Anda di halaman 1dari 10

Penamaan metode volumetri (titrasi) umumnya dikenal berdasarkan reaksi kimia yang terjadi

antara kedua reagennya, yaitu digolongkan menjadi 4 kelompok besar jenis titrasi :
1. Titrasi Reaksi Asam Basa
2. Reaksi Reduksi Oksidasi (Redoks)
3. Reaksi Pengendapan (Presipitasi)
4. Reaksi Pembentukan Kompleks.
Namun demikian selain dari reaksi yang terjadi, titrasi juga digolongkan berdasarkan
prosesnya, yaitu :
1. Titrasi secara langsung
2. Titrasi kembali.
Jumlah sampel juga menjadi dasar penamaan teknik titrasi, yaitu :
1. Titrasi makro (100-1000 mg)
2. Titrasi semi semi mikro (10-100 mg)
3. Titrasi mikro (1-10 mg).

DASAR ANALISIS VOLUMETRI

Metode volumetri atau titrimetri menggunakan pengukuran volume, yaitu dengan cara
sejumlah zat yang dianalisis direaksikan dengan larutan baku (standar) yang telah diketahui
kadar atau konsentrasinya secara teliti dan reaksinya berlangsung secara kuantitatif. Reaksi
yang terjadi tidak untuk dikhususkan bagi bahan tertentu saja, akan tetapi dapat mencakup
semua bahan dengan sifat yang sama atau hampir mirip secara umum. Misalnya, suatu reaksi
asam basa dapat berlangsung dalam titrasi tanpa memperhatikan apakah itu basa atau asam
kuat maupun asam basa lemah.
Larutan standar diteteskan dari buret ke dalam larutan yang akan diteliti dalam tempat
(reaktor)nya, misal erlenmeyer. Proses mereaksikan dengan cara seperti ini disebut dengan
titrasi. Larutan baku yang diteteskan disebut dengan titran. Ketika reaksi telah selesai disebut
dengan titik ekivalen teoretis (stoikiometris) yang menyatakan bahwa bahan yang diuji telah
bereaksi dengan reagen lain secara kuantitas (jumlah) tertentu sebagaimana dinyatakan dalam
persamaan reaksi. Dalam melakukan suatu metode titrimetri banyak hal yang harus
diperhatikan. Kesetimbangan kimia, konsep stoikiometri dan termodinamika kimia menjadi
tiga hal yang sangat penting untuk dipahami sebelum melakukan teknik analisis titrasi. Ketiga
hal tersebut adalah dasar yang harus mutlak dipahami oleh seorang analis karena dalam suatu
titrasi, segala sesuatu yang berkaitan dengan titik ekivalen dan titik akhir titrasi, pengamatan,
perhitungan dan pengolahan data volume serta kurva titrasi menjadi sangat penting untuk
diperhatikan.
Contoh analisis yang menggunakan teknik titrasi adalah penentuan konsentrasi larutan
Asam klorida melalui titrasi dengan larutan natrium hidroksida. Pada titrasi tersebut hanya
terjadi satu reaksi saja dan tidak ada produk samping, persamaan reaksinya adalah:

Reaksi kedua reagen tersebut dapat berlangsung dengan cepat dan terjadi hampir
sempurna sesuai dengan perbandingan jumlah mol produk dan reaktannya, dinyatakan dalam
nilai konstanta kesetimbangan yang besar. Kasus lainnya, misalnya perhatikan reaksi antara
Asam borat dengan Natrium hidroksida (NaOH) berikut:
Reaksi Asam borat dengan Natrium hidroksida tersebut tidak habis bereaksi secara sempurna,
terlihat pada konstanta kesetimbangan reaksi yang hanya mencapai 6x106 .

