Anda di halaman 1dari 11

11

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Otitis media akut (OMA) merupakan infeksi akut yang mengenai kavum timpani,
saluran Eustasius, dan mastoid antrum disertai dengan pembentukan sekret
purulen, dan biasanya terjadi secara bilateral (pada kedua telinga) ( Bull, 2002 ;
Scott, 2007). Durasi maksimal terjadinya OMA adalah tiga minggu (NHG
Guidelines, 2011). Pada penelitian yang dilakukan di Kanada, anak-anak yang
berusia dibawah tiga tahun dengan prosentase 50% akan mengalami OMA (Saux
et al., 2005). OMA memiliki persamaan dengan OME yaitu terjadi efusi pada
telinga tengah, sedangkan hal yang membedakannya adalah efusi yang terjadi
pada OME yang berlokasi di kavum timpani tanpa disertai inflamasi , selain itu
pasien OME tidak mengalami gejala-gejala seperti yang terjadi pada OMA
seperti otalgia, dan demam (Djafaar., 2001; AAP guidelines, 2013).

3.2 Stadium Otitis Media Akut (OMA)


OMA terdiri dari beberapa stadium diantaranya stadium kataral, stadium
supurasi, stadium perforasi, dan stadium resaolui (Herawati dan Rukmini, 2003).

3.2.1 Stadium Kataral


Stadium kataral diawali dengan ISPA serta ditandai dengan retraksi membran
timpani dan telinga terasa penuh. ISPA menyebabkan terjadinya keradangan yang
mengenai mukosa hidung dan nasofaring kemudian berlanjut ke mukosa saluran
Eustasius dan mukosa membran timpani. Kondisi lain yang terjadi adalah
hiperemia pada membran timpani, dan saluran Eustasius (keterangan dapat dilihat
pada gambar 3.1). Akibat kondisi tersebut, lumen saluran Eustasius menjadi
tertutup dan menyebabkan fungsi saluran Eustasius terganggu (fungsi sebagai
ventilasi dan drainase), gangguan fungsi ini menyebabkan pemberian oksigen
kedalam kavum timpani berkurang, akibatnya tekanan dalam kavum timpani
berkurang menjadi kurang dari satu atmosfer (vakum) diikuti dengan perubahan
tekanan udara pada telinga tengah. Pengaruh dari tekanan udara yang tidak
12

seimbang pada membran timpani menyebabkan timbulnya rasa penuh pada telinga
serta pada beberapa kasus terjadi gangguan pendengaran. Perubahan yang terjadi
pada kavum timpani mengakibatkan perembesan cairan kedalam kavum timpani
(transudasi), kondisi tersebut dikenal dengan hydrops ex vacuo. Terapi
penanganan stadium kataral adalah pengembalian fungsi saluran Eustasius dengan
pemberian tetes hidung yang berfungsi sebagai vasokonstriktor yang dapat
mengatasi penyempitan saluran Eustasius akibat udem. Tetes hidung yang dapat
diberikan mengandung efedrin 1% untuk dewasa, dan 0,25-0,5% untuk anak-
anak (Herawati dan Rukmini, 2003).

A B
Gambar 3.1 Hiperemia pada stadium kataral. (A) Hiperemia pada ujung membran
timpani; (B) Hiperemia pada ujung dan postosuperior pada membran timpani
(Metin, 2009).

3.2.2. Stadium Supurasi (Bombans)


Stadium yang terjadi selanjutnya adalah stadium eksudasi. Hiperemia
berkelanjutan yang terjadi pada membran timpani, epitimpani, dan antrum diikuti
dengan dilatasi kapiler serum, fibrin, eritrosit, dan PMN leukosit. Pada saat yang
bersamaan sel-sel epitel yang berasal dari membran timpani menjadi lendir atau
dikenal dengan istilah eksudat. Eksudat ini akan terakumulasi pada membran
timpani dan menyebabkan membran timpani menebal. Pada stadium ini terjadi
inflamasi pada membran timpani, peningkatan gangguan pendengaran, serta nyeri
pada telinga yang semakin parah, selain itu akibat terjadinya inflamasi
menyebabkan bakteri semakin mudah masuk membran timpani dan menyebar
menuju sitemik sehingga menimbulkan infeksi yang ditandai dengan suhu tubuh
13

