Anda di halaman 1dari 4

JAWABAN UTS :

1. Apakah perbedaan antara wajib ’ain dan wajib kifa’i? (Bab II No.6)
a. Wajib ’ain yaitu kewajiban yang dibebankan oleh syari’ kepada setiap orang
mukallaf. Artinya, bila hanya sebagian orang mukallaf saja yang mengerjakan, sedang
orang lain tidak mengerjakannya, maka kewajiban tersebut tidak membebaskan
beban orang yang tidak mengerjakannya contoh: kewajiban menjalankan shalat,
membayar zakat, memenuhi janji yang pernah diucapkan.
b. Wajib kifa’i (kifayah) yaitu kewajiban yang dibebankan oleh syari’ pada
kelompok orang mukalaf. Artinya, apabila ada salah seorang dari orang mukallaf telah
mengerjakan kewajiban yang dituntut itu, maka orang mukallaf lain yang tidak
mengerjakannya tidak berdosa. Akan tetapi bila tidak ada seorangpun yang
mengerjakannya, maka seluruh orang mukallaf memikul dosanya karena tidak
terlaksananya kewajiban tersebut. Contoh: memandikan, mengkafani, menshalatkan
serta mengubur jenazah, ber-amar ma’ruf nahi munkar, mendirikan rumah sakit Islam
dan mendirikan perusahaan yang sangat dibutuhkan oleh umat Islam. Wajib kifa’i itu
dapat berubah menjadi wajib ’ain apabila seorang yang sanggup menjalankan beban itu
hanya satu orang sedang orang lain tidak sanggup, contoh: kalau di suatu daerah
hanya ada seorang dokter saja yang mampu mengobati orang yang sedang sakit, maka
kewajiban untuk mengobati tersebut bagi dokter itu adalah wajib ’ain, biarpun semula
kewajiban itu hanya wajib kifa’i.

2. Apakah yang dimaksud dengan ijma’ dan tingkatan dalam ijma’? (Bab III No.8)
Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah
SAW, terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis (‘amaliy), dan merupakan sumber
hukum Islam ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Menurut Imam Syafi’i tingkatan ijtima' adalah:
a. Ijma’ Sharih ialah jika engkau atau salah seorang ulama mengatakan, “hukum ini telah
disepakati”, maka niscaya setiap ulama yang engkau temui juga mengatakan seperti
apa yang engkau katakan.
b. Ijma Sukuti ialah suatu pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid,
kemudian pendapat tersebut telah diketahui oleh para mujtahid yang hidup semasa
dengan mujtahid di atas, akan tetapi tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.
c. Ijma pada permasalahan pokok: Jika para ahli fiqih (fuqaha) yang hidup dalam satu
masa (generasi) berbeda dalam berbagai pendapat, akan tetapi bersepakat dalam hukum
yang pokok, maka seseorang tidak boleh mengemukakan pendapat yang
bertentangan dengan pendapat-pendapat mereka.

3. Bagaimana perkembangan akuntansi di zaman khalifah? (Bab IV No.3)


Hingga pemerintahan Abu Bakar, pengelolaan Baitul Maal masih sangat fleksibel dimana
penerimaan dan pengeluaran dilakukan secara seimbang sehingga hampir tidak pernah ada
sisa.
Perubahan yang cukup signifikan dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab melalui
perubahan sistem administrasi. Pada masa ini pula telah dikenal istilah Diwan yang
pertama kali diperkenalkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqas (636 M). Asal kata Diwan dari
bahasa arab yang merupakan bentuk kata benda dari Dawwana yang berarti penulisan.
Sehingga dapat diartikan bahwa Diwan adalah tempat dimana pelaksana duduk, bekerja
dan dimana akuntasi dicatat dan disimpan. Diwan ini berfungsi untuk mengurusi
pembayaran Gaji.
Khalifah Umar menunjuk beberapa orang pengelola dan pencatat dari Persia untuk
mengawasi pembukuan Baitul Maal. Pendirian Diwan ini berasal dari usulan Homozan -
seorang tahanan Persia dan menerima Islam – dengan menjelaskan tentang sistem
administrasi yang dilakukan oleh Raja Sasanian, setelah peperangan Al-Qadisiyyah–Persia
dengan panglima perang Sa’ad bin Abi Waqqas, dan juga sahabat nabi Al Walid bin
Mughirah yang mengusulkan agar ada pencatatan untuk penerimaan dan pengeluaran
negara. Hal ini kembali menunjukkan bahwa akuntansi berkembang dari suatu lokasi ke
lokasi lain sebagai akibat dari hubungan antar masyarakat. Selain itu, Baitul Maal juga
sudah tidak terpusat lagi di Madinah tetapi juga di daerah-daerah taklukan Islam. Pada
Diwan yang dibentuk oleh khalifah Umar terdapat 14 departemen dan 17 kelompok,
dimana pembagian departemen tersebut menunjukkan adanya pembagian tugas dalam
sistem keuangan dan pelaporan keuangan yang baik. Pada masa itu istilah awal
pembukuan dikenal dengan Jarridah atau menjadi istlah Journal dalam bahasa Inggris
yang berarti berita. Di Venice istilah ini dikenal dengan sebutan zournal.
Sedangkan pengembangan lebih komprehensif mengenai Baitul Maal dilanjutkan pada
masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Pada masa pemerintahan beliau, sistem administrasi
baitul maal baik di tingkat pusat dan lokal telah berjalan baik serta telah terjadi surplus
pada baitul maal dan dibagikan secara proporsional sesuai tuntunan Rasullullah. Adanya
surplus ini menunjukkan bahwa proses pencatatan dan pelaporan telah berlangsung
dengan baik.