Pengamatan dan Interpretasi Volume Hasil Titrasi


Pengamatan dalam metode titrimetri dilakukan dengan cara pengamatan volume.
Jumlah analit dalam suatu sampel dapat diketahui secara stoikiometris pada sebuah metode
titrimetri melalui jumlah volume titran. Tiap liter larutan standar berisi sejumlah berat/mol
ekivalen senyawa baku. Berat atau kadar suatu bahan yang diteliti dihitung dari volume
larutan serta kesetaraaan mol yang bereaksi dari reagennya. Di samping volume titran, massa
titran juga dapat diketahui dengan mengetahui massa jenisnya terlebih dahulu. Untuk
mengamati volume secara akurat, alat utama yang digunakan dalam metode ini salah satunya
adalah buret. Kriteria buret yang cocok dan baik digunakan untuk titrasi yaitu buret yang
memiliki diameter dalam yang kecil sehingga memudahkan dalam pengamatan meniskus
cairan secara lebih presisi. Ketika volume titran mencapai “yang diperlukan” untuk suatu
analit bereaksi secara stoikiometris dengan titran maka saat itulah titrasi dihentikan dan
disebut titik ekivalen. Secara eksperimental, titik akhir titrasi dapat diamati dengan perubahan
warna/perubahan bentuk larutan yang diakibatkan oleh adanya suatu indikator yang sengaja
ditambahkan pada saat titrasi.
Syarat reaksi kimia yang tepat untuk berlangsung dalam analisis volumetri adalah:
a) Reaksinya harus cepat.
b) Reaksinya cukup sederhana sehingga dapat dinyatakan dengan persamaan reaksi yang
tepat.
c) Bahan yang dianalisis harus bereaksi sempurna dengan senyawa baku (standar) dan
perbandingan stoikiometrisnya bisa mencapai kesetimbangan/setara.
d) Perubahan yang terjadi harus tampak jelas saat titik ekivalen tercapai, baik perubahan
secara fisik maupun kimia.
e) Indikator diperlukan ketika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi agar pengamatan
dengan pengukuran daya hantar listrik (misalna untuk titrasi potensiometri atau
konduktometri) dapat dilakukan dengan tepat sasaran.

Kelebihan metode volumetri untuk penetapan kadar suatu zat antara lain:
a) Alatnya sederhana, cepat dan tidak memerlukan pekerjaan yang menjemukan, seperti
pengeringan dan penimbangan secara berulangulang.
b) Memiliki ketelitian hingga part per million (ppm), yaitu 1 bagian dalam 1000.

Hal-hal yang harus diperhatikan ketika analisis volumetri adalah sebagai berikut:
a) Alat pengukur volume seperti buret, pipet volume dan labu takar harus ditera secara
teliti (telah dikalibrasi).
b) Senyawa yang digunakan sebagai larutan baku atau sebagai standar harus senyawa
dengan kemurnian yang tinggi.
c) Indikator atau perangkat lain untuk mengetahui titik akhir (selesai)nya titrasi.
d) Neraca analitik yang akurat untuk menimbang bahan atau senyawa baku untuk
membuat larutan baku.

Titik Ekivalen dan Titik Akhir Titrasi


Kesetaraan kimia teoretis antar reagen dapat diketahui dari perhitungan persamaan
reaksinya. Hasil titrasi yang akurat bisa tercapai ketika jumlah larutan analit telah bereaksi
secara stoikiometris adalah dinyatakan ekivalen. Pada saat itulah disebut sebagai titik
ekivalen. Pengamatan dan penentuan berapa volume yang pasti untuk mencapai titik ekivalen
adalah sangat penting. Jumlah mol titran yang digunakan bisa diketahui dari volume yang
digunakan untuk mencapai titik ekivalen dikali dengan konsentrasi larutan titran.

Berakhirnya suatu titrasi harus disertai tanda yang muncul tepat saat reaksi kimia telah
berlangsung setimbang. Tanda yang terjadi misal tampak dari perubahan warna atau adanya
endapan (kekeruhan) yang dapat dilihat dengan jelas. Perubahan tersebut diamati dengan
sendirinya atau dengan bantuan larutan (zat lain) yang disebut dengan indikator. Momen saat
perubahan pertanda bahwa suatu titrasi harus berakhir disebut dengan titik akhir titrasi yang
dinyatakan dengan berapa jumlah volume larutan baku yang terpakai dari buret sebanyak
sekian miliLiter.
Titrasi yang ideal adalah titrasi yang akurat, yaitu jika titik akhir titrasi persis sama
atau sangat mendekati (berimpit) titik ekivalen teoretis. Perbedaan antara titik akhir titrasi
dengan titik ekivalen dinyatakan dengan kesalahan titrasi, suatu kesalahan (error) dalam
pengukuran. Dalam kenyataan praktiknya selalu ada perbedaan kecil antara titik akhir titrasi
dengan titik ekivalen teoretis yang disebut dengan kesalahan titrasi, yaitu selisih sekian
miliLiter larutan baku. Oleh karena itu, untuk melakukan titrasi perlu pengulangan analisis 3
kali atau lebih untuk meminimalisasi terjadinya kesalahan titrasi tersebut. Pemilihan indikator
juga harus memperhatikan aspek kesesuaian reaksi kimia antar reagen agar kesalahan dalam
analisis dapat dihindari.

