OTITIS MEDIA
Disusun Oleh :
CI LAHAN CI INSTITUSI
(......………………………….) (……………....……………..)
A. DEFINISI
Otitis Media Akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh telinga
tengah, tuba eustachii, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Biasanya terjadi karena
peradangan saluran napas atas dan sering mengenai bayi dan anak-anak. Telinga
tengah adalah organ yang memiliki penghalang yang biasanya dalam keadaan steril.
Bila terdapat infeksi bakteri pada nasofaring dan faring, secara alamiah terdapat
mekanisme pencegahan penjalaran bakteri memasuki telinga tengah oleh enzim
pelindung dan bulu-bulu halus yang dimiliki oleh tuba eustachii. OMA terjadi
akibat tidak berfungsinya sistem pelindung tadi. Sumbatan atau peradangan pada
tuba eustachii merupakan faktor utama terjadinya otitis media (Husni T.R, 2011).
Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah peradangan pada mukosa telinga
tengah dan ruang mastoid yang berlangsung lebih dari 3 bulan ditandai dengan
adanya perforasi pada membran timpani dan keluarnya cairan secara terus menerus
atau hilang timbul dari liang telinga.1–3 Otitis media supuratif kronis merupakan
salah satu penyakit terbanyak di dunia terutama di negara berkembang.4,5
Keterlambatan diagnosis dan penatalaksanaan berakibat munculnya komplikasi
yang dapat meningkatkan angka kematian.Komplikasi dapat terjadi karena adanya
infeksi, inflamasi, jaringan granulasi dan pembentukan kolesteatom yang terus
menerus. Komplikasi OMSK ini terdiri dari komplikasi intrakranial dan
intratemporal (ekstrakranial).
B. PATOFISIOLOGI
Otitis media akut (OMA) terjadi akibat adanya gangguan pada faktor
pertahanan tubuh. Sumbatan pada tuba Eustachius merupakan faktor utama
penyebab terjadinya OMA. Dengan adanya sumbatan yang merusak faktor
pertahanan tubuh sebagai pencegah invasi kuman ke dalam tuba Eustachius maka
terjadi peradangan pada mukosa. Hal ini menyebabkan fungsi tuba Eustachius
terganggu sehingga menyebabkan terjadinya tekanan negatif di dalam telinga
tengah. Pada umumnya pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran napas atas
(ISPA), semakin sering terkena ISPA maka kemungkinan terjadinya OMA semakin
besar (Novertha, 2013).
C.
DIAGNOSIS
1. Otoscope untuk melakukan auskultasi pada bagian telinga luar
2. Timpanogram untuk mengukur keseuaian dan kekakuan membrane timpani
3. Kultur dan uji sensitifitas ; dilakukan bila dilakukan timpanosentesis
(Aspirasi jarum dari telinga tengah melalui membrane timpani).
3. Stadium supuratif
5. Stadium resolusi
Pada stadium ini membran timpani yang perforasi dapat kembali normal
secara perlahan-lahan tanpa pengobatan jika daya tahan tubuh pasien baik
atau virulensi kuman rendah.
E. ETIOLOGI
Ada beberapa faktor yang menyebabkan otitis lebih sering terjadi pada anak
dibandingkan dewasa. Tuba eustakius anak berbeda dibandingkan dengan orang
dewasa yakni tuba eustakius anak lebih horizontal dan lubang pembukaan tonus
tubarius dikelilingi oleh folikel limfoid yang banyak jumlahnya. Adenoid pada anak
dapat mengisi nasofaring, sehingga secara mekanik dapat menyumbat lubang
hidung dan tuba eustakius serta dapat berperan sebagai fokus infeksi pada tuba.
Tuba eustakius secara normal tertutup pada saat menelan. Tuba eustakius
melindungi telinga tengah dari sekresi nasofaring, drainase sekresi telinga tengah,
dan memungkinkan keseimbangan tekanan udara dengan tekanan atmosfer dalam
telinga tengah. Obstruksi mekanik ataupun fungsional tuba eustakius dapat
mengakibatkan efusi telinga tengah. Obstruksi mekanik intrinsik dapat terjadi
akibat dari infeksi atau alergi dan obstruksi ekstrinsik akibat adenoid atau tumor
nasofaring.
Obstruksi fungsional dapat terjadi karena jumlah dan kekakuan dari kartilago
penyokong tuba. Obstruksi fungsional ini lazim terjadi pada anak-anak. Obstruksi
tuba eustakius mengakibatkan tekanan telinga tengah menjadi negatif dan jika
menetap mengakibatkan efusi transudat telinga tengah. Bila tuba eustakius
mengalami obstruksi tidak total, secara mekanik, kontaminasi sekret nasofaring dari
telinga dapat terjadi karena refluks (terutama bila membran timpani mengalami
perforasi), karena aspirasi, atau karena peniupan selama menangis atau bersin.
