atau penilaian merupakan evaluasi yang sistematis dari
pekerjaan pegawai dan potensi yang dapat dikembangkan. Penilaian dalam
proses penapsiran atau penentuan nilai, kualitas atau status dari beberapa
objek orang ataupun sesuatu barang (Mangkunegara, 2006:69).
Menurut (Rivai, 2005:214) aspek-aspek kinerja karyawan yang dinilai
dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
a. Kemampuan teknis, yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan
metode, teknik, dan peralatan yang digunakan untuk pelaksanaan tugas
serta pengalaman dan pelatihan.
b. Kemampuan konseptual, yaitu kemampuan untuk memahami
kompleksitas perusahaan dan penyesuaian bidang gerak di unit masing-
masing ke dalam bidang operasional perusahaan secara menyeluruh,
pada intinya individual tersebut memahami tugas, fungsi serta tanggung
jawab karyawan
Evaluasi kerja bertujuan untuk meningkatkan kinerja karyawan.
Kegiatan ini harus dilakukan pemimpin dengan cara menilai hasil kerja para
karyawannya. Tujuan dari evaluasi atau penilaian prestasi kerja menurut
Werther dan Davis (1996:342) yang kembali dikutip oleh Suwatno dan
Donni Juni Priansa (2011:197) menyatakan bahwa “penilaian tersebut
memiliki beberapa tujuan dan manfaat bagi perusahaan dan karyawan itu
sendiri”.

C. Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dengan Kinerja


Pemimpin mempunyai tanggung jawab menciptakan kondisikondisi yang
merangsang anggota agar dapat mencapai tujuan yang ditentukan. Gaya
kepemimpinan menjadi cermin kemampuan seseorang dalam mempengaruhi
individu atau kelompok. Seorang pemimpin harus mampu menjaga keselarasan
antara pemenuhan kebutuhan individu dengan pengarahan individu pada tujuan
organisasi. Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang mengakui kekuatan
kekuatan penting yang terkandung dalam individu atau kelompok, serta
fleksibel dalam cara pendekatan yang digunakan demi meningkatkan kinerja
seluruh organisasinya.
Gaya kepemimpinan sangat berpengaruh dalam mencapai target kinerja
yang telah ditetapkan. Hal senada Rivai & Mulyadi (2012: 42) Gaya
kepemimpinan merupakan ciri khas yang digunakan pemimpin untuk
mempengaruhi agar sasaran organisasi tercapai. Menurut A Dale Timple
(1992:31) dalam Mangkunegara (2010:15) bahwa “faktor-faktor kinerja terdiri
dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang menarik
dengan sifat-sifat seseorang, kinerja seseorang baik karena memiliki
kemampuan tinggi dan tipe pekerja keras. Sedangkan faktor eksternal yaitu
faktor-faktor yang mempengaruhi sesorang yang berasal dari lingkungan,
seperti perilaku, sikap, dan tindakan-tindakan rekan kerja, pemimpin serta iklim
kerja. Faktor internal dan eksternal ini merupakan jenis atribusi yang
mempengaruhi jenis kinerja seseorang”.
Dari pernyataan di atas bahwa pemimpin merupakan salah satu faktor
eksternal yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang. Hal serupa dikemukan
Sudriamunawar (2006:2) bahwa “pemimpin merupakan seorang yang memiliki
keinginan tertentu untuk memengaruhi para pengikutnya untuk melakukan
kerja sama ke arah tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya”.
Dari pendapat-pendapat diatas dapat dikatakan bahwa seorang pemimpinan
adalah motor penggerak yang mempengaruhi, mendorong dan mengarahkan
orang-orang yang dipimpinnya agar mereka dapat bekerja dengan penuh
semangat dan kepercayaan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi.
Dengan demikian tampak jelas bahwa gaya kepemimpinan mempunyai
hubungan yang erat secara langsung maupun tidak langsung dengan kinerja
pegawai. Untuk itu, dalam meningkatkan kinerja bawahan diperlukan gaya
kepemimpinan yang efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Anarogo. Panji. 2011. Kepemimpinan Efektif dalam Organisasi. Jakarta: Rineka
Cipta.
Bernardin, H.J. dan Russel, J.E.A. 1993. Human Resource Management an
Experiental Approach. Singapore: Mc Graw-Hill, Inc.
Frinces. Heflin. 2008. Kepemimpinan Berbasis Kewirausahaan. Yogjakarta: Mida
Pustaka.
Handoko, T. Hani. 2003. Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia Edisi
Kedua. Yogyakarta: BPFE.
Hasibuan, Melayu. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Mangkunegara, Anwar Prabu. 2010. Evaluasi Kinerja SDM. Bandung: PT. Refika
Aditama.
Martoyo, Susilo. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE.
Prawirosentono, Suyadi. 1999. Kebijakan Kinerja Karyawan. Yogyakarta: BPFE.
Rivai, Veithzal. 2005. Perfomance Appraisal: Sistem yang Tepat untuk Menilai
Kinerja Karyawan dan Meningkatkan Daya Saing Perusahaan. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Rivai, Veithzal dan Sagala, Ella Jauvani. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia
untuk Perusahaan dari Teori ke Praktik. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Rivai, Veithzal dan Deddy Mulyadi. 2012. Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi.
Jakarta: Rajawali Pers PT. Raja Grafindo Persada.
Sadarmayanti, 2003. Good Governance (Tata Pemerintahan Yang Baik) dalam
Rangka Otonomi Daerah. Bandung: CV. Mandar Maju.
Sastrohadiwiryo, Siswanto. 2003. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta: PT.
Bumi Aksara.
Sastrohadiwiryo, Siswanto. 2005. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta: PT.
Bumi Aksara.
Sondang, Siagian, 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara
Sopiah. 2008. Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Andi Offset.
Sudrimunawar, Haryono. 2006. Kepemimpinan, Peran Serta dan Produktivitas.
Bandung: CV. Mandar Jaya.
Suwatno dan Donni Juni Priansa. 2013. Manajemen Sumber Daya Manusia.
Bandung: Alfabeta.
Wibowo. 2010. Manajemen Kinerja. Jakarta: Rajawali Pers, PT. Rajagrafindo
Persada.

Anda mungkin juga menyukai