Anda di halaman 1dari 4

Komplikasi

BPH yang tidak tertangani dapat menyebabkan terjadinya komplikasi seperti


retensi urin, hematuria, infeksi saluran kemih, batu kandung kemih, kerusakan
dinding kandung kemih, disfungsi ginjal, inkontinensia, dan disfungi ereksi.
 Retensi urin
Merupakan ketidak mampuan untuk mengosongkan kandung kemih yang
dapat dibagi menjadi akut, kronik, ataupun akut pada kronis. Retensi urin
akut ditandai dengan onset yang tiba-tiba dan rasa nyeri hebat akibat
kandung kemih yang teregang akibat urin yang berlebihan. 1,2 Pada
retensi urin akut volume kandung kemih dapat berkisar antara 500 mL
hingga 1L, sedangkan pada retensi urin kronik pasien biasanya memiliki
post residual volumes (PVR) hingga 300-1000. Retensi urin kronik biasa
tidak nyeri dikarena onset yang lambat dengan volume kandung kemih
yang lebih tinggi, berkisar antara 450 mL hingga 4,5 L dan ditandai
dengan kandung kemih yang masih teraba pada palpasi dan perkusi
setelah buang air kecil. 3
Pemeriksaan fisik pada retensi urin akut didapatkan massa yang dapat
teraba pada suprapubik dan pekak pada perkusi. Tatalaksana awal yang
dapat dilakukan adalah pemasangan kateter dan dinilai jumlah urine awal
selama 10-15 menit pertama untuk membedakan antara retensi urin akut
ataupun akut pada kronik. 4
Retensi urin kronik dapat dibagi menjadi retensi urin bertekanan tinggi
(HPCR) dan bertekanan rendah (LPCR) berdasarkan tekanan otot
detrusor yang berkurang pada akhir mikturisi.5,6 Pada HPCR biasanya
didapatkan bladder outflow obstruction (BOO) sehingga tekanan otot
detrusor yang tinggi dengan aliran urin yang buruk menyebabkan
terdapatnya tekanan yang tinggi pada kandung kemih dan menyebabkan
tekanan retrograde sehingg dapat terjadi hidronefrosis dan dapat
menyebabkan disfungsi renal. Sedangkan pada LPCR, kandung kemih
lebih lentur, dan lebih terkompensasi sehingga tidak terjadi peningkatan
tekanan ke traktus bagian atas. Retensi urin kronik juga dapat
menyebabkan terjadinya nocturnal enuresis akibat tekanan kandung
kemih yang melebihi resistensi uretra.7
 Infeksi saluran kemih
Pada BPH, hal ini diakibatkan karena ketidakmampuan untuk
mengonsongkan kandung kemih dan terjadi stagnansi dari urin sehingga
dapat menjadi media pertumbuhan untuk bakteri. Infeksi yang terjadi
dapat asimtomatik ataupun disertai gejala seperti dysuria, frekuensi,
urgensi, infeksi sistemik, dan hematuria. Penanganan yang dapat
dilakukan adalah melakukan tes dipstick urin, kultur urin, dan pemberian
antibiotik empirik.8
 Hematuria
Hematuria dapat terjadi akibat terjadinya hipervaskularitas yang rapuh
pada prostat yang membesar. Hal ini dapat menyebabkan terbentuknya
bekuan darah yang akan tampak sebagai hematuria. Finasteride
dianjurkan sebagai tatalaksana pada BPH yang disertai dengan hematuria,
di mana akan mengurangi microvessel density (MVD) dan vascular
endothelial growth factor (VEGF).9
 Batu kandung kemih
Kejadian ini berkaitan terdapatnya sisa urin yang tidak dapat dikeluarkan
dengan baik sehingga berkaitan terjadinya infeksi saluran kemih, di mana
terdapat bakteri yang dapat menghasilkan ure seperti Proteus mirabilis.10
Batu kandung kemih sendiri dapat disertai gejala seperti terdapatnya
hematuria, nyeri perut, retensi urin, infeksi saluran kemih berulang, dan
bahkan sepsis. Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan
pemeriksaan dipstick urin, x-ray dan usg dari ginjal, ureter, dan
blader.11,12
 Kerusakan dinding kandung kemih
Hal ini disebabkan karena terdapatnya peningkatan intra-vesikal akibat
adanya obstruksi sehingga menyebabkan beberapa perubahan pada
dinding kandung kemih. Perubahan utama yang terjadi adalah hipertrofi
dari otot detrusor. Di mana pada awal terjadinya BPH terdapat
peningkatan otot halus dan diikuti dengan peningkatan jaringan ikat.
Hipertrofi ini disebabkan oleh mekanisme kompensasi untuk
mengkosongkan kandung kemih. 13
Terdapat pula fibrosis yang terjadi dikarenakan deposisi dari protein
kolagen dan unsur matriks lainnya sebagai respons untuk
iskemia/kerusakan reperfusi berulang akibat obstruksi yang terjadi. Hal
ini akan menyebabkan penyesuaian dari dinding kandung kemih
berkurang sehingga akan terbentuk trabekulasi dan berakibat dengan
non-compliance bladder yang memiliki volume yang rendah dan
bertekanan tinggi.14
 Kerusakan ginjal
Dapat terjadi chronic kidney disease (CKD) pada pasien dengan BPH. Hal
ini paling dikaitkan dengan terjadinya dilatasi dari traktus bagian atas
serta hidronefrosis akibat retensi urin kronik. Walaupun begitu, berbagai
faktor lain juga bisa memicu terjadinya CKD seperti infeksi saluran kemih
berulang yang dapat terjadi pada pasien dengan BPH. Sehingga, pada
pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan ureum dan
creatinin, serta glomerular filtration rate (GFR) yang menurun hingga <60
mL per menit selama minimal 3 bulan.13,15
 Inkontinensia
BPH yang terjadi dapat memicu terjadinya overactive bladder syndrome
yang ditandai dengan urgensi, dan terutama lebih menonjol pada malam
hari.
 Disfungsi ereksi
Walaupun terkadang disfungsi ereksi lebih dikaitkan dengan
pertambahan usia, didapatkan angka kejadian disfungsi ereksi lebih tinggi
pada pasien dengan LUTS, serta meningkat sesuai dengan tingkat
keparahan dari LUTS tersebut. Terdapat banyak mekanisme yang dapat
memicu terjadinya disfungsi ereksi pada BPH, seperti gangguan kadar
nitric oxide, hiperaktivitas autonomic, perubahan jalur
rhokinase/endothelin, dan aterosklerosis dari vaskularisasi pelvis.
Tatalaksana LUTS yang disertai disfungsi ereksi sendiri dapat diberikan
kombinasi alpha-blocker dan PDE-5 inhibitor.16

