Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH

ASUHAN KEBIDANAN KASUS KOMPLEKS


DENGAN “RETENSIO PLASENTA”

SURYA USMAN
B.22.06.455

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS MEGA BUANA PALOPO
T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatnya sehingga makalah

ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan

terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan

memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah

pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh

lagi agar makalah ini bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak yang kurang

dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman

kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun

dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Palopo, 15 Mei 2023

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................... ii
BAB I  PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 1
C. Tujuan.......................................................................................... 2   
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Defenisi......................................................................................
B. Angka Kejadian Kasus..............................................................
C. Angka Kematian dan Kesakitan Kasus.....................................
D. Plasentasi...................................................................................
E. Mekanisme Kala III...................................................................
F. Jenis Retensio Plasenta ..........................................................
G. Etiologi......................................................................................
H. Faktor predisposisi....................................................................
I. Patogenesis................................................................................
J. Diagnosis...................................................................................
K. Penanganan...............................................................................
L. Komplikasi................................................................................
M. Pencegahan................................................................................
N. Prognosis ..................................................................................
BAB III SOAP ASKEB .........................................................................
BAB IV  PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................
B. Saran ...........................................................................................     
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Retensio plasenta merupakan salah satu penyebab resiko perdarahan yang

terjadi segera setelah persalinan dan menjadi faktor penyumbang kematian ibu di

indonesia. Apabila retensio plasenta ini tidak ditangani dengan cepat dan tidak

mendapatkan perawatan medis yang tepat, Maka akan sangat berbahaya bagi

kondisi ibu, Bahkan dapat mengancam jiwa ibu bersalin. Retensio plasenta akan

semakin beresiko apabila terjadi pada multipara, grandemultiparitas dan usia ibu

yang lebih dari 35 tahun, Hal ini berhubungan dengan menurunnya kualitas dari

tempat implantasi, Selain pada usia dan paritas, Retensio plasenta juga semakin

beresiko pada persalinan dengan riwayat sesarea pada persalinan sebelumnya.

Retensio plasenta disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya yaitu faktor

maternal, faktor uterus dan faktor plasenta. Faktor maternal terdiri dari gravida tua

dan multiparitas, faktor uterus terdiri dari bekas section caesarea, bekas

pembedahan uterus, tidak efektifnya kontraksi uterus, bekas kuretase uterus, dan

bekas pengeluaran manual plasenta, sedangkan untuk yang faktor plasenta terdiri

dari plasenta previa, implantasi corneal, plasenta akreta dan kelainan bentuk

plasenta.

Retensio plasenta dapat mengakibatkan perdarahan berlebih pada ibu

bersalin dan sangat beresiko bagi kondisi ibu yang mengalaminya. Apabila

plasenta yang tertahan didalam rahim tidak juga dikeluarkan, Maka pembuluh

1
darah tempat melekatnya organ tersebut akan terus mengalami perdarahan. Rahim

juga tidak dapat menutup dengan sempurna, Sehingga sulit untuk menghentikan

perdarahan yang sedang berlangsung akibatnya akan menimbulkan resiko

kehilangan banyak darah, bahkan mungkin disertai dengan infeksi. Saat ini belum

ada tindakan yang benarbenar bisa dilakukan untuk mencegah plasenta yang

tertinggal didalam rahim. Apalagi jika ibu pernah mengalami hal sebelumnya,

maka akan beresiko tinggi untuk mengalaminya kembali.

Upaya bidan dalam mencegah terjadinya retensio plasenta pada ibu

bersalin, yaitu melalui pendidikan kesehatan, asuhan yang diberikan, dan deteksi

secara dini. dan memberikan pelayanan secara berkualitas, Pemberian asuhan

yang dapat bidan terapkan yaitu dengan menerapkan model asuhan kebidanan

yang komprehensif/berkelanjutan (COC). Continuity of Care adalah pelayanan

yang dicapai ketika terjalin hubungan yang terus menerus antara seorang wanita

dan bidan, Tujuan COC yaitu untuk membantu upaya percepatan penurunan AKI.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada kasus kompleks retensio plasenta yaitu bagaimana

cara Bidan memberikan asuhan kebidanan untuk menangani dan mencegah

terjadinya retensio plasenta pada ibu bersalin.

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui defenisi retensio plasenta

2. Untuk mengetahui angka kejadian kasus retensio plasenta

3. Untuk mengetahui angka kematian dan kesakitan kasus retensio plasenta

4. Untuk mengetahui plasentasi retensio plasenta

2
5. Untuk mengetahui mekanisme kala III retensio plasenta

6. Untuk mengetahui jenis retensio plasenta retensio plasenta

7. Untuk mengetahui etiologi retensio plasenta

8. Untuk mengetahui faktor predisposisi retensio plasenta

9. Untuk mengetahui pathogenesis retensio plasenta

10. Untuk mengetahui diagnosis retensio plasenta

11. Untuk mengetahui penanganan retensio plasenta

12. Untuk mengetahui komplikasi retensio plasenta

13. Untuk mengetahui pencegahan retensio plasenta

14. Untuk mengetahui prognosis retensio plasenta

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi

Biasanya setelah janin lahir, beberapa menit kemudian mulailah proses

pelepasan plasenta disertai sedikit perdarahan (kira-kira 100 – 200 cc). Bila

plasenta sudah lepas dan turun ke bagian bawah rahim, maka uterus akan

berkontraksi (his pengeluaran plasenta) untuk mengeluarkan plasenta.

Kadang-kadang, plasenta tidak segera terlepas. Suatu pertanyaan yang

belum mendapat jawaban yang pasti adalah berapa lama waktu berlalu pada

keadaan tanpa perdarahan sebelum plasenta harus dikeluarkan secara manual.

Bidang obstetri secara tradisional membuat batas-batas durasi kala tiga secara

agak ketat sebagai upaya untuk mendefinisikan retensio plasenta (abnormally

retained placenta) sehingga perdarahan akibat terlalu lambatnya pemisahan

plasenta dapat dikurangi. Combs dan Laros (1991) meneliti 12.275 persalinan

pervaginam tunggal dan melaporkan median durasi kala tiga adalah 6 menit, dan

3,3 persen berlangsung lebih dari 30 menit. Jadi istilah retensio plasenta

dipergunakan jika plasenta belum lahir ½ jam sesudah anak lahir.

B. Angka Kejadian Kasus

Menurut laporan Dinas Kesehatan Jawa AKI di Jawa Barat tahun 2018

yaitu 700 kasus. Penyebab terbanyak kematian ibu di Jawa barat adalah Hipertensi

Dalam Kehamilan (HDK) sebanyak 29 %, perdarahan yang diakibat oleh atonia

uteri, retensio plasenta, sisa plasenta dan laserasi jalan lahir 26 % kasus dan

4
infeksi 5 % kasus, gangguan darah 17 % kasus, gangguan metabolik 1 % kasus

dan lain-lain 20 % kasus. Menurut laporan Dinas Kesehatan Kabupaten

Tasikmalaya, Angka Kematian Ibu (AKI) tahun 2019 yaitu 45 kasus. Penyebab

kematian ibu paling banyak karena perdarahan ada 15 kasus (33,3%),

HDK/PEB/Eklampsia ada 14 kasus (31,1%), infeksi (Sepsis maternal) ada 2 kasus

(4,4%) dan gangguan sistem peredaran darah 8 kasus (17,7%) dan lain-lain ada 6

kasus (13,3%).

