Anda di halaman 1dari 17

ETIKA PROFESI DAN HUKUM KESEHATAN

RETENSIO PLASENTA
Dosen Pengampu : Dwi Rahmawati

DISUSUN OLEH :

AGNES FANIA FAHRIANI


LOLIYA NOPERIA MAISARAH
NORMILA RAUDAH PERA KURINA
RIZKA AULIA RUSDAH MILA
RUSDIYANA ABDAN

UNIVERSITAS SARI MULIA


FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI
SARJANA KEBIDANAN
BANJARMASIN
TAHUN 2022
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................3
1.1 LATAR BELAKANG.................................................................................................3
1.2 TUJUAN......................................................................................................................6
1.3 MANFAAT.................................................................................................................6
BAB II LANDASAN TEORI...................................................................................................7
2.1 DEFINISI RETENSIO PLASENTA...........................................................................7
2.2 JENIS- JENIS RETENSIO PLASENTA....................................................................7
2.3 TANDA- TANDA RETENSIO PLASENTA.............................................................7
2.4 PENYEBAB................................................................................................................8
2.5 PENATALAKSANAAN............................................................................................8
2.6 PLASENTA MANUAL............................................................................................10
BAB III PEMBAHASAN........................................................................................................13
3.1 ISU TERKAIT PENATALAKSANAAN RETENSIO PLASENTA OLEH BIDAN DI
LAHAN PRAKTIK..............................................................................................................13
3.2 KESENJANGAN ANTARA TEORI DAN PRAKTIK BIDAN DI LAPANGAN.......13
3.3. PENYELESAIAN.........................................................................................................15
BAB IV KESIMPULAN..........................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................17

2
BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Retensio plasenta adalah kondisi ketika plasenta atau ari-ari tertahan di dalam rahim.
Kondisi ini sangat berbahaya, serta menyebabkan infeksi dan perdarahan pasca
melahirkan yang mengakibatkan kematian. Persalinan terbagi dalam tiga tahap. Pada
tahap pertama ibu hamil akan mengalami kontraksi, yang memicu pembukaan pada leher
rahim. Kemudian, ibu hamil memasuki tahap kedua atau proses persalinan. Pada tahap
ini, ibu mulai mendorong bayi keluar setelah bayi lahir, plasenta akan keluar beberapa
menit setelah bayi dilahirkan. Proses keluarnya plasenta ini adalah tahap ketiga atau
tahap terakhir. Plasenta tidak keluar didalam rahim bahkan hingga lewat dari 30
menit.Plasenta adalah organ yang terbentuk didalam rahim ketika masa kehamilan
dimulai. Organ ini berfungsi sebagai penyedia nutrisi dan oksigen untuk janin, serta
membuang limbah sisa metabolisme dari darah. Retensio plasenta dapat menyebabkan
perdarahan, perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu (40%-60%) kematian
ibu melahirkan di Indonesia.

Faktor predisposisi terjadinya retensio plasenta adalah plasenta previa, bekas seksio
sesarea, pernah kuret berulang dan paritas (Saifuddin, A.B., 2009). Faktor predisposisi
lain yang menyebabkan retensio plasenta yaitu usia, jarak persalinan, penolong
persalinan, riwayat manual plasenta, anemia, riwayat pembedahan uterus, destruksi
endometrium dari infeksi sebelumnya atau bekas endometritis dan implantasi corneal
(Manuaba, 2010). Bahaya pada ibu hamil yang berumur 35 tahun lebih adalah
perdarahan setelah bayi lahir yaitu salah satunya dikarenakan retensio plasenta (Rochjati,
Poedji, 2011). Paritas satu dan paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian
perdarahan pasca persalinan lebih tinggi, salah satu penyebabnya adalah retensio
plasenta (Rochjati, 2011). Terlalu sering bersalin (jarak antara kelahiran < 2 tahun) akan
menyebabkan uterus menjadi lemah sehingga kontraksi uterus kurang baik dan resiko
terjadinya retensio plasenta meningkat, sedangkan pada jarak persalinan ≥ 10 tahun,
dalam keadaan ini seolah-olah menghadapi persalinan yang pertama lagi, menyebabkan
otot polos uterus menjadi kaku dan kontraksi uterus jadi kurang baik sehingga mudah
terjadi retensio plasenta (Rochjati, 2011).