Kurva Titrasi
Kurva titrasi dapat dibuat dengan tujuan sebagai alternatif untuk mengkoreksi suatu
kesalahan (error) pada titrasi. Suatu kurva titrasi dapat menunjukkan progress (perjalanan)
suatu reaksi dalam titrasi sebagai suatu fungsi volume. Kurva titrasi dapat memberikan
gambaran secara visual tentang bagaimana profil perubahan sifat atau karakter larutan seiring
dengan penambahan titran selama titrasi. Perubahan sifat larutan yang dapat diamati sesuai
dengan jenis titrasi apa yang dilakukan. Misal, pada titrasi asam basa maka sifat larutan yang
dapat diamati seiring penambahan volume selama titrasi adalah perubahan pH yang dapat
diamati dengan alat ukur pH. Dari kurva titrasi juga dapat diamati karakter indikator, apakah
sesuai untuk suatu jenis titrasi, ataukah justru menimbulkan kesalahan titrasi. Tentunya ini
akan sangat berguna untuk evaluasi pada teknik titrasi selanjutnya.

Pada gambar 1, terlihat kurva titrasi antara pH versus volume titran (NaOH) dalam
satuan mL. Dengan seiring bertambahnya volume NaOH yang dialirkan ke larutan sampel
maka dapat dilihat dari kurva tersebut bahwa terjadi peningkatan nilai pH larutan titrat
(sampel). Pada titik volume tertentu, penambahan volume di atas 25 mL NaOH terjadi
peningkatan nilai pH yang sangat signifikan. Hal ini adalah salah satu tanda titik ekivalen
akan segera tercapai, yaitu sedikit saja penambahan volume titran akan menyebabkan
perubahan signifikan pada karakter pH larutan. Ini adalah ciri bahwa suatu larutan sudah
mencapai ekivalensi secara kesetimbangan stoikiometris. Artinya, jumlah mol antara kedua
reagen yang direaksikan tepat habis bereaksi dengan jumlah mol yang sama. Jika titrasi
dilanjutkan hingga volume lebih dari titik ekivalen, maka dapat dipastikan bahwa volume
titran sudah berlebih. Dari kurva titrasi dapat diprediksi seberapa besar kesalahan (error)
dalam titrasi dan seberapa powerful suatu indikator yang digunakan.
Gambar 2a, 2b dan 2c di bawah adalah contoh kurva titrasi berturutturut adalah kurva
titrasi kompleksometri, titrasi redoks dan titrasi pengendapan (presipitasi). Pengukuran
besaran pada titrasi tidak hanya konsentrasi dan pH saja. Banyak titrasi yang juga
menggunakan parameter kenaikan temperatur, absorbansi cahaya untuk mengukur dampak
dari penambahan volume titran. Seberapa signifikan efek yang timbul akibat penambahan
volume pada parameter tersebut. Misalnya, untuk reaksi yang eksotermis terjadi kenaikan
temperatur yang teratur selama titrasi, yaitu ketika titran dan analit saling bereaksi.
Penambahan titran akan mengakibatkan kenaikan temperatur yang sangat signifikan ketika
titik 8 ekivalen tercapai dan tidak akan lagi ada kenaikan temperatur jika titrasi sudah lewat
dari titik ekivalen, dan menandakan bahwa titrasi sudah selesai.

