Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

MANAJEMEN AKUAKULTUR LAUT

BUDIDAYA LOBSTER LAUT(Panulirus sp.)

Nama : ARIFIN

Stambuk : I1B118036

JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Taufik
dan ahidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga Makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah
satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.

Kendari,18 mei 2021

2
DAFTAR ISI

COVER............................................................................................................................... 1

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... 2

DAFTAR ISI...................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 4

1.1 Latar Belakang............................................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................... 4

1.3 Tujuan............................................................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 5

2.1. Biologis Lobster........................................................................................................... 5

2.2. Jenis Kelamin............................................................................................................... 7

2.3. Karakteristik................................................................................................................. 7

2.4. Padat Tebar................................................................................................................... 8

2.5. Kelulusan Hidup........................................................................................................... 9

BAB III PENUTUP........................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 14

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lobster laut merupakan salah satu sumber daya hayati kelautan yang penting, yang
memiliki nilai ekonomis tinggi sehingga banyak dicari dan ditangkap secara global. Pada
perairan Indonesia jenis lobster yang umum ditemukan adalah anggota dari Famili Palinuridae,
khususnya dari yaitu Genus Panulirus. Perairan Indonesia merupakan habitat bagi 6 jenis lobster
bernilai ekonomis tinggi, yaitu Panulirus homarus, P. longipes, P. ornatus, P. penicillatus, P.
polyphagus, dan P. versicolor (Girsanget et al., 2007; Priyambodo and Sarifin, 2009).

Lobster memiliki daerah penyebaran yang cukup luas, menyebar di hampir seluruh
perairan yang berkarang di dunia. Perairan Teluk Ekas terletak di bagian Selatan Pulau Lombok
memiliki kondisi perairan relatif tenang dengan hamparan terumbu karang yang sangat luas
merupakan salah satu habitat lobster. Penangkapan lobster di kawasan ini cukup intentif, dimana
selain dilakukan penangkapan yang berukuran konsumsi, juga terhadap lobster ukuran benih
untuk usaha budidaya pembesaran dalam karamba jaring apung Meningkatnya pasar domestik
maupun ekspor, menyebabkan penangkapan komoditas lobster semakin intensif. Intensifikasi
penangkapan yang tidak didasari pertimbangan kelestarian sumberdaya seperti penangkapan
menggunakan bahan peledak, potas dan lain-lain akan merusak hábitat dan ekosistemnya
sehingga menyebabkan semakin langkanya sumberdaya tersebut. Untuk itu, usaha budidaya
lobster yang menjanjikan ini belum dapat dikembangkan secara optimal karena karena benih
hasil pembenihan dari panti panti benih (hatchery) belum tersedia. Padahal lobster species
Homarus americanus telah berhasil dibenihkan di tangki pemeliharaan dan larvanya telah
berhasil dipelihara sampai ukuran benih (Wickins and Lee, 2002).

1.2 rumusan masalah

1. Rendahnya tingkat kelangsungan hidup pada budidaya lobster yang telah dilakukan
selama ini

1.3 tujuan

1. Untuk meningkatkan kelangsungan hidup pada budidaya lobster di indonesia

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Biologis Lobster

Lobster laut termasuk dalam family palinuridae. Sistematika lobster telah banyak diungkapkan
oleh banyak peneliti, meskipun terdapat berbagai perbedaan. Klasifikasi yang dibuat oleh
Latreille (1806) dalam Borradaille (1907) membagi ordo decapoda kedalam dua subordo, yaitu
macrura dan brachyura. Pembagian ini didasarkan atas kondisi (letak) abdomen. Namun,
pembagian ini memiliki banyak kelemahan. Oleh karena itu, H. Milne Edward (1834) dalam
borradaille (1907) menambahkan satu subordo lagi yaitu Anuora. Namun pembagian ini dirasa
masih memiliki kekurangan, sehingga ditambahkan Boas (1880) dalam Borradaille (1907)
mengusulkan dua subordo yang diberi nama reptantia dan naptantia. Lobster dimasukkan
kedalam ordo reptantia, sedangkan udang dimasukkan kedalam ordo naptantia.

