Anda di halaman 1dari 207

SOSIOLOGI MASYARAKAT

DAN BENCANA

Penulis:
Dr. Ir. Pujo Widodo, S.E., S.H., S.T., M.A., M.Si., M.D.S., M.Si (Han)
Dr. Ernalem Bangun, M.A., CIQaR
Prof. Syamsul Maarif, M.Si
Dr. Achmed Sukendro

(UNIVERSITAS PERTAHANAN RI)

PENERBIT CV. AKSARA GLOBAL AKADEMIA


2022
i
SOSIOLOGI MASYARAKAT DAN BENCANA
Penulis:
Dr. Ir. Pujo Widodo, S.E., S.H., S.T., M.A., M.Si., M.D.S., M.Si (Han)
Dr. Ernalem Bangun, M.A., CIQaR
Prof. Syamsul Maarif, M.Si
Dr. Achmed Sukendro

Editor:
Dr. Herlina Juni Risma Saragih, M.Si., CIQnR., CIQaR
Dr. I Dewa Ketut Kerta Widana, SKM., MKKK., CIQnR., CIQaR., CIMMR
Dr. Rudy Pramono, M.Si

ISBN Fisik: 978-623-6387-90-0


ISBN Digital: 978-623-8049-01-1 (PDF)
viii + 197 hlm, 18,2 x 25,7 cm

Desain Cover & Layout : Tim Aksara Publications

Penerbit: CV. AKSARA GLOBAL AKADEMIA


No Anggota IKAPI: 418/JBA/2021

Office: Intan Regency Blok W No 13, Jln. Otto Iskandardinata, Tarogong Kidul –
Garut, Jawa Barat. Kode Pos: 44151. Telp / Wa Bisnis: +6281-2222-3230
Email: aksaraglobalpublications@gmail.com - aksaraglobal.info@aksaraglobal.info
Link Bio: https://campsite.bio/aksaraglobalakademia
Website: https://www.aksaraglobal.co.id

Cetakan Pertama: Nopember 2022

@Hak cipta dilindungi undang-undang

ii
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan
dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran.

iii
Kata Pengantar

P
uji Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
hidayahNya penyusunan Bahan Ajar Sosiologi Masyarakat dan
Bencana telah dapat diselesaikan. Bahan ajar ini disusun guna
memenuhi kebutuhan internal mahasiswa Program Studi Manajemen
Bencana. Bahan ajar ini dibuat dengan tujuan agar mahasiswa memiliki
panduan yang integral dan komprehensif dalam memahami proses
serta tahapan dalam perkuliahan ini. Bahan ajar ini masih memiliki
banyak kekurangan, oleh karenanya kritik serta saran terhadap bahan
ajar ini sangat diharapkan demi penyempurnaan di kemudian hari.
Bencana adalah sub disiplin dalam ilmu sosiologi yang secara
khusus memperdalam proses-proses sosial yang terjadi di masyarakat
yang memiliki kaitan dengan ruang dan waktu kebencanaan itu sendiri.
Atau inti dari sosiologi bencana adalah penelaahan yang mendalam
akan relasi antara masyarakat dengan potensi, resiko, maupun kejadian
bencana yang melingkupi struktur sosial mereka. Fokus pada struktur
sosial, adalah kekhususan dalam sosiologi bencana. Hal inilah yang
mungkin membedakannya dengan ranah-ranah kajian lainnya dalam
disiplin sosial humaniora, seperti antropologi bencana, politik bencana
ataupun manajemen bencana.
Sebagaimana kita ketahui Indonesia yang secara alamiah berada
dalam satu ruang fisik yang memungkinkan tingginya resiko terjadinya
bencana, memposisikan bencana bukan lagi kejadian, tetapi satu fakta
sosial bahwa praktik dan tindakan sosial manusia terbatasi oleh
kecenderungan-kecenderungan absolut dari situasi dan kondisi alam
itu sendiri. Pada titik ini, bencana memilik kontets dan waktunya,
sehingga sebagai sebuah fenomena, ia sah menjadi satu permasalahan
atau yang dalam bahasa sosiologisnya menjadi fundamental image of
subject matter. Diskursus tentang bencana membentang dari ranah
teologis, geografis, lingkungan, sosial, psikologi, politik, hukum, dan
berbagai hal lainnya, termasuk aspek pertahanan dan keamanan,
sehingga penting sekali menata keilmuan ini berdasarkan landasan
iv
normatif maupun empiris yang ada di Indonesia. Diharapkan buku ini
bisa memenuhi kompetensi utama yang telah dirumuskan dalam visi
dan misi Prodi Manajemen Bencana untuk Keamanan Nasional.
Atas bantuan berbagai pihak dalam penyusunan bahan ajar ini,
kami ucapkan banyak terima kasih.

Sentul, Oktober 2022


Penulis

v
Sinopsis

B
uku ini membahas tentang landasan teori sosiologi masyarakat
dan bencana, serta memberikan pandangan bagaimana
masyarakat bisa tetap bertahan dalam menghadapi bencana, yang
merupakan pertanyaan turunan dari pertanyaan besar dalam ilmu
sosiologi. Jika sosiologi mempertanyakan “bagaimana masyarakat bisa
bertahan?”, maka dalam sosiologi bencana, pertanyaannya menjadi
“bagaimana masyarakat bisa bertahan dalam menghadapi bencana?.
Buku ini membahas beberapa pokok bahasan yang dinilai cukup
penting dan relevan untuk diberikan mencakup beberapa hal, di
antaranya: 1. pokok bahasan tentang sosiologi sebagai satu disiplin
ilmu tersendiri di dalam ilmu sosial berikut ragam perspektif yang ada
di dalamnya; 2. pokok bahasan tentang sosiologi bencana yang
berkembang mengikuti perkembangan perpspektif dalam ilmu
sosiologi tetapi mengkhususkan diri pada ruang dan waktu dimana
bencana itu potensial atau telah terjadi; 3. pokok bahasan tentang isu-
isu utama dalam ranah kebencanaan yang dapat dilihat dalam
perspektif sosiologis; 4. Pokok bahasan kebencanaan dan relasinya
dengan kebijakan publik dan manajemen bencana; 5. Pokok bahasan
kebencanaan dan relasinya dengan kebijakan keamanan nasional, 6.
Pokok bahasan manajemen bencana, serta 7. Pokok bahasan tentang
isu-isu metodologis dalam studi sosiologi bencana.

vi
Daftar Isi

URAIAN HAL

HALAMAN COVER i
HALAMAN COPYRIGHT ii
KATA PENGANTAR iv
SINOPSIS vi
DAFTAR ISI vii
BAB 1 1
Pendahuluan
Bab Il 17
Pengantar Sosiologi
BAB III 41
Sejarah Bencana Besar di Dunia dalam Perspektif
Sosiologis
BAB IV 55
Perubahan Sosial dalam Konteks Bencana dan
Keamanan Nasional
BAB V 65
Kearifan Lokal dalam Konteks Bencana
BAB VI 77
Eksklusi Sosial dalam Konteks Bencana dan
Keamanan Nasional
BAB VII 93
Kapital Sosial dalam Konteks Bencana

vii
BAB VIII 109
Ketahanan dan Kerentanan Sosial dalam Konteks
Bencana
BAB IX 117
Konflik dan Integrasi Sosial dalam Konteks Bencana
dan Keamanan Nasional
BAB X 129
Globalisasi dalam Konteks Bencana dan Keamanan
Nasional
BAB XI 137
Pemberdayaan Masyarakat dalan Konteks Bencana
dan Keamanan Nasional
BAB XII 149
Kebijakan Penanggulangan Bencana dalam
Perspektif Sosiologis
BAB XIII 159
Bencana dan Keamanan Nasional dalam Perspektif
Astagatra
BAB XIV 175
Manajemen Bencana
BAB XV 185
Aspek Metodologis dalam Penelitian Sosial
Kebencanaan
BAB VI 191
Penutup
TENTANG PENULIS 194

viii
Bab 1 Pendahuluan | 1

BAB I
Pendahuluan
2 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Bab I
Pendahuluan

1.1. Dasar Ontologis


Deskripsi Singkat
Sebagai sebuah perspektif, Sosiologi memiliki keunggulan untuk
bisa digunakan dalam melihat fenomena yang terjadi di masyarakat.
Kata kunci dalam konteks ini, tentu saja penekanan pada aspek
masyarakat itu sendiri. Oleh karenanya, pertanyaan yang paling
mendasar dalam ilmu sosiologi, yaitu “how society survive?” senantiasa
memiliki peluang untuk dikontekstualisasikan di dalam ranah-ranah
kehidupan masyarakat. Cakupannya bisa dari kejadian-kejadian
(events) yang ada di dalam masyarakat, dan memiliki pola pengulangan.
Atau bisa juga mencakup satu struktur ruang tertentu dalam
masyarakat yang dianggap memiliki konsekuensi terhadap
perkembangan ciri khas masyarakat itu sendiri. Yang pertama, kejadian.
Kejadian adalah konsekuensi waktu bagi masyarakat. Sementara, yang
kedua adalah tempat/lokasi. Tempat didasari oleh konsekuensi ruang
bagi masyarakat. Ruang dan waktu adalah konteks penting dari
bertahannya apa yang kita kenal dengan masyarakat. Konsekuensi
akademisnya, ilmu yang mempelajari tentang bagaimana suatu
masyarakat bisa bertahan, atau sebaliknya yaitu bisa punah, hal ini
seringkali dilandasi oleh constraint ruang dan waktu itu sendiri.
Salah satu kejadian yang ada dalam sejarah peradaban manusia,
sering kali dianggap sebagai faktor penting dari bisa bertahan atau
punahnya sebuah masyarakat, adalah bencana, atau yang dalam bahasa
Inggrisnya sering disebut sebagai disaster. Dalam perkembangannya,
bencana tidak selalu dilihat sebagai kejadian yang constraint utamanya
adalah waktu. Tetapi lebih jauh lagi, bencana, atau sumber kejadian
Bab 1 Pendahuluan | 3

bencana sendiri sebenarnya merepresentasikan satu ruang sosial


tersendiri di dalam satu masyarakat.
Secara geografis Indonesia terletak di daerah katulistiwa
dengan morfologi yang beragam dari dataran sampai pegunungan
tinggi. Hal ini menyebabkan Indonesia telah mengalami berbagai
bencana yang menyebabkan kerugian jiwa dan materi yang besar yang
akan terus berulang kejadiannya. Peta potensi bencana gempa di
Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia adalah wilayah dengan zona-
zona gempa yang rawan, peta potensi bencana tanah longsor, peta
potensi bencana letusan gunungapi, peta potensi bencana tsunami, peta
potensi bencana banjir, dengan lain-lain. Misalkan dari potensi bencana
akibat kenaikan permukaan laut terhadap kondisi lingkungan bio-
geofisik yang berantai yaitu dengan meningkatnya frekuensi dan
intensitas banjir maka terjadi perubahan arus laut dan meluasnya
kerusakan mangrove, akibatnya akan meluas pula intrusi air laut yang
mengancam kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, serta
berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.
Indonesia yang secara alamiah berada dalam satu ruang fisik
yang memungkinkan tingginya resiko terjadinya bencana,
memposisikan bencana bukan lagi kejadian, tetapi satu fakta sosial
bahwa praktik dan tindakan sosial manusia terbatasi oleh
kecenderungan-kecenderungan absolut dari situasi dan kondisi alam
itu sendiri. Pada titik ini, bencana memilik kontets dan waktunya,
sehingga sebagai sebuah fenomena, ia sah menjadi satu permasalahan
atau yang dalam bahasa sosiologisnya menjadi fundamental image of
subject matter.
Diskursus tentang bencana membentang dari ranah teologis,
geografis, lingkungan, sosial, psikologi, politik, hukum, dan berbagai hal
lainnya, termasuk aspek pertahanan dan keamanan. Keluasan bentang
diskursus tentang bencana ini dipastikan karena dampaknya bagi
perkembangan suatu masyarakat yang sangat besar. Pembahasan
tentang dampak menjadi salah satu isu utama yang kemudian sempat
mendominasi diskursus tentang kebencanaan. Banyak sarjana yang
4 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

meyakini bahwa kebencanaan tidak melulu soal dampak yang masif


terhadap satu tatanan sosial, tetapi juga bagaimana bencana itu adalah
bagian tak terpisahkan dalam satu struktur sosial masyarakat yang
dalam rentang modernisasi menanggung berbagai macam resiko yang
sebelumnya tidak teridentifikasi. Disini, diskursus kebencanaan seperti
menemukan ruang-ruang baru untuk diperdebatkan. Ruang-ruang
baru yang melahirkan rentetan pertanyaan fundamental, terkait
kebencanaan itu sendiri, seperti apa itu bencana? Dan bagaimana
sebuah masyarakat bisa tetap bertahan dalam menghadapi bencana?
Disinilah sosiologi kebencanaan menemukan kontekstualitasnya.
Pertanyaan tentang bagaimana masyarakat bisa tetap bertahan
dalam menghadapi bencana, merupakan pertanyaan turunan dari
pertanyaan besar dalam ilmu sosiologi. Jika sosiologi mempertanyakan
“bagaimana masyarakat bisa bertahan?”, maka dalam sosiologi
bencana, pertanyaannya menjadi “bagaimana masyarakat bisa
bertahan dalam menghadapi bencana? Atau, bagaimana masyarakat
bisa tetap bertahan dalam konteks menghadapi resiko-resiko
kebencanaan yang melingkupi ruang dan waktu dalam kehidupan
mereka?” Atau bentuk-bentuk pertanyaan lain yang bisa dimodifikasi
dari pertanyaan tersebut. Dengan kata lain, sosiologi bencana adalah
sub disiplin dalam ilmu sosiologi yang secara khusus memperdalam
proses-proses sosial yang terjadi di masyarakat yang memiliki kaitan
dengan ruang dan waktu kebencanaan itu sendiri. Atau inti dari
sosiologi bencana adalah penelaahan yang mendalam akan relasi
antara masyarakat dengan potensi, resiko, maupun kejadian bencana
yang melingkupi struktur sosial mereka. Fokus pada struktur sosial,
adalah kekhususan dalam sosiologi bencana. Hal inilah yang mungkin
membedakannya dengan ranah-ranah kajian lainnya dalam disiplin
sosial humaniora, seperti antropologi bencana, politik bencana ataupun
manajemen bencana.

1.2. Tata Letak Geografis Indonesia


Posisi Indonesia yang terletak di antara dua lempeng benua
menjadikan Indonesia sebagai daerah yang dinamis dan memiliki
Bab 1 Pendahuluan | 5

karakteristik sumber daya alam dan lingkungan yang unik. Secara


geologis, wilayah Indonesia cukup labil karena memiliki rangkaian
gunung yang aktif dan sering mengalami pergerakan para kerak bumi.
Hal inilah yang menyebabkan pada beberapa wilayah tercipta struktur
geomorfologi baru secara periodik sehingga rentan terjadinya bencana
alam (Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 2012). Dari
segi geomorfologi posisi geografis, Indonesia terletak di atas
pertemuan tiga lempeng patahan tektonik aktif, yaitu, Eurasia,
Indoaustralia, dan Pasifik. Indonesia juga dilewati oleh deretan gunung
api Pasifik, atau Busur Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire).
Konsekuensi dari tumbukan tiga lempeng ini oleh Surono (2010:93)
menyebabkan:
1. Terbentuknya zona penunjaman sebagai penyebab gempa
bumi dasar laut yang berpotensi membangkitkan tsunami
dan berpotensi menyebabkan bencana.
2. Lipatan perbukitan di patahan di darat/busur kepulauan.
Patahan aktif dapat sebagai sumber gempa bumi di darat,
berpotensi menyebabkan bencana.
3. Terbentuknya 129 gunung api (13% dari jumlah gunung api
di dunia) yang terdiri dari:
a. 80 gunung api dinyatakan sangat aktif yang ditandai
pernah meletus sejak 1600 - kini.
b. 3 gunung api bawah laut (Buana Wuhu/Sangir, Hobalt,
dan Emperor of China/Flores)
c. 65 gunung api sangat aktif dipantau secara terus
menerus melalui 74 pos pengamatan gunung api.
d. Indonesia rentan terjadi letusan gunung api yang
berpotensi menyebabkan bencana.
e. Perbukitan dengan lereng sedang hingga terjal,
dengan jenis tanah longsor air tinggi dan kurangnya
vegetasi berakar kuat dan dalam, yang rentan terjadi
gerakan/tanah longsor.
6 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Berdasar atas tata letak geografis seperti digambarkan pada


Gambar 1, di Indonesia terdapat bermacam-macam bencana yang
bersumber dari kondisi geografis seperti ancaman bencana geologi
(gempa bumi, tsunami, longsor, dan gerakan tanah), serta ancaman
bencana hidrometereologi (banjir, topan, banjir bandang, dan
kekeringan).

Gambar 1.1. Peta Indeks Kerawanan Bencana Indonesia


Sumber: https://inarisk.bnpb.go.id/ (2022)

1.3. Perkuliahan Sosiologi Kebencanaan dalam Prodi


Manajemen Bencana
Prodi Manajemen Bencana untuk Keamanan Nasional, sebagai
salah satu program studi di dalam Fakultas Keamanan Nasional,
mengkhususkan diri pada pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam bidang kebencanaan. Dengan misi menyelenggarakan
pendidikan tinggi pascasarjana di bidang manajemen bencana secara
professional, program studi ini juga menyelenggarakan penelitian dan
pengembangan iptek dalam bidang manajemen bencana yang secara
spesifik memiliki kaitan dengan persoalan keamanan nasional. Dengan
Bab 1 Pendahuluan | 7

imperatif yang sedemikian, Prodi Manajemen Bencana (MB)


sebenarnya menggunakan ilmu manajemen sebagai dasar ontologis
dari penyelenggaraan pengembangan keilmuannya.
Pertanyaan besar yang hendak dijawab dari penggunaan
perspektif manajemen dalam konteks kebencanaan, mungkin berkisar
pada “bagaimana bencana sebagai sebuah resiko yang berpeluang
mengganggu kondisi keamanan nasional, bisa dikelola, baik sebelum,
ketika, maupun setelah bencana berlangsung?”. Dengan pertanyaan
yang sedemikian, ilmu sosiologi, khususnya sosiologi bencana, atau
sosiologi kebencanaan memiliki ruang yang relevan untuk terlibat
dalam konteks manajemen bencana itu sendiri. Beberapa alasan
sementara yang bisa menjadi argumentasi dari pernyataan itu antara
lain:
1. Sosiologi bencana dapat melengkapi diskursus tentang
kebencanaan dari sudut pandang masyarakat yang menjadi
subyek utama dalam rangkaian peristiwa yang
menyebabkan bencana itu terjadi. Ketika manajemen
bencana menyentuh persoalan masyarakat, pada titik itulah,
secara ontologis, sosiologi bencana bisa digunakan sebagai
satu pisau analisis yang relevan.
2. Sosiologi bencana yang menempatkan kejadian bencana
sebagai satu entitas yang memiliki peluang untuk merubah
lanskap sosial di masyarakat memiliki peluang untuk
memberikan kontribusi pengetahuan dan praksis pada
upaya pengelolaan bencana, khususnya pada bagaimana
memperkuat kapasitas sosial masyarakat untuk bisa adaptif
terhadap peluang terjadinya.
3. Sosiologi bencana yang merupakan subdisiplin dalam ilmu
sosiologi memiliki berbagai subperspektif yang bisa
digunakan untuk membedah persoalan sosial di dalam
masyarakat. Ragam perspektif ini sangat memungkinkan
untuk bisa membedah persoalan yang memiliki
karakteristik yang terkait kebencanaan itu sendiri.
8 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

4. Sosiologi bencana, yang dalam analisisnya menempatkan


relasi antara “masyarakat dan bencana” sebagai subyek
dalam rumusan masalahnya, bisa masuk ke dalam ranah
kebijakan yang lebih strategis, baik yang memiliki kaitan
dengan persoalan manajemen bencana, politik dan
kebijakan kebencanaan, serta keamanan nasional.

Dari empat argumen utama itulah, mata kuliah sosiologi bencana


dapat dikembangkan.

1.4. Pokok Bahasan Perkuliahan Sosiologi Bencana


Dalam penyelenggaraan perkuliahan bencana, beberapa pokok
bahasan yang dinilai cukup penting dan relevan untuk diberikan
mencakup beberapa hal, di antaranya: 1. pokok bahasan tentang
sosiologi sebagai satu disiplin ilmu tersendiri di dalam ilmu social
berikut ragam perspektif yang ada di dalamnya; 2. pokok bahasan
tentang sosiologi bencana yang berkembang mengikuti perkembangan
perpspektif dalam ilmu sosiologi tetapi mengkhususkan diri pada
ruang dan waktu dimana bencana itu potensial atau telah terjadi; 3.
pokok bahasan tentang isu-isu utama dalam ranah kebencanaan yang
dapat dilihat dalam perspektif sosiologis; 4. pokok bahasan
kebencanaan dan relasinya dengan kebijakan publik dan manajemen
bencana; 5. pokok bahasan kebencanaan dan relasinya dengan
kebijakan keamanan nasional, serta 6. pokok bahasan tentang isu-isu
metodologis dalam studi sosiologi bencana.
Penjabaran dari masing-masing pokok bahasan itu dapat
diuraikan sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan | 9

Tabel 1.1. Pokok Bahasan dan Sub Pokok Bahasan Sosiologi Bencana

Pokok Bahasan Sub Pokok Bahasan


Pengantar Sosiologi 1. Paradigma dalam sosiologi (Fakta Sosial,
Definisj Sosial, Konstruksi Sosial)
2. Tiga pemikir awal sosiologi klasik (Marx,
Durkheim, Weber)
3. Peta teoritik para pemikir utama dalam
sosiologi
4. Konsep umum dalam sosiologi (Agen,
Struktur, Kultur, Relasi, Interaksi, Konflik,
Ketegangan, Integrasi, Resiko dll)
Sosiologi Bencana 1. Pertanyaan-pertanyaan kunci dalam
sosiologi bencana.
2. Kontekstualisasi sosiologi bencana dalam
Manajemen bencana dan keamanan Nasional.
3. Ragam perspektif Sosiologi dalam
kebencanaan (kultural, ekologi Politik,
konstruksi sosial)
4. Peta teoritik dan konseptual para sarjana
yang menggeluti ranah kajian sosiologi
bencana.
Isu-Isu Utama 1. Sejarah bencana besar di dunia dalam
Kebencanaan dalam perspektif sosiologis.
Perspektif Sosiologis 2. Social change dalam konteks bencana dan
keamanan nasional.
3. Local wisdom dalam konteks bencana
4. Social exclusion and inclusion dalam
konteks bencana dan keamanan nasional.
5. Social capital, dan peran multi helix dalam
konteks bencana.
10 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

6. Social resilence dan social vulnerability


dalam konteks bencana dan keamanan
nasional.
7. Social conflict & integration dalam konteks
bencana dan keamanan nasional.
8. Globalization dalam konteks bencana dan
keamanan nasional.
9. Community empowerment dalam konteks
bencana dan keamanan nasional.
Sosiologi Bencana 1. Penggunaan perspektif sosiologis
dan Kebijakan/Policy untuk membedah kebijakan berbagai
Manajemen Bencana peraturan dan perundang-undangan
tentang penanggulangan bencana,
baik yang ada di tingkat nasional
maupun daerah.

Persoalan 1. Keterkaitan penanggulangan bencana


kebencanaan dan dengan isu keamanan nasional.
kebijakan keamanan 2. Keterkaitan sosiologi bencana dan
nasional Astagatra.
3. Membedah kebijakan yang
berkelanjutan dalam
penanggulangan bencana di tingkat
nasional dengan pendekatan
Astagatra
Isu metodologis 1. Metode penelitian sosiologi
dalam ranah kajian kebencanaan
sosiologi 2. Pendekatan kualitatif, kuantitatif,
kebencanaan dan mix method dalam penelitian
sosiologi bencana
3. Pendekatan kuantitatif dalam
penelitian sosiologi bencana
Bab 1 Pendahuluan | 11

Enam pokok bahasan inilah yang sementara ini dapat dijadikan


pondasi penting dalam menyelenggarakan mata kuliah sosiologi
bencana di berbagai perguruan tinggi.

1.5. Luaran
Proses perkuliahan ini diharapkan bisa memenuhi kompetensi
utama yang telah dirumuskan dalam visi dan misi Prodi Manajemen
Bencana untuk Keamanan Nasional.
1. Untuk para manajer diharapkan mampu menggunakan
perspektif sosiologik dalam membangun rencana strategis yang
tangguh dalam manajemen risiko bencana di dalam
organisasinya; mampu menganalisis akar persoalan sosial yang
memiliki keterkaitan dengan persoalan kebencanaan sehingga
tersusun sebuah kebijakan yang sustain untuk menanggulangi
persoalan tersebut; serta mampu membangun sebuah desain
pembangunan masyarakat yg tangguh
(resilience),sustainability, serta mampu meredam (absorb)
bencana di suatu wilayah.
2. Untuk para peneliti diharapkan; mampu membangun kerangka
teoritik yang kuat untuk bisa melihat secara kritis dan jernih
mengurai persoalan-persoalan kebencanaan yang memiliki
dimensi sosiologik; membangun sebuah konstruksi sosial yang
bisa mendorong lahirnya masyarakat yang resilience yakni
masyarakat yang memiliki kapasitas
kuat,tangguh,berketahanan, dan berkelanjutan dalam
menanggulangi bencana; mampu membangun kerangka
kebijakan yang mengintegrasikan partisipasi masyarakat
dengan alokasi peran yang bersifat Multiple Helix, dalam
konteks penanggulangan bencana.
3. Untuk para akademisi diharapkan; dapat memahami akar
teoritik dari perspektif sosiologi bencana sehingga mereka
dapat mengembangkan keilmuan sosiologi bencana sekaligus
12 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

menyelenggarakan penelitian dan kajian risiko, serta


pendidikan dalam konteks manajemen bencana; membangun
kemitraan strategis dengan berbagai pihak untuk mendorong
lahirnya kebijakan manajemen bencana yang tangguh
(resilience) sesuai dengan karakteristik sosial masyarakat
Indonesia.

1.6. Kompetensi Dasar Mahasiswa


Mahasiswa yang ikut serta dalam perkuliahan ini diharapkan
telah memahami konsep-konsep kunci di dalam ilmu sosial karena
diskursus dominan dalam mata kuliah ini berakar dari teori dan konsep
kunci di dalam ilmu sosial. Oleh karena itu, di bagian awal perkuliahan,
diberikan Pengantar Sosiologi Bencana yang merupakan spesifikasi
dari Pengantar Ilmu Sosiologi dalam konteks kebencanaan.
Penyelenggaraan sesi perkuliahan Pengantar Sosiologi Bencana ini
dilakukan untuk menyamakan persepsi mahasiswa tentang hal-hal
mendasar dalam ilmu sosial yang harus difahami, seperti konsekuensi-
konsekuensi paradigmatik yang berbeda antara iImu humaniora dan
imu positivistik. Hal ini diberikan kepada mahasiswa karena sebagian
mahasiswa Pasca Sarjana Prodi Manajemen Bencana untuk Keamanan
Nasional seperti Universitas Pertahanan Indonesia biasanaya tidak
memiliki latar belakang ilmu humaniora, bahkan banyak yang latar
belakangnya ilmu-ilmu eksakta, atau yang paradigma keilmuannya
positivistik murni.
Dengan diberikannya perkuliahan sosiologi bencana selama
enam belas kali tatap muka (dua kali ujian) kepada mahasiswa,
diharapkan terbangun satu paradigma pemikiran yang inklusif dalam
memandang persoalan bencana itu sendiri. Sebagai program studi yang
menganut prinsip interdisipliner, manajemen bencana perlu untuk
diperkaya dengan perspektif pemikiran yang sifatnya plural. Dalam
konteks mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan dapat menggunakan
perspektif sosiologis untuk membedah dan menganalisa persoalan
kebencanaan yang akan menjadi fokus utama studi mereka. Baik dalam
memenuhi kewajiban mereka untuk menulis tugas akhir, maupun
Bab 1 Pendahuluan | 13

dalam rangka penulisan-penulisan ilmiah lainnya. Perspektif sosiologi


bencana dalam hal ini dapat memperkaya khasanah keilmuan
mahasiswa Prodi MB dalam mengembangkan satu kajian strategis
terkait isu manajemen bencana dan keamanan nasional.
Dengan luaran yang sedemikian itu, diharapkan dapat terjadi
transformasi pemikiran di kalangan mahasiswa Prodi Manajemen
Bencana, dari yang semula tidak memiliki perspektif sosiologis dalam
memandang suatu masalah, menjadi memiliki perspektif dalam melihat
dan menganalisa suatu persoalan. Begitu juga dalam kaitan rencana
penelitian ataupun penulisan artikel ilmiah, mahasiswa yang
sebelumnya relatif terbatas dengan isu-isu sentral dalam khasanah
kebencanaan ataupun manajemen bencana, menjadi memiliki
cakrawala pengetahuan yang lebih luas dan mendalam. Bahan ajar ini
menjadi pegangan bagi penyelenggara proses belajar untuk dapat
melihat apakah pembelajaran sosiologi bencana yang dilakukan dapat
mendorong terjadinya transformasi tersebut.

1.7. Sistematika Penjelasan Bahan Ajar


Di dalam bahan ajar ini, penjelasan tentang setiap sesi
perkuliahan meliputi lima hal utama, yaitu deskripsi singkat tentang
tema pokok dalam perkuliahan, tujuan instruksional khusus,
pertanyaan-pertanyaan kunci yang menjadi inti dari perkuliahan,
konsep dan teori utama yang harus difahami oleh mahasiswa, serta
daftar referensi yang digunakan di dalam pembahasan perkuliahan itu.
Deskripsi singkat tentang perkuliahan meliputi pembahasan
pada tataran ontologis, mengapa perkuliahan dengan tema tersebut
diselenggarakan di Prodi Manajemen Bencana di Universitas
Pertahanan Indonesia, dan relevansinya dengan isu penanggulangan
bencana itu sendiri. Tujuan instruksional khusus merupakan hal yang
ingin dicapai di dalam satu sesi perkuliahan. Sementara pembahasan,
tentang pertanyaan kunci di dalam perkuliahan lebih diarahkan agar
mahasiswa memahami problem-problem kunci yang akan menjadi
14 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

bahan diskusi di dalam perkuliahan tersebut. Pertanyaan-pertanyaan


kunci yang dimaksud berdasarkan pada studi literatur yang relevan
dan juga isu-isu kekinian yang mengemuka di masyarakat, maupun
pada tataran kebijakan. Dengan diajukannya pertanyaan kunci di setiap
perkuliahan, maka mahasiswa dapat membangun satu kerangka
berpikir yang sifatnya sistematis untuk setiap isu yang dibahas.
Mengajukan beberapa pertanyaan kunci juga diharapkan dapat
membiasakan mahasiswa untuk dapat merumuskan pertanyaan ilmiah
yang memilki korelasi dengan rencana penulisan tugas akhir mereka.
Sedangkan konsep dan teori kunci merujuk pada kerangka teoritik
yang digunakan di dalam setiap sesi perkuliahan. Konsep-konsep apa
saja yang harus difahami mahasiswa untuk mengikuti sesi perkuliahan
tersebut. Sedangkan pencantuman daftar referensi di dalam penjelasan
setiap sesi perkuliahan bukan saja sebagai bahan yang harus dibaca
oleh mahasiswa dan dosen, tetapi juga sebagai justifikasi bahwa setiap
sesi perkuliahan didasari oleh referensi yang jelas dan kredibel.
Bab 1 Pendahuluan | 15

Referensi

Allan, Kenneth, 2005, Exploration in Classical Sociological Theory:


Seeing the Social World, Pine Forge Press.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2012). Peraturan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 5 Tahun
2012. In BNPB.
Beck, Ulrich, 1992, Risk Society: Towards a New Modernity, Sage
Publication, London.
Fischer, Henry W. 2003. The Sociology of Disaster: Definitions, Research
Question, & Measurements Continuation of the Discussion in a Post
September 11. Environment. International Journal of Mass
Emergencies and Dissasters. March 2003, Vol 21, No. 1, pp 91-107.
Goerge Ritzer & Douglas J. Goodman, Sociological Theory. New York:
Mc Graw Hill, 2004.
Surono, 2010, Geologi Lengan Tenggara Sulawesi, Badan Geologi
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, Bandung.
https://inarisk.bnpb.go.id/ (2022)
16 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana
Bab 2 Pengantar Sosiologi dan Sosiologi Bencana | 17

BAB II
Pengantar Sosiologi dan
Sosiolagi Bencana
18 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Bab II
Pengantar Sosiologi dan Sosiologi Bencana

2.1. Pengantar Sosiologi


Deskripsi Singkat
Pengantar Sosiologi adalah satu sesi awal yang diberikan untuk
menyamakan persepsi mahasiswa terhadap pengertian-pengertian
umum dalam ilmu sosiologi. Mahasiswa dalam konteks Ini akan diajak
untuk menelaah konsep dan teori yang sering digunakan di dalam ilmu
sosiologl. Sesi ini menjadi sesi yang sangat penting mengingat tidak
semua mahasiswa di Prodi Manajemen Bencana adalah mereka yang
memiliki latar belakang keilmuan di bidang sosial humaniora. Banyak
juga dari para mahasiswa yang latar belakang keilmuannya adalah
eksakta atau disiplin ilmu nonsosial humaniora. Oleh karenanya
dibutuhkan satu sesi kuliah pengantar dimana mahasiswa bisa
mendapatkan gambaran umum tentang apa yang dimaksud dengan
ilmu sosiologi dan bagaimana perkembangan disiplin ilmu tersebut
sampai dengan hari ini. Mahasiswa juga diharapkan dapat mempelajari
bagaimana sebagai sebuah perspektif, sosiologi memiliki kekhasan
tersendiri yang berbeda dengan disiplin ilmu sosial lainnya. Dengan
demikian, kuliah pertama ini adalah satu kuliah pokok yang harus
diikuti oleh semua mahasiswa yang mengambil mata kuliah sosiologi
bencana. Di dalamnya, mahasiswa juga akan diajak untuk memahami
paradigma di dalam ilmu sosiologi. Dikarenakan dalam sesi
perkuliahan selanjutnya mahasiswa akan banyak mendiskusikan dan
menganalisa persoalan kebencanaan dari perspektif sosiologis, maka di
pertemuan pertama inilah, beberapa konsep kunci akan diketengahkan
untuk sama-sama didiskusikan.
Mengingat perkembangan teori sosiologi begitu cepat dengan
menghasilkan banyak tokoh yang cukup terkemuka di dunia, maka
Bab 2 Pengantar Sosiologi dan Sosiologi Bencana | 19

dalam sesi perkuliahan ini, akan dibatasi beberapa teori saja yang akan
dijelaskan kepada mahasiswa. Pemilihan teori-teori yang dianggap
relevan untuk diberikan kepada mahasiswa didasari oleh pembagian
teori dalam sosiologi, seperti klasik, modern dan postmodern, serta
postcolonial. Pilihan teori juga dilandasi oleh literatur-literatur yang
banyak ditulis oleh para sarjana dalam ranah studi kebencanaan yang
menggunakan perspektif sosiologis di dalamnya. Konsep dan teori yang
umum digunakan akan dipilih untuk dijelaskan dan didiskusikan
dengan mahasiswa. Pilihan ini bisa berubah seiring perkembangan
teori sosiologi dan juga perkembangan studi sosiologi bencana itu
sendiri.
Beberapa teori sosiologi yang akan dibahas dalam perkuliahan
ini, seperti teori sosiologi klasik yang dimotori oleh tiga pemikir besar
dalam ilmu sosiologi, yaitu Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber.
Tiga tokoh besar dalam dunia sosiologi ini mewariskan pemikiran-
pemikiran penting yang menjadi bahan pondasi awal dari ilmu
sosiologi itu sendiri. Penggunaan teori dari ketiganya, dalam berbagai
ranah kajian, tak terkecuali kajian kebencanaan juga sering dilakukan
oleh para peneliti. Oleh karenanya, ketiganya akan dibahas secara
khusus di dalam sesi perkuliahan ini.
Selanjutnya, mahasiswa juga akan diperkenalkan dengan teori
sosiologi modern tingkat lanjut seperti Jurgen Habermas, Ulrich Beck,
Anthony Giddens, dan Pierre Bourdieu. Keempatnya mewakili para
pemikir sosiologi yang masih menganggap bahwa nilai-nilai
modernism masih bisa diselamatkan. Dalam bentuknya yang semakin
kompleks dan dinamis, modernism dengan segala konsekuensinya
masih relevan untuk diperjuangkan oleh masyarakat di dunia. Dalam
konteks kebencanaan pun, pemikiran-pemikiran mereka dianggap
masih relevan untuk digunakan sebagai alat analisa. Kemudian
mahasiswa juga akan diperkenalkan dengan tokoh-tokoh pemikir
sosiologi postmodernisme. Postmodernisme sebagai sebuah nilai baru
yang dianggap melampaui gagasan modernism itu sendiri, dalam ilmu
sosiologi menempati posisi yang semakin hari semakin kuat. Hal ini
20 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

terjadi karena dalam perjalanannya, modernism dalam wujud


rasionalisme dianggap telah gagal memperjuangkan nilai-nilai yang
diyakini kebenarannya, seperti egalitarianism, humanism, kebebasan,
kemajuan dan lain sebagainya. Oleh karenanya, postmodernisme
dijadikan sebagai tawaran baru untuk masa depan peradaban manusia.
Postmodernisme sendiri lebih merujuk pada upaya menampilkan dan
menghidupkan kembali narasi-narasi kecil yang sebelumnya tergusur
akibat proyek modernism itu sendiri. Narasi-narasi pinggiran ini
sebelumnya dianggap sebagai penghalang dari proyek modernism,
seperti tradisi, adat istiadat, mistisisme serta hal-hal lain yang
bertentangan dengan rasionalitas kemajuan. Tokoh-tokoh utama yang
akan diajukan dalam sesi perkuliahan ini antara lain, Michel Foucault,
Jacques Cerca, dan Jean Baudrillard. Dari ketiga tokoh itu, mahasiswa
akan diajak mendiskusikan apa yang dimaksud dengan gagasan
postmodernisme itu sendiri.

Tujuan instuksional Khusus


1. Mahasiswa mendapatkan persepsi yang sama tentang
dasar-dasar ontologis disiplin ilmu sosiologi.
2. Mahasiswa mampu memahami cara menganalisa persoalan
dalam perspektif sosiologis.

Pertanyaan Kunci
Dalam perkuliahan ini, ada beberapa pertanyaan kunci yang akan
dibahas untuk bisa mengantarkan diskusi di ruang kelas menjadi lebih
hidup dan dinamis. Beberapa pertanyaan kunci yang dibahas antara
lain:
1. Apa yang dimaksud dengan sosiologi?
2. Apa saja yang dibahas dalam disipIin ilmu sosiologi?
3. Bagaimana perkembangan disiplin sosiologi secara umum?
4. Siapa saja tokoh-tokoh pemikir dalam ilmu sosiologi?
5. Konsep-konsep dasar apa yang umum digunakan dalam
diskursus sosiologi?
Bab 2 Pengantar Sosiologi dan Sosiologi Bencana | 21

6. Bagaimana kontekstualisasi sosiologi dalam menganalisa


fenomena bencana?