3
Hasil Audit Maternal Perinatal. Perdarahan postpartum merupakan penyebab pertama
kematian ibu di negara berkembang sebesar 25% dari seluruh kematian ibu. Perdarahan
postpartum adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam setelah persalinan berlangsung,
perdarahan yang keluar melebihi 500cc. Perdarahan postpartum dibagi menjadi dua,
yaitu perdarahan primer dan sekunder. Perdarahan postpartum primer yaitu perdarahan
yang terjadi 24 jam pertama salah satu penyebabnya yaitu retensio plasenta. Retensio
plasenta merupakan salah satu penyebab risiko perdarahan yang terjadi segera setelah
terjadinya persalinan dibandingkan dengan risiko risiko lain dari ibu bersalin, perdarahan
postpartum akibat retensio plasenta merupakan salah satu penyebab yang dapat
mengancam jiwa dimana ibu dengan perdarahan yang hebat akan cepat meninggal jika
tidak mendapat perawatan medis yang tepat.

World Health Organization (WHO) tahun 2017, terdapat 810 wanita meninggal/hari
karena penyebab yang dapat dicegah terkait kehamilan dan persalinan. 295.000 wanita
meninggal selama dan setelah kehamilan dan persalinan pada tahun 2017. AKI di negara
berpenghasilan rendah pada tahun 2017 adalah 462 per 100.000 kelahiran hidup
dibandingkan 11 per 100.000 kelahiran hidup di negara berpenghasilan tinggi.
Sustainable Development Goals (SDG) memiliki target baru untuk mempercepat
penurunan kematian ibu pada tahun 2030 yaitu mengurangi AKI global menjadi kurang
dari 70 per 100.000 kelahiran, bahwa 15-20% kematian ibu karena retensio plasenta dan
insidennya adalah 0,8-1,2% untuk setiap kelahiran.

Data The ASEAN Secretariat di beberapa negara ASEAN tahun 2015 menunjukkan
bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia menduduki angka tertinggi nomor dua
setelah Laos. AKI di Indonesia tahun 2015 yaitu 305/100.000 kelahiran hidup, Laos
357/100.000 kelahiran hidup, Filipina 221/100.000 kelahiran hidup, Myanmar
180/100.000 kelahiran hidup, Kamboja 170/100.000 kelahiran hidup, Vietnam
69/100.000 kelahiran hidup, Brunei Darussalam 60/100.000 kelahiran hidup, Thailand
25/100.000 kelahiran hidup, Malaysia 24/100.000 kelahiran hidup dan Singapura
7/100.000 kelahiran hidup.

Kesehatan Indonesia 2018, Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu
indikator untuk melihat keberhasilan upaya kesehatan ibu. Angka Kematian Ibu (AKI)
merupakan salah satu indikator untuk menilai derajat kesehatan masyarakat dan juga
termasuk dalam target pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Hasil Survei

4
Penduduk Antar Sensus (SUPAS) pada tahun 2015 sampai dengan tahun 2019
menunjukkan AKI di Indonesia sebesar 305 per 100.000 kelahiran hidup. Perdarahan
yang disebabkan oleh rentensio plasenta merupakan penyebab kematian nomor satu
(40% - 60%) kematian ibu melahirkan di Indonesia.

Data Dari RSUD Dr. H. Moch Ansari saleh Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dari
614 ibu bersalin terdapat 16,8% merupakan kasus rujukan, 51,5% dengan pendidikan
dasar (SD & SMP) dan 89,7% dengan riwayat pernah menggunakan kontrasepsi.
Analisis Univariat Ibu bersalin yang mengalami retensio plasenta sebanyak 65 orang
(10,6%); umur 35th sebanyak 140 orang (22,8%); paritas >3 sebanyak 119 orang
(19,4%) dan jarak persalinan 10th sebanyak 96 orang (15,6%).

Retensio plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam setelah
persalinan bayi (Manuaba, 2010). Frekuensi perdarahan post partum 15% dari seluruh
persalinan, salah satu penyebabnya adalah retensio plasenta yaitu 16-17%. Persentase
terjadinya retensio plasenta untuk seluruh persalinan adalah 2,4%-2,55% (Rahmawati,
2011).

