Anda di halaman 1dari 55

1

2
3
4i
5ii
6iii
7iv
8v
Tujuan Penulisan 1

Pendahuluan 2

Bagian I – Fundamental Problems 6

Bagian II – Konsep Ancaman Masa Kini dan Masa Depan 21

Bagian III – Konsep Ideal Doktrin Binter TNI AD menghadapi


Ancaman Masa KIni dan Masa Depan 27

Bagian Iv – Konsep Penguatan Binter TNI AD yang


Komprehensif dihadapkan pada era VUCA 37

Bagian V – Kesimpulan dan Saran 45

Bagian VI – Penutup 46

9vi
Naskah ini diharapkan menjadi salah satu tonggak dalam mewujudkan
Binter (Pembinaan Teritorial) yang sebagian besar masih menjadi tacit knowledge
(belum terdokumentasi karena masih terdapat dalam pikiran seseorang)1 untuk
kemudian dapat dikodifikasi dan dijadikan sebuah konsep keilmuan yang dapat
dipelajari dan ditransfer dari generasi ke generasi. Diharapkan nantinya, Binter
dapat menjadi bidang keilmuan yang dapat terus dikembangkan dan diteliti
sampai menjadi ilmu pengetahuan (science) yang “established”. Naskah ini
memberikan ruang untuk mengekspresikan berbagai ide dan gagasan serta
kesempatan untuk mengubah, memodifikasi maupun mengoptimalisasi doktrin,
dogma dan paradigma dengan berpikir lebih inovatif dan akademis dalam konteks
pembinaan teritorial agar nantinya konsep Binter tidak hanya dapat beradaptasi
tapi berevolusi dalam menghadapi AGHT (Ancaman, Gangguan, Hambatan
dan Tantangan) serta perubahan lingkungan. Naskah ini juga diharapkan dapat
menghasilkan sebuah konsep baru pembinaan teritorial yang dapat mengakomodir
tidak hanya terhadap perkembangan AGHT tetapi juga perkembangan ideologi,
politik, ekonomi dan sosial-budaya, sehingga dapat bekerja dengan maksimal.
Namun demikian, tulisan ini melihat bahwa untuk bisa maju ke depan sangat
penting untuk melihat ke belakang dan mempelajarinya “To move forward it’s
imperative to look back and learn”. Selain itu dengan belajar dari masa lalu kita
dapat melihat apa saja yang telah berubah dan apa saja yang belum, sehingga
menjadi telaahan kita dalam mendesain perubahan di masa depan.
Naskah ini menggunakan metode pengumpulan data studi kepustakaan
sebagai metode utama penulisan. Sumber-sumber utama dari metode ini adalah
buku-buku, jurnal ilmiah, wawancara dan artikel ahli, serta sumber lainnya.
Dengan demikian, naskah ini adalah naskah ilmiah dengan pendekatan kualitatif.

1
Ikujiro Nokana (2007): The Knowledge Creating, Harvard Business Review, (Hal. 45)

10
1
“Si Vis Pacem Para Bellum”, Jika mendambakan perdamaian maka bersiap-
siaplah menghadapi perang. Meskipun Indonesia tidak memiliki musuh nyata
dengan negara lain, bukan berarti perang tidak mungkin terjadi. Posisi geografis
negara Indonesia yang terletak di wilayah Indo Pasifik memiliki lingkungan
strategis yang sangat dinamis mengakibatkan pengaruh konstelasi politik global
secara langsung maupun tak langsung akan berdampak pada sistem pertahanan
negara.
Globalisasi, pertahanan negara, dan penggunaan kekerasan (use of force)
serta konsep kedaulatan (sovereignty) kini menghadapi tantangan yang serius.
Berbagai bentuk ancaman, militer maupun non-militer, mempunyai daya tembus
(penetrability) yang semakin besar. Difusi ide-ide baru dan munculnya senjata-
senjata berteknologi tinggi, khususnya yang termasuk dalam wilayah kelabu
(grey area), memperkuat sosoknya sebagai unchallengeable threats.
Dimensi geografi mengalami kontraksi dan waktu yang diperlukan untuk
mengantisipasi ancaman (early warning) menjadi semakin pendek. Pertahanan
negara menjadi suatu persoalan yang semakin rumit. Terlebih lagi, fenomena
globalisasi di abad 21 ini yang digambarkan dalam berbagai istilah bercirikan
munculnya ekonomi kapitalis dunia, sistem nation-state, kekuatan militer
sebagai daya tawar dan pembagian kerja baru dalam industri2 serta merujuk
pada gejala luluhnya tapal batas (boundary eroding) menjadikan kedaulatan
menjadi sesuatu yang sangat relatif dan/atau nyaris tak bisa dipertahankan.3

Saat ini dunia dihadapkan pada revolusi industri keempat yang ditandai
dengan semakin digitalnya masyarakat dan mengubah banyak sendi kehidupan.
Beberapa penemuan di bidang teknologi militer dan komunikasi telah secara
berarti mengikis dimensi ruang dan waktu. Di bidang militer, perbedaan antara
2
Giddens, Anthony (1991): The Consequences of Modernity, Rich. (206) Polity Press. Cambridge. (Hal.70-78)
3
Friedman, Thomas L (2005): The World Is Flat: A Brief History of the Twenty-First Century, Gardner Books (Hal.23)
11
2
senjata defensif dan ofensif menjadi semakin kabur. Dinamika perkembangan
lingkungan strategis juga semakin cepat, kompetitif dan penuh ketidakpastian,
telah menuntut perubahan pola pikir, dan pemahaman yang lebih komprehensif
dan holistik. Dalam rangka menjawab tantangan tersebut, negara-negara di
dunia, dituntut untuk melaksanakan perubahan-perubahan atau penyesuaian di
bidang penguasaan dan penggunaan teknologi, informasi dan komunikasi untuk
meningkatkan ketahanan nasionalnya.
Internet of things, sekolah online hingga ibadah online menjadi salah satu
solusi di saat dunia sedang menghadapi pandemi covid-19 yang melanda dan
itu merupakan bentuk dari kemudahan dan keunggulan yang ditawarkan oleh
perkembangan teknologi. Media massa yang notabene mempunyai kaidah dan
prinsip jurnalistik yang ketat mulai tergeser perannya oleh para influencer dan
buzzer. Alur informasi kini tidak lagi sepenuhnya berada pada sebuah institusi
yang mempunyai prinsip-prinsip jurnalistik, pada kasus tertentu beberapa
influencer bahkan mempunyai pengaruh lebih tinggi ketimbang media massa
dalam mempengaruhi persepsi masyarakat ini tentu saja bukan situasi yang
menenangkan. Situasi tersebut dikenal dengan nama VUCA akronim dari Volatility
(kerentanan), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (kerumitan asimetris)
dan Ambiguity (ambigu atau bermakna ganda). Dalam perspektif pertahanan
negara, VUCA berimplikasi mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah
negara, dan keselamatan bangsa.
Dalam rangka mewujudkan tujuan nasional yang tercantum dalam
pembukaan UUD 1945, Pemerintah RI memiliki Visi Indonesia 2045. Visi ini
didukung oleh beberapa potensi yang dimiliki oleh negara Indonesia yang
memiliki keunggulan komparatif geografi yang sangat strategis, jumlah SDM
(Sumber Daya Manusia) yang besar dan bonus demografi pada tahun 2030
serta proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi dan stabil
sampai dengan 20 tahun ke depan. Diharapkan itu semua bisa mempercepat
pertumbuhan pembangunan nasional kedepannya. Selain itu Pemerintah RI juga

12
3
berencana untuk memindahkan IKN (Ibu Kota Negara) dari DKI Jakarta ke Sepaku
Senajam Kalimantan Timur. Sehingga sudah seharusnya TNI AD, yang memiliki
sumber daya yang cukup lengkap dan tergelar dengan baik di seluruh wilayah
NKRI, bersama seluruh stakeholders berkolaborasi untuk kepentingan strategis
nasional ini.
Namun demikian untuk mencapai Visi Indonesia 2045, Indonesia juga
akan menghadapi berbagai tantangan yang harus diantisipasi dikarenakan
VUCA, mencakup aspek geografi, demografi dan kondisi sosial. Apabila tidak
dapat disikapi secara cermat dan tidak diikuti dengan langkah-langkah tindakan
yang bersifat strategis serta komprehensif, maka tantangan tersebut dapat
berpotensi negatif terhadap pertahanan dan keamanan negara. Konsekuensi
logis dari gambaran tersebut, menuntut Pemerintah berkewajiban menjamin
terselenggaranya pertahanan negara secara optimal guna mengantisipasi
berbagai potensi negatif yang mungkin timbul.
Dinamika ini harus dapat diantisipasi oleh TNI AD dalam bentuk perumusan
strategi baru yang lebih adaptif dengan perubahan zaman. TNI AD sebagai
komponen utama pertahanan negara berkewajiban menjamin terselenggaranya
pertahanan negara di darat secara efektif guna mengantisipasi berbagai ancaman
dan tantangan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI
serta keselamatan seluruh tumpah darah dan bangsa Indonesia.
Keberadaan Satter (satuan teritorial) dalam kerangka sistem pertahanan
semesta merupakan faktor fundamental yang diharapkan dapat cepat beradaptasi
dari satu perubahan ke perubahan lain. Saat ini, Binter TNI AD diimplementasikan
untuk kepentingan Sishankamneg (Sistem Pertahanan Keamanan Negara) melalui
kegiatan pembinaan Pot Han (potensi pertahanan) baik itu geografi, demografi
dan kondisi sosial yang bertujuan mewujudkan Kuat Han (kekuatan pertahanan)
yang tangguh dengan segenap isinya yang telah disiap siagakan, agar dapat
dimobilisasi / digunakan ketika negara dalam kondisi krisis. Di samping itu, Binter
juga diaktualisasikan membantu pembangunan ekonomi pemerintah daerah
dalam kegiatan teritorial seperti bakti TNI.

4
13
Mencermati perkembangan lingkungan strategis dan tantangan serta
kemungkinan ancaman yang dihadapi di masa kini dan masa depan, maka perlu
adanya pembaharuan konsep strategi Binter TNI AD yang diorientasikan untuk
menghadapi kompleksnya ancaman dan tantangan masa depan, seiring dengan
perkembangan teknologi senjata militer yang makin canggih dan akurat serta
kemajuan teknologi informasi yang telah mengubah pola berperang semakin soft
dan murah (low cost high impact). Kondisi ini dapat mengubah dan membentuk
persepsi publik untuk direkayasa / sengaja diciptakan oleh aktor negara maupun
non negara yang ingin menghancurkan atau memecah belah kesatuan persatuan
demi kepentingan tertentu.
Dalam realisasinya dihadapkan dengan kondisi TNI AD saat ini, khususnya
terkait dengan Doktrin Operasi Militer Matra Darat di bidang Teritorial, terdapat
beberapa permasalahan urgen yang perlu mendapatkan perhatian serius salah
satunya yaitu bagaimana konsep Doktrin Operasi Militer Matra Darat di bidang
Pembinaan Teritorial TNI AD yang ideal dengan inovasi yang kreatif melalui
pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dalam
menghadapi ancaman peperangan di masa kini dan masa depan?
Berdasarkan latar belakang tersebut, naskah akademik ini dipersiapkan
untuk Menjelaskan konsep doktrin Binter TNI AD yang ideal dalam menghadapi
ancaman di masa kini dan masa depan dan menjelaskan konsep penguatan
Pembinaan Teritorial TNI AD yang komprehensif di era VUCA (Volatility,
Uncertainty, Complexity, Ambiguity).