Oleh Waterman dan Chace (1960) dalam moosa M.K dan Aswandy I. (1984), klasifikasi
lobster dijelaskan sebagai berikut :

Super kelas : Crustacea

Kelas : Malacostraca

Subkelas : Eumalacostraca

Superordo : Eucarida

Ordo : Decapoda

Subordo : Reptantia

Superfamili : Scyllaridae

Famili : Palinuridae

Genus : panulirus

Spesies : Panulirus homarus, P. Penicillatus, P. Longipes, P.versicolor, P.ornatus, P.


poliphagus.

5
Lobster sering kali disebut dengan spiny lobster. Diindonesia, selain dikenal sebagai udang
barong atau udang karang, lobster juga memiliki berbagai nama daerah. Beberapa diantaranya
adalah urang takka (makasar), koloura (kendari), loppa (bone), hurang karang (sunda), udang
puyuh (padang), dan lain-lain.

2.2 Jenis Kelamin

Jenis kelamin lobster bisa ditentukan dari letak alat kelaminnya. Alat kelamin jantan terletak
diantara kaki jalan kelima, berbentuk lancip, dan menonjol keluar. Sementara, alat kelamin
betina terletak diantara kaki jalan ketiga, berbentuk dua lancipan. Lobster jantan biasanya
berukuran lebih kecil dibandingakan dengan lobster betina. Hal ini diperkuat oleh Carpenter &
Niem (1998) dalam Kadafi, et.al., jenis kelamin lobster ditentukan dengan melihat letak
gonopores. Gonopores lobster jantan terletak pada kaki jalan kelima, sedangkan lobster betina
terletak pada kaki jalan ketiga. Selain dari letaknya, penentuan jenis kelamin lobster juga dapat
dilakukan dengan memperhatikan ukuran badannya.

2.3 Karakteristik

Sifat dan kelakuan lobster perlu diketahui terlebih dahulu, sebelum memulai usaha budidaya
lobster di kolam secara terkontrol. Ketidaktahuan akan sifat dan kelakuan lobster seringkali
menjadi faktor yang menyebabkan kegagalan budidaya. Sifat dan kelakuan lobster diuraikan
sebagai berikut.

1. Sifat Nokturnal

Sifat nokturnal adalah sifat lobster yang melakukan aktivitasnya pada malam hari,
terutama aktivitas mencari makan. Sementara, pada siang hari lobster beristirahat dan tinggal di
tepi laut berkarang di dekat rumput laut yang subur, bersama golongan karang. Diharapkan, para
pembudidaya lobster memanfaatkan sifat ini, yakni melakukan pemberian pakan pada malam
hari dengan dosis yang lebih besar dibandingkan dengan pemberian pakan pada siang hari.

Dengan sifat nokturnal tersebut, tampak bahwa lobster senang bersembunyi di tempat-
tempat yang gelap. Di alam, lobster bersembunyi pada lubang-lubang yang terdapat di sisi
terumbu karang. Oleh karena itu, tempat budidaya lobster perlu dilengkapi dengan tempat
perlindungan atau tempat persembunyian.

6
2. Sifat Ganti Kulit (Moulting/Ecdysis)

Langkah awal pertumbuhan lobster ditandai dengan terjadinya pergantingan kulit


(moulting atau ecdysis). Peristwa moulting pada Crustacea adalah pergantian atau penanggalan
rangka luar untuk diganti dengan yang baru. Proses ini biasanya diikuti dengan pertumbuhan dan
pertambahan berat badan.

Proses pergantian kulit pada lobster hampir sama dengan pergantian kulit pada udang
penaeid, misalnya udang windu. Sebelum moulting, lobster mencari tempat pesembunyian
terlebih dahulu tanpa melakukan aktivitas makan dan tidur. Dua hari kemudian, bagian kepala
sudah mulai retak, kemudian dilepaskan dengan gerakan meloncat.