Pengeluaran retensio plasenta sebaiknya di lakukan di rumah sakit dan rujukan


diperlukan apabila ibu bersalin berada diluar rumah sakit. Lingkungan rumah sakit
adalah tempat yang tepat untuk melakukan tindakan manual plasenta, baik untuk alasan
keamanan dan memungkinkan ibu bersalin menerima anestesia atau analgesia untuk
mengurangi rasa sakit saat tindakan dilakukan (Helen, dkk., 2008).

Kejadian retensio plasenta di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin tahun
2012 masih tinggi, karena melebihi presentase rata-rata perdarahan yang disebabkan oleh
retensio plasenta untuk seluruh persalinan (2,4% - 2,55%), tingginya angka kejadian
retensio plasenta di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin tahun 2012
disebabkan karena RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin merupakan rumah
sakit yang menerima kasus rujukan, hal ini di dukung dengan data hasil penelitian dari
65 kasus retensio plasenta terdapat 58 orang (89,2%) dengan rujukan dan sesuai dengan
teori bahwa ibu yang mengalami retensio plasenta sebaiknya dirujuk kerumah sakit.

Data Primer Hasil penelitian menunjukkan pada umur risiko memiliki risiko 2 kali
lebih besar untuk terjadinya retensio plasenta, hal ini sesuai dengan teori bahwa wanita
yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35 tahun merupakan
faktor resiko terjadinya perdarahan pasca persalinan salah satu penyebabnya adalah

5
retensio plasenta yang dapat mengakibatkan kematian maternal. hal ini dikarenakan pada
usia dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang dengan
sempurna, sedangkan pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah
mengalami penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga kemungkinan
untuk terjadinya komplikasi pasca persalinan terutama perdarahan akan lebih besar.
Perdarahan pasca persalinan yang mengakibatkan kematian maternal pada wanita hamil
yang melahirkan pada usia dibawah 20 tahun 2-5 kali lebih tinggi dari pada perdarahan
pasca persalinan yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Perdarahan meningkat kembali
setelah usia 30-35 tahun (Rahmawati, 2011).

1.2 TUJUAN
Agar dapat memahami tentang teori retensio plasenta dan mengetahui apa penyebab
factor yang menyebab kan terjadinya retensio plasenta, serta dapat membandingkan atau
mengevaluasi dari kasus dilahan yang sering terjadi dengan teori yang nyata tentang
penanganan yang tepat dalam menangani kasus retensio plasenta.

1.3 MANFAAT
Agar Bidan dapat menangani pasien dengan tepat dan cepat, sesuai teori yang benar
dalam menangani kasus retensio plasenta sehingga menurun kan angka kematian Ibu.

6
BAB II LANDASAN TEORI

2.1 DEFINISI RETENSIO PLASENTA


Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau
melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir (buku acuan nasional pelayanan kesehatan
maternal dan neonatal).

Menurut Rohani dkk. (2011:2017), retensio plasenta adalah tertahannya atau belum
lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir.

Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir disebut
sebagai retensio plasenta. (Prawirohardjo S,2009; h.526)

2.2 JENIS- JENIS RETENSIO PLASENTA


Jenis-jenis perlekatan plasenta yang abnormal yaitu:

a) Plasenta Adhesiva
Implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan
mekanisme separasi fisiologis.
b) Plasenta Akreta
Implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan myometrium.
c) Plasenta Inkreta
Implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai/ memasuki myometrium.
d) Plasenta Perkreta
Implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai
lapisan serosa dinding uterus.
e) Plasenta Inkarserata
Adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri, disebabkan oleh
komstriksi ostium uteri.