Prognosis
Secara umum, prognosis dari BPH adalah baik, walaupun dapat menyebabkan
ketidak nyamanan kepada pasien. Tetapi, dengan semakin bertambah besarnya
kelenjar prostat, maka gejala yang dialami akan semakin parah bahkan dapat
menyebabkan nyeri hebat akibat retensi urin. Dengan pengobatan dan /atau
tatalaksana operasi, maka gejala dari pembesaran prostat dapat diatasi dengan
baik.

1. Fitzpatrick J, Kirby R. Management of acute urinary retention. BJU Int.


2006;97(Suppl 2):16–20.
2. Thomas K, Oades G, Taylor-Hay C, Kirby RS. Acute urinary retention: What
is the impact on patients’ quality of life? BJU Int. 2005;95:72–6.
3. The Standardisation of lower urinary tract function. [Last accessed on
2013 Nov 1]. Available from:
http://www.ics.org/Documents/DocumentsDownload.aspx?
DocumentID=22 .
4. Pickard R, Emberton M, Neal DE. The management of men with acute
urinary retention. National Prostatectomy Audit Steering Group. Br J Urol.
1998;81:712–20.
5. Abrams P, Dunn M, George N. Urodynamic findings in chronic retention of
urine and their relevance to results of surgery. BMJ. 1978;2:1258–60.
6. George NJ, O’Reilly PH, Barnard RJ, Blacklock NJ. High pressure chronic
retention. Br Med J (Clin Res Ed) 1983;286:1780–3.
7. Kalejaiye O, Speakman MJ. Management of acute and chronic retention in
men. Eur Urol Suppl. 2009;8:523–9.
8. Nicolle LE AMMI Canada Guidelines Committee. Complicated urinary tract
infection in adults. Can J Infect Dis Med Microbiol. 2005;16:349–60.
9. Kashif KM, Foley SJ, Basketter V, Holmes SA. Haematuria associated with
BPH-Natural history and a new treatment option. Prostate Cancer
Prostatic Dis. 1998;1:154–6.
10. Schwartz BF, Stoller ML. The vesical calculus. Urol Clin North Am.
2000;27:333–46.
11. De la Rossette J, Alivizatos G, Madersbacher S, Rioja Sanz C, Nordling J,
Emberton M, Gravas S, Michel MC, Oelke M. Guidelines on Benign
Prostatic Hyperplasia. EAUguideline. 2002.
12. Larsen EH, Bruskewitz RC. Urodynamic evaluation of male outflow
obstruction. In: Krane RJ, Siroky B, editors. Clinical Neurourology. New
York: Lippincott Williams and Wilkins; 1991. pp. 427–43.
13. Inui E, Ochiai A, Naya Y, Ukimura O, Kojima M. Comparative
morphometric study of bladder detrusor between patients with benign
prostatic hyperplasia and controls. J Urol. 1999;161:827–30.
14. Deveaud CM, Macarak EJ, Kucich U, Ewalt DH, Abrams WR, Howard PS.
Molecular analysis of collagens in bladder fibrosis. J Urol. 1998;160:1518–
27.
15. Levey AS, Coresh J, Balk E, Kausz AT, Levin A, Steffes MW, et al. National
Kidney Foundation practice guidelines for chronic kidney disease:
Evaluation, classification, and stratification. Ann Intern Med.
2003;139:137–47.
16. Speakman MJ. PDE5 inhibitors in the treatment of LUTS. Curr Pharm Des.
2009;15:3502–5.

Anda mungkin juga menyukai