Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH KESEHATAN REPRODUKSI DAN KB DALAM SITUASI BENCANA

“KEBIJAKAN PENGELOLAAN MASALAH PENANGGULANGAN BENCANA


BIDANG KESEHATAN”

OLEH
KELOMPOK I

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAYAPURA


JURUSAN AHLI JENJANG D-IV KEBIDANAN
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Segala puji saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Makalah yang telah saya buat ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh untuk
memenuhi tugas kesehatan reproduksi dan keluarga bencana. Diharapkan tulisan pada makalah
ini dapat semakin memperkaya wawasan para pembaca mengenai masalah etik, moral dan issue
dalam praktik kebidanan. Baik secara teoritis maupun praktis. Dalam pembuatan makalah ini
tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Saya menyampaikan terima kasih pada semua pihak
yang telah membantu tersusunnya makalah ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan
balasan yang terbaik atas bantuannya. Saya senantiasa menantikan saran dan kritik dari berbagai
pihak untuk bahan perbaikan dan penyempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.

Jayapura, 19 Februari 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………………… i
Daftar Isi ………………………………………………………… ii
Bab I Pendahuluan
a. Latar Belakang ………………………………………………………… 1
b. Tujuan Penulisan ………………………………………………………… 2
c. Manfaat Penulisan ………………………………………………………… 3
Bab II Isi Materi
a. Dasar Hukum Penanggulangan Bencana……………………………………… 4
b. Manajemen Bencana dan Manajemen Resiko………………………………… 6
c. Rencana Kontigensi ………………………………………………………… 7
d. Skematis Tanggap Darurat Medis Bencana…………………………………… 7
e. Pendekatan Kluster dalam Pengelolaan Bencana……………………………… 8
f. Pengelolaan Masalah Kesehatan Pasca Bencana………………………………. 9
Bab III Pembahasan
a. Dasar Hukum Penanggulangan Bencana………………………………………. 11
b. Manajemen Bencana dan Manajemen Resiko………………………………….. 12
c. Rencana Kontigensi ………………………………………………………….. 16
d. Skematis Tanggap Darurat Medis Bencana……………………………………. 17
e. Pendekatan Kluster dalam Pengelolaan Bencana……………………………… 19
f. Pengelolaan Masalah Kesehatan Pasca Bencana………………………………. 20
Bab IV Penutup
a. Kesimpulan …………………………………………………………. 24
b. Saran …………………………………………………………. 26
Daftar Pustaka …………………………………………………………. iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bencana dapat terjadi dimana saja dan kapan saja di seluruh penjuru dunia.
Bencana dapat berdampak kepada individu, keluarga dan komunitas. Bencana adalah
gangguan serius yang mengganggu fungsi komunitas atau penduduk yang menyebabkan
manusia mengalami kerugian, baik kerugian materi, ekonomi atau kehilangan
penghidupan yang mana berpengaruh terhadap kemampuan koping manusia itu sendiri
(International Strategy for Disaster Reduction[ISDR], 2009).
Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan
bencana, baik disebabkan oleh kejadian alam seperti gempa bumi, tsunami, tanah
longsor, letusan gunung berapi, banjir, angin putting beliung dan kekeringan, maupun
yang disebabkan oleh ulah manusia dalam pengolahan sumber daya dan lingkungan
(contohnya kebakaran hutan, pencemaran lingkungan, kecelakaan transportasi,
kecelakaan industri, dan tindakan teror bom) serta konflik antar kelompok masyarakat
(Departemen Kesehatan [DepKes], 2006).
Bencana memiliki dampak yang sangat merugikan manusia. Rusaknya sarana dan
prasarana fisik (perumahan penduduk, bangunan perkantoran, pelayanan kesehatan,
sekolah, tempat ibadah, sarana jalan, jembatan dan lain-lain) hanyalah sebagian kecil dari
dampak terjadinya bencana disamping masalah kesehatan seperti korban luka, penyakit
menular tertentu, menurunnya status gizi masyarakat, stress, trauma dan masalah
psikososial, bahkan korban jiwa.
Bencana dapat pula mengakibatkan arus pengungsian penduduk ke lokasi-lokasi
yang dianggap aman. Hal ini tentunya dapat menimbulkan masalah kesehatan baru di
wilayah yang menjadi tempat penampungan pengungsi, mulai dari munculnya kasus
penyakit dan masalah gizi serta masalah kesehatan reproduksi hingga masalah
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, penyediaan air bersih, sanitasi serta penurunan
kualitas kesehatan lingkungan (DepKes, 2006).