C. Angka Kematian dan Kesakitan Kasus

World Health Organization (WHO) tahun 2017, terdapat 810 wanita

meninggal/hari karena penyebab yang dapat dicegah terkait kehamilan dan

persalinan. 295.000 wanita meninggal selama dan setelah kehamilan dan

persalinan pada tahun 2017. AKI di negara berpenghasilan rendah pada tahun

2017 adalah 462 per 100.000 kelahiran hidup dibandingkan 11 per 100.000

kelahiran hidup di negara berpenghasilan tinggi. Sustainable Development Goals

(SDG) memiliki target baru untuk mempercepat penurunan kematian ibu pada

tahun 2030 yaitu mengurangi AKI global menjadi kurang dari 70 per 100.000

kelahiran, bahwa 15-20% kematian ibu karena retensio plasenta dan insidennya

adalah 0,8-1,2% untuk setiap kelahiran. Data The ASEAN Secretariat di beberapa

negara ASEAN tahun 2015 menunjukkan bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) di

Indonesia menduduki angka tertinggi nomor dua setelah Laos. AKI di Indonesia

tahun 2015 yaitu 305/100.000 kelahiran hidup, Laos 357/100.000 kelahiran hidup,

Filipina 221/100.000 kelahiran hidup, Myanmar 180/100.000 kelahiran hidup,

Kamboja 170/100.000 kelahiran hidup, Vietnam 69/100.000 kelahiran hidup,

5
Brunei Darussalam 60/100.000 kelahiran hidup, Thailand 25/100.000 kelahiran

hidup, Malaysia 24/100.000 kelahiran hidup dan Singapura 7/100.000 kelahiran

hidup.

Profil Kesehatan Indonesia 2018, Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan

salah satu indikator untuk melihat keberhasilan upaya kesehatan ibu. Angka

Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk menilai derajat

kesehatan masyarakat dan juga termasuk dalam target pencapaian Sustainable

Development Goals (SDGs). Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) pada

tahun 2015 sampai dengan tahun 2019 menunjukkan AKI di Indonesia sebesar

305 per 100.000 kelahiran hidup. Perdarahan yang disebabkan oleh rentensio

plasenta merupakan penyebab kematian nomor satu (40% - 60%) kematian ibu

melahirkan di Indonesia.

Perdarahan postpartum merupakan penyebab pertama kematian ibu di

negara berkembang sebesar 25% dari seluruh kematian ibu. Perdarahan

postpartum adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam setelah persalinan

berlangsung, perdarahan yang keluar melebihi 500cc. Perdarahan postpartum

dibagi menjadi dua, yaitu perdarahan primer dan sekunder. Perdarahan

postpartum primer yaitu perdarahan yang terjadi 24 jam pertama salah satu

penyebabnya yaitu retensio plasenta.

Retensio plasenta adalah penyebab signifikan dari kematian maternal dan

angka kesakitan di seluruh negara berkembang. Kasus ini merupakan penyulit

pada 2% dari semua kelahiran hidup dengan angka kematian hampir mencapai

10% di daerah pedesaan. Menurut studi lain, insidensi dari retensio plasenta

6
berkisar antara 1-2 % dari kelahiran hidup. Pada studi tersebut retensio plasenta

lebih sering muncul pada pasien yang lebih muda dengan multiparitas.

Diperkirakan insidensi dari perlengketan abnormalitas sekitar 1 dari 2000

hingga 1 dari 7000 persalinan. Plasenta akreta meliputi 80% dari keseluruhan

perlengketan abnormal, plasenta inkreta 15 %, dan plasenta perkreta 5 %. Angka

ini meningkat tajam dalam dua dekade terakhir, sejalan dengan angka seksio

cesarean.

D. Plasentasi

Pada hari keempat setelah fertilisasi hasil konsepsi mencapai stadium

blastula disebut blastokista (blastocyst), suatu bentuk yang dibagian luarnya

adalah trofoblas dan di bagian dalamnya disebut massa inner cell. Massa inner cell

ini berkembang menjadi janin dan trofoblas akan berkembang menjadi plasenta.

Nidasi (implantasi) diatur oleh suatu proses yang kompleks antara trofoblas dan

endometrium. Di satu sisi trofoblas mempunyai kemampuan invasif yang kuat,

disisi lain endometrium mengontrol invasi trofoblas dengan menyekresikan faktor

aktif lokal yaitu cytokines dan protease.

Setelah implantasi, sel-sel trofoblas dapat berdiferensiasi menjadi 2 jenis

yakni:

1. Ekstravili – sel sitotrofoblas berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel

invasif yang menginvasi (trofoblas interstitial) desidua maternal dan arteri

spiralis (trofoblas endovaskuler) miometrium.

7
2. Vili – sel sitotrofoblas berproliferasi dan bergabung membentuk sel

sinsisiotrofoblas multinukleus yang membentuk permukaan luar vili plasenta

janin.

Invasi trofoblas diatur oleh pengaturan kadar hCG. Sinsisiotrofoblas

menghasilkan hCG yang akan mengubah sitotrofoblas menyekresikan hormon

yang noninvasif. Trofoblas yang semakin dekat dengan endometrium

menghasilkan kadar hCG yang semakin rendah, dan membuat trofoblas

berdiferensiasi dalam sel jangkar yang menghasilkan protein perekat plasenta

yaitu trophouteronectin.

Endometrium atau sel desidua dimana terjadi nidasi menjadi pucat dan

besar disebut reaksi desidua. Sebagian lapisan desidua mengalami fagositosis

oleh sel trofoblas. Reaksi desidua ini agaknya merupakan proses untuk

menghambat invasi, tetapi berfungsi sebagai pasokan makanan. Namun, ada

juga sel-sel desidua yang tidak dapat dihancurkan oleh trofoblas dan sel ini

akhirnya membentuk lapisan fibrinoid yang disebut lapisan Nitabuch. Ketika

proses melahirkan, plasenta terlepas dari endometrium pada lapisan Nitabuch

ini.

Gambar 2.1 Anatomi uterus dan plasentasi

8
Setelah nidasi embrio ke dalam endometrium, plasentasi dimulai dan

berlangsung sampai 12-18 minggu setelah fertilisasi. Plasentasi adalah proses

pembentukan struktur dan jenis plasenta. Dalam 2 minggu pertama perkembangan

hasil konsepsi, trofoblas invasif telah melakukan penetrasi ke arteri spiralis pada

lapisan basal endometrium. Pada usia kehamilan 8 minggu (6 minggu setelah

nidasi) telah terjadi invasi terhadap 40-60 arteri spiralis di daerah desidua basalis

yang menjadi tempat implantasi plasenta. Lalu terbentuklah sinus intertrofoblastik

yaitu ruangan yang berisi darah maternal dari pembuluh darah yang dihancurkan.