14
5
Keberadaan Teritorial tentunya tidak lepas dari sejarah hubungan relasi
kekuasaan antara sipil-militer semenjak jaman kemerdekaan. Suka atau tidak,
militer tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya negara Indonesia. Itu artinya,
secara informal militer juga memiliki peran penting dalam mencapai kemerdekaan
negara dan juga perkembangan Indonesia selanjutnya. TNI, dengan kata lain, ikut
serta dalam pembuatan dan pembangunan negara. Dari pengalamannya dalam
proses pembuatan dan pembangunan negara inilah yang kemudian membentuk
persepsi ancaman dan basis ideologis bagi TNI untuk terlibat secara aktif dalam
kehidupan sosial-politik Indonesia di masa Orba.
Untuk memahami hubungan relasi kekuasaan antara sipil-militer di
Indonesia maka harus memahami hubungan tersebut mulai NKRI terbentuk
hingga saat ini. Sebelum proklamasi kemerdekaan, secara formal Indonesia
belum memiliki Angkatan Bersenjata, sehingga peran Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia pasca proklamasi saat itu menjadi sangat penting. Ada dua
pendekatan berbeda dalam kaitan dengan tercapainya kemerdekaan. Pemerintah
dan para politisi sipil percaya bahwa kemerdekaan dapat dicapai dengan jalan
diplomasi. Angkatan bersenjata dan Pemuda percaya kemerdekaan seharusnya
diraih melalui perjuangan bersenjata. Posisi berbeda antara pemerintah dan ABRI
ini menandai hubungan antara ABRI dan masyarakat, serta ABRI dan pemerintah
di dalam negara Republik Indonesia.4
Pasca pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, yang kemudian
diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional, didasari oleh kekhawatiran muncul
kolonialisme baru, digelarlah konferensi semua angkatan bersenjata pada tanggal
11 November 1945, dipimpin oleh Mayor Urip. Keputusan historis dibuat oleh
konferensi ini dengan memilih menteri pertahanan dan panglima besar. Sultan

4
Soedibyo (1990): Armed Forces of the Republic of Indonesia: Prospects for the 1990s, dalam The Indonesian Quar-
terly, Vol. 18,
No. 3, Kwartal ke-3, 1990 (hal. 223)_ 615
Hamengku Buwono IX ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan, sementara Kolonel
Sudirman, mantan komandan PETA yang karismatik, pada waktu itu menjadi
komandan divisi ketiga di Banyumas, dipilih sebagai Panglima Besar.
Syahrir, yang mengepalai dan membentuk pemerintahan parlementer
di Jakarta tidak mengetahui konferensi para komandan di Yogyakarta itu, dan
menunjuk Amir Syarifuddin sebagai menteri pertahanan. Hal ini membuat
kekacauan dan friksi antara kepemimpinan militer di bawah Sudirman dan
pemerintahan Syahrir. Pada tanggal 18 Desember 1945, Sukarno secara formal
menunjuk Sudirman sebagai Panglima Besar Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia tetapi menolak untuk menunjuk Sultan sebagai menteri pertahanan.
Dalam hal ini, secara tegas terlihat bahwa pemerintah tidak menunjuk
pimpinan militer, tetapi kepemimpinan TKR terbentuk dari bawah dan
dipaksakan untuk menduduki kepemimpinan politik. Hal ini merupakan
tindakan politik penting, yang mempersatukan Angkatan 45 dengan satu misi
demi mempertahankan negara dari dominasi asing. Menurut Bilveer Singh,
penerimaan keputusan para komandan militer mengenai penunjukan Sudirman
dipandang sebagai penerimaan pemerintah terhadap otonomi militer dalam
politik Indonesia, dan dengan begitu membuat kepemimpinan militer lebih
percaya diri ketika sampai menyentuh hubungan sipil-militer.5
Konsep Dwifungsi ABRI sendiri sangat terkait dengan kelahiran dan peran
angkatan bersenjata Republik Indonesia selama periode revolusioner dari
bulan Agustus 1945 sampai Desember 1949. Ada empat perkembangan yang
menurut Singh memengaruhi persepsi dan norma perilaku angkatan bersenjata
Republik Indonesia.6 Pertama, bahwa para politisi sipil cenderung terpecah dan
hanya mementingkan diri atau partainya sendiri, sementara angkatan bersenjata
muncul sebagai kekuatan satu-satunya yang tampak memiliki sifat nasional. Ini
melihat fakta bahwa aksi-aksi polisionil Agresi Militer Belanda (21 Juli 1947 dan
19 Desember 1948) terjadi setelah politisi sipil mengadakan perjanjian dengan
Belanda, Perjanjian Linggarjati (25 Maret 1947) dan Perjanjian Renville (17
5
Bilveer Singh (1996): Dwifungsi ABRI: Asal-usul, Aktualisasi dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan, Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama, (Hal. 33)
16
7
6
Ibid, (Hal.45)
Januari 1948), menimbulkan pertanyaan di kalangan pimpinan militer tentang
efektivitas dan kecakapan para politisi maupun strategi diplomasi untuk merebut
dan mengamankan kemerdekaan Republik Indonesia. Selain itu TNI juga
memadamkan pemberontakan yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia
pada tanggal 18 September 1948 di bawah pimpinan Muso.
Kedua, kenyataan bahwa Jenderal Sudirman, melalui tindakan dan
sikap diamnya, pada peristiwa 3 Juli 1946 ketika komandan Divisi Ketiga yang
berkedudukan di Yogyakarta, dalam rangka membantu Tan Malaka beserta
organisasi front bersatu melancarkan kudeta melawan pemerintahan Syahrir
sampai terjadinya penculikan Syahrir membuat posisi jelas dari politik militer
kala itu, mampu menarik garis dalam hubungan sipil-militer, bahkan sampai tidak
mau ditundukkan dan memilih melakukan perang gerilya ketika para politisi sipil
bersiap menyerah karena ditangkap Belanda saat agresi Militer Belanda II.
Ketiga, fakta bahwa para Pemuda dan anggota angkatan bersenjata
memandang diri mereka sendiri sebagai pejuang kemerdekaan yang telah ikut
memperjuangkan kemerdekaan bagi negara. Kenyataan ini, khususnya pada waktu
pemimpin politik siap menyerah, menegaskan bahwa militer dan pendekatan
perjuangan senjata lebih kuat daripada pendekatan sipil dan diplomasi dalam
memenangkan kemerdekaan dan kebebasan negara. Dengan begitu, muncul
perasaan berhak atas keikutsertaan menentukan arah politik negara.
Keempat, dari ketiga fakta di atas maka saat itu ABRI menciptakan
dirinya sendiri dan memandang dirinya sebagai pihak yang memiliki hak sama
besar dengan kekuatan-kekuatan lain di negara ini, untuk ikut menentukan
jalannya masyarakat. Dalam pandangan Harold Crouch, perasaan militer jelas
mengungkapkan bahwa mereka ada sebelum Republik. “Kami ini Republik. Karena
kami ada di sana waktu itu, orang-orang sipil bisa menyebut diri mereka Menteri”7
Kaum militer beranggapan bahwa pada mulanya mereka pejuang kemerdekaan
dan baru kemudian sebagai tentara. Oleh karena itu mereka memiliki hak politik
yang sama sebagaimana kekuatan-kekuatan lain dalam masyarakat. Pertama-
tama mereka bersifat “politis”, dan baru kemudian “militer”.8 Terbentuknya sikap
angkatan bersenjata Indonesia disebabkan berbagai situasi yang melibatkan
7
Harold A. Crouch (1978): The Army and Politics in Indonesia, Itacha, Cornell University Press; Untuk edisi terjemahannya
lihat Harold A. Crouch (1986), Militer dan politik di Indonesia, Jakarta, Sinar Harapan. (Hal.33)
8
Bilveer Singh, Op.cit, (Hal. 47) 17
8
mereka, dan posisi para politisi sipil yang pada saat itu bersikap oportunis dan
mementingkan diri mereka sendiri dihadapkan dengan kepentingan bangsa dan
negara.
Ada beberapa fase yang mempengaruhi pemikiran keterlibatan militer
masuk ke pemerintahan sipil hingga saat ini. Fase pertama, periode pemberontakan
Madiun yang dipimpin PKI Muso. Setelah berhasil menyelesaikan operasi
pemulihan keamanan, TNI saat itu mengambil alih fungsi-fungsi serta peran
para pemimpin distrik (Kabupaten) agar roda pemerintahan dan ekonomi tetap
berputar sekaligus memulihkan stabilitas kehidupan sosial, juga menjalankan
fungsi-fungsi keamanan yang mereka emban.9
Fase kedua, periode perang gerilya dari tanggal 4 Desember 1948
sampai 14 Agustus 1949. Di sini pihak militer mampu melaksanakan haknya
sebagai kelompok militer sekaligus sebagai politisi.10 Sukarno dan Hatta hampir
memutuskan menyerah kepada Belanda kala itu, tetapi Sudirman menentang
dengan lari ke dalam hutan untuk melanjutkan perang gerilya. Sebelum Belanda
menyerang Yogyakarta, Sudirman memerintahkan wakilnya, Nasution, untuk
mempersiapkan wilayah Indonesia sebagai ajang perang gerilya. Nasution
melakukan reorganisasi Angkatan Darat menjadi dua jenis angkatan yaitu tentara
bergerak (mobile army) dan tentara teritorial. Nasution juga mempersiapkan
wilayah Indonesia untuk melakukan perang total.
Pada tanggal 2 Desember, Nasution mengumumkan penyelenggaraan
pemerintahan militer di Jawa. Kemudian pada 24 Desember, ia mengeluarkan
“Perintah Pelaksanaan untuk Pemerintahan Militer di Jawa” dengan menetapkan
struktur pemerintahan militer di Jawa. Di bawah Nasution ada empat komandan
divisi yang juga ditunjuk sebagai gubernur militer dari wilayah masing-masing. Di
bawah komandan divisi ada komandan Sub Teritorium Militer (STM) yang setingkat
residen sebagai kepala Keresidenan. Di bawah Keresidenan ada Kabupaten
(distrik) yang setingkat dengan Komando Distrik Militer (KDM). Di bawahnya ada
Kecamatan (sub-distrik) yang setingkat dengan Komando Order Distrik (KODM).

