Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Perusahaan merupakan unit bisnis yang didalamnya adalah kelompok
orang yang memiliki tujuan yang sama dan berusaha mencapai tujuan tersebut
secara bersama. Orientasi perusahaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
bagi para pemilik (shareholder) dan kreditur. Sebagai warga masyarakat,
perusahaan membutuhkan apresiasi dan interaksi anggota masyarakat dalam
setiap aktivitasnya . Dengan demikian, perusahaan merupakan sub sistem dari
sistem siklus hidup bermasyarakat, sehingga membutuhkan keteraturan pola
interaksi dengan subsistem yang lain.
Dari tiga jenis perusahaan, perusahaan manufakturlah yang amat
berpengaruh di Indonesia. Dilihat dari pengertiannya, perusahaan manufaktur
merupakan perusahaan yang aktivitasnya mengolah bahan mentah menjadi barang
setengah jadi ataupun menjadi barang jadi. Industri Barang dan Konsumsi
merupakan salah satu bagian dari perusahaan manufaktur yang ada di Indonesia.
Industri barang dan konsumsi terdiri dari subsektor farmasi, subsektor food
beverage , subsektor kosmetik, subsektor peralatan rumah tangga, dan subsektor
rokok. Produk-produk yang dihasilkan sektor ini bersifat konsumtif dan
digunakan sehari-hari oleh masyarakat, sehingga sektor industri barang dan
konsumsi masih menjadi pilihan utama para investor dalam menginvestasikan
dana mereka. Sektor ini menopang pertumbuhan manufaktur, sebagian besar
terbentuk dari industri barang konsumsi sebesar 44%, industri dasar sebesar 27%,
dan aneka industri sebesar 27% (www.kemenkrin.go.id, diakses pada 2 Maret
2016).
Eksistensi perusahaan seperti perusahaan manufaktur sektor industri
konsumsi di tengah lingkungan masyarakat saat ini berperan mengubah dua
kondisi, yaitu positif (positive externalities) dan negatif (negative externalities).

1
2

Positive externalities, perusahaan memberi manfaat peningkatan ekonomi, sosial


dan lingkungan dalam bentuk peningkatan kesejahteraan, infrastruktur, tata sosial,
ilmu pengetahuan dan teknologi. Dampak negative externalities, keberadaan
perusahaan memunculkan ketimpangan sosial, diskriminasi, relokasi masyarakat
kecil termarginal akibat digunakan untuk kawasan industri, sebagian masyarakat
kehilangan tempat kerja akibat relokasi, polusi, pencemaran lingkungan, global
warming dan sejenisnya.
Crowther David (dalam Hadi ,2011:32) mengatakan “…..the activities of
an organization impact upon the external environmental an have suggested that
one of the roles of accounting should be to repport upon the impact of an
organization in this respect”. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa, aktivitas
suatu organisasi berdampak pada lingkungan eksternal. Untuk itu, seharusnya ada
kebijakan akuntansi yang melaporkan dampak organisasi tersebut sebagai bentuk
pertanggungjawaban.
Keberadaan perusahaan saat ini juga harus memperhatikan kepentingan
sekitar, karena keberadaan perusahaan juga banyak menimbulkan berbagai
persoalan sosial, dan lingkungan. Operasional perusahaan harus
dipertanggungjawabkan baik menurut etika, legal, ekonomi, maupun bertindak
untuk kepentingan masyarakat (citizenship) (Hadi, 2011:33). Oleh karena itu,
perusahaan yang merupakan pihak yang memperoleh keuntungan besar dalam
pemanfaatan sumber daya, yang mana pemanfaatan tersebut berpotensi
menimbulkan problem sosial dan lingkungan, sementara masyarakat yang justru
menanggung akibat negatif (negative externalities) baik yang bersifat langsung
maupun tidak langsung. Untuk itu, perusahaan harus bertanggung jawab atas
berbagai dampak negatif ditimbulkan. Perusahaan harus mengembalikan sebagian
keuntungan yang diperoleh untuk kesejahteraan masyarakat, perbaikan kerusakan
yang ditimbulkan, serta memberikan nilai timbal-balik kepada para pemangku
kepentingan. Dengan demikian, perusahaan harus melakukan tindakan
tanggungjawab sosial, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
operasionalnya.
3

