Pandemi Covid-19 telah banyak mengubah tatanan hidup kita. Bahkan Lord
Rangga dari Sunda Empire tak mampu mengelak tatanan hidup yang diubah Covid
sebelum ia mengubah tatanan dunia. Dua puluh tahun lalu di saat kita duduk di bangku
sekolah, papan hitam dengan tulisan putih yang antara jelas dan tidak menjadi sumber
wawasan kita. Papan hitam kotor itu bagaikan kendi suci berisi air yang dapat
merefleksikan segalanya. Kecerdasan menjawab soal tidak diukur dengan seberapa
hebat seseorang dalam menganalisis masalah, tetapi seberapa cepat mata dan tangan
mereka mencatat informasi sebelum guru menghapus tulisannya. Guru sendiri
diibaratkan sebagai cenayang dan dianggap mampu menyelesaikan berbagai macam
persoalan. Guru adalah sumber informasi utama. Guru adalah kebenaran. Jika kita
menyatakan bahwa Tamagotchi dapat meningkatkan motivasi belajar dan guru
membenarkan, maka tidak ada sepatah kata orang tua yang mampu membantah
pernyataan tersebut.
Masih ingatkah dengan buku RPAL dan RPUL? Sebuah buku yang merangkum
pengetahuan alam atau umum. Seorang anak kecil yang mampu menjelaskan macam-
macam keajaiban dunia, siapa pemecah rekor dunia, dan sebagainya akan dielukan
sebagai anak jenius yang memiliki masa depan cerah. Barangkali nyatanya ia membaca
terlebih dahulu RPAL atau RPUL sebelum ia sembunyikan dibalik punggungnya. Lalu,
bertahun-tahun kemudian ia tidak lagi repot menyembunyikan buku yang tebal. Ia
cukup bertanya pada cenayang yang lebih sakti mandraguna, yaitu mbah google. Itulah
salah satu tatanan hidup yang berubah dari waktu ke waktu. Meskipun perubahan itu
terjadi bertahun-tahun lamanya tetapi masih banyak dari kita yang kewalahan mengikuti
alurnya. Lalu bagaimana tatanan hidup yang berubah semasa pandemi Covid-19? Sudah
pasti banyak yang terseok-seok dihantam perubahan. Meskipun demikian, kita mampu
berdiri kembali walau dengan lutut penuh parut.
Perubahan kilat itu berdampak juga pada generasi muda. Cara mereka
menganalisis, membuat keputusan, menanggapi memiliki kecenderungan yang berbeda.
Dua tahun mereka merebahkan tubuh dan seharian ditemani oleh gawai membuat
mereka lupa bagaimana memeras keringat. Setelah pandemi berangsur menghilang dan
kehidupan normal kembali datang mereka menghadapi kesulitan dalam berbagai hal.
Baru-baru ini kita dihadapkan dengan sebuah istilah viral yakni self healing. Telah viral
sebuah pernyataan seorang anak muda yang tidak sanggup mengerjakan tugas-tugasnya
sehingga ia membutuhkan self healing liburan ke Bali selama beberapa bulan. Tetapi,
apakah perlu liburan itu dilakukan hanya karena kesulitan mengerjakan tugas-tugasnya?
Mengutip pernyataan Profesor Renald Kasali, ada beberapa hal yang dapat ditarik
mengapa fenomena seperti di atas dapat terjadi. Salah satunya adalah kita dihadapkan
dengan generasi baru. Generasi itu adalah adiknya milenial, yaitu The Strawberry
Generation. Dikutip dari buku sang profesor yang berjudul sama, bahwa stroberi itu
menawan dari bentuk dan warnanya. Namun, di balik keindahannya, ia ternyata begitu
rapuh. Cobalah pakai sikat gigi untuk menyikat stoberi. Pasti bagian luar stoberi
tersebut mudah rusak. Padahal, sikat gigi itu cukup lembut untuk gigi kita. Itu adalah
ilustrasi dari strawberry generation. Sebuat subset dari suatu generasi yang rapuh meski
terlihat indah.
Mudah hancur dan sakit hati. Generasi yang lebih tua bahkan menyebutnya
sebagai generasi yang mudah kecewa. Akibat itu, hubungan baiknya dengan para
mentor mudah rusak. Tidak sedikit generasi stroberi yang begitu mudahnya menuding
para senior sebagai penyebab depresi. Generasi ini, kalau gemblengan di rumahnya dulu
kurang begitu kuat, juga mudah galau. Banyak berhalusinasi dan enteng
mengungkapkan kegalauannya ke mana-mana, termasuk ke teman-temannya. Sebagian
besar menyalurkan melalui media sosial. Mereka memasangnya sebagai status di
berbagai gawainya. Daya lepasnya setajam kerikil yang dientak katapel dan kena kepala
kita. Kemudian, entah disebabkan terlalu banyak menghabiskan waktu dengan gawai
semasa pandemi, banyak dari generasi muda yang mengapresiasi hal-hal kurang
berfaedah. Dikutip dalam liputan6.com banyak konten absurd mendapatkan like dan
viewers luar biasa. Konten tersebut seperti: tutorial mengosongkan pikiran 12 ribu kali
ditonton, tutorial berjalan dengan kaki 6027 kali ditonton, tutorial memakai sendal jepit
bagi pemula 6672 kali ditonton, dan masih banyak konten absurd lagi yang mendapat
apresiasi tinggi.
Kalau kita pikir baik-baik, bukankah kemampuan generasi stroberi yang mudah
apa-apa menuliskan di media sosial merupakan titisan dari nenek moyangnya yang
seorang pujangga. Nenek moyangnya mampu membuat Belanda pipis di celana dengan
kata-kata, sedangkan cicitnya mampu menyerang akun jutaan pengikut dengan jempol
pedasnya. Tak peduli seterkenal apa akun itu, strawberry generation mampu
menutupnya dengan sajak-sajaknya. Akun-akun yang diserang tersebut antara lain
GothamChess, BWF, Stephen Fry, Pasangan Gay Thailand, dan Seleb Tik Tok
Filiphina. Tetapi yang harus diperhatikan generasi ini adalah bagaimana sang pujangga
mampu lebih elegan menyampaikan buah pikir mereka dan menyikapi suatu
permasalahan. Itulah hal yang harus mereka pelajari dari penyair-penyair Indonesia.
Mereka harus menyelami dahulu informasi sebelum salah mengira komedian Stephen
Fry sebagai wasit pertandingan badminton, dan bercermin pada diri sendiri faedah apa
yang mereka dapatkan setelah mengolok-olok gadis yang memiliki paras cantik.