meningkat. Stadium supurasi ditandai perforasi pada membran timpani disertai


terbentuknya sekret mukopurulen (keterangan dapat dilihat pada gambar 3.2). Hal
ini dapat menyebabkan suhu tubuh dan rasa nyeri yang ditimbulkan semakin
meningkat. Pada stadium ini perlu dilakukan drainase mukopus dari kavum
timpani, selain itu pemberian antibiotika harus diberikan (Herawati dan Rukmini,
2003).
Gambar 3.2 Sekret mukopurulen pada stadium supurasi di telinga tengah (Metin,

2009).

3.2.3 Stadium Perforasi


Tekanan yang tinggi pada kavum timpani akibat kumpulan mukopus, dapat
menimbulkan perforasi pada membran timpani, mukopus akan mengalir menuju
meatus eksterna sehingga tekanan di dalam kavum timpani menurun dan rasa
nyeri yang ditimbulkan akan berkurang (keterangan dapat dilihat pada gambar
3.3).
Pada stadium akhir, yaitu stadium resolusi membran timpani akan kembali normal
dan terlihat transparan, masih terdapat lubang perforasi tetapi sekret purulen tidak
terbentuk, gejala-gejala pada stadium awal seperti otalgia dan otore mulai
berkurang (Herawati dan Rukmini, 2003).

A B
Gambar 3.3 Stadium perforasi pada telinga tengah. (A) Perforasi kecil yang
nampak setelah pembersihan;(B) Stadium resolusi (Metin, 2009).
3.3 Etiologi
14

Tabel 3.2 Penyebab Otitis Media Akut (OMA) (Bull, 2002).


Penyebab Otitis Media Akut
Mayor Minor
Flu Sinusitis
Tonsilitis akut Terjadi trauma pada membran timpani
Batuk yang tidak kunjung Barotrauma (saat menaiki pesawat)
sembuh Menyelam
Fraktur pada tulang tengkorak

3.3.1 Bakteri dan Virus


Penyebab utama dari OMA adalah infeksi dari bakteri Streptococcus
pneumoniae, Haemophillus Influenzae, Moraxella catarrhalis, selain itu Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) juga menjadi salah satu pemicu timbulnya
OMA (Sinha et al., 2011). Setelah dilakukan pemeriksaan, ditemukan 66%
infeksi berasal dari bakteri dan virus, 27% berasal dari bakteri, dan 4 % berasal
dari virus (Rettig and David, 2014). Bakteri yang berkoloni akan menuju ke
nasofaring dan menyebabkan terjadinya refluks menuju telinga tengah melalui
saluran Eustasius (Scott, 2007). Kombinasi bakteri dan virus akan
meningkatkan rangsangan aktifnya mediator inflamasi dibandingkan dengan
bakteri tunggal (Rovers et al., 2004).

3.3.2 Reaksi Imunologi


Sekresi antibodi merupakan mekanisme pertahanan kekebalan terhadap
saluran pernafasan atas. Sekret IgA yang disekresikan oleh nasofaring berfungsi
sebagai pertahanan terhadap patogen (virus dan bakteri) untuk melawan OMA
dan mengurangi kolonisasi bakteri pada nasofaring. Anak-anak yang
mengalami kekambuhan OM salah satunya dikarenakan kekurangan sekresi
IgA, selain itu IgG juga berperan dalam pertahanan terhadap OMA terutama
dalam melawan bakteri pneumococci. Faktor spesifik IgG2 yang jumlahnya
rendah dapat memicu timbulnya OMA kembali.
Inflamasi yang disebabkan oleh bakteri dan virus patogen mengawali
regulasi kompleks produksi sitokin yang berperan penting terhadap patogenesis
15