Tanggungjawab sosial (social responsibility) merupakan pelebaran


tanggungjawab perushaan sampai lingkungan baik secara fisik maupun psikis.
Menurut Lako (2011), saat ini masyarakat cenderung untuk memilih produk yang
diproduki oleh perusahaan yang peduli terhadap lingkungan dan atau
melaksanakan kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR). Survey yang
dilakukan Booth-Haris Trust Monitor (dalam Sutopoyudo, 2009), menunjukkan
bahwa mayoritas konsumen akan meninggalkan suatu produk yang mempunyai
citra buruk atau diberitakan negatif.
Sejalan dengan hasil survey “The Millenium Poll on CSR” (dalam Hadi,
2011) yang dilakukan oleh Environics International (Toronto), Conference Board
(New York) dan Price of Wales Business Leader Forum (London) terhadap
25.000 responden di 23 negara disurvei terkait social responsibility dalam
membentuk opini dan image perusahaan, menunjukkan 60% dari responden
menyatakan bahwa etika bisnis, praktik sehat terhadap karyawan, dampak
terhadap lingkungan paling berperan membentuk reputasi perusahaan. Sedangkan,
40% responden juga berpendapat bahwa citra perusahaan dan brand image paling
mempengaruhi kesan positif mereka.
Dalam Hadi (2011:56), tanggung jawab sosial perusahaan bukan lagi
sekedar kegiatan ekonomi (menciptakan profit demi kelangsungan usaha)
melainkan juga tanggung jawab sosial dan lingkungannya. Dunia usaha tidak lagi
dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada konsep Single Bottom Line,
yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi
keuangannya saja. Tetapi, tanggung jawab sosial perusahaan harus berpijak pada
konsep yang dikemukakan oleh John Eklington (1997) yang terkenal dengan “The
Triple Bottom Line” yang dimuat dalam buku “Canibalts with Forks, the Triple
Bottom Line of Twentieth Century Business”. Konsep tersebut mengakui bahwa
jika perusahaan ingn sustain maka perlu memperhatikan 3P, yaitu bukan Cuma
profit yang diburu, namun juga harus memberikan kontribusi poitif kepada
masyarakat (people) dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).
Penerapan CSR serta aturan khusus bagi perusahaan di Indonesia bukan
lagi bersifat sukarela melainkan kewajiban bagi perusahaan, itu terbukti dengan
4

adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang


Perseroan Terbatas (UUPT) Bab 1 Pasal 2 dinyatakan bahwa “ Perseroan harus
mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan
dengan ketentuan perundang-undangan, ketertiban umum, dan atau kesusilaan”.
Undang-undang tersebut secara eksplisit dan implisit memberikan mandat dan
arahan bagi pelaku bisnis (perusahan) untuk tidak melihat orientasi dari perspektif
economic rational semata. Tiap perusahaan dituntut harus menjaga keseimbangan
pencapaian tujuan dalam rangka tanggung jawab terhadap etika legal (perundang-
undangan), dan mengedepankan kesusilaan termasuk sistem nilai dalam
masyarakat. Dengan demikian, eksistensi perusahaan tidak diperkenankan untuk
melakukan eksploitasi sumber daya dengan tidak melihat keseimbangan
lingkungan dan dampak sosial kemasyarakatan (Hadi, 2011:26).
Argumen tersebut, sesungguhnya diperkuat secara operasional dalam pasal
1 ayat 3 Undang- undang Nomor 40 Tahun 2007 bahwa, “Tanggungjawab sosial
dan lingkungan adalah komitmen perseroan berperan serta dalam pembangunan
ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan
yang bermanfaat, baik bagi perseroan, komunitas setempat, maupun masyarakat
pada umumnya”. Dari pasal tersebut secara jelas menunjukkan bahwa perusahaan
memiliki tanggungjawab bukan hanya terhadap shareholder dan kreditur,
sebagaimana yang selama ini terjadi, melainkan juga kepada masyarakat sekitar
(community) yang justru secara langsung dan tidak langsung dipengaruhi dan
mempengaruhi operasional perusahaan. Disamping itu perusahaan juga
bertanggungjawab terhadap lingkungan masyarakat dalam artian yang lebih luas
dalam radius yang tidak terhingga, mengingat perusahaan memiliki tanggung
jawab terhadap pembangunan. Peraturan lain yang berkaitan dengan tanggung
jawab sosial diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (UUPM) yang mewajibkan setiap penanam modal untuk
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
Untuk mengetahui informasi dan sejauh mana tanggung jawab sosial suatu
peruahaan dijalankan dapat terlihat dari laporan kegiatan sosial yang dapat
diungkapkan melalui laporan tahunan perusahaan. Pengungkapan informasi sosial
5