Enam pertanyaan kunci yang diajukan dalam perkuliahan ini


menghadirkan problem-problem ontologis dalam imu sosiologi dan
relevansinya dengan persoalan bencana itu sendiri. Pertanyaan-
pertanyaan kunci ini merepresentasikan tema-tema utama dalam
diskusi di sesi perkuliahan pengantar sosiologi yang akan diberikan
kepada mahasiswa. Diharapkan dengan adanya pertanyaan-
pertanyaan ini, mahasiswa dapat memahami duduk persoalan dari
disiplin sosiologi secara umum. Pertanyaan terakhir merupakan
kontekstualisasi sosiologi dalam persoalan bencana yang akan dibahas
dalam perkuliahan selanjutnya.

Konsep dan Teori Kunci


Dalam pertemuan ini, ada beberapa konsep dan teori yang harus
difahami oleh mahasiswa, diantaranya:
1. Konsep sosiologi sebagal ilmu yang memahami tentang
masyarakat, sehingga mahasiswa, diwajlbkan memahami apa
yang dimaksud dengan masyarakat, struktur sosial, keagenan
serta relasi sosial. Konsep-konsep ini merupakan konsep
pengantar dalam ilmu sosiologi sehingga masyarakat dapat
memiliki satu perspektif tentang bagaimana melihat struktur
sosial sebuah masyarakat.
2. Konsep-konsep penting yang ada di dalam karya-karya sosiolog
klasik, seperti:
a. Emile Durkheim, tentang konsep fakta sosial, division of
labour, suicide, dan agama.
b. Max Weber, tetang konsep social stratification, leadership,
birocracy, dan rationalization.
c. Karl Marx, tentang konsep social class, class conflict,
alienation, dan social revolution.
22 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Karl Mark
Memperkenalkan Max Weber Emile Durkheim
pendekatan materialisme Memperkenalkan pendekatan Memperkenalkan pendekatan
dialektis, yang menganggap Verstehen (pemahaman), yang Fungsionalisme yang berupaya
konflik antar kelas sosial berupaya menelusuri nilai, menelusuri fungsi berbagai
kepercayaan, tujuan dan sikap elemen sosial sebagai pengikat
menjadi intisari perubahan yang menjadi penuntun sekaligus pemelihara
dan perkembangan perilaku manusia, seperti: keteraturan sosial, seperti:
masyarakat, seperti:konsep konsep social stratification, tentang konsep fakta sosial,
social class, class conflict, leadership, birocracy, dan division of labour, suicide, dan
alienation, dan social rationalization. agama.
revolution.

Gambar 2.1 Peta Teoritik


Sumber: Teori yang diolah penulis (2022)

3. Peta teoritik tentang teori sosiologi, yang terdiri dari:


a. Teori sosiologi klasik: Emile Durkheim, Max Weber, Karl
Marx
Teori sosiologi klasik adalah teori sosiologi yang dipelopori
oleh para sosiolog awal, semisal Aguste Comte, Ibnu
Khaldun, Karl Marx, Max Weber, dan Emile Durkheim.
Kendati banyak sosiolog awal yang masuk di dalam kategori
pendasar sosiologi klasik, tetapi hanya tiga sosiolog utama
yang wajib untuk dipelajari, yakni Karl Marx, Max Weber,
dan Emile Durkheim. Ketiganya menjadi pelopor dari
sosiologi klasik karena ketiganya merepresentasikan tiga
mazhab yang berbeda dan memiliki pengaruh yang kuat
sampai dengan para sosiolog selanjutnya. Marx mewariskan
paradigma konflik dalam melihat persoalan sosial, Weber
mewariskan cara pandang definisi sosial yang menjadi
dasar bagi perkembangan interaksionisme simbolik dan
Bab 2 Pengantar Sosiologi dan Sosiologi Bencana | 23

juga konstruktivisme sosial. Sedangkan Emile Durkheim


mendasari perkembangan para pemikir ilmu sosial dengan
paradigma strukturalis.
b. Teori sosiologi modern: Anthonny Giddens, Pierre Bourdieu
Yang dimaksud dalam kategori teori sosiologi modern,
sebenarnya bukan dalam kacamata modernisasi itu sendiri,
melainkan pada kategorisasi perkembangan teori yang
telah melampaui para sosiolog klasik. Ada banyak sosiolog
modern, dan yang akan menjadi pemandu dalam kuliah ini
hanya Giddens dan Bourdieu. Mereka berdua merupakan
para pengusung konsep late modernity, yang mencoba
untuk membangun jembatan antara keagenan dan struktur
sosial. Giddens merepresentasikan sosiolog modern dengan
penekanan pada dimensi voluntaristik agen. Sementara
Bourdieu, sosiolog yang walaupun masuk kategori post
struktural, tetapi tetap percaya akan kekuatan struktur
dalam mengendalikan tindakan sosial agen.
c. Teori sosiologi postmodern: Michel Foucault, Jacques
Derida
Teori sosiologi postmodern merupakan teori sosiologi yang
melampaui gagasan modernisme yang diusung oleh para
pendasar sosiologi klasik dan modern. Mereka
menempatkan modernisme sebagai satu proyek
kebudayaan yang ternyata gagal mencapai apa yang
dikehendaki oleh modernism itu sendiri, seperti;
emansipasi, kesetaraan, penghargaan terhadap
kemanusiaan, dan pencapaian keadilan. Kegagalan
modernisasi ini bukan hanya satu kegagalan yang sifatnya
teknis semata, tetapi karena asumsi- asumsi mendasar
terkait teori sosiologi dan teori sosial modern, mengandung
kelemahan-kelemahan sejak awalnya. Bagi para penganut
teori sosial postmodern, teori sosial modern terlalu
mendewakan proses modernisasi, sehingga
24 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

mengesampingkan realitas sosial yang tidak modern, yang


sejak saat itu dikategorisasikan sebagai yang antimodern.
Oposisi biner yang sedemikianlah yang ditolak mentah-
mentah oleh para teoritisi postmodern.
d. Teori sosiologi postkolonial: Edward Said, Gayatri Spivak
Jika postmodern berpijak pada perlawanan terhadap
oposisi biner yang dibangun oleh para pendasar teori sosial
dan sosiologi modern, maka teori postkolonial justru
menempatkan kolonialisme Eropa (barat) sebagai
representasi modernisme yang telah merusak sedemikian
besar tatanan sosial peradaban dunia timur. Dengan
gagasan kolonialisme yang menjadi kebijakan dunia barat di
masa lalu, Eropa telah menancapkan kuku-kukunya di
hampir seluruh wilayah dunia yang “nonEropa” atau
“nonBarat”. Kendati kolonialisme secara nyata telah
dihapuskan pada abad ke 20, tetapi para teoritisi
postkolonial justru melihat bahwa kolonialisme Eropa tidak
pernah benar-benar bisa hilang dari Timur. Sebabnya
adalah, mereka bukan saja melakukan eksploitasi ekonomi
dan politik di Timur, tetapi juga yang jauh lebih
shopisticated, mereka meninggalkan hal paling mendasar
yang sampai kini terus berkembang, dan menjadi dasar
utama dari tetap menancapnya kekuasaan Barat di Timur
yaitu, pengetahuan ala Barat yang secara dramatis telah
mematikan dan menggusur pengetahuan ala Timur.
Pengetahuan, cara pikir, cara pandang, cara bertindak ala
Barat yang menggantikan pengetahuan, cara pikir, cara
pandang, dan cara bertindak ala Timur. Hal inilah yang
menjadi asumsi utama para teoritisi postkolonial, bahwa
kolonialisme Barat tidak pernah benar-benar bisa hilang
dari Timur tanpa adanya kesadaran baru untuk memahami
secara kritis pengetahuan, cara pikir, cara pandang, dan cara
bertindak tersebut.
Bab 2 Pengantar Sosiologi dan Sosiologi Bencana | 25

4. Konsep-konsep umum dalam ilmu sosiologi, seperti:


a. Konflik dan integrasi sosial
Konflik sosial adalah satu persoalan sosial yang
menimbulkan ketegangan, gesekan, dan atau tindakan
kekerasan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya,
antara satu kelas sosial dengan kelas sosial lainnya, akibat
adanya perbedaan persepsi atau perebutan sumber daya.
Berdasarkan aktor pelakunya, konflik sosial dapat bersifat
horizontal ataupun vertikal. Sementara berdasarkan
cakupannya, konflik dapat terjadi di dalam satu kelompok
sosial (internal), maupun antar kelompok dengan kelompok
(eksternal). Konflik juga dapat bersifat manifest, ataupun
laten.
Integrasi sosial merujuk pada satu situasi sosial di mana
konflik dan ketegangan dapat dijembatani untuk dicarikan
jalan keluar sehingga tidak mengarah pada bentuk-bentuk
kekerasan. Integrasi sosial dapat diupayakan dengan
mencari kesesuaian-kesesuaian kepentingan
antarkelompok sehingga diperoleh satu konsensus bersama
untuk menjaga tatanan sosial dari kehancuran dan
ketidakberfungsiannya lagi.
b. Transformasi sosial dan agen perubahan
Transformasi sosial adalah satu proses perubahan sosial
yang mengarah pada bentuk-bentuk kemajuan kebudayaan
dari suatu tatanan sosial. Transformasi sosial atau
perubahan sosial dapat mencakup area mikro, meso dan
makro dari struktur sosial. Transformasi sosial dapat
meliputi transformasi ekonomi, transformasi budaya,
transformasi politik, teknologi dan yang lainnya. Dalam
praktiknya, transformasi sosial membutuhkan individu-
individu progresif yang memiliki kesadaran awal tentang
perubahan yang dimaksud untuk kemudian mengajak
26 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

pihak-pihak lain untuk menjalankan agenda perubahan


tersebut secara bersama-sama.
c. Identitas sosial
Identitas sosial adalah satu pandangan teoritik tentang
determinasi individu, dalam membangun satu realitas sosial
yang mengesampingkan persoalan struktul sosial. Di dalam
ilmu sosiologi, konsepsi tentang identitas sosial berakar
pada perspektif definisi sosial seperti yang diwariskan oleh
Max Weber. Identitas sosial mementingkan idiologi sebagai
basis dari praktik sosial individu, termasuk proses refleksi
yang dilalui dengan menegasikan peranan struktur ekonomi
maupun politik. Bagi sebagian kalangan, identitas sosial
adalah tempat individu merefleksikan diri dalam
menentukan praktek sosial sehari-hari yang akan mereka
lakukan.
d. Modernisme dan rasionalitas
Modernisme adalah satu faham yang lahir setelah manusia
menyadari pentingnya rasionalitas sebagai dasar dari
peradaban yang harus dibangun. Diawali di Eropa pada
abad 19, modernism menolak tradisi lama yang
direpresentasikan oleh kaum feodal dan aristokrat lama.
Perkembangan modernisme pada perjalanannya
menyentuh berbagai aspek kehidupan umat manusia,
seperti ilmu pengetahuan, seni, sastra, hukum dan
sebagainya. Proyek dari modernisme seringkali disebut
sebagai modernisasi, satu upaya perjuangan nilai-nilai
modern terkait kebebasan, kesetaraan, dan keadilan di
dalam masyarakat.
e. Interaksi dan relasi sosial
Interaksi sosial adalah satu dinamika relasi sosial atau
hubungan sosial, baik antar individu dengan individu,
individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan
kelompok. Interaksi sosiai inilah yang membentuk struktur
sosial. Tanpa adanya interaksi sosial, seorang individu
Bab 2 Pengantar Sosiologi dan Sosiologi Bencana | 27

mungkin saja bisa hidup, tetapi masyarakat ataupun negara


bangsa, tidak mungkin dapat bertahan. Dalam khasanah
sosiologi, bentuk interaksi sosial dibedakan menjadi dua,
yang sifatnya asosiasif atau disosiasif. Yang asosiasif terkait
dengan kerja sama dan akomodasi yang terjamin dalam
relasi tersebut, sementara yang disosiasif terkait dengan
konfik atau pertentangan yang muncul di dalam interaksi
tersebut.
f. Konstruksi dan rekonstruksi sosial
Teori tentang konstruksi dan rekonstruksi sosial mengacu
pada kemampuan individu dalam membangun satu realitas
sosial di dalam kehidupan sehan-harinya dengan
mengedepankan pengalaman subyektifnya dalam
berinteraksi dengan individu ataupun kelompok sosial yang
lain. Rekonstruksi sosial sendiri merupakan upaya bebas
yang dilakukan oleh individu secara terus menerus urtuk
membentuk ulang realitas sosial yang melingkupi dirinya.
Konstruksi sosial sekilas mengesampingkan determinasi
struktur sosial ekonomi dalam mengikat perilaku individu.
g. Nilai dan Norma Sosial
Nilai sosial adalah prinsip-prinsip yang hidup dan
berkembang di dalam satu tatanan sosial tentang apa yang
dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh satu
komunitas, yang sumbernya adalah kesepakatan-
kesepakatan yang dibangun oleh anggota komunitas
tersebut berdasarkan pada pengalaman mereka, dengan
tujuan menjaga keteraturan tatanan sosial. Sementara
norma sosial adalah aturan-aturan sosial yang mengikat
satu masyarakat tentang kesepatatan-kesepakatan yang
telah mereka buat dan berlaku bagi setiap angota dalam
jangkauan ruang dan waktu tertentu.
h. Ekonomi politik
28 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Pandangan ekonomi politik adalah satu perspektif dalam


ilmu sosial yang mengedepankan keutamaan basis ekonomi
maupun politik dalam menganalisa satu persoalan sosial
yang muncul di dalam satu tatanan masyarakat. Perspektif
ekonomi politik menomorsekiankan persoalan-persoalan
individu dan psikologis dalam pembentukan ulang realitas
sosial. Perspektif ekonomi politik diwariskan oleh salah
satunya Karl Marx yang melihat dimensi struktural sebagai
faktor paling kuat dari tindakan sosial yang muncul di
masyarakat. Tanpa penjelasan tentang struktur ekonomi
politik, sebuah persoalan akan kehilangan akar masalahnya
sehingga sulit untuk dicarikan jalan keluar yang lebih
realistis.
i. Institusi dan organisasi sosial
Institusi sosial adalah relasi-relasi yang terbangun di dalam
satu komunitas sosial yang terlembagakan, baik secara
formal maupun informal demi tujuan tertentu untuk
menyelesaikan persoalan sosial yang dihadapi oleh
masyarakat. Di dalam institusi sosial terjadi penyatuan nilai
dan kepentingan individu ataupun kelompok yang berbeda-
beda menjadi nilai dan kepentingan institusi. Institusi sosial
yang bersifat formal, seringkali disebut sebagai organisasi
sosial. Organisasi sosial tetap merujuk pada institusi sosial,
baik yang berbentuk badan hukum ataupun bukan.
Dan lain sebagainya

2.2. Pengantar Sosiologi Bencana


Penjelasan tentang sosiologi bencana mengerucut pada satu
pertanyaan penting, tentang bagaimana struktur sosial mengalami satu
situasi disrupsi ketika momen bencana itu terjadi serta sejauh mana
keagenan (agency) merespon bentuk-bentuk disrupsi yang
ditimbulkan. Fokus pada struktur dan agen sosial serta relasi di antara
keduanya ketika momen bencana tiba merupakan inti dari perdebatan
tentang bencana dari sudut pandang sosiologis. Kendati demikian,
Bab 2 Pengantar Sosiologi dan Sosiologi Bencana | 29

dalam perkuliahan ini, akan disajikan beberapa paradigma utama di


dalam sosiologi bencana yang umum berkembang di kalangan sarjana.
Perry (2005:5) menyebutkan bahwa dalam perkembangannya,
ada tiga pendekatan yang menjadi rujukan dalam melihat bencana
sebagai satu fenomena sosial. Pertama adalah para sarjana yang
menggunakan pendekatan bencana sebagai satu kejadian sosial (social
event) yang masuk dalam kategori pemikiran kebencanaan periode
klasik. Dalam perspektif ini, mereka memfokuskan pada kejadian-
kejadian bencana serta perubahan sosial yang menyertainya, seperti
kegagalan sistem sosial dalam merespon kejadian-kejadian ekstrim
sehingga bencana itu terjadi. Dalam perspektif yang sedemikian,
penguatan sistem sosial menjadi jalan penting agar satu tatanan sosial
dapat adaptif terhadap potensi ataupun kejadian yang bisa
menyebabkan bencana itu muncul. Kekuatan sistem sosial menjadi
kunci utama untuk mengatasi persoalan kebencanaan termasuk
menghindari jatuhnya korban jiwa akibat satu kondisi bencana.
Selanjutnya, pendekatan kedua adalah pendekatan hazard, atau
mara bahaya. Pendekatan hazard dalam melihat bencana
memfokuskan pada sumber dari bencana itu sendiri. Pada titik ini,
bencana muncul ketika yang dikategorikan sebagai hazard itu
bersentuhan dengan sistem sosial atau sistem yang digunakan oleh
manusia. Dalam interrelasi antara sumber bahaya dengan sistem sosial
itulah, bencana dapat terjadi. Oleh karenanya, di dalam diskursus ini,
kemudian berkembang istilah-istilah seperti kerentanan dan kapasitas
sosial atau vulnerability and capacity. Sehingga bencana dapat
digambarkan sebagai satu situasi alam ekstrim yang bertemu dengan
situasi sosial yang ditandai oleh seberapa besar kapasitas sosial satu
masyarakat dan seberapa besar kerentanan sosial di masyarakat.
Fungsi yang sedemikian ini dapat digunakan untuk menentukan,
apakah suatu kejadian dapat dikatakan sebagai sebuah bencana, atau
tidak. Maksudnya, jika situasi alam yang ekstrim itu ternyata
berhadapan dengan masyarakat yang memiliki kapasitas sosial yang
tinggi dan tingkat kerentanan yang rendah, maka kondisi ekstrim yang
30 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

dimaksud berpeluang kecil untuk menjadi satu kejadian bencana.


Begitu juga sebaliknya, tanpa ada satu kejadian alam yang ekstrim pun,
kapasitas yang lemah dan kerentanan yang tinggipun berpeluang
menjadi sumber bencana tersendiri bagi manusia.
Sementara pendekatan yang ketiga, yang melihat bencana
sebagai sebuah fenomena sosial. Pendekatan ini lebih cenderung
mengadopsi pendekatan konstruktivisme sosial dalam melihat
persoalan bencana itu sendiri. Perry (2005) pun menyebut hal ini
sebagai evolusi lebih lanjut dari pendekatan klasik dalam melihat
bencana yang digabungkan dengan pendekatan hazard. Dalam
pendekatan ini bencana justru dilihat sebagai satu fenomena sosial
yang memiliki akar dari struktur sosial sebuah masyarakat. Oleh
karena itu, konsepsi tentang apa itu bencana, kerentanan dan kapasitas
sosial sebuah masyarakat merupakan satu konstruksi sosial dalam
konteks perubahan sosial itu sendiri. Dengan pemahaman yang
sedemikian, isu pengetahuan (knowledge) tentang bencana yang ada di
masyarakat menjadi subyek penting di dalam setiap penelitian
kebencanaan. Secara kultural, pendekatan yang sedemikian
menyajikan satu cara pandang yang relatif segar dalam melihat
bagaimana masyarakat memaknai bencana beserta ukuran-ukuran
yang terlibat di dalamnya, seperti cakupan, skala, dan durasi dalam
setiap kejadian bencana. Pendekatan yang sedemikian juga
memungkinkan kita untuk memasukkan dimensi-dimensi kultural
yang lebih luas dalam melihat masalah bencana, seperti salah satunya
persoalan kearifan lokal.
Konteks dari diskusi tentang sosiologi bencana ini sendiri
merujuk pada tahapan-tahapan yang umum dikenal dalam sistem
penanggulangan bencana di manapun di dunia. Ada empat tahapan
yaitu hazard mitigation, disaster preparedness, disaster respond, dan
disaster recovery. Dalam ke empat tahapan itulah, pembahasan tentang
persentuhan antara struktur sosial dengan sumber bencana
dikerangkakan secara sosiologis.
Bab 2 Pengantar Sosiologi dan Sosiologi Bencana | 31

Tujuan instruksional Khusus


1. Mahasiswa memahami peta teoritik dari ranah kajian sosiologi
bencana
2. Mahasiswa mampu memahami bencana sebagai satu fenomena
sosial di dalam masyarakat

Pertanyaan Kunci
1. Apa yang dimaksud dengan melihat bencana dari perspektif
sosiologis?
2. Bagaimana sosiolog melihat persoalan bencana?
3. Bagaimana peta teoritik pendekatan sosiologi bencana dalam
perkembangannya?
4. Apa karakteristik sosiologi bencana yang dikembangkan di
dalam Prodi Manajemen Bencana?

Konsep dan Teori Kunci


Dalam sesi perkuliahan ini, ada beberapa konsep dan teori kunci
yang harus difahami oleh mahasiswa, diantaranya:
1. Definisi tentang bencana dari peradigma klasik
Bencana dalam paradigm klasik dilihat sebagai satu event yang
mendorong terjadinya perubahan sosial secara massif di
masyarakat. Dalam paradigma yang sedemikian, penekanan
pada analisa kekuatan sistem sosial dimana bencana itu
kemungkinan terjadi menjadi bagian yang sangat penting.
Kekuatan atau bahkan kelemahan sistem sosial dalam merespon
bencana menjadi problem mendasar dalam paradigma ini.
Solusi-solusi yang kemudian ditawarkan tidak lain adalah
dengan menyarankan dilakukannya penguatan pada sistem
sosial masyarakat, sehingga mereka dapat adaptif terhadap
setiap kejadian bencana.
2. Definisi tentang bencana dari paradigma hazard
Paradigma hazard atau yang dalam serapan bahasa
Indonesianya bisa berarti marabahaya lebih menekankan pada
32 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

pertemuan antara sumber bencana dengan manusia atau


masyarakatnya itu sendiri. Jika paradigma klasik tekanannya
pada sistem sosial dimana setiap kejadian bencana bisa dihadapi,
paradigm hazard memfokuskan pada proses bertemunya
sumber bencana dengan kapasitas sosial masyarakat itu sendiri.
Disini penekanan pada konteks bencana menjadi penting.
Konteks menekankan pada situasi-situasi tertentu yang menjadi
setting penting akan sebuah kejadian dimana segala macam
dimensi bisa bertemu, beradu dan menghasilkan satu fenomena
yang spesifik. Dalam paradigma inilah kita kemudian mengenal
istilah kerentanan (vulnerability) dan ketahanan (resilience).
Dua klasifikasi yang umum dikenal dalam studi-studi bencana
ini menggambarkan dua konteks perjumpaan masyarakat
dengan sumber bencana. Yang pertama memperlihatkan satu
situasi yang rentan dan cenderung negatif sehingga resiko
bencana semakin tinggi. Sementara yang kedua menunjukkan
satu situasi yang lebih ideal bagi masyarakat dalam menghadapi
bencana sehingga mampu menekan resiko bencana yang
mungkin terjadi. Kerentanan maupun ketahanan sendiri pada
akhirnya seperti dua bilah mata uang yang saling mengandalkan,
apabila salah satunya membesar, maka yang satunya mengecil,
demikian juga sebaliknya.
3. Definisi tentang bencana dari paradigma fenomena sosial
Paradigma ini merupakan posisi eklektik dari dua paradigma
yang sebelumnya. Masalah bencana sendiri diletakkan sebagai
satu konstruksi sosial yang berkembang di tengah masyarakat.
Sehingga, pengertian-pengertian umum tentang apakah
bencana? Atau kerentanan dan ketahanan bencana, kerawanan
bencana atau pengertian-pengertian yang lain merupakan satu
bangunan pemahaman yang muncul dan berkembang di tengah
masyarakat. Seringkali pemahaman-pemahaman tersebut
dikonstruksi oleh sebagian kalangan. Sebagai respon baliknya,
ada proses konstruksi ulang atau rekonstruksi dari sebagian
kalangan lainnya. Dengan demikian, cara pandang bencana
Bab 2 Pengantar Sosiologi dan Sosiologi Bencana | 33

sebagai konstruksi sosial memperlihatkan satu pemaknaan


yang lebih terbuka tentang bencana itu sendiri. Paradigma ini
dengan sendirinya membuka peluang bagi pengetahuan untuk
menjadi lebih dominan dalam setiap analisa tentang
kebencanaan, tak terkecuali pengetahuan yang sifatnya lokal,
atau bahkan yang bukan lagi pengetahuan, melainkan sudah
pada tingkat kearifan.
4. Konsep struktur dan agensi sosial di dalam konteks bencana
Struktur sosial adalah relasi-relasi antar individu dengan
individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan
kelompok di dalam masyarakat yang memiliki pola sehingga
membentuk satu bangunan sosial tertentu tentang sebuah
tananan masyarakat. Dalam konteks bencana, relasi antara
struktur sosial dan agensi sosial menjadi dasar dari bagaimana
masyarakat bisa merespon resiko-resiko bencana yang ada di
sekitar lingkungan mereka.
5. Teori perubahan sosial dalam konteks bencana
Perubahan sosial merupakan salah satu teorl klasik di dalam
sosiologi. Perubahan sosial merupakan satu keniscayaan di
dalam masyarakat yang terus berkembang. Perubahan sosial
dapat dilihat dengan memperhatikan keragaman cara hidup dan
cara berpikir, komposisi penduduk, dan perkembangan
kebudayaan suatu masyarakat yang diakibatkan oleh kemajuan
teknologi, bencana alam, perang, dan ide-ide baru lainnya.
Dalam konteks bencana, perubahan sosial sangat mungkin
berlangsung ketika satu tatanan sosial menghadapi bencana
yang begitu besar dampaknya bagi masyarakat, atau sebaliknya,
perubahan sosial juga bisa terjadi ketika satu tatanan sosial
menyadari bahwa diri mereka hidup bersama dengan bencana
itu sendiri. Perubahan sosial yang memiliki kaitan dengan
kebencanaan pada akhirnya harus bisa dilihat dengan hadirnya
pengetahuan-pengetahuan baru tentang bencana, kesadaran
tentang bencana, teknologi dan infrastruktur yang adaptif
34 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

terhadap bencana, dan kebijakan pembangunan yang mampu


mengurangi resiko bencana.
6. Konsep tentang kearifan lokal di dalam masyarakat
Kearifan lokal adalah pengetahuan, ketrampilan, dan teknologi
yang hidup dan berkembang di dalam satu komunitas
masayarakat dan hal itu fungsional bagi perkembangan
kebudayaan mereka. Kearifan lokal bisa bertolak belakang
ataupun sejalan dengan asumsi modernisasi, tetapi yang paling
penting untuk digarisbawahi, ciri-cirinya adalah, ia melekat
dalam sistem kebudayaan masyarakat lokal, diwariskan dari
generasi ke generasi, baik melalui budaya lisan, maupun tulisan.
Dalam kaitan kebencanaan, kearifan lokal biasanya merekam
secara kolektif kejadian dan pembelajaran tentang bencana di
masa lalu yang jika ditelisik lebih mendalam memiliki fungsi
yang signifikan bagi masyarakat. Meskipun fungsional, kearifan
lokal dalam beberapa hal belum bisa dirasionalisasi secara
keseluruhan.
7. Teori Eksklusi dan Inklusi Sosial
Eksklusi dan inklusi sosial adalah konsep yang berkembang
dalam konteks diskursus developmentalisme. Eksklusi sosial
sendiri melampaui persoalan marjinalisasi pembangunan.
Marjinalisasi pembangunan kerap dilontarkan oleh para
pengkritik agenda-agenda pembangunan yang menganggap
bahwa proses pembangunan senantiasa meminggirkan
masyarakat ekonomi kelas bawah. Eksklusi sosial justru
melampaui pandangan ekonomik tentang marjinalisasi tersebut.
Jika miarjinalisasi bertumpu pada dimensi ekonomi saja,
eksklusi sosial juga menyentuh ranah-ranah lain, seperti kultur
dan keterbatasan fisik satu golongan di dalam masyarakat.
Contohnya, adalah kaum perempuan dan transgender, serta
kaum difabel. Menurut teori eksklusi sosial, pembangunan dan
segudang standar yang menopang kebijakan ini, secara jelas
telah mengabaikan kelompok-kelompok sosial tertentu di
dalam masyarakat sehingga manfaat pembangunan menjadi
Bab 2 Pengantar Sosiologi dan Sosiologi Bencana | 35

tidak bermakna atau bahkan menindas mereka yang terkategori


sebagai pihak yang tereksklusi di dalam pembangunan.
Inklusi sosial adalah satu konsep sebaliknya dari eksklusi sosial.
Pembangunan dan setiap proses kemajuan di dalam masyarakat
sudah selayaknya dibangun dengan cara pandang yang inklusif
sehingga tidak satu golongan pun di dalam masyarakat yang
terabaikan oleh proses tersebut. Pembangunan yang inklusif
atau kemajuan yang inklusif kemudian menjadi slogan penting
untuk menghindari peminggiran sistematis kelompok-
kelompok sosial dalam proses pembangunan itu sendiri.
8. Teori kapital sosial di dalam struktur sosial
Kapital sosial dapat diartikan sebagai kekuatan sosial komunitas
yang bersama-sama dengan kapital lainnya, tertambat pada
struktur sosial mikro, meso dan makro, serta berfungsi untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pengatasan
masalah. Disini jelas bahwa pengertian kapital sosial merujuk
pada kekuatan atau kapasitas sosial dari satu komunitas. Tetapi
titik tekannya disini adalah pada hal-hal apa saja yang bisa
dianggap sebagai penanda penting dari keberadaan kapital
sosial di masyarakat. Atau yang bisa memperlihatkan kuat atau
lemahnya kapital sosial satu masyarakat.
Dalam penjelasan lebih lanjut, konsep kapital sosial didasari
oleh berkembang baiknya sistem nilai dan norma sosial di dalam
satu masyarakat, yang kemudian memperkuat rasa percaya
(trust) diantara anggota-anggota masyarakat itu sendiri. Situasi
yang sedemikian sebenarnya memungkinkan satu masyarakat
untuk memperkuat kohesivitas sosial dan menyelesaikan
persoalan-persoalan sosial yang terjadi di dalamnya. Penguatan
kohesivitas sosial ini kemudian disebut sebagai bounding social
capital, sebuah konsep yang mengarah pada dimensi internal
dari kapital sosial satu komunitas. Sementara untuk
mengembangkan kapital sosial yang dimaksud, bounding saja
tidaklah cukup. Dibutuhkan satu upaya untuk menjembatani
36 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

kapasitas sosial satu komunitas dengan entitas-entitas lain di


luar komunitasnya, baik yang masih dalam jangkauan, ataupun
yang berada di luar jangkauan mereka. Entitas-entitas ini sering
juga dipadankan dengan istilah jejaring atau social network. Dan
upaya untuk menjembatani jejaring dengan bounding capital
social dikenal dengan istilah bridging social capital.
9. Konsep ketahanan dan kerentanan sosial
Ketahanan sosial merupakan kemampuan yang dimiliki oleh
satu masyarakat untuk membentuk ulang tatanan sosial,
mempertahankan relasi-relasi positif termasuk bertahan dalam
menghadapi tekanan sosial, dan menyelesaikan persoalan sosial
yang muncul dari dalam lingkungan sosial mereka sendiri.
Sementara kerentanan sosial adalah kebalikan dari konsep
ketahanan sosial. Kerentanan sosial lebih dialamatkan pada
kelemahan-kelemahan mendasar yang ada di dalam struktur
sosial satu masyarakat. Kelemahan itu sendiri dalam taraf
tertentu dapat melahirkan gangguan sosial yang melemahkan
ikatan-ikatan sosial yang ada di dalamnya, dan dalam cakupan
yang lebih luas juga bisa menjadi titik lemah ketika menghadapi
bentuk-bentuk tekanan dari luar komunitas tersebut.
10. Teori konflik dan intergrasi sosial dalam konteks bencana
Konflik sosial adalah satu situasi ketegangan yang bisa berujung
pada aksi kekerasan, atau bahkan perang. Konflik sosial pada
dasarnya terjadi akibat adanya perebutan sumber daya yang
terbatas antara satu kelas sosial dengan kelas sosial lainnya.
Konflik sosial bisa terjadi di dalam lingkup internal maupun
eksternal satu komunitas, dan bisa bersifat laten ataupun
manifest. Konflik merupakan kealamiahan dari relasi sosial
antarmanusia, oleh karenanya, konflik harus terus menerus
dikelola agar tidak berujung pada tindakan kekerasan dalam
menyelesaikan konflik tersebut. Konflik dalam hal ini perlu
diarahkan pada bentuk-bentuk kompetisi yang memacu
kemajuan dari pihak-pihak yang sedang berkonflik. Sehingga
Bab 2 Pengantar Sosiologi dan Sosiologi Bencana | 37

konflik jadi memiliki dimensi yang lebih konstruktif, yaitu


progress dalam peradaban dan kebudayaan masing-masing.
Dalam lingkup tertentu, konflik yang sudah mengarah pada aksi-
aksi kekerasan, tindakan anarkis, dan merusak tatanan sosial,
termasuk hancurnya nilai dan norma sosial, perlu untuk segera
dimediasi. Mediasi ini dibutuhkan untuk mengetahui ukuran
kemenangan dari masing-masing pihak, termasuk mengetahui
kepentingan-kepentingan yang menjadi alas dari konflik yang
dimaksud. Dengan pengetahuan akan ukuran kemenangan serta
kepentingannya, maka konflik akan lebih mudah untuk
dimediasi, termasuk dicarikan solusi jalan keluarnya. Situasi
konflik yang sudah mereda, dan masyarakat kembali ke dalam
sistem nilai dan aturannya, dilanjutkan dengan berkembangnya
ikatan sosial serta kerjasama, merupakan satu proses integrasi
sosial.
11. Konsep tentang globalisasi
Globalisasi adalah satu gelombang ekonomi politik yang
melampaui batas-batas konvensional tentang negara dan
bangsa. Gelombang ini mengalirkan modal ke berbagai arah
seraya mengurangi peran negara dalam mengatur masyarakat
dan pasar bebas. Gelombang ini selain menyimpan segudang
peluang ekonomi, tetapi dalam beberapa hal juga menghadirkan
ancaman bagi kelangsungan keberadaan negara bangsa.
Sebagian sarjana menganggap globalisasi sebagai proyek
lanjutan dari neoliberalisme sehingga perlu diwaspadai
pengaruh-pengaruh yang dihasilkan oleh mekanisme ini, seperti
semakin lunturnya nasionalisme dan masifnya westernisasi di
seluruh penjuru dunia. Tetapi sebagian kalangan justru melihat
bahwa globalisasi memberikan kemungkinan bagi negara untuk
memaksimalkan fungsinya, terutama dalam kaitan investasi
ekonomi serta akses komoditas terhadap pasar.
12. Konsep tentang pemberdayaan masyarakat untuk mengatasi
bencana
38 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Pemberdayaan masyarakat bisa diartikan sebagai satu


intervensi sosial yang menitikberatkan pada penguatan institusi
sosial di masyarakat sehingga persoalan-persoalan sosial yang
ada bisa dicarikan jalan keluarnya. Pemberdayaan masyarakat
bisa berorientasi pada upaya pengembangan ekonomi
masyarakat lokal dengan memanfaatkan potensi dan modalitas
yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat, seperti
sumberdaya alam, local wisdom, tradisi dan budaya, sumber
daya manusia, nilai dan norma sosial. Pemberdayaan
masyarakat juga bisa dlakukan oleh pihak internal maupun
eksternal komunitas.

