Anda di halaman 1dari 9

Tabi’in

Kategori: Nama Golongan
Tabi’in (‫التابعون‬, ‘pengikut’), adalah orang Islam awal yang masa hidupnya setelah para Sahabat
Nabi dan tidak mengalami masa hidup Nabi Muhammad.
Usianya tentu saja lebih muda dari Sahabat Nabi, bahkan ada yang masih anak-anak atau remaja
pada masa Sahabat masih hidup.
Tabi’in merupakan murid Sahabat Nabi.

Rentang masa
Masa Tabi’in dimulai sejak wafatnya Sahabat Nabi terakhir, Abu Thufail al-Laitsi, pada tahun
100 H (735 M) di kota Mekkah; dan berakhir dengan wafatnya Tabi’in terakhir, Khalaf bin
Khulaifat, pada tahun 181 H (812 M).
Setelah masa Tabi’in berakhir, maka diteruskan dengan masa Tabi’ut tabi’in atau generasi ketiga
umat Islam setelah Nabi Muhammad wafat.

Tingkatan
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam karyanya Taqrib at-Tahdzib membagi para Tabi’in menjadi
empat tingkatan berdasarkan usia dan sumber periwayatannya, yaitu:
o Para Tabi’in kelompok utama/senior (kibar at-tabi’in), yang telah wafat sekitar tahun 95
H/713 M.
Mereka seangkatan dengan Said bin al-Musayyab (lahir 13 H – wafat 94 H),
o Para Tabi’in kelompok pertengahan (al-wustha min at-tabi’in), yang telah wafat sekitar
tahun 110 H/728 M.
Mereka seangkatan dengan Al-Hasan al-Bashri (lahir 21 H – wafat 110 H) dan
Muhammad bin Sirin (lahir 33 H – wafat 110 H),
o Para Tabi’in kelompok muda (shighar at-tabi’in) yang kebanyakan
meriwayatkan hadis dari para Tabi’in tertua, yang telah wafat sekitar tahun 125 H/742 M.
Mereka seangkatan dengan Qatadah bin Da’amah (lahir 61 H – wafat 118 H) dan Ibnu
Syihab az-Zuhri (lahir 58 H – wafat 124 H),
o Para Tabi’in kelompok termuda yang kemungkinan masih berjumpa dengan para Sahabat
Nabi dan para Tabi’in tertua walau tidak meriwayatkan hadis dari Sahabat Nabi, yang
telah wafat sekitar tahun 150 H/767 M.
Mereka seangkatan dengan Sulaiman bin Mihran al-A’masy (lahir 61 H – wafat 148 H).

Mayoritas ulama penulis biografi para periwayat hadis (asma ar-rijal) juga membagi para Tabi’in


menjadi tiga tingkatan berdasarkan Sahabat Nabi yang menjadi guru mereka, yaitu:
o Para Tabi’in yang menjadi murid para Sahabat yang masuk Islam sebelum peristiwa
Fathu Makkah,
o Para Tabi’in yang menjadi murid para Sahabat yang masuk Islam setelah peristiwa
Fathu Makkah,
o Para Tabi’in yang menjadi murid para Sahabat yang belum berusia dewasa ketika Nabi
Muhammad wafat.
Tokoh Tabi’in
Di bawah ini adalah daftar beberapa tokoh Tabi’in yang ternama:
o Abu Hanifah
o Al-Hasan al-Bashri
o Ali bin al-Husain Zainal Abidin
o ‘Alqamah bin Qais an-Nakha’i
o Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar ash-Shiddiq
o Ibnu Abi Mulaikah
o Muhammad bin al-Hanafiyah
o Muhammad bin Sirin
o Muhammad bin Syihab az-Zuhri
o Salim bin Abdullah bin Umar bin Khattab
o Said bin al-Musayyib
o Rabi’ah ar-Ra’yi
o Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud
o Umar bin Abdul Aziz
o Urwah bin az-Zubair
o Uwais al-Qarni
Secara kebahasaan, tabiin merupakan bentuk jamak dari tabi' artinya yang mengikuti. Orang-
orang atau orang-orang Islam yang pernah berjumpa dengan sahabat Nabi Muhammad SAW dan
meninggal dalam  keadaan iman.