perusahaan ini diatur oleh BAPEPAM Nomor VIII G.2 tentang laporan tahunan
dimana uraian mengenai keikutsertaan perusahaan dalam kegiatan pelayanan
masyarakat, program kemasyarakatan, amal atau secara sosial lainnya harus
dimuat dalam laporan tahunan suatu perusahaan. Laporan tahunan yang baik
adalah laporan yang dapat mengungkapkan segala informasi yang berkaitan
dengan perusahaan dan kegiatan usahanya (transparan). Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 30/POJK.05/2014 pasal 2 ayat 2 dan 3 tentang penerapan tata
kelola perusahaan yang baik dimana perusahaan berkewajiban mengungkapkan
dan menyediakan segala informasi mengenai perusahaan dan memiliki kesadaran
atas tanggung jawab sosial perusahaan. Berdasarkan peraturan tersebut,
pengungkapan informasi mengenai tanggung jawab sosial perusahaan menjadi
sangat penting karena berkaitan dengan dana perusahaan yang dikeluarkan untuk
membiayai kegiatan sosialnya.
Perlu diketahui bahwa pengungkapan informasi sosial harus dilakukan di
semua organisasi, baik swasta maupun pemerintah agar terhindar dari
penyelewengan dana sosial yang dikeluarkan. Berdasarkan hasil penilaian
Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) dalam pengelolaan
lingkungan hidup 2013-2014, diketahui bahwa terdapat peningkatan tingkat
ketaatan perusahaan dalam menjalankan program CSR dari tahun sebelumnya.
Pada tahun 2014 ini, perusahaan yang menjalankan dan melaporkan kegiatan
CSR-nya naik 4% dibanding tahun sebelumnya yakni mencapai 72%. Jumlah
perusahaan peserta PROPER turut mengalami peningkatan sebesar 6% dibanding
tahun sebelumnya yaitu sebanyak 1908 perusahaan. Selain itu masih terdapat 516
perusahaan yang mendapat peringkat merah dan 21 perusahaan yang mendapat
peringkat hitam. Peringkat merah ditujukan bagi perusahaan yang telah
melakukan upaya pengelolaan lingkungan tetapi belum sesuai dengan persyaratan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan, peringkat
hitam ditujukan bagi perusahaan yang dalam melakukan usaha dan/atau
kegiatannya, telah dengan sengaja melakukan perbuatan atau melakukan kelalaian
sehingga mengakibatkan terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan serta
melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau tidak
6

melaksanakan sanksi administrasi. Kemudian, yang mampu meraih peringkat


emas hanya 9 perusahaan. Peringkat emas diberikan kepada usaha dan/atau
kegiatan yang telah secara konsisten menunjukkan keunggulan lingkungan dalam
proses produksi atau jasa, serta melaksanakan bisnis yang beretika dan
bertanggungjawab terhadap masyarakat.
Kasus lain yang berkaitan dengan pengungkapan dana CSR terjadi di Kota
Bandung. Pengelolaan dana sumbangan pihak ketiga untuk pembangunan
sejumlah infrastruktur dinilai telah melanggar Peraturan Daerah Kota Bandung.
Dana dari pihak swasta yang bersifat hibah seharusnya diberitahukan ke DPRD.
Bahkan, dana CSR seharusnya tidak dikelola oleh pemerintah kota, namun dana
itu diberikan perusahaan langsung ke warga sekitar. Selain itu, selama dua tahun
ini, pengelolaan dana CSR dan hibah dari pihak ketiga dituding tidak transparan
dan akuntabel. DPRD Kota Bandung pun sama sekali tidak pernah menerima
laporan soal berapa banyak dana CSR dan hibah yang sudah diterima pemerintah
Kota Bandung, baik itu tahun 2014 maupun 2015. Dari itulah, Pemerintah Kota
Bandung dinilai telah melanggar Peraturan Daerah (Perda) . Setidaknya, jika
merujuk pada Perda Nomor 09 Tahun 2005 tentang Penerimaan Sumbangan Pihak
Ketiga kepada Pemerintah Kota Bandung, disebutkan kewajiban Pemerintah Kota
Bandung untuk memberikan laporan kepada DPRD terkait dengan penerimaan
sumbangan pihak ketiga dan dana CSR.
Kedua kasus diatas menunjukkan betapa pentingnya pengungkapan
informasi sosial di semua institusi untuk mengetahui besarnya dana sosial yang
dikeluarkan dan untuk kegiatan apa dana tersebut dikeluarkan sehingga terhindar
dari tindakan penyelewengan dana. Kasus diatas juga menunjukkan bahwa
pengungkapan informasi sosial di beberapa institusi terbilang minim. Faktor-
faktor yang menyebabkan minimnya pengungkapan tanggung jawab perusahaan
antara lain kurangnya waktu yang diperoleh komite audit, kurangnya peranan
dewan direksi sebagai penetu dari pembuatan kebijakan dalam perusahaan, tingkat
kematangan perusahaan yang masih rendah, rendahnya kesadaran perusahaan
yang bergerak dalam sektor (tipe) industry tertentu, keengganan perusahaan
7