Setelah berganti kulit, lobster akan mengisap air sebanyak-banyaknya sehingga tubuhnya
terlihat membengkak. Untuk mengeraskan kulit barunya, lobster membutuhkan gizi yang cukup
dan jumlah pakan yang lebih banyak. Proses pengerasan kulit biasanya berlangsung selama 1-2
minggu.

3. Sifat Kanibalisme

Di alam, pakan yang disukai lobster adalah berbagai jenis kepiting, moluska, dan ikan.
Jika persediaan pakan tidak memadai, lobster akan memangsa sesamanya. Sifat lobster yang
saling memakan sesama jenisnya ini disebut sifat kanibalisme. Peristiwa ini terjadi terutama jika
ada lobster yang sedang dalam kondisi lemah (sedang berganti kulit) atau pakan yang diberikan
kurang tepat baik jenis, jumlah, frekuensi, maupun waktu pemberian. Oleh karena itu, diperlukan
adanya manajemen pakan yang baik. Selain itu, pemasangan potongan pipa paralon di dasar bak
akan sangan akan membantu lobster yang sedang berganti kulit untuk menghindari pemangsaan
dari lobster lainnya.

4. Daya Tahan

Pada umunya, jenis jenis udang mampu bertahan hidup pada perairan dengan kondisi
salinitas yang berubah-ubah (berfluktuasi). Sifat ini disebut eurihaline. Akan tetapi, beberapa
jenis udang, termasuk udang barong atau lobster, merupakan biota laut yang sangat sensitif
terhadap perubahan salinitas dan suhu. Oleh karena itu, budidaya harus dilakukan di tempat yang
beratap sehingga air hujan tidak masuk ke dalam media budidaya. Hal ini diperlukan untuk

7
mencegah terjadinya fluktuasi salnitas dan suhu yang terlalu tinggi. Jenis Panulirus sp. lebih
toleran terhadap salinitas antara 25-45%.

Lobster mencari makan pada malam hari, di sekitar karang yang lebih dangkal. Lobster
bergerak di tempat yang aman pada lubang-lubang karang, merayap untuk mencari makan.
Apabila terkena sinar lampu, lobster akan diam sejenak, kemudian melakukan pergerakan
mundur dan menghindar.

Pada saat tertentu, biasanya lobster berpindah ke perairan yang lebih dalam untuk
melakukan pemijahan. Lobster betina yang telah matang telur biasanya berukuran (dari ujung
telson sampai ujung rostrum) sekitar 16cm, sedangkan lobster jantan sekitar 20cm. Seekor
lobster jantan dapat membuahi banyak telur yang kemudian disimpan di bagian bawah perut
lobster betina.

5. Habitat

Lobster atau udang barong memiliki dua fase dalam siklus hidupnya, yaitu fase pantai dan fase
lautan. Lobster akan memijah di dasar perairan laut yang berpasir dan berbatu. Telur yang
dibuahi akan menetas menjadi larva yang kemudian bersifat planktonis, melayang-layang dalam
air. Larva yang disebut phylosoma ini memerlukan waktu sekitar 7 bulan untuk menjadi lobster
kecil/muda.

Habitat alami lobster adalah kawasan terumbu karang di perairan-perairan yang dangkal hingga
100 m di bawah permukaan laut. Di Indonesia, terdapat perairan karang yang merupakan habitat
lobster seluas 6700 km2 dan merupakan perairan karang terluas di dunia.

Lobster berdiam di dalam lubang-lubang karang atau menempel pada dinding karang. Aktivitas
organisme ini relatif rendah. Lobster yang masih muda biasanya hidup di perairan karang di
pantai dengan kedalaman 0,5-30 m

Habitat yang paling disukai adalah perairan dengan dasar pasir yang ditumbuhi rumput laut
(seagrass). Hal ini diperkuat oleh Chan (1998) dalam Saputra, habitat udang karang (lobster)
pada umumnya adalah di perairan pantai yang banyak terdapat bebatuan / terumbu karang.
Terumbu karang ini disamping sebagai barrier (pelindung) dari ombak, juga tempat bersembunyi
dari predator serta berfungsi pula sebagai daerah pencari makan. Akibatnya daerah pantai

8
berterumbu ini juga menjadi daerah penangkapan lobster bagi para nelayan. Hal ini dapat dilihat
dari cara nelayan mengoperasikan alat tangkap (bintur) di daerah bebatuan di pantai. Setelah
menginjak dewasa, lobster akan bergerak ke perairan yang lebih dalam, dengan kedalaman
antara 7-40 m. Perpindahan ini biasanya berlangsung pada siang dan sore hari.