1
Kejadian bencana mengalami peningkatan setiap tahun. Pada tahun 2012 terdapat
1.811 kejadian dan terus meningkat hingga pada tahun 2016 terdapat 1.986 kejadian
bencana (Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB], 2013, Gaffar, 2015 ;
BNPB, 2016). Besarnya angka kejadian dan dampak yang ditimbulkan oleh bencana
sehingga membutuhkan upaya penanggulangan.
Penanggulangan bencana adalah upaya sistematis dan terpadu untuk mengelola
bencana dan mengurangi dampak bencana, diantaranya penetapan kebijakan dalam
bencana, pengelolaan resiko berupa usaha pencegahan dan mitigasi, kesiapsiagaan,
tanggap darurat serta upaya pemulihan berupa rehabilitasi dan rekontruksi (Loke, 2014;
Veenema, 2016)

B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini untuk mengetahui dan mempelajari
lebih dalam tentang bagaimana kebijakan pengelolaan masalah penanggulangan bencana
pada bidang kesehatan, dan diharapkan dapat :
a. Memberikan pemahaman masyarakat tentang layanan kesehatan reproduksi
secara konfrehensif dalam menghadapi bencana
b. Membentuk pola sistem peringatan dini seputar masalah kesehatan reproduksi
dalam menghadapi bencana alam
c. Memberikan penyuluhan tentang langkah – langkah yang harus diperhatikan
terkait dengan kesehatan reproduksi pada saat menghadapi bencana alam

2
C. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah mengetahui lebih banyak tentang
kebijakan-kebijakan dalam pengelolaan masalah penanggulangan bencana di bidang
kesehatan, antara lain :
a. Meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap kesehatan reproduksi dalam
situasi menghadapi kebencanan
b. Memperoleh ilmu pengetahuan, bantuan pemikiran dalam mengatasi
gangguang kesehatan reproduksi ketika menghadapi situasi bencana alam
c. Memperoleh pengalaman dalam menggali serta menumbuhkan potensi
swadaya masyarakat agar mampu berpartisipasi aktif dalam upaya
peningkatan pengetahuan penaggulangan masalah kesehatan reproduksi ada
situasi benacana alam

3
BAB II
ISI MATERI

A. Dasar Hukum Penanggulangan Bencana


Alenia ke IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengamanatkan bahwa Pemerintah Negara Republi Indonesia melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, kedamaian abadi dan keadilan sosial.
Sebagai Implementasi dari amanat tersebut dilaksanakan pembangunan nasional
yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan sejahtera yang senantiasa
memperhatikan hak atas penghidupan dan perlindungan bagi setiap warga negaranya
dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
Negara kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah yang luas dan terletak
digaris katulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan kondisi
alam yang memiliki berbagai keunggulan, namun dipihak lain posisinya berada dalam
wilayah yang memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang
rawan terhadap terjadinya bencana dengan frekwensi yang cukup tinggi, sehingga
memerlukan penanganan yang sistematis, terpadu, dan terkoordinasi.
Potensi penyebab bencana diwilayah negara kesatuan Indonesia dapat
dikelompokan dalam 3 (tiga) jenis bencana, yaitu bencana alam, bencana non alam, dan
bencana sosial.
Bencana alam antara lain berupa gempa bumi karena alam, letusan gunung berapi,
angin topan, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan/ lahan karena faktor alam, hama
penyakit tanaman, epidemi, wabah, kejadian luar biasa, dan kejadian antariksa/benda-
benda angkasa.
Bencana non alam antara lain kebakaran hutan/lahan yang disebabkan oleh
manusia, kecelakan transportasi, kegagalan konstruksi/teknologi, dampak industri,
ledakan nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan keantariksaan.
Bencana sosial antara lain berupa kerusuhan sosial dan konflik sosial dalam
masyarakat yang sering terjadi.

