Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehidupan mikrooorganisme, seperti ikan dan hewan air lainnya, tidak

terlepas dari kandungan oksigen yang terlarut di dalam air tidak berbeda

dengan manusia dan makhluk hidup lainnya yang di darat yang juga

memerlukan oksigen dari udara agar tetap dan bertahan. Air yang tidak

mengandung oksigen tidak akan memberikan kehidupan bagi

mikroorganisme, ikan dan hewan air lainnya. Oksigen yang terlarut di

dalam air sangat penting artinya bagi kehidupan .

Pada umumnya air lingkungan yang telah tercemar kandungan

oksigennya sangat rendah. Hal itu karena oksigen yang terlarut di dalam air

diserap oleh mikroorganisme untuk memecah/mendegradasi bahan buangan

organik sehingga menjadi bahan yang mudah menguap (yang ditandai

dengan bau busuk). Selain dari itu, bahan buangan organik juga dapat

bereaksi dengan oksigen yang terlarut di dalam air mengikuti reaksi oksidasi

biasa. Makin banyak bahan buangan organik yang ada dalam air, makin

sedikit sisa kandungan oksigen yang terlarut di dalamnya. Bahan buangan

organik biasanya berasal dari industri kertas, industri pembekuan udang,

industri roti, industri susu, bahan buangan limbah rumah tangga, bahan

buangan limbah pertanian, kotoran hewan dan kotoran manusia dan lain

1
sebagainya.

Dengan melihat kandungan oksigen yang terlarut di dalam air dapat

ditentukan seberapa jauh tingkat pencemaran air lingkungan telah terjadi.

Cara yang ditempuh untuk maksud tersebut adalah dengan uji :

COD, singkatan dari Chemical Oxygen Demand, atau kebutuhan oksigen

kimia untuk reaksi oksidasi terhadap bahan buangan di dalam air

(Wardhana, W. A, 1995).

COD juga merupakan parameter kekuatan limbah cair. COD merupakan

ukuran persyaratan kebutuhan oksidasi sampel yang berada dalam kondisi

tertentu , yang ditentukan dengan menggunakan suatu oksida kimiawi.

Indikator ini umumnya berguna pada limbah industri. Pada suatu sistem

tertentu, terdapat hubungan antara COD dan BOD, tetapi bervariasi antara

satu kota dengan lainnya (Soeparman,H.M,2001).

Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik

yang secara alamiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis, dan

mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air. Ketelitian dan

ketepatan (reproducibility) tes COD adalah 2 sampai 3 kali lebih tinggi dari

tes BOD (Alaerts.G.1984).

Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK) adalah jumlah oksigen (mg O2) yang

dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam 1 L sampel

air melalui reaksi kimia. Dalam hal ini bahan buangan organik akan

dioksidasi oleh Kalium bichromat menjadi gas CO2 dan H2O serta sejumlah

Ion Chrom. Kalium bicrhomat atau K2Cr2O7 digunakan sebagai sumber

oksigen (oxiding agent).

2
Perlu dilakukan analisa COD, karena COD dapat mengoksidasi zat-zat

organik yang terdapat dalam air limbah yang melalui reaksi kimia, sehingga

air limbah dapat dibuang di perairan sekeliling (Wadhana, W. A, 1995).

1.2 Pembatasan Masalah

Pembatas masalah dilakukan agar masalah yang dibicarakan dapat

tertata, maka penulis membatasi masalah dalam hal pengujian air sungai dan

air limbah dengan parameter COD menggunakan metode spektrofotometri.

1.3 Perumusan Masalah

1. Bagaimana cara menentukan kandungan COD pada air permukaan dan air

limbah?

2. Bagaimana hasil perbandingan kandungan COD air permukaan dan air

limbah dengan baku mutu COD pada lingkungan?

1.4 Uraian Singkat / Sejarah Perusahaan

Sejarah Singkat P3E Sumatera dan Laboratorium Lingkungan P3E

Sumatera

Pengelolaan dan pembangunan lingkungan hidup di Indonesia relatif

belum lama dan baru dirintis menjelang Pelita III.Namun demikian, dalam

waktu yang pendek itu Indonesia telah banyak berbuat untuk mulai mengelola

lingkungan hidupnya.Hasil utama pengembangan lingkungan hidup ini

nampak pada munculnya kesadaran dan kepedulian di kalangan masyarakat.

Antara lain nampak dalam peningkatan upaya swadaya masyarakat seperti

tercermin dalam kegiatan nyata dan keterlibatan masyarakat umum dalam

memecahkan masalah pencemaran di daerah.

3
Selama Pelita III bidang lingkungan hidup ditangani oleh Menteri Negara

Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Men-PPLH) dengan

prioritas pada peletakan dasar-dasar kebijaksanaan “membangun tanpa

merusak”, dengan tujuan agar lingkungan dan pembangunan tidak saling

dipertentangkan. Pada Pelita IV, bidang lingkungan hidup berada di bawah

Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Men-KLH), dengan

prioritas pada keserasian antara kependudukan dan lingkungan hidup. Pada

Pelita V kebijaksanaan lingkungan hidup sebelumnya disempurnakan dengan

mempertimbangkan keterkaitan tiga unsur, antara kependudukan, lingkungan

hidup dan pembangunan guna mewujudkan konsep pembangunan

berkelanjutan.

Pada pelita VI, bidang lingkungan hidup secara kelembagaan terpisah dari

bidang kependudukan dan berada di bawah Menteri Negara Lingkungan

Hidup (Men-LH).Lingkungan hidup dirasakan perlu ditangani secara lebih

fokus sehubungan dengan semakin luas, dalam dan kompleksnya tantangan

pada era industrialisasi dan era informasi dalam PJP Kedua (yang dimulai

pada Pelita VI). Lintas sejarah perkembangan pengelolaan lingkungan hidup

di Indonesia diuraikan menjadi tiga babak, yakni masa tumbuhnya Arus

Global 1972, munculnya Komitmen Internasional, dan Komitmen Nasional

dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, serta Pasca Reformasi.

Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Sedunia yang diselenggarakan

pada bulan Juni 1972 di Stockholm, Swedia, dapat dianggap sebagai

pengejawan tahan kesadaran masyarakat internasional akan pentingnya kerja

sama penanganan masalah lingkungan hidup dan sekaligus menjadi titik awal

4
pertemuan berikutnya yang membicarakan masalah pembangunan dan

lingkungan hidup. Konferensi Stockholm dengan motto Hanya Satu Bumi itu

menghasilkan deklarasi dan rekomendasi yang dapat dikelompokkan menjadi

lima bidang utama yaitu permukiman, pengelolaan sumber daya alam,

pencemaran, pendidikan dan pembangunan.