Kotak 2.1. Pendekatan Teoritis dalam Sosiologi Bencana

Pendekatan teoritis terhadap bencana dalam kajian sossologi


dapat diklassfikasikan dalam tga parackem utama (Gilbert,
1998). Paradigma pertama memandang bencana tak ubahnya
peperangan damana kejadiannya dapat diidentikkan dengan
sebab-sebab eksternal. Masyarakat dalam pandangan im,
merupakan entitas yang sedang menghadapai serangan dari
luar. Sebagai sebuah perspektif, bahaya yang berada di
sekeliing tempat permukiman juga diperspektifkan sebagai
musuh yang sewaktu-waktu menyerang permulaman
masyarakat. Pendekatan kedua menganggap bencana sebagai
reflekss dani kerentanan sosial komunrtas terkast, dengan kata
lain, cerminan dari logika internal dan proses sosial yang
berlaku di masyarakat (kerentanan). Paradigma kenga
memandang bencana sebagai awal dari ketidakpastian, dimana
ia terkait erat dengan ketidakmampuan manusia untuk
memprediksi bahaya yang akan datang, terutama seteiah
terjadénya hal yang memmutarbakkkan asumsi umum dan cara
masyarakat untuk memahami kenyataan di sekitarnya.
Bab 2 Pengantar Sosiologi dan Sosiologi Bencana | 39

Referensi

Allan, Kenneth, 2005, Exploration in Classical Sociological Theory:


Seeing the Social World, Pine Forge Press.
Allan, Kenneth, 2006, Contemporary Social and Sociological Theory:
Visualizing Social Worlds. Pine Forge Press.
Goerge Ritzer & Douglas J. Goodman, Modern Sociological Theory. New
York. Mc GrawHill, 2004.
Maureen Fordam, 2007, Disaster and Development Research and
Practice: A Necessary Eclectisism? In: Handbook of Disaster
Research (Ed: Rodriguez H., Quarantelli E.L, Dynes R.R.). Springer.
Perry, Ronald W. 2007. What is A Disaster? In: Handbook of Disaster
Research (Ed: Rodriguez H., Quarantelli E.L., Dynes R.R.). Springer.
Quarantelli E.L., Lagadec P., Boin A., 2007. A Heuristic Approach to
Future Disasters and Crises: New, Old, and In-Between Types. In:
Handbook of Disaster Research (Ed: Rodriguez H., Quarantelli E.L.,
Dynes R.R.). Springer.
Ritzer. George, 2005. Teori Sosial Postmodern (terj) Kreasi Wacana.
Yogyakarta.
40 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana
Bab 3 Sejarah Bencana Besar di Dunia dalam Perpektif Sosiologis | 41

BAB III
Sejarah Bencana Besar di
Dunia dalam Perfektif
Sosiologis
42 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Bab III
Sejarah Bencana Besar di Dunia dalam
Perspektif Sosiologis

3.1 Sejarah Bencana Besar di Dunia dalam Perspektif


Sosiologis
Deskripsi Singkat
Studi sosiologis adalah studi tentang perkembangan suatu
masyarakat. Oleh karenanya, penelusuran terhadap persoalan historis
sebuah tatanan sosial menjadi salah satu hal yang mutlak dilakukan,
untuk mengetahui sejauh mana sebuah masyarakat dapat merespon
bentuk-bentuk perubahan yang terjadi. Dalam kaitan kebencanaan,
studi tentang sejarah kebencanaan yang pernah terjadi di dalam satu
lingkup sosial masyarakat dapat menggambarkan banyak hal, seperti
jenis-jenis bencana yang pernah terjadi; jumlah korban dan kerugian
yang pernah dialami; bentuk-bentuk inisiatif sosial yang muncul pasca
terjadinya bencana; perubahan struktur ekonomi, politik, dan budaya
yang diakibatkan oleh bencana; pengetahuan tentang kebencanaan
yang mengendap di dalam struktur sosio-kultural masyarakat; strategi
adaptasi dan mitigasi yang berkembang di dalam masyarakat; dan lain
sebagainya. Kesemua informasi itu dapat dirangkum dalam kerangka
pembelajaran yang dapat diambil dari satu rangkaian kejadian bencana.
Pembelajaran juga bisa diklasifikasikan ke dalam beberapa tema,
sehingga dapat diperoleh satu pemahaman yang utuh tentang
bagaimana relasi antara bencana dengan masyarakat.
Dalam konteks pembelajaran sosiologi bencana, beberapa
kejadian bencana besar di dunia penting untuk diulas agar mahasiswa
dapat menganalisa bentuk-bentuk perubahan mendasar apa yang
terjadi akibat adanya suatu bencana. Analisa dalam konteks sejarah
bencana ini, akan difokuskan pada beberapa klasifikasi mendasar
Bab 3 Sejarah Bencana Besar di Dunia dalam Perpektif Sosiologis | 43

dalam ilmu sosiologi, seperti bentuk perubahan sosial yang terjadi,


serta respon utama yang diberikan masyarakat atas kejadian bencana
tersebut, serta relasi diantara respon dan perubahan yang dimaksud.
Dengan mengulas menggunakan dua konsep itu, maka mahasiswa
diharapkan dapat memahami bagaimana melihat satu kejadian
bencana secara sosiologis. Contoh-contoh bencana yang akan diberikan
dalam konteks perkuliahan ini akan dibagi ke dalam beberapa
periodesasi peradaban manusia. Semisal, bencana yang terjadi pada
saat masa pramodern, masa modern, dan di masa kontemporer.
Pengajuan beberapa contoh bencana besar di dunia, termasuk di
Indonesia dalam kurun waktu yang berbeda-beda dimaksudkan untuk
menunjukkan, bahwa meskipun peradaban manusia terus bergerak ke
arah kemajuan, tetapi sumber-sumber bencana, apakah yang termasuk
ke dalam bencana alam, bencana buatan manusia, ataupun bencana
akibat kombinasi antara keduanya, tetap menjadi faktor penting
terjadinya perubahan sosial di masyarakat. Penelaahan sejarah
bencana ini juga untuk memperlihatkan, bagaimana cara penyiasatan
manusia dalam merespon bencana terus menerus mengalami
perkembangan, termasuk bagaimana proses redefinisi terhadap
bencana terus menerus dilakukan oleh para Sarjana.
Secara umum bencana adalah satu hal yang sering kita dengar,
lihat, bahkan bisa jadi dialami sendiri. Indonesia yang merupakan
negeri dengan gugusan kepulauan mempunyai potensi bencana yang
sangat tinggi dan bervariasi berdasarkan jenisnya, seperti Gempa,
banjir, tsunami, puting beliung, tanah longsor, kebakaran, hingga
letusan gunung berapi. Hal tersebut tak lepas dari kondisi geografis dan
geologis Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng raksasa
yaitu Indoaustralia, Pasifik, dan Eurasia, serta berada pada "Ring of
Fire". Kondisi tersebut yang menyebabkan Indonesia mempunyai
potensi tinggi terhadap terjadinya bencana gempabumi, tsunami,
letusan gunung api dan gerakan tanah (tanah longsor). Posisi wilayah
Indonesia yang berbentuk kepulauan dan berada di garis khatulistiwa
menimbulkan potensi tinggi terjadinya berbagai jenis bencana
44 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

hidrometeorologi, seperti banjir, kekeringan, cuaca ekstrim (angin


puting beliung), abrasi, gelombang ekstrim, maupun kebakaran lahan
dan hutan. Selain itu, jumlah penduduk Indonesia yang semakin
meningkat sementara lahan yang terbatas menyebabkan
meningkatnya permukiman yang tidak terkendali serta meningkatnya
perkembangan teknologi. Hal tersebut menimbulkan potensi
terjadinya bencana antropogenik seperti epidemi, wabah penyakit, dan
kegagalan teknologi. Oleh karena itu, tak heran kalau beberapa hasil
penelitian menempatkan Indonesia sebagai negara yang sangat rawan
bencana. Beberapa hasil penilaian tentang risiko bencana
menempatkan Indonesia sebagai negara dengan indeks risiko bencana
yang tinggi, bahkan sebagai negara yang berisiko ekstrim bencana
peringkat 2 setelah Bangladesh (BNPB; 2013).
Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk Pengurangan Risiko Bencana (United Nations
Secretariat for International Strategy for Disaster Reduction-UNISDR)
dari data Centre for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED),
Emergency Events Database (EM-DAT) pada Januari 2019, diketahui
bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah korban jiwa
tertinggi sepanjang tahun 2018. Dari total 10.733 korban jiwa di
seluruh dunia, 4.535 orang di antaranya dari Indonesia.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan bencana? Apakah semua
peristiwa yang tidak menyenangkan dan tidak diinginkan dapat
dikatakan sebagai sebuah bencana? UNISDR (2000) menyatakan
bahwa bencana adalah suatu gangguan serius terhadap keberfungsian
masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada
kehidupan manusia, dari segi materi, ekonomi atau lingkungan.
Gangguan tersebut melampaui kemampuan masyarakat yang
bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya
mereka sendiri. Dari definisi tersebut diketahui bahwa suatu peristiwa
dikatakan bencana apabila merupakan gangguan yang menyebabkan
kerugian dan melampaui kemampuan masyarakat untuk mengatasinya.
Sementara Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa
Bab 3 Sejarah Bencana Besar di Dunia dalam Perpektif Sosiologis | 45

bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam


atau mengganggu kehidupan dan penghidupan timbulnya korban jiwa,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Dalam definisi tersebut dikatakan bahwa suatu peristiwa dapat
dikatakan sebagai sebuah bencana apabila mengancam kehidupan dan
penghidupan, serta menyebabkan timbulnya korban jiwa, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Jadi, tidak semua peristiwa yang mengancam disebut bencana.
Peristiwa yang mengancam dikatakan hanya sebagai sebuah peristiwa
jika tidak menimbulkan korban jiwa maupun kerusakan atau kerugian.
Dalam konteks ini, peristiwa tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah
ancaman atau bahaya. Bencana terjadi jika ancaman atau bahaya ini
bertemu dengan kerentanan. Kerentanan adalah serangkaian kondisi
yang menentukan apakah bahaya yang terjadi dapat menimbulkan
bencana atau tidak. Rangkaian kondisi ini dapat berupa kondisi fisik,
sosial, maupun mental atau sikap. Kerentanan fisik misalnya bangunan
yang tidak tahan bencana atau infrastruktur dan konstruksi yang lemah.
Kerentanan sosial misalnya kemiskinan, konflik, atau kelompok rentan
seperti anak-anak, wanita, dan lansia. Sementara kerentanan mental
misalnya ketidaktahuan, kurangnya percaya diri, dan tidak menyadari.
Kerentanan ini mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam
melakukan serangkaian pencegahan, pengurangan risiko, dan
kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.
Perlu disadari bahwa kajian tentang bencana dalam dekade
terakhir menunjukkan terjadinya perubahan orientasi, yang semula
lebih banyak membahas masalah teknis tentang kejadian yang memicu
bencana dan penanganan korban bencana menjadi pendekatan yang
menekankan pada pendekatan manusia dan masyarakat.
46 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Gambar 3.1. Lempeng Tektonik Dunia dan Lempeng Tektonik yang Meliputi
Indonesia
Sumber: https://www.kompas.com

Yang paling penting dalam konteks mempelajari sejarah tentang


bencana ini adalah, bagaimana membaca itu semua dalam konteks
kekinian. Sebagai sebuah data, sejarah tentang bencana bisa saja
diletakkan sebagai kejadian masa lalu yang tidak memiliki kaitan
dengan apa yang terjadi pada hari ini. Tetapi dalam studi-studi
kebencanaan, terutama yang dilakukan oleh golongan ilmuwan teknik,
ataupun eksakta, sejarah kejadian bencana dapat dijadikan sebagai
referensi dalam melihat tren potensi ataupun resiko bencana yang
mungkin terjadi di masa depan. Oleh karenanya, dibutuhkan satu alat
analisa yang bisa mengantarkan mahasiswa untuk meletakkan
pembelajaran historis ini dalam konteks melihat resiko-resiko bencana
Bab 3 Sejarah Bencana Besar di Dunia dalam Perpektif Sosiologis | 47

yang mungkin muncul di masa depan. Dalam satu penjelasan yang lebih
radikal, bencana bisa ditempatkan sebagai salah satu faktor penting
dalam mendorong lajunya peradaban di dalam masyarakat, seperti
bentuk-bentuk bangunan, teknologi pengairan, teknologi pangan,
teknologi komunikasi dan lain sebagainya, termasuk lahirnya lembaga-
lembaga negara yang kemudian memiliki tugas dan tanggung jawab
untuk secara khusus mengurusi soal kebencanaan. Secara sosiologis,
hal ini bisa diringkas dalam satu terma, bahwa bencana telah
membentuk ulang masyarakat atau “disaster reshaped community”.
Secara ekstrim, peradaban manusia bisa juga dikatakan terbentuk oleh
kejadian-kejadian bencana itu sendiri.

Tujuan Instruksional Khusus


1. Mahasiswa mampu memahami beberapa kejadian bencana
besar di dalam perjalanan peradaban dunia dalam perspektif
sosiologis.
2. Mahasiswa dapat menganalisa bagaimana dalam sejarahnya,
bencana mampu membentuk ulang tatanan sosial di masyarakat.

Pertanyaan Kunci
1. Apa urgensi mempelajari sejarah dalam konteks ilmu sosial?
2. Sejauh mana dinamika perjalanan sejarah suatu masyarakat
dapat memberikan pengaruh bagi perkembangan masyarakat
tersebut di kemudian hari?
3. Dalam konteks kebencanaan, apa saja kejadian bencana besar
yang pernah terjadi di dunia yang sempat terekam oleh para
peneliti kebencanaan?
4. Sejauh mana kejadian bencana tersebut memberikan dampak
bagi masyarakat?
5. Bagaimana keterkaitan kejadian bencana tersebut dengan
dinamika sosial, ekonomi dan politik yang ada di masyarakat?
48 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

6. Pembelajaran penting apa yang bisa diambil dari telaah historis


kejadian bencana dengan upaya mengatasi resiko-resiko
kebencanaan yang mungkin muncul di masyarakat?

Konsep dan Teori Kunci


1. Perubahan sosial
Perubahan sosial adalah satu proses transformasi sosial yang
mengarah pada bentuk-bentuk kemajuan kebudayaan dari
suatu tatanan sosial. Perubahan sosial dapat mencakup aras
mikro, meso dan makro dari struktur sosial. Perubahan sosial
dapat meliputi transformasi ekonomi, transformasi budaya,
transformasi politik, teknologi dan yang lainnya, Dalam
praktiknya, perubahan sosial membutuhkan Individu-individu
progresif yang memiliki kesadaran awal tentang perubahan
yang dimaksud untuk kemudian mengajak pihak pihak lain
untuk menjalankan agenda perubahan tersebut secara bersama
sama. Terdapat pola pola utama dari perubahan sosial, yaitu
linear, di mana perubahan sosial mengarah pada satu titik
tertentu dan berjalan seara linear. Misalnya perubahan sosial
dari masyarakat primitif, menuju masyarakat tradisional dan
berakhir pada masyarakat modern. Perubahan yang sedemikian
secara sederhana bisa dilihat sebagai satu perubahan sosial
yang sifatnya linear.
Kemudian perubahan sosial yang polanya siklikal. Satu proses
perubahan sosial yang melalui tahapan-tahapan yang
mengulang. Misalnya, dari masyarakat primitif ke masyarakat
tradisional, lalu ke masyarakat modern dan kembali lagi, dari
masyarakat modern, ke masyarakat tradisional, lalu ke
masyarakat primitif. Yang terakhir, pola gabungan dari kedua
pola sebelumnya. Dimana proses kemajuan dari masyarakat
primitif menuju masyarakat modern terjadi, tetapi dinamika
yang berlangsung di dalamnya menunjukkan bagaimana ciri-ciri
dari ketiganya seperti terus melekat dan tidak serta merta
Bab 3 Sejarah Bencana Besar di Dunia dalam Perpektif Sosiologis | 49

hilang meskipun secara umum proses kemajuan menuju


peradaban modern telah bisa dicapai oleh satu masyarakat.
2. Kerentanan sosial
Sementara kerentanan sosial adalah kebalikan dari konsep
ketahanan sosial. Kerentanan sosial lebih dialamatkan pada
kelemahan-kelemahan mendasar yang ada di dalam struktur
sosial satu masyarakat. Kelemahan itu sendiri dalam taraf
tertentu dapat melahirkan gangguan sosial yang melemahkan
ikatan-ikatan sosial yang ada di dalamnya, dan dalam cakupan
yang lebih luas juga bisa menjadi titik lemah ketika menghadapi
bentuk-bentuk tekanan dari luar komunitas tersebut.
Kerentanan sosial adalah sebagian dari hasil atau dampak
kesenjangan sosial yang dipengaruhi faktor-faktor sosial atau
bentuk kerentanan yang membahayakan/mengancam berbagai
kelompok dan yang juga mengatur kemampuan mereka untuk
merespon. Kerentanan sosial menunjukkan potensi kehilangan
pada elemen risiko khusus yang merujuk pada keadaan manusia,
disertai kondisi yang menyertainya seperti usia, jenis kelamin,
latar belakang pendidikan, latar belakang ekonomi atau faktor
lain yang dapat menyebabkan mereka berada dalam kondisi
rentan. Kerentanan sosial mengacu pada karakteristik
seseorang atau kelompok serta kondisi mereka terhadap yang
mempengaruhi kapasitas mereka untuk mengantisipasi,
mengatasi, menolak atau pulih dari dampak adanya suatu
bahaya. Kerentanan sosial merepresentasikan sebuah keadaan
yang tidak dapat dipisahkan yang berada pra atau sebelum
terjadinya bencana. Kerentanan sosial meliputi faktorfaktor
sosial, ekonomi, politik dan kelembagaan. Faktor kerentanan
sosial meliputi modal manusia, pengembangan masyarakat,
infrastruktur publik dan sumberdaya milik masyarakat.
Sementara, kerentanan sosial wilayah menggambarkan
kerapuhan sosial dari suatu wilayah akibat pengaruh dari
adanya bahaya, ancaman dan bencana yang memiliki potensi
50 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

merusak, mengganggu serta merugikan. Kerentanan sosial


wilayah dipengaruhi oleh beberapa faktor sosial seperti
karakteristik demografi wilayah, karakteristik sosial ekonomi
wilayah, jaringan sosial atau masyarakat serta jaringan politik
atau sistem kelembagaan wilayah. Suatu wilayah yang memiliki
kondisi sosial yang rentan, maka akan menimbulkan dampak
kerugian yang besar ketika menghadapi ancaman atau bencana.
Faktor kerentanan sosial meliputi:
a. Modal manusia
b. Pengembangan masyarakat
c. Infrastruktur publik
d. Sumberdaya milik masyarakat.

Tingkat kerentanan sosial menggambarkan kondisi tingkat


kerapuhan sosial dalam menghadapi bahaya (hazards). Pada
kondisi sosial yang rentan maka jika terjadi bencana dapat
dipastikan akan menimbulkan dampak kerugian yang besar.
Tingkat kerentanan tinggi jika tingkat risiko yang
muncul/dihasilkan bernilai besar akibat adanya bahaya. Oleh
karena itu, suatu sistem perlu memiliki kapasitas
ketahanan/penanggulangan yang tinggi dalam merespon
bahaya agar tingkat risiko yang muncul bernilai kecil.
3. Ketahanan sosial
Ketahanan sosial merupakan kemampuan yang dimiliki oleh
satu masyarakat untuk membentuk ulang tatanan sosial,
mempertahankan relasi-relasi positif termasuk bertahan dalam
mengahadapi tekanan sosial, dan menyelesaikan persoalan
sosial yang muncul dari dalam lingkungan sosial mereka sendiri.
Ketahanan sosial memungkinkan satu komunitas untuk dapat
bertahan dalam menghadapi tekanan dari pihak eksternal,
maupun gangguan ataupun disrupsi dari pihak internal.
Ketahanan sosial dalam lingkup yang lebih luas dan dalam
jangka waktu yang panjang, serta pelibatan semakin banya,
Bab 3 Sejarah Bencana Besar di Dunia dalam Perpektif Sosiologis | 51

komponen sosial di dalam satu masyarakat, bisa mengarah pada


satu bentuk ketahanan nasional.
4. Natural disaster
Bencana alam adalah satu kejadian besar yang diakibatkan oleh
fenomena alamiah dari bumi dan semesta yang menghilangkan
nyawa, menghancurkan harta benda, merusak ekologi, dan
mengganggu aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan
dasar hidupnya. Secara umum bencana alam mengakibatkan
terjadinya gelombang perubahan sosial dari peradaban manusia.
Kejadian bencana alam contohnya seperti: banjir, tanah longsor,
gempa bumi, gunung meletus, tsunami, dan yang lainnya.
5. Man made disaster
Bencana non-alam adalah kejadian bencana yang diakibatkan
oleh tingkah laku manusia dan hal tersebut mendorong
terjadinya perubahan sosial dalam skala tertentu di dalam satu
masyarakat. Contoh dari man made disaster adalah terorisme,
perang, kecelakaan kereta api, kecelakaan pesawat dan lain-lain.
6. Na-tech disaster
Bencana alam dalam beberapa kejadian juga memicu kerusakan
atas seperangkat teknologi buatan manusia. Proses ini sering
juga disebut dengan efek domino dari satu kejadian bencana
alam. Pada kasus reaktor nuklir Fukushima misalnya, kerusakan
pada pembangkit listrik nuklir itu disebabkan oleh gempa bumi
di Jepang pada tahun 2011. Gempa bumi yang juga
mengakibatkan tsunami itu sendiri sudah merupakan satu
kejadian bencana alam. Tetapi gempa yang juga merusak
reaktor nuklir itu pada prosesnya menimbulkan satu bencana
lanjutan yang dampaknya tidak kalah mengerikan dibanding
bencana alam yang utama. Pada kasus yang sedemikian,
gabungan antara bencana alam dan bencana karena rusaknya
satu teknologi buatan manusia dikenal dengan istilah na-tech
disaster. Ini merupakan kombinasi antara bencana yang
52 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

sumbernya dari alam dan bencana yang sumbernya teknologi


buatan manusia.

Gambar 3.2 Infografik Sebaran Kejadian Bencana Alam 1 Januari – 18 Mei Tahun
2020 di Indonesia
Sumber: https://www.bumiayu.id

Pada tahun 2022 BNPB mencatat ada 1.296 bencana yang


terjadi di Indonesia, namun hasil analisis BNPB adalah bahwa bencana
di tahun 2020 lebih rendah dari jumlah bencana tahun-tanun
sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa penanggulangan bencana di
Indonesia secara sosiologis menunjukkan peningkatan, dikarenakan
adanya keberhasilan program atau system yang sudah
tersosialisasikan di tengah-tengah masyarakat luas. Hal ini berdampak
pada penguatan ketahanan sosial maupun nasional secara signifikan.
Bab 3 Sejarah Bencana Besar di Dunia dalam Perpektif Sosiologis | 53

Kotak 3.1 Sejarah Bencana Dunia

Di masa Yunani dan Romawi kuno terekam banyak kejadian


bencana alam disertai respon awal dan lanjutan dari
masyarakat dalam menghadapi bencana yang terjadi. Dua
kejadian bencana yang cukup besar, diantaranya wabah
penyakit yang melanda Athena pada tahun 430 SM selama
perang Peloponesia yang dijelaskan oleh Thucydides yang
menyaksikan serta menderita karena wabah tersebut, serta
erupsi Gunung Vesuvius pada tahun 79 setelah masehi yang
tercatat dalam surat-surat Pliny the Younger, yang
menyaksikan dan sempat melarikan diri dari bencana tersebut.
Para korban dari dua kejadian ini terjebak dalam kebingungan
dan ketidakpastian terkait apa yang harus mereka lakukan.
Dalam banyak kasus, kohesi sosial rusak, serta banyak individu
yang melanggar norma dan tradisi. Ada yang mencari
pertolongan pada Dewa-Dewa, tapi ada juga yang malah
menjadi tidak percaya bahwa Dewa-Dewa itu ada. Dalam
perjalanannya, para pemimpin meresponnya dengan
mengukur bentuk-bentuk pertolongan kepada warganya,
melakukan restorasi politik, dan melakukan pembangunan
kembali. Meskipun frustasi oleh berbagai macam hambatan
fisik dan sosial, mereka ternyata mampu meraih kesuksesan
(Hughes, 2013).
54 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Referensi

Hughes, J. Donald, 2013, Responses to Natural Disasters in Greek and


Roman World: Pfiefer K. & Pfeifer N. (eds), Forces of Nature and
Cultural Responses, Springer.
Torrence R. & John Grattan, 2002, The Archeology of Disasters: Past and
Future Trends, in: Torrence R. & John Grattan (eds), Natural
Disasters and Cultural Change, Routledge.
Yuantari, dkk, 2019, Manajemen Bencana, Asosiasi Institusi
Pendididikan Tinggi Kesehatan Masyarakat Indonesia (AIPTKMI)
Jakarta.
Bumiayu.id, 2020, Bencana Alam yang Terjadi di Indonesia hingga Juli
2020, https://www.bumiayu.id
Bab 4 Perubahan Sosial dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 55

BAB IV
Perubahan Sosial dalam
Kontek Bencana dan
Keamanan Nasional
56 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Bab IV
Perubahan Sosial dalam Konteks Bencana dan
Keamanan Nasional

4.1 Perubahan Sosial dalam Konteks Bencana dan


Keamanan Nasional
Deskripsi Singkat
Setelah memahami bagaimana bencana dapat dilihat dari sudut
pandang sosiologis, perkuliahan sosiologi bencana berikutnya
membahas bagaimana penggunaan kerangka pikir perubahan sosial
dalam menganalisa terjadinya bencana alam itu sendiri. Sebagai sebuah
konsep utama di dalam ilmu sosiologi, perubahan sosial berguna dalam
merekam bagaimana suatu kelompok masyarakat berubah dari waktu
ke waktu, baik dalam rangka merespon adanya faktor-faktor
perubahan yang berasal dari luar dirinya, ataupun karena desakan-
desakan internal yang menghendaki adanya perubahan-perubahan
yang mendasar dalam struktur sosialnya. Persoalan-persoalan kunci
terkait dinamika ekonomi dan politik biasa diletakkan sebagai basis
dari setiap kejadian perubahan itu sendiri. Selain itu, konsep
perubahan sosial yang sering dipadankan dengan istilah transformasi
sosial, biasanya membutuhkan ruang dan waktu tertentu untuk
terjadinya perubahan tersebut. Stompzka (1993) menyebutkan
beberapa kriteria terjadinya sebuah perubahan sosial di masyarakat,
yakni: (1) Bentuk perubahan sosial; (2) hasil yang diharapkan dari
proses perubahan; (3) Kesadaran mengenai proses itu; (4) Kekuatan
yang menggerakkan perubahan; (5) Tingkat realitas di tempat proses
transformasi itu terjadi; dan, (6) Jangka waktu perubahan itu sendiri.
Dalam konteks bencana, perspektif perubahan sosial dapat
digunakan untuk melihat bencana, terutama dalam kaitan bentuk-
bentuk kemajuan (progress) apa yang terjadi, terutama setelah satu
Bab 4 Perubahan Sosial dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 57

momen bencana berlangsung. Dalam hal ini, bencana menjadi salah


satu faktor dari lahirnya berbagai macam perubahan di dalam
masyarakat, karena bencana dalam skala dan cakupan yang luas,
biasanya mendorong terjadinya krisis multi dimensi di dalam
masyarakat, baik krisis ekonomi dan krisis kemanusiaan yang apabila
tidak dapat direspon dan dikelola dengan baik dapat mendorong
terjadinya krisis sosial dan krisis politik. Pada tahapan krisis yang tidak
lagi bisa dikelola oleh otoritas yang bertanggung jawab, bencana dapat
mengarah pada bentuk-bentuk kekacauan sosial (chaos). Disinilah
biasanya terjadi satu mekanisme sosial yang namanya perubahan atau
transformasi itu sendiri. Satu upaya sosial dari dalam struktur yang
berupaya untuk mencegah berlanjutnya kekacauan dengan lahirnya
inisiatif-inisiatif baru, baik aturan, pemimpin, teknologi, dan lain
sebagainya.
Bentuk-bentuk kemajuan dalam konteks perubahan sosial yang
diakibatkan karena bencana misalnya, perkembangan pengetahuan
dalam hal kebencanaan. Baik pengetahuan terkait teknik dan
kealamiahan dari bencana — jika itu bencana alam — maupun
pengetahuan terkait bentukbentuk respon masyarakat terhadap
bencana. Selain pengetahuan, perkembangan lain juga terjadi, seperti
berkembanganya bentuk-bentuk organisasi sosial dan institusi
pemerintah, yang bisa beradaptasi dengan potensi kejadian bencana di
masa depan, ataupun yang bisa responsif dalam menaggulangi bencana
secara cepat. Perkembangan berikutnya bisa saja terjadi dalam konteks
rencana atau desain pembangunan suatu kawasan. Dalam hal ini,
rencana tata ruang satu kota atau satu wilayah pada perkembangannya
juga dituntut untuk bisa adaptif terhadap bentuk-bentuk ancaman
bencana yang mungkin terjadi. Peraturan dan kebijakan baik di tingkat
pemerintah, ataupun di industri-industri strategis bisa muncul dan
berkembang mengakomodir potensi dan bentuk bencana yang pernah
terjadi di suatu wilayah. Pada titik ini, perspektif perubahan sosial
memposisikan bencana sebagai agen pendorong perubahan itu sendiri.
58 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Agen pendorong terjadinya transformasi sosial yang lebih maju dari


masa sebelum bencana itu terjadi.
Dalam perkuliahan ini, mahasiswa akan diberikan konsep dan
teori kunci terkait perubahan sosial, dan bagaimana konsep-konsep
tersebut dapat diaplikasikan untuk menganalisa satu kejadian bencana
di masyarakat, termasuk melihat persoalan-persoalan lain yang
muncul dan berkembang di luar kejadian bencana itu sendiri.

Tujuan Instruksional Khusus


1. Mahasiswa dapat memahami bencana sebagai faktor penting
dalam satu proses perubahan sosial di masyarakat.
2. Mahasiswa dapat menggunakan perspektif perubahan sosial
untuk menganalisa satu kejadian bencana di masyarakat beserta
konsekuensi-konsekuensi sosial yang terjadi di dalamnya.

Pertanyaan Kunci
1. Bagaimana sosiologi memandang perubahan yang terjadi di
masyarakat?
2. Apa yang dimaksud dengan perubahan sosial?
3. Bagaimana posisi bencana dalam diskursus perubahan sosial?
4. Bagaimana menggunakan konsep-konsep perubahan sosial
dalam menganalisa kejadian bencana?
5. Bagaimana menempatkan analisa perubahan sosial dalam
konteks pengurangan bencana itu sendiri?

Konsep dan Teori Kunci


1. Perubahan Sosial
Perubahan sosial adalah satu proses transformasi sosial yang
mengarah pada bentuk, bentuk kemajuan kebudayaan dari
suatu tatanan sosial. Perubahan sosial dapat mencakup aras
mikro, meso dan makro dari struktur sosial. Perubahan sosial
dapat meliputi transformasi ekonomi, transformasi budaya,
transformasi politik, teknologi dan yang lainnya. Dalam
praktiknya, perubahan sosial membutuhkan individu-individu
Bab 4 Perubahan Sosial dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 59

progressif yang memiliki kesadaran awal tentang perubahan


yang dimaksud untu kemudian mengajak pihak-pihak lain untuk
menjalankan agenda perubahan tersebut secara bersama-sama.
Terdapat pola-pola utama dari perubahan sosial, yaitu linear,
dimana perubahan sosial mengarah pada satu titik tertentu dan
berjalan seara linear, Misalnya perubahan sosial dari
masyarakat primitive, menuju masyarakat tradisional dan
berakhir pada masyarakat modern. Perubahan yang sedemikian
secara sederhanan bisa dilihat sebagais atu perubahan sosial
yang sifatnya linear. Kemudian perubahan sosial yang polanya
siklikal. Satu proses perubahan sosial yang melalui tahapan-
tahapan yang mengulang. Misalnya, dari masyarakat primitive,
ke masyarakat tradisional, lalu ke masyarakat modern dan
kembali lagi, dari masyarakat modern, ke masyarakat
tradisional, lalu ke masyarakat primitive. Yang terakhir, pola
gabungan dari kedua pola sebelumnya. Dimana proses
kemajuan dari masyarakat promitif menuju masyarakat modern
terjadi, tetapi dinamika yang berlangsung di dalamnya
menunjukkan menunjukkan bagaimana ciri-ciri dari ketiganya
seperti terus melekat dan tidak serta merta hilang meskipun
secara umum proses kemajuan menuju peradaban modern telah
bisa dicapai oleh satu masyarakat.
2. Agen perubahan
Agen perubahan adalah individu-individu yang memegang
posisi kunci dalam setiap proses perubahan atau transformasi
sosial. Individu yang sedemikian memiliki pengetahuan dan
kesadaran awal tentang situasi sosial yang perlu dirubah dalam
kerangka kemajuan masyarakat secara umum. Agen perubahan
atau agent of change membawa kesadaran perubahan yang
dimaksud ke tingkat sosial atau masyarakat. Dibutuhkan
ketrampilan komunikasi yang baik untuk meyakinkan banyak
pihak bahwa perubahan yang dimaksud menyentuh
60 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

kepentingan seluruh masyarakat dan harus segera dilakukan


demi kebaikan masyarakat itu sendiri.
3. Faktor-faktor perubahan sosial
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan sosial
di masyarakat dapat dibagi menjadi dua. Faktor yang
mendorong perubahan sosial itu terjadi, dan yang kedua, faktor
yang menghambat kemungkinan terjadinya perubahan sosial.
Faktor pendorong terjadinya perubahan sosial meliputi derajat
keterbukaan masyarakat terhadap dunia luar, terhadap gagasan
baru, kebudayaan baru dan terhadap entitas-entitas sosial baru
di luar mereka; munculnya kekecewaan dan ketidakpuasan
masyarakat atas situasi sosial yang berlangsung di dalam
lingkup komunitas mereka; serta adanya sistem pendidikan
yang progressif dan kritis sehingga ide dan gagasan baru
memiliki tempat di dalam komunitas tersebut. Sementara faktor
penghambat dari terjadinya perubahan sosial adalah
konservativisme di dalam masyarakat; nilai-nilai tradisi serta
adat istiadat yang menyulitkan proses adaptasi masyarakat
terhadap nilai-nilai modern; ketakutan akan perubahan yang
mengganggu situasi kemapanan dan kenyamanan yang selama
ini telah dinikmati oleh segolongan orang di dalam satu
komunitas; serta hambatan-hambatan idiologis yang
berlawanan dengan semangat perubahan sosial.
4. Integrasi dan disintegrasi sosial
Pasca terjadinya bencana ataupun konflik sosial dalam skala
yang massif dan jangka waktu yang lama, biasanya ikatan sosial
diantara masyarakat merenggang atau bahkan putus.
Masyarakat pun tercerai berai dan dalam beberapa hal, sistem
nilai dan norma sosial yang sebelumnya ada untuk mengatur
tatanan sosial mengalami disfungsi. Pada Saat inilah, situasi
disintegrasi sosial berlangsung. Untuk mengatasi hal itu,
dibutuhkan upaya untuk bisa mencari jalan keluar atas konflik
yang terjadi, atau merehabilitasi masyarakat pasca bencana.
Situasi konflik yang sudah mereda, dan masyarakat kembali ke
Bab 4 Perubahan Sosial dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 61

dalam sistem nilai dan aturannya, dilanjutkan dengan


berkembangnya ikatan social serta kerjasama, merupakan satu
proses integrasi sosial. Integrasi sosial dapat tery, bertahan
apabila satu struktur sosial dapat terus menjalankan fungsi-
fungsi sosialnya sehingga kebutuhan masyarakat dapat
terpenuhi. Hal ini juga mengurangi kemungkinan terjadinya
disintegrasi sosial.
5. Institusi dan organisasi sosial
Institusi sosial adalah relasi-relasi yang terbangun di dalam satu
komunitas sosial yang terlembagakan, baik secara formal
maupun informal demi tujuan tertentu untuk menyelesaikan
persoalan sosial yang dihadapi oleh masayarakat. Di dalam
institusi sosial terjadi penyatuan nilai dan kepentingan individu
ataupun kelompok yang berbeda-beda menjadi nilai adan
kepentingan institusi. institusi sosial yang bersifat formal,
seringkali disebut sebagai organisasi sosial. Organisasi sosial
tetap merujuk pada institusi sosial, baik yang berbentuk badan
hukum ataupun bukan.
Organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh
masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum, lebih berfungsi sebagai sarana partisipasi
masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai
makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk
organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang
tidak dapat mereka capai sendiri.
Adanya organisasi sosial tidak terlepas dari keberadaan norma-
norma dalam masyarakat. Nilai-nilai memberikan pada
masyarakat satu hal yang mulia, dan dianggap penting oleh
masyarakat. Maka dari itu, untuk mewujudkan dan menjalankan
nilai sosial itulah, masyarakat merumuskan aturan yang tegas,
yaitu norma sosial. Nilai dan norma inilah yang menjadi batas
bagi setiap sikap manusia di dalam kehidupan bermasyarakat.
62 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Kumpulan dari nilai dan norma nantinya dapat membentuk


sistem norma. Dari sinilah mulanya organisasi sosial terbentuk.
6. Psikologi sosial
Psikologi sosial adalah satu cabang keilmuan di dalam ilmu
psikologi yang mengkhususkan pada hubungan antara individu
dengan kelompok dengan penekanan analisa pada pendekatan
psikologi ketimbang sosiologi.
Psikologi sosial adalah studi ilmiah tentang bagaimana individu
berpikir, merasa, dan berperilaku dalam konteks sosial. Berpikir
atau kognisi merupakan proses mental yang akan berpengaruh
besar terhadap perilaku seseorang, dan konteks sosial
mencakup berbagai aspek yang melatarbelakangi orang-orang
di sekitar, termasuk perilaku, lingkungan, budaya, pendidikan,
dan sebagainya.
Beberapa pengertian psikologi sosial menurut para ahli adalah
sebagai berikut:
1) Haw & Costanzo mengungkapkan bahwa psikologi sosial
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang
tingkah laku individu yang merupakan rangsangan
sosial.
2) Hubber Bonner menyatakan psikologi sosial merupakan
ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang tingkah
laku manusia.
3) David Sears berpendapat bahwa psikologi sosial adalah
ilmu yang berusaha secara sistematis untuk memahami
perilaku sosial, mengenai cara mengamati orang lain dan
situasi sosial, cara orang lain beraksi terhadap kita, dan
cara kita dipengaruhi oleh situasi sosial.
4) Joseph Mc. Grach mengatakan bahwa psikologi sosial
adalah ilmu yang menyelidiki perilaku manusia yang
dipengaruhi oleh kehadiran, keyakinan, tindakan, dan
lambang orang lain.
Bab 4 Perubahan Sosial dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 63

Dapat disimpulkan bahwa psikologi sosial adalah cabang


ilmu psikologi yang mengkaji proses mental dan perilaku
individu terhadap berbagai konteks sosial seperti kelompok
dan masyarakat serta lingkungan yang menyelubunginya
baik itu budaya, politik, pendidikan, dan sebagainya.
Psikologi Sosial dapat digunakan untuk menganalisa
fenomena-fenomena sosial yang dapat disaksikan sehari-
hari.
64 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Referensi

Carr, Lowell J., 2009, Disaster and the Sequence-Pattern of Social


Change, the American Journal of Sociology, vol. 38 no. 22 pp 207-
218
Nieg, Joanne M. & Tierney, Kathleen J., 1993, Disasters and Social
Change: Consequences for Community Construct and Affect,
Disaster Research Centre, University of Delaware
Prince, Samuel Henry, 1920, Cathastrophe and Social Change: Based
Upon a Sociological Study of Halifax Disaster, Disertation, Faculty
of Political Science, Colombia University
Sztompka. Piotr. 1993. Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada Media
Group
Bab 5 Kearifan Lokal dalam Konteks Bencana | 65

BAB V
Kearifan Lokal dalam
Konteks Bencana
66 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Bab V
Kearifan Lokal dalam Konteks Bencana

5.1 Kearifan Lokal dalam Konteks Bencana


Deskripsi Singkat
Dalam konteks social resilence atau ketahanan sosial, kearifan
lokal atau local wisdom menempati posisi yang cukup penting (lih:
Kusumasari & Alam, 2012:363; Zulfadrim & Kanegae 2018:1). Kearifan
lokal menjadi penting karena di dalam perspektif sosiologis, la bisa
dibaca sebagai salah satu bentuk dari nilai-nilai sosial yang hidup di
tengah masyarakat. Terlepas ia ditulis ataupun tidak, tetapi ketika
dalam praktik sosialnya sehari-hari hal itu masih tetap dipatuhi
ataupun dijalankan oleh masyarakat, berarti nilai tersebut, atau
kearifan lokal tersebut masih dibutuhkan dan memiliki kemungkinan
fungsional yang besar bagi masyarakat. Kearifan lokal yang sedemikian,
biasanya diwariskan secara turun temurun, meskipun tidak semua
warga di dalam satu komunitas faham tentang makna sesungguhnya
ataupun kegunaan dari kearifan lokal yang dimaksud. Dalam beberapa
kasus bencana di Indonesia, posisi kearifan lokal menjadi penting
bukan hanya bagi masyarakat, tetapi juga cukup membantu
pemerintah dalam menyiapkan masyarakat untuk menghadapi
bencana. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, kearifan lokal yang
semula sifatnya tidak tertulis, justru diinstitusionalisasikan oleh
pemerintah, karena hal itu dianggap dapat mengatasi kemungkinan
masalah yang muncul, terutama ketika masa rehabilitasi dan
rekonstruksi pasca bencana. Sedemikian penting relasi antara bencana
dengan kearifan lokal, sesi perkuliahan ini mengajak mahasiswa untuk
mempelajari bagaimana kearifan lokal itu bisa muncul di tengah
masyarakat, dan bagaimana hal tersebut bisa fungsional dalam konteks
kebencanaan.
Bab 5 Kearifan Lokal dalam Konteks Bencana | 67

Pada sesi perkuliahan ini, mahasiswa akan diajak mendiskusikan


paper-paper dan laporan penelitian ilmiah yang menempatkan
kearifan lokal sebagai sumber kekuatan utama masyarakat dalam
menghadapi bencana. Oleh karenanya, kearifan lokal dalam
pembahasan perkuliahan ini akan diletakkan sebagai salah satu
penopang ketahanan sosial (social resilence). Logikanya dengan
ketahanan sosial yang kuat, suatu komunitas akan lebih aware
terhadap potensi bencana yang mungkin dapat menimpa mereka.
Kesadaran ini penting untuk mengurangi resiko terhadap bencana itu
sendiri. Dalam konteks yang lebih makro, ketahanan sosial pada
tingkatan komunitas akan memberikan pengaruh baik bagi ketahanan
sosial negara dan bangsa yang kerap disejajarkan dengan konsep
ketahanan nasional. Dalam kaitan kebencanaan, maka kearifan lokal
yang fungsional bagi persoalan kebencanaan asumsinya akan
memperkuat ketahanan sosial masyarakat, dan secara kumulatif akan
memperkuat ketahanan nasional bangsa Indonesia. Disinilah letak
pentingnya menempatkan isu kearifan lokal dalam perkuliahan tentang
kebencanaan yang memiliki dimensi keamanan nasional.
Secara geografis, wilayah Indonesia terletak pada rangkaian Ring
of Fire (Cincin Api). Ring of fire, yang juga disebut Circum-Pacific Belt,
adalah rangkaian gunung berapi sepanjang 40.000 km dan situs aktif
seismik yang membentang di Samudra Pasifik. Dilansir dari National
Geographic, Cincin Api melacak titik pertemuan banyak lempeng
tektonik, termasuk Eurasia, Amerika Utara, Juan de Fuca, Cocos, Karibia,
Nazca, Antartika, India, Australia, Filipina, serta lempeng lain yang lebih
kecil, sehingga semuanya mengelilingi Lempeng Pasifik yang besar.
Lempeng-lempeng tersebut terus meluncur, bertabrakan, atau
bergerak di atas atau di bawah satu sama lain. Pergerakan inilah yang
kemudian menghasilkan palung laut dalam, letusan gunung berapi, dan
episentrum gempa di sepanjang batas pertemuan lempeng, yang
disebut garis patahan. Hal inilah yang menjadikan Indonesia rawan
bencana, sehingga tentu akan memunculkan resiko bagi keamanan
nasional.
68 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Gambar 5.1 Posisi Indonesia pada The Pacific Ring of Fire


https://www.kompas.com/

Letak Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng besar


yaitu Pasifik, Eurasia dan Indo-Australia berdampak terhadap
tingginya potensi bencana. Tingginya potensi bencana ini memaksa
nenek moyang kita untuk belajar bagaimana cara menghadapi atau
memitigasi bencana dan saat ini cara tersebut menjadi satu budaya
yang terbalut dalam kearifan lokal bangsa Indonesia yang hingga saat
ini masih dipelihara oleh masyarakat lokal di Indonesia. Masih ingat
dalam ingatan kita bagaimana kearifan lokal Smong di Simeulue
membuat minimnya jumlah korban akibat tsunami pada tahun 2004
saat berbagai negara yang terkena tsunami korbannya mencapai
ribuan, Simeulue sebuah pulau di Provinsi Aceh mencatat 6 orang
meninggal akibat bencana tersebut. Kemudian pernah melihat
bagaimana bentuk arsitektur Rumah Gadang yang dibuat tidak
menggunakan paku untuk meminimalisir dampak gempa bumi di
Sumatera Barat? Semua itu adalah bagian dari mitigasi bencana
Bab 5 Kearifan Lokal dalam Konteks Bencana | 69

berbasis kearifan lokal (Rozi, 2017). Kearifan lokal yang ada di


Indonesia menjadi sebuah kekayaan yang harus di pertahankan di era
modernisasi ini, perpaduan antara modernisasi dan kearifan lokal
mungkin akan menjadi langkah efektiv untuk meminimalisir dampak
bencana yang terjadi di Indonesia.