9
Ibid (Hal. 77)
10
Ibid, (Hal.78)
18
9
Struktur ini menegaskan bahwa semua kepala pemerintahan sipil, dari gubernur
sampai camat, ada di bawah para pejabat pemerintahan militer. Para pejabat
sipil hanya bertindak sebagai penasihat saja bagi pejabat militer.11
Setelah penyerahan kekuasaan pada Desember 1949 dan pembentukan
Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Agustus 1950, peran politik militer
sangat dibatasi. Ada tiga alasan untuk pembatasan ini. Pertama, Undang-Undang
Dasar Sementara 1950 didasarkan pada tradisi demokrasi liberal Barat yang
dengan tegas menempatkan militer di bawah supremasi sipil. Kedua, Angkatan
Darat ada di tangan kaum modernis. Ketiga, setelah Jenderal Sudirman meninggal
pada Januari 1950, pihak militer kehilangan sosok pemimpin karismatik yang
selalu siap menentang kepemimpinan politik setiap kali merasa bahwa militer
diperlakukan secara tidak adil.12
Dalam fase ketiga, periode demokrasi liberal, ada dua peristiwa yang
berpengaruh besar terhadap kepemimpinan militer-sipil dan kemudian membawa
berbagai implikasi besar bagi peran militer dalam politik. Pertama peristiwa 17
Oktober 1952 yang menyebabkan Nasution didepak dari KSAD. Kedua, peristiwa
Juni 1955 yang menghasilkan Piagam Jogjakarta menuntut adanya dikotomi yang
jelas antara kepentingan sipil dan kepentingan militer dan penolakan Kolonel
Bambang Utoyo sebagai Kepala Staf baru karena tidak sesuai senioritas oleh
pejabat KSAD yang lama Zulkifli Lubis dikenal sebagai “peristiwa Juni”, dan
merupakan kegagalan pemerintahan Ali Sastroamijoyo. Sejak saat itu, Angkatan
Bersenjata, khususnya Angkatan Darat, secara de facto menjadi kekuatan sosial
politik yang aktif.13
Setelah dilantik kembali sebagai KSAD pada 1955, Nasution mulai
melaksanakan doktrin untuk merasionalisasikan keterlibatan militer dalam
politik. Nasution sangat percaya keterlibatan militer harus didasarkan pada
hukum sehingga keterlibatan itu dinilai sah dan dapat diterima. Gambaran jelas
pemikirannya baru muncul pada November 1958 ketika ia menyampaikan pidato
bersejarah mengenai “Jalan Tengah” di Akademi Militer Nasional, Magelang.
11
Ibid, (Hal.78-79)
12
Salim Said (1991): Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military in Politics, 1945-49, Singapore,

13
Institute of Southeast Asian Studies, (Hal. 131-132) 19
10
Yahya A. Muhaimin (1982): Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia, 1945-1966, Yogyakarta, Gadjah Mada Universit
Press, (Hal. 47).
Alasan yang diambil adalah seruan untuk membuang sistem demokrasi liberal
atas dasar stabilitas dan persatuan. Menurut Nasution, Undang-Undang Dasar
1945 mengizinkan tiga bentuk wakil politik: partai politik, kelompok fungsional,
dan utusan daerah. Menurut Nasution, Angkatan Bersenjata adalah kelompok
fungsional yang penting. Sementara kelompok-kelompok lain mencakup para
petani, artis, jurnalis, sarjana keagamaan, pekerja, kaum muda, perempuan dan
intelektual.
Fase keempat, pada 5 Juli 1959, secara resmi Sukarno mengembalikan
negara ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden. Setelah berlakunya Dekrit ini,
keterlibatan militer beserta wakil-wakilnya dalam politik dan lembaga politik
meluas dengan cepat. Militer pun bertumbuh semakin kuat dan hal ini memberi
kekhawatiran bagi Sukarno. Guna mengimbangi kekuatan militer, Sukarno
mereorganisasi undang-undang darurat perang dengan menetapkan dirinya
sebagai kepala Penguasa Perang Tertinggi (PEPERTI) dan semakin dekat dengan
PKI. Pimpinan angkatan bersenjata, terutama Nasution, memandang semakin
menguatnya pengaruh PKI sebagai ancaman bagi negara.
Fase kelima, Setelah kudeta PKI 1965 yang menggemparkan dan
mengakibatkan terbunuhnya enam pimpinan Angkatan Darat, termasuk Ahmad
Yani, kepemimpinan Angkatan Darat diambil alih Suharto. Kejatuhan Sukarno
mengawali era baru perpolitikan Indonesia di mana militer memiliki posisi
paling kuat. Lewat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), 1966, Sukarno
menyerahkan semua kekuasaan eksekutif kepada Suharto, dan pada Maret
1967 Sukarno dibebas tugaskan. Suharto mengembangkan doktrin baru dengan
meninggalkan “Jalan Tengah” Nasution demi prinsip di depan memberi teladan
(ing ngarso sung tulodo), di mana ABRI harus memimpin dari depan.14
Dwifungsi Angkatan Bersenjata telah disahkan pada Seminar Angkatan
Darat Pertama tahun 1965, Seminar Angkatan Darat Kedua mengukuhkan
Dwifungsi dan menghasilkan sejumlah terobosan penting yang secara resmi
disahkan oleh MPRS 1966 ketika Resolusi 14 antara lain menyatakan bahwa
14
Azrudin Azwar & Mirza Jaka Suryana (2021): Dwi Fungsi TNI dari masa ke masa, Jurnal Academia Praja Volume 4
Nomor 1 – Februari 2021, (Hal. 167)
20
11
“fungsi non-militer anggota ABRI, sebagai warga negara dan revolusioner yang
Pancasilais harus diakui dan dijamin kesinambungannya.15
Fase keenam, periode Orde Baru. Fungsi sosial-politik Angkatan Bersenjata
dilaksanakan melalui kekaryaan atau fungsionaris yang merupakan anggota
angkatan bersenjata tetapi bertugas di luar kedinasan ABRI, baik di legislatif
maupun eksekutif. Dwifungsi di era Orde Baru ini mengacu pada penggabungan
fungsi umum ABRI sebagai kekuatan pertahanan dan fungsi kekaryaan ABRI.
Pandangan ini segera dominan dalam masa setelah peristiwa GESTAPU/
GESTOK karena dirasakan perlunya mengisi kekosongan yang terjadi akibat
aksi pembersihan terhadap PKI di berbagai bidang kemasyarakatan, juga untuk
memulihkan ketertiban setelah berbagai peristiwa yang mengguncang negara
terjadi.16 Di sinilah peran Koter (Komando Teritorial) terasa sangat signifikan
pada masa itu.
Pada periode Orba, pihak Asing memandang Indonesia dari perspektif
kekuatan nasional (national power) yaitu: DIME (Diplomasi, Informasi, Militer dan
Ekonomi) yang merupakan pilar kekuatan saling berpengaruh satu sama lainnya.
Mereka memandang ekonomi merupakan CoG (center of gravity) kekuatan
Indonesia. Ini sejalan dengan tujuan nasional Indonesia yang tercantum dalam
pembukaan UUD 1945 yang kedua yakni memajukan kesejahteraan umum.
Kebijakan ekonomi Soeharto melalui Trilogi Pembangunan, GBHN dan Repelita
merupakan implementasi dari sistem demokrasi Pancasila. Untuk menjalankan
kebijakan ekonominya, Soeharto membutuhkan kestabilan keamanan dan
politik. Di sinilah peran Koter dalam mengimplementasikan peran ABRI sebagai
kekuatan Hankam dan kekuatan Sospol melalui fungsi ABRI sebagai stabilisator
dan dinamisator.
Fungsi ABRI sebagai dinamisator yang pada intinya perwujudan untuk
mendukung pembangunan ekonomi diimplementasikan dengan kemampuan
ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika masyarakat
dan untuk memahami serta merasakan aspirasi serta kebutuhan-kebutuhan
15
Salim Said, Op.cit., (Hal. 28).
16
Bilveer Singh, Op.cit, (Hal. 110)
21
12
rakyat, memungkinkan ABRI untuk secara nyata membimbing, menggugah
dan mendorong masyarakat untuk lebih giat melakukan partisipasi dalam
pembangunan. Ini dicontohkan di Koter melalui program ABRI Masuk Desa
(AMD) yang bertransformasi menjadi metode Binter Bakti ABRI.
Fungsi ABRI sebagai stabilisator pada intinya merupakan perwujudan
untuk menjaga kestabilan Panca Gatra (Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial
Budaya, dan Hankam) yang diimplementasikan dengan kemampuan ABRI untuk
berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika masyarakat dan untuk
memahami aspirasi-aspirasi yang hidup dalam masyarakat. Ini dicontohkan
dengan tugas Kekaryaan yang bertransformasi menjadi metode Binter
komunikasi sosial politik (Komsospol) di Koter. Perwira ABRI yang mendapatkan
tugas kekaryaan harus dapat melaksanakan pengamanan politisi, psikologis,
bagi kebijaksanaan pemerintah. ABRI di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
berperan mengamankan Pancasila dan UUD 1945 agar jangan sampai kedua
landasan tersebut diubah. Sedangkan di DPR, dengan jatah 20% di Fraksi ABRI
di setiap tingkatan legislatif, berperan sebagai stabilisator dan dinamisator pada
sendi perpolitikan Indonesia.
Sedangkan perwujudan ABRI sebagai kekuatan Hankam, diimplementasikan
di Koter dari sisi geografi dengan gelar kekuatan Koter ABRI sampai tingkat
kecamatan (Koramil) dan dari sisi demografi dengan pembentukan berbagai OKP
(Organisasi Kemasyarakatan dan Kepemudaan) sebagai underbow diantaranya
FKPPI, PPM, PP, dll. Ini bertransformasi menjadi metode Binter Bintahwil
(pembinaan ketahanan wilayah).
Pada periode Orba, ABRI khususnya TNI AD merupakan suatu entitas yang
berada di dalam lingkaran kekuasaan yang mana selalu mendapatkan keistimewaan
(previlege) dibandingkan institusi lain. Pada masa ini relasi hubungan komunikasi
antara kekuasaan dengan ABRI bersifat langsung karena dalam suatu lingkaran.
(lihat gambar 1). Praktek Dwifungsi ABRI menguasai seluruh aspek sosial politik
bangsa di era Orba yang berdampak pada simbiosis mutualisme antara penguasa

22
13
dan TNI AD. Di sini terlihat take and give yang mana penguasa memanfaatkan
ABRI sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan namun disisi lain ABRI
khususnya Koter mendapat previlege di berbagai sendi kehidupan sosial politik.

Gambar.1 Hubungan relasi Kekuasaan-ABRI pada zaman Orba


Praktek ini mengakibatkan suatu kelengahan dalam pelaksanaan tugas
pokok ABRI khususnya dalam peningkatan profesionalismenya sebagai tentara
modern dalam menjaga kedaulatan NKRI. Blunder ini dikatakan oleh Lord
Acton (1986) “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”
(kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup
secara absolut).” Inilah yang menyebabkan kemunduran profesionalitas ABRI saat
itu sebagai kekuatan Hankam dikarenakan terlalu menikmati fungsinya sebagai
kekuatan Sospol.
Fase ketujuh. Setelah krisis moneter menghantam Indonesia (1996-
1998), pilar ekonomi mulai runtuh. Runtuhnya ekonomi Indonesia saat itu
mempengaruhi kekuatan pilar DIME yang lain khususnya peran militer sebagai
kekuatan Hankam dan Sospol. Akhirnya pada 1998, pemerintahan Soeharto jatuh
dan tuntutan untuk menghapus Dwifungsi semakin menguat untuk menguatkan
doktrin Barat yakni Supremasi Sipil yang diimplementasikan dalam kebijakan
pemisahan TNI Polri (Dikotomi Pertahanan & Keamanan), penghapusan Fraksi

14
23
ABRI, larangan militer terjun Politik Praktis, larangan Kepala Daerah dari militer
dan larangan pejabat birokrasi sipil dari militer. Akhirnya dengan disahkannya
UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI, memperkuat legitimasi supremasi sipil yang
didamba-dambakan elit politik sipil dan aktivis masa Orba melalui pengendalian
kekuatan TNI yang hanya bisa digunakan berdasarkan kekuatan politik negara.
Ada suatu kesan fobia dari elit politik saat itu bahwa militer suatu ketika akan
melaksanakan kudeta sehingga mereka menguatkan peran Polri sebagai rivalitas
terhadap entitas militer yang sudah dibatasi kekuasaannya.
Dengan beralihnya pemerintahan menjadi supremasi sipil dengan aturan
yang mereka jalankan setelah era reformasi bergulir maka TNI yang dahulu
berada pada lingkaran kekuasaan bersama Polri, berkedudukan sejajar di luar
lingkaran kekuasaan seperti yang ditampilkan pada (gambar 2).