Menurut Al-Khatib al Baghdadi (sejarawan dari Baghdad yang hidup pada abad ke-4 hijriyah),
seorang muslim dapat dikatakan sebagai tabiin jika pernah bersahabat Nabi SAW, jadi bukan
sekedar pernah berjumpa saja. Para ulama ahli hadis membagi generasi tabiin ini dalam beberapa
tingkatan (tabaqat) berdasarkan kualitas sahabat yang pernah dijumpainya.

Ibnu Sa'ad, misalnya, mengelompokkan tabiin dalam 4 tabaqat, sedangkan Al-Hakim


mengelompokannya dalam 15 tabaqat. pengelompokkan tabaqat tabiin sangat relatif dan lebih
sulit serta berbeda pengelompokkan tabaqat sahabat yang didasarkan atas keikut sertaannya pada
peristiwa peristiwa penting yang dialami Rasulullah SAW.

Untuk tabaqat pertama, para ulama sepakat memberi batasan bahwa mereka adalah tabi'in yang
pernah berjumpa dan bersahabat dengan sepuluh sahabat yang dijanjikan Rasulullah SAW akan
masuk surga. Mereka itu adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali
bin Abi Thalib, Sa'id bin Abi Waqqas, Sa'id bin Zaid bin Amr bin Nufail,  Talhah bin Ubaidillah,
Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah.

Mereka yang dipandang sebagai tabi'in tabaqat pertama di antaranya Abu Usman an-Nahdi, Qais
bin Abbad, Abu Husain bin Munzir, Abu Wa'il dan Abu Raja' at-Taridi. Tabi'in yang diketahui
paling dulu meninggal adalah Abu Zaid Ma'mar bin Zaid (wafat tahun 30 Hijriyah).

Tabaqat Tabi-in yang paling akhir, menurut pandangan al-Hakim, ialah tabi'in yang sempat
berjumpa atau melihat sahabat paling akhir dan menyaksikan wafatnya sahabat tersebut (man
laqiya akhiras shahabata mautan (siapa yang melihat/menyaksikan paling akhir wafatnya seorang
sahabat).

Mereka yang termasuk tabi'in tabaqat terakhir ialah tabi'in yang berjumpa dengan Abu Tufail
Amir bin Wa'ilah di Mekah yang berjumpa dengan as-Saib di Madinah yang berjumpa dengan
Abu Umamah di Syam (Suriah) yang berjumpa dengan Ubaidilah bin Abi Aufa di Kufah yang
berjumpa dengan Anas bin Malik di Basra dan berjumpa dengan Abdullah az-Zubaidi di Mesir.
Tabi'in yang paling akhir wafatnya ialah Khalaf bin Khalifah (wafat tahun 181 Hijriyah), karena
ia sempat berjumpa dengan Abu Tufail di Mekah. Dengan demikian, periode tabi'in berakhir
tahun 181 Hijriyah bersamaan dengan masa pemerintahan Harun ar-Rasyid (170-194 Hijriyah)
dari Bani Abbas.

Di antara tabi'in yang mempunyai peran besar dalam pengembangan ilmu agama Islam ialah
Sa'id bin Musayyab, Nafi' Maula bin Amr, Muhammad bin Sirin, Ibnu Syihab az-Zuhri, Sa'id bin
Zubair al-Asadi al-Kufi dan Nu'man bin Sabit. Sa'id bin Musayyab lahir pada tahun 15 Hijriyah,
tahun kedua pada pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab dan wafat pada tahun 94 Hijriyah.
Ayah dan kakeknya adalah sahabat Nabi Muhammad SAW. Ia terkenal karena kewarakan,
kezuhudan dan keluasan ilmu pengetahuan di bidang hadis dan fikih.

Nafi' Maula bin Amr (wafat 117 Hijriyah) pada mulanya adalah hamba Ibnu Umar yang
mengabdi kepada majikannya selama tiga tahun sebelum dimerdekakan. Imam Malik bin Anas
adalah sahabat dekat Nafi'. Imam Malik berkata, ''Jika aku menerima hadis dari Nafi' dari Ibnu
Umar, aku tidak perlu mendengarnya lagi dari orang lain.'' Dengan demikian, Imam Malik yakin
betul dengan setiap hadis yang diriwayatkan Nafi'. Ia juga dikenal sebagai rawi (periwayat) hadis
dan ulama fikih Madinah.