Perhitungan dalam Titrasi


Dalam suatu analisis kuantitatif seperti halnya titrasi pasti diperlukan perhitungan
yang tepat dan presisi karena suatu analisis kuantitatif selalu berkaitan dengan angka. Teknik
titrasi juga dilakuan untuk tujuan standarisasi larutan. Standarisasi sebuah larutan pada
dasarnya adalah untuk mengetahui kadar atau konsentrasi sebuah larutan dengan tepat
sehingga perlu digunakan larutan baku (standar) lainnya yang sudah diketahui konsentrasinya
secara pasti sebagai pembanding. Berikut contoh perhitungan standarisasi sebuah larutan:
Standarisasi HCl dilakukan dengan menggunakan baku primer Natrium karbonat.
Sebanyak 354,2 mg Natrium karbonat dilarutkan dalam air dan dititrasi dengan larutan HCl
(larutan yang akan distandarisasi) menggunakan indikator Metil orange. Titik akhir titrasi
yaitu saat reaksi membutuhkan volume HCl sebesar 30,23 mL. Hitunglah berapa normalitas
HCl?
Jawab:
Reaksi standarisasi HCl dengan Natrium karbonat menggunakan metil orange adalah:

Dari reaksi tersebut diketahui bahwa tiap mol Natrium karbonat bereaksi dengan 2 mol HCl
(setara dengan 2 gram ekivalen ion H+ ) sehingga valensinya adalah 2. Sebagaimana
diketahui pada titik ekivalen:

Cara perhitungan kadar suatu zat dapat dituliskan secara skematis sebagai berikut:

Indikator
Di dalam titrasi, maksud indikator adalah suatu senyawa yang sengaja ditambahkan ke
dalam sistem titrasi (ke dalam analit) yang bertujuan agar dapat memberikan tanda bahwa
titrasi sudah bisa dihentikan. Laju alir titran menuju analit (sampel) dapat dihentikan saat
larutan analit yang telah ditambahkan senyawa indikator mengalami perubahan dari keadaan
awal, baik itu perubahan warna, terjadi endapan, dan lain-lain. Senyawa indikator sebenarnya
adalah molekul yang dapat mengalami perubahan secara sifat fisik ketika suatu titrasi
dilakukan. Pemilihan indikator disesuaikan dengan jenis titrasi, reagen yang terlibat dalam
titrasi yang dilakukan. Perubahan sifat fisik yang dialami indikator disebabkan oleh
perubahan dalam susunan atau struktur molekulnya, yaitu berubah secara ionik, atau berubah
secara konformasi, berubah secara ikatan fisik bisa karena pH, pengaruh reagen lain x
ekivalen : ekivalen (100%) x (: massa sampel) x BM 10 dan lain-lain. Macam-macam
indikator yang dikenal dalam dunia titrasi, khususnya asam basa antara lain disebutkan dalam
tabel 1.
Titrasi balik
Titrasi kembali dilakukan untuk logam yang mengendap dengan hidroksida pada pH
yang diinginkan untuk titrasi, senyawa tidak larut seperti sulfat, kalsium oksalat, untuk
membentuk senyawa kompleks yang sangat lambat dan ion logam yang digunakan untuk
membentuk senyawa kompleks lebih stabil dengan larutan standar daripada dengan indikator.
Jika sudah stabil kemudian ditambahkan larutan baku berlebih lalu ditambahkan buffer pada
pH yang diinginkan. Larutan standar yang berlebih diatasi dengan titrasi balik dengan
menggunakan larutan standar ion logam. Penentuan titik akhir titrasi pada titrasi balik dengan
menggunakan bantuan indikator logam.

Titrasi subtitusi
Titrasi subtitusi ini dilakukan karena ion logam yang tidak bereaksi sempurna dengan
indikator maupun ion-ion logam yang membentuk kompleks yang lebih stabil dengan
pengkhelat, misal EDTA. Ion logam tersebut akan mampu mengganti ion logam lainnya pada
kompleks, misal ion logam Mg2+ atau Ca2+ pada Mg-EDTA atau Ca-EDTA diganti dengan
ion logam M+ . Indikator ang sering digunakan dalam titrasi substitusi, yaitu indikator hitam
eriokrom.
Titrasi tidak langsung
Titrasi tidak langsung digunakan untuk menentukan kadar ion seperti anion yang tidak
bereaksi dengan pengkelat, sehingga perlu penambahan treatment pra titrasi. Contohnya
adalah ion barbiturat yang tidak dapat bereaksi dengan EDTA tetapi secara kuantitatif dapat
diendapkan dengan ion Hg2+ dalam keadaan basa sebagai ion kompleks. Pengendapan
ditandai dengan kelebihan Hg(II) sehingga endapan dapat disaring dan dilarutkan kembali
dengan larutan baku EDTA berlebih. Larutan baku Zn(II) digunakan untuk menitrasi
kelebihan EDTA menggunakan indikator yang sesuai untuk menentukan titik akhir titrasi dan
kadar kelebihan EDTA dapat dideteksi sehingga kadar barbiturat dapat diketahui setelahnya.
Reaksi lengkap dapat dilihat pada persamaan reaksi sebagai berikut :