Gambar 2. Hubungan relasi kekuasaan-TNI pasca Reformasi

Setelah keluar dari lingkaran kekuasaan, maka Kementerian lembaga


lainnya dan Polri segera menjalin garis komunikasi strategis baru kepada unsur
Penguasa, sedangkan TNI terkesan tidak ini terlihat dari postur dan struktur
organisasi TNI yang masih sama dan tidak berubah seperti masa Orba. Ada

24
15
kesan bahwa bahwa militer masih merasa berada dalam lingkaran kekuasaan
dengan privilege yang mengabaikan aspek legalitas dan regulasi. Ini diistilahkan
“terjebak romantisme masa lampau” sehingga menimbulkan permasalahan baru
yang dahulu tidak pernah terpikirnya sebelumnya yakni permasalahan regulasi.
Permasalahan regulasi ini tampak dari belum disahkannya aturan turunan
UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI hingga saat ini. Regulasi aturan turunan yang
mengatur tugas-tugas tersebut baik OMP maupun OMSP, mulai dari Perpres,
Peraturan Pemerintah dan Permenhan, sampai dengan saat ini masih sangat
jauh dari yang diharapkan dan tentunya kondisi tersebut sangat menghambat
profesionalisme peran TNI. sebagaimana yang terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Permasalahan Regulasi pelaksanaan Tugas TNI


Sumber: Mayjen TNI Burlian Syafei, Pembekalan Dandim, November 2021

Pertanyaannya adalah mengapa permasalahan regulasi ini tidak pernah


ada atau hampir tidak pernah terdengar pada saat relasi kekuasaan ABRI
di masa orde baru. Dari kajian literatur dan informasi narasumber dapat
disimpulkan bahwa dengan berubahnya relasi kekuasaan saat ini maka TNI harus

25
16
menempatkan dirinya sejajar dengan K/L lainnya yang artinya tidak bisa lagi
mengabaikan regulasi yang diperlukan dalam setiap tindakannya, tidak seperti
dulu lagi pada saat TNI berada dalam kekuasaan dimana semua serba bisa diatur
dan dikondisikan.
Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh trauma politik atau fobia
Dwifungsi yang menjadikannya permasalahan kedua. Ketakutan para elit politik
dan aktivis Reformasi akan kebangkitan “romantisme masa lampau militer-
penguasa” memberikan barier bagi TNI untuk membangun komunikasi strategis
dengan penguasa sehingga setiap komunikasi atau approach / pendekatan
terhadap penguasa / kekuasaan dicoba untuk dibangun maka dapat dengan
cepat ditanggapi sebagai keinginan TNI untuk kembali ke Dwifungsi atau masuk
ke lingkaran kekuasaan.
Walaupun TNI sudah berkomitmen dengan netralitasnya di setiap Pemilu
dan Pilkada sejak 2004 lalu, TNI terkesan semakin dijauhkan dari lingkaran
kekuasaan dengan menempatkan kedudukan lembaga TNI di bawah Kementerian
Pertahanan kontras dengan Polri yang masih tetap bisa bertahan di bawah
Presiden. Bahkan sampai saat ini, polemik penunjukan Kabinda Sulteng menjadi
Pj. Bupati Maluku Utara dan wacana penempatan TNI aktif di jabatan sipil (2022)
mendapat tentangan keras dari LSM Imparsial yang secara konsisten menentang
terbangunnya keterlibatan TNI di Pemerintahan.
Selain itu salah satu faktor penyebab kebuntuan komunikasi strategis
TNI yang ada saat ini ditengarai karena tidak adanya perubahan strategi
komunikasi dalam Binter. Metode Binter TNI AD saat ini masih menggunakan
metode komunikasi sosial warisan masa Orba yang mana level komunikasi yang
hanya fokus pada kalangan menengah ke bawah dan tidak menyasar kalangan
menengah ke atas bahkan ke para elit politik. Ini menjadi salah satu penyebab
berbagai kendala yang timbul di tingkat strategis seperti regulasi dan kerja sama
dengan K/L lainnya.

26
17
Fobia Dwifungsi ini memunculkan kesan bahwa elite politik yang tidak
mampu memberikan arah tujuan pertahanan negara karena kekhawatiran
akan alasan ”militerisasi”; dan ketidakpercayaan di antara para politisi sipil dan
masyarakat kepada militernya sendiri. Seperti penolakan terhadap RUU Kamnas
(2012). Padahal kita bisa melihat bahwa di sini ada Kementerian Pertahanan
yang sudah jelas memiliki fungsi sebagai aplikasi “pengendalian demokratis”
atas militer dalam rangka membangun visi kenegaraan serta menjalin kerja sama
internal maupun eksternal terkait dengan militer dan pertahanan.
Prof. Amzulian Rifai, Ph.D, Guru Besar dan Dekan Universitas Sriwijaya
mengatakan dalam tulisannya di tahun 2015 bahwa pihak yang kontra dengan
RUU Kamnas mengedepankan beberapa alasan. Di antara alasan itu misalnya
dikemukakan oleh Hermawan Sulistiyo dari LIPI yang menilai RUU Kamnas
tersebut mengembalikan Indonesia ke zaman Orba karena akan menjadikan
tentara sangat kuat.
Bukan itu saja, RUU tersebut akan mengurangi kewenangan Polri dalam
menjaga keamanan karena sebagian kewenangannya dilimpahkan kepada
tentara. Jika itu terjadi maka reformasi 1998 yang memisahkan TNI-Polri akan
menjadi sia-sia saja.17
Sebuah kutipan terkenal dari George Eliot, penulis novel dan jurnalis
The Westminster Review, koran yang terbit di tahun 1800-an pada jaman Ratu
Victoria, Inggris bahwa “History Repeats Itself” (sejarah pasti akan berulang)
seakan terjadi lagi. Kedua permasalahan sistematis yang dialami TNI saat ini,
merupakan pengulangan sejarah dari apa yang dialami militer pada fase ketiga,
periode demokrasi liberal yang mana saat itu peran TNI dalam kehidupan
berbangsa dikecilkan dan dilemahkan secara legalitas dan legitimasi.
Inilah yang dalam makalah ini kami identifikasi sebagai paradigma shift
atau pergeseran paradigma yang harus diantisipasi TNI secara konseptual dan
sistematis secara baik dan memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada.

17
Amzulian Rifai, (2015):Pro Kontra RUU Kamnas, Kemhan, Wira edisi khusus 2015, (Hal. 20)

18
27
Dengan adanya perubahan relasi kekuasaan, komunikasi antara TNI dan
Penguasa dahulu semua berjalan tanpa hambatan berada pada satu lingkaran
kekuasaan, yang dahulu dapat langsung dilakukan tanpa ada penghalang
regulasi maupun birokrasi, saat ini tidak bisa dilakukan lagi. Privilege sudah
tidak lagi bisa diandalkan oleh TNI sehingga membangun faktor komunikasi
terutama Komunikasi Strategis dan Komunikasi antar organisasi menjadi vital
dan fundamental untuk tetap menjaga relasi dengan kekuasaan sehingga Binter
tetap bisa dipertahankan dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI.
Komunikasi antar organisasi dengan kekuasaan menjadi vital dan
fundamental untuk tetap menjaga relasi dengan kekuasaan, dengan kata lain
agar apa yang menjadi pokok-pokok pikiran institusi dalam melaksanakan
tugasnya dapat diterima sebagai pesan yang utuh dan jelas kepada penguasa
atau stakeholders lainnya sehingga apa yang menjadi keinginan institusi dalam
rencananya dapat betul-betul dipahami, dikomunikasikan, dicari jalan tengahnya
dan diwujudkan dalam bentuk dukungan pemerintah dalam setiap kegiatan
dalam bentuk regulasi.
Contoh implementasi komunikasi strategis ini dengan cantik dimainkan
oleh Polri kepada para elit politik berkuasa saat itu, yang memang pasca reformasi
membutuhkan suatu entitas sipil selain militer (TNI AD) sesuai semangat
supremasi sipil, yang memiliki kekuatan (bersenjata) untuk menguatkan struktur
legalitas dan legitimasinya di masyarakat pemilihnya. Polri dengan komunikasi
strategisnya berhasil mempertahankan kepentingan institusinya dengan
kedudukan lembaganya di bawah Presiden serta melegitimasi fungsi Korlantas
dalam pengaturan lalu lintas, pembuatan STNK dan SIM yang seharusnya ranah
Kementerian Perhubungan menjadi miliknya. Kesan simbiosis mutualisme ini
terasa kecenderungan keberpihakan Polri di lapangan untuk mendukung partai
merah bersimbol banteng pada setiap pelaksanaan Pemilu dan Pilkada mulai
2004, 2009, 2014 dan 2019.

28
19
Contoh implementasi komunikasi antar organisasi dapat dilihat ketika
Polri pada 2002 mereformasi eselon dibawahnya dengan membuat Baharkam
(Badan Pemelihara Keamanan) yang sebelumnya disebut Babinkam (Badan
Pembina Keamanan) dengan struktur dan fungsi mengadopsi Koter ABRI yang
memiliki fungsi pembinaan keamanan yang mencakup pemeliharaan dan
upaya peningkatan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka
mewujudkan keamanan dalam negeri yang memiliki petugas sampai tingkat desa
yang disebut Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban
Masyarakat) sebagai penyetaraan Babinsa (Bintara Pembina Desa).
Dengan adanya paradigma shift, TNI AD dengan Binter-nya harus
mampu menciptakan ruang komunikasi yang secara aktif melancarkan strategi
komunikasi baik kepada penguasa, stakeholders lain maupun K/L serta publik
agar pergeseran paradigma tadi dapat berjalan dengan mulus dan publik tidak
lagi traumatis dengan Dwifungsi TNI pada masa lalu. Namun meyakinkan publik
membutuhkan organisasi yang mumpuni dan “dedicated” karena ini merupakan
proses yang panjang dan membutuhkan usaha untuk meyakinkan publik dan
mendapatkan kepercayaan bahwa paradigma baru TNI melalui fungsi Binter TNI
AD tidak lagi mengarah pada Dwifungsi TNI dalam bentuk apa pun.

29
20
Dari fenomena-fenomena yang disampaikan sebelumnya, pada naskah
yang disusun ini telah ditentukan dua rumusan masalah yaitu Bagaimana konsep
Doktrin Pembinaan Teritorial TNI AD yang ideal dalam menghadapi ancaman di
masa kini dan masa depan dan Bagaimana konsep penguatan Pembinaan Teritorial
TNI AD yang komprehensif dihadapkan pada kondisi yang cepat berubah, penuh
ketidakpastian, rumit dan penuh keragu-raguan (VUCA).
Sebelum membahas dua rumusan masalah tersebut penting untuk terlebih
dahulu mengetahui tentang konsep ancaman masa kini dan masa depan, yang
dapat dimulai dari memahami bagaimana cara kita dan lawan memandang.
Lawan memandang kita dengan menggunakan konsep national power MIDFIELD
yaitu Military, Informational, Diplomatic, Financial, Intelligence, Economic, Law,
and Development, sedangkan konsep bagaimana kita memandang negara kita,
yaitu dengan menggunakan instrumen Asta Gatra yang terdiri dari Geografi,
Demografi, Kekayaan SDA, Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Pertahanan
dan Keamanan.
The tools that can be used to assert national power and influence have often
been summarized by the acronym DIME — Diplomatic, Informational, Military,
and Economic. But “US policy makers and strategists have long understood that

there are many more instruments involved in national security policy development
9.9

and implementation,” according to  a new Joint Chiefs of Staff publication  on


the formulation of national strategy. “New acronyms such as MIDFIELD —

Military, Informational, Diplomatic, Financial, Intelligence, Economic, Law, and


Development — convey a much broader array of options for the strategist and
policymaker to use.” See Strategy, Joint Doctrine Note 1-18, April 25, 2018.18
18
https://fas.org/blogs/secrecy/2018/04/strategy-jcs/

30
21
Dalam mengevaluasi efektivitas Doktrin Sistem Pertahanan Negara,
hendaknya pihak bertahan harus melihat bagaimana lawan akan menyerang.
Analogi yang paling mudah adalah ketika seseorang akan bertinju, tentunya
jika bertinju dengan mata tertutup, ia tidak akan tahu tujuan lawan akan
menyerang ke mana kecuali kalau ia adalah tokoh silat si buta dari gua hantu.
Lawan akan menggunakan instrumen MIDFIELD dan Indonesia menggunakan
instrumen Astagatra dalam melaksanakan pertahanan negara. Doktrin dipahami

sebagai tuntunan atau pedoman sikap dan perilaku yang mendasar, dirumuskan
dari sejarah perjuangan masa lalu, pengalaman dan teruji berdasarkan ilmu

pengetahuan, dan diyakini kebenarannya sebagai pedoman pelaksanaan tugas.