Sebagai tindak lanjutnya, berdasarkan Keppres No. 16 Tahun 1972

Indonesia membentuk panitia interdepartemental yang disebut dengan

Panitia Perumus dan Rencana Kerja Bagi Pemerintah di Bidang Lingkungan

Hidup yang diketuai oleh Prof. Dr. Emil Salim selaku Men-Pan/Wakil Ketua

Bappenas. Panitia tersebut berhasil merumuskan program kebijaksanaan

lingkungan hidup sebagaimana tertuang dalam Butir 10 Bab II GBHN 1973-

1978 dan Bab 4 Repelita II.Keberadaan lembaga yang khusus mengelola

lingkungan hidup dirasakan mendesak agar pelaksanaan pengelolaan

lingkungan hidup baik di tingkat pusat maupun di daerah lebih terjamin.

Tiga tahun kemudian, Presiden mengeluarkan Keppres No. 27 Tahun

1975. Keppres ini merupakan dasar pembentukan Panitia Inventarisasi dan

Evaluasi Kekayaan Alam dengan tugas pokoknya adalah menelaah secara

nasional pola-pola permintaan dan persediaan serta perkembangan teknologi,

baik di masa kini maupun di masa mendatang serta implikasi sosial, ekonomi,

ekologi dan politis dari pola-pola tersebut.

Untuk melaksanakan amanat GBHN 1978, maka berdasarkan Keppres No.

28 Tahun 1978 jo. Keppres No. 35 Tahun 1978, dalam Kabinet

Pembangunan III diangkat Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Li

ngkungan Hidup (Men-PPLH) dengan tugas pokok mengkoordinasikan

5
pengelolaan lingkungan hidup di berbagai instansi pusat maupun daerah,

khususnya untuk mengembangkan segi-segi lingkungan hidup dalam aspek

pembangunan.

UU No. 4 Tahun 1982 antara lain menggariskan bahwa manusia dan

perilakunya merupakan komponen lingkungan hidup. Karena itu, perlu

adanya perpaduan antara aspek kependudukan ke dalam pengelolaan

lingkungan hidup. Untuk itu, berdasarkan Keppres No. 25 Tahun 1983

tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara

Kependudukan dan Lingkungan Hidup, dibentuklah Kantor Menteri Negara

Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Men-KLH) dengan menterinya

adalah Prof. Dr. Emil Salim. Ketika Kabinet Pembangunan IV berakhir dan

memasuki Kabinet Pembangunan V, status Men-KLH tetap dipertahankan,

dan Prof. Dr. Emil Salim diangkat kembali menjadi menterinya.

Masalah kependudukan dan lingkungan hidup cenderung menjadi makin

luas dan kompleks sejalan dengan makin pesatnya laju kegiatan

pembangunan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat khususnya pada

pembangunan jangka panjang kedua (PJP II).Karena itu dipandang perlu

membentuk lembaga kementerian yang khusus bertugas menangani dan

mengkoordinir pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.Untuk itu pada

tahun 1993 dibentuklah Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (Men-

LH), dengan Ir. Sarwono Kusumaatmadja sebagai menterinya.

Pada tahun 1996 dibentuk Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (Bapedal)

Regional yang terdiri dari :

1. Bapedal Wilayah I Sumatera dengan wilayah kerja seluruh Sumatera

6
berkedudukan di Pekanbaru.

2. Bapedal Wilayah II Balinusra dengan wilayah kerja seluruh Bali dan

Nusatenggara berkedudukan di Denpasar.

3. Bapedal Wilayah III dengan wilayah kerja Sulawesi, Maluku dan Papua

berkedudukan di Makasar.

Sesuai dengan Peraturan menteri LH No. 01 Tahun 2005 tentang Struktur

Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup, terdapat 5 (lima)

kantor regional yaitu :

1. Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sumatera dengan wilayah

kerja seluruh Sumatera berkedudukan di Pekanbaru.

2. Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Balinusra dengan wilayah

kerja seluruh Bali dan Nusatenggara berkedudukan di Denpasar.

3. Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sumapapua dengan

wilayah kerja Sulawesi, Maluku dan Papua berkedudukan di Makasar.

4. Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Kalimantan dengan

wilayah kerja Kalimantan berkedudukan di Balikpapan.

5. Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa dengan wilayah kerja

Jawa berkedudukan di Yogyakarta.

Pada era Kabinet Indonesia Bersatu (2004), Kementerian Negara

Lingkungan Hidup dipimpin oleh Ir. Rachmat Witoelar. Kemudian memasuki

era Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II Kementerian Lingkungan Hidup

dipimpin oleh Prof. Gusti Muhammad Hatta.

Seiring dengan perubahan pimpinan dan struktur organisasi yang ada,

Bapedal Wilayah I Sumatera mengalami beberapa kali perubahan nama, yaitu

7
Bapedal Regional Sumatera, Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup,

Kementerian Lingkungan Hidup Wilayah Sumatera dan berdasarkan

KepmenLH No. 01 Tahun 2005 berubah menjadi Pusat Pengelolaan

Lingkungan Hidup Regional Sumatera.

Pada tahun 2010 berdasarkan KepmenLH No. 16 Tahun 2010 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Lingkungan Hidup maka Pusat

Pengelolaan Lingkungan Hidup Ekoregion Sumatera berubah menjadi Pusat

Pengelolaan Ekoregion Sumatera (PPE Sumatera).

Kemudian Pada masa Pemerintahan Presiden Jokowi Kementerian

Kehutanan di gabungkan dengan Kementerian Lingkungan Hidup menjadi

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Menurut peraturan Presiden

RI No. 16 Tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan maka Pusat Pengelolaan Ekoregion Sumatera (PPE Sumatera)

berubah menjadi Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera (P3E

Sumatera).

Pada subbid Uji Kualitas Lingkungan tersebut memiliki Laboratorium

Lingkungan Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera yang

selanjutnya disebut sebagai laboratoriummerupakan bagian dari organisasi

Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera, Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Laboratorium Lingkungan Pusat

Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera melakukan pengambilan dan

pengujian sampeldenganmenetapkansistemmanajemenmutusesuaidengan

persyaratan SNI ISO/IEC 17025:2008 dan Permen LH No. 6 Tahun 2009

untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Sistem manajemen mutu yang

8
ditetapkan mencakup pekerjaan yang dilakukan dalam fasilitas laboratorium

yang beralamat di Jalan HR Soebrantas KM 10, 5 Panam Pekanbaru Telp

(0761) 62962-65421.