6. Morfologi lobster

Menurut Moosa dan Aswandy (1984), morfologi dari lobster yaitu terdiri dari kepala dan
thorax yang tertutup oleh karapas dan memiliki abdomen yang terdiri dari enam segmen.
Karakteristik yang paling mudah untuk mengenali lobster adalah adanya capit (chelae) besar
yang pinggirnya bergerigi tajam yang dimiliki lobster untuk menyobek dan juga menghancurkan
makanannya. Udang karang mudah dikenal karena bentuknya yang besar dibanding dengan
udang lainnya.

Morfologi dari udang karang atau lobster yaitu mempunyai bentuk badan memanjang, silindris,
kepala besar ditutupi oleh carapace berbentuk silindris, keras, tebal dan bergerigi. Mempunyai
antenna besar dan panjang menyerupai cambuk, dengan rostum kecil.

Lobster secara umum memiliki tubuh yang berkulit sangat keras dan tebal, terutama di
bagian kepala, yang ditutupi oleh duri-duri besar dan kecil. Mata lobster agak tersembunyi di
bawah cangkang ruas abdomen yang ujungnya berduri tajam dan kuat. Lobster memiliki dua
pasang antena, yang pertama kecil dan ujungnya bercabang dua disebut juga sebagai kumis.
Antena kedua sangat keras dan panjang dengan pangkal antena besar kokoh dan ditutupi duri-
duri tajam, sedangkan ekornya melebar seperti kipas. Warna lobster bervariasi tergantung
jenisnya, pola-pola duri di kepala, dan warna lobster biasanya dapat dijadikan tanda spesifik
jenis lobster.

Menurut Subani (1984), udang karang atau lobster memiliki ciri-ciri yaitu badan besar
dan dilindungi kulit keras yang berzat kapur, mempunyai duri-duri keras dan tajam, terutama
dibagian atas kepala dan antena atau sungut, bagian belakang badannya (abdomen) dan lembaran
ekornya. Pasangan kaki jalan tidak mempunyai chela atau capit, kecuali pasangan kaki lima pada
betina. Pertumbuhan udang karang sendiri selalu terjadi pergantian kulit atau molting, udang
karang memiliki warna yang bermacam-macam yaitu ungu, hijau, merah, dan abu-abu serta

9
membentuk pola yang indah. Memiliki antena yang tumbuh dengan baik, terutama antena kedua
yang melebihi panjang tubuhnya.

Secara morfologi tubuh lobster terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian depan atau
cephalothoraxs (kepala menyatu dengan dada) dan bagian belakang yang disebut abdomen
(perut). Seluruh tubuh lobster terdiri dari ruas-ruas yang tertutup olek kerangka luar yang keras,
bagian kepala terdiri dari 13 ruas dan bagian dada terdiri dari 6 ruas (Subani, 1984). Menurut
Sudradjat (2008), cephalothoraxs tertutup oleh cangkang yang keras (carapace) dengan bentuk
memanjang kearah depan. Pada bagian ujung cangkang tersebut terdapat bagian runcing yang
disebut cucuk kepala (rostrum). Mulut terletak pada kepala bagian bawah, diantara rahang-
rahang (mandibula). Sisi kanan dan kiri kepala ditutup oleh kelopak kepala dan dibagian
dalamnya terdapat insang. Mata terletak dibagian bawah rostrum, berupa mata majemuk
bertangkai yang dapat digerakkan.