Dalam pemaknaan ini, sebagai hal yang diyakini kebenarannya, doktrin memang
disiapkan guna mengatasi hal-hal yang paling buruk bagi komunitas tertentu
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam teori sosial politik hubungan struktur negara, Anthony Giddens
(1985) berpendapat bahwa pemikiran Negara eks penjajah (kolonialis), pasca
perang dunia kedua berlalu, kolonialisme telah berubah menjadi kapitalisme
dimana doktrin melindungi dan mempertahankan wilayah jajahan berubah
menjadi melindungi dan mengamankan kepentingan negara di luar negeri.19 End
State (situasi akhir) yang ingin dicapai yakni sumber daya alam dan ekonomi. Jika
dilihat dari instrumen lawan, MIDFIELD maka ekonomi adalah End State yang
menjadi kepentingan nasionalnya.
Kondisi tersebut mendorong munculnya ancaman asimetris, proxy dan
hibrida yang merupakan cikal bakal lahirnya ancaman-ancaman nir militer yang
kita rasakan saat ini dikarenakan pemikiran kolonialisme sudah berubah menjadi
ancaman neo-kolonialisme dengan kedok kapitalisme seperti yang disampaikan
oleh Opoku Agyeman (1992).20
Sedangkan Indonesia sebagai Negara eks terjajah berpandangan bahwa
militer lahir dari kekuatan melawan penjajah sehingga cenderung tentara
rumahan (home defense army), baik postur maupun doktrin yang berorientasi
19
Anthony Giddens (2001), The Nations State and Violence, Polity Press (Hal. 133)
20
Opoku Agyeman, (1992)): Nkrumah's Ghana and East Africa: Pan-Africanism and African interstate relations, Fairleigh
Dickinson University Press (Hal 32).
21
Giddens, Op.Cit (Hal 133) 31
22
internal berkaitan dengan tanggung jawab negara menciptakan tertib sosial.21 Ini
tampak dari postur TNI serta Sishankamrata Indonesia dalam mempertahankan
keutuhan dan melindungi kedaulatan NKRI terfokus pada faktor Geografi sebagai
CoG nya dan Hankam sebagai instrumen utamanya.
Dari penjelasan teori Giddens tentang perbedaan mindset eks-kolonialis
(Negara eks penjajah) dan eks-koloni (Negara eks terjajah) dalam mengelola
pertahanan menyebabkan kenapa CoG kita fokus pada geografi sehingga sektor
pembangunan sektor pertahanan termasuk postur militer sejak ABRI terfokus
pada sektor Hankam, bukan pada melindungi SDA dan ekonomi negara seperti
yang dilakukan negara-negara eks kolonial.
Perbedaan cara berpikir dapat dijelaskan pada Gambar 4 yang menunjukkan ada
missmatch dalam pemilihan prioritas pada pola sistem pertahanan negara kita.
Lawan berpikiran End State mereka adalah ekonomi yaitu penguasaan
kekayaan alam dan penguasaan ekonomi, sedangkan center of gravity (CoG)
Indonesia adalah geografi atau pertahanan wilayah, sehingga fokus pertahanan
negara kita adalah pertahanan wilayah dalam bentuk fisik yang dikelola oleh
militer sedangkan pertahanan non fisik atau non militer dikelola oleh Kementerian
atau Lembaga.22

Gambar 4. Konsep Ancaman Masa Kini dan Masa Depan


Sumber: Olahan Tim Pokja Teritorial
22
Buku Putih Pertahanan 2015

32
23
Jika dielaborasi lebih lanjut, berbagai literatur menjelaskan fenomena
kapitalisme sebagai kedok neo kolonialisme bekerja. John Perkins (2009) dalam
bukunya yang berjudul The Secret history of the American empire : economic
hit men, jackals, and the truth about global corruption menjelaskan bagaimana
aksi negara lawan menggunakan instrumen kapitalisme yakni economic hitman
untuk menghancurkan suatu negara. “Indonesia adalah korban pertama saya.”23
Dalam buku tersebut terlihat jelas bagaimana instrumen MIDFIELD digunakan
oleh lawan melalui proxy, serangan asimetris dan hibrida untuk melemahkan
kekuatan nasional Indonesia untuk menguasai ekonomi dan kekayaan SDA.
Ancaman ini masih valid hingga saat ini walaupun ada peristiwa invasi Rusia atas
Ukraina (2022).
Stefan Halper dalam bukunya yang berjudul Beijing Consensus
menjelaskan penguasaan ekonomi dalam bentuk market (pasar) ke negara-
negara berkembang seperti Indonesia yang dilakukan oleh Amerika dengan The
Washington Consensus yang dikenalkan oleh John Williamson (1989) dan China
yang menggunakan The Beijing Consensus yang dikenalkan oleh Joshua Cooper
Ramo (2004). Buku ini menjelaskan kegagalan Indonesia mengadopsi resep
Washington Consensus mengikuti apa yang terjadi pada negara-negara Amerika
Lain untuk menyembuhkan Indonesia pada saat krisis 1997-1998 menimpa negeri
ini. Hasilnya sudah diketahui, bahwa lembaga keuangan global yang menawarkan
“bantuan” hutang kepada Indonesia membuat negeri ini terpuruk dalam jebakan
liberalisasi dan privatisasi.
Banyak badan usaha milik negara yang dijual dan subsidi yang biasa
dinikmati masyarakat makin dikurangi dengan dalih demi efisiensi dan penyehatan
badan-badan usaha milik negara itu sendiri yang akhirnya malah pasar Indonesia
dikuasai asing.
Kedua buku inilah yang mendasari pemikiran tim Pokja, mengapa CoG
lawan terhadap Indonesia memiliki Endstate pada penguasaan ekonomi yakni
penguasaan SDA dan pasar Indonesia,

23
John Perkins (2009), The Secret history of the American empire : economic hit men, jackals, and the truth about global
corruption diterjemahkan oleh Wawan Eko Yulianto, Jakarta, Ufuk Press (Hal.11)
33
24
Selain mismatch dalam dalam pemilihan prioritas pada pola sistem
pertahanan negara. Dikotomi antara pertahanan dan keamanan pasca reformasi
membuat elemen-elemen di luar elemen Geografi dan Hankam menjadi area
abu-abu. Memang dalam buku putih pertahanan (2015) dan Dokumen Strategis
Sishankamrata abad 21 (2021) menyebutkan bahwa K/L memiliki tugas dan
tanggung jawab akan pertahanan nirmiliter. Namun pada kenyataannya K/L
hanya melaksanakan tugas untuk memajukan elemen tersebut sesuai Tupoksi
mereka saja, tapi untuk melindungi. Ini menyebabkan konsep pertahanan nir
militernya yang saat ini dilakukan K/L masih abu-abu atau masih belum jelas
bagaimana kesistemannya. Belum lagi bagaimana kalau pola pikir pertahanan
diubah dari Asta Gatra menjadi MIDFIELD, konsep kesistemannya belum jelas.
Selain itu setelah Perang Dunia Kedua, tidak ada lagi perang besar yang
melibatkan berbagai negara. Perang yang terjadi umumnya antara satu negara
dikeroyok banyak negara dengan tujuan untuk menggulingkan rezim diktaktor
yang dinilai dunia telah melakukan pelanggaran HAM masif atau melakukan
kegiatan yang membahayakan perdamaian dunia. Invasi militer tradisional dari
laut ke daratan yang dilakukan secara bertahap atau linier sudah menjadi taktik
yang usang. Invasi militer belakangan ini diawali dengan bombardemen besar-
besaran dari udara untuk melumpuhkan kekuatan militer dan instalasi strategis
negara yang akan diinvasi.
Begitu canggihnya teknologi militer sekarang ini mengakibatkan pihak
yang bertahan tidak mudah untuk “bersembunyi’ di hutan untuk kemudian
melakukan pertempuran gerilya, atau menyiapkan taktik pertahanan wilayah
yang statis dan linier untuk bertempur dengan menggunakan taktik pertahanan
yang digunakan dalam PD-II Sejarah mencatat bahwa hilangnya sebagian wilayah
NKRI dapat terjadi tanpa pertempuran (lihat kasus Sipadan dan Ligitan). Begitu
pula kedaulatan negara dapat terusik tanpa melibatkan kekuatan militer Dunia,
terutama Asean telah memiliki kesepakatan untuk menyelesaikan setiap konflik
antar negara dengan cara-cara damai.

34
25
Melihat situasi dan kondisi nyata beberapa dekade belakangan ini tentunya
Indonesia tidak akan menghadapi Invasi militer. Kalau pun terjadi invasi militer
dipastikan Indonesia tidak akan dapat menghadapinya karena kekuatan militer
Indonesia masih sangat lemah dihadapkan pada kekuatan militer agresor yang
merupakan kumpulan dari banyak negara
Fenomena inilah yang mendasari bahwa TNI yang pertahanan adalah
core business-nya perlu melahirkan suatu konsep sistem pertahanan Militer
yang mampu melawan ancaman invasi modern dan menjaga keutuhan wilayah
serta konsep pertahanan Nirmiliter untuk merajut dan memberikan asistensi
para K/L yang dalam pertahanan Nirmiliter menjadi komponen utama dengan
mengoptimalkan fungsi Teritorial yang dimilikinya.