Tujuan Instruksional Khusus


1. Mahasiswa dapat memahami konsep kearifan lokal serta
relasinya terhadap pengurangan resiko bencana di
masyarakat.
2. Mahasiswa dapat menggunakan konsep kearifan lokal untuk
menganalisa potensi, resiko serta dampak dari satu kejadian
bencana di masyarakat.

Pertanyaan Kunci
1. Bagaimana kearifan lokal dapat lahir dalam suatu tatanan sosial
di masyarakat?
2. Bagaimana relasi antara kearifan lokal dengan ketahanan
sosial?
3. Bagaimana relasi antara kearifan lokal dengan kesiapsiagaan
masyarakat dalam menurunkan resiko bencana di lingkungan
sekitarnya?
4. Bagaimana pemerintah seharusnya menempatkan kearifan
lokal di dalam konteks penanggulangan bencana?

Konsep dan Teori Kunci


1. Kearifan lokal dalam perspektif sosiologis
Kearifan lokal adalah pengetahuan, ketrampilan, dan teknologi
yang hidup dan berkembang di dalam satu komunitas
masayarakat dan hal itu fungsional bagi perkembangnan
kebudayaan mereka. Kearifan lokal bisa bertolak belakang
ataupun sejalan dengan asumsi modernisasi, tetapi yang paling
penting untuk digarisbawahi, ciri-cirinya adalah, ia melekat
70 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

dalam sistem kebudayaan masyarakat lokal, diwariskan dari


generasi ke generasi, baik melalui budaya lisan, maupun tulisan
fokal. Meskipun fungsional, kearifan lokal dalam beberapa hal
belum bisa dirasionalisasi secara keseluruhan. Secara sosiologis,
kearifan lokal lekat dengan konsep tentang nilai-nilai sosial yang
hidup di dalam masyarakat.
2. Kearifan lokal dan penguatan struktur sosial
Sebagai satu tatanan nilal yang hidup di dalam masyarakat,
kearifan lokal haruslah melekat pada struktur sosial masyarakat
itu. Kearifan lokal bisa melekat pada beberapa tingkat dalam
struktur sosial, bisa berada pada tingkat pemahaman individu di
dalam satu komunitas sosial, bisa juga melekat dalam institus!
sosial, baik formal maupun informa ataupun ia telah menjadi satu
pedoman hidup bersama dari satu komunitas sosial. Dalam,
tingkat yang paling akhir itu, kearifan lokal bisa diiringi dengan
bentuk-bentuk rewarg ataupun punishment bagi anggota
masyarakat yang patuh ataupun tidak patuh terhadap kearifan
yang dimaksud.
3. Kearifan lokal dan konsep ketahanan sosial
Jika satu bentuk kearifan lokal memiliki fungsi yang penting bagi
bertahannya satu struktur sosial, maka sudah dapat dipastikan
apabila kearifan lokal itu berkaitan dengan ketahanan sosial
suatu masyarakat. Logikanya, dengan kearifan lokal yang terus
dipegang serta dijalankan, satu komunitas sosial bisa lebih tahan
dalam menghadapi bentuk-bentuk tekanan sosial yang berasal
dari luar komunitas mereka, pun dengan bentuk-bentuk ancaman
atau gangguan sosial yang berpotensi muncul dari dalam struktur
itu sendiri, Dengan cara yang sedemikian, konsep ketahanan
sosial sudah sejak lama memasukkan elemen kearifan lokal
sebagai salah satu komponen penting dari seberapa kuat
ketahanan sosial satu komunitas.
4. Ketahanan sosial dan pengurangan resiko bencana
Ketahanan sosial merupakan kemampuan yang dimiliki oleh satu
masyarakat untuk membentuk ulang tatanan sosial,
Bab 5 Kearifan Lokal dalam Konteks Bencana | 71

mempertahankan relasi-relasi positif termasuk bertahan dalam


mengahadapi tekanan sosial, dan menyelesaikan persoalan sosial
yang muncul dari dalam lingkungan sosial mereka sendiri.
Ketahanan sosial memungkinkan satu komunitas untuk dapat
bertahan dalam menghadapi tekanan dari pihak eksternal,
maupun gangguan ataupun disrupsi dari pihak internal.
Ketahanan sosial dalam lingkup yang lebih luas dan dalam jangka
waktu yang panjang, serta pelibatan semakin banyak komponen
sosial di dalam satu masyarakat, bisa mengarah pada satu bentuk
ketahanan nasional. Dalam konteks pengurangan resiko bencana,
masyarakat yang memiliki ketahanan sosial yang cukup tinggi,
termasuk berkembangnya kearifan lokal setempat
memungkinkan mereka mengurangi resiko-resiko bencana yang
mungkin dihadapi. Hal ini terjadi karena ketahanan sosial
merupakan pendukung penting dari terciptanya masyarakat yang
siaga terhadap kejadian bencana, termasuk mengurangi potensi
resiko bencana yang ada di wilayah tempat mereka tinggal.
Dan tentunya yang menjadi tantangan dalam mempersiapkan
ketahanan sosial menghadapi bencana adalah memastikan
terwujudnya koordinasi diantara berbagai perencana dan
pengambil kebijakan, komunitas internasional, dan masyarakat
lokal. Koordinasi ini harus bersifat aktif diantara semua pihak
yang terlibat. Prioritas lainnya adalah penguataan kerjasama dan
kelembagaan antar pemerintah daerah dengan melibatkan sektor
swasta.

5.2 Kearifan Lokal dalam Mitigasi Bencana


5.2.1 Kearifan Lokal dalam Mitigasi Bencana Tsunami
Seperti yang sudah dijelaskan diatas bagaimana seluruh dunia
dibuat heran dengan minimnya jumlah korban akibat Tsunami di Pulau
Simeulue karena melakukan kearifan lokal mereka bernama Smong.
Kearifan lokal smong di Pulau simeulue telah ada sejak 1907 dan telah
72 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

terbukti mampu menyelamatkan puluhan ribu jiwa dari smong atau


tsunami pada 26 Desember 2004.
Kearifan lokal smong memiliki hubungan dekat dengan mitigasi
bencana tsunami secara tradisional, dan telah disampaikan melalui
puisi-puisi yang terkandung dalam manafi-nafi (cerita rakyat),
mananga-nanga (lagu pengantar tidur), nandong (bersenandung) yang
telah diperkenalkan pada keturunan dari buaian sampai usia tua
kearifan lokal ini terbukti efektiv mengingat pada saat itu belum ada
sistem peringatan dini terhadap ancaman bencana tsunami di pulau
tersebut.
Jika di Simelue ada kearifan lokal bernama smong, di Pariaman
ada tradisi bernama "hoyak tabuik" (prosesi mengguncaang patung
Tabot), adanya penanaman tanaman cemara dan mangrove di pesisir
pantai, serta keyakinan akan terlindungi oleh pulau-pulau kecil di
sekitar laut Kota Pariaman. Tradisi yang dilakukan masyarakat Kota
Pariaman sebagai antisipasi dalam mitigasi bencana tsunami dan
gempa bumi di kota pariaman.
Dua kearifan lokal diatas adalah budaya bangsa Indonesia yang
tertulis, masih banyak lagi kearifan lokal yang belum tertulis terutama
pada daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan laut yang belum
tertulis dan terdata dengan baik.

5.2.2. Kearifan Lokal dalam Mitigasi Bencana Gempa Bumi


Letak Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng besar
yaitu Pasifik, Eurasia dan Indo-Australia berdampak terhadap
tingginya potensi bencana, terutama gempa bumi, pergesaran lempeng
akan mengakibatkan pergerakan tanah yang berakibat pada bencana
gempa bumi. Sepanjang tahun 2019 berdasarkan data BMKG di
Indonesia terjadi 11.573 gempa bumi di Indonesia.
Dalam menghadapi gempa bumi masyrakat di berbagai daerah di
Indonesia juga mempunyai kearifan lokal yang hingga saat ini masih
dipertahankan, salah satu yang paling terkenal adalah kearifan lokal
dalam menghadapi gempa bumi yang di pertahankan oleh Suku Baduy.
Dalam mengahadapi bencana gempa bumi Masyarakat Baduy
Bab 5 Kearifan Lokal dalam Konteks Bencana | 73

menyiasatinya dengan membuat aturan adat atau pikukuh dan


larangan dalam membangun rumah. Dalam hal ini, bahan bangunan
yang digunakan adalah bahan-bahan yang lentur, seperti bambu, ijuk,
dan kiray supaya rumah tidak mudah rusak. Rumah juga tidak boleh
didirikan langsung menyentuh tanah. Hal ini dilakukan supaya rumah
tidak mudah roboh selain itu dalam pembuatannya rumah tidak boleh
menggunakan paku dan hanya menggunakan sasak dan tali ijuk. Hingga
saat ini tradisi tersebut masih dipegang. Cara ini efektif dalam mitigasi
bencana dan tercatat hingga saat ini lingkungan suku baduy jarang
mengalami kerusakan.
Lain daerah lain pula kearifan lokal yang dibangun dalam
menghadapi bencana, Mitigasi bencana gempa yang dilakukan oleh
masyarakat Bali dan Nusa Tenggara Timur hampir sama dimana
masyarakat tersebut menganggap jika pergerakan nagalah
yang mengakibatkan gempa bumi.
Hal yang sama juga dilakukan masyarakat bali saat terjadi gempa
mereka akan berlari ketempat yang aman, bersembunyi dikolong meja
sambil berteriak linuh, linuh, linuh, dan hidup, hidup, hidup.
Kemudian ada kepulauan Mentawai yang melihat tanda-tanda
alam seperti perilaku binatang seperti tupai dan ayam sebagai tanda
akan terjadinya bencana.
Semua kearifan lokal untuk mitigasi bencana gempa tersebut
merupakan Khasanah bagi bangsa Indonesia yang harus dipertahankan.
Kesiapsiagaan masyarakat adalah kunci dalam menghadapi bencana
dan kesiap siagaan itu biasanya terbentuk dari prilaku yang telah dijaga
secara turun temurun.

5.2.3 Kearifan Lokal dalam Mitigasi Bencana Banjir dan Longsor


Perubahan iklim membawa dampak yang nyata dalam kehidupan
masyarakat. Salah satu dampak akibat perubahan iklim tersebut adalah
curah hujan yang tinggi dan tidak beraturan hal ini diperparah lagi
dengan penebangan pohon yang dilakukan oleh manusia sehingga
menyebabkan Banjir bandang dan longsor. Salah satu Desa yang siap
74 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

akan hal itu adalah Desa Kampung Naga di Kecamatan Salawu


Kabupaten Tasikmalaya. Kondisi topografi desa yang dikelilingi
perbukitan membuat Masyarakat sadar akan ancaman bencana longsor
dan banjir yang bisa menimpa kapan saja.
Kearifan lokal dari kampung naga yang dapat dijadikan sumber
pembelajaran khususnya dalam pengelolaan lingkungan sebagai
berikut:
1) Zonasi penggunaan lahan yang mengalokasikan daerah
penyangga lebih besar dari yang dipergunakan (3:1)
menghasilkan kesimbangan lingkungan;
2) Sengkedan/terracering secara teknologi terbukti efektif
mencegah erosi dan longsor apalgi dengan mempergunakan
batu sebagai penguat tebing teras;
3) Keberadaan hutan tetap terpelihara sebagai fungsi klimatologis,
hidrologis dan ekologis. Dengan adanya alokasi tata ruang di
kawasan kampung Naga daur ulang air dilakukan secara alami
dan kebersihan air yang masuk ke sungai dan sawah menjadi
terpelihara, Rumah panggung dengan konstruksi kayu sistem
knockdown terbukti efektif terhadap kerusakan disaat gempa.

Kearifan lokal di Kampung Naga tersebut sudah dipertahankan


secara turun temurun dan perlu di Ikuti oleh desa-desa yang langsung
berbatasan dengan hutan di Indonesia.
Kemudian kearifan lokal lain adalah Peran kearifan lokal Suku
Dayak dalam mencegah dan meminimalisir bencana serta menjaga
kelestarian lingkungan di Kalimantan Tengah masih dijalankan dengan
baik. Seperti, masih dilaksanakannya kegiatan jipen (hukuman) bagi
masyarakat yang melanggar aturan yang sudah ditetapkan. Atau
misalnya bagi masyarakat yang membakar hutan dengan sengaja,
melakukan kegiatan menangkap ikan dengan cara menuba (meracun)
ikan disungai, membakar atau menebang tanaman yang berbuah
seperti duren dan manggis. Sehingga masyarakat tidak sewenang-
wenang dalam bertindak. (Novrianti dkk,2019)
Bab 5 Kearifan Lokal dalam Konteks Bencana | 75

Beberapa contoh di atas adalah bentuk kearifan lokal yang ada di


Indonesia yang berhubungan dengan mitigasi bencana.
Pada semua daerah di Indonesia pasti mempunyai kearifan lokal
untuk memitigasi bencana dan yang lainnya jika ini di padukan dengan
system mitigasi modern bukan tidak mungkin akan meminimalisir
bencana di Indonesia. Selain untuk diterapkan dalam sistem
pengelolaan kebencanaan dalam konteks sosial-budaya kearifan lokal
juga merupakan kekayaan yang perlu dipertahankan dan merupakan
salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia.
76 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Referensi

Kendra, James M. & Wachtendrof, Tricia, 2007, Community Inavation


and Disaster, in: Handbook of Disaster Research (Ed: Rodriquez
H., Quarantelli E.L., Dynes R.R.). Springer.
Kusumasari, B. & Alam Q., 2012, Local Wisdom Based Disaster Recovery
Model in Indonesia, Disaster Prevention and Management, Vol
21 lss: 3 pp. 351-369.
Lulu Lukyani, 2022 Mengenal Ring of Fire, Penyebab Indonesia Rawan
Gempa,
https://www.kompas.com/sains/read/2022/02/10/183200
823/mengenal-ring-of-fire-penyebab-indonesia-rawan-
gempa?page=all.
Pathan et. al., 2012, Reduction of Disaster Vulnerability through
Indigenous Knowledge, Sindh University, Pakistan.
Syahputra, Hendra, 2010, Role of Local Wisdom in Acceleration of
Disaster Risk Reduction in Aceh (Kab. Simeuleu Case), 5th
Annual International Workshop Expo on Sumatera Tsunami
Disaster & Recovery 2010.
Zulfadrim, Z, & Kanegae Y. Toyoda, 2018, The Implementation of local
wisdom in reducing natural disaster risk: a case study from
west Sumatera, IOP Conf. Series: earth and environmental
science, IOP Publishing.
https://bpbd.bogorkab.go.id/kearifan-lokal-budaya-indonesia-dalam-
mitigasi-bencana/
Bab 6 Eksklusi Sosial dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 77

BAB IV
Eksklusi Sosial dalam
Konteks Bencana dan
Keamanan Nasional
78 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Bab 6
Eksklusi Sosial dalam Konteks Bencana dan
Keamanan Nasional

6.1 Eksklusi Sosial dalam Konteks Bencana dan


Keamanan Nasional
Deskripsi Singkat
Karena bencana secara teoritis dan praktis terjadi akibat
persentuhan antara sumber bencana dengan manusia atau
masyarakatnya, maka perdebatan tentang kondisi manusia dan
masyarakat dalam konteks sosiologi bencana menjadi fokus yang
penting untuk diurai lebih jauh. Dalam perspektif strukturalisme, maka
kondisi obyektif yang menyertai kehidupan masyarakat dapat dilihat
secara dualistis, pertama, mengapa bencana itu bisa terjadi sehingga
pengabaian faktor structural dalam kaitan penanganan bencana depat
membuat dampak bencana itu menjadi semakin parah. Yang kedua,
satu kejadian bencana yang tidak terkendali juga bisa melahirkan
persoalan structural lainnya. Dalam kacamata yang demikian,
kebencanaan juga sering dihubungkan dengan masalah deprivasi sosial.
Kendati demikian, konsep deprivasi sosial lebih menekankan pada
kecenderungan marjinalisasi ekonomi yang dialami oleh suatu kelas
sosial di dalam masyarakat (Syahra, 2010). Karena terdeprivasi, maka
satu kelompok masyarakat bisa keluar (tereksklusi) dari kemajuan-
kemajuan yang terjadi di dalam masyarakat tersebut. Dalam kaitan
kebencanaan, eksklusi bisa terjadi pada mereka yang dalam kehidupan
sehari-harinya mengalami situasi marjinalisasi.
Bencana pada praktiknya jauh lebih terasa dampaknya bagi
kelompok masyarakat yang hidupnya lekat dengan kerentanan (Jha,
2015:708). Bagi kelompok ini, bencana bisa menjadi malapetaka yang
lebih besar lagi dibanding dengan kelompok lainnya (Parr, 2007:160).
Bab 6 Eksklusi Sosial dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 79

Kerentanan di sini bukan hanya kerentanan yang sifatnya ekonomis


saja, tetapi juga kerentanan lain, seperti jenis kelamin, usia, faktor
disabilitas dan lainnya. Eklusi sosial pada tingkat ini melebar tidak saja
yang berhubungan dengan deprivasi relative, tetapi juga faktor-faktor
lain seperti ras, suku, agama dan lain sebagainya.
Oleh karenanya, dalam konteks penanggulangan bencana, para
pengambil keputusan sudah selayaknya memperhatikan persoalan
kesenjangan ekonomi, kesenjangan geografis, termasuk perbedaan
suku, agama, ras, jenis kelamin, dan juga usia. Pengabaian terhadap
persoalan-persoalan ini, dikhawatirkan dapat memperparah dampak
dari suatu kejadian bencana. Dalam perspektif yang sebaliknya,
sebenarnya, berbagai macam kesenjangan yang melekat di dalam satu
struktur sosial masyarakat, berpotensi melahirkan bencana itu sendiri.
Hal ini dapat terjadi karena masyarakat yang termarjinalisasi biasanya
menempati wilayah-wilayah yang secara fisik memiliki resiko besar
terjadinya bencana. Atau mereka yang dalam kesehariannya
tereksklusi dari masyarakat, memiliki kemungkinan terabaikan pada
saat penanggulangan bencana terjadi. Mahasiswa di dalam perkuliahan
ini akan diajak untuk mendiskusikan kejadian-kejadian bencana yang
lahir dari satu kondisi eksklusi sosial, dan praktik penanggulangan
bencana yang berpotensi mengabaikan satu kelompok masyarakat.

Tujuan Instruksional Khusus


1. Mahasiswa dapat memahami konsep eksklusi dan inklusi sosial
dalam konteks penanggulangan bencana.
2. Mahasiswa dapat menggunakan konsep eksklusi dan inklusi
sosial dalam menganalisa potensi, dampak, serta resiko bencana.

Pertanyaan Kunci
1. Apakah yang dimaksud dengan konsep eksklusi sosial?
2. Bagaimana satu kelompok masyarakat dapat tereksklusi di dalam
kehidupan sehari-harinya?
80 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

3. Bagaimana keterkaitan eksklusi sosial dengan kerentanan sosial


di masyarakat?
4. Sejauh mana keterkaitan persoalan eksklusi sosial dengan isu
kebencanaan?
a. Bagaimana eksklusi sosial melahirkan bencana?
b. Bagaimana eksklusi sosial memperparah kejadian bencana?

Konsep dan Teori Kunci


1. Deprivasi relative
Deprivasi relative adalah salah satu keadaan di mana seseorang
merasakan adanya situasi ketidakadilan yang dialami olehnya
atau oleh kelompok sosialnya. Satu kondisi psikologi ini muncul
akibat pengalaman terstruktur dari kehidupan sehari-hari
mereka terkait ketiadaan kemampuannya untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Sementara di satu sisi, lingkungan tempat
dirinya tinggal menyajikan kemudahan-kemudahan bagi
segelintir orang di luar diri mereka untuk memenuhi kebutuhan
hidup atau bahkan berlebih-lebih dalam hidupnya. Kondisi
psikologis yang sedemikian, berakar dari adanya kesenjangan
sosial (inequality) di dalam satu komunitas masyarakat.
Kerentanan mental seperti ini bisa juga muncul pada situasi
menghadapi bencana, misalnya ketidaktahuan, kurangnya
percaya diri, dan tidak menyadari. Kerentanan ini mempengaruhi
kemampuan masyarakat dalam melakukan serangkaian
pencegahan, pengurangan risiko, dan kesiapsiagaan dalam
menghadapi bencana.
2. Kemiskinan dan marjinalisasi
Kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang atau sekelompok
orang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti pakaian,
makanan, dan tempat tinggal yang layak. Sebagai sebuah konsep,
kemiskinan memiliki pelbagai ukuran dan standar yang
dikeluarkan oleh lembaga-lembaga penelitian, dan pemeringkat
baik nasional maupun internasional. Kemiskinan sendiri bisa
dilihat dari perspektif structural, maupun kultural. Kemiskinan
Bab 6 Eksklusi Sosial dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 81

structural merupakan kemiskinan yang berakar dari persoalan


ketimpangan kepemilikan dan akses terhadap sumberdaya.
Sementara kemiskinan yang sifatnya kultural terjadi karena
seseorang atau sekelompok orang memiliki hambatan-hambatan
kultural sehingga etos kerjanya untuk berusaha menjadi sangat
kurang. Kemiskinan struktural bisa melahirkan satu situasi
kemiskinan yang bersifat absolut. Situasi lingkaran setan
kemiskinan yang dialami oleh seseorang ataupun sekelompok
orang dan tiada sedikitpun akses yang bisa ditempuh untuk
keluar dari perangkap kemiskinan tersebut. Sementara
kemiskinan kultural melahirkan konsep kemiskinan relatif,
dimana kategorisasi tentang kemiskinan bisa sangat relative dan
subyektif, tergantung dari cara pandang orang terhadap apa yang
dinamakan miskin itu sendiri. Dalam kaca mata structural,
kemiskinan lebih karena kebijakan pembangunan yang belum
mampu mengatasi mereka yang termarjinalisasi atau
terpinggirkan di dalam kehidupan sosialnya. Marjinalisasi bisa
mengakibatkan kemiskinan, dan sebaliknya, kemiskinan bisa
mendorong seseorang atau sekelompok orang semakin marjinal
di dalam mengakses sumberdaya yang dapat memperbaiki
kualitas hidupnya.
3. Pembangunan dan Eksklusi sosial
Eksklusi dan inklusi sosial adalah konsep yang berkembang
dalam konteks diskursus developmentalisme. Eksklusi sosial
sendiri melampaui persoalan marjinalisasi pembangunan.
Marjinalisasi pembangunan kerap dilontarkan oleh para
pengkritik pembangunan yang menganggap bahwa proses
pembangunan agenda-agenda senantiasa meminggirkan
masyarakat ekonomi kelas bawah. Eksklusi sosial justru
melampaui pandangan ekonomik tentang marjinalisasi tersebut.
Jika marjinalisasi bertumpu pada dimensi ekonomi saja, eksklusi
sosial juga menyentuh ranah-ranah lain, seperti kultur dan
keterbatasan fisik satu golongan di dalam masyarakat. Contohnya,
82 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

adalah kaum perempuan dan transgender, serta kaum difabel.


Menurut teori eksklusi sosial, pembangunan dan segudang
standar yang menopang kebijakan ini, secara jelas telah
mengabaikan kelompok-kelompok sosial tertentu di dalam
masyarakat sehingga manfaat pembangunan menjadi tidak
bermakna atau bahkan menindas mereka yang terkategori
sebagai pihak yang tereksklusi di dalam pembangunan.
Sementara inklusi sosial adalah satu konsep sebaliknya dari
eksklusi sosial. Pembangunan dan setiap proses kemajuan di
dalam masyarakat sudah selayaknya dibangun dengan cara
pandang yang inklusif sehingga tidak satu golongan pun di dalam
masyarakat yang terabaikan oleh proses tersebut. Pembangunan
yang inklusif atau kemajuan yang inklusif kemudian menjadi
slogan penting untuk menghindari peminggiran sistematis
kelompok-kelompok sosial dalam proses pembangunan itu
sendiri.
4. Penanggulangan bencana dan eksklusi sosial
Kerentanan adalah kata kunci yang menjembatani konsep
eksklusi sosial dan bencana. Kelompok sosial yang memiliki
kerentanan yang tinggi terhadap bencana seringkali adalah
mereka yang dalam kehidupan sehari-harinya terekskiusi dari
proses kemajuan dan pembangunan, baik eksklusi ekonomi,
politik, maupun kultural. Sebaliknya, dalam konteks
penanggulangan bencana, kelompok yang tereksklusi di dalam
komunitasnya, seringkali mengalami kesulitan untuk mengakses
pertolongan, bantuan, program rehabilitasi dan pemulihan pasca
bencana sehingga memperparah dampak dari bencana itu sendiri.
Kerentanan adalah serangkaian kondisi yang menentukan apakah
bahaya yang terjadi dapat menimbulkan bencana atau tidak.
Rangkaian kondisi ini dapat berupa kondisi fisik, sosial, maupun
mental atau sikap. Kerentanan fisik misalnya bangunan yang
tidak tahan bencana atau infrastruktur dan konstruksi yang
lemah. Kerentanan sosial misalnya kemiskinan, konflik, atau
kelompok rentan seperti anak-anak, wanita, dan lansia.
Bab 6 Eksklusi Sosial dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 83

Risiko bencana dapat terjadi karena ada dua kondisi yaitu:


(1) Adanya suatu peristiwa atau gangguan yang mengancam dan
merusak (ancaman/bahaya atau hazard), serta (2) Adanya
kerentanan (vulnerability) masyarakat. Dalam Indeks Risiko
Bencana Indonesia disebutkan bahwa Indonesia memiliki 12 jenis
ancaman bencana yang berisiko tinggi, yaitu: 1. Gempa bumi, 2.
Tsunami, 3. Letusan gunung api, 4. Gerakan tanah atau longsor, 5.
Banjir, 6. Banjir bandang, 7. Kekeringan, 8. Cuaca ekstrim (puting
beliung), 9. Gelombang ekstrim dan abrasi, 10. Kebakaran hutan
dan lahan, 11. Epidemi dan wabah penyakit, dan 12. Gagal
teknologi.
Kedua belas bencana tersebut digolongkan menjadi tiga kategori
utama seperti yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menyatakan
bahwa bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam atau mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat, yang disebabkan baik oleh faktor alam, faktor non-
alam, maupun faktor manusia, yang dapat mengakibatkan
timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugi Dalam
definisi tersebut disebutkan bahwa bencana disebabkan oleh tiga
faktor, yaitu faktor alam, non-alam, dan manusia atau sosial.

1). Bencana alam


Bencana alam adalah suatu bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam.
Beberapa contoh bencana karena faktor alam yaitu gempa bumi,
gunung meletus, tsunami, banjir, tanah longsor dan angin topan.
Secara geografis, Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng
aktif yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik.
Pertemuan antara lempeng tektonik yang aktif ini adalah salah
satu penyebab Indonesia sering mengalami gempa bumi.
Indonesia juga terletak pada rangkaian cincin api (ring of fire)
yang membentang sepanjang lempeng Pasifik, yang merupakan
84 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

merupakan lempeng tektonik paling aktif di dunia, which


memberikan kontribusi hampir 90% dari kejadian gempa di bumi
dan hampir semuanya merupakan gempa besar di dunia.
Letak Indonesia pada ring of fire ini membuat Indonesia memiliki
gunung api aktif. Terdapat lebih dari 500 gunung api di Indonesia,
dengan 127 di antaranya berstatus aktif. Gunung gunung api
aktif tersebut merupakan 17% dari sebaran gunung api aktif
dunia, dengan tersebar di Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa
Tenggara, Sulawesi Utara dan Kepulauan Maluku (BNPB, 2014).
Selain aktivitas tiga lempeng aktif di atas, Indonesia juga terletak
berbatasan dengan Samudra Hindia dan Pasifik, sehingga rentan
terhadap kejadian tsunami. Secara umum, tsunami terjadi karena
beberapa sebab yaitu gempa bumi di dasar laut, longsor di dasar
laut, meletusnya gunung api, dan meteor jatuh. Di Indonesia,
tsunami yang pernah terjadi sejauh ini disebabkan oleh gempa
bumi di dasar laut, longsornya dasar laut, dan meletusnya gunung
api.
Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya bencana alam adalah
adanya pemanasan global dalam kaitannya dengan efek rumah
kaca. Efek rumah kaca dapat mempengaruhi perubahan iklim
secara global, yang menyebabkan siklus musim menjadi tidak
sesuai, yang dapat menimbulkan bencana.

2). Bencana non-alam


Bencana non-alam adalah suatu bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa non-alam. Beberapa contoh
bencana non-alam yaitu gagal teknologi, gagal modernisasi,
epidemi atau wabah penyakit.
Gagal teknologi merupakan semua bencana yang diakibatkan oleh
kegagalan desain, pengoperasian, kelalaian, dan kesengajaan
manusia dalam penggunaan teknologi dan/atau industry. Gagal
teknologi meliputi banyak hal seperti kebakaran,
kegagalan/kesalahan desain, kesalahan prosedur pengoperasian
pabrik/teknologi, kerusakan komponen, kebocoran reaktor
Bab 6 Eksklusi Sosial dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 85

nuklir, kecelakaan transportasi, sabotase atau kebakaran akibat


kerusuhan, dan jebolnya bendungan. Ruang lingkup bencana
terkait gagal teknologi menjadi amat luas, sebab bencana
teknologi juga bersinggungan dengan jenis bencana lain, seperti
kebakaran, banjir, longsor, dan lainnya
Kegagalan teknologi dapat menyebabkan pencemaran (baik
udara, air, maupun tanah), korban jiwa, kerusakan bangunan,
harta benda, dan kerusakan lainnya. Pada skala yang lebih besar
dan global, kegagalan teknologi dapat mengancam kestabilan
ekologi.

3). Bencana sosial


Bencana sosial adalah suatu bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa oleh manusia (man-made).
Bencana jenis ini dapat berupa konflik sosial antar kelompok,
antar komunitas/masyarakat, dan juga teror.
Konflik sosial yang terjadi biasanya disebabkan karena berbagai
faktor. Salah satu faktor yang kerap memicu konflik sosial adalah
keterbatasan akses dari kaum marginal terhadap sarana dan
prasarana yang disediakan oleh pemerintah.

5. Keamanan Negara vs Keamanan Manusia


Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV, tujuan negara adalah
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia. Selaras dengan itu, dalam UU No. 3 Tahun 2002
tujuan pertahanan negara adalah untuk menjaga dan melindungi
kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk
ancaman. Dalam aturan mengenai Kebijakan Dasar Perbantuan
TNI, pasal 4 ayat 2, Permenhan No. 09/2011 juga memuat, "… (2)
Menjamin terwujudnya tingkat keselamatan manusia sesuai
86 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

dengan peran serta, hakekat fungsi TNI dan tujuan pertahanan


negara."
Konsep pertahanan yang diatur dalam aturan dan kebijakan
negara secara eksplisit menyatakan bahwa tujuan pertahanan
tidak hanya mengenai kedaulatan dan keutuhan wilayah, namun
juga keselamatan segenap bangsa dan keselamatan manusia.
Maknanya, pertahanan Indonesia tidak saja menganut konsep
keamanan tradisional/teritori dengan penekanan pertahanan
negara pada sifat ancaman militer dan kedaulatan wilayah,
namun juga pada keamanan manusia (human security) dari segala
bentuk ancaman. Konsekuensi logis dari tujuan negara dan tujuan
pertahanan negara ini adalah tanggung jawab TNI sebagai
institusi pertahanan bersama dengan pemangku kepentingan lain
untuk mempersiapkan strategi pertahanan negara yang sifatnya
komprehensif dan tidak terbatas hanya pada ancaman militer
semata namun turut memperhitungkan aspek nirmiliter.

Kategori Objek Penyelenggaraan Bantuan TNI


(Ps. 7, Permenhan No. 09/2011)

Bencana Alam
- Penyelamatan dan Evakuasi Korban
- Pemenuhan Kebutuhan Dasar
- Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan
- Penanganan Pengungsi
- Pemulihan sarana dan prasarana umum

Pengungsi

Bantuan Kemanusiaan

Gambar 6.1 Kategori Objek Penyelenggaraan Bantuan TNI


Sumber: Data yang diolah penulis (2022)
Bab 6 Eksklusi Sosial dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 87

A. Operasi Militer Selain Perang (OMSP)


Tugas utama dari angkatan bersenjata dalam tata kelola sektor
keamanan yang baik adalah pertahanan negara (Geneva: DCAF,
2015). Namun ada juga tugas-tugas sekunder lain, yaitu
menyediakan keamanan internal dan stabilitas, termasuk
diantaranya adalah tugas bantuan non-keamanan, seperti SAR,
dan mandat pengembangan, misalnya proyek infrastruktur dan
Teknik, dsb.
Dalam implementasinya, tugas sekunder militer merujuk pada
istilah Military Operations Other Than War (MOOTW) atau
Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Dalam UU TNI, terdapat 14
kegiatan OMSP, salah satunya adalah membantu menanggulangi
akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan
kemanusiaan.
Sejarah keterlibatan militer dalam tugas dan kegiatan sipil sudah
berlangsung sejak Orde Baru seusai dengan konsep Dwi Fungsi
ABRI. Pasca Orde Baru, pelibatan TNI dalam tugas sipil diatur
dalam undang-undang untuk mensyaratkan adanya kebijakan
dan keputusan politik negara.
Militer memiliki kemampuan tertentu yang dapat difungsikan
dalam kondisi darurat dan tanggap bencana. Ada area dimana
angkatan bersenjata dapat menawarkan kemampuan yang unik,
terutama dalam transportasi, logistik dan kemampuan untuk
memberikan bantuan secara cepat.
Pengerahan militer secara cepat dapat terjadi karena militer
memiliki garis komando organisasi yang jelas, fasilitas dan
peralatan yang mumpuni, dengan SDM yang siap untuk
dikerahkan. Peran utama TNI dalam tanggap bencana
dipengaruhi oleh struktur organisasi, praktik, rantai komando
yang jelas dan koordinasi serta kemampuan untuk diterjunkan
secara cepat.
Mengacu pada pasal 7 Permenhan No. 09 tahun 2011, obyek
penyelenggaran bantuan TNI dibedakan berdasarkan 3 kategori,
88 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

yaitu untuk bencana alam, pengungsi, dan bantuan kemanusian.


Dalam kategori bencana alam, TNI dapat diperbantukan untuk
melakukan penyelamatan dan evakuasi korban; pemenuhan
kebutuhan dasar; perlindungan terhadap kelompok rentan;
penanganan pengungsi; dan pemulihan sarana dan prasarana
umum.
Keinginan pemerintah untuk memperkuat daya dukung TNI
dalam OMSP telah diutarakan Menhan sejak tahun 2015 di
Langkawi International Maritime & Aerospace Exhibition.
Menhan beralasan saat ini tidak ada lagi bunuhbunuhan, dan lebih
pada kemanusiaan, dengan itu kebutuhan terhadap pesawat
terbang, helikopter angkut menjadi perhatian. Bukti keseriusan
tersebut adalah pengadaan alutsista angkut, yaitu 5unit C-130J
Super Hercules, dan 8unit CH-47C Chinook.

B. MEF dengan Postur Pertahanan Minimal Essential Force


(MEF)
Adalah kekuatan pokok dan minimum TNI sebagai syarat utama
dan mendasar untuk tercapainya efektifas tugas pokok dan fungsi
TNI (Kemhan, 2010). Selama ini narasi yang berkembang di
publik dan media seolah MEF hanya sebatas pada alat-alat perang
serbu taktis & strategis yang memiliki sifat deterence, maka perlu
ada sosialisasi dan edukasi bahwa MEF juga mencakup pada alat
pertahanan yang mendukung kegiatan OMSP.
Pembahasan mengenai bencana alam dinyatakan dalam dokumen
MEF dalam sub bab lingkungan strategis lokal, kemampuan
dukungan TNI, dan ancaman aktual.
Pentingnya mempertimbangkan OMSP dalam MEF adalah untuk
menciptakan kondisi yang dapat meningkatkan kemampuan dan
profesionalisme TNI secara simultan dan berkelanjutan. Kegiatan
OMSP dapat meningkatkan kapabilitas dan readiness termasuk
response time jika terjadi ancaman baik militer maupun
nirmiliter yang membutuhkan keberadaan TNI, melalui
kesiapsiagaan, pengerahan dan mobilisasi pasukan.
Bab 6 Eksklusi Sosial dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 89

Beberapa faktor teknis dan non-teknis diketahui menjadi


hambatan dalam pemenuhan kebutuhan MEF antara lain
anggaran pertahanan, ketergantungan terhadap impor alutsista,
dan belum mandirinya industri pertahanan nasional. Anggaran
pertahanan yang tidak memenuhi tuntutan sesuai perencanaan
MEF, akan menyulitkan Kemhan dan TNI untuk melakukan
revitalisasi dan pengadaan alutsista. Permasalahannya adalah
dilema gun vs butter. Pemerintah akan mengalami dilema antara
pemenuhan anggaran pertahanan atau anggaran pembangunan
nasional.
Keterbatasan anggaran juga menyulitkan bagi industri
pertahanan untuk mengembangkan riset teknologi pertahanan.
Minimnya permintaan menghambat pengembangan kapasitas
industri itu sendiri. Pada akhirnya hal ini berdampak penguasaan
teknologi utama yang rendah, dan pilihan untuk melakukan
impor senjata demi mencukupi ketersediaan alutsista.
Embargo alutsista, bencana tsunami Aceh dan gempa Padang,
dengan sejumlah kejadian kecelakaan pesawat angkut
seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia.
Kejadian-kejadian tersebut berdampak terhadap postur
pertahanan dan kesiapan TNI.
Dalam catatan penulis, sejak 2004 - 2018, sekitar 22 kasus
kecelakaan alutsista dari total 33 kasus (67%), banyak dialami
oleh alutsista angkut militer. Padahal alutsista jenis ini krusial
dalam mendukung tugas TNI.
Pada tahun 2009, Menhan Juwono Sudarsono menyatakan bahwa
70% anggaran pertahanan tahun 2009 akan digunakan untuk
membeli pesawat C-130.
Sebab, hanya 6 dari 24 pesawat Hercules yang masih layak
terbang. (Medcom, 2015)
Pada tahun 2015, TNI AU melarang terbang seluruh pesawat C-
130B Hercules setelah terjadi musibah di Medan. Data Tempo
menunjukkan pada tahun 2015, TNI AU memiliki 24-unit
90 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Hercules tipe B dan H dimana hanya 11-unit Hercules yang dalam


kondisi siap operasi.