Laboratorium Lingkungan Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion

Sumatera memiliki kebijakan organisasi sebagai berikut :

1. Manajer Puncak (Kepala P3ES) berfungsi sebagai bagian pengambilan

keputusan manajemen tertinggi di laboratorium, Manajer Puncak

menjamin bahwa proses komunikasi yang tepat ditetapkan di

Laboratorium Lingkungan Pusat Pengendalian Pemangunan Ekoregion

Sumatera. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mensosialisasikan

dokumen mutu pada seluruh personil laboratorium. Manajer Puncak

jugamenjaminbahwa proses komunikasi dengan Manajer Mutu, Manajer

Teknis serta Manajer Adminstrasi dan Keuangan dapat dilakukan secara

langsung.

2. Laboratorium Lingkungan Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion

Sumatera mempunyai personel manajerial dan teknis yang memiliki

kewenangan dan sumber daya yang cukup untuk melaksanakan tugasnya,

termasuk penetapan,pemeliharaan,dan peningkatan system manajemen.

3. Laboratorium Lingkungan Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion

Sumatera mempunyai seorang Manajer Mutu yang bertanggung jawab

langsung kepada Manajer Puncak dan memastikan sistem manajemen

mutu diterapkan dan diikuti setiap waktu di laboratorium.

4. Laboratorium Lingkungan Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion

Sumaterajuga memiliki seorang Manajer Teknis yang bertanggung jawab

9
penuh di dalam kegiatan teknis dan operasional laboratorium

termasukkebutuhansumberdayauntuk memenuhi persyaratan mutu.

5. Laboratorium Lingkungan Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion

Sumatera menetapkan personel yang bertanggungjawab untuk melakukan

pengambilan contoh, personel yang melakukan pengujian, dan personel

yang bertanggung jawab atas keselamatan dan kesehatan kerja serta

pengelolaan limbah laboratorium.

Visi Misi Pusat Pengendalian Ekoregion Sumatera, KLHK :

Visi :

Pembangunan yang dapat memnuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat

generasi saat ini tanpa mengurangi potensi pemenuhan aspirasi dan

kebutuhan generasi mendatang.

Misi :

Mendorong digunakannya prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan

secara konsekuen, konsisten, dan kontiniu di Indonesia melalui :

1. Penyusunan kebijakan

2. Koordinasi pelaksanaanya

3. Pengawasan

4. Berperan serta dalam usaha tingkat global bagi pembangunan

berkelanjutan

Strategi :

1. Penyusunan kebijaksanaan pembangunan berkelanjutan dan

mengkoordinasikannya

10
2. Pemberdayaan individu kelompok dan legislatif

3. Peningkatan kemampuan Pemerintah Daerah dalam

penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (Good Environtmental

Governance)

4. Mendorong penataan terhadap kebijakan dan hukum

5. Penyerasian tiga pilar kegiatan : Ekonomi,Sosial,dan Lingkungan

6. Memperjuangkan pembangunan berkelanjutan tingkat global dan

regional.

Gambaran Umum Instansi

Gambar 2.1 Struktur Organisasi P3E Sumatera

11
Gambar 2.2. Struktur Organisasi Laboratorium Lingkungan P3E Sumatera

Manajer Puncak
(Ka. P3ES)
12
Manajer Mutu Manajer Teknis Manajer
Administrasi &
Keuangan
Tim Audit Pengendali
Internal Dokumen

Penyelia Penyelia Petugas Penyelia Petugas


Pengambil Pengambil K3 Analis Pengelola
Contoh Uji Contoh Uji Limbah
Udara Air

Petugas Petugas
Pengambil Pengambil Analis Lab
Contoh Uji Contoh Uji
Udara Air

BAB II

13
PENGUJIAN AIR PERMUKAAN DAN AIR LIMBAH DENGAN
PARAMETER COD METODE SPEKTROFOTOMETRI
REFLUK TERTUTUP

2.1. Tinjuan Pustaka


2.1.1 Pengertian Air

Air adalah senyawa yang penting bagi semua bentuk kehidupan yang

diketahui sampai saat ini di Bumi, tetapi tidak di planet lain. Air menutupi

hampir 71% permukaan Bumi. Terdapat 1,4 triliun kilometer kubik (330 juta

mil³) tersedia di Bumi. Air sebagian besar terdapat di laut (air asin) dan pada

lapisan-lapisan es (di kutub dan puncak-puncak gunung), akan tetapi juga

dapat hadir sebagai awan, hujan, sungai, muka air tawar, danau, uap air, dan

lautan es. Air dalam objek-objek tersebut bergerak mengikuti suatu siklus

air, yaitu: melalui penguapan, hujan, dan aliran air di atas permukaan tanah

(runoff, meliputi mata air, sungai, muara) menuju laut. Air bersih penting

bagi kehidupan manusia.

Air adalah substansi kimia dengan rumus kimia H2O: satu molekul air

tersusun atas dua atom hidrogen yang terikat secara kovalen pada satu atom

oksigen. Air bersifat tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau pada

kondisi standar, yaitu pada tekanan 100 kPa (1 bar) and temperatur 273,15 K

(0 °C). Zat kimia ini merupakan suatu pelarut yang penting, yang memiliki

kemampuan untuk melarutkan banyak zat kimia lainnya, seperti garam-

14
garam, gula, asam, beberapa jenis gas dan banyak macam molekul organik.

2.1.2 Pengertian Limbah

Limbah adalah zat atau bahan buangan yang dihasilkan dari proses

kegiatan manusia (Ign Suharto, 2011 : 226).  Limbah dapat berupa tumpukan

barang bekas, sisa kotoran hewan, tanaman, atau sayuran. Keseimbangan

lingkungan menjadi terganggu jika jumlah hasil buangan tersebut melebihi

ambang batas toleransi lingkungan. Apabila konsentrasi dan kuantitas

melebihi ambang batas, keberadaan limbah dapat berdampak negatif terhadap

lingkungan terutama bagi kesehatan manusia sehingga perlu dilakukan

penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan

oleh limbah bergantung pada jenis dan karakteristik limbah.

Adapun karakteristik limbah secara umum menurut Nusa Idaman Said, 2011 

adalah sebagai berikut:

1. Berukuran mikro, maksudnya ukurannya terdiri atas partikel-partikel kecil

yang dapat kita lihat.

2. Penyebarannya berdampak banyak, maksudnya bukan hanya berdampak

pada lingkungan yang terkena limbah saja melainkan berdampak pada

sector-sektor kehidupan lainnya, seperti sektor ekonomi, sektor kesehatan

dll.

3. Berdampak jangka panjang (antargenerasi), maksudnya masalah limbah

tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Sehingga dampaknya akan

ada pada generasi yang akan datang.