2.3 TANDA- TANDA RETENSIO PLASENTA


Dibagi menjadi dua yaitu:

a) Tanda-tanda yang selalu ada


1) Plasenta belum lahir 30 menit setelah anak lahir

7
2) Ada perdarahan
3) Kontraksi uterus baik
4) Pada eksplorasi jalan lahir tidak ada robekan.
b) Tanda-tanda yang kadang menyertai
1) Tali pusat putus akibat traksi berlebihan
2) Inverio uteri akibat tarikan
3) Perdarahan lanjutan
4) Faktor-faktor penyebab terjadinya retensio plasenta

2.4 PENYEBAB
1) Faktor predisposisi terjadinya retensio plasenta menurut Saifuddin, A.B., 2009
adalah
a) Plasenta previa
b) Bekas seksio sesarea
c) Pernah kuret berulang
d) Paritas
2) Faktor predisposisi lain yang menyebabkan retensio plasenta (Manuaba,2010) yaitu
a) Usia
b) Jarak persalinan
c) Penolong persalinan
d) Riwayat manual plasenta
e) Anemia
f) Riwayat pembedahan uterus
g) Destruksi endometrium dari infeksi sebelumnya atau bekas endometritis dan
implantasi corneal
2.5 PENATALAKSANAAN
a) Retensio plasenta dengan separasi parsial (Adhesive)
1) Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan
di ambil.
2) Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan bila ekspulsi plasenta
tidak terjadi, cobakan traksi terkontrol tali pusat
3) Pasang infus oksitosin 20 -unit dalam 500 cc Ns/RL dengan 40 tetesan/ menit.
Bila perlu kombinasikan dengan misoprostol 400 mg rektal.
4) Bila troksi terkontrol gagal, lahirkan plasenta secara hati- hati dan halus.
5) Lakukan tranfusi darah bila diperlukan
6) Berikan antibiotika profilaksis (ampisilin IV/ oral + metronidazole supositorial/
oral)
7) Segera atasi jika terjadi perdarahan hebat, infeksi syok neurogenik.

8
b) Plasenta akreta

PLASENTA AKRETA

Faktor predisposisi Konsentrasi HB

Syok neurogenic Jenis dan uji silang darah


akibat traksi kuat tali Pembekuan darah
pusat

PLASENTA AKRETA

Eksplorasi

Tertanam seluruhnya Tertanam sebagian

Tidak ada perdarahan Manual plasenta

Sebagian besar plasenta dapat


Dikeluarkan, tidak ada perdarahan

Sebagian besar plasenta tertanam dalam

HISTEREKTOMI UTEROTONIKA
OBSERVASI dan PERAWATAN LANJUT

9
c) Penanganan retensio plasenta menurut jenjang
1) Polindes
a) Diagnosis
b) Stabilisasi
c) Manual plasenta untuk kasus adhesive simpleks
d) Uterotonika
e) Antibiotika
f) Rujuk untuk kasus berat
2) Puskesmas
a) Diagnosis
b) Stabilisasi
c) Plasenta manual untuk kasus resiko rendah
d) Rujuk kasus berat
e) Uterotonika
f) Antibiotika
3) Rumah sakit
a) Diagnosis
b) Stabilisasi
c) Plasenta manual
d) Histerektomi
e) Tranfusi darah
f) Uterotonika
g) Antibiotika
h) Kedaruratan kompikasi

2.6 PLASENTA MANUAL


Adalah prosedur pelepasan plasenta dari tempat implantasinya pada dinding uterus
dan mengeluarkannya dari kavum uteri secara manual. Arti dari manual adalah dengan
melakukan tindakan invasi dan manipulasi tangan penolong persalinan yang dimasukan
langsung ke dalam kavum uteri.
Prosedur klinik plasenta manual
1) Persetujuan tindakan medik
2) Persiapan sebelum tindakan
a) Pasien
1. Cairan dan slang infus sudah terpasang. Perut bawah dan lipat paha sudah
dibersihkan
2. Uji fungsi dan kelengkapan alat resusitasi
3. Siapkan kain alas bokong, sarung kaki dan penutup perut bawah
4. Medikamentosa
 Analgetika (pethidine 1-2 mg/kg BB, ketamin Hcl 0,5 mg/kg BB,
tramadol1-2 mg/kg/BB)
 Sedative (diazepam 10 mg)
 Atropine sulfas 0,25-0,50 mg/ml
 Uterotonika
 Cairan NaCl 0,9 dan RL
 Set infus