4
Penanggulangan Bencana merupakan salah satu bagian dari pembangunan
nasional yaitu serangkaian kegiatan Penanggulangan Bencana sebelum, pada saat
maupun sesudah terjadinya bencana. Selama ini masih dirasakan adanya kelemahan baik
dalam pelaksanaan Penaggulangan Bencana maupun yang terkait dengan landasan
hukumnya. Karena belum ada Undang-undang yang secara khusus menangani bencana.
Mencermati hal-hal tersebut diatas dan dalam rangka memberikan landasan
hukum yang kuat bagi penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, disusunlah Undang-
Undang tentang Penanggulangan Bencana yang pada prinsipnya mengatur tahapan
bencana meliputi pra bencana, saat tanggap darurat dan pasca bencana.
Materi muatan Undang-undang ini berisikan ketentuan-ketentuan pokok sebagai
berikut:
1. Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab dan wewenang
Pemerintah dan pemerintah daerah, yang dilaksanakan secara terencana, terpadu,
terkoordinasi, dan menyeluruh.
2. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam tahap tanggap darurat dilaksanakan
sepenuhnya oleh badan nasional penanggulangan bencana dan badan penanggulangan
bencana daerah. Badan penanggulangan bencana tersebut terdiri dari unsur pengarah dan
unsur pelaksana. Badan nasional penanggulangan bencana dan badan penanggulangan
bencana daerah mempunyai tugas dan fungsi antara lain pengkoordinasian
penyelenggaraan penanggulangan bencana secara terencana dan terpadu sesuai dengan
kewenangannya.
3. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan memperhatikan hak
masyarakat yang antara lain mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar,
mendapatkan pelindungan sosial, mendapatkan pendidikan dan keterampilan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
4. Kegiatan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan memberikan kesempatan secara
luas kepada lembaga usaha dan lembaga internasional.
5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan pada tahap pra bencana, saat
tanggap darurat, dan pasca bencana, karena masing- masing tahapan mempunyai
karakteristik penanganan yang berbeda.

5
6. Pada saat tanggap darurat, kegiatan penanggulangan bencana selain didukung dana
APBN dan APBD juga disediakan dana siap pakai dengan pertanggungjawaban melalui
mekanisme khusus.
7. Pengawasan terhadap seluruh kegiatan penanggulangan bencana dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat pada setiap tahapan bencana, agar tidak
terjadi penyimpangan dalam penggunaan dana penanggulangan bencana.
8. Untuk menjamin ditaatinya undang-undang ini dan sekaligus memberikan efek jera
terhadap para pihak, baik karena kelalaian maupun karena kesengajaan sehingga
menyebabkan terjadinya bencana yang menimbulkan kerugian, baik terhadap harta benda
maupun matinya orang, menghambat kemudahan akses dalam kegiatan penanggulangan
bencana, dan penyalahgunaan pengelolaan sumber daya bantuan bencana dikenakan
sanksi pidana, baik pidana penjara maupun pidana denda, dengan menerapkan pidana
minimum dan maksimum.
Dengan materi muatan sebagaimana disebutkan diatas, Undang-Undang ini
diharapkan dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana sehingga penyelenggaraan penanggulangan bencana dapat
dilaksanakan secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu.