15
Penggolongan Limbah :

a. Berdasarkan polimer penyusun mudah dan tidak terdegradasinya menurut

Nusa Idaman Said, 2011, limbah dibagi menjadi dua    golongan besar:

a) Limbah yang dapat mengalami perubahan secara alami (degradable waste

= mudah terurai), yaitu limbah yang dapat mengalami dekomposisi oleh

bakteri dan jamur, seperti daun-daun, sisa makanan, kotoran, dan lain-lain.

b) Limbah yang tidak atau sangat lambat mengalami perubahan secara alami

(nondegradable waste = tidak mudah terurai), misanya plastic, kaca,

kaleng, dan sampah sejenisnya.

b. Berdasarkan Wujudnya menurut Ign Suharto, 2011, limbah dibedakan

menjadi tiga, yaitu:

a) Limbah padat, limbah padat adalah limbah yang berwujud padat.

Limbah padat bersifat kering, tidak dapat berpindah kecuali ada yang

memindahkannya. Limbah padat ini misalnya, sisa makanan, sayuran,

potongan kayu, sobekan kertas, sampah, plastik, dan logam.

b) Limbah cair, limbah cair adalah limbah yang berwujud cair.

Limbah cair terlarut dalam air, selalu berpindah, dan tidak pernah diam.

Contoh limbah cair adalah air bekas mencuci pakaian, air bekas

pencelupan warna pakaian, dan sebagainya.

c) Limbah gas, limbah gas adalah limbah zat (zat buangan) yang berwujud

gas. Limbah gas dapat dilihat dalam bentuk asap. Limbah gas selalu

16
bergerak sehingga penyebarannya sangat luas. Contoh limbah gas adalah

gas pembuangan kendaraan bermotor. Pembuatan bahan bakar minyak

juga menghasilkan gas buangan yang berbahaya bagi lingkungan.

c. Berdasarkan Sumbernya menurut A. K. Haghi, 2011, jenis limbah dapat

dibedakan menjadi:

a) Limbah rumah tangga, limbah rumah tangga disebut juga limbah

domestik.

b) Limbah industri, limbah industri adalah limbah yang berasal dari industri

pabrik.

c) Limbah pertanian, limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan pertanian,

contohnya sisa daun-daunan, ranting, jerami, dan kayu.

d) Limbah konstruksi. Adapun limbah konstruksi didefinisikan sebagai

material yang sudah tidak digunakan yang dihasilkan dari proses

konstruksi, perbaikan atau perubahan. Material limbah konstruksi

dihasilkan dalam setiap proyek konstruksi, baik itu proyek pembangunan

maupun proyek pembongkaran (contruction and demolition). Limbah yang

berasal dari perobohan atau penghancuran bangunan digolongkan dalam

demolition waste, sedangkan limbah yang berasal dari pembangunan

perubahan bentuk (remodeling), perbaikan (baik itu rumah atau bangunan

komersial), digolongkan ke dalam construction waste.

e) Limbah radioaktif, limbah radioaktif berasal dari setiap pemanfaatan

tenaga nuklir, baik pemanfaatan untuk pembangkitan daya listrik

menggunakan reaktor nuklir, maupun pemanfaatan tenaga nuklir untuk

keperluan industri dan rumah sakit. Bahan atau peralatan terkena atau

17
menjadi radioaktif dapat disebabkan karena pengoperasian instalasi nuklir

atau instalasi yang memanfaatkan radiasi pengion.

d. Berdasarkan sifatnya menurut A. K. Haghi, 2011, limbah terdiri atas enam

jenis, yaitu:

a) Limbah mudah meledak, limbah mudah meledak adalah limbah yang

melalui proses kimia dapat menghasilkan gas dengan suhu tekanan tinggi

serta dapat merusak lingkungan.

b) Limbah mudah terbakar, bahan limbah yang mudah terbakar adalah

limbah yang mengandung bahan yang menghasilkan gesekan atau

percikan api jika berdekatan dengan api.

c) Limbah reaktif, limbah reaktif adalah limbah yang memiliki sifat mudah

bereaksi dengan oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil

dalam suhu tinggi dan dapat menyebabkan kebakaran.

d) Limbah beracun, limbah beracun atau limbah B3 adalah limbah yang

mengandung racun berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Limbah ini

mengakibatkan kematian jika masuk ke dalam laut.

e) Limbah korosif adalah limbah yang dapat menyebabkan iritasi pada kulit

dan dapat membuat logam berkarat.

Karakteristik Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit

Limbah cair berasal dari beberapa proses pengolahan kelapa sawit, antara

lain air hasil perebusan (10-15%), air drab (lumpur) (±35%), dan air hidrosiklon

(5-10%). Limbah kelapa sawit mengandung bahan organik yang cukup tinggi.

Tingginya bahan organik tersebut mengakibatkan beban pencemaran yang

semakin besar, karena diperlukan degradasi bahan organik yang lebih besar.

18
Menurut pengamatan yang telah dilakukan oleh beberapa pabrik kelapa sawit

dapat dikatakan bahwa limbah sawit yang dibuang langsung ke sungai akan

mempengaruhi kualitas air (Naibaho, 1998). Berikut komposisi kimia limbah

cair pabrik kelapa sawit.

Tabel 1. Komposisi kimia limbah cair kelapa sawit

No Komponen % (berat kering)

1. Protein (N x 6.25) 8.2

2. Serat 11.9

3. Abu 14.1

4. Fosfor (P) 0.24

5. Kalium (K) 0.99

6. Carbon (C) 0.97

7. Magnsium (Mg) 0.30

8. Natrium (Na) 0.08

9. Energi (kkal/100 gr) 454

Sumber : Loebis dan Toebing (1989)

Salah satu komponen LCPKS yang penting karena diduga sebagai

penyebab pencemaran lingkungan adalah lumpur (sludge). Sludge merupakan

larutan buangan yang dihasilkan selama proses pemerasan dan ekstraksi

minyak.

Sludge yang berasal dari proses klarifikasi (pemurnian minyak) disebut

19
sebagai lumpur primer. Sludge yang telah mengalami proses sedimentasi disebut

sebagai lumpur sekunder. Sludge tersebut mempunyai kandungan bahan organik

yang tinggi dan mempunyai pH kurang dari 5.

2.1.3 Penyebab pencemaran air

Pencemaran air adalah suatu perubahan keadaan di suatu tempat

penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat aktivitas

manusia. Danau, sungai, lautan dan air tanah adalah bagian penting dalam

siklus kehidupan manusia dan merupakan salah satu bagian dari siklus

hidrologi. Selain mengalirkan air juga mengalirkan sedimen dan polutan.

Berbagai macam fungsinya sangat membantu kehidupan manusia.