10
5. Larutan antiseptic (povidon iodin 10%)
6. Oksigen dengan regulator
b) Penolong (operator dan asisten)
1. Baju kamar tindakan, pelapis plastik, masker, dan kacamata pelindung : 3 set
2. Sarung tangan DTT/ steril : sebaiknya sarung tangan Panjang
3. Alas kaki (sepatu/ “boot”)
4. Instrument
 Kocher 2, semprit 5 ml dan jarum suntikno.23 G
 Mangkok logam (wadah plasenta) : 1
 Kateter karet dan penampung air kemih: 1
 Benang kromik 2/0: 1 rol
 Set partus: 1 set
c) Pencegahan infeksi sebelum tindakan
d) Tindakan penetrasi ke kavum uteri
1. Instruksikan asisten untuk memberikan sedative dan analgetik melalui karet
infus
2. Lakukan kateterisasi kandung kemih
3. Jepit tali pusat dengan kocher kemudian tegangkan tali pusat sejajar lantai
4. Secara obstetrik masukan satu tangan (punggung tangan kebawah) ke dalam
vagina dengan menelusuri tali pusat bagian bawah
5. Setelah tangan mencapai pembukaan servik, minta asisten untuk memegang
kocher, kemudian tangan lain penolong menahan fundus uteri
6. Sambal menahan fundus uteri, masukkan tangan dalam ke kavum uteri
sehingga mencapai tempat implantasi plasenta
7. Buka tangan obstetrik menjadi seperti memberi salam
e) Melepas plasenta dari dinding uterus
1. Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang paling bawah
 Bila berada di belakang, tali pusat tetap disebelah atas. Bila di bagian
depan, pindahkan tangan ke bagian depan tali pusat dengan punggung
tangan menghadap ke atas.
 Bila plasenta di bagian belakang, lepaskan plasenta dari tempat
implantasinya dengan jalan menyelipkan ujung jari di antara plasenta dan
dinding uterus, dengan punggung tangan menghadap ke dinding dalam
uterus
 Bila plasenta di bagian depan, lakukan hal yang sama (punggung tangan
pada dinding kavum uteri) tetapi tali pusat berada di bawah telapak tangan
kanan
2. Kemudian gerakan tangan kanan ke kiri dan kanan sambil bergeser ke kranial
sehingga semua permukaan maternal plasenta dapat dilepas dengan catatan
perhatikan keadaan pasien, lakukan penanganan yang sesuai bila terjadi
penyulit.
f) Mengeluarkan plasenta
1. Sementara satu tangan masih di dalam kavum uteri, lakukan eksplorasi
ulangan untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih melekat pada
dinding uterus.

11
2. Pindahkan tangan luar ke supra simfisis untuk menahan uterus pada saat
plasenta dikeluarkan
3. Instruksikan asisten yang memegang kocher untuk menarik tali pusat sambil
tangan dalam menarik plasenta ke luar (hindari percikan darah)
4. Letakkan plasenta ke dalam tempat yang telah di sediakan
5. Lakukan sedikit pendorongan uterus (dengan tangan luar) ke dorsokranial
setelah plasenta lahir, perhatikan kontraksi uterus dan jumlah perdarahan
g) Dekontaminasi pasca tindakan
h) Cuci tangan pasca tindakan
i) Perawatan pasca tindakan

12
BAB III PEMBAHASAN

3.1 ISU TERKAIT PENATALAKSANAAN RETENSIO PLASENTA OLEH BIDAN


DI LAHAN PRAKTIK
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau
melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir. Untuk kasus- kasus tertentu retensio plasenta
dapat ditangani bidan dengan manual plasenta yang tentunya harus di dasari oleh
kemampuan yang ahli dari seorang bidan. Sekarang ini banyak kasus retensio plasenta
yang ditangani bidan dengan pengetahuan dan kemampuan terbatas, khususnya di daerah
tempat anggota kelompok 4 berada. Setelah 30 menit plasenta tidak lahir, sebagian bidan
dengan kemampuan terbatas tetap memaksakan diri untuk melakukan pengeluaran
plasenta secara manual sampai keadaaan umum ibu lemah tetapi plasenta tak kunjung
keluar. Ditambah lagi jarak tempat anggota kelompok 4 ke rumah sakit dengan fasilitas
lengkap cukup jauh jadi pasien dengan retensio plasenta sering kali terlambat
mendapatkan penanganan yang lebih baik. Masalah lain yang juga di hadapi bidan
khususnya di desa Manen Paduran Kalimantan Tengah , banyak ibu dan keluarga dengan
retensio plasenta yang menolak untuk dirujuk dengan alasan ada ritual khusus di desa
yang dapat dilakukan untuk mengeluarkan plasenta.