berskala kecil untuk melakukan kegiatan CSR dan pelaporannya dan minimnya
peraturan yang berkaitan dengan pengungkapan perusahaan.
Ukuran perusahaan adalah variabel yang paling banyak digunakan dan
diduga mempengaruhi pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Perusahaan besar umumnya mempunyai aktiva yang lebih besar, penjualan besar,
skill karyawan yang baik, sistem informasi yang baik sehingga membutuhkan
pengungkapan yang lebih luas. Menurut Sembiring (2005), semakin besar suatu
perusahaan maka biaya keagenan yang muncul juga akan semakin besar.
Pengaruh ukuran perusahaan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial
tercermin dalam teori agensi yang menjelaskan bahwa perusahaan besar akan
lebih banyak mengungkaplan semua informasi dibandingkan perusahaan kecil.
Leverage memberikan gambaran mengenai struktur modal yang dimiliki
perusahaan, sehingga dapat dilihat tingkat resiko tak tertagihnya suatu utang.
Semakin tinggi leverage kemungkinan besar perusahaan akan mengalami
pelanggaran terhadap kontrak utang, maka manajer akan berusaha untuk
melaporkan laba sekarang lebih tinggi dibandingkan laba dimasa depan.
Perusahaan yang memiliki rasio leverage tinggi akan lebih sedikit
mengungkapkan CSR supaya dapat melaporkan laba sekarang yang lebih tinggi.
Kepemilikan saham publik pun diduga merupakan salah satu variabel yang
mempengaruhi pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Kepemilikan
saham publik adalah jumlah saham yang dimiliki oleh publik. Menurut Rahajen
(2010) semakin besar saham yang dimiliki oleh publik maka akan semakin
banyak informasi yang diungkapkan, publik ingin memperoleh informasi seluas-
luasnya dan mengawasi kegiatan manajemen.
Selain itu, profitabilitas juga diduga sebagai salah satu variabel yang
mempengaruhi pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Profitabilitas
menunjukkan kemampuan perusahaan memperoleh laba dengan memanfaatkan
fasilitas perusahaan. Semakin tinggi profitabilitas maka akan semakin tinggi
efisiensi perusahaan dalam memanfaatkan fasilitas perusahaan sehingga diduga
semakin luas pengungkapan tanggung jawab sosialnya.
8