Cara lain yang dapat digunakan adalah dengan mengendapkan anion dengan kelebihan logam
yang sesuai dan kelebihan ion logam dalam filtrat dititrasi dengan larutan baku EDTA.

Titrasi alkalimetri
Prinsip titrasi alkalimetri dalam kaitannya dengan metode kompleksometri yaitu
menganalisis H + yang dibebaskan dari kompleks logam-EDTA dengan cara dititrasi dengan
larutan baku yang bersifat alkali (basa). Penentuan kadar logam dengan cara ini dapat
dilakukan dengan syarat kondisi larutan sebelum titrasi harus netral terhadap indikator yang
digunakan. Penentuan titik akhir titrasi menggunakan indikator asam-basa atau dapat juga
dilakukan secara potensiometri. Dalam Farmakope Indonesia disebutkan bahwa titrasi
kompleksometri umumnya digunakan untuk menetapkan kadar bismut subkarbonat, bismut
subnitrat, kalsium karbonat, kalsium klorida dan sediaan injeksinya, kalsium glukonat,
kalsium hidrogen pospat, kalsium hidroksida dan larutan tabletnya, kalsium pantotenat,
kalsium sulfat, magnesium karbonat, magnesium stearat, mangan sulfat, zink klorida dan zink
sulfat.

Indikator titrasi kompleksometri


Indikator yang digunakan untuk titrasi kompleksometri umumnya adalah zat warna
organik yang dapat membentuk kompleks stabil dengan ion. Zat warna tersebut disebut
dengan indikator metallokromik. Agar dapat digunakan sebagai indikator dalam titrasi EDTA,
maka kompleks logamindikator secara visual harus memiliki warna yang berbeda dari
indikator yang belum membentuk kompleks dengan logam. Terlebih lagi, konstanta
pembentukan kompleks logam-indikator harus lebih kecil dibanding pembentukan kompleks
logam-EDTA. Awalnya, indikator ditambahkan terlebih dahulu ke dalam larutan analit
membentuk warna tertentu dari kompleks logam-indikator. Seiring dengan penambahan
EDTA maka EDTA akan bereaksi terlebih dahulu dengan molekul analit yang masih bebas
(tidak membentuk kompleks dengan indikator). Kemudian lama kelamaan EDTA dapat
bereaksi penggantian analit dari kompleks logam-indikator sehingga mempengaruhi warna
larutan. Akurasi titik akhir titrasi tergantung dari kekuatan kompleks logam-indikator
dibanding kekuatan ikatan kompleks logam-EDTA. Jika kompleks logam-indikator terlalu
kuat maka perubahan warna terjadi setelah titik ekivalen. Jika kompleks logam-indikator
kekuatan ikatnya lebih lemah maka titik akhir titrasi akan tampak sebelum titik ekivalen.
Hampir semua indikator metalokromik adalah asam atau basa lemah. Konstanta pembentukan
kompleks logam-indikator tergantung pada pH larutan. Kekuatan kompleks logam-indikator
sangat tergantung pengaturan pH saat titrasi sehingga kesalahan titrasi dapat seminimal
mungkin. Berikut tabel indikator yang cocok untuk logam tertentu dalam titrasi
kompleksometri :