Muhammad bin Sirin adalah anak seorang maula (hamba yang kemudian) dimerdekakan) Anas
bin Malik. Ia lahir dua tahun sebelum berakhirnya pemerintahan Usman bin Affan (32 Hijriyah)
dan wafat pada tahun 110 Hijiyah. Ia termasuk ulama fikih di Madinah di samping rawi hadis
yang dipercaya.
Abu Hanifah
Kategori: Tabi'in
Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Marzuban (‫ ;أبو حنيفة نعمان بن ثابت بن زوطا بن مرزبان‬
699 – 767 M), lebih dikenal dengan nama Abū Ḥanīfah, (‫( )أبو حنيفة‬lahir di Kufah, Irak pada 80 H
/ 699 M — meninggal di Baghdad, Irak, 148 H / 767 M) merupakan pendiri dari
Madzhab Fiqih Hanafi.
Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi’in, generasi setelah Sahabat nabi, karena dia pernah
bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bernama Anas
bin Malik dan beberapa peserta Perang Badar yang dimuliakan Allah Subhanahu Wa Ta`ala yang
merupakan generasi terbaik islam, dan meriwayatkan hadits darinya serta
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya.
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan
kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), shalat dan seterusnya, yang kemudian
diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, Imam
Bukhari.

Menuntut Ilmu
Abu Hanifah kecil sering mendampingi ayahnya berdagang sutra.
Namun, tidak seperti pedagang lainnya, Abu Hanifah memiliki kebiasaan pergi ke Masjid Kufah.
Karena kecerdasannya yang gemilang, ia mampu menghafal Al-Qur’an serta ribuan hadits.
Sebagaimana putra seorang pedagang, Abu Hanifah pun kemudian berprofesi seperti bapaknya.
Ia mendapat banyak keuntungan dari profesi ini.
Di sisi lain ia memiliki wawasan yang sangat luas, kecerdasan yang luar biasa, serta hafalan yang
sangat kuat.
Beberapa ulama dapat menangkap fenomena ini, sehingga mereka menganjurkannya untuk pergi
berguru kepada ulama seperti ia pergi ke pasar setiap hari.

Pada masa Abu Hanifah menuntut ilmu, Iraq termasuk Kufah disibukkan dengan tiga halaqah
keilmuan.
• Pertama, halaqah yang membahas pokok-pokok aqidah.
• Kedua, halaqah yang membahas tentang Hadits Rasulullah metode dan proses pengumpulannya
dari berbagai negara, serta pembahasan dari perawi dan kemungkinan diterima atau tidaknya
pribadi dan riwayat mereka.
• Ketiga, halaqah yang membahas masalah fikih dari Al-Qur’an dan Hadits, termasuk membahas
fatawa untuk menjawab masalah-masalah baru yang muncul saat itu, yang belum pernah muncul
sebelumnya.
Abu Hanifah melibatkan diri dalam dialog tentang ilmu kalam, tauhid dan metafisika.
Menghadiri kajian hadits dan periwayatannya, sehingga ia mempunyai andil besar dalam bidang
ini.
Setelah Abu Hanifah menjelajahi bidang-bidang keilmuan secara mendalam, ia memilih
bidang fikih sebagai konsentrasi kajian.

Ia mulai mempelajari berbagai permasalahan fikih dengan cara berguru kepada salah satu Syaikh
ternama di Kufah, ia terus menimba ilmu darinya hingga selesai.
Sementara Kufah saat itu menjadi tempat domisili bagi ulama fikih Iraq.
Abu Hanifah sangat antusias dalam menghadiri dan menyertai gurunya, hanya saja ia terkenal
sebagai murid yang banyak bertanya dan berdebat, serta bersikeras mempertahankan
pendapatnya, terkadang menjadikan syaikh kesal padanya, namun karena kecintaannya pada
sang murid, ia selalu mencari tahu tentang kondisi perkembangannya.

Dari informasi yang ia peroleh, akhirnya sang syaikh tahu bahwa ia selalu bangun malam,
menghidupkannya dengan salat dan tilawah Al-Qur’an.
Karena banyaknya informasi yang ia dengar maka syaikh menamakannya Al-Watad.
Selama 18 tahun, Abu Hanifah berguru kepada Syaikh Hammad bin Abu Sulaiman, saat itu ia
masih 22 tahun.
Karena dianggap telah cukup, ia mencari waktu yang tepat untuk bisa mandiri, namun setiap kali
mencoba lepas dari gurunya, ia merasakan bahwa ia masih membutuhkannya.