Pertumbuhan ini berjalan terus, sehingga timbul ruangan-ruangan interviler di

mana vili korialis seolah-olah terapung-apung di antara ruangan tersebut. Vili

korialis ini akan bertumbuh menjadi suatu massa jaringan yaitu plasenta.

Plasenta berbentuk bundar atau oval; ukuran diameter 15-20 cm, tebal 2-3

cm, berat 500-600 gram. Biasanya plasenta atau uri akan berbentuk lengkap pada

kehamilan kira-kira 16 minggu; dimana ruang amnion telah mengisi seluruh

rongga rahim. Letak plasenta yang normal umumnya pada corpus uteri bagian

depan atau belakang agak kearah fundus uteri. Plasenta normal menanamkan diri

sampai ke batas atas lapisan otot rahim.

Plasenta terdiri atas tiga bagian yaitu :

1) Bagian janin (fetal portion). Bagian janin terdiri dari korion frondosum dan

vili. Vili dari uri yang matang terdiri atas :

- Vili korialis

- Ruang-ruang interviler. Darah ibu yang berada dalam ruang interviler

berasal dari arteri spiralis yang berada di desidua basalis. Pada sistole, darah

9
dipompa dengan tekanan 70-80 mmHg kedalam ruang interviler sampai

lempeng korionik (chorionic plate) pangkal dari kotiledon-kotiledon. Darah

tersebut membanjiri vili korialis dan kembali perlahan ke vena di desidua

dengan tekanan 8 mmHg.

- Pada bagian permukaan janin uri diliputi oleh amnion yang licin, dibawah

lapisan amnion ini berjalan cabang-cabang pembuluh darah tali pusat. Tali

pusat akan berinsersi pada uri bagian permukaan janin.

2) Bagian maternal (maternal portion). Terdiri atas desidua kompakta yang

terbentuk dari beberapa lobus dan kotiledon (15-20 buah). Desidua basalis

pada uri yang matang disebut lempeng korionik (basal) dimana sirkulasi utero-

plasental berjalan keruang-ruang intervili melalui tali pusat.

3) Tali pusat merentang dari pusat janin ke uri bagian permukaan janin.

Panjangnya rata-rata 50-55 cm, sebesar jari (diameter 1- 2.5 cm), strukturnya

terdiri atas 2 arteri umbilikalis dan 1 vena umbilikalis serta jelly wharton.

10
Gambar 2.2 Struktur plasenta

Supaya janin dapat tumbuh dengan sempurna, dibutuhkan penyaluran

darah dari ibu ke janin dan pembuangan limbah metabolisme ke sirkulasi ibu.

Berikut merupakan fungsi plasenta, yaitu :

a. Nutrisasi, yakni alat pemberi makanan pada janin yang berasal dari sekitar

100-150 arteri spiralis maternal yang berlokasi pada lempeng basal.

b. Respirasi, yakni alat penyalur zat asam dan pembuangan CO2

c. Ekskresi, yakni alat pengeluaran sampah metabolisme

d. Produksi, yakni alat yang menghasilkan hormon

e. Imunisasi, yakni alat penyalur antibodi ke janin

f. Pertahanan (sawar), penyaring obat dan kuman yang bisa melewati

plasenta

E. Mekanisme Kala III

Kala III persalinan dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan

lahirnya plasenta dan selaput ketuban. Lama kala tiga pada persalinan normal

ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Segera setelah bayi lahir, tinggi fundus

uteri dan konsistensinya hendaknya dipastikan. Selama uterus tetap kencang dan

tidak ada perdarahan yang luar biasa, menunggu dengan waspada sampai plasenta

11
terlepas biasa dilakukan. Jangan lakukan masase; tangan hanya diletakkan di atas

fundus untuk memastikan bahwa organ tersebut tidak menjadi atonik dan terisi

darah dan menggelembung di belakang plasenta yang sudah terlepas.

Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu :

1. Fase laten, ditandai oleh menebalnya dinding uterus yang bebas dari plasenta,

namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.

2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta

melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).

3. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya

dari dinding uterus dan lepas.

4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur ke arah vagina.

Normalnya, pada saat bayi selesai dilahirkan, rongga uterus berupa suatu

massa otot yang hampir padat, dengan tebal beberapa sentimeter di atas segmen

bawah yang lebih tipis. Fundus uteri sekarang terletak di bawah batas ketinggian

umbilikus. Penyusutan ukuran uterus yang mendadak ini selalu disertai dengan

pengurangan bidang tempat implantasi plasenta. Agar plasenta dapat

mengakomodasikan diri terhadap permukaan yang mengecil ini, organ ini

memperbesar ketebalannya, tetapi karena elastisitas plasenta terbatas, plasenta

terpaksa menekuk. Tegangan yang dihasilkannya menyebabkan lapisan desidua

yang paling lemah- lapisan spongiosa, atau desidua spongiosa- mengalah, dan

pemisahan terjadi di tempat ini.

12
Pemisahan plasenta amat dipermudah oleh sifat struktur desidua spongiosa

yang longgar. Ketika pemisahan berlangsung, terbentuk hematoma di antara

plasenta yang sedang terpisah dan desidua yang tersisa (hematoma retroplasenta).

Jika plasenta tidak lahir spontan, maka teknik Brandt-Andrews dilakukan.

- Setelah bayi lahir, klem tali pusat mendekati vulva. Palpasi uterus

dengan hati-hati tanpa di masase untuk menilai kontraksi uterus.

- Setelah muncul tanda pelepasan plasenta, pegang klem dekat vulva

dengan satu tangan, dan jari tangan lainnya pada abdomen, dan tekan

antara fundus dan simfisis untuk mengangkat uterus. Jika plasenta

telah terlepas, tali pusat akan meluncur ke arah vagina.

Berikut adalah tanda-tanda pelepasan dari plasenta :

1. Uterus menjadi globular, dan biasanya lebih kencang. Tanda ini

terlihat paling awal.

2. Sering ada pancaran darah mendadak.

3. Tali pusat keluar lebih panjang dari vagina ± 3 cm, yang

menunjukkan bahwa plasenta telah turun.

Tanda-tanda ini kadang-kadang terlihat dalam waktu satu

menit setelah bayi lahir dan biasanya dalam 5 menit.

- Setelah fundus terangkat, lakukan traksi lembut pada tali pusat, dan

lahirkan plasenta dari vagina.

13
Gambar 2.3 Teknik Brandt-Andrews

Manuver ini diulangi beberapa kali sampai plasenta mencapai introitus.

Saat plasenta melewati introitus, penekanan pada uterus dihentikan. Plasenta

kemudian secara perlahan dikeluarkan dari introitus. Tindakan hati-hati

diperlukan untuk mencegah membran supaya tidak terputus dan tertinggal. Jika

membran mulai robek, pegang robekan dengan klem dan tarik perlahan.