C. Industri Pertahanan
Memiliki pertahanan yang tangguh perlu didukung dengan
industri pertahanan nasional yang kokoh dan mumpuni. Tanpa
dukungan industri pertahanan, maka tidak ada kemandirian
pertahanan, ketergantungan terhadap supplier asing, dan rawan
terhadap embargo dari negara lain. Hal ini tentu membahayakan
bagi keamanan negara.
Efektifitas pertahanan negara turut ditentukan oleh kemampuan
industri pertahanan dalam memenuhi kebutuhan pengadaan
maupun pemeliharaan alat utama sistem senjata (alutsista)
secara mandiri. Oleh sebab itu, industri pertahanan perlu
dibangun melalui revitalisasi industri pertahanan guna
meningkatkan efektifitas pertahanan negara (Sjafrie Sjamsoeddin,
2017).
Penguatan industri pertahanan dapat diarahkan untuk
mewujudkan kemandirian industri pertahanan domestik.
Harapannya adalah memberikan multiplier effect antara lain
untuk mengatasi selisih opportunity cost; memperkuat basis
ekonomi industri; menciptakan lapangan pekerjaan dan
stabilisasi ekonomi nasional; sekaligus memperkuat pertahanan
negara dan menciptakan keamanan nasional.
Dalam Kebijakan Pertahanan 2019, Menhan mengamanatkan
antara lain: melanjutkan pembangunan Postur Pertahanan
Militer sesuai MEF, dan mewujudkan industry pertahanan yang
kuat, mandiri dan berdaya saing. Menhan juga menekankan
pengadaan alutsista harus disesuaikan dengan ancaman nyata,
seperti untuk menghadapi teroris, mendeteksi jalur komunikasi,
jalur logistik dan mengetahui bencana alam.
D. Tren Global dan Produk Dual-Use
Keterbatasan permintaan dari pemerintah selaku konsumen
utama industri pertahanan dapat diatasi dengan strategy
Bab 6 Eksklusi Sosial dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 91

menciptakan product dual-use, yaitu produk dan teknologi yang


dapat digunakan untuk tujuan sipil dan kepentingan militer, saat
damai maupun perang, salah satunya terjadinya bencana.
Menciptakan produk dual-use yang dapat digunakan untuk
mendukung OMSP, melakukan diversifikasi produk yang
berkaitan dengan sektor produksi di masyarakat dan tanggap
darurat bencana, merupakan upaya untuk mencapai titik tengah
keseimbangan antara pertimbangan kebijakan industri dan
kebijakan pertahanan.
92 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Referensi

Jha, Manish K., 2015, Liquid disaster and frigid response: disaster and
social exclusion, International Social Work, 2015, Vol 58(5)
704-716
Parr, Darryl O’Brien, 2007, The Impact of Social Exclusion on
emergency Relief Services, https://www.e-
publicacoes.ueri.br/index.php/revistaempauta/article/viewfi
le/166/192.
Pittaway, E., Bartolomei, L., Rees, S.,2007, Gendered Dimension of the
2004 Tsunami and a potential social work response in post
disaster situation, international Social Work 50(3) 307-319,
Sage Publication
Syahra, Rusdi, 2010, Eksklusi Sosial: Perspektif Baru Untuk Memahami
Deprivasi dan Kemiskinan, Jurnal Masyarakat dan Budaya, LIPI,
Vol.12, No.3 (2010)
UNISDR, 2014, Living with Disability and Disasters: UNISDR 2013
Survey on Living with Disabilities and Disasters-Key Findings,
UNISDR
Yuantari, dkk, 2019, Manajemen Bencana, Asosiasi Institusi
Pendididikan Tinggi Kesehatan Masyarakat Indonesia (AIPTKMI)
Jakarta.
https://www.kemhan.go.id/wp-
content/uploads/2019/12/wiraindomeijuni2019komplit.pdf
Bab 7 Kapital Sosial dalam Konteks Bencana | 93

BAB VII
Kapital Sosial dalam
Konteks Bencana
94 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Bab VII
Kapital Sosial dalam Konteks Bencana

7.1 Kapital Sosial dalam Konteks Bencana


Deskripsi Singkat
Sebagai sebuah konsep, modal sosial dianggap dapat
menyelesaikan beberapa persoalan sosial di masyarakat. Modal sosial
atau social capital, oleh Lawang (2005:210) merujuk pada kekuatan-
kekuatan sosial komunitas yang bersama kapital-kapital lainnya -
finansial, manusia, fisik - yang tertambat pada struktur sosial mikro,
meso, dan makro yang bermanfaat bagi efisiensi maupun efektivitas
penyelesaian masalah sosial di masyarakat. Dengan asumsi yang
sedemikian, modal sosial kemudian dianggap juga dapat
menyelesaikan persoalan sosial yang memiliki kaitan dengan
kebencanaan. Kapital sosial sendiri tidak pernah berdiri sendiri, ia
senantiasa memerlukan struktur sosial untul bisa menambatkan
dirinya. Dalam ilustrasi yang abstrak, kapital sosial ditentukan oleh
nilai dari norma sosial di masyarakat yang ditandai dengan tingginya
tingkat kepercayaan (trust) antar individu di dalam satu level struktur
sosial. Selain itu, kapital sosial juga bisa berkembang jika satu
komunitas sosial bisa membangun jejaring kepada kelompok di luar
dirinya untuk bersama-sama mencari jalan keluar dalam mengatasi
masalah sosialnya. Kapital sosial dalam konteks ini berada dalam satu
situasi yang dinamis, ia bisa menurun juga bisa meningkat kualitasnya.
Demikian juga ketika kapital sosial hendak difungsikan dalam
mengatasi persoalan kebencanaan. Analisa terhadap elemen-elemen
kapital sosial di setiap tingkat struktur mesti dilakukan sebelumnya
untuk mendapatkan gambaran, seberapa besar kemungkinan hal
tersebut dimanfaatkan demi efektivitas dan efisiensi pengatasan
masalah kebencanaan. Salah satu contoh kapital social adalah gotong
Bab 7 Kapital Sosial dalam Konteks Bencana | 95

royong yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia sejak lama.


Kendati telah meluruh, tetapi beberapa kelompok masyarakat masih
berupaya untuk mempertahankannya.
Harada (2012) menyatakan bahwa kapital sosial dalam konteks
kebencanaan memiliki Pengaruh yang cukup kuat pada apa yang
dikategorikan olehnya sebagai mutual assistance (kapabilitas
pencegahan bencana oleh masyarakat) dan public assistance
(pertolongan yang bisa oleh lembaga publik, seperti polisi, rumah sakit,
pemadam kebakaran dan lainnya), tetapi kapital sosial tidak memiliki
korelasi positif terhadap self help (kesadaran pencegahan bencana
tingkat individu). Sementara Sadeka dkk (2015:185) menyatakan,
bahwa selain berdampak pada tingkat masyarakat dan nasional, kapital
sosial juga berdampak pada kesiapan dan ketahanan pada level
individu. Dengan bonding serta bridging kapital sosial, hal ini
memungkinkan individu untuk menerima peringatan, melakukan
persiapan bencana, mencari penampungan dan bantuan, memperoleh
bantuan langsung, dan bantuan pemulihan awal.
Salah satu elemen penting dari kapital sosial adalah jejaring atau
networking. Bourdieu dalam Maarif (2010) menyebutkan bahwa untuk
meningkatkan kapasitas sosial masyarakat dapat dilakukan melalui
bounding, bridging and linking. Bounding lebih mengarah pada
penguatan ke dalam (internal) suatu komunitas masyarakat.
Sementara bridging lebih berpotensi untuk mencari penguatan dari
relasi-relasi terdekat di luar komunitas itu, sementara linking
mengarah pada jejaring yang berada jauh di luar komunitas tersebut.
Kapital sosial tidak mungkin bisa berdiri sendiri, dia harus ditopang
oleh bentuk-bentuk kapital yang lain, seperti kapital ekonomi, kapital
fisik, kapital finansial, kapital manusia, dan kapital kultural.

Tujuan Instruksional Khusus


1. Mahasiswa dapat memahami konsep tentang capital social dalam
perspektif sosiologis
96 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

2. Mahasiswa dapat menggunakan konsep capital social dalam


menganalisa ketahanan masyarakat dalam merespon bencana

Pertanyaan Kunci
1. Apakah yang dimaksud dengan konsep kapital sosial?
2. Bagaimana kapital sosial dapat muncul di dalam satu tatanan
sosial?
3. Bagaimana kapital sosial bersama kapital lainnya dapat
fungsional dalam mengatasi persoalan kebencanaan?
4. Bagaimana mengelola kapital sosial dalam konteks kebijakan
penanggulangan bencana di Indonesia?

Konsep dan Teori Kunci


1. Pengertian umum kapital sosial
Kapital sosial dapat diartikan sebagai kekuatan sosial komunitas
yang bersama-sama dengan kapital lainnya, tertambat pada
struktur sosial mikro, meso dan makro, serta perfungsi untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pengatasan
masalah. Disini jelas bahwa pengertian kapital sosial merujuk
pada kekuatan atau kapasitas sosial dari satu komunitas. Tetapi
titik tekannya disini adalah pada hal-hal apa saja yang bisa
dianggap sebagai penanda penting dari keberadaan kapital
sosial di masyarakat. Atau yang bisa memperlihatkan kuat atau
lemahnya kapital sosial satu masyarakat.
Definisi Kapital Sosial menurut beberapa ahli:
1) Definisi menurut James Coleman (1988)
Menurut Coleman, Kapital Sosial diartikan dengan
fungsinya. Kapital sosial bukanlah suatu entitas tunggal
tetapi terdiri atas sebanyak entitas dengan dua elemen
yang sama (untuk semua entitas itu). Semuanya terdiri
atas: aspek struktur-struktur sosial yang memfasilitasi
tindakan-tindakan tertentu dari aktor-apakah orang per
orangan atau aktor-aktor badan hukum dalam struktur itu.
Bab 7 Kapital Sosial dalam Konteks Bencana | 97

Konsep fungsi, struktur dan sistem sosial merupakan kata


kunci dalam paradigma fungsionalisme struktural. Konsep
aktor merupakan kata kunci dalam paradigma pertukaran
sosial dan interaksionisme simbolik.
Definisi di atas tidak begitu mudah diterapkan, sehingga
yang sering diambil dari definisi di atas adalah hubungan
selang variable independen dan dependennya. Namun
yang sering dilupakan oleh peneliti yang berlatar belakang
ekonomi yaitu analisis struktural - baik dalam struktur
obyektif dan antar subyektif.
2) Definisi Robert Putnam (1993)
Definisi tentang kapital sosial dari Putnam lebih eksplisit
dan jelas serta dikonstruksikan dari acuan pustaka yang
lebih luas, yang merupakan gabungan dari saripati dari
definisi para mahir pautan seperti Coleman, Glenn Loury,
P.A. Wallace, A. Le Mund dan lain-lain.
Menurut Putnam, Kapital Sosial menunjuk pada bagian-
bagian dari organisasi sosial seperti keyakinan, norma dan
jaringan yang mampu meningkatkan efisiensi masyarakat
dengan memfasilitasi.
Struktur sosial yang menjadi satuan analisis studi Putnam
ataupun pengikut arus ini adalah institusi sosial (termasuk
di dalamnya analisis kebutuhan pokok, cara-cara
pemenuhan kebutuhannya baik dalam pengembangan
perilaku maupun dalam struktur organisasi). Kekeliruan
yang seringkali terjadi dalam penelitian seperti ini adalah
satuan analisis organisasi lebih menonjol daripada alisisi
struktural / institusional yang merupakan ciri khas
analisis sosiologik.
3) Definisi Francis Fukuyama (1995)
Menurut Fukuyama hadir dua definisi yang bisa ditemukan
dalam 2 sumber yaitu, a. Kapital Sosial menunjuk pada
kapabilitas yang muncul dari keyakinan umum di dalam
98 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

suatu masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya.


(Trust;1993) b. Kapital sosial adalah serangkaian nilai atau
norma informal yang dimiliki bersama di selang para
bagian suatu kelompok dengan memungkinkan terjalinnya
kerjasama di selang mereka. (The Excellent; 1999)
Dalam buku Trust, pembahasan tentang kapital sosial
lebih banyak melihat hubungan dengan pebedaan yang
sangat mencolok selang negara atau masyarakat yang
memiliki tingkat keyakinan yang tinggi dan yang memiliki
tingkat keyakinan yang rendah.
Sedangkan buku The Great memusatkan perhatian
terhadap kekacauan (disruption) yang ditimbulkan oleh
rendahnya kapital sosial.
4) Definisi Bank Dunia
Rumusan dari Bank Dunia ini adalah hasil dari para mahir
yang tergabung dalam kelompok Advisory Council to the
Vice Presidency for Environmentally Sustainable
Development.
Hadir 2 definisi kapital sosial menurut bank dunia yaitu: a.
Kapital sosial menunjuk pada norma, institusi dan
hubungan sosial yang membentuk kualitas interaksi sosial
dalam masyarakat. b. Kapital sosial menunjuk pada norma,
institusi dan hubungan sosial yang memungkinkan orang
mampu melakukan pekerjaan sama.
Definisi yang pertama terdapat kelemahan yaitu
ketidakjelasan dalam mengartikan konsep-konsep yang
termasuk dalam variable independen (norma, institusi dan
hubungan sosial) serta kualitas interaksi sosial yang
termasuk dalam variable dependen, karena hadir
fleksibilitas yang mampu diperoleh dari definisi ini.
5) Turner, Jonathan H, (2005)
Kapital sosial menunjuk pada kekuatan-kekuatan yang
meningkatkan potensi sebagai perkembangan ekonomi
dalam suatu masyarakat dengan menciptakan dan
Bab 7 Kapital Sosial dalam Konteks Bencana | 99

mempertahankan hubungan sosial dan pola organisasi


sosial.
Menurut penulis definisi dari Turner adalah definisi
kapital sosial yang lebih akrab dengan sosiologi, namun
terdapat kekurangan secara operasional ketika harus
digunakan sebagai melakukan penelitian lapangan yaitu: a.
Kekuatan yang dimaksud sangat luas dan tidak spesisifik
karena bisa menunjuk pada kekuatan personal, individual,
psikologik, struktural, politik, agama, budaya, gaib, mafia,
atau apa saja sepanjang dia mampu mendorong potensi
seperti perkembangan ekonomi. b. Fungsi kapital sosial
hanya terbatas pada tujuan-tujuan yang bersifat ekonomi
saja. c. Definisi ini tidak memberikan alternative yang
sudah dikembangkan oleh para mahir ekonomi – sosiologi
(atau sosiologi perekonomian).

2. Kapital sosial dan ketahanan sosial


Kapital sosial dan ketahanan sosial masyarakat adalah dua
konsep dan realitas yang tidak dapat dipisahkan dalam
pembangunan masyarakat. Kapital sosial wujud dalam
keperangkatan, kepranataan dan nilai-nilai sosial di masayakat,
yang merupakan sumber daya bagi pembangunan masyarakat.
Hasil penelitian di Sulawesi Tengah ini menunjukkan, bahwa
kapital sosial telah berperan dalam penguatan ketahanan sosial
masyarakat, khususnya dalam memenuhi kebutuhan sosial
dasar, mengatasi masalah sosial dan memperkuat hubungan-
hubungan sosial. Namun demikian peran kapital sosial tersebut
masih sangat terbatas, baik jangkauan maupun skala
kegiatannya. Hal ini disebabkan karena mereka belum
membangun jejaring kerja secara sinergis dalam kelembagaan
satu dengan lainnya. Melihat prospek kapital sosial dalam
penguatan ketahanan sosial masyarakat, maka
diperlukaninteruensi dari Dinas Sosial, sehingga ke depan
100 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

kapital sosial dapat melaksanakan perannya lebih bermakna


dalam proses pembangunan masyarakat.
Dalam diskursus ketahanan sosial, kapital sosial merupakan
salah satu elemen bersama elemen-elemen lainnya yang
dianggap bisa merepresentasikan ketahanan sosial suatu
kelompok masyarakat. Kapital sosial disandingkan bersama-
sama dengan kapital ekonomi, kapital fisik, kapital budaya, dan
kapital simbolis menentukan seberapa kuat ketahanan sosial
satu masyarakat.
3. Jaringan, sumberdaya, nilai dan norma.
Dalam penjelasan lebih lanjut, konsep kapital sosial didasari
oleh berkembang baiknya sistem nilai dan norma sosial di dalam
satu masyarakat, yang kemudian memperkuat rasa percaya
(trust) diantara anggota-anggota masyarakat itu sendiri. Situasi
yang sedemikian sebenarnya memungkinkan satu masyarakat
untuk memperkuat kohesivitas sosial dan menyelesaikan
persoalan-persoalan sosial yang terjadi di dalamnya.
Selanjutnya dibutuhkan jaringan sosial yang sifatnya lebih ke
eksternal komunitas. Semakin banyak Jaringan sosial yang
dimiliki oleh satu komunitas, maka kemungkinan besar, kapital
sosial komunitas tersebut cukup kuat.
4. Bonding and bridging social capital
Penguatan kohesivitas sosial ini kemudian disebut sebagai
bounding social capital. Sebuah konsep yang mengarah pada
dimensi internal dari kapital sosial satu komunitas. Sementara
untuk mengembangkan kapital sosial yang dimaksud, bounding
saja tidak cukup. Dibutuhkan satu upaya untuk menjembatani
kapasitas sosial satu komunita dengan entitas-entitas lain di luar
komunitasnya, baik yang masih dalam Jangkauan ataupun yang
berada di luar jangkauan mereka. Entitas-entitas ini sering juga
dipadankan dengan istilah jejaring atau social network. Dan
upaya untuk menjembatani jejaring dengan bounding capital
social dikenal dengan istilah bridging social capital.
5. Kapital sosial dan pengurangan resiko bencana
Bab 7 Kapital Sosial dalam Konteks Bencana | 101

Dalam kaitan pegurangan resiko bencana, kapital sosial


dianggap menempati posisi yang strategis, karena keterkaitan
langsungnya dengan isu ketahanan dan kerentanan sosial.
Semakin kuat kapital sosial suatu masyarakat, maka ketahanan
sosialnya juga akan semakin kuat. Ketahanan sosial yang kuat
dianggap dapat mengurangi tingkat resiko bencana yang
dihadapi oleh satu komunitas.
Dalam penanggulangan maupun pengurangan resiko bencana,
Bangsa Indonesia tidak bisa berdiri sendiri karena ancaman
bencana tidak mengenal wilayah. Diperlukan partisipasi aktif
dari semua pihak, masyarakat, lembaga, maupun pemerintah.
Salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah dalam
penanggulangan bencana adalah dalam bentuk legislasi
kebijakan pengelolaan bencana, dimulai dari skala global hingga
lokal. Pada tahun 1999, sidang umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) menyetujui strategi internasional untuk
mengurangi bencana dan mendirikan UNISDR (United Nations
Secretariat for International Strategy for Disaster Reduction).
UNISDR yang sekarang dikenal dengan nama UNDRR (United
Nations Office for Disaster Risk Reduction) dibentuk sebagai
sebuah sekretariat khusus untuk memfasilitasi pelaksanaan
strategy internasional untuk pengurangan bencana
(Internatiolan Strategy for Disaster Reduction). Hal ini
diamanatkan oleh resolusi Majelis Umum PBB, sebagai titik
fokus dalam sistem PBB untuk koordinasi pengurangan bencana
serta untuk memastikan sinergi antar kegiatan-kegiatan
pengurangan bencana yang ada di PBB dan juga pada organisasi
regional, kegiatan di bidang sosial ekonomi dan kemanusiaan.
Ini adalah unit organisasi Sekretariat PBB, yang dipimpin oleh
Perwakilan Khusus PBB.
Terdapat satu kesepakatan global terkait pengurangan Risiko
Bencana (PRB). Mulanya dicanangkan melalui Hyogo
Frameworks for Actions (HFA), yang diberlakukan pada tahun
102 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

2005-2015. Kerangka kerja ini adalah sebuah panduan global


yang digunakan oleh berbagai pihak, khususnya negara-negara
di dunia, dalam upaya pengurangan risiko bencana. HFA
merupakan kerangka kerja lanjutan dari Yokohama Strategy and
Plan of Action for a Safer World, yang habis masa berlakunya
pada tahun 2004. Materi dasar perancangan HFA adalah
pentingnya pencegahan, kewaspadaan, mitigasi, yang kemudian
dimantapkan dengan fokus utama pada upaya pengurangan
risiko bencana yang lebih menekankan pada pendekatan
terhadap seluruh aspek masyarakat dalam memberikan
informasi, motivasi, dan melibatkan mereka dalam upaya
tersebut. Tujuan dasar kerangka ini adalah untuk menciptakan
ketahanan, melalui peningkatan kapasitas dan kapabilitas
nasional dan lokal dalam rangka menanggulangi & mengurangi
risiko bencana. Dalam pelaksanaannya, kerangka kerja ini
memastikan adanya aksi yang sistematis dalam menanggulangi
risiko bencana dan mengkaitkannya dengan pembangunan yang
berkesinambungan.
Lepas masa berlakunya habis, HFA kemudian diperbaharui
dengan Sendai Frameworks for Disaster Risk Reduction (SFDRR)
atau Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana.
Kerangka kerja ini ada sebagai acuan global aksi Pengurangan
Risiko Bencana (PRB) untuk kurun waktu 2015- 2030. Dengan
dibentuknya Kerangka Kerja Sendai pada tahun 2015, banyak
pembaharuan dalam upaya penanggulangan bencana, seperti
fokus penanggulangan bencana tidak hanya difokuskan pada
potensi bencana karena alam tetapi juga harus dikaitkan dengan
masalah ekonomi dan sosial.
Tujuan dari Kerangka Kerja Sendai sendiri adalah mencegah
timbulnya dan mengurangi risiko bencana, mencegah &
menurunkan keterpaparan dan kerentanan, serta meningkatkan
resiliensi melalui peningkatan kesiapsiagaan, tanggapan, dan
pemulihan. Dalam kerangka ini disebutkan bahwa tindakan
prioritas yang dilakukan adalah meningkatkan pemahaman
Bab 7 Kapital Sosial dalam Konteks Bencana | 103

terhadap risiko bencana, memperkuat tata kelola risiko bencana,


melakukan investasi PRB untuk ketangguhan, serta
meningkatkan manajemen risiko; memperkuat kesiapsiagaan,
respon, dan pemulihan di semua tingkatan. Dengan Kerangka
Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana (PRB),
diharapkan hasil jangka panjang dalam 15 tahun ke depan
adalah penurunan risiko bencana yang signifikan dan
kehilangan nyawa, adanya dukungan kebutuhan hidup sehari-
hari dan kesehatan dari aspek ekonomi, fisik, sosial, budaya dan
lingkungan, baik pada tingkat individu, bisnis, komunitas,
maupun negara.
Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana (PRB)
menekankan akan pentingnya kerjasama dan kemitraan lintas
sektor, di tataran lokal, nasional, hingga global, demi
terlaksananya program pengurangan risiko bencana dan
pembangunan yang berkelanjutan. Dalam hal ini, peran lembaga
maupun organisasi menjadi sangat penting seiring dengan
perubahan paradigma penanggulangan bencana dari yang
bersifat reaktif responsif pada saat kejadian bencana menjadi
bersifat proaktif, preventif, dan antisipatif pada saat sebelum
terjadinya bencana atau saat diketahui adanya ancaman/bahaya.
Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana (PRB)
sendiri adalah sebuah kesepakatan sukarela yang sifatnya tidak
mengikat. Akan tetapi dalam kerangka dijelaskan bahwa negara
memiliki peranan penting dalam menanggulangi risiko bencana.
Peran tersebut dapat dibagi pada pemerintah setempat, divisi-
divisi swasta, dan lain-lain.
Di Indonesia, regulasi terkait dengan kebencanaan mulai
disusun oleh pemerintah pusat pada tahun 2007 melalui
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007
Tentang Penanggulangan Bencana. UU ini menjadi kerangka
hukum yang kuat dan komprehensif untuk penanggulangan
bencana yang ada di Indonesia.
104 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Undang-undang Penanggulangan Bencana Tahun 2007


memberikan dasar bagi Penanggulangan Bencana dan PRB di
Indonesia. Undang-Undang ini menjabarkan seperangkat
ketentuan komprehensif yang merangkum tanggung jawab
pemerintah pusat dan daerah, hak dan kewajiban masyarakat,
peran lembaga usaha dengan dunia internasional, tahap-tahap
penanggulangan bencana, serta bantuan keuangan dan
penanggulangan bencana.
Dalam Undang-Undang ini dijelaskan bahwa penyelenggaraan
penanggulangan bencana merupakan serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko
timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap
darurat, dan rehabilitasi.
Kegiatannya dilaksanakan secara terus-menerus dari mulai
sebelum terjadi, pada saat terjadi, dan setelah terjadi bencana.
Pelaksanaan siklus penanggulangan bencana secara
terus menerus ini menjamin kegiatan pengurangan risiko
bencana berjalan secara efektif.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 juga diikuti dengan:
1) Peraturan Presiden No.8 Tahun 2008 tentang Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Dengan pertimbangan dalam rangka meningkatkan
kinerja BNPB, pemerintah kemudian memandang perlu
melakukan perubahan struktur organisasi melalui
penambahan unit kerja dan perubahan nomenklatur
serta tugas pokok dan fungsi unit kerja yang sudah ada
saat ini. Atas pertimbangan tersebut, pada Januari 2019,
Presiden menandatangani peraturan yang baru yaitu
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2019
tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB).
2) Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
Bab 7 Kapital Sosial dalam Konteks Bencana | 105

3) Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 2008 tentang


Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana
4) Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2008 tentang Peran
Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-
Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana
5) Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah daerah
Kabupaten/Kota.
6) Peraturan Presiden No.17 Tahun 2018 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam
Keadaan Tertentu

Menghadapi risiko bencana yang ada di Indonesia, Pemerintah


Indonesia mempunyai peran penting dalam membangun sistem
penanggulangan bencana. Pembentukan lembaga yang fokus
terhadap penanggulangan bencana adalah salah satu hal penting.
Pada dasarnya pembentukan lembaga tersebut telah berproses
dari waktu ke waktu, bahkan telah hadir sejak kemerdekaan
dideklarasikan pada tahun 1945. Diawali dengan pembentukan
Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang
bertugas untuk menolong para korban perang dan keluarga
korban semasa perang kemerdekaan, pada 20 Agustus 1945.
Pembentukan lembaga ini berproses hingga terjadi tragedi
gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya
pada tahun 2004. Kejadian ini telah mendorong perhatian
pemerintah dan dunia internasional tentang manajemen
penanggulangan bencana yang ada. Sebagai bentuk tindak lanjut,
Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan
Presiden Nomor 83 Tahun 2005 tentang pembentukan Badan
Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas PB).
Sebagai bentuk respon selanjutnya atas kejadian tersebut,
pemerintah dengan serius membangun legalisasi, lembaga,
106 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

maupun penganggarannya, hingga dikeluarkanlah


Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana. Setelah Undang-Undang ini
dikeluarkan, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan
Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang pembentukan Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
merupakan salah satu komponen terpenting dalam
penanggulangan bencana di Indonesia. Lembaga ini dibentuk
sesuai amanat dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang tersebut
memberikan fungsi kepada BNPB sebagai pemegang komando,
koordinator, dan pelaksana dalam menangani bencana yang
terjadi di Indonesia.
Selain tingkat nasional, BNPB mempunyai kepanjangan tangan
di daerah melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD). BPBD yang ada di Indonesia tersebar di 34 provinsi dan
472 di tingkat kabupaten/kota. Dengan adanya lembaga ini
diharapkan fungsi koordinasi pelaksanaan kegiataan
penanggulangan bencana dapat dijalankan secara terencana,
terpadu, dan menyeluruh.
Bab 7 Kapital Sosial dalam Konteks Bencana | 107

Referensi

Bhandari, Roshan B., 2014, Social Capital in Disaster Risk Management:


A Case Study of Social Capital Mobilization following 1934
Kathmandu Valley Eartquake in Nepal, Disaster Prevention and
Management, Vol.23, No. 4 2014 p 314-328
Dynes, Russell R., 2002, The Importance of Social Capital in Disaster
Response, Disater Research Centre, University of Delaware
Harada Hiroo, 2012, Social Capital in Disaster: From the Great East
Japan Earthquake, The Senshu Social Capital Review No.3, 2012
Lawang, Robert. 2004. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik, suatu
pengantar, FISIP UI Press
Sadeka, S., Mohamad M.S., Reza, M.I.H., Manap J., Sarkar, M.S.K., 2015,
Social Capital and Social Preparadness: Conceptual Framework
and Linkage, E-Proceeding of the International Conference on
Social Science Research, ICSSR 2015
Samuda, Suleman, 2016, Bari Fola sebagai Modal Sosial dan
Instrumentasi Masyarakat Tangguh Bencana, Jurnal Penelitian
Humaniora, Vol. 21, No.2, Oktober 2016, 109-118
Wood, Borruf & Smith, 2013, When Disaster Strike. how communities
cope and adapt: A Social Capital Perspective, Nova Science Pub.
Yuantari, dkk, 2019, Manajemen Bencana, Asosiasi Institusi
Pendididikan Tinggi Kesehatan Masyarakat Indonesia (AIPTKMI)
Jakarta.
http://p2k.unkris.ac.id/id3/2-3065-2962/Kapital-
Sosial_162080_unkris_p2k-unkris.html
108 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana
Bab 8 Ketahanan dan Kerentanan Sosial dalam Konteks Bencana | 109

BAB VIII
Ketahanan dan Kerentanan
Sosial dalam Konteks
Bencana
110 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Bab VIII
Ketahanan dan Kerentanan Sosial dalam Konteks
Bencana

8.1 Ketahanan dan Kerentanan Sosial dalam


Konteks Bencana
Deskripsi Singkat
Suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa dapat dikatakan
sebagai sebuah bencana apabila mengancam kehidupan dan
penghidupan sosial, di mana menimbulkan korban jiwa, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Saat suatu
peristiwa yang mengancam tidak menimbulkan korban jiwa, kerusakan
lingkungan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis,
maka peristiwa tersebut dikatakan sebagai sebuah ancaman atau
bahaya. Ancaman atau bahaya ini akan menimbulkan bencana jika
bertemu dengan kerentanan baik itu kerentanan fisik, sosial, maupun
mental yang mengganggu suatu ketahanan.
Bagaimana suatu komunitas dapat bertahan dari suatu kejadian
bencana yang mengancam tatanan sosial yang sebelumnya mereka
miliki, sebagian besar ditentukan oleh ketahanan dan kerentanan
dalam struktur sosial mereka. Semakin kuat ketahanan struktur sosial
mereka, semakin mampu masyarakat tersebut survive terhadap satu
kejadian bencana. Sebaliknya, semakin rentan suatu struktur sosial
masyarakat, maka semakin mungkin masyarakat itu terkena bencana,
atau dalam kondisi yang paling ekstrim, punah karena satu kejadian
bencana. Oleh karenanya, ketahanan dan kerentanan seperti satu
keping mata uang yang tidak dapat dipisahkan, masing-masing dengan
indikator-indikatornya saling mempengaruhi satu sama lain.
Ketahanan sendiri berakar pada tradisi ekologis yang menurut
Holling (1973,1996) merupakan konsep dari multiple equilibriums dari
Bab 8 Ketahanan dan Kerentanan Sosial dalam Konteks Bencana | 111

satu sistem ketika menghadapi satu situasi “gangguan”. Yang dimaksud


dari multiple equilibrium dalam konteks ini adalah satu kesetimbangan
berbagai faktor atau elemen di dalam satu sistem ekologis yang rumit
dan kompleks. Sementara menurut S. Kruse et. al (2017:2323), dari
ranah ekologis, pengertian ketahanan kemudian ditranslasikan ke
dalam ranah ilmu sosial dengan mempertimbankan klasifikasi
gangguan di dalam sistem sosial, termasuk di dalamnya, niat dalam
suatu tindakan sosial, tujuan dari ketahanan, tantangan dari “batas” di
dalam sistem sosial, dan peran kekuasaan. Konsep tentang ketahanan
sosial ini juga sering dipadankan dengan konsep kapital di dalam
masyarakat (Alshehri, Rezgui & Li, 2013:361), yang terdiri dari kapital
sosial, kapital ekonomi, kapital fisik, kapital manusia, dan kapital alam.
Jalinan rumit antar masing-masing capital inilah yang kemudian sering
dilihat sebagai faktor penting dari ketahanan sosial.
Di satu sisi, kerentanan sosial yang memiliki kaitan dengan
persoalan kebencanaan meliputi kerapatan populasi, diskriminasi
gender, status sosial ekonomi, dan kondisi kesehatan public (Fatemi et
al. 2017:219). Sementara Singh et al. (2014:71) yang menyatakan
bahwa kerentanan tersusun dari beragam karakteristik individu
maupun kelompok, serta situasi sosial yang mempengaruhi kapasitas
mereka dalam mengantisipasi, mengatasi, melawan dan memulihkan
diri dari dampak bencana alam. Kerentanan adalah gagasan tentang
resiko dan praktik sosial masyarakat yang terkait dengan bencana yang
melibatkan derajat alat ukur dan derajat arah yang menjadi acuan bagi
masyarakat dalam menentukan kerentanan bencana (Hilhorst &
Bankoff 2006:4).
Dalam perspektif resiko, bencana dilihat sebagai perpaduan dari
hazard (ancaman) vulnerabilities (kerentanan), dan capacity
(kapasitas). Semakin tinggi ancaman, semakin tinggi kerentanan, dan
semakin rendah kapasitas, maka resiko bencana akan semakin tinggi
pula. Sebaliknya, semakin rendah ancaman, semakin rendah
kerentanan, dan semakin tinggi kapasitas, maka resiko bencana akan
112 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

semakin rendah. Kerentanan sendiri terdiri dari mulai kerentanan fisik,


kerentanan ekonomi, kerentanan sosial, serta kerentanan lingkungan.
Kerentanan fisik merujuk pada kerentanan yang dimiliki
masyarakat berupa daya tahan menghadapi bahaya tertentu, misalnya:
kerentanan terhadap kondisi tanah, infrastruktur, kekuatan bangunan
rumah bagi masyarakat yang berada di daerah rawan gempa,
ketersediaan peralatan, adanya tanggul pengaman banjir bagi
masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dan sebagainya. Sementara
itu, kerentanan ekonomi merujuk pada faktor-faktor ekonomi seperti
status sosial ekonomi, kemiskinan dan masalah nutrisi, pertanian dan
peladangan, struktuf pendapatan dan ekonomi, akses terhadap
sumberdaya dan jasa, tabungan dan kesempatan finansial, insentif atau
sistem sanksi, serta penelitian dan pengembangan. Sedangkan
kerentanan sosial meliputi sistem pengetahuan tradisional, persepsi
tentang resiko bencana, situasi legal dan hak asasi manusia, hubungan
kepemilikan, partisipasi sipil, institusi dan organisasi sosial, aspek
gender, minoritas, lansia dan anak muda, status kesehatan, struktur
kekuasaan dan akses terhadap informasi. Dan kerentanan lingkungan
dikaitkan dengan kondisi lingkungan alam tempat satu komunitas
tinggal, seperti kondisi tanah gersang, susah air, vegetasi,
keanekaragaman hayati, hutan, dan stabilitas ekosistem (GTZ,
2004:43).
Dari penjelasan singkat di atas, pada sesi ini, mahasiswa akan
diajak untuk mendiskusikan persoalan ketahanan dan kerentanan
sosial dalam konteks kebencanaan.

Tujuan Instruksional Khusus


1. Mahasiswa dapat memahami konsep ketahanan dan kerentanan
sosial.
2. Mahasiswa dapat menggunakan konsep ketahanan dan
kerentanan social untuk menganalisa potensi, resiko, dan dampak
bencana yang terjadi di masyarakat.
Bab 8 Ketahanan dan Kerentanan Sosial dalam Konteks Bencana | 113

Pertanyaan Kunci
1. Apa yang dimaksud dengan ketahanan dan kerentanan sosial?
2. Bagaimana relasi antara ketahanan dan kerentanan sosial dengan
struktur sosial?
3. Bagaimana relasi antara ketahanan dan kerentanan sosial dengan
keagenan sosial?
4. Sejauh mana persoalan ketahanan dan kerentanan sosial
memiliki keterkaitan dengan masalah kebencanaan?
5. Bagaimana relasi antara ketahanan dan kerentanan sosial dalam
konteks kebencanaan?
6. Sejauh mana kemungkinan merekayasa ketahanan dan
kerentanan sosial dalam konteks kebencanaan?
7. Mungkinkah mengkuantifikasi ketahanan dan kerentanan sosial
dalam kontek, kebencanaan?