Perubahan tekanan atau barotrauma yang cepat juga dapat menyebabkan efusi
telinga tengah yang bersifat hemoragik. Bayi dan anak kecil memiliki tuba yang
lebih pendek dibandingkan dewasa, yang mengakibatkannya lebih rentan terhadap
refluks sekresi nasofaring.
Faktor lain yaitu respon imun bayi yang belum sempurna. Infeksi saluran nafas
yang berulang juga sering mengakibatkan otitis media melalui inflamasi dan edema
mukosa dan penyumbatan lumen tuba eustakius. Kuman yang sering menyebabkan
otitis media diantaranya Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae, dan
Moraxella catarrhalis, Menurut Siegel RM and Bien JP (2004) dalam IKA Unair .
F. MANIFESTASI KLINIS
Otitis media akut merupakan inflamasi telinga tengah dengan onset gejala dan tanda
klinis yang cepat, seperti nyeri, demam, anoreksia, iritabel, atau juga muntah. otitis
media yang disertai efusi ditandai dengan ditemukannya efusi telinga tengah yang
asimtomatik. Dari pemeriksaan otoskopi didapatkan gerakan membran timpani
yang menurun, dengan bentuk menjadi cembung, kemerahan dan keruh menurut
Siegel RM and Bien JP , (2004) dalam IKA Unair.
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan glaukoma menurut Infodatin Kemenkes RI (2014)
1 Terapi medikamentosa
Tujuannya adalah menurunkan TIO terutama dengan menggunakan obat
sistemik (obat yang mempengaruhi seluruh tubuh)
2 Terapi obat-obatan
Terapi ini tidak diberikan pada kasus yang sudah lanjut. Terapi awal yang
diberikan adalah penyekat beta (timolol, betaxolol, levobunolol, carteolol,
dan metipranolol) atau simpatomimetik (adrenalin dan depriverin). Untuk
mencegah efek samping obat diberikan dengan dosis terendah dan frekuensi
pemberiannya tidak boleh terlalu sering. Miotikum (pilocarpine dan
carbachol) meski merupakan antiglaukoma yang baik tidak boleh digunakan
karena efek sampingnya.
a obat sistemik
1) Inhibitor karbonik anhidrase. Pertama diberikan secara intravena
(acetazolamide 500mg) kemudian diberikan dalam bentuk obat
minum lepas lambat 250mg 2x sehari.
2) Agen hiperosmotik. Macam obat yang tersedia dalam bentuk obat
minum adalah glycerol dan isosorbide sedangkan dalam bentuk
intravena adalah manitol. Obat ini diberikan jika TIO sangat tinggi
atau ketika acetazolamide sudah tidak efektif lagi.
3) Untuk gejala tambahan dapat diberikan anti nyeri dan anti muntah.
b obat tetes mata local
1) Penyekat beta. Macam obat yang tersedia adalah timolol, betaxolol,
levobunolol, carteolol, dan metipranolol. Digunakan 2x sehari,
berguna untuk menurunkan TIO.
2) Steroid (prednison). Digunakan 4x sehari, berguna sebagai
dekongestan mata. Diberikan sekitar 30-40 menit setelah terapi
sistemik.
3) Miotikum. Pilokarpin 2% pertama digunakan sebanyak 2x dengan
jarak 15 menit kemudian diberikan 4x sehari. Pilokarpin 1% bisa
digunakan sebagai pencegahan pada mata yang lainnya 4x sehari
sampai sebelum iridektomi pencegahan dilakukan.
3 Terapi Bedah
a) iridektomi perifer. Digunakan untuk membuat saluran dari bilik mata
belakang dan depan karena telah terdapat hambatan dalam pengaliran
humor akueus. Hal ini hanya dapat dilakukan jika sudut yang tertutup
sebanyak 50%.
b) Trabekulotomi (Bedah drainase). Dilakukan jika sudut yang tertutup
lebih dari 50% atau gagal dengan iridektomi.
4 Glaukoma Kronis
Merupakan glaukoma yang terjadi perlahan-lahan dengan ciri-ciri ·
1) Kerusakan seraf optikus glaukomatosa
2) Kerusakan lapangan pandang glaukomatosa
3) TIO beberapa kali berulang lebih tinggi dari 21 mmHg
4) Usia dewasa
5) Sudut bilik mata depan terbuka dan terkesan normal
6) Tidak adanya penyebab sekunder lainnya
H. Komplikasi
1. Kerusakan yang permanen dari telinga dengan berkurangnya pandangan atau
ketulian.