Permukaan maternal plasenta harus diperiksa secara hati-hati untuk memastikan

bahwa tidak ada fragmen plasenta tertinggal di uterus.

Setelah lahirnya plasenta, hal ini umum dilakukan (walaupun tidak

diaplikasikan pada seluruh kasus) untuk memberikan oksitosin. Sebelumnya,

diberikan 5-10 IU IV setelah 5 menit untuk mengurangi perdarahan. Kini, lebih

sering diberikan 20 IU oksitosin dalam 1000 cc larutan IV 125-250 cc perjam.

F. Jenis Retensio Plasenta

1) Plasenta adhesive adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta

sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.

2) Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki

sebagian lapisan miometrium.

14
3) Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga

mencapai/memasuki miometrium.

4) Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus

lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.

5) Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri,

disebabkan oleh konstriksi ostium uteri. Plasenta sudah lepas tetapi belum

keluar karena atonia uteri dan akan menyebabkan perdarahan yang

banyak. Atau karena adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah

rahim akibat kesalahan penanganan kala III yang akan menghalangi

plasenta keluar.

Bila plasenta belum lepas sama sekali maka tidak akan terjadi perdarahan,

tapi bila sebagian plasenta sudah lepas maka akan terjadi perdarahan dan ini

merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya. Plasenta mungkin juga

tidak keluar karena kandung kemih atau rektum penuh karena itu keduanya

harus dikosongkan.

G. Etiologi

Etiologi retensio plasenta tidak diketahui dengan pasti sebelum tindakan.5

Beberapa penyebab retensio plasenta adalah :

1. Fungsional

a. His kurang kuat (penyebab terpenting). Plasenta sudah lepas tetapi

belum keluar karena atonia uteri dan akan menyebabkan perdarahan

yang banyak. Atau karena adanya lingkaran konstriksi pada bagian

15
bawah rahim (ostium uteri) akibat kesalahan penanganan kala III, yang

akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata).

b. Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba),

bentuknya (plasenta membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya

(plasenta yang sangat kecil). Plasenta yang sukar lepas karena

penyebab ini disebut plasenta adhesiva. Plasenta adhesiva ialah jika

terjadi implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga

menyebabkan kegagalan mekanisme perpisahan fisiologis.

2. Patologi-anatomi

Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh

lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya dibagi menjadi:

a. Plasenta akreta: vili korialis berimplantasi menembus desidua basalis

dan Nitabuch layer. Pada jenis ini plasenta melekat langsung pada

miometrium.

b. Plasenta inkreta: vili korialis sampai menembus miometrium, tapi

tidak menembus serosa uterus.

c. Plasenta perkreta: vili korialis sampai menembus serosa atau

perimetrium.

Plasenta akreta ada yang kompleta, yaitu jika seluruh permukaannya

melekat dengan erat pada dinding rahim. Plasenta akreta yang parsialis, yaitu jika

hanya beberapa bagian dari permukaannya lebih erat berhubungan dengan dinding

rahim. Plasenta akreta yang kompleta, inkreta, dan perkreta jarang terjadi.

16
Gambar 2.4 Jenis-jenis perlengketan plasenta

H. Faktor predisposisi

Perlengketan plasenta yang abnormal terjadi apabila pembentukan desidua

terganggu. Keadaan-keadaan tersebut mencakup implantasi di segmen bawah

rahim (plasenta previa), di atas jaringan parut SC atau insisi uterus lainnya;

atau setelah kuretase uterus dan multiparitas, kelahiran preterm, serta induksi

persalinan. Dalam ulasannya terhadap 622 kasus yang dikumpulkan antara

tahun 1945 dan 1969, Fox (1972) mencatat karakteristik berikut :

1. Plasenta previa diidentifikasi pada sepertiga kehamilan yang terkena

2. Seperempat pasien pernah menjalani seksio sesarea

3. Hampir seperempat pernah menjalani kuretase

4. Seperempatnya adalah gravida 6 atau lebih

I. Patogenesis

Penyebab pasti tertundanya pelepasan setelah waktu 30 menit tidak selalu

jelas, tetapi tampaknya cukup sering disebabkan oleh kontraksi uterus yang

17
tidak adekuat. Penyebab dari disfungsi kontraksi ini belum diketahui pasti.

Kecuali pada fibroid uterus, dimana sumber distensi uterus tidak dapat

dihilangkan dengan kontraksi uterus, maka kontraksi uterus yang tidak

adekuat muncul. Namun, uterus tidak harus mengalami distensi selama kala

III hingga menyebabkan kontraksi yang tidak adekuat. Distensi sebelum

kelahiran bayi, seperti pada kehamilan ganda dan polihidramnion, juga

mempengaruhi kemampuan rahim untuk berkontraksi secara efisien setelah

kelahiran bayi, dan dengan demikian keduanya menjadi faktor risiko lain

untuk perdarahan postpartum karena atonia.

Walaupun sangat jarang, plasenta dapat melekat erat ke tempat implantasi,

baik karena penetrasi berlebihan dari trofoblas maupun desidua basalis yang

sedikit (tipis) atau tidak ada sama sekali dan kelainan perkembangan lapisan

fibrinoid (lapisan Nitabuch) secara parsial atau total, sehingga tidak terdapat

garis pemisah fisiologis melalui lapisan spongiosa desidua. Akibatnya, satu

atau lebih kotiledon melekat erat ke desidua basalis yang cacat atau bahkan

ke miometrium. Kasus perlengketan plasenta ini dapat dilihat pada trimester

pertama, yang mengindikasikan bahwa proses patologinya mungkin muncul

pada saat implantasi dan bukan setelah masa gestasional.

Pengalaman klinis juga menunjukkan bahwa kita tidak dapat

mengasumsikan bahwa perdarahan postpartum lebih umum terjadi pada

implantasi segmen bawah rahim, murni terjadi karena otot segmen bawah

rahim tidak memadai untuk berkontraksi. Dalam kasus plasenta previa dan

plasenta akreta, segmen bawah rahim terlihat lebih tipis dari lapisan normal.

18
Peneliti berhipotesis bahwa sifat kontraktil otot segmen bawah rahim, yang

sudah lebih kecil dari segmen atas, selanjutnya diturunkan oleh kehadiran

plasenta. Ini berarti bahwa implantasi sendiri memiliki efek buruk pada

miometrium segmen bawah. Selain itu, ada bukti yang bersifat anekdot yang

menunjukkan bahwa invasi trofoblas lebih cenderung pada daerah jaringan

desidua yang sedikit (tipis), termasuk implantasi pada bekas luka dan

kehamilan ektopik. Peneliti berhipotesis bahwa trofoblas akan lebih mudah

menginvasi ke segmen bawah rahim dengan lapisan desidua yang abnormal,

dan meningkatkan kemungkinan plasenta akreta untuk berkembang.