Konsep dan Teori Kunci


1. Struktur dan keagenan sosial
Struktur sosial adalah relasi-relasi antar individu dengan individu,
individu dengan kelompok, atau kelompok-dengan kelompok di
dalam masyarakat yang memiliki pola sehingga membentuk satu
bangunan sosial tertentu tentang sebuah tatanan masyarakat,
dalam konteks bencana, relasi antara struktur sosial dan agensi
sosial menjadi dasar dari bagaimana masyarakat bisa merespon
resiko-resiko bencana yang ada di sekitar lingkungan mereka.
2. Ketahanan dan kapasitas sosial
Ketahanan sosial merupakan kemampuan yang dimiliki oleh satu
masyarakat untuk membentuk ulang tatanan sosial,
mempertahankan relasi-relasi positif termasuk bertahan dalam
mengahadapi tekanan sosial, dan menyelesaikan persoalan sosial
yang muncul dari dalam lingkungan sosial mereka sendiri.
3. Kerentanan sosial
Sementara kerentanan sosial adalah kebalikan dari konsep
ketahanan sosial. Kerentanan sosial lebih dialamatkan pada
114 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

kelemahan-kelemahan mendasar yang ada di dalam struktur


sosial satu masyarakat. Kelemahan itu sendiri dalam taraf
tertentu dapat melahirkan gangguan sosial yang melemahkan
ikatan-ikatan sosial yang ada di dalamnya, dan dalam cakupan
yang lebih luas juga bisa menjadi titik lemah ketika menghadapi
bentuk-bentuk tekanan dari luar komunitas tersebut.
4. Rekayasa dan intervensi sosial
Rekayasa sosial (social engineering) adalah satu upaya untuk
mendesain ulang tatanan sosial dalam konteks perubahan sosial
yang direncanakan. Upaya mendesain ulang ini biasanya
dilakukan oleh pihak luar yang posisinya supra struktur dari dari
satu komunitas sosial. Rekayasa sosial merupakan satu
pendekatan perubahan sosial yang memiliki kecenderungan
positivistik dan dalam beberapa hal menegasikan dinamika
internal serta relasi sosial yang berlangsung di dalam komunitas.
Sementara intervensi sosial lebih dialamatkan pada satu upaya
perubahan sosial yang mengedepankan peran serta aktif dari
anggota komunitas sosial itu sendiri. Kendati tetap mengandalkan
pihak luar, tetapi intervensi sosial membuka ruang partisipasi
yang besar kepada anggota masyarakat untuk sama-sama
menentukan jalannya perubahan yang dikehendaki. Dengan
demikian, perbedaan mendasar dari rekayasa sosial dan
intervensi sosial adalah pada posisi masyarakat yang satu
ditempatkan sebagai obyek, dan yang terakhir ditempatkan
sebagai subyek dari perubahan itu sendiri.
5. Hubungan ketahanan dan kerentanan sosial dengan bencana
Resiko bencana akan cenderung meningkat pada wilayah-wilayah
yang secara sosial ekologis memiliki kerentanan yang tinggi.
Untuk mengurangi kerentanan tersebut, intervensi sosial dapat
dilakukan di tiga aras struktur, makro, meso dan mikro. Pada aras
makro bisa menyasar ke kebijakan-kebijakan pembangunan yang
adapatif terhadap bencana, pada aras meso bisa menyasar ke
penguatan institusi dan organisasi sosial yang bisa menjalankan
Bab 8 Ketahanan dan Kerentanan Sosial dalam Konteks Bencana | 115

fungsi memperkuat ketahanan sosial, dan pada aras mikro bisa


menyasar ke peningkatan kapasitas individu anggota masyarakat.
United Nations Secretariat for International Strategy for Disaster
Reduction (UNISDR) menyebutkan Indonesia sebagai negara
urutan ke-5 dengan kejadian bencana alam tertinggi di dunia
sejak tahun 2005 hingga 2014. Data kejadian bencana alam
Indonesia juga menunjukkan kecenderungan eskalasi dan
intensitas bencana alam yang semakin meningkat setiap
tahunnya. Meningkatnya bencana alam merupakan bentuk
ancaman nyata terhadap keamanan nasional yang mengancam
jiwa dan keselamatan bangsa Indonesia. Selain itu, bencana alam
juga mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Namun demikian, tingginya risiko tersebut tidak diimbangi
dengan kesiapan terhadap bencana yang mumpuni.
Berdasarkan data Notre Dame Global Adaptation Index, kesiapan
Indonesia dalam menghadapi bencana mengalami penurunan
yang signifikan. Hal ini tentu berdampak rentannya kondisi
keselamatan masyarakat ketika mengalami bencana alam.
116 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Referensi

Alshehri S., Rezgui Y., LiH., 2013, Community resilence factor to disaster
in Saudi Arabia: The Case of Makkah Province, Disaster
Management and Human Health Risk Ill, Conference Paper,
359-368.
Fatemi et al., 2017, Social Vulnerablity Indicators in Disasters: findings
from A Systematic Review, International Journal of Disaster
Risk Reduction Vol.22, 2017 pg 219-227.
Tierney, Kathleen J., 2007, Business and Disaster: Vulnerability, Impact
and Recovery, /n: Handbook of Disaster Research (Ed:
Rodriguez H., Quarantelli E.L., Dynes R.R.). Springer.
Bolin, Bob, 2007, Race, Class, Ethnicity and Disaster Vulnerability, in
Handbook of Disaster Research (Ed: Rodriguez H., Quarantelh
E.L., Dynes R.R.). Springer.
Tapsell, S; McCarthy, S; Faulkner, H & Alexander, M, 2010, Social
Vulnerability and Natura, Hazards. CapHaz-Net WP4 Report,
Flood Hazard Research Centre — FHRC, Middlese, University,
London.
Sing S.R., Eghdami M.R., Singh S., 2014, The Concept of Social
Vulnerability: A Review from, Disaster Perspective, IMS, 2014,
Vol.1, No.6, p 71-82.
https://www.kemhan.go.id/
Bab 9 Konflik dan Integrasi Sosial dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 117

BAB IX
Konflik dan Integrasi
Sosial dalam Konteks
118 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Bab IX
Konflik dan Integrasi Sosial dalam Konteks
Bencana dan Keamanan Nasional

9.1 Konflik dan Integrasi Sosial dalam Konteks Bencana


dan Keamanan Nasional
Deskripsi Singkat
Konsekuensi dari perubahan sosial salah satunya adalah konflik
sosial, yang di satu sisi juga memungkinkan lahirnya integrasi sosial di
masyarakat. Dalam cara pandang tertentu, konflik bisa difahami
sebagai realitas keniscayaan yang hadir dalam masyarakat. Cara nalar
tersebut ingin memberikan pandangan bahwa dalam tubuh
masyarakat, konflik tidak dimaknai sebagai akibat atau residu (sisa
buangan) dari tindakan atau peristiwa tertentu. Konflik hadir justru
inhern dalam karakteristik tubuh sosial masyarakat. Secara konseptual,
konflik lebih difahami sebagai kerangka kerja yang inhern hidup dalam
masyarakat. Namun memang di awal, perlu jeli untuk membedakan
apakah ‘konflik’ yang dimaksudkan adalah sebuah entitas tafsir dari
ontologi perkembangan dan eksistensi masyarakat, atau konflik yang
dibaca secara awam sebagai dinamika pertentangan dan permusuhan
yang merusak sendi-sendi kehidupan kolektif sebagai sebuah bangsa.
Tentunya harus disepakati, yang menjadi kegelisahan dan keprihatinan
tentu saja pada poin pengertian kedua. Konflik yang telah mewajah
menjadi sebuah peristiwa tindakan yang destruktif bagi peradaban
manusia dan masyarakat. Tentu tidak mudah untuk memahami awal
dari cara pandang ini. Setidaknya untuk pandangan yang meyakini
sebaliknya, bahwa dunia masyarakat adalah bangunan yang terdiri dari
unsur yang saling harmonis dan mengafirmasi. Pandangan yang satu ini
mengatakan bahwa masyarakat adalah bangunan sebuah sistem yang
terdiri dari dimensi yang saling berintegrasi menuju kesatuan yang
Bab 9 Konflik dan Integrasi Sosial dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 119

harmonis. Konsekuensi dari cara pandang ini tentu saja meletakkan


‘konflik’ sebagai sesuatu yang merusak atau menghancurkan dari segi-
segi harmonis tersebut.
Dalam kaitan bencana sebagai salah satu faktor perubahan sosial,
maka relasi antara bencana dengan konflik dapat bersifat timbal balik.
Bencana dapat melahirkan konflik sosial karena dalam bencana, terjadi
persaingan, ataupun ketidakpuasan antar satu kelompok dengan
kelompok sosial lainnya, terutama karena persoalan ketidakadilan.
Sebaliknya, konflik dalam eskalasi yang meluas dan tidak terkendali
juga dapat melahirkan malapetaka seperti perang dan pertikaian
berdarah antarkelompok. Sejalan dengan dua hal tersebut, proses
integrasi sosial sebagai ujung paling baik yang diharapkan dari sebuah
konflik sosial juga dapat lahir dari suatu kejadian bencana. Dalam
konteks Indonesia, bencana tsunami Aceh membuktikan bagaimana
sebuah konflik selama puluhan tahun yang mengorbankan begitu
banyak nyawa, dapat diselesaikan dengan adanya momentum bencana.
Dalam konteks perkuliahan ini, mahasiswa akan diajak untuk
menyelami cara berpikir tentang konflik dan integrasi sosial di dalam
masayarakat. Bagaimana sebuah konflik dapat lahir dan berkembang,
termasuk ekses negative dari konflik dan bagaimana resolusi konflik
dapat dicapai oleh semua fihak. Argumentasi yang sederhana untuk
menggabarkan keterkaitan antara konflik dan bencana adalah, jika
suatu negara terus-menerus mengalami konflik yang berkepanjangan,
maka kemungkinan besar, kapasitas dan ketahanan struktur sosial
masyarakat di negara tersebut lemah Ferris (2010:3). Jika terjadi
bencana di wilayah dalam negara tersebut, kemungkinan besar
penanggulangannya akan memakan waktu lama, bahkan bisa saja
negara gagal untuk mengatasi hal tersebut.
Dalam konteks keamanan nasional, hal ini tentu saja membuka
peluang bagi pihak luar negara untuk terlibat di dalam penanggulangan
bencana dengan segala macam bentuk ancaman serta resiko keamanan
yang mungkin muncul. Pada tataran yang lebih mikro, bencana
memunculkan adanya keluhan di kalangan anggota masyarakat. Dalam
120 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

jangka waktu yang panjang dan intensitas bencana yang besar, hal ini
akan mengarah pada situasi kelangkaan sumberdaya. Situasi ini
menjadi dasar untuk tumbuhnya konflik baru, atau pun
berkembangnya konflik lama yang sifatnya laten. Sebaliknya, dalam
kasus tsunami Aceh, resolusi konflik justru dapat difasilitasi dengan
baik ketika pasca bencana terjadi. Pihak-pihak yang bertikai dapat
menginstitusionalisasikan kesepakatan damai ketika bencana telah
usai, dan semua kelompok terlibat dalam proses pemulihan,
rehabilitasi, dan rekonstruksi pasca bencana.

Tujuan Instruksional Khusus


1. Mahasiswa memahami konsep-konsep umum tentang konflik dan
integrasi social
2. Mahasiswa memahami posisi dualitas antara konflik dan bencana.
3. Mahasiswa dapat menggunakan teori konflik untuk menganalisa
kejadian bencana guna mencari peluang terjadinya integrasi
sosial.

Pertanyaan Kunci
1. Bagaimana konflik bisa muncul di dalam satu tatanan sosial?
2. Bagaimana hubungan antara konflik dan integrasi sosial?
3. Sejauh mana keterkaitan antara konflik, integrasi sosial, dan
bencana?
4. Bagaimana menggunakan perspektif konflik dalam melihat
fenomena bencana?
5. Bagaimana mencapai resolusi konflik dalam mencapai satu
integrasi sosial?
6. Prasyarat sosiologis apa yang dapat diterapkan dalam
mewujudkan integrasi sosial pasca bencana?

Konsep dan Teori Kunci


1. Konflik sosial
Konflik sosial adalah satu persoalan sosial yang menimbulkan
ketegangan, gesekan, dan atau tindakan kekerasan antara satu
Bab 9 Konflik dan Integrasi Sosial dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 121

kelompok dengan kelompok lainnya, antara satu kelas sosial


dengan kelas sosial lainnya, akibat adanya perbedaan persepsi
atau perebutan sumberdaya. Berdasarkan aktor pelakunya,
konflik sosial dapat bersifat horizontal ataupun vertical.
Sementara berdasarkan cakupannya, konflik dapat terjadi di
dalam satu kelompok sosial (internal), maupun antar kelompok
dengan kelompok (eksternal). Konflik juga dapat bersifat
manifest, ataupun laten.
2. Integrasi dan kerjasama
Integrasi sosial merujuk pada satu situasi sosial dimana konflik
dan ketegangan dapat dijembatani untuk dicarikan jalan keluar
sehingga tidak mengarah pada bentuk-bentuk kekerasan.
Integrasi sosial dapat diupayakan dengan mencari kesesuaian-
kesesuaian kepentingan antarkelompok sehingga diperoleh satu
konsensus bersama untuk menjaga tatanan sosial dari
kehancuran dan ketidakberfungsiannya lagi. Integrasi sosial
memunculkan kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya
kerjasama diantara pihak-pihak yang sebelumnya terlibat konflik.
Sebaliknya, di dalam satu situasi konflik, sangat sulit untuk
mendorong munculnya bentuk-bentuk kerjasama diantara
kelompok masyarakat.
3. Konflik dan bencana
Konflik sosial mengakibatkan terjadinya tekanan yang besar
terhadap sumberdaya yang dikuasai oleh masyarakat. Tekanan
ini dapat mengakibatkan berbagai konsekuensi sosial yang
memperparah kehidupan sehari-hari masyarakat. Dalam skala
tertentu, konflik bisa berujung pada satu bencana sosial yang
daya rusaknya sangat dahsyat. Contoh konflik sosial yang menjadi
bencana sosial adalah peperangan. Perang merenggut banyak
korban jiwa, baik mereka yang terkategori kombatan, maupun
mereka yang non kombatan. Kehilangan mata pencaharian,
tempat tinggal, dan akses terhadap pelayanan publik adalah
konsekuensi dari perang dimanapun di dunia. Bencana sosial
122 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

yang sedemikian, bukan saja mengorbankan nyawa, tetapi tidak


jarang mengoyak nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
4. Resolusi konflik
Resolusi konflik adalah satu upaya untuk menyelesaikan konflik
sosial yang terjadi di suatu masyarakat dengan melakukan
pemetaan dan analisa terkait pihak-pihak yang terlibat dalam
satu konflik sosial. Resolusi konflik dalam skala yang besar dan
lama, biasanya memenuhi prinsip-prinsip umum, seperti upaya
peacekeeping atau menjaga keamanan agar konflik tidak terus
berlangsung atau bisa dicegah, peacemaking sebagai upaya untuk
memediasi pihak-pihak yang sedang berkonflik dengan cara
mengunjungi atau mempertemukan mereka, dan peacebuilding
sebagai upaya untuk menginstitusionalisasikan perdamaian yang
telah berhasil dirintis.
5. Metode Resolusi Konflik
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian konsep dasar
resolusi konflik di atas, pendekatan konflik yang paling
memungkinkan untuk mengatasi konflik Ahmadiyah di Jawa
Barat adalah dilakukan melalui pendekatan sosiologi humanity,
dan dibawah ini di jelaskan beberapa pendekatan konsep metode
secara teknis untuk mengubah anggota kelompok yang berselisih
menjadi sebuah perdamaian dan penyelesaian yang akur, di
antaranya adalah sebagai berikut:
1) Commitment (Negotiation)
Konflik dapat muncul ketika anggota di dalam kelompok
merasa yakin dengan posisinya dan tidak ada keinginan
untuk mengalah satu sama lain, namun konflik dapat
diredakan ketika anggota kelompok memutuskan untuk
bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan yang dapat
menguntungkan seluruh pihak. Negosiasi adalah proses
komunikasi timbal balik yang dilakukan oleh dua anggota
atau lebih untuk mencari tahu masalah-masalah secara
lebih spesifik, menjelaskan posisi mereka dan saling
bertukar gagasan. Negosiasi terkadang lebih dari sekedar
Bab 9 Konflik dan Integrasi Sosial dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 123

tawar-menawar atau saling berkompromi. Seperti


negosiasi distributif, kedua belah pihak
menyembunyikan orientasi kompetitif mereka dan
secara bergantian sampai salah satu pihak mendapatkan
sesuatu yang lebih baik dari pihak yang lainnya. Di lain
pihak, seperti yang ditulis oleh Roger Fisher and William
Ury (2001), negosiasi integratif bertujuan untuk
bekerjasama dengan anggota kelompok untuk
meningkatkan kinerja kooperatif dan hasil yang
integratif yang menguntungkan kedua belah pihak.
Fisher dan Ury juga menyarankan anggota kelompok
untuk membuat sesi penyelesaian masalah dan bekerja
sama untuk menemukan solusi.
2) Misperception (Understanding)
Konflik seringkali terjadi karena kesalahpahaman.
Orang-orang sering menganggap bahwa orang lain ingin
berkompetisi dengan mereka namun pada kenyataannya
orang lain tersebut hanya ingin bekerjasama dengan
mereka. Mereka mengira ketika orang lain mengkritik
ide-ide mereka, orang lain tersebut sedang mengkritik
mereka secara personal. Mereka percaya bahwa motif
orang lain tersebut adalah untuk menguntungkan pihak
mereka. Anggota kelompok harus menghilangkan pola
fikir seperti itu dengan cara berkomunikasi secara aktif
terkait motif dan tujuan mereka di dalam diskusi.
Komunikasi tidak cukup untuk menyelesaikan konflik,
tetapi mereka juga membuat kesalahpahaman serta tipu
muslihat. Komunikasi dapat membuka peluang anggota
kelompok untuk saling percaya, namun itu juga dapat
menjadi “boomerang” bagi kelompok dengan adanya
“curahan hati” dari anggota kelompok yang menunjukkan
kebencian maupun ketidaksukaan pada anggota lain.
124 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

3) Strong Tactics (Cooperative Tactics)


Ada berbagai cara anggota kelompok untuk mengatasi
konflik mereka. Beberapa dari mereka hanya melihat
kepada masalah mereka dan berharap masalah itu akan
hilang dengan sendirinya. Beberapa anggota lainnya
mendiskusikan masalah mereka, terkadang dengan
tenang dan rasional, namun terkadang dengan marah dan
keras. Yang lainnya mencari pihak yang netral untuk
menjadi moderator dalam konflik tersebut. Dan mirisnya,
ada anggota yang menggunakan kekerasan fisik. Taktik
yang digunakan untuk menyelesaikan konflik pada
dasarnya ada 4 (empat) kategori yaitu: (a) Avoiding Pada
dasarnya taktik ini adalah usaha untuk menghindari
konflik tersebut dan berharap konflik itu akan hilang
dengan sendirinya. Orang-orang yang mengadopsi taktik
ini biasanya menghindari meeting, mengubah bahan
pembicaraan ataupun keluar dari kelompok tersebut.
(b). Yielding Anggota kelompok dalam menyelesaikan
masalah yang besar maupun kecil dengan menyerahkan
keputusan kepada orang lain. Setelah melalui proses
diskusi dan negosiasi, anggota kelompok merasa gagasan
mereka salah dan akhirnya menyetujui gagasan anggota
kelompok lainnya. Yielding biasa terjadi akibat pola fikir
anggota yang berubah dan setuju dengan pendapat
lainnya ataupun tekanan yang ada di dalam diri
mereka.(c) Fighting. Pada sejumlah orang, mereka ingin
menyelesaikan konflik dengan memaksa anggota lainnya
untuk menerima pandangan mereka. Mereka melihat
konflik sebagai situasi menang-kalah dan menggunakan
taktik yang kompetitif dan kuat untuk mengintimidasi
anggota yang lain. Dan (d) Cooperating. Anggota yang
mengandalkan kerjasama dalam mengatasi konflik
cenderung mencari solusi yang dapat diterima semua
pihak. Mereka tidak memaksakan kehendak dan
Bab 9 Konflik dan Integrasi Sosial dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 125

kompetitif. Alih-alih mereka menunjukkan akar dari


permasalahan dan mencari solusi yang tepat untuk
masalah mereka. Orientasi ini disebut sebagai win-win
solution karena mengganggap hasil yang menyangkut
orang lain merupakan hasil mereka juga. Metode
avoiding dan fighting dianggap metode yang negatif
karena berpotensi melahirkan konflik yang baru dan
membiarkan konflik yang ada sehingga tidak
terselesaikan. Di lain pihak metode yielding dan
cooperating merupakan metode yang baik dan
menghasilkan solusi yang dapat diterima semua pihak.
Sedangkan metode fighting dan cooperating merupakan
metode yang aktif karena adanya usaha nyata untuk
menyelesaikan konflik sedangkan metode avoiding dan
yielding merupakan metode yang pasif.
4) Upward (Downward Conflict Spirals)
Kerjasama yang konsisten di antara orang untuk jangka
waktu yang panjang dapat meningkatkan rasa saling
percaya. Tetapi ketika anggota kelompok terus bersaing
satu sama lain, rasa saling percaya akan menjadi lebih
sukar dipahami. Ketika seseorang tidak dapat
mempercayai orang lain, maka mereka akan bersaing
untuk mempertahankan hal yang menguntungkan
dirinya atau hal yang dapat menghilangkan persaingan
adalah tit-for-tat atau TFT. Tit-for-tat adalah strategi
tawar menawar yang berawal dari kerjasama, tapi
kemudian meniru pilihan yang dibuat orang lain. Dengan
kata lain, orang akan bersaing jika orang lain bersaing
dan orang akan bekerjasama jika orang lain bekerjasama.
5) Many (One)
Individu yang tidak terlibat dalam masalah tidak
seharusnya memihak salah satu pihak melainkan harus
menjadi mediator dalam konflik tersebut. Pihak ketiga
126 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

(netral) dapat membantu meredakan konflik dengan


cara:
a) Meredakan frustasi dan kebencian dengan memberi
kedua belah pihak sebuah kesempatan untuk
mengungkapkan perasaan mereka;
b) Jika komunikasi tidak lancar, pihak ketiga dapat
membantu untuk meluruskan masalah;
c) Pihak ketiga dapat menyelamatkan “muka” dari yang
berkonflik dengan membebankan kesalahan pada
diri mereka sendiri;
d) Pihak ketiga dapat mengajukan proposal alternatif
yang dapat diterima oleh kedua pihak; Pihak ketiga
dapat memanipulasi aspek-aspek meeting seperti
lokasi, tempat duduk, formalitas komunikasi,
batasan waktu, hadirin dan agenda;
e) Pihak ketiga dapat membimbing semua pihak untuk
menggunakan proses penyelesaian masalah secara
integratif. Namun, jika pihak-pihak ingin
menyelesaikan konflik dengan cara mereka sendiri,
maka intervensi dari pihak ketiga akan dianggap
sebagai gangguan yang tidak diinginkan.
Keefektifan pihak ketiga tergantung dari kekuatan
mereka di dalam kelompok. Di dalam prosedur
inquisitorial, pihak ketiga akan memberikan
pertanyaan kepada kedua belah pihak dan
memutuskan hasil yang harus diterima semua pihak.
Di dalam arbitration kedua belah pihak memberikan
argumen-argumen kepada pihak ketiga yang akan
membuat sebuah keputusan berdasarkan argumen
yang diberikan. Di dalam moot kedua pihak dan
pihak ketiga berdiskusi, di situasi yang terbuka dan
tidak formal tentang masalah dan solusi yang
memungkinkan.
Bab 9 Konflik dan Integrasi Sosial dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 127

6) Anger (Composure)
Ketika keadaan “memanas”, anggota kelompok yang
bertentangan harus mampu mengontrol emosi mereka.
Metode yang efektif untuk mengontrol emosi adalah
dengan berhitung 1 sampai 10 atau menyampaikan
humor atau lelucon di kelompok. Humor dapat
memberikan emosi yang positif dan dapat meredam
emosi yang negatif seperti amarah. Kelompok juga dapat
melestarikan budaya seperti pelarangan penunjukan
emosi negatif, salah satu contohnya adalah amarah.
Resolusi yang dikemukan diatas adalah proses
menangani konfilik yang sedang dan sudah terjadi,
sebaiknya pada tim mediator yang di bentuk harus
memahami akar masalah konflik sebelum sebelum
melakukan tindakannya dalam upaya menemukan
perdamaian yang abadi.
128 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Referensi

Bolin, Bob, 2007, Race, Class, Ethnicity and Disaster Vulnerability, In:
Handbook of Disaster Research (Ed: Rodriguez H., Quarantelli E.L.,
Dynes R.R.). Springer.
Ferris, Elizabeth, 2010, Natural Disaster, Conflict, and Human Rights:
Tracing the Connections, Presentation 3 March 2010, Brookings-
The Brooking Institution-Universiy of Bern, Project on Internal
Displacement.
Goerge Ritzer & Douglas J. Goodman, Modern Sociological Theory. New
York: Mc Gray, Nill, 2004.
Harris K, Keen D, Mitchell T., 2013, When Disasters and Conflict Collide:
Improving Ung Between Disaster Resilience and Conflict
Prevention, Overseas Development Institute
Waugh Jr, William L., 2007, Terrorism as Disaster In: Handbook of
Disaster Research (Ed: Rodriguez H., Quarantelli E.L., Dynes R.R.).
Springer.
Bab 10 Globalisasi dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 129

BAB X
Globalisasi dalam
Konteks Bencana dan
Keamanan Nasional
130 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Bab X
Globalisasi dalam Konteks Bencana dan
Keamanan Nasional

10.1 Globalisasi dalam Konteks Bencana dan Keamanan


Nasional
Deskripsi Singkat
Perdebatan tentang bencana dalam perkembangannya juga
menyentuh fenomena lanjut dari modernisasi, yakni globalisasi.
Globalisasi yang hampir bisa dikatakan mengaburkan batas-batas
konvensional negara bangsa sehingga mempermudah aliran modal dari
dan keluar suatu negara menjadi salah satu fokus utama para sarjana
dalam beberapa dekade terakhir, tak terkecuali para sarjana yang
menekuni kajian kebencanaan.
Dalam konteks diskursus kebencanaan, globalisasi juga
menempati posisi tersendiri. Pertama, yang melihat globalisasi sebagai
salah satu faktor penting yang merubah pola resiko bencana (Gencer,
2013:5) melalui perubahan pola sosial ekonomi dan pola perubahan
ruang. Kemudian yang melihat diskursus globalisasi dari kacamata
keterlibatan berbagai pihak (kelompok) lintas negara dalam
penanggulangan bencana dan dampak bencana yang melintasi sekat-
sekat negara sehingga membutuhkan pemikiran tersendiri terkait
dimensi keamanan insani (human security) (Munro, 2006:3). Yang
pertama mewakili pandangan globalisasi sebagai penyebab dari
semakin meningkatnya resiko kebencanaan yang dihadapi oleh
masyarakat, termasuk masyarakat perkotaan. Sementara yang kedua,
mewakili dampak globalisasi dalam konteks masyarakat global dan
aspek penanganannya yang juga perlu menggunakan pendekatan
globalistik.
Bab 10 Globalisasi dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 131

Dalam sesi perkuliahan ini mahasiswa akan diajak untuk


mendiskusikan globalisasi sebagai salah satu fenomena utama di masa
modernisasi lanjut dalam perspektif sosiologis. Mahasiswa juga akan
diberikan pemahaman tentang keterkaitan globalisasi dengan masalah
kebencanaan dan bagaimana dalam kaitan menjaga kepentingan
keamanan nasional, perdebatan ini diletakkan.

Instruksional Khusus
1. Mahasiswa dapat memahami globalisasi beserta konsekuensi
ekonomi politik yang menyertainya.
2. Mahasiswa dapat menggunakan konsep globalisasi dalam
menganalisa potensi, resiko dan dampak dari suatu kejadian
bencana.
Pertanyaan Kunci
1. Apa yang dimaksud dengan fenomena globalisasi?
2. Bagaimana globalisasi sebagai satu fenomena sosial muncul dan
mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia saat ini?
3. Bagaimana mengidentifikasi paradoks globalisasi?
4. Bagaimana menempatkan globalisasi dalam diskursus
kebencanaan?
5. Sejauh mana strategi yang dapat dilakukan dalam kerangka
menempatkan paradoks globalisiasi bagi upaya mengurangi
resiko bencana di kalangan masyarakat?

Konsep dan Teori Kunci


1. Politik globalisasi
Politik globalisasi merujuk pada percaturan ekonomi politik pada
tataran global yang melampaui sekat-sekat negara bangsa dan
mempengaruhi relasi antar negara dan anta warga. Politik
globalisasi menekankan analisa pada fenomena sosial dimana
indikasi keterlibatan aktor-aktor pada tingkat global ditemukan.
Aktor-aktor utama dalam konteks ini adalah, korporasi
multinasional, lembaga swadaya masyarakat internasional,
132 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

negara bangsa, dan organisasi bangsa-bangsa, baik di tingkat


internasional, maupun regional, Politik globalisasi sendiri secara
umum memudahkan aliran ekonomi, terutama finansial, barang
dan jasa yang melampaui batas-batas territorial sebuah negara
bangsa yang berdaulat.
2. Paradoks globalisasi
Kendati globalisasi dianggap sebagai satu mekanisme mondial
satu arah dalam mengarahkan peradaban dunia yang memiliki
mengadopsi nilai-nilai universal, seperti demokrasi, hak asasi
manusia dan liberalisasi perdagangan, tetapi dalam beberapa segi,
globalisasi juga mengetengahkan fenomena-fenomena lokal ke
hadapan dunia. Kecenderungan ini disebut sebagai paradoks
globalisasi. Secara teoritis, paradok globalisasi juga bisa
dibenarkan dengan melihat konsepsi the necessary evil yang
menjadi pegangan prinsip para pemikir globalisasi aliran liberal.
Konsep necessary evil merujuk pada kehendak kelompok liberal
yang menginginkan agar kewenangan negara semakin hari
semakin sedikit dalam mengurusi warganya, terutama dalam hal
perdagangan bebas, tetapi di sisi yang lain tetap mengharapkan
negara hadir untuk menjamin kelangsungan hidup mereka,
terutama dalam hal keamanan.
3. Globalisasi dan kerentanan sosial
Bagi kelompok-kelompok tertentu, globalisasi mengakibatkan
semakin tingginya resiko ketidakpastian (uncertainty), baik itu
individu, institusi, ataupun negara. Ketidakpastian dari sisi
ekonomi, finansial, ekologis, maupun keamanan ini memiliki
kemungkinan yang sangat besar dalam meningkatkan derajat
kerentanan sosial. Globalisasi dalam pengertian terintegrasinya
pasar ke dalam satu sistem bersama lintas negara bangsa,
memaksa setiap entitas untuk membuka diri atas berbagai
macam hal. Pada titik itulah, rekanan globalisasi pada titik lemah
sebuah entitas menjadi penting untuk diperhatikan. Setiap
bentuk kerentanan sosial akan memiliki peluang untuk terpapar
pengaruh globalisasi. ini adalah asumsi umum dari kalangan
Bab 10 Globalisasi dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 133

sarjana yang selama ini berada pada posisi mengkritik globalisasi


dan pengaruhnya. Pasar bebas yang merugikan para petani,
kerusakan lingkungan akibat beroperasinya perusahaan besar di
wilayah-wilayah pedalaman, rusaknya lingkungan sungai dan
pesisir akibat pembuangan limbah pabrik-pabrik multinasional
adalah contoh penting bagaimana aliran finansial lintas batas
negara berkorelasi dengan dampak negative dari aksi eksploitasi
sumberdaya alam.
4. Globalisasi dan ketahanan sosial
Jika para pengkritik globalisasi memandang bahwa globalisasi
menimbulkan kerentanan sosial bagi entitas sosial di setiap level,
para pendukung globalisasi punya argumentasi sebaliknya.
Mereka melihat bahwa globalisasi membuka kesempatan yang
sangat besar bagi setiap kalangan untuk mencari peluang
meningkatkan kemampuan dan kapasitas hidupnya. Dengan cara
ini maka ketahanan sosial masyarakat, termasuk negara bisa
terus menerus diupgrade dengan memanfaatkan aliran informasi,
pengetahuan, dan uang. Mereka yang optimis terhadap globalisasi
mendukung penuh terintegrasinya negara dalam sistem
perekonomian yang lebih besar, baik internasional, maupun
regional. Proses integrasi yang sedemikian memungkinkan setiap
pihak untuk bisa saling memberikan dukungan atas kelemahan-
kelemahan yang dimiliki oleh anggotanya. Pada perspektif yang
sedemikian, globalisasi berkorelasi positif dengan ketahanan
sosial.
5. Globalisasi dan resiko bencana
Dalam konteks bencana, globalisasi memiliki posisi yang
paradoksal. Pertama, ia meningkatkan resiko hidup manusia
secara keseluruhan, baik politik, ekonomi, social, lingkungan,
maupun keamanan. Peningkatan resiko yang sedemikian, pada
akhirnya juga meningkatkan resiko bencana itu sendiri, terutama
bencana yang diakibatkan oleh berbuatan manusia (man made
disaster). Peningkatan kebutuhan lahan demi pembangunan dan
134 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

pertumbuhan ekonomi yang massif akibat arus investasi yang


melampaui sekat-sekat negara, meningkatkan aktivitas industry
eksploitasi sumberdaya alam. Penggundulan hutan yang massif
untuk kemudian diganti dengan kebun sawit yang luasnya jutaan
hektar, membuat daya dukung lingkungan semakin rendah. Hal
ini dapat memicu bentuk-bentuk bencana, seperti kekeringan,
asap akibat kebakaran hutan, dan tanah longsor akibat tutupan
lahan yang semakin sedikit. Hal ini jelas memperlihatkan
bagaimana globalisasi meningkatkan resiko bencana itu sendiri.
Kedua, globalisasi juga membuka kemungkinan persebaran
informasi dan pengetahuan yang pada saat ini dibentuk ulang
oleh teknologi informasi dan sosial media. Persebaran informasi
dan pengetahuan tentang kebencanaan tidak luput dari hal itu.
Disini, banyak pihak yang bisa menggunakan perangkat tersebut
untuk belajar dan mendapat pembelajaran tentang upaya-upaya
penanggulangan bencana di berbagai tempat di dunia. Dengan
mekanisme yang sedemikian, globalisasi juga dapat membantu
dalam membangun empati kemanusiaan global akibat terjadinya
bencana. Aliran bantuan dari dunia internasional untuk terlibat
dalam penanggulangan bencana di suatu wilayah juga terpacu
oleh persebaran informasi di media sosial. Disini, globalisasi juga
memungkinkan menurunkan resiko bencana, terutama dari sisi
distribusi pengetahuan tentang bencana dari keterlibatan dunia
internasional dalam penanggulangan bencana.
6. Globalisasi dan keamanan nasional
Dengan posisinya yang paradoksal tersebut, globalisasi memiliki
konsekuensi logis terhadap isu keamanan nasional. Globalisasi
yang menghendaki semakin kecilnya campur tangan negara
terhadap kepentingan privat, meningkatkan potensi atas
gangguan keamanan, baik ancaman yang bersumber dari aktor
negara, maupun non negara. Isu keamanan nasional yang
landasannya adalah bentuk-bentuk ancaman yang sifatnya
konvensional, bergeser menjadi ancaman-ancaman yang sifatnya
non konvensional atau kontemporer. Disini, keamanan insani
Bab 10 Globalisasi dalam Konteks Bencana dan Keamanan Nasional | 135

(human security) dianggap lebih relevan ketimbang keamanan


nasional semata. Persoalan-persoalan ekonomi, lingkungan, dan
kesehatan juga bisa dimasukkan ke dalam instrument ancaman
keamanan itu sendiri.
136 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Referensi

Albala-Bertrand J.M., 2007, Globalization and Localization: An


Economic Approach, jn: Handbook of Disaster Research (Ed:
Rodriguez H., Quarantelli E.L., Dynes R.R.). Springer
Alexander, David, 2006, Globalization of Disaster: Trends, Problems,
and Dilemmas, Journal of International Affairs Spring/Summer
2006, Vol.59 No.2 p 1-22
Gencer, Ebu A., 2013, The Impact of Globalization on Disaster Risk
Trends: A Macro and Urban Scale Analysis, UNISDR & GAR
Munro, Emily, 2006, Natural Disaster, Globalization, and the
Implications for Global Security, GSCP Policy Brief Series No.17
Ohmae, Kenichi. 1995. The End of the Nation-State: the Rise of Regional
Economies. Simon and Schuster Inc. New York
Ripsman, Norrin. T.V. Paul. 2010, Globalization and the National
Security State, Oxford University Press
Bab 11 Pemberdayaan Masyarakat dalam Kontek Bencana dan Keamanan Nasional | 137

BAB XI
Pemberdayaan Masyarakat
dalam Konteks Bencana dan
Keamanan Nasional
138 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Bab XI
Pemberdayaan Masyarakat dalam Konteks
Bencana dan Keamanan Nasional

11.1 Pemberdayaan Masyarakat dalam Konteks Bencana


dan Keamanan Nasional
Deskripsi Singkat
Salah satu isu penting dalam konteks kebencanaan, baik dalam
lingkup akademis, maupup kebijakan penanggulangannya adalah
pemberdayaan masyarakat. Satu terma yang kerap kali terdengar
dalam lingkup kebijakan sosial (social policy). Pemberdayaan
masyarakat sendiri memiliki banyak definisi, baik yang sifatnya teoritis,
maupun yang berada pada ranah kebijakan praktis oleh para pekerja
sosial. Pemberdayaan masyarakat dianggap sebagai salah satu cara
yang bisa dijalankan untuk memperkuat basis sosial masyarakat.
Dalam kaitan penanggulangan bencana, pemberdayaan masyarakat
bisa diartikan juga untuk memperkuat ketahanan dan mengurangi
kerentanan sosial. Pada prakteknya, pemberdayaan masyarakat
menyentuh berbagai aspek kehidupan, mulai dari sosial, ekonomi,
budaya, bahkan politik. Namun demikian, karena perkuliahan ini
membahas persoalan kebencanaan, maka pemberdayaan masyarakat
haruslah yang memiliki konteks akan resiko bencana yang ada di dalam
lingkup struktur sosial dan lingkungan alam di suatu wilayah. Dalam
perspektif yang sedemikian, pemberdayaan masyarakat adalah kajian
yang sifatnya praktis dalam konteks memperkuat, ketahanan sosial,
modal sosial, termasuk mengurangi kerentanan sosial. Pelaksanaan
pemberdayaan dalam konteks bencana ini bisa dilakukan pada saat
sebelum, ketika, dan pasca bencana.
Desa Siaga adalah kondisi masyarakat desa/kelurahan yang
memiliki kesiapan sumberdaya potensial dan kemampuan mengatasi
Bab 11 Pemberdayaan Masyarakat dalam Kontek Bencana dan Keamanan Nasional | 139

masalah kesehatan, bencana dan kegawat daruratan kesehatan secara


mandiri. Tujuan khusus dari desa siaga adalah pengembangan Desa
Siaga Aktif untuk terwujudnya masyarakat desa yang sehat, peduli dan
tanggap terhadap permasalahan kesehatan di wilayahnya.
Kelurahan/ Desa Siaga Aktif adalah kelurahan/desa yang
penduduknya dapat mengakses dengan mudah pelayanan kesehatan
dasar yang memberikan pelayanan setiap hari melalui Pos Kesehatan
Desa (Poskesdes) atau sarana kesehatan yang ada di wilayah tersebut
seperti Pustu, Puskesmas atau sarana kesehatan yang lainnya. Selain itu,
penduduknya juga melaksanakan pengembangan UKBM dan surveilans
berbasis masyarakat (meliputi pemantauan penyakit, kesehatan ibu
dan anak, gizi, lingkungan dan perilaku), kedaruratan kesehatan dan
penanggulangan bencana, serta penyehatan lingkungan sehingga
masyarakatnya menerapkan Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS).