3.2 KESENJANGAN ANTARA TEORI DAN PRAKTIK BIDAN DI LAPANGAN


Untuk kasus retensio plasenta ada beberapa kesenjangan yang terjadi. Menurut buku
acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal, bidan yang bekerja di
polindes dapat melakukan manual plasenta untuk penanganan selanjutnya apabila
peregangan tali pusat terkendali dan penyuntikan oksitosin kedua tidak berhasil, tetapi
harus didasari oleh diagnosis yang tepat. Apabila plasenta perkreta yang tertanam
seluruhnya di myometrium, bidan tidak dapat melakukan manual plasenta tetapi harus
menyiapkan rujukan (Modul pelatihan jabatan fungsional bidan terampil).

Berdasarkan hasil diskusi anggota kelompok 4 pada masing-masing wilayah kerja,


ditemukan bahwa masih ada bidan yang coba-coba melakukan manual plasenta untuk
kasus plasenta perkreta namun tidak berhasil, sehingga rujukan terlambat dilakukan dan
berdampak pada keselamatan ibu. Jarak yang jauh dengan tempat rujukan juga
memperparah kondisi pasien. Hal tersebut mengakibatkan pasien harus menjalani
transfusi darah karena hB pasien sangat rendah, bahkan sampai ada yang masuk ICU.
Pada kasus lain, manual plasenta berhasil dilakukan pada pasien yang mengalami
ratensio plasenta. Akan tetapi, komplikasi yang sering dialami pasien adalah atonia uteri.
Uterus yang tidak dapat berkontraksi dengan baik atau kontraksinya lemah menyebabkan
perdarahan pervaginam. Faktor penyebab lainnya yaitu pasien mengalami anemia yang
tidak terpantau atau tidak sempat melakukan pengecekan kadar hemoglobin sebelum
melahirkan. Bidan yang mendapatkan kasus seperti ini harus dibekali keterampilan untuk
melakukan KBI dan KBE, serta penatalaksaan yang tepat dengan obat-obatan
uterutonika yang harus tersedia seperi ergometrin agar uterus berkontraksi dan
menghentikan perdarahan. Namun, pada kenyataannya beberapa bidan belum mampu
mengatasi atonia uteri dengan sigap. Penatalaksaan yang dilakukan belum tepat, seperti
hanya memasang infus namun tidak melakukan KBI/KBE. Penyebab kegagalan lainnya
yaitu tidak memberikan obat uterutonika, sehingga pasien banyak kehilangan darah yang
menyebabkan pasien menalami syok saat dilakukan rujukan, hingga tidak sadarkan diri.

Kesenjangan lain yang ditemukan adalah saat melakukan manual plasenta ada
beberapa bidan yang alat dan obatnya kurang lengkap dikarenakan jauhnya jarak dari
perkotaan dan stok yang terbatas, hal ini menyebabkan kualitas dari pelayanan menjadi
berkurang. Pada teorinya ada beberapa alat yang seharusnya dipersiapkan, tetapi saat di
lahan praktik sangat jarang digunakan, misalnya saja sepatu untuk alat perlindungan diri
(APD), sarung tangan panjang (untuk manual plasenta), dan obat-obatan yang tidak
tersedia di kabupaten. Bidan di wilayah tempat anggota kelompok 4 berada hampir
semua menolong persalinan dengan APD terbatas, hal ini juga dikarenakan pada
kabupaten tertentu pertolongan masih dilakukan di rumah klien. Oleh sebab itu saat ada
kasus kedaruratan di kala III seperti retensio plasenta, APD dan obat-obatan yang
digunakan bidan tidak mendukung.

Selain beberapa kesejangan yang telah dijelaskan, kelompok juga menemukan


kesenjangan antara teori dan praktik. Apabila pada teori manual plasenta harus
memasang kateter (buku acuan maternal dan neonatal), beberapa bidan di tempat anggota
kelompok 4 berada ada yang tidak memasang kateter.