Patofisiologi retensio plasenta ini juga bisa berarti plasenta telah terpisah

akan tetapi masih tertinggal akibat ketegangan tali plasenta atau leher rahim

yang tertutup. Faktor ini dapat muncul akibat kesalahan penanganan kala III

persalinan dan manipulasi yang berlebihan. Pemijatan dan penekanan secara

terus-menerus terhadap uterus yang sudah berkontraksi dapat mengganggu

mekanisme fisiologis pelepasan plasenta sehingga pemisahan plasenta tidak

sempurna dan pengeluaran darah meningkat.

J. Diagnosis

1. Gejala Klinis

Dari anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal,

meminta informasi mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya,

paritas, serta riwayat multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat

pospartum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau

timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.

19
Gejala dan Tanda Gejala dan Tanda Lain Diagnosa Kerja

 Uterus tidak  Syok Atonia uteri

berkontraksi dan  Bekuan darah

lembek pada serviks atau

 Perdarahan segera posisi telentang

setelah anak lahir akan menghambat

aliran darah keluar

 Darah segar mengalir  Pucat Robekan jalan lahir

segera setelah bayi  Lemah

lahir  Menggigil

 Uterus berkontraksi

dan keras

 Plasenta lengkap

 Plasenta belum lahir  Tali pusat putus akibat Retensio plasenta

setelah 30 menit traksi berlebihan

 Perdarahan segera  Inversio uteri akibat

 Uterus berkontraksi tarikan

dan keras  Perdarahan lanjutan

 Plasenta atau  Uterus berkontraksi Tertinggalnya sebagian

sebagian selaput tidak tetapi tinggi fundus plasenta atau ketuban

lengkap tidak berkurang

20
 Perdarahan segera

 Uterus tidak teraba  Neurogenik syok Inversio uteri

 Lumen vagina terisi  Pucat dan limbung

massa

 Tampak tali pusat

(bila plasenta belum

lahir)

 Sub-involusi uterus  Anemia Endometritis atau sisa

 Nyeri tekan perut  Demam fragmen plasenta

bawah dan pada (terinfeksi atau tidak)

uterus Perdarahan postpartum

 Perdarahan sekunder

 Lokhia mukopurulen

dan berbau

Tabel 2.1Diagnosis retensio plasenta

Gejala Akreta parsial Inkarserata Akreta

Konsistensi uterus Kenyal Keras Cukup

Tinggi fundus Sepusat 2 jari bawah pusat Sepusat

Bentuk uterus Diskoid Agak globuler Diskoid

21
Perdarahan Sedang- banyak Sedang Sedikit/ tidak ada

Tali pusat Terjulur sebagian Terjulur Tidak terjulur

Ostium uteri Terbuka Konstriksi Terbuka

Pelepasan Lepas sebagian Sudah lepas Melekat seluruhnya

plasenta

Syok Sering Jarang Jarang sekali, kecuali

akibat inversio oleh

tarikan kuat pada tali

pusat

Tabel 2.2 Identifikasi jenis retensio plasenta dan gambaran klinisnya

2. Pemeriksaan pervaginam

Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis

servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus. Pada

pemeriksaan plasenta yang lahir menunjukkan bahwa ada bagian tidak ada atau

tertinggal, dan pada eksplorasi secara manual terdapat kesulitan dalam

pelepasan plasenta atau ditemukan sisa plasenta.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan darah untuk menilai peningkatan alfa fetoprotein. Peningkatan

alfa fetoprotein berhubungan dengan plasenta akreta.

b. USG

Diagnosis plasenta akreta melalui pemeriksaan USG menjadi lebih mudah

bila implantasi plasenta berada di SBU bagian depan. Lapisan miometrium

dibagian basal plasenta terlihat menipis atau menghilang. Pada plasenta

22
perkreta vena-vena subplasenta terlihat berada di bagian dinding kandung

kemih.

Cox dkk. (1988) melaporkan satu kasus plasenta previa dengan plasenta

inkreta yang diidentifikasi secara USG berdasarkan tidak adanya ruang

sonolusen di subplasenta. Mereka berhipotesis bahwa daerah sonolusen

subplasenta yang normalnya ada ini menggambarkan desidua basalis dan

jaringan miometrium di bawahnya. Diagnosis berdasarkan sonografi

antenatal pada plasenta akreta juga telah dilaporkan. Berdasarkan pada

munculnya gambaran Color Doppler.

c. MRI

Yang lebih baru adalah pemakaian magnetic resonance imaging (MRI)

untuk mendiagnosis plasenta akreta (Maldjian dkk., 1990). Diagnosis lebih

mudah ditegakkan jika tidak ada pendataran antara plasenta atau bagian

sisa plasenta dengan miometrium pada perdarahan postpartum.

d. Histologi

Menurut Bernischke dan Kaufmann (2000), diagnosis histologis

plasenta akreta tidak dapat ditegakkan hanya dari plasenta saja melainkan

dibutuhkan keseluruhan uterus atau kuretase miometrium. Pada

pemeriksaan histologi ini tempat implantasi plasenta selalu menunjukkan

desidua dan lapisan Nitabuch yang menghilang.

K. Penanganan

23
Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan

menimbulkan perdarahan. Bila terjadi banyak perdarahan atau bila pada

persalinan-persalinan yang lalu ada riwayat perdarahan postpartum, maka tak

boleh menunggu, sebaiknya plasenta langsung dikeluarkan dengan tangan.

Juga kalau perdarahan sudah lebih dari 500 cc atau satu nierbekken, sebaiknya

plasenta langsung dikeluarkan secara manual dan diberikan uterus tonika,

meskipun kala III belum lewat setengah jam. Plasenta mungkin pula tidak

keluar karena kandung kemih atau rektum penuh, karena itu keduanya harus

dikosongkan.

Tindakan yang dapat dikerjakan pada retensio plasenta adalah :

1. Coba 1 – 2 kali dengan perasat Crede’

Perasat Crede’ bermaksud melahirkan plasenta yang belum terlepas

dengan ekspresi. Syaratnya yaitu uterus berkontraksi baik dan vesika urinaria

kosong

Pelaksanaan :

24
Gambar 2.5 Perasat Crede

2. Fundus uterus dipegang oleh tangan kanan sedemikian rupa, sehingga ibu

jari terletak pada permukaan depan uterus sedangkan jari lainnya pada

fundus dan permukaan belakang. Bila ibu gemuk hal ini tidak dapat

dilaksanakan dan sebaiknya langsung dikeluarkan secara manual. Setelah

uterus dengan rangsangan tangan berkontraksi baik, maka uterus ditekan

ke arah jalan lahir. Gerakan jari-jari seperti memeras jeruk. Perasat Crede’

25
tidak boleh dilakukan pada uterus yang tidak dilakukan pada uterus yang

tidak berkontraksi karena dapat menimbulkan inversio uteri.

3. Perasat Crede’ dapat dicoba sebelum meningkat pada pelepasan plasenta

manual.