Pemanfaatan terbesar danau, sungai, lautan dan air tanah adalah untuk irigasi

pertanian, bahan baku air minum, sebagai saluran pembuangan air hujan dan

air limbah, bahkan sebenarnya berpotensi sebagai objek wisata.

a. Penyebab Pencemaran Air

Sumber polusi air antara lain limbah industri, pertanian dan rumah tangga.

Ada beberapa tipe polutan yang dapat masuk perairan yaitu : bahan-bahan

yang mengandung bibit penyakit, bahan-bahan yang banyak membutuhkan

oksigen untuk pengurainya, bahan-bahan kimia organic dari industri atau

limbah pupuk pertanian, bahan-bahan yang tidak sedimen (endapan), dan

bahan-bahan yang mengandung radioaktif dan panas.

b. Dampak Pencemaran Air

Bibit-bibit penyakit berbagai zat yang bersifat racun dan bahan radioaktif

dapat merugikan manusia. Berbagai polutan memerlukan O2 untuk

20
pengurainya. Jika O2 kurang , pengurainya tidak sempurna dan menyebabkan

air berubah warnanya dan berbau busuk. Bahan atau logam yang berbahaya

seperti arsenat, uradium, krom, timah, air raksa, benzon, tetraklorida, karbon

dan lain-lain. Bahan-bahan tesebut dapat merusak organ tubuh manusia atau

dapat menyebabkan kanker. Sejumlah besar limbah dari sungai akan masuk

kelaut. Polutan ini dapat merusak kehidupan air sekitar muara sungai dan

sebagian kecil laut muara. Bahan-bahan yang berbahaya masuk kelaut atau

samudera mempunyai akibat jangka panjang yang belum diketahui. Banyak

jenis kerang-kerangan yang mungkin mengandung zat yang berbahaya untuk

dimakan. Laut dapat pula tecemar oleh minyak yang asalnya mungkin dari

pemukiman, pabrik, melalui sungai atau dari kapal tanker yang rusak. Minyak

dapat mematikan, burung dan hewan laut lainnya, sebagai contoh, efek

keracunan hingga dapat dilihat di Jepang. Merkuri yang dibuang sebuah

industri plastik keteluk minamata terakumulasi di jaringan tubuh ikan dan

masyarakat yang mengkonsumsinya menderita cacat dan meninggal.

c. Upaya yang Harus Dilakukan

Penguraian polutan air tanah sulit sekali karena airnya tidak mengalir dan

tidak mengandung bakteri pengurai yang aerob jadi, air tanah yang tercemar

akan tetap tercemar dalam yang waktu yang sangat lama, walau tidak ada

bahan pencemaran yang masuk. Karena ini banyak usaha untuk menjaga agar

tanah tetap bersih misalnya:

1. Menempatkan daerah industri atau pabrik jauh dari daerah perumahan

atau pemukiman.

2. Pembuangan limbah industri diatur sehingga tidak mencermari

21
lingkungan atau ekosistem.

3. Pengawasan terhadap penggunaan jenis-jenis pestisida dan zat-zat kimia

lain yang dapat menimbulkan pencemaran.

4. Memperluas gerakan penghijauan.

5. Tindakan tegas terhadap perilaku pencemaran lingkungan.

6. Memberikan kesadaran terhadap masyaratkat tentang arti lingkungan

hidup sehingga manusia lebih lebih mencintai lingkungan hidupnya.

7. Melakukan intensifikasi pertanian.

2.1.4 Analisa Parameter Air dan Air Limbah

2.1.1

2.1.2

2.1.3

2.1.4

2.1.4.1 Chemical Oxygen Demand (COD)

COD adalah kebutuhan oksigen dalam proses oksidasi secara kimia

dapat dioksidasi secara kimia menggunakan dikromat dalam larutan asam.

Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organis

yang secara ilmiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis dan

mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air (Alaerts, 1984).

Kebutuhan oksigen kimiawi atau COD menggambarkan jumlah total

22
oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara

kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis maupun yang sukar

didegradasi secara biologis menjadi CO2 dan H2O (Byold,1998).

Persamaan yang digunakan dalam uji COD yaitu :

Organik + Cr2O7-2 + H+ CO2 + H2O + 2Cr2+3

Dalam hal ini bahan buangan organik akan dioksidasi oleh kalium

bikromat atau K2Cr2O7 menjadi gas CO2 dan H2O serta jumlah ion chrom.

K2Cr2O7 digunakan sebagai sumber oksigen.Warna larutan air lingkungan

yang mengandung bahan buangan organik sebelum reaksi oksidasi adalah

kuning. Setelah reaksi oksidasi selesai maka akan berubah menjadi hijau.

Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk reaksi oksidasi terhadap barang

buangan organik sama dengan jumlah kalium bikromat. Makin banyak

kalium bikromat yang dipakai pada reaksi oksidasi, berarti makin banyak

oksigen yang diperlukan.Ini berarti air lingkungan makin banyak tercemar

oleh bahan buangan organik. Dengan demikian maka seberapa jauh tingkat

pencemaran air lingkungan dapat ditentukan (Sukmadewa, 2007).

2.1.4.2 Spektrofotometer UV – Vis

Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis

spektroskopi yang memakai sumber radiasi eleltromagnetik ultraviolet

dekat (190-380) dan sinar tampak (380-780) dari instrumen

spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995). Merupakan suatu metoda

analisa yang didasarkan pada pengukuran serapan  sinar monokromatis

oleh suatu lajur larutan berwarna pada panjang gelombang spesifik dengan

menggunakan monokromator prisma atau kisi difraksi dengan

23
detektor fototube (Underwood,2001).

Spektrofotometer terdiri atas spektrometer dan

fotometer.Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan

panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas

cahaya yang ditranmisikan atau yang diabsorpsi. Spektrofotometer

tersusun atas sumber spektrum yang kontinyu, monokromator, sel

pengabsorpsi untuk larutan sampel atau blangko dan suatu alat untuk

mengukur pebedaan absorpsi antara sampel dan blangko ataupun

pembanding (Khopkar, 1990).

Spektrofotometer UV-Vis dapat melakukan penentuan terhadap

sampel yang berupa larutan, gas, atau uap. Untuk sampel yang berupa

larutan perlu diperhatikan pelarut yang dipakai antara lain (Mulja dan

Suharman, 1995) :

1. Pelarut yang dipakai tidak mengandung sistem ikatan rangkap

terkonjugasi pada struktur molekulnya dan tidak berwarna.