Menjadi Ulama

Kabar buruk terhembus dari Basrah untuk Syaikh Hammad, seorang keluarga dekatnya telah
wafat, sementara ia menjadi salah satu ahli warisnya.
Ketika ia memutuskan untuk pergi ke Basrah ia meminta Abu Hanifah untuk menggantikan
posisinya sebagai pengajar, pemberi fatawa dan pengarah dialog.
Saat Abu Hanifah mengantikan posisi Syaikh Hammad, ia dihujani oleh pertanyaan yang sangat
banyak, sebagian belum pernah ia dengar sebelumnya, maka sebagian ia jawab dan sebagian
yang lain ia tangguhkan.
Ketika Syaikh Hammad datang dari Basrah ia segera mengajukan pertanyaan-pertanyaan
tersebut, yang tidak kurang dari 60 pertanyaan, 40 diantaranya sama dengan jawaban Abu
Hanifah, dan berbeda pendapat dalam 20 jawaban.
Dari peristiwa ini ia merasa bahawa masih banyak kekurangan yang ia rasakan, maka ia
memutuskan untuk menunggu sang guru di halaqah ilmu, sehingga ia dapat mengoreksikan
kepadanya ilmu yang telah ia dapatkan, serta mempelajari yang belum ia ketahui.

Ketika umurnya menginjak usia 40 tahun, gurunya Syaikh Hammad telah wafat, maka ia segera
menggantikan gurunya.

Abu Hanifah tak hanya mengambil ilmu dari Syaikh Hammad, tetapi juga banyak ulama selama
perjalanan ke Makkah dan Madinah, diantaranya Malik bin Anas, Zaid bin Ali dan Ja’far ash-
Shadiq yang mempunyai konsen besar terhadap masalah fikih dan hadits.
Imam Abu Hanifah diketahui telah menyelesaikan 600.000 perkara dalam bidang ilmu fiqih dan
dijuluki Imam Al-A’dzhom oleh masyarakat karena keluasan ilmunya.Beliau juga menjadi
rujukan para ulama pada masa itu dan merupakan guru dari para ulama besar pada masa itu dan
masa selanjutnya.

Penolakan Sebagai Hakim


Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur berkata kepada menterinya,
“Aku sedang membutuhkan seorang hakim yang bisa menegakkan keadilan di negara kita ini,
dengan kualifikasi dia tidak takut kepada siapapun dalam menegakkan kebenaran, paling
memahami Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Menurutmu siapa yang layak menduduki posisi
ini?”, lalu sang menteri menjawab,
“Sejauh pengetahuan saya, ulama yang paling tepat menduduki jabatan ini adalah Abu Hanifah
An-Nu’man, betapa bahagianya kita jika ia menerima tawaran sebagai hakim ini!”,
“Apa mungkin seseorang bisa menolak jika kita yang memintanya?”
tanya Khalifah lagi.
“Sejauh yang kami tahu, dia tidak pernah tunduk kepada permintaan siapapun, tampaknya dia
tidak suka menduduki posisi sebagai hakim, maka utuslah seseorang utusan mudah-mudahan
hatinya terbuka, dan menerima tawaran ini.”

Khalifah kemudian mengutus seorang utusan memintanya untuk menghadap seraya menawarkan


posisi sebagai hakim.

Abu Hanifah menjawab,

“Aku akan istikharah terlebih dahulu, salat 2 rakaat meminta petunjuk kepada Allah, jika hatiku
dibuka maka akan aku terima, jika tidak maka masih banyak ahli fikih lain yang bisa dipilih
salah satu daintara mereka oleh Amirul Mukminin.”
Waktu terus berjalan, ternyata Abu Hanifah tak kunjung menghadap Khalifah, maka ia mengutus
seorang utusan memintanya menghadap, Abu Hanifah kemudian pergi menghadap namun ia
beritikad untuk menolak jabatan hakim yang ditawarkan kepadanya.

Ternyata Khalifah tidak menyerah begitu saja, ia bersumpah agar Abu Hanifah menerima jabatan
sebagai hakim yang ditawarkan, akan tetapi Abu Hanifah tetap menolaknya, seraya berkata,

“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku tak pantas untuk menduduki jabatan hakim,”
lalu Khalifah malah menjawab, “Engkau dusta!”, sehingga Abu Hanifah pun berkata,

“Sekiranya Anda telah menghukumi saya sebagai pembohong, maka sesungguhnya para
pembohong tak layak menjadi hakim, dan sebaiknya Anda jangan mengangkat rakyat Anda yang
tidak memenuhi kualifikasi untuk menduduki jabatan yang strategis ini.
Wahai Amirul Mukminin, takutlah kepada Allah, dan jangan Anda delegasikan amanah kecuali
kepada mereka yang takut kepada Allah, jika saya tidak mendapat jaminan keridhaan, bagaimana
saya akan mendapat jaminan terhindar dari murka?”.