4. Keluarkan plasenta dengan tangan (manual plasenta)

Manual plasenta adalah tindakan invasif dan, kadang memerlukan

anestesia. Manula plasenta harus dilakukan sesuai indikasi dan oleh

operator berpengalaman. Indikasi manual plasenta meliputi: retensio

plasenta dan perdarahan banyak pada kala III yang tidak dapat dihentikan

dengan uterotonika dan masase, suspek ruptur uterus, dan retensi sisa

plasenta

Gambar 2.6 Manual plasenta

Pelaksanaan :

26
a. Sebaiknya pelepasan plasenta secara manual dilakukan dalam narkosis,

karena relaksasi otot memudahkan pelaksanaannya. Sebaiknya juga

dipasang infus garam fisiologik sebelum tindakan dilakukan. Setelah

memakai sarung tangan dan disinfeksi tangan dan vulva, termasuk daerah

sekitarnya, maka labia dibeberkan dengan tangan kiri sedangkan tangan

kanan dimasukkan secara obstetrik ke dalam vagina.

b. Tangan kiri sekarang menahan fundus untuk mencegah kolpaporeksis.

Tangan kanan dengan gerakan memutar-mutar menuju ostium uteri dan

terus ke lokasi plasenta; tangan dalam ini menyusuri tali pusat agar tidak

terjadi false route.

c. Supaya tali pusat mudah teraba, dapat diregangkan oleh asisten. Setelah

tangan dalam sampai ke plasenta maka tangan tersebut pergi ke pinggir

plasenta dan mencari bagian plasenta yang sudah lepas untuk menentukan

bidang pelepasan yang tepat. Kemudian dengan sisi tangan sebelah

kelingking plasenta dilepaskan pada bidang antara bagian plasenta yang

sudah terlepas dan dinding rahim dengan gerakan yang sejajar dengan

dinding rahim. Setelah seluruh plasenta terlepas, plasenta dipegang dan

dengan perlahan-lahan ditarik ke luar.

d. Periksa cavum uterus untuk memastikan bahwa seluruh plasenta telah

dikeluarkan.

e. Lakukan masase untuk memastikan kontraksi tonik uterus.

f. Setelah plasenta dilahirkan dan diperiksa bahwa plasenta lengkap,

sementara kontraksi uterus belum baik segera dilakukan kompresi

27
bimanual uterus dan disuntikkan ergometrin 0,2 mg IM atau IV sampai

kontraksi uterus baik. Pada retensio plasenta, risiko atonia uteri tinggi oleh

karena itu harus segera dilakukan tindakan pencegahan perdarahan

postpartum. Apabila kontraksi uterus tetap buruk setelah 15 detik,

dilanjutkan dengan tindakan sesuai prosedur tindakan pada atonia uteri.

g. Kesulitan yang mungkin dijumpai pada manual plasenta ialah adanya

lingkaran konstriksi, yang hanya dapat dilalui dengan dilatasi oleh tangan

dalam secara perlahan-lahan dan dalam narkosis yang dalam. Lokasi

plasenta pada dinding depan rahim juga sedikit lebih sukar dilepaskan

daripada lokasi pada dinding belakang.

5. Kuretase

Seringkali pelepasan sebagian plasenta dapat dilakukan dengan manual

plasenta dan kuretase digunakan untuk mengeluarkan sebanyak mungkin

jaringan yang tersisa. Kuretase mungkin diperlukan jika perdarahan berlanjut

atau pengeluaran manual tidak lengkap.

6. Tindakan bedah

Jika faktor risiko dan gambaran prenatal sangat mendukung diagnosis

perlengketan plasenta, Cesarean hysterectomy umumnya di rencanakan,

terutama pada pasien yang tidak berharap untuk mempertahankan kehamilan.

Jika plasenta akreta ditemukan setelah melahirkan bayi, plasenta sesegera

mungkin dikeluarkan untuk mengosongkan cavum uteri. Walaupun dalam

banyak kasus pengeluaran plasenta akan menimbulkan perdarahan massif

yang akan berakhir dengan histerktomi. Pada kasus plasenta akreta kompleta,

28
tindakan terbaik ialah histerektomi. Jika perlengketan tidak terdiagnosis

sebelum melahirkan dan perdarahan postpartum terjadi saat manual plasenta,

beberapa tindakan dapat menjadi pilihan, tergantung keinginan pasien dan

keadaan cerviks. Jika tidak ada kemungkinan untuk meneruskan persalinan

atau hemodinamik tidak stabil, histerektomi harus dilakukan. Disisi lain,

beberapa usaha dapat dilakukan untuk mempertahankan uterus dengan

tindakan bedah (ligasi arteri hipogastrika) atau secara radiologik (teknik

embolisasi dari arteri uterina). Kayem menjelaskan dalam sebuah kasus

terjadi resorpsi spontan dari plasenta setelah 6 bulan embolisasi arteri uterina.

Gambar 2.7 Ligasi arteri hipogastrika

Dalam kasus plasenta perkreta, darah akan terus mengalir melalui

daerah invasi ketika sebagian plasenta dilepaskan karena tidak adanya ligasi

fisiologis miometrium yang biasanya akan membendung aliran darah. Jika

kasus ini ditemukan saat operasi caesar maka hemostasis dapat dicapai

melalui jahitan pada miometrium, atau melalui ligasi arteri uterina maupun

arteri iliaka interna. Namun, histerektomi pun biasanya diperlukan.

29
7. Bila perdarahan banyak berikan transfusi darah

8. Terapi konservatif

Terapi konservatif diberikan tergantung pada penemuan plasenta

akreta, terdapat 2 tipe terapi konservatif :

a. Ketika terdiagnosis selama kala III persalinan, pengeluaran plasenta tidak

disarankan; terapi konservatif ialah dengan meninggalkan plasenta,

sebagian atau keseluruhan, dalam uterus ketika hemodinamik pasien

dianggap stabil dan tidak ada risiko septik.

b. Ketika plasenta akreta disuspek sebelum melahirkan (berdasarkan riwayat

dan USG dan atau MRI), kasus dibahas dalam pertemuan obstetrik harian

dan terapi konservatif disarankan kepada pasien. Pada kasus ini tindakan

meliputi beberapa tahap. Letak plasenta dipastikan dengan USG. Seksio

sesarean di rencanakan, dengan insisi abdominal pada midline

infraumbilikus, dan insisi vertikal pada uterus sepanjang insersi plasenta.

Setelah pengeluaran janin, plasenta dilahirkan secara hati-hati, dengan

injeksi 5 IU oksitosin dan traksi tali pusat. Jika gagal, plasenta

dipertimbangkan sebagai “akreta”. Tali pusat dipotong pada insersinya dan

plasenta dibiarkan dalam cavum uteri; insisi uterus di tutup. Terapi

antibiotik profilaksis (amoksisilin dan asam clavulanik) diberikan selama

10 hari.