2. Tidak terjadi interaksi dengan molekul senyawa yang dianalisis.

3. Kemurniannya harus tinggi atau derajat untuk analisis.

Spektrofotometri dapat dianggap sebagai perluasan suatu pemeriksaan

visual dengan studi yang lebih mendalam dari absorbsi energi.Absorbsi

radiasi oleh suatu sampel diukur pada berbagai panjang gelombang dan

dialirkan oleh suatu perkam untuk menghasilkan spektrum tertentu yang

khas untuk komponen yang berbeda (Khopkar, 2003). Absorbsi sinar oleh

larutan mengikuti hukum Lambert-Beer, yaitu :

A =     log ( Io / It )         =  a b c

24
Keterangan  :

Io = Intensitas sinar datang

It = Intensitas sinar yang diteruskan

a = Absorptivitas

b = Panjang sel/kuvet

c = konsentrasi (g/l)

A = Absorban

Spektrofotometri merupakan bagian dari fotometri dan dapat dibedakan dari

filter fotometri sebagai berikut :

1. Daerah jangkauan spektrum

Filter fotometer hanya dapat digunakan untuk mengukur serapan sinar

tampak (400-750 nm). Sedangkan spektrofotometer dapat mengukur serapan

di daerah tampak, UV (200-380 nm) maupun IR (> 750 nm).

2. Sumber sinar

Sesuai dengan daerah jangkauan spektrumnya maka spektrofotometer

menggunakan sumber sinar yang berbeda pada masing-masing daerah (sinar

tampak, UV, IR). Sedangkan sumber sinar filter fotometer hanya untuk

daerah tampak.

3. Monokromator

Filter fotometer menggunakan filter sebagai monokrmator. Tetapi pada

spektro digunakan kisi atau prisma yang daya resolusinya lebih baik.

4. Detektor

 Filter fotometer menggunakan detektor fotosel

 Spektrofotometer menggunakan tabung penggandaan foton atau

25
fototube.

Komponen utama dari spektrofotometer yaitu :

a. Sumber cahaya

Untuk daerah UV dan daerah tampak :

 Lampu wolfram (lampu pijar) menghasilkan spektrum kontiniu pada

gelombang 320-2500 nm.

 Lampu hidrogen atau deutrium (160-375 nm)

 Lampu gas xenon (250-600 nm)

Spektrum radiasi garis UV atau tampak :

 Lampu uap (Lampu Natrium, Lampu Raksa)

 Lampu katoda cekung/lampu katoda berongga

 Lampu pembawa muatan dan elektroda (elektrodeless dhischarge lamp)

b. Pengatur Intensitas

Berfungsi untuk mengatur intensitas sinar yang dihasilkan oleh sumber cahaya

agar sinar yang masuk tetap konstan.

c. Monokromator

Berfungsi untuk merubah sinar polikromatis menjadi sinar monokromatis

sesuai yang dibutuhkan oleh pengukuran.

Macam-macam monokromator :

 Prisma

 Kaca untuk daerah sinar tampa

 Kuarsa untuk daerah UV

26
 Rock salt (kristal garam) untuk daerah IR

 Kisi difraksi

Keuntungan menggunakan kisi :

 Dispersi sinar merata

 Dispersi lebih baik dengan ukuran pendispersi yang sama

 Dapat digunakan dalam seluruh jangkauan spektrum

d. Kuvet

Pada pengukuran di daerah sinar tampak digunakan kuvet kaca dan daerah UV

digunakan kuvet kuarsa serta kristal garam untuk daerah IR.

e. Detektor

Fungsinya untuk merubah sinar menjadi energi listrik yang sebanding dengan

besaran yang dapat diukur.

Syarat-syarat ideal sebuah detektor :

 Kepekaan yang tinggi

 Perbandingan isyarat atau signal dengan bising tinggi

 Respon konstan pada berbagai panjang gelombang.

 Waktu respon cepat dan signal minimum tanpa radiasi.

Macam-macam detektor : Detektor foto (Photo detector), Photocell,

Phototube, Hantaran foto, Dioda foto, dan Detektor panas.

f. Penguat (amplifier)

Berfungsi untuk memperbesar arus yang dihasilkan oleh detektor agar dapat

dibaca oleh indikator (Hastuti,2007).

27
2.1.5 Jaminan Mutu dan Pengendalian Mutu Hasil Pengujian

Jaminan mutu dapat diartikan sebagai keseluruhan kegiatan yang

sistematik dan terencana yang diterapkan dalam pengujian sehingga memberikan

keyakinan yang memadai bahwa data yang dihasilkan memenuhi persyaratan

mutu sehingga dapat diterima oleh pengguna. Pengendalian mutu adalah suatu

tahapan dalam prosedur yang dilakukan untuk mengevaluasi suatu aspek teknis

pengujian (Pusarpedal.menlh.go.id, 2012)

Tujuan jaminan mutu dan pengendalian mutu pengujian adalah

memastikan bahwa tahapan proses pengujian dapat berjalan secara efektif dan

efisien dengan cara mengendalikan kesalahan-kesalahn (error) yang mungkin

terjadi.

Beberapa hal yang merupakan komponen dari jaminan mutu hasil uji

adalah sebagai berikut (Pusarpedal.menlh.go.id, 2012) :

1. Penggunaan Bahan Acuan Standar Untuk Menguji Akurasi Hasil Pengujian.

Bahan acuan (reference material) merupakan bahan atau zat yang telah

diuji sifat dan konsentrasinya melalui suatu proses yang dilakukan secara

akurat. Bahan acuan bersertifikat (CRM) merupakan bahan acuan yang sifat

dan konsentrasinya telah diuji dan diberi sertifikat dengan prosedur teknis yang

telah baku dan dapat tertelusur ke dalam Satuan Internasional (SI) atau

dokumen yang diterbitkan oleh badan yang tersertifikasi.

Kegunaan bahan acuan adalah untuk pengujian akurasi. Pengujian akurasi

dilakukan untuk mengukur kemampuan suatu metode analisis dalam

memperoleh nilai yang sebenarnya (ketepatan pengukuran). Akurasi

28
dinyatakan sebagai persentase (%) perolehan kembali (recovery). Nilai akurasi

dihitung dari besarnya rata-rata (meann, x) kadar yang diperoleh dari

serangkaian pengukuran dengan kadar sebenarnya, dengan istilah kedapatan

ulang (recovery).

hasil pengujianulang
Kedapatan ulang (recovery) = x 100%
nilai sebenaynya

2. Pengujian Ulang Untuk Menguji Presisi Hasil Pengujian

Pengujian ulang dari suatu pengujian umunya dilakukan untuk mengukur

kemampuan suatu metode pengujian untuk menunjukkan kedekatan atau

presisi dari suatu seri pengukuran yang diperoleh dari contoh yang homogen.