2. Mastuiditis
3. Cholesteatoma
4. Abses apidural (peradangan disekitar otak)
5. Paralisis wajah
6. Labirin titis.(Fung, 2004)
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Biodata : Nama, umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan
2. Riwayat Penyakit sekarang
3. Keluhan utama : biasanya penderita mengeluh nyeri kepala sinus, tenggorokan.
4. Riwayat penyakit dahulu :
a) Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma
b) Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
c) Pernah menderita sakit gigi geraham
5. Riwayat keluarga : Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang
lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
6. Riwayat spikososial
a. Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas atau sedih)
b. Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
7. Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Untuk mengurangi flu biasanya klien menkonsumsi obat tanpa
memperhatikan efek samping
b. Pola nutrisi dan metabolisme :
Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada
hidung
c. Pola istirahat dan tidur
Selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering
pilek
d. Pola Persepsi dan konsep diri
Klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsep diri
menurun
e. Pola sensorik
Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus
menerus (baik purulen , serous, mukopurulen).
8. Pemeriksaan Fisik
a. Status kesehatan umum : keadaan umum, tanda vital, kesadaran.
b. Pemeriksaan fisik data focus hidung : nyeri tekan pada sinus, rinuskopi
(mukosa merah dan bengkak).
Data subyektif :
1) Observasi nafas :
a. Riwayat bernafas melalui mulut, kapan, onset, frekwensinya
b. Riwayat pembedahan hidung atau trauma
c. Penggunaan obat tetes atau semprot hidung : jenis, jumlah,
frekwensinya, lamanya.
2) Sekret hidung :
a. Warna, jumlah, konsistensi secret
b. Epistaksis
c. Ada tidaknya krusta atau nyeri hidung.
3) Riwayat Sinusitis :
a. Nyeri kepala, lokasi dan beratnya
b. Hubungan sinusitis dengan musim atau cuaca.
4) Gangguan umum lainnya :
a) Kelemahan
Data Obyektif
1) Demam, drainage ada : Serous, Mukppurulen, Purulen
2) Polip mungkin timbul dan biasanya terjadi bilateral pada hidung
dan Pucat, Odema keluar dari hidung atau sinus yang mengalami
radang mukosa
3) Kemerahan dan Odema membran mukosa
4) Pemeriksaan penunjung :
a. Kultur organisme hidung dan tenggorokan.
b. Pemeriksaan rongent sinus
B. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
1. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan gangguan pendengaran
2. Resiko cedera berhubungan dengan ketidakseimbangan labirin : vertigo
3. Defisit pengetahuan berhubungan dengan krtidaktahuan menemukan sumber
informasi OMA yang tepat / penyakit
4. Ansietas berhubungan dengan rencana operasi
5. Resiko defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan
6. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan struktur tubuh
Post Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan kondisi pembedahan
2. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
C. Intervensi Keperawatan-Evaluasi
Pre Operasi
1. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan gangguan pendengaran
Tujuan :
Gangguan persepsi pendengaran pasien membaik
Intervensi:
a. Kaji fungsi pendengaran pasien
b. Jaga kerbersihan telinga
c. Monitor respon pendengaran pasien
d. Monitor tanda dan gejala penurunan pendengaran
e. Monitor fungsi pendengaran pasien
2. Resiko cedera berhubungan dengan : vertigo
Tujuan :
Pasien tidak mengalami injuri / trauma dengan :
Mengurangi / menghilangkan vertigo / pusing
Mengembalikan keseimbangan tubuh
Mengurangi terjadinya trauma
Intervensi :
a. Identifikasi area lingkungan yang dapat menyebabkan cedera
b. Identifikasi obat yang berpotensi menybabkan cedera
c. Sediakan pencahayaan yang memadai
d. Gunakan lampu tidu selama tidur
e. Gunakan alas lantai jika beresiko mengalami cedera serius
f. Libatkan keluarga untuk menemani saat pasien bepergian
g. Kolaborasi pemberian analgetik
Post Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan kondisi pembedahan
Tujuan : Nyeri pasien berkurang
Intervensi :
a. Identifikasi lokasi, karasteristik, durasi, frekueunsi, kualitas,
intensitas nyeri
b. Identikasi skala nyeri
c. Identikasi keyakinan dan pengetahuan tentang nyeri
d. Monitor efek samping pengunaan analgetik
e. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
f. Fasilitasi istirahat dan tidurpertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
g. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
h. Jelskan strategi meredakan nyeri
i. Kalaborasi pemberian analgetik jika perlu
2. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
Tujuan : Resiko infeksi tidak terjadi
Intervensi :
a Monitor tanda nda gejala infeksi loka dan sistemik
b Batasi jumlah pengunjung
c Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasein dan
lingkungan pasien
d Pertahankan teknik aseptik pada pasien yang beresiko tinggi
e Jelaskan tanda dan gejala infeksi
f Ajarkan tehnik cuci tangan dengan benar
g Kalaborasi pemberian imunisasi jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed Z, Khan TZ, Rahim DU. Otogenic complications of otitis media : experience at
tertiary care hospital. Pak J Surg. 2016
Tim Pokja ,SDKI DPP PPNI, (2016-2017), Standar Diagnosisi Keperawatan Indonesia .
Dewan Pengurus Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja ,SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia .
Dewan Pengurus Persatuan Perawat Indonesia