7. Sistem Reproduksi Lobster

Lobster memiliki siklus hidup yang kompleks. Siklus hidup lobster mengalami beberapa
tingkatan yang berbeda pada tiap jenis. Lobster termasuk binatang yang mengasuh anaknya
walaupun hanya sementara. Menurut Subani (1978), sistem pembuahan lobster terjadi di luar
badan induknya (external fertilization). Indung telur nya berupa sepasang kantong memanjang
terletak mulai dari belakang perut (stomach) dibawah jantung (pericarduim) yang dihubungkan
keluar oleh suatu pipa peneluran (oviduct) dan bermuara di dasar kaki jalannya yang ketiga.

Menurut Moosa dan Aswandy (1984), ukuran panjang total lobster jantan dewasa kurang
lebih 20 cm, dan betina kurang lebih 16 cm, sedangkan umur pertama kali matang gonad yaitu
ditaksir antara 5 tahun – 8 tahun. Pada waktu pemijahan lobster mengeluarkan sperma
(spermatoforik) dan meletakkannya di bagian dada (sternum) betina mulai dari belakang celah
genital (muara oviduct) sampai ujung belakang sternum.

Peletakan spermatoforik ini terjadi sebelum beberapa saat peneluran terjadi. Masa
spermatoforik yang baru saja dikeluarkan sifatnya lunak, jernih dan kemudian agak mengeras
dan warna agak menghitam dan membentuk selaput pembungkus bagian luar atau semacam
kantong sperma.

10
Pembuahan terjadi setelah telur-telur dikeluarkan dan ditarik kearah abdomen yaitu
dengan cara merobek selaput pembungkus oleh betina dengan menggunakan cakar (kuku) yang
berupa capit terdapat pada ujung pasangan kaki jalannya. Lobster yang sedang bertelur
melindungi telurnya dengan cara meletakkan atau menempelkan dibagian bawah dada
(abdomen) sampai telur tersebut dibuahi dan menetas menjadi larva atau biasa disebut burayak
atau tumpayak (Moosa dan Aswandy, 1984). Menurut Hasrun (1996), lobster betina kadang-
kadang dapat membawa telur antara 10.000 -100.000 butir, sedangkan pada jenis-jenis yang
besar bisa mencapai 500.000 hingga jutaan telur. Banyak sedikitnya jumlah telur tergantung dari
ukuran lobster air laut tersebut.

Menurut Prisdiminggo (2002), lobster mempunyai periode pemijahan yang panjang


puncaknya pada bulan November sampai Desember. Setiap individu hanya sekali memijah
setahun. Tetapi pada musim perkembangbiakan, lobster dapat melakukannya lebih dari satu kali
pemijahan. Waktu pemijahan sangat berhubungan dengan temperatur.

2.4 Padat Penebaran

Menurut Anggoro (1992), padat penebaran adalah jumlah ikan yang ditebarkan atau
dipelihara dalam satu-satuan luas tertentu. Padat penebaran ini erat kaitannya dengan produksi
dan kecepatan tumbuh ikan yang diharapkan. Peningkatan padat penebaran akan berhenti pada
suatu batas tertentu, karena pakan dan lingkungan menjadi faktor pembatas.

Menurut Widha (1993), ada dua efek kepadatan yang berpengaruh pada populasi organisme air,
pertama mempengaruhi pertumbuhan dan yang kedua adalah mempengaruhi kelulushidupan.
Padat penebaran yang terlalu tinggi menyebabkan ikan menjadi lemah karena kompetisi dan
persaingan dalam mendapatkan ruang gerak, oksigen dan pakan sehingga kelulushidupannya
akan rendah atau terhambatnya pertumbuhan akibat kekurangan pakan, dengan demikian ada
batas padat penebaran dan batas ini tergantung dari umur dan ukuran ikan.