Tabel 2.2. Jenis presisi (Hadi, 2010)

Presisi
Internal reproducibility External reproducibility
Repeatability
(reproducibility within lab) (reproducibility between lab)
Laboratorium Laboratorium Laboratorium Beda
Analis Metode uji Analis Beda
Sama
Contoh uji Contoh uji Contoh uji Sama
Bahan kimia Bahan kimia Bahan kimia
Sama
Peralatan Peralatan Peralatan Salah satu atau
Metode uji Analis Salah satu Metode uji lebih boleh
atau lebih
beda
Waktu Waktu boleh beda Waktu
Ukuran presisi
Ukuran presisi sedang Ukuran presisi terbesar
terkecil

Nilai presisi untuk dua kali pengulangan dinyatakan dengan RPD (Relative

29
Precence Difference) dan untuk pengulangan lebih dari dua kali dinyatakan

dengan RSD ( Relative Standard Deviation).

3. Pengujian Blanko

Blanko merupakan air destilasi bebas analit yang digunakan untuk kontrol

kontaminasi mulai dari saat pengambilan contoh di lapangan, preparasi di

laboratorium sampai pada saat pengukuran. Air destilasi yang digunakan harus

memiliki nilai DHL (daya hantar listrik) kecil dari 1µS/cm.

Konsentrasi analit di dalam larutan blanko harus lebih kecil dari batas

deteksi metode (MDL). Seandainya analit di dalam larutan blanko lebih besar

dari MDL maka kemungkinan – kemungkinan yang menjadi sumber

kontaminasi harus ditemukan dan ditindaklanjuti.

2.2. Bahan yang digunakan

a) air bebas organik;

b) digestion solution pada kisaran konsentrasi tinggi.

c) digestion solution pada kisaran konsentrasi rendah.

d) larutan pereaksi asam sulfat

e) asam sulfamat (NH2SO3H).

f) larutan baku Kalium Hidrogen Ftalat (HOOCC6H4COOK, KHP) ≈ COD

500 mg O2/L

g) contoh uji

30
2.3. Alat yang digunakan

a) Spektrofotometer sinar tampak (400 nm sampai dengan 700 nm);

b) kuvet;

c) digestion vessel, lebih baik gunakan kultur tabung borosilikat dengan

ukuran 16 mm x 100 mm; 20 mm x 150 mm atau 25 mm x 150 mm

bertutup ulir. Atau alternatif lain, gunakan ampul borosilikat dengan

kapasitas 10 mL (diameter 19 mm sampai dengan 20 mm);

d) pemanas dengan lubang-lubang penyangga tabung (heating block);

e) buret;

f) labu ukur 50,0 mL; 100,0 mL; 250,0 mL; 500,0 mL dan 1000,0 mL;

g) pipet volumetrik 5,0 mL; 10,0 mL; 15,0 mL; 20,0 mL dan 25,0 mL;

h) gelas piala;

i) magnetic stirrer; dan

j) timbangan analitik dengan ketelitian 0,1 mg.

2.4. Prosedur Kerja

2.4.1 Prosedur Analisis COD Secara Spektrofometri SNI 6989.2.2009

1. Pembuatan kurva kalibrasi

Kurva kalibrasi dibuat dengan tahapan sebagai berikut:

a) hidupkan alat dan optimalkan alat uji spektrofotometer sesuai

petunjuk penggunaan alat untuk pengujian COD. Atur panjang

gelombangnya pada 600 nm atau 420 nm;

b) ukur serapan masing-masing larutan kerja kemudian catat dan

plotkan terhadap kadar COD;

31
c) buat kurva kalibrasi dari data pada butir 3.7.1.b) di atas dan

tentukan persamaan garis lurusnya;

d) jika koefisien korelasi regreasi linier (r) < 0,995, periksa kondisi

alat dan ulangi langkah hingga diperoleh nilai koefisien r ≥ 0,995.

2. Pengukuran contoh uji

Untuk contoh uji COD 100 mg/L sampai dengan 900 mg/L

a) dinginkan perlahan-lahan contoh yang sudah direfluks sampai suhu

ruang untuk mencegah terbentuknya endapan. Jika perlu, saat

pendinginan sesekali tutup contoh dibuka untuk mencegah adanya

tekanan gas;

b) biarkan suspensi mengendap dan pastikan bagian yang akan diukur

benar-benar jernih;

c) ukur serapan contoh uji pada panjang gelombang yang telah

ditentukan (600 nm);

d) hitung kadar COD berdasarkan persamaan linier kurva kalibrasi;

e) lakukan analisa duplo.

Untuk contoh uji COD lebih kecil dari atau sama dengan 90 mg/L

a) dinginkan perlahan-lahan contoh yang sudah direfluks sampai suhu

ruang untuk mencegah terbentuknya endapan. Jika perlu, saat

pendinginan sesekali tutup contoh dibuka untuk mencegah adanya

tekanan gas;

b) biarkan suspensi mengendap dan pastikan bagian yang akan diukur

benar-benar jernih;

32
c) gunakan pereaksi air sebagai larutan referensi;

d) ukur serapannya contoh uji pada panjang gelombang yang telah

ditentukan (420 nm);

e) hitung kadar COD berdasarkan persamaan linier kurva kalibrasi;

f) lakukan analisa duplo.

2.5. Pengamatan

2.2

2.3

2.4

2.5

2.5.1 Data

Data pengujian COD (ChemicalOxygen Demand) terlampir pada worksheet.

2.5.2 Perhitungan

1. Sampel Air Limbah ( 3 AL COD HIGH)

nilai yang didapat


%RLCS = × 100 %
nilai target

188,458mg / L
= × 100 %
200 mg /L

= 94, 23% (100±15%)

(hasil pengukuran−duplikat pengukuran)


%RPD = ×100 %
rata−rata pengukuran

( 370,413−365,345 ) mg/ L
= ×100 %
367,879 mg/ L

= 1, 38% (< 10%)

Kadar COD (mg O2/ L) = C × f

33
= 367, 879 × 5

= 1839, 395 mg O2/ L

2. Sampel Air Limbah (1 AL COD LOW)

nilai yang didapat


%RLCS = × 100 %
nilai target

22,069 mg/L
= × 100 %
20 mg/ L

= 110, 34% (100±15%)

(hasil pengukuran−duplikat pengukuran)


%RPD = ×100 %
rata−rata pengukuran

( 55,223−54,848 ) mg / L
= ×100 %
55,0355 mg/ L

= 0,68% (< 10%)

Kadar COD (mg O2/ L) = C × f

= 55,0355 mg O2/ L

3. Sampel Air Permukaan (1 AS COD HIGH)

nilai yang didapat


%RLCS = × 100 %
nilai target

184,421mg/ L
= ×100 %
200 mg/ L

= 92, 21% (100±15%)

(hasil pengukuran−duplikat pengukuran)


%RPD = ×100 %
rata−rata pengukuran

( 157,432−154,321 ) mg/ L
= × 100 %
155,8765 mg / L

= 2% (< 10%)

Kadar COD (mg O2/ L) = C × f

= 155,8765 mg O2/L

34
2.6. Pembahasan

Chemical Oxygen Demand (COD) adalah jumlah oksigen (mg O2) yang

dibutuhkan untuk mengoksidasi zat – zat organik yang ada dalam 1 L sampel air

dimana pengoksidasi K2Cr2O7 digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing

agent).