26
35
Mengingat kekuatan tempur TNI AD belum (tidak) pernah ideal, dan
sejarah mencatat adanya pelibatan masyarakat sebagai kekuatan pengganda
dalam Perang Kemerdekaan, maka kala itu disusun konsep Binter yang ditujukan
untuk menyiapkan wilayah pertempuran gerilya guna menghadapi agresi militer
seperti yang pernah dilakukan oleh Tentara Belanda saat Agresi Militer I (1947)
dan Agresi Militer II (1948).
Mengingat pertahanan yang terbaik adalah menyerang merupakan
pepatah kuno yang sering terbukti benar, tentunya Binter yang semula disusun
didasarkan pada asumsi bahwa bila diinvasi, Indonesia akan kalah bertempur di
udara, laut dan di darat lalu harus bertahan dengan melakukan perang gerilya,
pantas untuk ditinggalkan. Sudah saatnya Binter disusun untuk mendukung
penyiapan pertahanan negara (bukan pertahanan militer) yang dinamis.
Diketahui bahwa perang antar negara sekarang ini sudah tidak murni lagi
hanya mengandalkan cara-cara militer. Invasi dan infiltrasi pun tidak hanya terjadi
dengan cara militer dan tidak hanya untuk merebut wilayah, tetapi juga untuk
mengusik berbagai sendi kehidupan (ipoleksosbud) seperti pemikiran Giddens.
Dengan demikian tentu sudah tidak jamannya lagi bila dengan Binter TNI AD
masih tetap berkeinginan membangun wilayah pertahanan (Geografi) untuk
menghadapi invasi militer yang dilakukan secara konvensional, dan membangun
komponen cadangan yang hanya dibekali dengan kemampuan bertempur ala
militer. TNI AD harus benar-benar paham bahwa perang antar negara itu sudah
tidak jamannya lagi dilakukan hanya dengan bertempur. Wilayah pertahanannya
pun tidak hanya darat, laut, dan udara saja, tetapi meluas sampai ruang angkasa
dan dunia maya serta hati dan pikiran manusia.

36
27
Hal lain yang perlu diingat adalah, kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI
pernah terusik tanpa hadirnya kekuatan militer agresor untuk melakukan invasi
militer. Lihat saja, Indonesia pernah kehilangan provinsi Timor-Timur “hanya”
dengan jajak pendapat / referendum yang diselenggarakan oleh PBB (1999),
dan kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan beralih ke Malaysia (2002) karena
Indonesia kalah dalam sengketa di Mahkamah Internasional. Sejarah pahit ini
memberikan pembelajaran bahwa tugas menjaga kedaulatan dan keutuhan
wilayah NKRI bukan hanya merupakan tugas TNI, melainkan tugas segenap
komponen bangsa Indonesia.
Pendekatan untuk menjabarkan konsep ideal grand strategy Binter TNI AD
menghadapi ancaman masa kini dan masa depan menggunakan tahapan Means,
Ways and End yang diadopsi dari karya Carl Von Clausewitz.24
Untuk menentukan End State (kondisi akhir) maka Tim Perumus melihat
adanya kenyataan sejarah serta permasalahan mendasar sebelumnya tentu tidak
berlebihan bila pemahaman tentang membangun RAK juang perlu diredefinisi,
karena yang dibangun bukan fisiknya tetapi cara pandang masyarakat agar
memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap berbagai permasalahan Geo, Demo
dan Konsos yang dapat mengusik kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI serta
mengancam keselamatan jiwa masyarakat.
End State strategi Binter adalah terebutnya hati dan pikiran rakyat yang
diwujudkan dengan Kemanunggalan TNI dan Rakyat, bukan bangunan fisik,
bukan juga fasilitas militer. Dari redefinisi ini kemudian dapat dilihat dan mengerti
bahwa permasalahan Binter setiap wilayah tentu berbeda, dan kegiatan Binter
dan atau operasi teritorial (Opster) juga berbeda. Sehingga Binter TNI AD sebagai
pengejawantahan dari bagian Sishankamrata dapat diimplementasikan pada
aspek Asta Gatra berdasarkan legalitas dan legitimasi sesuai dengan konstitusi.
Adapun Means atau alat pada pendekatan penjabaran ini adalah TNI AD dengan
Fungsi Teritorialnya dan Ways atau cara yang dirumuskan agar tercapainya End
State adalah pertama Perwujudan Binter TNI AD sebagai instrumen Pertahanan
24
Carl von Clausewitz, (1832): On War

28
37
Wilayah (Hanwil) dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan wilayah; ini berarti
dari End State Binter yang diredefinisi, diharapkan keberhasilan unsur Koter
dalam Binter tidak hanya diukur dari tingkat keberhasilannya membangun RAK
Juang yang ditujukan untuk menghadapi invasi militer, juga diukur dari ada-tidak
adanya konflik, atau bagaimana penanganan konflik di wilayah tugasnya agar
tidak mengusik kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI, serta membahayakan
keselamatan jiwa masyarakat setempat.
Kedua instrumen Ketahanan Wilayah (Tahwil) melawan Neo kolonialisme
yang implementasinya berupa asimetris, Proxy, dan hibrida seperti yang telah
dirasakan saat ini; Ketiga melalui perwujudan Binter TNI AD sebagai mitra
strategis K/L dalam melaksanakan pembangunan nasional. Kedua cara di atas
memiliki pengertian bahwa dengan pemahaman End State Binter yang telah
diredefinisi diharapkan setiap aparat teritorial (Apter) sebaiknya dapat berperan
sebagai katalisator (pemercepat proses tanpa ikut berproses) dan dinamisator
dalam pembangunan segenap aspek kehidupan di wilayah tugasnya agar berbagai
pembangunan Geo, Demo dan Konsos di wilayah tidak melahirkan konflik. Ini
dijelaskan pada Gambar 5.

Gambar 5. Slide Konsep Grand Strategy Binter


Sumber: Olahan Tim Pokja Teritorial

38
29
Untuk menjelaskan secara lebih terperinci guna mendapatkan pemahaman
yang lebih mendalam penjabaran konsep grand strategy Binter TNI AD di
breakdown lagi menggunakan tahapan yang diadopsi dari doktrin operational
design ke dalam konsep ideal desain operasional yang terdiri dari lima tahapan
(Actions, Effects, Decisive Conditions, Objectives and End States).Tiap tahapan
akan saling mempengaruhi terhadap kondisi tahapan lainnya.
Actions yang pertama dilakukan adalah membangun komunikasi strategis
baik kepada pemerintah dan K/L lainnya untuk memberikan effects yaitu
pemahaman terhadap unsur Pemerintah maupun K/L akan fungsi Binter sehingga
dapat terciptanya decisive conditions atau kondisi sukses disahkannya regulasi-
regulasi turunan dari UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI yang diharapkan dapat
menyelesaikan permasalahan regulasi selama ini.
Selain itu komunikasi strategis juga dilakukan kepada elit politik dan
masyarakat untuk memberikan effects yaitu pemahaman terhadap unsur elit
politik dan masyarakat akan fungsi Binter sehingga dapat terciptanya decisive
conditions atau kondisi sukses terkuranginya resistensi atau fobia Dwifungsi.
Di sini dapat dilihat bahwa kemampuan kepemimpinan dan komunikasi
sosial (KKS) terutama komunikasi strategis di level kebijakan sangat diperlukan
agar Apter di level operasional dan taktis mampu merebut hati dan pikiran
masyarakat di wilayah tugasnya. Mereka yang diajak berkomunikasi strategis
dapat diajak untuk menjadi peka dan peduli terhadap berbagai hal terkait
dengan ancaman terhadap Geo, Demo dan Kondisi Sosial maupun aspek
kekuatan nasional MIDFIELD. Kemampuan kepemimpinan yang dimunculkan
kembali di sini bukan kewenangan atau legalitas untuk memerintah, tetapi
kemampuan mempengaruhi sekelompok orang atau organisasi untuk berupaya
mencapai tujuan bersama. Kepemimpinan bukan tentang hubungan atasan
dengan bawahan, tetapi hubungan antara pemimpin dan pengikut bukan dengan
bawahan atau anak buah.

30
39
Gambar 6. Slide Konsep Ideal Desain Operasional
Sumber: Olahan Tim Pokja Teritorial

Dengan tercapainya decisive conditions diharapkan objectives atau sasaran


Binter TNI AD yang merupakan Ways dari Strategi Binter dapat terwujud yakni
pertama Perwujudan Binter TNI AD sebagai instrumen Pertahanan Wilayah
(Hanwil) dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan wilayah, kedua Perwujudan
Binter TNI AD sebagai Instrumen Tahwil melawan Neo Kolonialisme dan ketiga
perwujudan Binter TNI AD sebagai mitra strategis K/L dalam melaksanakan
pembangunan nasional yang akhirnya dapat mewujudkan End State Binter
TNI AD yaitu Kemanunggalan TNI dengan rakyat dengan Binter TNI AD sebagai
pengejawantahan dari bagian Sishankamrata dapat diimplementasikan pada
aspek Asta Gatra berdasarkan legalitas dan legitimasi sesuai dengan konstitusi.
Menciptakan Kemanunggalan TNI dan Rakyat diperlukan kesatuan visi
khususnya dalam menghadapi situasi VUCA Volatility (kerentanan), Uncertainty
(ketidakpastian), Complexity (kerumitan asimetris) dan Ambiguity (ambigu atau
bermakna ganda) yang berkembang di era saat ini dan masa depan.

40
31
Kesatuan visi sebagaimana dimaksud di dalam naskah ini ditawarkan dalam
rumusan Konsep Ideal Doktrin TNI AD TRI MANUNGGAL BAKTI yang merupakan
kekuatan smart power terdiri dari Pertama Manunggal Bakti Berdaulat, yaitu
Binter TNI AD sebagai instrumen Hanwil dalam menghadapi ancaman terhadap
keutuhan dan kedaulatan bangsa yang didalamnya meliputi secara keseluruhan
dari aspek geografi, demografi, kekayaan SDA, Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial
Budaya, Pertahanan dan Keamanan. Hal ini dapat diimplementasikan dengan
peran Binter mendukung kepentingan pertahanan militer sebagai hard power.
Pembinaan Teritorial diaktualisasikan dalam Gelar satuan teritorial.
Tugas satuan teritorial dalam pembinaan aspek geografi adalah menyiapkan
medan sebagai manuver pasukan dan penyiapan logistik wilayah agar dapat
dimanfaatkan bagi pasukan dalam melaksanakan perang berlarut. Ini dilakukan
dengan melaksanakan sinkronisasi secara vertikal terhadap RRWP dengan RPJP/
RPJM di level nasional hingga RWP dengan RKPD di level daerah, secara vertikal
RRWP ke RWP dan perbaikan terhadap doktrin Sisrendal Binter.
Pembinaan aspek demografi dilakukan dengan implementasi UU PSDN
No.23/2019 sehingga pembentukan, penetapan dan pembinaan Komcad dapat
dilakukan di Koter selaras dengan rencana strategis Pemerintah. Pembangunan
Inhan yang didukung Koter berkaitan dengan pembentukan penetapan dan
pembinaan Komduk sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Kedua Manunggal Bakti Waskita, yaitu Binter TNI AD sebagai instrumen
Tahwil dalam menghadapi ancaman Neo Kolonialisme yang dilancarkan lewat
asimetris, proxy dan Hibrida dengan maksud untuk menciptakan sense of security
diantara Kementerian dan Lembaga lainnya dan tugas TNI AD adalah memberikan
pemahaman tentang ancaman nirmiliter.
Dalam menghadapi ancaman neo kolonialisme melalui ancaman Nirmiliter,
Binter harus dimodernisasi. Bukan modern dalam arti (hanya) dilengkapi dengan
peralatan baru, karena yang sekarang baru besok-besok sudah tidak baru lagi,
tetapi modern dalam arti mengikuti “perkembangan jaman” (adaptif). Bila
lingkungan strategis berubah, jenis peperangan berubah, tentunya Binter pun