OMA. Produksi sitokin meningkatkan regulasi mucin yang menyebabkan


sekresi berlebih dari mucin pada telinga bagian tengah. Faktor lain yang
mempengaruhi inflamasi adalah faktor nekrosis tumor, interleukin 1, dan
interleukin 8 berperan penting terhadap terjadinya inflamasi kronis (Rovers et
al., 2004).
Invasi jaringan mikroba memicu respon inflamasi dan mengaktifkan
pembuluh darah lokal sel endotel dan leukosit. Aktivasi sel darah putih ke area
peradangan tergantung pada interaksi dengan sel endotel yang diatur oleh
berbagai sitokin, kemokin, dan molekul adhesi. Leukosit yang diaktifkan
melepaskan pirogenik sitokin interleukin-1β (IL-1 β), tumor necrosis factor
(TNF), dan interleukin-6 (IL-6), serta merangsang produksi sel endotel vaskular
prostaglandin E2 (PGE2) dalam sistem saraf pusat yang menyebabkan
peningkatan titik termoregulasi (Aronoff and Neilson, 2001).

3.4 Patofisiologi
Saluran Eustasius memiliki tiga fungsi dasar yaitu mengatur keseimbangan
tekanan pada telinga tengah agar sesuai dengan tekanan atmosfer (ventilasi),
melindungi telinga tengah dari sekresi cairan pada nasofaring (proteksi), dan
membersihkan sekret yang berasal dari telinga tengah menuju nasofaring
(drainase) (Ludman and Bradley, 2007).
Pada kasus OMA mukosa saluran pernafasan atas mengalami inflamasi akut
berupa hiperemia dan udema, termasuk juga pada mukosa saluran Eustasius.
Beberapa sel seperti leukosit polimorfonuklear dan imunoglobulin akan
memproduksi plasma sel dan makrofag sehingga jumlah makrofag mengalami
peningkatan dan menyebabkan terjadinya inflamasi (Zorab, 1991). Reaksi
inflamasi ini memicu pelepasan mediator inflamasi seperti histamin,
prostaglandin, dan leukotrien. Histamin dilepaskan dari sel mast yang berada
pada sub epitel mukoperiosteum timpani dan jumlahnya meningkat saat terjadi
efusi pada telinga tengah (Zorab, 1991). Hiperemia dan udema menyebabkan
terjadi penyumbatan pada ostium yang akan diikuti dengan gangguan fungsi
drainase dan ventilasi saluran Eustasius. Gangguan yang terjadi pada saluran
Eustasius dapat menyebabkan terjadinya tekanan negatif dan akumulasi cairan
16

pada telinga tengah. Telinga tengah terdiri dari ruang tertutup yang berisi udara
pada kondisi normal. Ketika kondisi hiperemia terjadi, mukosa telinga tengah
akan mengabsorbsi udara dan nitrogen perlahan-lahan dari telinga tengah dan
menyebabkan tekanan udara dalam telinga menurun, selain itu tuba Eustasius
akan terbuka secara periodik, sehingga udara akan masuk dan menyeimbangkan
lagi tekanan telinga tengah. (Djaafar, 2001).
Kavum timpani menjadi vakum karena saluran Eustasius hanya membuka
secara periodik sehingga terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler dan
limfe. Peningkatan permebailitas dinding sel dan proliferasi sel-sel kelenjar
mukosa menyebabkan pertukaran gas pada telinga tengah menjadi kecil dan
menimbulkan tekanan disusul dengan masuknya cairan kedalam kavum timpani
(transudasi) yang disebut hydrops ex vacuo (Djafaar, 2001). Kondisi ini
mengakibatkan infiltrasi kuman patogen ke dalam mukosa kavum timpani yang
berasal dari hidung dan nasofaring menimbulkan supurasi. (Herawati, dan
Rukmini 2003).
Patogenesis lain yang dapat terjadi adalah karena virus yang menyerang
saluran pernafasan atas dan menyebabkan tersumbatnya mukosa saluran
pernafasan atas termasuk nasofaring dan saluran Eustasius (Rovers et al., 2004).
Sumbatan tersebut menyebabkan perubahan fungsi saluran Eustasius serta
gangguan pembersihan dan regulasi tekanan pada telinga tengah, sehingga
menyebabkan semakin mudahnya patogen potensial (virus dan bakteri) dari
nasofaring masuk menuju telinga tengah. Bakteri akan merangsang sel-sel
kekebalan tubuh serta menyebabkan timbulnya manifestasi klinis yaitu reaksi
inflamasi (Rovers et al., 2004). OMA dapat menimbulkan nyeri karena terjadi
tekanan kuat yang mempengaruhi ruang pada telinga tengah yang mengandung
udara dan terdiri dari saluran Eustasius, rongga telinga tengah, mastoid antrum,
serta sel udara yang letaknya berdekatan dengan mastoid (Ludman and Bradley,
2007).
Gambar 3.4 Ruang pada telinga tengah (Ludman and Bradley, 2007).