Titrasi Diazotasi
Titrasi diazotasi atau biasa disebut dengan nitrimetri merupakan cara analisa volumetri
dengan titrasi redoks yang didasarkan pada reaksi pembentukan garam diazonium dari gugus
amin aromatis bebas yang direaksikan dengan asam nitrit, dimana asam nitrit ini diperoleh
dengan cara mereaksikan NaNO2 dengan suatu asam. Garam diazonium terbentuk dari hasil
reaksi antara senyawa yang mengandung gugus amin aromatis bebas, pada suhu di bawah
15°C dalam senyawa asam.
Contoh titrasi diazotasi adalah digunakan untuk menetapkan kadar senyawa antibiotik
sulfonamida dan senyawa anestetika lokal golongan asam amino benzoat. Titrasi diazotasi
digunakan dalam analisis senyawa-senyawa organik, khususnya untuk persenyawaan amina
primer. Contoh zat yang memiliki gugus amin aromatik primer adalah benzokain, parasetamol
sekunder, gugus nitroaromatik (misalnya:kloramfenikol), senyawa nitrosamine, amin alifatik,
senyawa dengan gugus hidrazida (INH=Isoniazid). Metode titrasi diazotasi dalam penetapan
kadar secara kuantitatif dengan menggunakan larutan baku NaNO2.
Titrasi diazotasi mempunyai berat ekivalen sama dengan berat molekul karena 1 mol
senyawa amina aromatis bereaksi dengan 1 mol asam 44 nitrit pada suasana asam dan akan
membentuk garam diazonium. Pada titrasi diazotasi konsentrasi larutan lebih mudah
dinyatakan dengan molaritas (M). Syarat-syarat yang harus diperhatikan ketika titrasi
diazotasi adalah:
a) Suhu
Suhu untuk melakukan titrasi harus antara 5-15˚C. Untuk menjaga agar selama titrasi
berada pada suhu tersebut maka biasanya digunakan stabilitator yaitu dengan
penambahan KBr. Titrasi ini tidak dapat dilakukan pada suhu tinggi karena HNO2
yang terbentuk akan menguap pada suhu tinggi, dan garam diazoniumnya akan terurai
menjadi fenol.
b) Keasaman
Pada titrasi ini diperlukan suasana asam, yaitu berlangsung pada pH= 2. Kondisi asam
tersebut bertujuan untuk mengubah NaNO2 menjadi HNO2 dan pembentukan garam
diazonium.
c) Kecepatan reaksi
Reaksi diazotasi berlangsung sangat lambat sehingga supaya reaksi berlangsung
sempurna maka titrasi harus dilakukan perlahan-lahan dan dilakukan pengocokan yang
kuat. Frekuensi tetesan pada awal titrasi diatur kurang lebih 1 mL/menit dan ketika
mendekati titik akhir titrasi menjadi 2 mL/menit karena asam nitrit terbentuk pada
suasana asam dan adanya KBr pada titrasi nitrimetri. KBr dapat mengikat NO2 untuk
membentuk nitrosobromid yang akan menghilangkan reaksi tautomerasi dari bentuk
keto ke bentuk enol sehingga dibutuhkan katalisator untuk mempercepat reaksi.
Stabilisator suhu, yaitu KBr digunakan untuk menjaga suhu agar tetap rendah (5-
150C) untuk mengikat NO2 agar asam nitrit tidak terurai atau menguap.

Penentuan titik akhir titrasi diazotasi dapat dilakukan dengan berbagai cara:
Menggunakan indikator luar
Penentuan titik akhir titrasi diazotasi tercapai jika menggunakan indikator luar seperti
pasta kanji-iodida atau kertas kanji-iodida. Caranya adalah dengan penggoresan larutan yang
dititrasi menggunakan pasta kanji iodida atau kertas kanji iodida akan menghasilkan warna
hijau toska atau biru. Hal ini disebabkan oleh oksidasi iodida oleh udara. Kelebihan asam
nitrit akan mengoksidasi iodida menjadi iodium. Indikator kanji memberikan 45 kepekaan
terhadap kelebihan 0,05-0,10 mL natrium nitrit dalam 200 mL larutan. Reaksi yang terjadi
dapat dituliskan:

Kekurangan indikator luar adalah harus memperkirakan jumlah titran yang dibutuhkan
terlebih dahulu sehingga harus sering melakukan pengujian apakah sudah tercapai titik akhir
titrasi atau belum.