4. Jelaskan Rukun dan Syarat Akad? (Bab V No.6)


Rukun dan Syarat sahnya suatu akad ada (3) tiga yaitu:
a. Pelaku yaitu para pihak yang melakukan akad (penjual dan pembeli, penyewa dan
yang menyewakan, karyawan dan majikan.
Untuk pihak yang melakukan akad harus memenuhi syarat:
i. Yang berakad adalah orang yang diperkenankan (secara syariat) untuk melakukan
transaksi, yaitu orang yang merdeka, mukallaf dan orang yang sehat akalnya.
ii. Yang berakad memiliki penuh atas barang yang diaqadkan atau menempati posisi
sebagai orang yang memiliki (mewakili). ” Janganlah kau jual apa yang bukan
milikmu” (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi dan dishahihkan olehnya).
b. Barang yang diakad/Obyek akad.
i. Barang tersebut adalah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya secara mutlaq,
maka tidak sah menjual sesuatu yang diharamkan mengambil manfaatnya seperti
minuman keras atau babi misalnya.
ii. Yang diakadi baik berupa harga atau sesuatu yang dihargai mampu untuk
didapatkan (dikuasai), karena sesuatu yang tidak dapat dikuasai menyerupai
sesuatu yang tidak ada, maka tidak sah jual belinya, misalnya menjual perhiasan
yang hilang.
iii. Barang yang diakadi/obyek akad tersebut diketahui oleh yang berakad, karena
ketidaktahuan terhadap barang tersebut merupakan suatu bentuk penipuan,
sedangkan penipuan terlarang.
c. Ijab-Kabul (shighat)
Adanya kesepakatan dari para pelaku (penjual dan pembeli misalnya), keduanya harus
saling ridha, tidak sah bagi suatu jual beli apabila salah satu dari keduanya ada unsur
terpaksa berdasarkan firman Allah Ta’ala

” kecuali jika jual beli yang saling ridha diantara kalian “,


“ hanya saja jual beli itu terjadi dengan asas keridhaan” (HR. Ibnu
Hiban, Ibnu Majah, dan selain keduanya),
Sehingga akad dapat menjadi batal, walaupun ijab-kabul telah berlangsung bila terdapat
penipuan (tadlis), paksaan (ikrah) atau terjadi ketidaksesuaian obyek akad karena
kesemuanya ini dapat menimbulkan ketidakrelaan salah satu pihak. Dalam hal terjadi
ketidaksesuaian obyek akad, pelaku misalnya penjual dan pembeli boleh memilih
untuk membatalkan akad atau tidak.

5. Jelaskan tentang syarat kualitatif laporan keuangan menurut AAOIFI. (Bab VI No.9)
Syarat Kualitatif laporan keuangan menurut AAOIFI:
a. Relevan. Syarat ini berhubungan dengan proses pengambilan keputusan sebagai
alasan utama disusunnya laporan keuangan, dan oleh karena itu agar relevan, laporan
keuangan harus memiliki nilai prediksi (predictive value) dan nilai umpan balik
(feedback value) serta harus disajikan tepat waktu, baik untuk laporan interim maupun
untuk laporan tahunan.
b. Dapat diandalkan. Syarat ini berhubungan dengan tingkat keandalan informasi yang
dihasilkan. Hal ini tidak berarti harus akurat secara absolut, tetapi dapat diandalkan
sesuai dengan kondisi yang melekat pada transaksi termasuk penggunaan
cara/metode untuk menghitung dan/atau pengungkapan dari suatu transaksi. Walaupun
estimasi dan judgement tidak konsisten dengan prinsip syariah tetapi tetapi hal ini
diperbolehkan jika tidak adanya bukti yang memadai. Dalam syarat ini, harus memiliki
penyajian yang wajar, objektif dan netral, sesuai dengan. perintah Allah pada QS 5 : 8.
” hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang
yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah,..”
c. Dapat dibandingkan, yang berarti bahwa informasi keuangan dapat dibandingkan antara
lembaga keuangan syariah dan diantara dua periode akuntansi yang berbeda bagi
lembaga keuangan yang sama.
d. Konsisten, yang berarti metode yang akan digunakan untuk perhitungan dan
pengungkapan akuntansi yang sama untuk dua periode penyajian laporan keuangan.
e. Dapat Dimengerti, yang berarti informasi yang disajikan dapat dimengerti dengan mudah
bagi rata-rata pengguna laporan keuangan. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi
Muhammad SAW bahwa Muslim harus memberikan informasi kepada orang lain
sesuai dengan kemampuan mereka untuk mengerti.

Anda mungkin juga menyukai