Gambar 3.5 Inflamasi yang terjadi pada saluran Eustasius (Bluestone, 2001).

3.5 Reaksi Inflamasi dan Demam pada OMA


Invasi kuman kedalam tubuh menyebabkan respon tubuh berupa reaksi
inflamasi dengan mengaktifkan leukosit dan sel endotel menuju area inflamasi.
Aktivasi tersebut diregulasi oleh kemokin, sitokin, dan molekul adhesi serta
menghasilkan pelepasan endogen pirogen seperti Interleukin-1β (IL-1β), Tumor
Necrosis Factor (TNF), dan Interleukin-6 (IL-6) (Aronoff and Neilson, 2001).
Endogen pirogen juga menstimulasi sel endotel pembuluh untuk memproduksi
PGE2 pada sistem saraf pusat. Neuron didalam POAH akan membentuk reseptor
yang akan berikatan dengan PGE2 dan akan menghasilkan peningkatan suhu
tubuh ( Aronoff and Neilson, 2001).
Reaksi inflamasi yang terjadi pada OMA melibatkan suatu reseptor yang
disebut Toll Like Receptor 2 (TLR-2). TLR-2 berperan dalam regulasi
patogenesis otitis media (Zhang, 2015). TLR-2 mengaktifkan sistem kekebalan
tubuh alami dengan cara mengenali Peptidoglikan polisakarida (PGPS) dari
dinding sel bakteri yang merupakan penyebab timbulnya inflamasi pada OMA.
Selain itu adanya PGPS akan menyebabkan sekresi LTB4 yang menyebabkan
pelepasan netrofil sehingga terjadi inflamasi. Glukokortikoid dapat mengaktifkan
NF-kB serta melepaskan kemokin, mucin, dan sitokin untuk mengatasi inflamasi
yang muncul ketika terjadi OMA (Zhang, 2015).

3.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang pertama kali muncul sebelum timbulnya OMA
adalah reaksi inflamasi dan infeksi yang menyebabkan pelepasan beberapa
mediator inflamasi seperti histamin, PG, leukotrien. Hal ini akan menyebabkan
timbulnya hiperemia dan udema pada nasal cavity (Gray and Hawthorne, 1992).
Rasa nyeri pada telinga (otalgia), otore, serta gangguan pendengaran yang diikuti
dengan tinnitus terjadi karena pertumbuhan bakteri pada telinga bagian tengah
dan transudasi cairan pada kavum timpani (NHG Guidelines, 2011 ; Bull, 2002).
Otalgia berdampak pada perubahan perilaku terutama pada anak-anak seperti
menangis berlebihan, kegelisahan dalam tidur, nafsu makan menurun, mual, serta
diare (AAP Guidelines, 2013).
Penanganan OMA yang tidak tepat selama 48-72 jam setelah dilakukan
diagnosa dapat menyebabkan timbulnya komplikasi tingkat ringan hingga berat
salah satunya adalah kekambuhan terhadap OMA yang dapat terjadi bila
pemberian terapi antibiotika tidak adekuat. OMA dapat menyebabkan gangguan
pendengaran konduktif dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan gangguan
pendengaran sensorineural. Rata-rata penurunan fungsi pendengaran terjadi
sekitar 25 dB.Komplikasi dapat terjadi ketika infeksi pada telinga tengah
menyebar melalui tulang temporal dan cranial cavity sehingga menyebabkan
abses otak, trombosis sinus lateral, meningitis, paralisis wajah, dan trombosis
arteri karotid (Cunningham et al, 2012 ; Scott, 2007).