B. Manajemen Bencana dan Manajemen Resiko


Menurut UU No. 24 Tahun 2007, Manajemen bencana adalah suatu proses
dinamis, berlanjut dan terpadu untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang
berhubungan dengan observasi dan analisis bencana serta pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitas dan rekonstruksi bencana.
Risiko Bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada
suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa
terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta dan
gangguan kegiatan masyarakat. Risiko merupakan fungsi dari ancaman atau bahaya
dengan kerentanan dan juga kapasitas. Risiko bencana dapat berkurang, apabila kapasitas
ditingkatkan atau kerentanan dikurangi, sedangkan risiko bencana dapat meningkat
apabila kerentanan semakin tinggi dan kapasitas semakin rendah.

6
C. Rencana Kontigensi
Kontinjensi adalah suatu keadaan atau situasi yang diperkirakan akan segera
terjadi, tetapi mungkin juga tidak akan terjadi. Rencana Kontinjensi adalah suatu proses
identifikasi dan penyusunan rencana yang didasarkan pada keadaan kontinjensi atau yang
belum tentu tersebut.
Rencana kontinjensi lahir dari proses perencanaan kontinjensi. Proses
perencanaan tersebut melibatkan sekelompok orang atau organisasi yang bekerjasama
secara berkelanjutan untuk merumuskan dan mensepakati tujuan-tujuan
bersama,mendefinisikan tanggung jawab dan tindakan-tindakan yang harus diambil oleh
masing-masing pihak.

D. Skematis Tanggap Darurat Medis Bencana


Keadaan darurat dapat terjadi kapan saja tanpa bisa diduga. Keadaan darurat
umumnya bisa terjadi karena sebab alami seperti banjir, gempa bumi, angin puting
beliung, atau akibat dari keterlibatan manusia, misalnya kebakaran, bahan kimia,
tumpahan zat beracun, atau kegagalan struktur bangunan.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk perencanaan tanggap darurat adalah:
1. Identifikasi keadaan darurat: Langkah pertama menuju perencanaan tanggap
darurat adalah mengidentifikasi semua situasi darurat yang mungkin dihadapi
organisasi selama jam kerja atau setelah jam kerja. Pertimbangkan lokasi
perusahaan, sifat pekerjaan perusahaan, mesin atau bahan kimia yang digunakan,
dibuat, atau disimpan di dalam lokasi. Buat daftar semua potensi keadaan darurat
yang mungkin dihadapi perusahaan. Lakukan penilaian risiko yang terkait dengan
keadaan darurat ini.
2. Identifikasi persediaan / sumber daya yang diperlukan untuk menanggapi keadaan
darurat: Perlu menilai kemampuan tempat kerja saat ini untuk merespons keadaan
darurat. Ini termasuk sumber daya internal dan eksternal, persediaan medis atau
lainnya yang diperlukan untuk menanggapi keadaan darurat. Mungkin dapat
mengendalikan beberapa keadaan darurat dengan kontrol proaktif, seperti
mengurangi sumber pengapian. Selain kontrol proaktif, identifikasi kontrol reaktif

7
seperti saluran komunikasi, bantuan medis, generator, peralatan pemadam
kebakaran, dan lain-lain yang mungkin diperlukan saat keadaan darurat terjadi.
3. Buat rencana tanggap darurat: Rencana Tanggap Darurat yang tepat perlu dibuat
setelah keadaan darurat dan mekanisme tanggapan mereka diidentifikasi. Ini akan
mencakup prosedur untuk menangani keadaan darurat, lokasi dan instruksi untuk
fasilitas darurat, prosedur evakuasi, alarm dan fasilitas darurat.
4. Komunikasikan dan Latih pekerja / pemangku kepentingan yang relevan tentang
tanggap darurat: Begitu Rencana Tanggap Darurat dibuat, penting untuk
mengkomunikasikan rencana tersebut kepada semua pekerja / pemangku
kepentingan yang relevan. Perlu melatih pekerja untuk menangani situasi darurat.
Latihan darurat yang sering dapat dilakukan untuk mendidik pekerja dari waktu
ke waktu.
5. Evaluasi dan revisi prosedur tanggap darurat: Prosedur tanggap darurat harus
dievaluasi setelah latihan atau setelah keadaan darurat dihadapi. Jika perlu,
prosedur darurat ini harus diubah atau direvisi berdasarkan hasil pengujian atau
latihan.
Perencanaan tanggap darurat penting bagi setiap perusahaan karena selalu lebih
baik berhati-hati dengan cara aman daripada menyesal. Membuat rencana respons yang
efektif untuk keadaan darurat mungkin membutuhkan usaha yang lebih, tetapi tentunya
akan terbayarkan dalam jangka panjang. Ini memastikan keselamatan pekerja dan
membantu membangun tempat kerja yang sehat dan aman.