Dalam kegiatan pendederan lobster (Panulirus spp) masih mengalami kendala yaitu
rendahnya kelulushidupan pada stadia juvenile lobster. Hal ini diduga karena sifat kanibal pada
stadia juvenil pada lobster. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu dengan
pengaturan padat penebaran pada stadia juvenile lobster, dengan padat penebaran yang tepat
maka sifat kanibal pada lobster terutama pada stadia juvenile dapat ditekan dan pertumbuhan

11
serta kelulushidupan juvenile lobster akan mendapatkan hasil yang terbaik. Penentuan tingkat
padat penebaran ini didasarkan pada pernyataan Dwi Eny Djoko (2006), yaitu padat penebaran
yang ideal untuk pemeliharaan lobster untuk sistem keramba jaring apung sebanyak 15-20 ekor
per meter2 luas dasar kolam.

2.5 Kelulus hidupan

Menurut Effendie (1997), kelulushidupan merupakan suatu peluang untuk hidup pada
saat tertentu. Metode yang umum digunakan untuk menyatakan tingkat kelulushidupan adalah
perbandingan antara jumlah individu yang hidup pada akhir percobaan dengan jumlah individu
pada awal percobaan. Kelulushidupan dan pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal meliputi jenis kelamin, keturunan, umur, reproduksi, ketahanan
terhadap penyakit dan kemampuan memanfaatkan pakan. Faktor eksternal meliputi kualitas air,
padat penebaran, jumlah dan komposisi kelengkapan asam amino dalam pakan.

2.6 Kualitas Air

Menurut Effendi (2003), suhu dan salinitas memainkan peranan yang penting dalam
kehidupan organisme laut dan estuaria. Suhu sangat berperan dalam mempercepat metabolisme
dan kegiatan organ lainnya. Suhu yang tinggi dapat meningkatkan konsumsi oksigen dan
terjadinya pengeringan sel. Keasaman air yang lebih dikenal dengan pH (Paissanee negatif de H)
juga sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan ikan. Keasaman dihitung berdasarkan logaritma
negatif dari ion-ion hidrogen per liter air. Keasaman (pH) yang terlalu tinggi atau rendah akan
meracuni ikan dan hewan lainnya.

12
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

· Lobster merupakan hewan malam (nokturnal). Lobster lebih banyak beraktivitas dan
mencari makan pada malam hari atau saat gelap. Karena itu, pemberian pakan lobster sebaiknya
lebih banyak dilakukan pada malam hari. Pada siang hari, lobster cenderung untuk diam di
tempat persembunyiannya. Mengalami Pergantian Kulit atau Molting Pertumbuhan lobster
ditandai dengan adanya pergantian kulit atau biasanya dikenal dengan kata “molting”. Seiring
dengan pertumbuhannya, pergantian kulit akan semakin berkurang menjadi beberapa bulan
sekali, atau bahkan bisa satu tahun sekali. Lobster termasuk hewan yang memiliki sifat kanibal
atau memakan sesamanya. Umumnya, lobster yang sedang dalam tahap molting sangat lemah
dan rentan terhadap serangan sesamanya. Untuk itu makanan yang diberikan untuk lobster yang
dibudidayakan harus mencukupi, bila tidak akan terjadi kanibalisme.

13
DAFTAR PUSTAKA

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.

Kadafi, Muammar, et.al., 2006. Aspek Biologi dan Potensi Lestari Sumberdaya Lobster
(Panulirus spp.) di Perairan Pantai Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen. Jurnal
Perikanan VIII(1).

Kanna, Iskandar. 2006. Lobster. Kanisius. Yogyakarta.

Moosa, M.K. dan I. Aswandy. 1984. Udang Karang (Panulirus spp.) dari Perairan
Indonesia. LON LIPI. Jakarta

Saputra, Suradi Wijaya. 2009. Status Pemanfaatan Lobster (Panulirus sp) di Perairan
Kebumen. Jurnal Saintek Perikanan Vol. 4, No. 2

Subani, W., 1987. Perikanan Udang Barong (Spiny Lobster) dan Prospek Masa Depannya.
Bulletin Penelitian Perikanan Volume I (3).

Anonim. 1990. A quarterly update based on GLOBEFISH databank. Highlights: 32

14

Anda mungkin juga menyukai