Penelitian tentang pengungkapan tanggung jawab sosial ini pun


memunculkan hasil yang beragam. Penelitian yang dilakukan Dermawan dan
Deitiana (2014), menyatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial. Sedangkan, profitabiltas, kepemilikan
publik, dewan komisaris, leverage dan pengungkapan media tidak berpengaruh
terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial. Penelitian yang dilakukan oleh
Thio Lie Sha (2014), menyatakan bahwa ukuran perusahaan, ukuran dewan
komisaris, profitabilitas dan leverage secara simultan berpengaruh terhadap
pemgungkapan tanggung jawab sosial pada perusahaan manufaktur di BEI tahun
2009-2011. Kemudian dari uji parsial diketahui bahwa hanya ukuran perusahaan
dan profitabiltas yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap pengungkapan
tanggung jawab sosial, sedangkan ukuran dewan komisaris dan leverage tidak
berpengaruh.
Sesuai dengan pemikiran diatas dimana pada penelitian terdahulu belum
dilakukannya penelitian yang menguji apakah pengungkapan tanggung jawab
sosial perusahaan dipengaruhi oleh profitabilitas, ukuran dewan komisaris, ukuran
perusahaan dan kepemilikan saham publik secara bersama-sama(simultan),
peneliti melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Profitabilitas, Leverage,
Ukuran Perusahaan dan Kepemilikan Saham Publik terhadap Pengungkapan
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur
Sektor Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun
2007-2016)”.

1.2 Rumusan Masalah


Setiap kegiatan yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau organisasi pasti
menimbulkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif
terhadap perusahaan itu sendiri dan sosial serta terhadap lingkungan sekitarnya.
Kegiatan operasional yang berdekatan dengan sosial dan lingkungan, membuat
perusahaan memiliki tanggung jawab sosial dimana tanggung jawab sosial
tersebut diungkapkan dalam laporan berkelanjutan maupun hanya tercantum pada
laporan keuangan perusahaan. Pengungkapan tanggung jawab sosial dalam
9

laporan keuangan akan menarik para investor, karena investor saat ini tidak hanya
saja melihat dari segi kinerja keuangan perusahaan tersebut, tetapi juga melihat
tanggung jawab sosial serta tanggung jawab lingkungan yang dilakukan
perusahaan. Hal tersebut dapat dijadikan salah satu pemasaran bagi perusahaan
untuk membentuk brand image dan nantinya akan menaikkan nilai dari
perusahaan tersebut.
Atas uraian tersebut permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut:
1. Apakah profitabilitas berpengaruh secara parsial terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan?
2. Apakah leverage berpengaruh secara parsial terhadap pengungkapan
tanggung jawab sosial perusahaan?
3. Apakah ukuran perusahaan berpengaruh secara parsial terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan?
4. Apakah kepemilikan saham publik berpengaruh secara parsial terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan?
5. Apakah profitabilitas, leverage , ukuran perusahaan, dan kepemilikan
saham publik berpengaruh secara simultan terhadap pengungkapan
tanggungjawab sosial perusahaan?

1.3 Batasan Masalah


Dalam penelitian ini, peneliti membatasi masalah pada variabel-variabel
yang mempengaruhi pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yaitu
dengan menggunakan rasio profitabilitas (Return on Assets), rasio leverage (Debt
to Equity Ratio ) , rasio ukuran perusahaan (Size) , kepemilikan saham publik
pada emiten manufaktur sektor industri barang konsumsi yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia pada tahun 2007 – 2016 yang menampilkan laporan tahunan serta
laporan berkelanjutan.
10

1.4 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaruh profitabilitas terhadap pengungkapan
tanggung jawab sosial perusahaan secara parsial.
2. Untuk mengetahui pengaruh leverage terhadap pengungkapan
tanggung jawab sosial perusahaan secara parsial.
3. Untuk mengetahui pengaruh ukuran perusahaan terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan secara parsial.
4. Untuk mengetahui pengaruh kepemilikan saham publik terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan secara parsial.
5. Untuk mengetahui profitabilitas, leverage , ukuran perusahaan, dan
kepemilikan saham publik berpengaruh secara simultan terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.

1.5 Manfaat Penelitian


Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan peneliti mengenai
pemahaman tentang Corporate Social Responsibility (CSR) dan
pengaruh pengungkapan CSR pada suatu perusahaan serta diharapkan
dapat menjadi bahan perbandingan serta bahan acuan dalam penelitian
yang sejenis. Sehingga penelitian ini dapat lebih disempurnakan pada
peneliti selanjutnya.

2. Manfaat Praktisi
a. Bagi Perusahaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi
untuk pengambilan kebijakan oleh manajemen perusahaan
mengenai pengungkapan tanggungjawab sosial perusahaan dalam
laporan keuangan yang disajikan.
11

b. Bagi Investor
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang
laporan keuangan tahunan sehingga dijadikan sebagai acuan untuk
pembuatan keputusan investasi.

Anda mungkin juga menyukai