14
Berdasarkan pengalaman dari anggota kelompok yang bekerja di suatu wilayah ada
kepercayaan masyarakat mengenai retensio plasenta yang dapat ditangani dengan ritual
tertentu sehingga bidan kesulitan saat melakukan rujukan. Hal ini tentu saja sangat
bertentangan dengan teori yang mengharuskan histerektomi untuk kasus plasenta
perkreta.

3.3. PENYELESAIAN
1) Meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan ditingkat dasar melalui berbagai
pendekatan, antara lain pelatihan, magang, agar kompeten dalam memberikan
pertolongan retensio plasenta.
2) Melakukan kolaborasi dengan bidan lain saat menolong persalinan.
3) Meningkatkan keterampilan bidan dengan melakukan skrining secara menyeluruh dan
pemeriksaan pendukung pada pasien trimester III akhir atau pasien yang akan
melahirkan.
4) Meningkatkan pengetahuan tenaga kesehatan agar dapat melakukan identifikasi dini
komplikasi dan melakukan rujukan kasus- kasus seperti retensio plasenta yang
memerlukan rujukan sehingga sampai di RS dalam waktu yang cepat dan tepat.
5) Terjaminnya sistem rujukan yang mantap dengan BAKSOKUDA, hal ini dapat di
lakukan dengan bekerja sama antara unit- unit terkait.
6) Bekerja sama dengan tokoh agama, tokoh masyarakat setempat untuk memberikan
informasi mengenai tanda- tanda bahaya saat persalinan.
7) Mengoptimalkan kelas ibu hamil agar ibu hamil mengetahui kasus-kasus yang
memerlukan rujukan

15
BAB IV KESIMPULAN

Berdasarkan hasil diskusi kelompok 4, kesenjangan teori dan praktik pada kasus
Ratensio Plasenta yang terjadi di wilayah kerja terjadi karena berbagai macam faktor. Salah
satunya berdasar tempat perlekatan plasenta yang menyebabkan ratensio plasenta, hal
tersebut berpengaruh pada keberhasilan bidan saat melakukan manual plasenta. Kesenjangan
di lahan, bidan belum bisa membedakan jenis perlekatan, sehingga pada kasus plasenta
perkreta masih dipaksakan untuk melakukan manual plasenta. Identifikasi pasien sebelum
melakukan pertolongan persalinan juga berpengaruh saat proses persalinan dari kala I sampai
kala IV. Hal tersebut membantu bidan untuk pengambilan keputusan dalam melakukan
tindakan. Ketersediaan APD dan obat-obatan sangat penting dimiliki bidan, walaupun di
wilayah tertentu yang jauh dari kota belum dapat terpenuhi secara maksimal dan sesuai teori.
Terlebih, adat yang ada di masyarakat tertentu yang memiliki ritual khusus dalam penangan
ratensio plasenta menjadi tantangan bagi bidan setempat untuk memberikan pengetahuan dan
dampak terburuk bagi pasien kepada keluarga. Pengetahuan dan keterampilan bidan sangat
diperlukan demi keselamatan pasien, ketidaktepatan bidan dalam memberikan pertolongan
dengan ratensio plasenta atau kondisi lebih parah seperti atonia uteri dapat membahayakan
nyawa pasien. Sebagai bidan perlu kita sikapi dengan serius terkait banyaknya kasus
kegagalan pada pasien dengan ratensio plasenta dengan meningkatkan kualitas diri dan
mengambil tindakan secara cepat dan tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Modul Pelatihan JABATAN FUNGSIONAL BIDAN JENJANG TERAMPIL . (2011). Jakarta:


BALAI PELATIHAN KESEHATAN.
Rochjati, P., 2011. Skrining Antenatal Pada Ibu Hamil. Surabaya : Pusat Penerbit dan
Percetakan UNAIR.
Saifudin, A. (2001). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: JNPKKR - POGI.
Saifuddin, AB., 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Prawirohardjo, S. (2009). ILMU KEBIDANAN. Jakarta: PT. BINA PUSTAKA SARWONO
PRAWIROHARDJO.

17

Anda mungkin juga menyukai