32
41
harus berubah (modern) karena Binter adalah salah satu upaya antisipatif agar
tidak terdadak ketika menghadapi “perang modern” seperti perang asimetris,
proxy dan hibrida.
Binter melalui LO di K/L dan metode komunikasi strategisnya diarahkan
untuk mampu mengajak (to persuade), mempengaruhi (to influence), membantu
(to assist) dan mendorong (to drive) agar tercipta ketahanan dibidang ideologi,
politik, ekonomi, sosial dan psikologi maupun MIDFIELD sebagai bangsa yang
besar yang merupakan soft power.
Ketiga Manunggal Bakti Pembangunan, kedudukan Binter TNI AD adalah
sejajar sebagai mitra strategis pembangunan bersama Pemerintah, Kementerian
dan Lembaga untuk bersama-sama berkontribusi dan berkolaborasi mewujudkan
cita-cita nasional atau kepentingan strategis negara.
Ini dilakukan dengan Penerapan Perencanaan Berbasis Kemampuan
(Capability Based Planning/CBP) dan Operasi yang mempertimbangkan efek
yang dihasilkan (Effect Based Operation). Dengan konsep perencanaan yang
berbasis kemampuan tersebut, maka tugas-tugas dalam pembinaan teritorial
dapat diselenggarakan secara lebih fleksibel, adaptif dan reaktif. Hal ini dapat
diperoleh dengan mengidentifikasi kemampuan yang diperlukan dalam tugas-
tugas ke depan dalam suatu portfolio secara terintegrasi dengan kebutuhan
tugas ke depan serta upaya pencapaianya, Penyelenggaraan Pembinaan Teritorial
TNI AD dilaksanakan dalam rangka mendukung program pemerintah guna
percepatan pembangunan nasional di wilayah, yang hasilnya dapat bermanfaat
untuk kepentingan pertahanan negara dan kesejahteraan masyarakat.
Perencanaan mempertimbangkan Operasi berbasis efek yang dihasilkan
(Effect Based Operation) merupakan perencanaan yang didasarkan pada suatu
framework dengan mempertimbangkan semua efek yang mungkin, baik langsung
maupun tidak langsung yang dicapai melalui instrumen militer, diplomatik,
psikologi dan ekonomi. Penyelenggaraan Pembinaan Teritorial TNI AD dilakukan
dengan perencanaan yang sederhana dan dapat diterima oleh pihak-pihak terkait
serta terintegrasi dengan program Pemerintah, Kementerian/ LPNK dan instansi
terkait dalam rangka percepatan pembangunan nasional dan pertahanan negara

.
42
33
Konsep penguatan Binter TNI AD selain komprehensif atau menyeluruh
dari hulu ke hilir tetapi juga simultan yang artinya dari semua lini bersama-sama
membangun dalam waktu yang bersamaan tanpa harus saling menunggu dan
sequential yang berarti harus ada suatu kondisi yang terjadi terlebih dahulu
sebelum kondisi yang lainnya terjadi, sebagai contoh yaitu strategi komunikasi
yang nantinya diharapkan dapat memecahkan permasalahan fundamental yang
sedang dihadapi oleh TNI AD saat ini yaitu tentang Regulasi dan fobia Dwifungsi
ABRI. Ketika kedua permasalahan tersebut sudah dapat diatasi maka peran TNI
AD tentunya akan lebih optimal lagi.
Pada tahun 2020 Pusat Teritorial Angkatan Darat menerbitkan sebuah buku
dengan tajuk Binter di era milenial yang berisi kumpulan pandangan tentang
Pembinaan Teritorial di era kekinian oleh 43 (empat puluh tiga) orang tokoh dari
berbagai macam latar belakang profesi dan pengalaman hidup.
Pandangan-pandangan yang tertuang dalam tulisan yang terangkum dalam
buku bertajuk Binter di era milenial tersebut dapat dikatakan bisa dijadikan acuan,
pertimbangan dan pedoman karena seluruhnya membahas perlunya perubahan
dan pembentukan Binter yang adaptif dan dinamis yang tentunya selaras dengan
perkembangan dan perubahan lingkungan strategis.

Strategi Komunikasi
Doktrin tidak lagi hanya untuk konsumsi militer. Di era pemerintahan saat
ini dimana perubahan relasi kekuasaan telah menempatkan supremasi
sipil sebagai mekanisme bekerjanya negara Indonesia maka segala
sesuatu yang TNI (Militer) buat harus juga menjadi konsumsi sipil paling
tidak pada tataran strategis terutama doktrin. Hal ini dikarenakan sipil
yang akan berkuasa menentukan kebijakan yang akan digunakan. Oleh

34
43
sebab itu Doktrin sebagai suatu cara yang TNI/Militer yakini dapat
menyelesaikan tugas pokok yang diembannya “HARUS” dengan aktif
dan baik dikomunikasikan dengan penguasa terlebih konsep Pembinaan
Teritorial yang unik dan melibatkan banyak stakeholders maka Doktrin
harus menjadi outward looking melihat kepentingan bahwa semua
stakeholders harus dengan mudah memahami cara-cara yang TNI yakini
dapat menyelesaikan misi mengemban tugas pokoknya atau dikenal
dengan istilah Doktrin. Hal ini berarti doktrin haruslah mudah dibaca dan
dipahami, tidak menggunakan istilah yang tidak umum atau paling tidak
ada penjelasannya, harus mengalir dan meyakinkan dengan lugas serta
tidak kehilangan esensi tentang pentingnya doktrin dan mengapa doktrin
yang dibuat diyakini dapat menyelesaikan misi atau tugas pokok TNI.
Sumbatan komunikasi menjadi salah satu faktor utama yang disebabkan
berubahnya relasi kekuasaan yang juga dijelaskan dengan gamblang25
bahwa dengan adanya supremasi sipil dimana banyak keputusan termasuk
didalamnya yang terkait dibidang militer atau pertahanan diambil oleh
aparat sipil. Hal ini menimbulkan apa yang disebut dengan knowledge
gap antara aparat sipil sebagai pengambil keputusan dengan praktisi
yang lebih tahu secara teknis tentang militer yaitu TNI. Gap ini harus
menjadi perhatian utama dan harus diantisipasi dengan baik dan salah
satu yang menjadi kunci adalah komunikasi strategis untuk memperkecil
gap atau menjadi jembatan yang menghubungkan gap tersebut. Dengan
pendekatan komunikasi yang komprehensif diharapkan tidak ada lagi
kendala dibidang regulasi mau anggaran yang menyertainya serta
kesadaran bahwa apa pun yang TNI lakukan saat ini ke depan harus dapat
dikomunikasikan dengan baik dengan Pemerintah serta stakeholders
lainnya agar TNI mendapatkan dukungan regulasi dan anggaran serta
secara moral dukungan politik dan publik yang menyertainya bahwa apa
yang TNI lakukan bukan untuk kepentingan TNI saja melainkan untuk
25
Carl von Clausewitz, (1832): On War

44
35
kepentingan nasional, seluruh bangsa dan tumpah darahnya.
Beberapa langkah yang dapat ditempuh agar terjalin komunikasi
strategis yang sesuai dengan harapan agar publik mempunyai keyakinan
dan kepercayaan terhadap arah pemikiran TNI adalah terdapat dua
pendekatan organisasi.
Pertama membentuk organisasi baru yang khusus menyelenggarakan
fungsi Komunikasi Strategis/antar organisasi. Namun opsi ini memerlukan
waktu dan kompleks. Pendekatan kedua adalah dengan memanfaatkan
fungsi Dinas Penerangan (Dispen) tidak hanya sebagai desiminator tapi
juga sebagai relasi publik. Namun orang sering salah mengartikan bahwa
yang dimaksud dengan publik hanyalah terbatas pada masyarakat biasa.
Padahal dalam konteks public relation yang termasuk publik adalah seluruh
stakeholders yang artinya tidak hanya masyarakat tapi juga organisasi
lainnya seperti K/L dan termasuk di dalamnya lembaga legislatif dan
yudikatif. Menurut Prof Ibnu Ahmad yang pernah menjadi Kepala Pusat
informasi dan Humas Kemendikbud bahwa kehumasan terbagi menjadi
empat eselon tugas. Pertama Tata Usaha (TU), kedua Bagian Informasi
(mengelola perpustakaan, arsip), ketiga Bagian Kemitraan dibagi menjadi
tiga bagian yaitu Bidang Media, Bidang Lembaga Negara dan Bagian
Kemitraan dengan LSM dan Bagian Pencitraan. Tidak perlu semua
kita adopsi tapi yang perlu digaris bawahi adalah di dalam organisasi
kehumasan ini terdapat bagian yang membidangi komunikasi dengan
lembaga negara lainnya.
Di beberapa negara maju bahkan menerapkan langkah yang lebih
progresif dengan mempekerjakan PR (public relations) profesional yang
mahir, handal dan mempunyai network luas untuk menjalankan fungsi
PR organisasinya seperti yang dilakukan oleh US Army26 PR nya dipimpin
oleh sipil bernama Michael P. Brady dan dalam website dijelaskan
bahwa salah satu tugasnya adalah merencanakan dan melaksanakan
26
https://www.army.mil/publicaffairs/

45
36
strategi komunikasi pimpinan. Salah satu divisinya yang dinamakan Army
Outreach Division bertugas menghubungkan pimpinan US Army dengan
berbagai lapisan masyarakat dan menjalin kerja sama dengan berbagai
organisasi, K/L, bisnis dan individual agar dapat ikut membantu prajurit.
Contohnya adalah dengan bekerja sama dengan departemen pendidikan
agar setiap anak yang harus pindah sekolah karena mengikuti tugas orang
tuanya dapat segera difasilitasi oleh sekolahnya. Hal ini menjawab satu
dari banyak keresahan orang-tua ketika harus berpindah tugas.

Binter Kolaboratif
Di era saat ini TNI harus sejajar dan menjadi mitra di pemerintahan
bersama Kementerian dan Lembaga lainnya, kuncinya adalah kolaborasi
karena kolaborasi itu berarti saling memberi dan saling menerima, tidak
hanya melakukan salah satunya saja atau tidak berimbang. Keunikan
Binter Kolaboratif adalah kepentingan yang multi domain maksudnya
yaitu kepentingan TNI AD khususnya Binter tidak hanya pada kepentingan
militer namun juga kepentingan di K/L lainnya, jadi kepentingan tersebut
melibatkan banyak pihak termasuk di dalamnya saat menghadapi
ancaman dengan berbagai ragam bentuknya sesuai dimensi atau sektor
masing-masing.