Indikator dalam
Penentuan titik akhir titrasi diazotasi dapat tercapai juga dengan menggunakan
indikator dalam yang terdiri atas campuran tropeolin OO dan metilen biru. Tropeolin OO
merupakan indikator asam basa yang berwarna merah jika dalam suasana asam dan berwarna
kuning jika dioksidasi dengan kelebihan asam nitrit sedangkan metilen biru berfungsi sebagai
pengkontras warna sehingga pada titik akhir titrasi memberikan perubahan warna dari ungu
menjadi biru sampai hijau tergantung senyawa yang digunakan untuk titrasi. Kekurangan
pemakaian indikator dalam yaitu jika menggunakan senyawa yang berbeda maka akan
memberikan warna yang berbeda pula
Metode potensiometer
Jenis reaksi nitritasi ini sangat praktis untuk analisis antibiotik sulfonamide dan
anestetik lokal turunan asam benzoat. Jenis reaksinya antara lain reaksi sulfanilamide dengan
asam nitrit. Reaksi diazotasi yang lain yaitu pada analisis suksinil sulfatiazol. Senawa tersebut
harus dihidrolisis terlebih dahulu sehingga diperoleh gugus amin aromatis bebas yang bisa
bereaksi dengan natrium nitrit dalam suasana asam membentuk garam diazonium. Senyawa
yang mempunyai gugus nitro aromatis seperti kloramfenikol juga dapat dianalisis secara
nitrimetri setelah direduksi terlebih dahulu supaya menghasilkan amin aromatis primer.
Kloramfenikol mempunyai gugus nitro aromatis yang direaksikan telebih dahulu
dengan Zn/ HCl untuk menghasilkan senyawa amin aromatis pimer bebas kemudian
dilanjutkan bereaksi dengan asam nitrit untuk membentuk garan diazonium. Pada Farmakope
Indenesia diazotasi digunakan untuk menetapkan kadar benzokain, primakuin fosfat, dan
sediaan 46 tabletnya, prokain HCl, sulfasetamid, sulfametazin, sulfadoksin, sulfametoksazol,
tetrakain, dan tetrakain HCl.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, M dan Abdul, R. 2006. Pengantar Kimia Farmasi Analisis: Volumetri dan
Gravimetri. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Anonim. 1994. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Departemen Kesehatan Republik Indonesia:
Jakarta.
Basset, J., Denny, R. C., Jeffery, G.H., and Mendham. 1989. Vogel’s Textbook of
Quantitative Chemical Analysis. Fifth Edition. Longman Scientific & Technical.
John Wiley & Sons Inc: New York.
Day, Jr, R.A., and Underwood, A.L. 1998. Quantitative Analysis. 6th Ed. Diterjemahkan oleh
Iis Sopyan, Penerbit Airlangga: Jakarta.
Gandjar, I. G. 1991. Kimia Analisis Instrumental. Fakultas Farmasi. Universitas Gadjah
Mada: Yogyakarta.
Haryanto, Sri Haryani dan Agung Tri P. 2006. Petunjuk Praktikum DasarDasar Kimia
Analitik. Semarang: Jurusan Kimia FMIPA UNNES.
Harvey, D. 2000. Modern Analytical Chemistry. The McGraw-Hill Companies, Inc.: USA.
Daintith, J. 1994. Kamus Lengkap Kimia. Diterjemahkan oleh Suminar Achmadi. Jakarta:
Erlangga
Khopkar, S.M. 1990. Basic Concepts of Analytical Chemistry, diterjemahkan oleh
Saptoraharjo, Universitas Indonesia Press: Jakarta.
Harmita. 2006. Analisis Kuantitatif Bahan Baku dan Sediaan Farmasi edisi I (hal 98-101).
Departemen Farmasi FMIPA Universitas Indonesia. Depok. 48
Jenkins, G. L. 1967. Quantitative pharmaceutical chemistry. 6th edition. Mc graw-Hill Book
Company: New York.
Skoog, D. A. 1985. Principle of Instrumental Analysis. 3rd Ed., Saunders Collage Publishing:
New York.
Watson, D. G. 1999. Pharmaceutical Analysis: A textbook for Pharmacy students and
pharmaceutical chemists. Churchill Livingston: UK.
Wunas, J. Said. 1986. Analisa Kimia Farmasi Kuantitatif. Makassar : UNHAS.

Anda mungkin juga menyukai