Khalifah lalu memerintahkan mencambuknya seratus cambukan, lalu dijebloskannya ke penjara.

Selang beberapa hari, khalifah mendapat teguran dari seorang kerabatnya,


“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Anda telah mencambuk diri Anda dengan seratus ribu
pukulan pedang.”
Maka khalifah segera memerintahkan untuk membayar 30.000 dirham (sekitar Rp.2,1 miliar)
kepada Abu Hanifah sebagai ganti atas yang telah dideritanya, lalu membebaskannya dan
mengembalikan ke rumahnya.
Ternyata setelah harta tersebut diberikan, ia menolaknya.
Maka khalifah memerintahkan untuk menjebloskan kembali ke penjara.
Hanya saja para menteri mengusulkan bahwa Abu Hanifah segera dibebaskan dan cukup diberi
dengan penjara rumah, serta melarangnya untuk duduk bersama masyarakat atau keluar dari
rumah.

Akhir Hayat
Selang beberapa hari setelah mendapatkan tahanan rumah, ia terkena penyakit, semakin lama
semakin parah.
Akhirnya ia wafat pada usia 68 tahun.
Berita kematiannya segera menyebar, ketika Khalifah mendengar berita itu, ia berkata,
“Siapa yang bisa memaafkanku darimu hidup maupun mati?”
Salah seorang ulama Kufah berkata,
“Cahaya keilmuan telah dimatikan dari kota Kufah, sungguh mereka tidak pernah
melihat ulama sekaiber dia selamanya.”
Yang lain berkata,
“Kini mufti dan fakih Irak telah tiada.”
Jasadnya dikeluarkan dipanggul di atas punggung kelima muridnya, hingga sampai tempat
pemandian, ia dimandikan oleh Al-Hasan bin Imarah, sementara Al-Harawi yang menyiramkan
air ke tubuhnya. Ia disalatkan lebih dari 50.000 orang.

Dalam enam kali putaran yang ditutup dengan salat oleh anaknya, Hammad.


Ia tak dapat dikuburkan kecuali setelah salat Ashar karena sesak, dan banyak tangisan.
Ia berwasiat agar jasadnya dikuburkan di Kuburan Al-Khairazan, karena merupakan tanah kubur
yang baik dan bukan tanah curian.

Pujian Ulama
Imam Malik
“Subhanallah, Saya belum pernah melihat sosok seperti dia, Demi Allah, jika Abu Hanifah
berpendapat bahwa sebuah alat terbuat dari emas, maka pasti ia sanggup mempertengahkan
kebenaran atas perkataannya itu.”

Imam Syafi’i
“Barang siapa ingin memperdalam fikih, maka hendaklah menjadi anak asuh bagi Abu Hanifah, Abu
Hanifah merupakan orang yang diberi taufik oleh Allah dalam bidang fikih.” “Barangsiapa belum
membaca buku-buku Abu Hanifah, maka ia belum memperdalam ilmu, juga belum belajar fikih.”

Imam Ahmad bin Hambal


“Subhanallah, ia berada dalam posisi keilmuan, wara’ dan zuhud, mementingkan akhirat, yang
tidak dilihat oleh seorangpun.”
Ibnu Juraij
“Aku mendengar bahwa an-Nu’man (julukan Abu Hanifah) orang yang paling wara’, menjaga
agama dengan ilmunya, tidak mengedepankan pecinta dunia di atas pecinta akhirat, saya
berkeyakinan bahwa dalam dunia keilmuan dia akan memiliki prestasi yang menakjubkan.”

Imam Fudhail bin Iyadh


“Abu Hanifah merupakan pribadi fakih yang terkenal dengan kefakihannya, kekayaan yang
cukup luas, terkenal dengan kebaikan terhadap setiap orang yang mengganggunya, sangat sabar
dalam menuntut ilmu baik siang maupun malam, selalu diam, sedikit berbicara hingga datang
kepadanya masalah-masalah halal dan haram, sangat cermat dalam menunjukkan kebenaran,
selalu lari dari harta penguasa.”

Anda mungkin juga menyukai