Pada pengujian COD, contoh uji yang telah dipipet ditambahkan larutan

pencerna atau digestion solution high dan low karena contoh uji yang akan

dianalisa merupakan air limbah cair kelapa sawit dan air permukaan sehingga

bisa diasumsikan kandungan zat organiknya. Untuk mengetahui penggunaan high

dan low bisa dilihat secara warna air limbah itu sendiri, jika tidak terlalu pekat dan

keruh maka bisa menggunakan disgestion solution low seperti contoh uji air

permukaan dan digestion solution high untuk air limbah cair kelapa sawit.

Digestion solution ini dibuat dari K2Cr2O7 dan HgSO4. Dimana K2Cr2O7

berfungsi sebagai pereaksi (oksidator) zat organik di dalam contoh uji, sedangkan

HgSO4 berfungsi untuk menghilangkan gangguan klorida yang terdapat di dalam

contoh uji. Ketika contoh uji ditambahkan larutan pencerna (campuran K2Cr2O7

dan HgSO4) maka ion – ion klorida yang terdapat di dalam contoh uji akan

bereaksi dengan HgSO4 membentuk HgCl2 yang akan mengendap. Ion-ion klorida

ini biasanya selalu terdapat di dalam air sungai dan air limbah dalam konsentrasi

yang bervariasi. Maka penambahan HgSO4 sangat penting karena ion-ion klorida

akan mengganggu reaksi antara zat – zat organik dengan K 2Cr2O7 sehingga akan

mempengaruhi hasil menjadi lebih tinggi dari hasil sebenarnya.

Kemudian contoh uji ditambahkan dengan pereaksi asam sulfat yang

35
dibuat dari Ag2SO4 yang dilarutkan dengan H2SO4 pekat. Ag2SO4 berfungsi

sebagai katalisator dalam pengujian ini. H2SO4 pekat ditambahkan sebagai

penyedia suasana asam karena K2Cr2O7 hanya mampu mengoksidasi zat organik

yang ada bila berada dalam suasana asam dan pada suhu tinggi. Oleh sebab itu

suhu reaksi (refluk) diatur pada 150˚C. Suhu ini dipilih karena disuhu inilah suhu

minimum reaksi dapat terjadi secara sempurna. Waktu refluk diatur selama 2 jam

sebab di bawah 2 jam reaksi belum berlangsung secara sempurna, sedangkan

apabila lebih dari 2 jam akan memperlambat penyelesaian pengujian sedangkan

dalam waktu 2 jam tersebut reaksi sudah berlangsung secara sempurna.

K2Cr2O7 akan bereaksi dengan zat-zat organik sehingga Cr+6 akan tereduksi

menjadi Cr+3. Banyaknya pengurangan ion Cr+6 setara dengan jumlah zat organik

di dalam sampel yang dapat dideteksi menggunakan spektrofotometer berdasarkan

ion Cr+3 (terbentuknya warna hijau). Menurut SNI 6989.2:2009 pengukuran

dilakukan pada panjang gelombang 600 nm, sedangkan pada saat pengujian

pengukuran dilakukan pada panjang gelombang dengan nilai absorbansi

maksimum pada range 550 – 650 nm dan panjang gelombang maksimum yang

didapatkan adalah 601,5 nm. Nilai panjang gelombang yang didapatkan berbeda

dengan SNI, hal ini disebabkan oleh perbedaan kemampauan masing-masing

spektrofotometer. Tujuan pengukuran dilakukan pada panjang gelombang

maksimum agar sensitivitas pengukuran menjadi lebih tinggi sehingga sampel

yang mempunyai perbedaan konsentrasi yang sedikit masih bisa terdeteksi oleh

spektrofotometer.

Sebagai jaminan bahwa hasil yang didapatkan bisa dipercaya, pengujian

dilakukan secara duplo guna mengetahui presisi (%RPD). Pada pengujian

36
didapatkan nilai %RPD antara 0,00 – 2 %, nilai ini masih di bawah syarat yang

ditetapkan laboratorium untuk pengendalian mutu yaitu di bawah 10%. Selain

melakukan analisis secara duplo juga dilakukan pengujian terhadap larutan

standar(larutan yang sudah diketahui konsentrasinya) untuk mengetahui akurasi

pengukuran (%RLCS). Hasil yang didapatkan masih berada di dalam range yang

dipersyaratkan oleh laboratorium yaitu antara 92, 21 – 110,34 % dari range 85 –

115 %, hal ini menunjukkan pengujian memiliki akurasi yang cukup tinggi. Dari

pengujian contoh uji yang telah dilakukan didapatakan konsentrasi COD pada

contoh uji 1 As 155, 8765 mg/L ; contoh uji 1 AL 55, 0355 mg/L dan contoh uji 3

AL 1839, 395 mg/L.

BAB III

PENUTUP

37
3

3.1. Kesimpulan

Dari hasil pengujian yang dilakukan menunjukan bahwa kandungan COD

dalam 3 contoh uji, air limbah cair kelapa sawit dan air permukaan mendapatkan

hasil yang beragam. Contoh uji 3 AL didapatkan konsentrasi COD 1839, 395 mg

O2/ L telah melebihi baku mutu Permen LH No.5 Tahun 2014 dan contoh uji 1

AS didapatkan konsentrasi COD 155,8765 mg O 2/L juga telah melebihi baku

mutu PP 82 Tahun 2001. Sedangkan untuk contoh uji 1 AL didapatkan

konsentrasi COD 55,0355 mg O2/ L masih memenuhi persyaratan baku mutu

untuk air limbah kelapa sawit sesuai Permen LH No. 5 Tahun 2014.

3.2. Saran

Kualitas limbah cair kelapa sawit dan air permukaan yang telah dianalisis

dengan parameter COD belum bisa dikatakan layak untuk dibuang ke

lingkungan dan dikatakan tercemar karena belum semua parameter yang

dipersyaratkan PerMen LH No.5 Tahun 2014 dan PP 82 Tahun 2001 dilakukan

pengujiannya.Maka harus dilakukan pengujian semua parameter yang

dipersyaratkan sehingga bisa diketahui apakah limbah cair kelapa sawit tersebut

sudah layak di buang ke lingkungan dan air permukaan pun belum bisa

dipastikan tercemar.

38

Anda mungkin juga menyukai