3.7 Pemeriksaan Data Klinik


Pemeriksaan data klinik yang dilakukan untuk mendiagnosa OMA
meliputi pemeriksaan otoskopik yang dilakukan terhadap membran timpani.
Dalam pemeriksaan tersebut, ditentukan beberapa kriteria yang meliputi warna
merah yang terlihat pada membran timpani, posisi membran timpani yang
menonjol serta pergerakannya, selain itu dilakukan pemeriksaan suhu tubuh
dengan termometer berkaitan dengan infeksi yang terjadi pada OMA (keterangan
dapat dilihat pada tabel II.4 dan gambar 2.12) (AAP guidelines, 2013). Beberapa
tanda yang akan muncul pada membran timpani yang positif OMA diantaranya
membran timpani berwarna merah yang dapat berkembang menjadi bengkak,
selanjutnya dapat terjadi nekrosis yang akan mengakibatkan perforasi dan diikuti
oleh otore (Bull, 2002).

3.8 Managemen Terapi


Penanganan awal yang dilakukan untuk mengatasi OMA
adalah penanganan terhadap rasa nyeri yang timbul dengan pemberian
analgesik. Pemberian anlgesik langsung diberikan untuk OMA dalam
waktu 24 jam (AAP guidlines, 2013). Manajemen terapi otalgia selain
dengan pemberian analgesik juga dengan pemberian ototopic agents
seperti antipyrine, golongan NSAID yang memiliki efek analgesik dan
antipiretik, serta benzokain yang merupakan anastetik lokal golongan
ester dengan onset of action yang cepat dan duration of action singkat
(Wood et al., 2012).

Tabel 3.3 Manajemen terapi otalgia pada OMA (AAP guidelines, 2013).
Terapi OMA Komentar
Parasetamol dan ibuprofen Analgesik yang efektif untuk
otalgia tingkat ringan hingga
sedang. Analgesik yang tergolong
terapi utama pada OMA

Pengobatan alternatif (tidak Jenis pengobatan seperti ini


dikontrol), digunakan pada menghasilkan banyak
pemakaian topikal contohnya keterbatasan
tetes telinga
Anestetik lokal (benzokain, Terapi tambahan yang dapat
lidokain, prokain) diberikan untuk pasien berusia >
5 tahun

Analgesik narkotik Analgesik yang efektif untuk


otalgia tingkat sedang hingga
berat, memiliki efek samping
sesak nafas, konstipasi, dan
perubahan kondisi mental

Timpanostomi/ miringotomi Dilakukan oleh tenaga


kesehatan profesional

Pemberian antibiotika dapat dilakukan setelah melalui beberapa


pertimbangan seperti umur pasien, tingkat keakuratan diagnosa OMA, serta level
OMA yang diderita (Wood et al., 2012). Antibiotika akan langsung diberikan
pada pasien OMA yang berusia < 6 bulan, sedangkan untuk pasien OMA usia > 6
bulan dan setelah dilakukan pemeriksaan diketahui diagnosanya OMA level
ringan hingga sedang dapat diberikan terapi simptomatik terlebih dahulu seperti
pemberian analgesik dan dekongestan. Hal tersebut dikenal dengan istilah
watchful waiting. Antibiotika akan diberikan setelah dilakukan observasi selama
dua hari dan kondisi pasien tidak mengalami kemajuan atau semakin memburuk.
Terapi watchful waiting dilakukan untuk menghindari resistensi terhadap
antibiotika terlalu dini, namun pada penelitian yang dilakukan pada Amerika
membuktikan bahwa banyak orang tua yang tidak setuju dilakukan terapi watchful
waiting karena dianggap semakin menambah biaya yang harus dikeluarkan dan
memperpanjang waktu pasien dalam melakukan observasi (AAP guidelines, 2013;
Marchisio et al., 2010 ; Toll et al., 2012 ; Thornton et al., 2011). Penggunaan
antibiotika yang menyebabkan resistensi dapat terjadi karena pada beberapa kasus
klinisi susah membedakan OMA dan OME yang memiliki gejala hampir sama
(Thornton et al., 2011).
21

Anda mungkin juga menyukai