Gambar 11.1. Alur Advokasi Dana Desa untuk Siaga Bencana


Sumber: http://www.desahebat.com
140 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Sementara itu, dari perspektif yang sifatnya teoritis, ada lima isu
penting terkait pemberdayaan menurut Kriken et al., (2017:863-865).
Kelimanya adalah collective resilence, survivor assets, survivor's
resourcefulness, vulnerable survivors, and social and cultural coping.
Kelimanya harus diperhatikan dalam konteks pemberdayaan
masyarakat terkait bencana. Kendati penting bagi penguatan kapasitas
sosial, tetapi ada beberapa batasan dalam konteks pelaksanaan
pemberdayaan, yaitu proses pemulihan yang memakan waktu lama,
dan keterbatasan kapasitas stakeholder dalam melakukan program
pemberdayaan terutama keterbatasan jumlah dan kemampuan dalam
melakukan advokasi pemberdayaan (Ophiyandri, Amaratunga, dan
Pathirage, 2015-7).
Mahasiswa akan diajak untuk mendiskusikan kasus-kasus
bencana beserta program pemberdayaan yang telah dilakukan,
termasuk mengevaluasi praktik pemberdayaan tersebut. Teori-teori
tentang kebijakan sosial, pemberdayaan masyarakat, dan kerja sosial
akan diberikan untuk memberikan pemahaman makro tentang isu
tersebut.

Tujuan Instruksional Khusus


1. Mahasiswa dapat memahami konsep umum dalam
pemberdayaan masyarakat
2. Mahasiswa dapat merancang strategi pemberdayaan masyarakat
untuk mengurangi resiko bencana di suatu wilayah

Pertanyaan Kunci
1. Bagaimana akar pemikiran konsep pemberdayaan masyarakat?
2. Bagaimana hubungan antara pemberdayaan masyarakat dengan
ketahanan dan kerentanan sosial masyarakat?
3. Bagaimana pemberdayaan masyarakat dapat mengurangi resiko
bencana dalam satu komunitas?
4. Bagaimana menyusun strategi pemberdayaan masyarakat yang
efektif dan berkelanjutan dalam penanggulangan bencana?
Bab 11 Pemberdayaan Masyarakat dalam Kontek Bencana dan Keamanan Nasional | 141

5. Bagaimana melakukan evaluasi atas suatu program


pemberdayaan masyarakat dalam konteks penanggulangan
bencana?

Konsep dan Teori Kunci


1. Kebijakan sosial
Kebijakan sosial (social policy) lahir dari satu kejumudan yang
melihat bahwa setiap proses pembangunan ekonomi yang
dijalankan, tak jarang mengorbankan masyarakat dan lingkungan.
Kebijakan sosial merujuk pada upaya negara untuk meningkatkan
kualitas kehidupan masyarakat dengan menjalankan kebijakan-
kebijakan yang menyangkut peningkatan pendapatan, layanan
sosial, dan program-program bantuan sosial. Kebijakan sosial
dibutuhkan untuk menanggulangi persoalan sosial yang ada di
masyarakat. Persoalan itu bisa yang sebelumnya memang sudah
ada di masyarakat (laten) atau yang diakibatkan proses
pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi
saja. Kebijakan sosial juga bisa mencegah atau meminimalisir
terjadinya persoalan sosial di dalam masyarakat.
Analisis kebijakan sosial adalah usaha terencana yang berkaitan
dengan pemberian penjelasan (explanation) dan preskripsi atau
rekomendasi (prescription or advice) terhadap konsekuensi-
konsekuensi kebijakan sosial yang sudah diterapkan. Penelaahan
terhadap kebijakan sosial tersebut didasari oleh oleh prinsip-
prinsip umum yang dibuat berdasarkan pilihan-pilihan tindakan
seperti berikut: 1). Penelitian dan rasionalisasi yang dilakukan
untuk menjamin keilmiahan dari analisis yang dilakukan. 2).
Orientasi nilai yang dijadikan patokan atau kriteria untuk menilai
kebijakan sosial tersebut berdasarkan nilai benar dan salah. 3).
Pertimbangan politik yang umumnya dijadikan landasan untuk
menjamin keamanan dan stabilitas.
Ketiga alternatif tindakan tersebut kemudian diterapkan untuk
menguji atau menelaah aspek-aspek kebijakan sosial yang
142 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

meliputi: 1). Pernyataan masalah sosial yang direspon atau ingin


dipecahkan oleh kebijakan sosial. 2). Pernyataan mengenai cara
atau metoda dengan mana kebijakan sosial tersebut
diimplementasikan atau diterapkan. 3). Berbagai pertimbangan
mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan atau akibat-akibat
yang mungkin timbul sebagai dampak diterapkannya suatu
kebijakan sosial.
2. Sustainable development
Sustainable development atau pembangunan berkelanjutan
adalah satu konsep pembangunan yang tidak hanya
mengedepankan kepentingan ekonomi saja, tetapi juga
mementingkan keberlanjutan sosial dan ekologis.
Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals
(TPB/SDGs) merupakan Agenda 2030 yang merupakan
kesepakatan pembangunan berkelanjutan berdasarkan hak asasi
manusia dan kesetaraan. TPB/SDGs berprinsip Universal,
Integrasi dan Inklusif, untuk meyakinkan bahwa tidak ada
satupun yang tertinggal atau disebut No One Left Behind.
Semua Target dan tujuan TPB/SDGs terbagi menjadi empat pilar,
yaitu Pilar Pembangunan Sosial, Pilar Pembangunan Ekonomi,
Pilar Pembangunan Lingkungan, dan Pilar Pembangunan Hukum
dan Tata kelola. Kebijakan ini diatur dalam:
1) Perpres No.59 Tahun 2017 Tentang SDGs
2) Lampiran Perpres No. 59 Tahun 2017 tentang SDGs
3) Permen No. 7 Tahun 2018 – Pedoman RAN
4) Kepmen No. 127 TAHUN 2018 – Pembentukan Kelompok
Kerja
5) Rencana Aksi Nasional (RAN) SDGs 2021-2024

3. Pemberdayaan masyarakat
Pemberdayaan masyarakat bisa diartikan sebagai satu intervensi
sosial yang menitikberatkan pada penguatan institusi sosial di
masyarakat sehingga persoalan-persoalan sosial yang ada bisa
dicarikan jalan keluarnya. Pemberdayaan masyarakat bisa
Bab 11 Pemberdayaan Masyarakat dalam Kontek Bencana dan Keamanan Nasional | 143

berorientasi pada upaya pengembangan ekonomi masyarakat


lokal dengan memanfaatkan potensi dan modalitas yang dimiliki
oleh suatu kelompok masyarakat, seperti sumberdaya alam, local
wisdom, tradisi dan budaya, sumberdaya manusia, nilai dan
norma sosial. Pemberdayaan masyarakat juga bisa dilakukan oleh
pihak internal maupun eksternal komunitas.
Kegagalan program pemberdayaan masyarakat yang dibuat oleh
pemerintah selama ini cenderung diakibatkan karena kurang
mempertimbangkan kebutuhan dari sudut pandang masyarakat.
Banyak lembaga kesulitan dalam memahami keadaan sosial suatu
masyarakat. Hal ini mengakibatkan keterbatasan informasi yang
dimiliki pelaku untuk merancang program yang sesuai peta
masalah dan kebutuhan masyarakat. Seringkali para 'fasilitator'
pemberdayaan masyarakat terjebak dalam imajinasi dan
pikirannya sendiri. Sehingga secara tidak sadar menuntun
masyarakat yang akan didampingi menurut apa yang mereka
(fasilitator) pikirkan bukan dari apa yang masyarakat pikirkan.
Pemberdayaan yang diadaptasikan dari istilah Empowering
berkembang di Eropa mulai abad pertengahan, terus berkembang
hingga diakhir 70-an, 80-an, dan awal 90-an. Jika dilihat dari
proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki
dua kecenderungan, antara lain: Pertama, kecenderungan primer,
yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan
Sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan (power) kepada
masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Kedua,
kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang
menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong
atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau
keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan
hidupnya melalui proses dialog.
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk
meningkatkan harkat dan mart abat lapisan masyarakat yang
dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri from
144 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

perangkap kemiskinan dan keterbelakanan. Dengan kata lain,


pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan
masyarakat. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat
dilihat dari tiga sisi, yaitu: Pertama, menciptakan suasana atau
iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang
(enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap
manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali
tanpa daya, karena jika demikian an a sudah punah. Kedua,
memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
(empowering) (empowering). Dalam rangka ini diperlukan
langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan
iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata,
dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta
pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities)
yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Ketiga,
memberdayakan mengandung pula arti melindungi (protecting).
Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi
bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam
menghadapi yang kuat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau
menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan
yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat
sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak
seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.
Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi
makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity).
Dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan
masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk
memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara
berkesinambungan.
Pemberdayaan masyarakat paling tidak terdiri dari 3 indikator,
yaitu: "local perspective" refers to: I local issues, bahwa
masyarakat harus siap diberdayakan dengan isu-isu dan potensi
lokal yang dimiliki dan diketahuinya; (ii) local autonomy, bahwa
Bab 11 Pemberdayaan Masyarakat dalam Kontek Bencana dan Keamanan Nasional | 145

komunitas harus diberdayakan untuk mampu mengelola dan


mengambil keputusan secara mandiri; dan (iv) local
Responsibility, yakni menempatkan tanggung jawab
pembangunan pada masyarakat, dalam arti hasil - hasil
pembangunan yang telah dilaksanakan dapat terpelihara dan
berkelanjutan (sustainable).
4. Kapital sosial
Kapital sosial adalah sumberdaya yang tertanam (embedded)
dalam sebuah struktur sosial yang diakses dan/atau dimobilisasi
dalam tindakan-tindakan bertujuan. Kapital sosial dapat
diartikan sebagai kekuatan sosial komunitas yang bersama-sama
dengan kapital lainnya, tertambat pada struktur sosial mikro,
meso dan makro, serta berfungsi untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas dalam pengatasan masalah. Disini jelas bahwa
pengertian kapital sosial merujuk pada kekuatan atau kapasitas
sosial dari satu komunitas. Tetapi titik tekannya di sini adalah
pada hal-hal apa saja yang bisa dianggap sebagai penanda penting
dari keberadaan kapital sosial di masyarakat. Atau yang bisa
memperlihatkan kuat atau lemahnya kapital sosial satu
masyarakat. Kapital sosial, memiliki tiga unsur yang memotong
struktur dan tindakan: (1) aspek struktural, (2) kesempatan dan
(3) orientasi-aksi.
5. Ketahanan sosial
Ketahanan sosial merupakan kemampuan yang dimiliki oleh satu
masyarakat untuk membentuk ulang tatanan sosial,
mempertahankan relasi-relasi positif termasuk bertahan dalam
menghadapi tekanan sosial, dan menyelesaikan persoalan sosial
yang muncul dari dalam lingkungan sosial mereka sendiri.
Ketahanann sosial juga bisa diartiken kemampuannya dalam
mengatasi berbagai resiko perubahan sosial, ekonomi, dan politik.
kemampuan bertahandi tingkat sistem lokal dari arus
globalisasidan desentralisasi. Ketahanan sosial merupakan
sebuah kemampuan dalam mengelola sumber daya, perbedaan,
146 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

kepentingan, dan konflik. kemampuanuntuk mengubahancaman


dan tantangan menjadipeluang dan kesempatan
6. Kerentanan sosial
Sementara kerentanan sosial adalah kebalikan dari konsep
ketahanan sosial. Kerentanan sosial lebih dialamatkan pada
kelemahan-kelemahan mendasar yang ada di struktur sosial satu
masyarakat. Kelemahan itu sendiri dalam taraf tertentu dapat
melahirkan gangguan sosial yang melemahkan ikatan-ikatan
sosial yang ada di dalamnya, dan dalam cakupan yang lebih luas
juga bisa menjadi titik lemah ketika menghadapi bentuk-bentuk
tekanan dari luar komunitas tersebut.
Indonesia yang merupakan wilayah rentan bencana alam, dan
seperti yang diketahui bencana alam yang terjadi karena
pengaruh perubahan iklim akan berdampak pada meningkatnya
kerentanan ditengah masyarakat (Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, 2015). kerentanan menggambarkan
sejauh mana sistem alami atau sosial rentan terhadap kerusakan
yang berkelanjutan dari perubahan iklim dan kemampuan sistem
untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan ini. Faktor-
faktor ini dianggap sangat ditentukan oleh konteks pembangunan,
yang memiliki pengaruh kuat pada pendapatan rumah tangga,
pendidikan dan akses ke informasi, pada paparan masyarakat
terhadap bahaya lingkungan di rumah dan tempat kerja mereka,
dan pada kualitas dan tingkat penyediaan untuk infrastruktur dan
layanan.
Kerentanan dipengaruhi faktor kompleks (proses fisik, sosial,
ekonomi, dan lingkungan) sehingga meningkatkan risiko dampak.
Apabila perubahan/penyimpangan melewati batas toleransi
maka sistem akan menjadi rentan akibat dampak negatif yang
ditimbulkan. Kerentanan direpresentasikan oleh fungsi dari
indeks keterpaparan (exposure), dan sensivitas. Kerentanan
merupakan suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat
yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam
menghadapi ancaman. Tingkat kerentanan adalah suatu hal
Bab 11 Pemberdayaan Masyarakat dalam Kontek Bencana dan Keamanan Nasional | 147

penting untuk diketahui sebagai salah satu faktor yang


berpengaruh terhadap risiko bencana, karena bencana baru akan
terjadi apabila bahaya terjadi pada kondisi yang rentan. Jika dapat
mempertahankan atau meningkatkan kemampuan dan asetnya
baik sekarang maupun di masa depan dan idealnya ditingkatkan,
masyarakat akan mampu mengatasi dan pulih dari tekanan dan
guncangan.
Mengingat semakin meningkatnya peran daerah perkotaan
secara global dan berbagai proses dan kendala internal (berbeda
dengan daerah pedesaan) yang memiliki tantangan besar (tetapi
juga peluang) untuk adaptasi perubahan iklim perkotaan,
kemajuan lebih lanjut dari strategi adaptasi perkotaan adalah
keharusan utama.
Strategi pembangunan nasional diarahkan untuk mencapai suatu
transformasi sosial, yang berlandaskan nilai-nilai yang berpusat
pada manusia (people-centered development value). Dengan
demikian idealnya proyek pembangunan tidak dirancang dan
dikelola secara sentralistis dan lebih diserahkan kepada
masyarakat. Sejalan dengan Otonomi Daerah, dalam hal ini
pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah di bidang
pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan
mengandung maksud untuk meningkatkan peran masyaraat lokal
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini
diharapkan akan mampu meminimalisis kerentanan sosial yang
terjadi di masyarakat secara luas.
148 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Referensi

Adi Rukminto, Isbandi, 2008, Intervensi Komunitas: Pengembangan


Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat,
Rajawali Press
Kendra, James M. & Wachtendrof, Tricia, 2007, Community Inovation
and Disasters, in Handbook of Disaster Research (Ed:
Rodriguez H., Quarantelli E.L., Dynes R.R.). Springer
Kirst-Ashman K.K, and H. Hull, 2002 Understanding Generalis Practice,
Thomson Wardsworth Publishing
Ophiyandri T., Amaratunga D., Pathirage C., 2015, Advantages and
Limitation of Community-based Post-disaster Housing
Reconstruction Project, A 2015 Report on the Pattern of
Disaster Risk Reduction Actions at Local Level, UNISDR
Payne, Malcolm, 1997, Modern Social Work Theory 2"4 ed, London,
Macmillan Press Ltd
Reizkapuni R. & Rahdiawan M., 2014, Pemberdayaan Masyarakat dalam
Penanggulangan Banjir Rob di Kelurahan Tanjung Mas Kota
Semarang, Jurnal Teknik PWK Vol.3 No.1 2014
Van Krieken T., Kulatungu U., Pathirage C., 2017, Importance of
Community Participation in pisaster Recovery, USIR,
University of Salford, Manchester, pg 860-869
http://www.desahebat.com/alur-advokasi-dana-desa-untuk-siaga-
bencana/
https://sdgs.bappenas.go.id/dokumen/
https://kkp.go.id/
Bab 12 Kebijakan Penanggulangan Bencana dalam Perpektif Sosiologis | 149

BAB XII
Kebijakan Penanggulangan
Bencana dalam Perspektif
Sosiologis
150 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Bab XII
Kebijakan Penanggulangan Bencana dalam
Perspektif Sosiologis

12.1 Kebijakan Penanggulangan Bencana dalam


Perspektif Sosiologis
Deskripsi Singkat
Sesi perkuliahan ini adalah sesi pembahasan tentang kebijakan
penanggulangan bencana dalam perspektif sosiologis. Dimaksudkan
agar mahasiswa dapat membahas persoalan kebijakan
penanggulangan bencana, baik pada tingkat Undang Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Daerah, maupun aturan turunannya secara
spesifik dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Perspektif
sosiologis yang digunakan bisa berasal dari pokok-pokok bahasan yang
telah diberikan pada perkuliahan sebelumnya, bisa juga diambil dari
kajian dan literature lain yang relevan dengan permasalahan yang
dibahas di dalam peraturan perundangan tersebut.
Selain dari membedah aturan penanggulangan bencana, kuliah ini
juga akan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk
membedah aturan-aturan lain di dalam lingkup nasional yang tidak
secara langsung memiliki kaitan dengan persoalan kebencanaan, tetapi
bisa dianalisa dengan menggunakan perspektif kebencanaan. Seperti
misalnya UU No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, atau
UU No. 15 tahun 2013 yang merupakan revisi atas UU No. 1 tahun 2002
tentang Tindak Pidana Terorisme. Kedua aturan tersebut meskipun
tidak menyentuh persoalan bencana, tetapi dapat dianalisa dengan
menggunakan pendekatan kebencanaan, atau sosiologi bencana. Oleh
karenanya, dua aturan tersebut, dan mungkin dalam proses
pembelajarannya ada aturan-aturan yang lain, bisa dijadikan sebagai
subyek pembahasan di dalam sesi perkuliahan ini.
Bab 12 Kebijakan Penanggulangan Bencana dalam Perpektif Sosiologis | 151

Dalam penanggulangan bencana, Bangsa Indonesia tidak bisa


berdiri sendiri karena ancaman bencana tidak mengenal wilayah.
Perlu partisipasi aktif dari semua pihak, masyarakat, lembaga,
maupun pemerintah. Salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah
dalam penanggulangan bencana adalah dalam bentuk legislasi
kebijakan pengelolaan bencana, dimulai dari skala global hingga lokal.
Terdapat satu kesepakatan global terkait pengurangan Risiko
Bencana (PRB) yang berjalan yaitu Sendai Frameworks for Disaster
Risk Reduction (SFDRR) atau Kerangka Kerja Sendai untuk
Pengurangan Risiko Bencana. Kerangka kerja ini fokus kepada
Pengaurangan Risiko bencana sehingga diharapkan terjadi penurunan
risiko bencana yang signifikan dan kehilangan nyawa, adanya
dukungan kebutuhan hidup sehari-hari dan kesehatan dari aspek
ekonomi, fisik, sosial, budaya dan lingkungan, baik pada tingkat
individu, bisnis, komunitas, maupun negara.
Di Indonesia sendiri, regulasi terkait dengan kebencanaan mulai
disusun oleh pemerintah pusat pada tahun 2007 melalui Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana. Dengan dasar kebijakan ini, muncul
peraturan-peraturan lain terkait penanggulangan bencana, salah
satunya Peraturan Presiden tentang pembentukan lembaga khusus
untuk kerangka penanggulangan bencana, yaitu Badan Nasional
Penanggulangan Bencana.

Tujuan Instruksional Khusus


1. Mahasiswa dapat menganalisa kebijakan penanggulangan
bencana dengan menggunakan perspektif sosiologis yang telah
diberikan selama perkuliahan
2. Mahasiswa dapat menganalisa kebijakan-kebijakan lain yang
tidak secara langsung berhubungan dengan persoalan bencana
dengan menggunakan perspektif kebencanaan atau sosiologi
bencana
152 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Pertanyaan Kunci
1. Bagaimana menggunakan perspektif sosiologi bencana untuk
membedah peraturan perundangan?
2. Bagaimana membuat daftar inventarisasi masalah di dalam
peraturan perundangan?

Konsep dan Teori Kunci


1. Kebijakan Publik
Kebijakan publik adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh negara.
Karena negara berarti publik. Sehingga ukuran dari kebijakan
publik adalah seberapa jauh kebijakan tersebut mampu
menyentuh dan melayani publik itu sendiri. Dalam pada itu,
kebijakan publik sudah bisa dipastikan tidak boleh
mengedepankan kepentingan yang sifatnya privat. Tujuan dari
kebijakan publik sendiri adalah menyelesaikan masalah ataupun
mengantisipasi potensi masalah publik yang mungkin muncul.
Kebijakan publik merupakan tindakan-tindakan atau kegiatan
yang sengaja dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang,
kelompok atau pemerintah yang di dalamnya terdapat unsur
keputusan yang mempunyai maksud tertentu, yaitu sebagai
berikut:

a. Kebijakan publik dalam bentuk penetapan tindakan-


tindakan pemerintah, dapat berupa ketentuan-ketentuan
atau keputusan-keputusan yang ditetapkan antara lain:
perundang-undangan dan peraturan-peraturan
pemerintah dengan maksud untuk mencapai tujuan
tertentu yang memiliki sifat yang mengikat dan memaksa;
b. Kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi
dilaksanakan dalam bentuk nyata;
c. Kebijakan publik untuk melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu itu mempunyai dan dilandasi maksud
dan tujuan tertentu; dan
Bab 12 Kebijakan Penanggulangan Bencana dalam Perpektif Sosiologis | 153

d. Kebijakan publik itu harus senantiasa ditujukan bagi


kepentingan seluruh anggota masyarakat.

2. Analisa kebijakan publik


Analisa kebijakan publik bisa diartikan dengan penggunaan teori-
teori dan metode ilmiah untuk menelaah secara lebih mendalam
suatu kebijakan publik. Telaahan ini bisa meliputi efektifitas dan
efisiensi dari kebijakan publik yang telah dikeluarkan. Hasil
analisa kebijakan publik diharapkan dapat memberikan masukan
yang berharga bagi perbaikan kebijakan tersebut di masa depan.
Analisa bisa dilakukan pada tingkatan teks, maupun
operasionalisasi dari kebijakan tersebut.
Model-model implementasi kebijakan publik menurut Parsons
(1997) ada 4 (empat) yaitu:

1) The Analysis of failure (model analisis kegagalan);


2) Model rasional (top-down) untuk mengidentifikasi faktor-
faktor mana yang membuat implementasi sukses;
3) Model pendekatan (bottom-up) kritikan terhadap model
pendekatan top-down dalam kaitannya dengan
pentingnya faktor-faktor lain dan interaksi organisasi; dan
4) Teori-teori hasil sintesis (hybrid theories).

Menurut Parsons, model implementasi yang paling pertama


muncul adalah pendekatan top down memiliki pandangan tentang
hubungan kebijakan implementasi, model rasional ini berisi
gagasan bahwa implementasi adalah menjadikan orang
melakukan apa-apa yang diperintahkan dan mengontrol urutan
tahapan dalam sebuah sistem. Selanjutnya Mazmanian dan
Sabatier (1983), berpendapat bahwa: “Implementasi top down
adalah proses pelaksanaan keputusan kebijakan mendasar”.
154 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Tabel 12.1 Perbandingan antara Top-Down dan Bottom-Up


Top-down Bottom-up

Fokus awal Kebijakan Jaringan


pemerintah implementasi dari
(pusat) level paling bawah

Identifikasi Dari pusat (atas) Dari bawah, yaitu


aktor utama dilanjutkan ke para implementor
bawah sebagai pada level lokal ke
konsekuensi atas
implementasi

Kriteria Berfokus pada Kurang begitu jelas,


evaluasi pencapaian apa saja yang
tujuan formal dianggap Penulis
yang dinyatakan penting dan punya
dalam dokumen relevansi dengan
kebijakan kebijakan

Fokus Bagaimana Interaksi strategis


secara mekanisme antar berbagai aktor
keseluruhan implementasi yang terlibat dalam
bekerja untuk implementasi
mencapai tujuan
kebijakan

Sumber: Parsons (1997) dalam Suhirwan (2021)

3. Kebijakan sosial
Kebijakan sosial (social policy) lahir dari satu kejumudan yang
melihat bahwa setiap proses pembangunan ekonomi yang
dijalankan, tak jarang mengorbankan masyarakat dan lingkungan.
Kebijakan sosial merujuk pada upaya negara untuk meningkatkan
kualitas kehidupan masyarakat dengan menjalankan kebijakan-
kebijakan yang menyangkut peningkatan pendapatan, layanan
sosial, dan program-program bantuan sosial. Kebijakan sosial
Bab 12 Kebijakan Penanggulangan Bencana dalam Perpektif Sosiologis | 155

dibutuhkan untuk menanggulangi persoalan sosial yang ada di


masyarakat. Persoalan itu bisa yang sebelumnya memang sudah
ada di masyarakat (laten) atau yang diakibatkan proses
pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi
saja. Kebijakan sosial juga bisa mencegah atau meminimalisir
terjadinya persoalan sosial di dalam masyarakat.
Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik
yang merupakan ketetapan Pemerintah yang dibuat untuk
merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah
sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Kebijakan
sosial juga adalah ketetapan yang dirancang secara kolektif untuk
mencegah terjadinya masalah sosial (fungsi preventif), mengatasi
masalah sosial (fungsi kuratif) dan mempromosikan
kesejahteraan (fungsi pengembangan) sebagai wujud kewajiban
Negara (state obligation) dalam memenuhi hak warga negaranya.
Dalam hal lainnya, kebijakan sosial dapat dikatakan sebagai
sebuah aspek sosial, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan bidang
kesejahteraan sosial. Kebijakan sosial adalah prinsip-prinsip,
prosedur, dan tata cara dari Undang-undang yang sudah ada,
seperti panduan administrasi dan regulasi pada lembaga untuk
mempengaruhi kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan sosial memiliki sejumlah dimensi, yaitu:
a. Sebagai suatu proses, kebijakan sosial dipandang sebagai
dinamika perumusan kebijakan dalam kaitannya dengan
variabel-variabel sosio-politik dan teknik-metodologi.
Kebijakan sosial merupakan suatu proses tahapan atau
pengembangan rencana tindak (plan action).
b. Sebagai suatu produk, kebijakan sosial dipandang sebagai
hasil akhir dari proses perumusan kebijakan atau
perencanaan sosial.
c. Sebagai suatu kinerja atau performance atau pencapaian
tujuan, kebijakan sosial merupakan deskripsi atau
156 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

evaluasi terhadap hasil-hasil implementasi produk


kebijakan sosial.

Kebijakan sosial hadir sebagai cara untuk memecahkan masalah


sosial dan memenuhi kebutuhan sosial bagi semua golongan
masyarakat yang mempermudah dan meningkatkan kemampuan
mereka dalam menanggapi perubahan sosial. Kebijakan sosial
senantiasa berorientasi kepada pencapaian tujuan sosial. Tujuan
sosial ini mengandung dua pengertian yang saling terkait, yakni:
memecahkan masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial.
Masalah sosial adalah perbedaan antara harapan dan kenyataan
atau sebagai kesenjangan antara situasi yang ada dengan situasi
yang seharusnya (Jenssen, 1992). Masalah sosial dipandang oleh
sejumlah orang dalam masyarakat sebagai sesuatu kondisi yang
tidak diharapkan.
salah satu masalah sosial adalah "Kebencanaan". Yang dimaksud
dengan kebencanaan adalah keadaan atau hal yang berhubungan
dengan bencana. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
(1) Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam
antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
kekeringan, angin topan, dan tanah langsor.
(2) Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain
berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah
penyakit.
(3) Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
Bab 12 Kebijakan Penanggulangan Bencana dalam Perpektif Sosiologis | 157

manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau


antarkomunitas masyarakat, dan teror.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian
upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang
berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana,
tanggap darurat, dan rehabilitasi.
158 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Referensi

Boin A. & T Heart, P., 2007, The Crisis Approach, in: Handbook of
Disaster Research (Eq Rodriguez H., Quarantelli E.L., Dynes
R.R.). Springer.
Britton, Neil R. National Planning and Response: National Systems, in:
Handbook of Disaste, Research (Ed: Rodriguez H., Quarantelli
E.L., Dynes R.R.). Springer.
Undang Undang No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Suhirwan, 2021, Kebijakan Publik: Teori Implementasi Model
Kebijakan, CV. Aksara Global Akademia, Indonesia.
https://sippn.menpan.go.id/
Bab 13 Bencana dan Keamanan Nasional dalam Perpektif Astagatra | 159

BAB XIII
Bencana dan Keamanan
Nasional dalam Perspektif
Astagatra
160 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Bab XIII
Bencana dan Keamanan Nasional dalam
Perspektif Astagatra

13.1 Bencana dan Keamanan Nasional dalam Perspektif


Astagatra
Deskripsi Singkat
Bencana dalam skala dan intensitas tertentu dapat menjadi satu
faktor yang melemahkan ketahanan sosial, bahkan ketahanan nasional.
Jika tidak terkelola dengan baik, persoalan ini berpotensi merusak
kepercayaan publik terhadap pemerintah atau bahkan negara. Oleh
karena itu, dalam perkuliahan sosiologi bencana juga akan dibahas
secara khusus, bencana sebagai salah satu faktor yang mengancam
ketahanan nasional, yang dalam tahap tertentu juga dapat berimbas
pada masalah keamanan nasional. Dimensi kebencanaan yang
membuka peluang terjadinya konflik sosial dalam skala luas, intervensi
pihak asing ke dalam proses pemulihan bencana, serta potensi
ketidakpercayaan publik terhadap negara mesti ditempatkan secara
khusus di dalam diskursus kebencanaan. Pada titik ini, perspektif
astagatra yang menjadi pedoman utama dalam penyelenggaraan
pendidikan ketahanan nasional, dibutuhkan untuk melihat suatu
fenomena bencana.
Perspektif astagatra sendiri terdiri dari dua aspek, pertama aspek
trigatra dan yang kedua aspek pancagatra. Aspek trigatra merupakan
aspek alamiah yang terdiri dari penduduk, sumberdaya alam, dan
wilayah. Sedangkan aspeK pancagatra terdiri dari idiologi, politik,
ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Ke delapan aspek
itu dalam perkuliahan ini akan dibahas satu persatu dan diletakkan
sebagai alat analisa terhadap satu kejadian bencana.
Bab 13 Bencana dan Keamanan Nasional dalam Perpektif Astagatra | 161

Tujuan Instruksional Khusus


1. Mahasiswa memaghami perspektif astagrata dalam konteks
ketahanan nasional
2. Mahasiswa mampu menggunakan perspektif astagatra untuk
meninjau satu masalah kebencanaan

Pertanyaan Kunci
1. Apa yang dimaksud dengan aspek astagatra di dalam konteks
ketahanan nasional?
2. Sejauh mana urgensi menggunakan perspektif astagatra dalam
melihat masalah kebencanaan?
3. Bagaimana menggunakan perspektif astagatra dalam membedah
persoalan kebencanaan?
4. Bagaimana sebuah kondisi bencana dapat mengarah pada bentuk
ancaman terhadap keamanan nasional?

Gambar 13.1 Konsepsi Asta Gatra, Tri Gatra, dan Panca Gatra
Sumber: Data yang diolah penulis (2022)
162 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Konsep dan Teori Kunci


1. Asta Gatra
Astagatra adalah satu konsep yang mendasari ketahanan nasional
Indonesia. Asta Gatra yang berarti 8 dasar, terdiri dari tri gatra
dan panca gatra. Tri gatra terdiri dari geografi, sumberdaya dan
kekayaan alam, serta kependudukan. Sementara panca gatra
terdiri dari idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan
pertahanan keamanan. Dalam konteks ketahanan nasronal, asta
gatra menjadi kunci utama yang seharusnya melandasi setiap
kebijakan pembangunan yang lahir di Indonesia, baik pada
tingkat nasional, maupun daerah.
Astagatra terdiri dari Trigatra dan Pancagatra. Trigatra adalah
tiga aspek alamiah, yaitu aspek geografi, demografi, dan sumber
kekayaan alam yang merupakan potensi dan modal bagi bangsa
Indonesia dalam melaksanakan pembangunan, oleh karena itu
Trigatra harus dikelola dengan baik.
Sedangkan Pancagatra adalah lima aspek sosial, yaitu aspek
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan aspek pertahanan
keamanan.
Ancaman terhadap bangsa Indonesia selalu ditujukan kepada
aspek-aspek kehidupan Pancagatra yang senantiasa dinamis, oleh
karenanya diperlukan upaya peningkatan ketahanan Pancagatra
secara utuh dan menyeluruh. Terjaganya kualitas Pancagatra
dalam kehidupan nasional dan terintegrasi dengan Trigatra yang
selalu terpelihara dengan baik, akan mewujudkan kondisi
ketahanan nasional yang mantap. Penggabungan Trigatra dan
Pancagatra akan menjadi Astagatra yang merupakan model
pemetaan yang mantap dari sistem kehidupan nasional bangsa
Indonesia.
Trigatra meliputi posisi dan lokasi geografis negara, keadaan dan
kekayaan alam, dan keadaan dan kemampuan penduduk.
Pancagatra merupakan aspek sosial kemasyarakatan terdiri dari
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan
keamanan (Ipoleksosbudhankam).
Bab 13 Bencana dan Keamanan Nasional dalam Perpektif Astagatra | 163

Antara gatra yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang
bersifat timbal balik dengan hubungan yang erat yang saling
interdependensi, demikian juga antara trigatra dan pancagatra.

2. Aspek – Aspek Tri Gatra


a. Geografis
Jikalau kita melihat letak geografis wilayah Indonesia dalam
peta dunia, maka akan nampak jelas bahwa wilayah negara
tersebut merupakan suatu kepulauan, yang menurut wujud
ke dalam, terdiri dari daerah air dengan ribuan pulau-pulau
di dalamnya. Dalam bahasa asing bisa disebut sebagai suatu
archipelago kelvar, kepulauan itu merupakan suatu
archipelago yang terletak antara Benua Asia di sebelah utara
dan Benua Australia di sebelah selatan serta Samudra
Indonesia di sebelah barat dan Samudra Pasifik di sebelah
timur. Letak geografis antara dua benua dan samudra yang
penting itu, maka dikatakan bahwa Indonesia mempunyai
suatu kedudukan geografis di tengah-tengah jalan lalu lintas
silang dunia. Karena kedudukannya yang strategis itu,
dipandang dari tiga segi kesejahteraan di bidang politik,
ekonomi dan sosial budaya, Indonesia telah banyak
mengalami pertemuan dengan pengaruh pihak asing
(akulturasi). Indonesia terletak pada 6 LU–11 LS, 95 BT–141
BT, dilalui garis khatulistiwa yang di tengah-tengahnya
terbentang garis equator sehingga Indonesia mempunyai 2
musim, yaitu musim hujan dan kemarau.
b. Demografi
a) Keadaan dan Kemampuan Penduduk: Penduduk adalah
sekelompok manusia yang mendiami suatu tempat atau
wilayah. Adapun faktor penduduk yang mempengaruhi
ketahanan nasional adalah sebagai berikut.
164 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

b) Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Penduduk: Jumlah


penduduk berubah karena kematian, kelahiran, pendatang
baru, dan orang yang meninggalkan wilayahnya.
Segi positif dari pertambahan penduduk ialah pertambahan
angkatan kerja (man power) dan pertambahan tenaga kerja
(labour force). Segi negatifnya, apabila pertumbuhan
penduduk tidak seimbang dengan tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tidak diikuti dengan usaha peningkatan
kualitas penduduk.
c) Faktor yang Mempengaruhi Komposisi Penduduk:
Komposisi adalah susunan penduduk menurut umur, kelamin,
agama, suku bangsa, tingkat pendidikan, dan sebagainya.
Susunan penduduk itu dipengaruhi oleh mortalitas, fertilitas,
dan migrasi. Fertilitas sangat berpengaruh besar terhadap
umur dan jenis penduduk golongan muda yang dapat
menimbulkan persoalan penyediaan fasilitas pendidikan,
perluasan lapangan kerja, dan sebagainya.
d) Faktor yang Mempengaruhi Distribusi Penduduk
Distribusi penduduk yang optimal adalah distribusi yang
dapat memenuhi persyaratan kesejahteraan dan keamanan
yaitu penyebaran merata. Oleh karena itu, pemerintah perlu
memberikan kebijakan yang mengatur penyebaran
penduduk, misalnya dengan cara transmigrasi, mendirikan
pusat-pusat pengembangan (development centers), pusat-
pusat industri, dan sebagainya. Kemampuan penduduk yang
tidak seimbang dengan pertumbuhan penduduk dapat
menimbulkan ancaman-ancaman terhadap pertahanan
nasional.
c. Sumber Kekayaan Alam (SKA)
Kekayaan sumber-sumber alam yang terdapat di atmosfir, di
permukaan bumi, di laut, di perairan, dan di dalam bumi
menjadi sumber ketahanan nasional Indonesia. Sumber-
sumber alam sesungguhnya mempunyai arti yang sangat luas
Bab 13 Bencana dan Keamanan Nasional dalam Perpektif Astagatra | 165

di mana Indonesia terkenal sebagai negara yang mempunyai


sumber-sumber alam yang berlimpah ruah.
Sebagai gambaran umum, sumber-sumber alam termasuk
sumber-sumber pelican atau mineral, sumber-sumber nabati
atau flora, dan sumber-sumber hewani atau fauna. Untuk
memulai dengan sumber-sumber pelican atau mineral dapat
diutarakan, bahwa negara Indonesia mempunyai sumber-
sumber mineral yang meliputi bahan-bahan galian, biji-bijian
maupun bahan-bahan galian industri di samping sumber-
sumber tenaga lain.
Sifat unik kekayaan alam yaitu jumlahnya yang terbatas dan
penyebarannya tidak merata. Sehingga menimbulkan
ketergantungan dari dan oleh negara dan bangsa lain.
Bentuk sumber daya alam ada 2 (dua), yaitu sumber daya
alam yang dapat diperbarui dan tidak dapat diperbarui.
Sumber daya alam harus diolah atau dimanfaatkan dengan
berprinsip atau asas maksimal, lestari, dan berdaya saing.
Asas maksimal, Artinya sumber daya alam yang dikelola atau
dimanfaatkan harus benar-benar menciptakan kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat.
Asas lestari, Artinya pengolahan sumber daya alam tidak
boleh menimbulkan kerusakan lingkungan, menjaga
keseimbangan alam. Asas berdaya saing, Artinya bahwa
hasilhasil sumber daya alam harus bisa bersaing dengan
sumber daya alam negara lain.