STP Program Binter


Program Binter yang dibuat terlebih dahulu melalui proses STP
(Segmenting, Targeting dan Positioning) agar dapat menghasilkan
program Binter yang benar-benar dapat memberikan impact yang optimal
terhadap pencapaian tugas pokok atau efek yang dikehendaki. Proses STP
bisa di simulasikan sebagai berikut:

46
37
Gambar 7. Simulasi Proses Segmenting, Targeting dan Positioning
Sumber: Olahan Tim Pokja Teritorial

Gambar 8. Simulasi Proses Segmenting, Targeting dan Positioning


Sumber: Olahan Tim Pokja Teritorial

38
47
Make Over Wajah Satkowil
Desain Satkowil Masa Depan Reformasi terhadap bagaimana Satkowil
mempresentasikan dirinya di tengah masyarakat. Redesain satuan
kewilayahan baik secara arsitektur maupun fungsi yang lebih dekat dengan
tugas pokoknya. Selama ini karena memang tidak ada referensi secara
khusus maka markas Satkowil dirancang hampir mirip dengan satuan
tempur pada umunya. Garang dan megah bagi kalangan militer, tapi
sejujurnya memberikan dampak intimidatif dari perspektif masyarakat
sipil. Dengan layout saat ini kesan yang diberikan bagi masyarakat umum
justru mengintimidasi baik karena desain yang terlalu militeristik maupun
kesan formal yang tinggi sehingga menyebabkan masyarakat enggan atau
sungkan untuk masuk.
Satuan jajaran Kepolisian telah banyak merubah desain satuan-satuan
jajarannya menjadi lebih humanis dan ramah dengan konsep pelayanan
terhadap masyarakat. TNI AD dalam konteks Satkowil juga harus cepat
menangkap ini dan merubah wajah tidak hanya Apter nya yang tersenyum
tetapi juga satuannya yang lebih tersenyum dan ramah ketimbang garang
sehingga masyarakat menjadi dekat dan merasa tidak ada jarak serta
kapan pun masyarakat ingin datang suasana yang cair dan ramah harus
menjadi kesan pertama.
Selain itu Satkowil harus dapat menjadi daya tarik bagi masyarakat
sekelilingnya. Keberadaannya harus dibutuhkan dan dirindukan oleh
orang-orang di sekitarnya. Salah satu caranya adalah Satkowil harus
tampil sebagai sesuatu yang menjadi bagian dari solusi dengan mendesain
Satkowil menjadi sebuah kompleks yang berisi instalasi-instalasi yang
dibutuhkan masyarakat sekitar. Desain Satkowil haruslah flexible
menyesuaikan dengan tipologi dan permasalahan dimana Satkowil itu
berada. Sarana dan prasarana yang ada di Satkowil tidak hanya didesain
untuk kebutuhan militer tapi juga untuk masyarakat umum yang dapat

48
39
digunakan secara gratis demi kepentingan masyarakat banyak.
Sebagai contoh setiap Kodim memiliki aula serba guna yang bisa
digunakan untuk kegiatan kemasyarakatan seperti pernikahan yang saat
ini sewa Gedung merupakan hal mewah bagi kebanyakan orang. Pada
tipologi daerah yang kekurangan air, Kodim tersebut dilengkapi dengan
instalasi penyedia air. Di wilayah yang sulit pendidikan Kodim memiliki
fasilitas ruangan yang bisa memberikan pelayanan pendidikan. Pelayanan
kesehatan merupakan kebutuhan yang hampir menjadi masalah di
berbagai tempat dan desain Satkowil harus dapat menjawab paling tidak
sebagian dari masalah tersebut. Demikian dan seterusnya konsep desain
Satkowil yang sudah harus mempunyai warna tersendiri tidak selalu
terpaku pada konsep desain satuan militer di Fungsi Pertempuran.

Reformasi Birokrasi Satkowil


Agar program Binter lebih adaptif dan responsive. Menjadikan Kodim
tipe B sebagai KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) memungkinkan program
yang lebih adaptif dan responsive dalam menghadapi dinamika situasi
dan tipologi wilayahnya masing-masing. Menjadikan Kodim tipe B sebagai
KPA juga merupakan salah satu bentuk efisiensi birokrasi. Faktor yang
paling utama adalah memberikan Satkowil setingkat Kodim freedom of
movement and flexibility to facilitate innovation.
Satkowil idealnya dilengkapi satuan pelaksana karena organisasi yang ada
sekarang lebih bersifat pelayanan administratif untuk keperluan Kodim
itu sendiri. Satuan pelaksana sebagaimana dimaksud dapat berupa
satuan kekuatan satu Kompi di Kodim Tipe A dan kekuatan satu Peleton
di Kodim Tipe B, kekuatan tersebut akan sangat berpengaruh untuk
mendukung para Babinsa, karena para Babinsa sendiri sudah tersebar
di wilayah tanggung jawabnya masing-masing, sehingga dengan adanya
tambahan satuan pelaksana di bawah kendali Kodim maka Satkowil akan

40
49
dapat bergerak secara lebih responsif menuju trouble spot tanpa harus
memerintahkan Babinsa meninggalkan wilayah tanggung jawabnya.
Algoritma Binter
Memanfaatkan teknologi informasi dan digital tidak hanya terbatas
pada kepentingan pengumpulan data atau data gathering saja tapi juga
memanfaatkan TI dan Cyberspace sebagai salah satu media pembinaan
teritorial dengan melakukan riset lebih dalam tentang pemanfaatan TI
dan Cyberspace sebagai realisme baru pembinaan teritorial yang lebih
efektif dan efisien dengan menggunakan algoritma untuk membaca pola,
dipahami dan dijadikan peluang dalam berkomunikasi dan berperilaku,
lalu akhirnya menjadi peluang untuk bekerjanya kekuatan ideologi,
ekonomi, sosial, politik, keamanan, budaya, dan berbagai kombinasi
diantaranya.27

Cyberspace Binter
Di tengah derasnya arus informasi, ekploitasi informasi dan gen-Z sebagai
digital-native. Penerangan Kodim yang melek digital28 terlatih dan
mumpuni sangat dibutuhkan dalam rangka kekuatan exponensial Binter.
Di era kemajuan zaman saat ini ada beberapa dampak yang menjadi
sangat signifikan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat yaitu
dengan berkembangnya teknologi digital yang melahirkan platform sosial
media dan semakin murah dan luasnya akses internet di berbagai belahan
dunia termasuk di Indonesia. Platform sosial media yang dilahirkan oleh
kemajuan dibidang teknologi digital saat ini telah menjadikan dunia
maya menjadi hampir mempunyai karakter yang mirip dengan dunia
nyata. Perkembangan di dunia maya ini kemudian dikenal dengan nama
cyberspace.
Adanya platform sosial media dan pesan singkat telah membuat sebuah
realitas baru yang dinamakan Netizen atau orang-orang yang mempunyai
27
Prof. Effendi Gazali, M.Si, M.P.S.I.D., Ph.D, 2022
28
Muldoko, 2020
50
41
akun-akun sosial media dan aktif didalamnya berinteraksi satu sama
lainnya mirip dengan penduduk di dunia nyata atau diistilahkan dengan
nama Citizen.
Keberadaan penduduk dunia maya atau citizen ini diikuti oleh
perkembangan karakteristik yang berbeda atau Socio-culture yang
unik yang hanya ada di dunia maya salah satunya adalah keberadaan
influencer atau buzzer yang pada kenyataannya sangat bisa menggiring
opini masa dengan cukup cepat dan masif. Fenomena inilah yang harus
dapat dijadikan kesempatan dan potensi untuk Binter dimasa kini dan
masa depan dengan menyasar netizen dalam cyberspace.29

Gambar 9. Data tren pengguna internet dan media sosial di Indonesia


Sumber: Olahan Tim Pokja Teritorial

29
https://andi.link/hootsuite-we-are-social-indonesian-digital-report-2022/

51
42
Binter Gen-Z
Pada aspek dan tipologi tertentu perlu adanya pemanfaatan kaum
muda di Organisasi TNI AD yang lebih sefrekuensi dengan audience
generasi-Z untuk menjadi ujung tombak diseminasi informasi untuk
generasi muda. Gaya dan bahasa ini sangat penting disesuaikan agar
dapat satu frekuensi dengan mereka dan pesan dapat diantar dengan
lebih baik. Mengombinasikan aparat Babinsa dengan Prajurit muda yang
berpenampilan menarik baik pria dan Wanita pada segmen tertentu
dapat dijadikan strategi dalam lebih menarik minat generasi muda dalam
memahami Binter tentunya dengan melihat tipologi wilayah dan sasaran
audiens-nya.

Gambar 10. Data jumlah Gen-Z 2020

52
43
Komcad
Komponen Cadangan (Komcad) kedepannya sudah harus terintegrasi
dengan Satkowil. Kualitas Komcad setara atau paling tidak mendekati,
pemeliharaan kemampuan dan kebutuhan akan pengalaman bertugas
perlu dipertimbangkan Komcad secara berkala dan sistematis diberi
kesempatan melakukan penugasan sebenarnya sebagai sarana
peningkatan kualitas dan kemampuan. Menggunakan konsep active
dan non-active duty seperti yang diaplikasikan beberapa negara seperti
Amerika memberikan kesempatan tentara cadangannya atau dalam hal ini
Komcad merasakan pengalaman bertugas secara nyata yang merupakan
faktor penting dalam peningkatan kualitas dan kesiapan prajurit.
Untuk dapat mewujudkan keberhasilan penerapan sembilan faktor
pada Konsep Penguatan Binter TNI AD yang Komprehensif dihadapkan
pada era VUCA sebagaimana diuraikan di atas maka seharusnya penuhi
terlebih dahulu faktor fundamental, yaitu; pertama Peningkatan SDM
Apter, kedua; Pemenuhan Sarpras Satkowil dan ketiga; Pemenuhan
Personel Apkowil. Faktor fundamental tersebut merupakan fondasi agar
pelaksanaan sembilan faktor pada Konsep penguatan Binter TNI AD bisa
berjalan dengan optimal.

44
53
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pertama,
Strategi Komunikasi yang baik seharunya dapat dilakukan karena diperlukan
TNI AD untuk menyelesaikan masalah regulasi dan fobia Dwifungsi ABRI yang
selanjutnya akan mendorong terwujudnya Grand Strategy Binter TNI AD.
Keterbukaan informasi publik harus mampu disikapi dengan mengelola informasi
yang dimiliki, karena tidak semua informasi itu bisa dibuka secara umum sesuai
klasifikasi berita yang ditentukan di lingkungan militer. Kedua, masih adanya
area abu-abu yang membutuhkan instrumen seperti Binter yang mampu
menjadi perekat dalam menghadapi ancaman nirmiliter. Ketiga, Binter ke depan
harus adaptif dan sesuai dengan perkembangan zaman dengan memanfaatkan
Teknologi Informasi Komunikasi dan Cyberspace.
Saran yang disampaikan Pertama, yaitu perlu dipertimbangkan adanya validasi
orgas satuan Dispenad agar bisa menjadi satuan yang memiliki fungsi Public
affairs, hal tersebut diperlukan guna mendukung Strategic Communication di
TNI AD. Kedua, perlu dipertimbangkan pembentukan Liaison Officer di setiap
Kementerian atau Lembaga yang dikoordinir oleh Spaban VII/Kermater STERAD
dalam rangka menangkal ancaman Neo Kolonialisme (asimetris, proxy dan
hibrida). Diharapkan Kementerian dan Lembaga lainnya mempunyai sense of
security tentang bagaimana pentingnya pertahanan dan keamanan nasional.
Ketiga, yaitu merealisasikan konsep Doktrin dan Penguatan Binter TNI AD yang
diolah dan ditindaklanjuti di Pusterad sebelum didistribusikan atau diaplikasikan
di jajaran Satkowil TNI AD.

54
45
Dunia sedang dihadapkan pada Revolusi Industri 4.0 dan Masyarakat 5.0
yang ditandai dengan penggunaan digitalisasi oleh masyarakat dan mengubah
banyak sendi kehidupan. Teknologi harus benar-benar menjadi bagian solusi atas
masalah atau ancaman yang menggejala di tengah kemajuan peradaban. Situasi
saat ini yang cepat berubah dan berkarakteristik VUCA mempunyai konsekuensi
logis akan dituntutnya sebuah organisasi yang mempunyai laju adaptasi secepat
laju perubahan.
Konsep Grand Strategy Pembinaan Teritorial di Masa Kini dan Masa Depan
diharapkan dapat memberikan platform awal konsep pembinaan Teritorial menuju
Indonesia Emas 2045 yang lebih adaptif dan flexibel dalam menghadapi situasi ke
depan dan menjadi upaya bersama demi mewujudkan sistem pertahanan negara
yang tangguh namun feasible (bisa dilakukan) dan sustainable (berkelanjutan)
(Feasibel and sustainable national defense system).

It’s always easier than done, but it has to start somewhere : Selalu mudah
dikatakan tapi sulit untuk dilaksanakan, namun kita harus memulainya.

46
55

Anda mungkin juga menyukai