Jika diagnosis dari plasenta perkreta dapat ditegakkan sebelum

plasenta dikeluarkan (dapat dilakukan dengan USG antenatal) maka pasien

dapat diterapi konservatif. Bayi dilahirkan secara normal lalu plasenta

30
dibiarkan in situ jika tidak ada perdarahan. Kadar β-HCG diperiksa dan

manual plasenta serta kuterase dilakukan ketika tidak terdeteksi. Metotreksat

dapat digunakan pada situasi ini. Dalam penelitian lain mengemukakan bahwa

penggunaan metotreksat menyebabkan pengeluaran spontan plasenta setelah

4 minggu.

9. Berikan juga obat-obatan seperti uterotonika dan antibiotika

Jenis dan Cara Oksitosin Ergometrin Misoprostol

Dosis dan cara IV : 20 IU dalam 1 L IM atau IV (lambat) : Oral atau rektal 400

pemberian larutan garam fisiologis 0,2 mg μg dapat diulang

dengan tetesan cepat sampai 1200 μg

IM : 10 IU

Dosis lanjutan IV : 20 IU dalam 1 L Ulangi 0,2 mg IM 400 μg 2-4 jam

larutan garam fisiologis setelah 15 menit setelah dosis awal

dengan 40 tetes/menit

Dosis maksimal Tidak lebih dari 3 L larutan Total 1 mg atau 5 Total 1200 μg atau

perhari dengan oksitosin dosis 3 dosis

kontraindikasi Pemberian IV secara cepat Preeklampsia, vitium Nyeri kontraksi,

atau bolus cordis, hipertensi asma

Tabel 2.3 Jenis uterotonika dan cara pemberiannya

Retensio plasenta

Penanganan umum :
Infus transfusi darah
Pertimbangkan untuk rujuk RSU C

31

Perdarahan banyak Perdarahan sedikit


300 – 400 cc Anemia dan syok
Plasenta manual
Indikasi
Perdarahan 400 cc
Pascaoperasi vaginal
Pascanarkose
Habitual HPP
Teknik
Telusuri tali pusat
Dengan ulner tangan
Masase intrauterin
Uterotonika IM-IV

Plasenta rest : Plasenta melekat :


Berhasil baik : Kuretase tumpul Akreta
Observasi : Utero-vaginal tampon Inkreta
Keadaan umum Masase Perkreta
Perdarahan Adesiva
Obat profilaksis :
Vitamin
Fe preprat
Perdarahan terus : Histerektomi
Antibiotika
Tampon bedah Pertimbangan :
Uterotonika
Atonia uteri Keadaan umum
Umur penderita
Paritas penderita
Ligasi arteri
hipogastrika

Gambar 2.8 Penatalaksanaan retensio plasenta

L. Komplikasi

32
Plasenta yang terlalu melekat, walaupun jarang dijumpai, memiliki makna

klinis yang cukup penting karena morbiditas dan, kadang - kadang mortalitas

yang timbulkannya. Komplikasinya meliputi :

a. Perforasi uterus

b. Infeksi

c. Inversio uteri

d. Syok (hipovolemik)

e. Perdarahan postpartum

f. Subinvolution

g. Histerektomi

M. Pencegahan

Pencegahan resiko retensio plasenta adalah dengan cara mempercepat

proses separasi dan melahirkan plasenta dengan memberikan uterotonika

segera setelah bayi lahir ( untuk mencegah retensio plasenta dapat disuntikkan

0,2 mg methergin i.v. atau 10 IU pitosin i.m. waktu bahu bayi lahir ), dan

melakukan penegangan tali pusat terkendali. Usaha ini disebut juga

penatalaksanaan aktif kala III.

Manajemen aktif kala III yaitu :

1. Menyuntikkan oksitosin

- Pastikan tidak ada bayi lain (undiagnosed twin) di dalam uterus.

- Beritahu ibu bahwa ia akan disuntik.

- Segera (dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir) suntikkan oksitosin

10 unit IM pada 1/3 bagian atas paha bagian luar (aspektus lateralis).

33
Jika oksitosin tidak tersedia, minta ibu untuk melakukan stimulasi

puting susu atau menganjurkan ibu untuk menyusukan dengan segera.

- Jangan memberikan ergometrin karena menyebabkan kontraksi tonik

uterus yang dapat menghambat ekspulsi plasenta.

2. Melakukan peregangan tali pusat terkendali;

- Pindahkan klem pada tali pusat sekitar 5-20 cm dari vulva.

- Letakkan tangan yang lain pada abdomen ibu (beralaskan kain) tepat di

atas simfisis pubis. Gunakan tangan ini untuk meraba kontraksi uterus

pada saat melakukan penegangan pada tali pusat. Setelah terjadi

kontraksi yang kuat, tegangkan tali pusat dengan satu tangan yang lain

menekan uterus ke arah dorso-kranial. Lakukan secara hati-hati untuk

mencegah terjadinya inversio uteri.

- Bila plasenta belum lepas, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali

(sekitar 2 atau 3 menit berselang) untuk mengulangi penegangan tali

pusat terkendali.

- Saat mulai kontraksi, tegangkan tali pusat ke arah bawah, lakukan

tekanan dorso-kranial hingga tali pusat makin menjulur dan korpus uteri

bergerak ke atas yang menandakan plasenta telah lepas dan dapat

dilahirkan.

- Setelah plasenta terpisah, anjurkan ibu untuk meneran agar plasenta

terdorong keluar melalui intyroitus vagina.

- Saat terlihat di introitus vagina, lahirkan plasenta dengan mengangkat

tali pusat ke atas dan menopang plasenta dengan tangan lainnya untuk

34
diletakkan dalam wadah secara lembut, lalu lahirkan selaput ketuban

secara perlahan.

Jika plasenta belum lahir dalam 15 menit, berikan 10 IU oksitosin

IM dosis kedua. Kosongkan kandung kemih jika teraba penuh.

3. Masase fundus uteri segera setelah lahir

- Letakkan telapak tangan pada fundus uteri, anjurkan ibu untuk menarik

napas dalam dan perlahan serta rileks.

- Dengan lembut tapi mantap gerakkan tangan dengan arah memutar

pada fundus uteri supaya uterus berkontraksi.

N. Prognosis

Prognosis tergantung dari lamanya, jumlah darah yang hilang, keadaan

sebelumnya serta efektifitas terapi. Diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat

sangat penting.

35
BAB III

ASUHAN KEBIDANAN KASUS KOMPLEKS

PADA RETENSIO PLASENTA

A. DATA SUBJEKTIF (S)

Ibu mengatakan tidak merasa mulas, ibu khawatir plasentanya belum juga

lahir

B. DATA OBJEKTIF (O)

1. Keadaan umum : ibu tampak cemas

2. Kesadaran : composmentis

3. Pemeriksaan fisik

a. Abdomen : TFU sepusat, uterus teraba kenyal, kandung kemih kosong.

b. Genitalia : Terdapat pengeluaran darah, tali pusat menjulur sebagian.

Pengeluaran darah ±30cc.

C. ANALISA (A)

Inpartu kala III dengan retensio plasenta.