3. Aspek–Aspek Panca Gatra


Panca Gatra adalah aspek-aspek kehidupan nasional yang
menyangkut kehidupan dan pergaulan hidup manusia dalam
bermasyarakat dan bernegara dengan ikatan-ikatan, aturan-
aturan dan norma-norma tertentu. Hal-hal yang termasuk aspek
pancagatra adalah sebagai berikut.
a. Ideologi
166 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Ideologi suatu negara diartikan sebagai directing of principles


atau prinsip yang dijadikan dasar suatu bangsa. Ideologi adalah
pengetahuan dasar atau cita-cita.
Ideologi merupakan konsep sudah mendalam mengenai
kehidupan yang dicita-citakan serta yang ingin diiperjuangkan
dalam kehidupan nyata. Ideologi dapat dijabarkan ke dalam
sistem nilai kehidupan, yaitu serangkaian nilai yang tersusun
secara sistematis dan merupakan kebulatan ajaran dan doktrin.
Dalam strategi pembinaan ideologi berikut adalah beberapa
prinsip yang harus diperhatikan. Ideologi harus diaktualisasikan
dalam bidang kenegaraan oleh WNI. Ideologi sebagai perekat
pemersatu harus ditanamkan pada seluruh WNI. Ideologi harus
dijadikan panglima, bukan sebaliknya. Aktualisasi ideologi
dikembangkan kearah keterbukaan dan kedinamisan.
Ideologi Pancasila mengakui keaneragaman dalam hidup
berbangsa dan dijadikan alat untuk menyejahterakan dan
mempersatukan masyarakat. Kalangan elit eksekutif, legislatif,
dan yudikatif harus harus mewujudkan cita-cita bangsa dengan
melaksanakan GBHN dengan mengedepankan kepentingan
bangsa. Menyosialisasikan Pancasila sebagai ideologi humanis,
relijius, demokratis, nasionalis, dan berkeadilan. Menumbuhkan
sikap positif terhadap warga negara dengan meningkatkan
motivasi untuk mewujudkan cita-cita bangsa.
b. Politik
Politik diartikan sebagai asas, haluan, atau kebijaksanaan yang
digunakan untuk mencapai tujuan dan kekuasaan. Kehidupan
politik dapat dibagi kedalam dua sektor yaitu sektor masyarakat
yang memberikan input dan sektor pemerintah yang berfungsi
sebagai output. Sistem politik yang diterapkan dalam suatu
negara sangat menentukan kehidupan politik di negara yang
bersangkutan. Upaya bangsa Indonesia untuk meningkatkan
ketahanan di bidang politik adalah upaya mencari keseimbangan
dan keserasian antara keluaran dan masukan berdasarkan
Bab 13 Bencana dan Keamanan Nasional dalam Perpektif Astagatra | 167

Pancasila yang merupakan pencerminan dari demokrasi


Pancasila.
c. Ekonomi
Kegiatan ekonomi adalah seluruh kegiatan pemerintah dan
masyarakat dalam mengelola faktor produksi dan distribusi
barang dan jasa untuk kesejahteraan rakyat. Upaya meningkatkan
ketahanan ekonomi adalah upaya meningkatkan kapasitas
produksi dan kelancaran barang dan jasa secara merata ke
seluruh wilayah negara. Upaya untuk menciptakan ketahanan
ekonomi adalah melalui sistem ekonomi yang diarahkan untuk
kemakmuran rakyat. Ekonomi kerakyatan harus menghindari
free fight liberalism, etatisme, dan tidak dibenarkan adanya
monopoli.
Struktur ekonomi dimantapkan secara seimbang dan selaras
antarsektor. Pembangunan ekonomi dilaksanakan bersama atas
dasar kekeluargaan. Pemerataan pembangunan dan hasil-
hasilnya harus dilaksanankan secara selaras dan seimbang
antarwilayah dan antarsektor. Kemampuan bersaing harus
ditumbuhkan dalam meningkatkan kemandirian ekonomi.
Ketahanan di bidang ekonomi dapat ditingkatkan melalui
pembangunan nasional yang berhasil, namun tidak dapat
dilupakan faktor-faktor non-teknis dapat mempengaruhi karena
saling terkait dan berhubungan.
d. Sosial Budaya
Sosial budaya dapat diartikan sebagai kondisi dinamik budaya
bangsa yang berisi keuletan untuk mengembangkan kekuatan
nasional dalam menghadapi & mengatasi ancaman, tantangan,
halangan, dan gangguan (ATHG).
Gangguan dapat datang dari dalam maupun dari luar, baik secara
langsung maupun tidak langsung, yang membahayakan
kelangsungan hidup sosial NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Esensi ketahanan budaya adalah pengaturan dan
penyelenggaraan kehidupan sosial budaya. Ketahanan budaya
168 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

merupakan pengembangan sosial budaya dimana setiap warga


masyarakat dapat mengembangkan kemampuan pribadi dengan
segenap potensinya berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
f. Pertahanan dan Keamanan (Hankam)
Pertahanan dan keamanan diartikan sebagai kondisi dinamika
dalam kehidupan pertahanan dan keamanan bangsa Indonesia
yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung
kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam
menghadapi dan mengatasi ATHG yang membahayakan identitas,
integritas, dan kelangsungan hidup bangsa berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945.
Ketahanan di bidang keamanan adalah ketangguhan suatu bangsa
dalam upaya bela negara, di mana seluruh
IPOLEKSOSBUDHANKAM disusun, dikerahkan secara terpimpin,
terintegrasi, terorganisasi untuk menjamin terselenggaranya
Sistem Ketahananan Nasional. Prinsip-prinsip Sistem Ketahanan
Nasional antara lain adalah sebagai berikut.
Bangsa Indonesia cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan.
Pertahanan keamanan berlandasan pada landasan ideal Pancasila,
landasan konstitusional UUD 1945, dan landasan visional
wawasan nusantara.
Pertahanan keamanan negara merupakan upaya terpadu yang
melibatkan segenap potensi dan kekuatan nasional.
Pertahanan dan keamanan diselenggarakan dengan sistem
pertahanan dan keamanan nasional (Sishankamnas) dan sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata).

4. Hubungan Antargatra
Antara trigatra dan pancagatra serta antargatra itu sendiri
terdapat hubungan timbal balik yang erat dengan dinamakan
korelasi dan interdependensi yang artinya adalah seperti berikut.
Ketahanan nasional pada hakikatnya bergantung kepada
kemampuan bangsa dan negara di dalam mendayagunakan
secara optimum gatra alamiah (trigatra) sebagai modal dasar
Bab 13 Bencana dan Keamanan Nasional dalam Perpektif Astagatra | 169

untuk penciptaan kondisi dinamis yang merupakan kekuatan


dalam penyelenggaraan kehidupan nasional (pancagatra).
Ketahanan nasional adalah suatu pengertian holistik, yaitu suatu
tatanan yang utuh, menyeluruh dan terpadu, di mana terdapat
saling hubungan antar gatra di dalam keseluruhan kehidupan
nasional (astagatra).
Kelemahan di salah satu gatra dapat mengakibatkan kelemahan
di gatra lain dan mempengaruhi kondisi secara keseluruhan
sebaliknya kekuatan dari salah satu atau beberapa gatra dapat
didayagunakan untuk memperkuat gatra lainnya yang lemah, dan
mempengaruhi kondisi secara keseluruhan.
Ketahanan nasional Indonesia bukan merupakan suatu
penjumlahan ketahanan segenap gatranya, melainkan suatu
resultante keterkaitan yang integratif dari kondisi-kondisi
dinamik kehidupan bangsa di bidang-bidang ideologi, politik,
ekonomi, social budaya, pertahanan dan keamanan.
1) Gatra geografi
Karakter geografi sangat mempengaruhi jenis, kualitas dan
persebaran kekayaan alam dan sebaliknya kekayaan alam
dapat mempengaruhi karakter geografi.
2) Antara gatra geografi dan gatra kependudukan
Bentuk-bentuk kehidupan dan penghidupan serta
persebaran penduduk sangat erat kaitannya dengan karakter
geografi dan sebaliknya karakter geografi mempengaruhi
kehidupan dari pendudukanya.
3) Antara gatra kependudukan dan gatra kekayaan alam
Kehidupan dan penghidupan pendudukan dipengaruhi oleh
jenis, kualitas, kuantitas dan persebaran kekayaan alam,
demikian pula sebaliknya jenis, kualitas, kuantitas dan
persebaran kekayaan alam dipengaruhi oleh faktor-faktor
kependudukan khususnya kekayaan alam yang dapat
diperbaharui.
170 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Kekayaan alam mempunyai manfaat nyata jika telah diolah


oleh penduduk yang memiliki kemampuan dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi.
4) Hubungan antargatra dalam pancagatra
Setiap gatra dalam Pancagatra memberikan kontribusi
tertentu pada gatra-gatra lain dan sebaliknya setiap gatra
menerima kontribusi dari gatra-gatra lain secara terintegrasi.
Antaragatra ideologi dengan gatra politik, ekonomi, sosial
budaya, pertahanan dan keamanan, maka arti ideologi adalah
sebagai falsafah bangsa dan landasan ideologi negara.
Selain itu ideologi merupakan nilai penentu bagi kehidupan
nasional yang meliputi seluruh gatra dalam pancagatra dalam
memelihara kelangsungan hidup bangsa dan pencapaian
tujuan nasional.
Antara gatra politik dengan gatra ideologi, ekonomi, sosial
budaya, pertahanan dan keamanan; berarti kehidupan politik
yang mantap dan dinamis menjalankan kebenaran ideologi,
memberikan iklim yang kondusif untuk pengembangan
ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan.
Kehidupan politik bangsa dipengaruhi oleh bermacam hal
yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Ia
dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan dan kesadaran politik,
tingkat kemakmuran ekonomi, ketaatan beragama,
keakraban sosial dan rasa keamanannya.
Antara gatra ekonomi dengan gatra ideologi, ekonomi, sosial
budaya, pertahanan dan keamanan; berarti kehidupan
ekonomi yang tumbuh mantap dan merata, akan
menyakinkan kebenaran ideologi yang dianut, mendinamisir
kehidupan politik dan perkembangan sosial budaya serta
mendukung pengembangan pertahanan dan keamanan.
Keadaan ekonomi yang stabil, maju dan merata menunjang
stabilitas dan peningkatan ketahanan aspek lain.
Antara gatra sosial budaya dengan gatra ideologi, ekonomi,
sosial budaya, pertahanan dan keamanan; dalam arti
Bab 13 Bencana dan Keamanan Nasional dalam Perpektif Astagatra | 171

kehidupan sosial budaya yang serasi, stabil, dinamis,


berbudaya dan berkepribadian, akan menyakinkan
kebenaran ideologi, memberikan iklim yang kondusif untuk
kehidupan politik yang berbudaya, kehidupan ekonomi yang
tetap mementingkan kebersamaan serta kehidupan
pertahanan dan keamanan yang menghormati hak-hak
individu.
Keadaan sosial yang terintegrasi secara serasi, stabil, dinamis,
berbudaya dan berkepribadian hanya dapat berkembang di
dalam suasana aman dan damai.
Kebesaran dan keseluruhan nilai sosial budaya bangsa
mencerminkan tingkat kesejahteraan dan keamanan nasional
baik fisik material maupun mental spiritual.
Keadaan sosial yang timpang dengan kontradiksi di berbagai
bidang kehidupan memungkinkan timbulnya ketegangan
sosial yang dapat berkembang menjadi gejolak sosial.
Antara gatra pertahanan dan keamanan dengan gatra
ideologi, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan;
dalam arti kondisi kehidupan pertahanan dan keamanan
yang stabil dan dinamis akan meyakinkan kebenaran ideologi,
memberikan iklim yang kondusif untuk pengembangan
kehidupan politik, ekonomi dan sosial budaya.
Keadaan pertahanan dan keamanan yang stabil, dinamis,
maju dan berkembang di seluruh aspek kehidupan akan
memperkokoh dan menunjang kehidupan ideologi, politik,
ekonomi, dan sosial budaya.
Astagatra dalam pendekatan kesejahteraan dan keamanan
mempunyai peranan tergantung dari sifat setiap gatra.
▪ Gatra alamiah mempunyai peranan sama besar baik
untuk kesejahteraan maupun untuk keamanan.
▪ Gatra ideologi, politik dan sosial budaya mempunyai
peranan sama besar untuk kesejahteraan dan
keamanan.
172 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

▪ Gatra ekonomi relatif mempunyai peranan lebih besar


untuk kesejahteraan daripada peranan untuk
keamanan.
▪ Gatra pertahanan dan keamanan relatif mempunyai
peranan lebih besar untuk keamanan daripada
peranan untuk kesejahteraan.

5. Ketahanan nasional
Ketahanan nasional adalah kondisi dinamis suatu bangsa,
meliputi seluruh aspek kehidupan nasional yang terintegrasi,
berisi keuletan, dan ketangguhan serta mengandung kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala
tantangan, ancaman, hambatan, serta gangguan dari luar maupun
dari dalam, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ketahanan nasional sebagai konsepsi merupakan pisau analisis
untuk memecahkan problem atau masalah kehidupan bangsa
melalui pendekatan delapan aspek kehidupan nasional yang
diistilahkan sebagai Astagatra. Ketahanan nasional dalam
konteks konsepsi merupakan suatu ajaran yang diyakini
kebenarannya dan perlu diimplementasikan kepada seluruh
bangsa Indonesia sehingga akan terjalin pola pikir, pola sikap,
pola tindak, dan pola kerja yang sama secara nasional, holistik,
dan berorientasi global (tidak lingkup kedaerahan). Oleh karena
itu konsepsi ketahanan nasional berfungsi sebagai pedoman
dalam pelaksanaan pembangunan nasional untuk mewujudkan
sinergi dari seluruh bidang dan sektor pembangunan (Modul
Materi BS Konsepsi Ketahanan Nasional, 2011).
6. Keamanan nasional
Keamanan nasional adalah salah satu sub bagian di dalam
ketahanan nasional yang menekankan pada kebijakan negara
untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah nasional, baik
melalui pendekatan keamanan, militer, ataupun diplomasi,
dengan memanfaatkan sumberdaya nasional di dalam masa
perang, atau pun masa damai.
Bab 13 Bencana dan Keamanan Nasional dalam Perpektif Astagatra | 173

Referensi

Cutter et. al., 2013, A National Imperative, Environment: Science and


Policy fof Sustainable Development, 55:2, 25-29
Lemhannas, 1997, Ketahanan Nasional, Jakarta: Balai Pustaka-
Lemhannas
Ketahanan Nasional, 2011, Modul Materi BS Konsepsi Ketahanan
Nasional, http://lib.lemhannas.go.id
174 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana
Bab 15 Manajemen Bencana | 175

BAB XIV
Manajemen Bencana
176 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Bab XIV
Manajemen Bencana

14.1 Manajemen Bencana


Deskripsi Singkat
Dalam penanggulangan bencana, Bangsa Indonesia tidak bisa berdiri
sendiri karena ancaman bencana tidak mengenal wilayah. Perlu
partisipasi aktif dari semua pihak, masyarakat, lembaga, maupun
pemerintah. Salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah dalam
penanggulangan bencana adalah dalam bentuk legislasi kebijakan
pengelolaan bencana, dimulai dari skala global hingga lokal.
Manajemen bencana menjadi hal penting dalam menjaga keamanan
nasional serta melindungi bangsa dari ancaman non perang.
Menurut UU No. 24 Tahun 2007, Manajemen bencana adalah suatu
proses dinamis, berlanjut dan terpadu untuk meningkatkan kualitas
langkah-langkah yang berhubungan dengan observasi dan analisis
bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini,
penanganan darurat, rehabilitas dan rekonstruksi bencana.
Pokok bahasan ini menjelaskan tentang manajemen bencana melalui
pengertian, tujuan, mekanisme serta siklus manajemen bencana.

Tujuan instruksional Khusus


1. Mahasiswa mampu memahami manajemen bencana
2. Mahasiswa mampu menyusun rencana manajemen bencana serta
klasifikasi siklus bencana mulai dari prabencana baik itu
kesiapsiagaan dan mitigasi; saat bencana hingga pasca bencana
baik rehabilitasi maupun rekonstruksi.
Bab 15 Manajemen Bencana | 177

Pertanyaan Kunci
1. Apa pengertian bencana menurut para ahli?
2. Apa saja tujuan manajemen bencana?
3. Jelaskan mekanisme manajemen bencana?
4. Gambarkan siklus manajemen bencana?

Konsep dan Teori Kunci


1. Pengertian Manajemen Bencana Menurut Para Ahli
a. Wisconsin's University of Wisconsin
Menurut University of Wisconsin, Manajemen Bencana
adalah serangkaian kegiatan yang didesain untuk
mengendalikan situasi bencana dan darurat untuk
mempersiapkan kerangka untuk membantu oang yang
renta bencana untuk menghindari atau mengatasi dampak
bencana tersebut.
b. Université de la Colombie-Britannique
Menurut Universitas British Columbia, Manajemen Bencana
adalah proses pembentukan atau penetapan tujuan
bersama dan nilai bersama (common value) untuk
mendorong pihak-pihak yang terlibat (partisipan) untuk
menyusun rencana dan menghadapi baik bencana potensial
maupun akual.

2. Tujuan Manajemen Bencana


Menurut Warfield, manajemen bencana mempunyai tujuan:
(1) Mengurangi, atau mencegah, kerugian karena bencana,
(2) menjamin terlaksananya bantuan yang segera dan memadai
terhadap korban bencana, dan (3) mencapai pemulihan yang
cepat dan efektif. Dengan demikian, siklus manajemen bencana
memberikan gambaran bagaimana rencana dibuat untuk
mengurangi atau mencegah kerugian karena bencana, bagaimana
reaksi dilakukan selama dan segera setelah bencana berlangsung
178 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

dan bagaimana langkah-langkah diambil untuk pemulihan setelah


bencana terjadi.
Secara garis besar terdapat empat fase manajemen bencana, yaitu:
1) Fase Mitigasi: upaya memperkecil dampak negative
bencana. Contoh: zonasi dan pengaturan bangunan
(building codes), analisis kerentanan; pembelajaran
public.
2) Fase Preparadness: merencanakan bagaimana menaggapi
bencana. Contoh: merencanakan kesiagaan; latihan
keadaan darurat, sistem peringatan.
3) Fase respon: upaya memperkecil kerusakan yang
disebabkan oleh bencana. Contoh: pencarian dan
pertolongan; tindakan darurat.
4) Fase Recovery: mengembalikan masyarakat ke kondisi
normal. Contoh: perumahan sementara, bantuan
keuangan; perawatan kesehatan.

Keempat fase manajemen bencana tersebut tidak harus selalu ada,


atau tidak secara terpisah, or tidak harus dilaksanakan dengan
urutan seperrti tersebut diatas. Fase-fase sering saling overlap
dan lama berlangsungnya setiap fase tergantung pada kehebatan
atau besarnya kerusakan yang disebabkan oleh bencana itu.
Dengan demikian, berkaitan dengan penetuan tindakan di dalam
setiap fase itu, kita perlu memahami karakteristik dari setiap
bencana yang mungkin terjadi.

3. Mekanisme Manajemen Bencana


Manajemen bencana terdiri dari 2 mekanisme yaitu mekanisme
internal atau informal dan mekanisme eksternal atau informal.
a. Mekanisme internal atau informal, yaitu unsur-unsur
masyarakat di lokasi bencana yang secara umum
melaksanakan fungsi pertama dan utama dalam manajemen
bencana dan seringkali disebut mekanisme manajemen
bencana alamiah, ini terdiri dari keluarga, organisasi sosial
Bab 15 Manajemen Bencana | 179

informal (pengajian, pelayanan kematian, kegiatan


kegotong-royongan, arisan dan sebagainya) serta
masyarakat lokal.
b. Mekanisme eksternal atau formal, yaitu organisasi yang
sengaja dibentuk untuk tujuan manajemen bencana, contoh
organisasi manajemen bencana di Indonesia diantaranya
seperti BAKORNAS PB, SATKORLAK PB, SATLAK PB dan
BNPB maupun BPBD.

4. Siklus Manajemen Bencana


Siklus manajemen bencana terbagi menjadi 3 tahapan atau fase, 3
tahap atau fase manajemen bencana yaitu:
1) Tahap Pra Bencana
Dalam fase pra bencana ini mencakup kegiatan, mitigasi,
kesiapsagaan dan peringatan dini.
a. Pencegahan (Prevention) - Upaya yang dilakukan untuk
mencegah terjadinya bencana jika mungkin dengan
meniadakan bahaya. Contoh kegiatan pencegahan
diantaranya melarang pembakaran hutan dalam
perladangan, melarang penambangan batu di daerah
curam, melarang membuang sampah sembarangan dan
lain sebagainya.
b. Mitigasi Bencana (Mitigation) - Mitigasi adalah
serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengurangi
risiko bencana baik melalui pembangunan fisik,
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana. Kegiatan mitigasi
inidapat dilakukan melalui pelaksanaan penataan
ruangan; pengaturan pembangunan, pembangunan
infrastruktur, tata bangunan; dan penyelenggaraan
pendidikan, penyuluhan, pelatihan baik secara
konvensional maupun modern.
180 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

c. Kesiapsiagaan (Preparedness) - Kesiapsiagaan adalah


serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bancana melalui pengorganisasian dan
langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
d. Peringatan Dini (Early Warning) - Peringatan Dini
adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan
sesegera mungkin pada masyarakat mengenai
kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat
oleh lembaga yang berwenang atau upaya untuk
memberikan tanda peringatan bahwa bencana
kemungkinan akan segera terjadi.
Pemberian peringatan dini ini harus menjangkau
masyarakat (accesible), segera (immediate), tegas tidak
membingungkan (coherent), bersifat resmi (official).

2) Tahap Saat Terjadi Bencana


Dalam tahap ini mencakup tanggap darurat dan bantuan
darurat.
a. Tanggap Darurat (response) - Tanggap darurat adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera
pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak
buruk yang ditimbulkan. Ini meliputi kegiatan
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan,
pengurusan pengungsian dan pemulihan sarana
prasarana. Berikut beberapa kegiatan yang dilakukan
pada tahap tanggap darurat, diantaranya yaitu:
▪ Pengkajian yang tepat terhadap lokasi,
kerusakan dan sumberdaya
▪ Penentuan status keadaan darurat bencana
▪ Penyelamatan dan evakuasi masyarakat
terkena bencana
▪ Pemenuhan kebutuhan dasar
▪ Perlindungan terhadap kelompok rentan
Bab 15 Manajemen Bencana | 181

▪ Pemulihan dengan segera prasarana dan


sarana crusial

b. Bantuan Darurat (relief) Ini merupakan upaya untuk


memberikan bantuan berkaitan dengan pemenuhan
kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, tempat
tinggal sementara, kesehatan, sanitasi dan juga air
bersih.

3) Tahap Pasca Bencana


Dalam tahapan ini mencakup pemulihan, rehabilitasi dan
juga rekonstruksi.
a. Pemulihan (recovery) - Pemulihan adalah rangkaian
kegiatan untuk mengembalikan kondisi masyarakat
dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan
memfungsikan kembali kelembagaab, prasarana dan
sarana dengan melakukan upata rehabilitasi.
b. Rehabilitasi (rehabilitation) - Rehabilitasi adalah
perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat hingga tingkat yang memadai
pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama
untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar
semua aspek pemerintahan dan kehidupan
masyarakat pada wilayah pasca bencana.
c. Rekonstruksi (reconstruction) - Rekonstruksi adalah
perumusan kebijakan dan usaha serta langkah-
langkah nyata yang terencana dengan baik, konsisten
dan berkelanjutan untuk membangun kembali secara
permanen semua prasarana, sarana dan sistem
kelembagaan baik tingkat pemerintahan maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan
budaya, tegaknya hukum dan ketertiban dan
182 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

bangkitnya peran dan partisipasi masyarakat sipil


dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat
Lingkup pelaksanaan rekonstruksi terdiri atas
program rekonstruksi fisik dan program rekonstruksi
non fisik.

Secara ringkas siklus manajemen bencana bisa digambarkan


sebagai berikut:

Gambar 15.1 Siklus Manajemen Bencana


Sumber: Data yang diolah penulis, 2022

Pada Gambar 15.1, menerangkan bahwa siklus manajemen


bencana terdiri dari tiga tahap, yaitu: Tahap Pra bencana, Tahap saat
bencana, dan tahap pasca bencana. Dalam tahap saat bencana ada
tindakan yang disebut “Tanggap darurat”, yang merupakan kondisi
atau kegiatan yang dilakukan dengan cepat ketika kejadian bencana
terjadi untuk mengurangi dampak yang diakibatkan oleh bencana
termasuk evakuasi atau penyelamatan korban, harta benda,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan penggungsi dan pemulihan
sarana dan prasarana vital. Tahapan penyelamatan dan evakuasi
korban bencana alam meliputi;
Bab 15 Manajemen Bencana | 183

a. Pencarian dan penyelamatan korban merupakan upaya yang


dilakukan untuk menyelamatkan korban yang masih bertahan
hidup secepat mungkin dan melakukan pencarian korban yang
tidak diketahui keberadaanya.
b. Pertolongan darurat atau pemberian bantuan merupakan
pertolongan secara cepat kepada korban bencana untuk
menyelamatkan dari ancaman luka lebih berat atau kehilangan
nyawa.
c. Memeriksa status kesehatan korban (melakukan triase di tempat)
dilakukan untuk mengidentifikasi secara cepat korban dan
perawatan di lapangan.
d. Evakuasi korban tindakan untuk menjauhkan korban atau individu
dari lokasi bencana atau area yang mengancam.
184 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Referensi

Allan, Kenneth, 2005, Exploration in Classical Sociological Theory:


Seeing the Social World, Pine Forge Press.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2012). Peraturan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 5
Tahun 2012. In BNPB.
Yuantari, dkk, 2019, Manajemen Bencana, Asosiasi Institusi
Pendididikan Tinggi Kesehatan Masyarakat Indonesia (AIPTKMI)
Jakarta.
https://bpbd.bogorkab.go.id/bencana-dan-manajemen-bencana/
Bab 15 Aspek Metodologis dalam Penelitian Sosial Kebencanaan | 185

BAB XV
Aspek Metodologis dalam
Penelitian Sosial
Kebencanaan
186 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Bab XV
Aspek Metodologis dalam Penelitian Sosial
Kebencanaan

15.1 Aspek Metodologis dalam Penelitian Sosial


Kebencanaan
Deskripsi Singkat
Pada prinsipnya, secara metodologis, tidak ada yang berbeda
antara penelitian bencana dengan penelitian sosial lainnya. Hanya
konteks yang menjadi pembeda utamanya. Jika penelitian lain
konteksnya bisa bermacam-macam, penelitian bencana jelas
konteksnya adalah bencana itu sendiri. Semakin berbeda konteksnya
dengan kehidupan sehari-hari suatu masyarakat, maka tantangan
dalam penelitian soal bencana akan semakin kompleks dari sisi
metodologis (Stallings 2002b). Stallings kemudian juga menjelaskan
bahwa keistimewaan metodologis dari penelitian sosial tentang
bencana justru terletak pada masa krisis dari bencana itu sendiri.
Karena jika dilakukan sebelum bencana, atau ketika masa pemulihan,
rehabilitasi, maupun rekonstruksi, hal itu tidak terlalu jauh berbeda
dengan penelitian sosial pada umumnya. Sehingga tidak ada
keistimewaan metodologis terhadap konteks dari penelitian itu sendiri.
Bagi Stallings (2007:56) dalam konteks metodologis, penelitian
tentang bencana dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis. Pertama field
research, survey research, dan documentary research. Penelitian tentang
sejarah bencana dimasukkan ke dalam jenis yang ketiga. Dalam kaitan
jenis penelitian ini, mahasiswa Prodi Manajemen Bencana dapat
memilih salah satunya. Dari ketiga jenis penelitian itu, Stallings
mengangkat beberapa isu metodologis yang dianggapnya relevan, yaitu
masalah waktu (timing) dari pelaksanaan penelitian, akses terhadap
data dan informasi, serta upaya mengeneralisasi dari kesimpulan
Bab 15 Aspek Metodologis dalam Penelitian Sosial Kebencanaan | 187

penelitian. Sesi perkuliahan ini bermanfaat bagi mahasiswa yang akan


menulis tugas akhir dalam Prodi Manajemen Bencana.

Tujuan instruksional Khusus


1. Mahasiswa mampu memahami aspek-aspek metodologis dalam
penelitian kebencanaan
2. Mahasiswa mampu menyusun rencana penelitian tugas akhir

Pertanyaan Kunci
1. Bagaimana posisi metodologis penelitian sosial kebencanaan di
dalam diskursus metodologi penelitian sosial?
2. Jenis-jenis penelitian apa saja yang terdapat di dalam ranah studi
penelitian sosiologi bencana?

3. Ragam isu metodologis apa saja yang umum diperdebatkan di


dalam diskursus penelitian kebencanaan dari perspektif sosial?
4. Bagaimana membangun rencana penelitian dalam konteks studi
sosiologi bencana dan manajemen bencana?

Konsep dan Teori Kunci


1. Pendekatan penelitian sosial
Dalam penelitian sosial, dikenal tiga pendekatan utama, yaitu
kuantitatif, kualitatif, dan campuran. Kuatitatif berangkat dari
paradigma deduktif yang berangkat dari asumsi yang sifatnya
umum ke khusus. Pendekatan kuantitatif menggunakan klaim-
klaim postpositivis untuk membangun satu asumsi pengetahuan.
Mereduksi data dan menguji hipotesis serta menggunakan alat
ukur dalam melihat satu fenomena sosial. Paradigma deduktit
menempatkan teori-teori sebagai acuan utama dalam melihat
realitas sosial yang hendak diteliti. Sementara kualitatif berasal
dari paradigma induktif yang berangkat dari asumsi yang sifatnya
khusus ke umum. Pendekatan kualitatif banyak menggunakan
klaim-klaim konstruktivis, desain etnografis, dan observasi
188 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

terhadap perilaku sosial. Pendekatan kualitatif yang lain juga


menggunakan penelitian partisipatif dengan melakukan
interview yang bersifat open-ended. Sementara campuran adalah
pendekatan penelitian yang menggabungkan kualitatif dan
kuantitatif. Pemaknaan campuran dalam hal ini hanya sampai
pada tingkat pengumpulan dan sistematisasi data. Pada level
analisa, peneliti biasanya tetap mengambil posisi, apakah akan
menggunakan kuantitatif, atau kualitatif, deduktif, ataupun
induktif.
2. Jenis penelitian sosial
Jenis penelitian sosial ada beragam, dalam pendekatan kuantitatif
dikenal jenis penelitian survey dan pengamatan eksperimental.
Sementara pendekatan kualitatif dikenal jenis penelitian
fenomenologl, studi kasus, etnografi, grounded research, atau riset
aksi.
3. Jenis penelitian bencana
Jenis-jenis penelitian bencana secara umum tidak memiliki
perbedaan dengan jenis-jenis penelitian sosial yang lain. Kendati
demikian, di dalam penelitian bencana, dikenal tiga jenis
penelitian yang berdasarkan pada pendekatan penelitian yang
umum ada, yaitu: field research yang bobotnya pada pendekatan
kualitatif, survey research yang lebih condong kuantitatif, dan
documentary research yang terkait dengan penelitian kesejarahan,
bisa menggunakan kuantitatif, kualitatif, ataupun mix methode.
4. Isu metodologis penelitian bencana
Tidak ada perbedaan secara umum terkait isu metodologis
penelitian tentang bencana. Tetapi ada satu keistimewaan yang
semestinya bisa dijadikan satu kelebihan dari penelitian tentang
bencana, yakni ketika penelitian tersebut mengambil momen
waktu pada saat atau beberapa saat setelah kejadian bencana
terjadi. Keistimewaan ini bisa menjadi diskursus yang semakin
menarik, terutama ketika penelitian mengambil momen bencana
dalam skala yang massif, baik dari sisi dampak maupun korban
dari bencana tersebut.
Bab 15 Aspek Metodologis dalam Penelitian Sosial Kebencanaan | 189

Referensi

Stallings, R.A., 2007, Methodological Issues, in: Handbook of Disaster


Research (Ed: Rodriguez H., Quarantelli E.L., Dynes R.R.).
Springer
Fordham Maureen, 2007, Disaster and Development Research and
Practice: A Necessary Eclectism? in: Handbook of Disaster
Research (Ed: Rodriguez H., Quarantelli E.L., Dynes R.R.).
Springer
Webb G.R. 2007. The Popular Culture of Disaster: Exploring A New
Dimension of Disaster Research, in: Handbook of Disaster
Research (Ed: Rodriguez H., Quarantelli E.L., Dynes R.R.).
Springer
Rotanz, R.A., 2007, From Research to Praxis: The Relevant of Disaster
Research for Emergency Management, n: Handbook of Disaster
Research (Ed: Rodriguez H., Quarantelli E.L., Dynes R.R.)
Springer
190 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana
Bab 16 Penutup | 191

BAB XVI
Penutup
192 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Bab XVI
Penutup

16.1 Penutup
Bahan ajar yang terdiri dari pokok-pokok bahasan utama di
dalam perkuliahan sosiologi bencana ini merupakan acuan sekaligus
pedoman dalam proses perkuliahan di Prodi Manajemen Bencana.
Dengan dibuatnya bahan ajar ini, di masa depan proses perkuliahan
memiliki garis besar yang bisa diikuti oleh staf pengajar, termasuk
bagaimana mekanisme monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan
mengacu pada apa yang telah dituangkan di dalam bahan ajar ini.
Mahasiswa Prodi Manajemen Bencana yang menjadi subyek
utama dari proses pembelajaran dari mata kuliah ini, tidak saja terlibat
dalam proses belajarnya, tetapi juga diharapkan dapat memberikan
input yang berharga bagi pengembangan mata kuliah ini selanjutnya.
Hasil-hasil riset yang telah dilakukan oleh staf pengajar mata kuliah ini
juga menjadi bahan yang diharapkan dapat memperkaya materi ajar
yang akan dijalankan. Dengan cara yang sedemikian, mata kuliah ini
diharapkan menjadi mata kuliah yang memiliki basis riset yang cukup
kuat. Apa itu mata kuliah berbasis riset? Tidak lain adalah mata kuliah
yang oleh pengampu dan tim pengajarnya dikembangkan dengan
melakukan riset-riset yang sesuai dan sejalan dengan garis besar bahan
ajar yang telah ditentukan. Sehingga diharapkan bahan-bahan referensi
yang digunakan di dalam perkuliahan tersebut bukan saja bahan
referensi yang diperoleh dari berbagai sumber, tetapi yang tidak kalah
penting adalah referensi yang merupakan hasil penelitian para
pengajar yang telah dipublikasikan oleh lembaga publikasi hasil
penelitian yang kredibel. Mata kuliah berbasis riset adalah pondasi
awal dari program studi yang berbasis riset, fakultas yang berbasis riset,
dan universitas yang berbasis riset.
Bab 16 Penutup | 193

Dengan menempatkan mata kuliah sosiologi bencana sebagai


mata kuliah berbasis riset maka pengampu dan tim pengajar yang
terlibat di dalamnya juga dapat secara professional dan konsisten
menekuni ranah kajian yang dimaksud. Hal ini sejalan dengan
spesialisasi ilmu pengetahuan yang sejatinya dijalankan oleh para
pengajar, pendidik dan peneliti di Universitas.
Bahan ajar ini sendiri akan diposisikan sebagai dokumen
akademik yang sifatnya terbuka. Artinya setiap saat bisa ada masukan
dan kritik terhadap bahan ajar ini. Dengan mengakomodir masukan
dan kritik terhadap bahan ajar ini, diharapkan semakin hari bahan ajar
ini akan semakin sempurna. Oleh karenanya, bahan ajar mata kuliah
sosiologi bencana ini akan direvisi setiap tahun untuk
menyempurnakan kekuarangan yang ada. Semoga bahan ajar ini dapat
dimanfaatkan oleh mahasiswa, dosen dan juga institusi Universitas.
194 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

TENTANG PENULIS

1, Dr. Ir. Pujo Widodo, S.E., S.H., S.T., M.A., M.Si.


Saat ini penulis berprofesi sebagai Dekan
Fakultas Keamanan Nasional, Universitas
Pertahanan RI. disamping perannya sebagai
Mayor Jendral TNI. Tugas sebagai militer ke
berbagai negara menjadikan penulis menguasai
berbagai bahasa asing secara aktif, selain bahasa
Inggris, seperti bahasa Jerman, Jepang dan
Spanyol dan bahasa lainnya. Beliau aktif menulis
dan mengembangkan ilmu pengetahuan di
Universitas Pertahanan RI dengan berbagai mata
kuliah yang diampunya. Berbagai penghargaan dan setya lencana
sudah banyak diperoleh penulis seperti Satyalancana Kesetiaan VIII
dan Satyalancana Seroja Ulangan II.

2. Dr. Ernalem Bangun, M.M, CIQaR, adalah


Dosen Tetap Universitas Pertahanan RI,
Lulusan Doktoral Antropologi FISIP
Universitas Indonesia Jakarta. dengan
Disertasi berjudul Politik Identitas Etnis Cina.
Penulis aktif dalam kegiatan publikasi,
menulis dan melakukan pengabdian kepada
masyarakat, diantaranya sebagai Perwira
Kordinator Warga Kristiani Kemhan 2008 –
2015, Anggoa LSF, Ketua Bidang Publikasi
KORPRI Kemhan, Pengawas Koperasi
Balitbang Kemhan, dan lain sebagainya. Penugasan ke luar negeri
seperti Jerman, Korea Selatan, China, dan Philipina sudah penulis
tempuh dalam karirnya.
Tentang Penulis | 195

TENTANG PENULIS

3. Prof. Dr. Syamsul Maarif, M. Si, berprofesi


sebagai Guru Besar Universitas Pertahanan
RI, bidang keahlian sospol, militer,
manajemen bencana, sosiologi kebencanaan,
interdisiplinari research in DRR. Penulis
merupakan Doktor dari Universitas
Indonesia, Fisip. Penulis aktif di organisasi
profesi sebagai Ketua Dewan Penasehat IABI,
Ketua Pusat Studi Bencana (PSB-API), dan
Ketua Pembina PUSPPITA. Banyak buku,
artikel maupun penelitian lainnya yang dikembangkan oleh penulis
terkait kebencanaan, sehingga beliau sampai meraih gelar Profesor.
Sebagai Ahli, Saat ini penulis pun pernah menjabat diantaranya sebagai
Ketua Tim/Ahli Sosiologi Kebencanaan Penyusunan Dokumen Rencana
Penanggulangan Bencana Kabupaten Mojokerto Tahun 2019-2024, dan
Ketua Tim Jasa Konsultansi Perencanaan – Penyusunan Rencana Aksi
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Banjir dan Tanah Longsor
di Kabupaten Mojokerto. Ketua Tim Penyusunan Buku Panduan Umum
Pelaksanaan Kegiatan di Masa Pandemi Covid-19 Kota Surabaya, Tahun
2020 sebagai Ketua Tim/Ahli Sosiologi Kebencanaan pada Jasa
Konsultansi Review dan Uji Petik Peraturan BNPB No. 4 Tahun 2018
tentang SISMANLOGPAL Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
serta Ketua Tim/Ahli Sosiologi Kebencanaan pada Jasa Konsultansi
Review Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan Logistik dan Peralatan
Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
196 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

TENTANG PENULIS

4. Dr. Achmed Sukendro yang merupakan


seorang Kolonel CKM dan dosen Universitas
Pertahanan RI. Penulis merupakan Doktor
dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Penulis aktif menulis, meneliti, dan
Pengabdian Kepada Masyarakat. Penulis pun
memiliki berbagai riwayat jabatan seperti:
Kabangsal RUMKIT TK. IV Mataram (1991),
Kasi TUUD Kesdam IX/UDY (2001), Pamen
KODAM IX/UDAYANA (DIK S3) (2008), Kasubbag Hukum dan Tata
Laksana Bag Hukum dan Kepegawaian Unhan Kemhan (2018),
Pustakawan Madya Ka UPT Perpustakaan UNHAN RI Pusat
Perpustakaan (2020), dan terakhir sebagai Dosen Fakultas Keamanan
Nasional, Universitas Pertahanan RI. Saat ini penulis berkonsentrasi
dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagai fungsi dosen
dalam karirnya saat ini.
Tentang Penulis | 197
198 | Sosiologi Masyarakat dan Bencana

Anda mungkin juga menyukai