D. PENATALAKSANAAN

1. Memberitahukan kepada ibu bahwa plasentanya belum lahir sudah 30 menit

2. Melakukan inform concent untuk pemasangan infus dan untuk dilakukan

tindakan. Ibu dan keluarga setuju.

3. Memindahkan bayi di baby warmer dan menjaga kehangatan bayi.

4. Memasangkan infus 500 ml Ringer Laktat + oksitosin 20 IU secara drip

dengan kecepatan 60 tetes/menit.

36
5. Memberikan analgetik kaltrofen supp 100 mg. Analgetik sudah diberikan.

6. Mengecek kandung kemih. Kandung kemih kosong.

7. Mendekontaminasi sarung tangan. Sarung tangan sudah di

dekontaminasi.

8. Mencuci tangan dan menggunakan sarung tangan panjang sampai siku.

Sarung tangan sudah dipakai.

9. Melakukan PTT. Belum ada tanda pelepasan plasenta.

10. Inform consent untuk tindakan yang akan dilakukan kepada ibu. Ibu

bersedia.

11. Melakukan manual plasenta. Membilas vagina ibu dan tangan yang akan

masuk kedalam uterus menggunakan cairan antiseptic lalu memasukkan

tangan dalam posisi obstetri (punggung tangan ke bawah) dengan menelusuri

bagian bawah tali pusat. Tangan kiri menahan fundus uteri dan tangan kanan

berada di dalam menyusuri tali pusat hingga ke kavum uteri hingga mencapai

tempat implantasi plasenta. Membuka tangan obstetric menjadi seperti

memberi salam (ibu jari merapat ke pangkal jari telunjuk. Menggerakkan

tangan dalam ke kiri dan kanan sambil bergeser dengan menggunakan sisi

ulna untuk melepaskan plasenta sehingga semua permukaan maternal plasenta

dapat dilepaskan. Melakukan eksplorasi tanpa mengeluarkan tangan terlebih

dahulu lalu memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih melekat pada

dinding uterus. Menyimpan plasenta di segmen bawah rahim dan melahirkan

plasenta.

12. Melakukan masase uterus selama 15 detik. Kontraksi uterus baik.

37
13. Mengecek kelengkapan plasenta. Plasenta lahir lengkap. kotiledon lengkap,

selaput plasenta utuh.

14. Menilai jumlah perdarahan. Perdarahan ± 200 cc.

15. Memeriksa robekan jalan lahir. Terdapat robekan pada mukosa vagina, otot

perineum dan kulit perineum (laserasi derajat II)

38
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Istilah retensio plasenta (retained placenta) dipergunakan jika plasenta

belum lahir ½ jam sesudah anak lahir. Retensio plasenta kemungkinan terjadi

karena plasenta terperangkap oleh cervix yang menutup sebagian atau karena

plasenta masih melekat pada dinding uterus serta penyebab trsering yaitu

kontraksi uterus yang tidak adekuat.

Penyebab dari disfungsi kontraksi uterus ini belum diketahui pasti.

Walaupun sangat jarang, plasenta dapat melekat erat ke tempat implantasi,

baik karena penetrasi berlebihan dari trofoblas maupun desidua basalis yang

sedikit (tipis) atau tidak ada sama sekali dan kelainan perkembangan lapisan

fibrinoid (lapisan Nitabuch) secara parsial atau total, sehingga tidak terdapat

garis pemisah fisiologis melalui lapisan spongiosa desidua. Akibatnya, satu

atau lebih kotiledon melekat erat ke desidua basalis yang cacat atau bahkan ke

miometrium. Patofisiologi retensio plasenta ini juga bisa berarti plasenta telah

terpisah akan tetapi masih tertinggal akibat ketegangan tali plasenta atau leher

rahim yang tertutup. Faktor ini dapat muncul akibat kesalahan penanganan

kala III persalinan dan manipulasi yang berlebihan.

Penanganan retensio plasenta meliputi perasat Crede, manual plasenta,

kuretase, tindakan bedah (ligasi arteri hipogastrika, embolisasi arteri uterina,

39
dan histerektomi), terapi konservatif, transfusi darah, serta pemberian

uterotonika dan antibiotik.

Pencegahan resiko retensio plasenta adalah dengan cara mempercepat

proses separasi dan melahirkan plasenta dengan memberikan uterotonika

segera setelah bayi lahir dan melakukan manajemen aktif kala III.

Prognosis tergantung dari lamanya, jumlah darah yang hilang, keadaan

sebelumnya serta efektifitas terapi. Diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat

sangat penting.

B. Saran

Pengawasan pada kala pelepasan dan pengeluaran plasenta (kala III) cukup

penting. Jika terlambat ditangani, retensio plasenta dapat menyebabkan infeksi

berat atau perdarahan yang mengancam nyawa ibu.

40
DAFTAR PUSTAKA

Mochtar R. Sinopsis Obstetri Jilid I Edisi 2. Jakarta: EGC; 2019.

Mayo Clinic. Pregnancy week by week ; Placenta: How it works, what's normal.
Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER); 2019. dari
http://www.mayoclinic.com/health/placenta/MY01945

Midwifery Educator. Retained Placenta Management. National Women’s Health


Clinical Guideline / Recommended Best Practice : 2019.

Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LG, Hauth JC, Wenstrom KD.
Obstetri Williams Volume 1 Edisi 21. Jakarta: EGC; 2018.

Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF. Obstetri Patologi Ilmu


Kesehatan Reproduksi Edisi 2. Jakarta: EGC; 2017.

Heller L. Gawat Darurat Ginekologi dan Obstetri (Emergencies in Gynecology


and Obstetrics). Jakarta: EGC; 2017.

Weeks AD. The Retained Placenta. USA: National Center for Biotechnology
Information, U.S. National Library of Medicine from African Health Sciences
Makerere Medical School; 2019. dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2704447/

Memon SR, Talpur NN, Korejo RK. Rawal Medical Journal Volume 36 Number
4 : Outcome of Patients Presenting With Retained Placenta. Pakistan:
Departemen of Obstetrics and Ginecology; 2020. dari
www.scopemed.org/fulltextpdf.php?mno=12733

DeCherney AH, Nathan L. Curren. Obstetric & Gynecologic Diagnosis &


Treatment, Ninth Edition: Postpartum Hemorrhage & Abnormal Puerperium:
Retained Placenta Tissue. California: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2018.
28:323-327.

Anonim. Buku Acuan Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar: Retensio Plasenta.


Bab 4-10.

41
Mayo Clinic. Placenta Accreta. Mayo Foundation for Medical Education and
Research (MFMER); 2018.

Gondo HK. Penanganan Perdarahan Post Partum (Haemorhagi Post Partum,


HPP). Surabaya: Universitas Wijaya Kusuma; 2018.

Saifuddin, A. B., Adriaansz, G., Wiknjosastro, G., H., Waspodo, G. (ed), 2019,
Perdarahan Setelah Bayi Lahir dalam Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta: JNPKKR – POGI bekerjasama
dengan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

42

Anda mungkin juga menyukai