E. Pendekatan Kluster dalam Pengelolaan Bencana

Dalam hal penanganan bencana, diperlukan respon penanganan  yang cepat, tepat
dan efisien. Salah satu strategi untuk kecepatan dan ketepatan koordinasi tersebut adalah
dengan membentuk klaster kesehatan. Dimana klater ini akan menyusun jaring
koordinasi, komunikasi dan mekanisme penganan bencana terkait pelayanan kesehatan.
Dinas Kesehatan sebagai Koordinator Klaster Kesehatan telah membuat
rancangan berupa laur komunikasi dan membagi klaster kesehatan terbagi menjadi 6 sub :
 Sub klaster pelayanan kesehatan

8
 Sub klaster pengendalian penyakit, penyehatan lingkungan dan penyiapan air bersih
 Sub klaster kesehatan reproduksi
 Sub klaster kesehatan jiwa
 Sub klaster DVI
 Sub klaster gizi

F. Pengelolaan Masalah Kesehatan Pasca Bencana


Bencana alam merupakan kejadian luar biasa yang disebabkan oleh
peristiwa/faktor alam atau perilaku manusia yang menyebabkan kerugian besar bagi
manusia dan lingkungan dimana hal itu berada diluar kemampuan manusia untuk dapat
mengendalikannya. Mengingat bencana alam yang cukup beragam dan semakin tinggi
intensitasnya, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang- Undang (UU) No 24 tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dengan lahirnya UU tersebut, terjadi perubahan
paradigma penanganan bencana di Indonesia, yaitu penanganan bencana tidak lagi
menekankan pada aspek tanggap darurat, tetapi lebih menekankan pada keseluruhan
manajemen penanggulangan bencana mulai dari mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat
sampai dengan rehabilitasi.
Berdasarkan UU No 24 tersebut, tahapan penyelenggaraan penanggulangan
bencana meliputi:
1. Prabencana, pada tahapan ini dilakukan kegiatan perencanaan penanggulangan
bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan
pembangunan, persyaratan analisis risiko bencana, penegakan rencana tata ruang,
pendidikan dan peletahihan serta penentuan persyaratan standar teknis penanggulangan
bencana (kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana).
2. Tanggap darurat, tahapan ini mencakup pengkajian terhadap lokasi, kerusakan
dan sumber daya, penentuan status keadan darurat, penyelamatan dan evakuasi korban,
pemenuhan kebutuhan dasar, pelayanan psikososial dan kesehatan.
3. Paska bencana, tahapan ini mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan daerah
bencana, prasarana dan sarana umum, bantuan perbaikan rumah, sosial, psikologis,
pelayanan kesehatan, keamanan dan ketertiban) dan rekonstruksi (pembangunan,
pembangkitan dan peningkatan sarana prasarana, termasuk fungsi pelayanan kesehatan).

9
Penanggulangan masalah kesehatan merupakan kegiatan yang harus segera diberikan
baik saat terjadi dan paskabencana disertai pengungsian. Upaya penanggulangan bencana
perlu dilaksanakan dengan memperhatikan hak-hak masyarakat, antara lain hak untuk
mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan sosial, pendidikan dan
keterampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana serta hak untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 53 UU No 24 tahun 2007, pelayanan
kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi pada kondisi
bencana, di samping kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya:
1 ). air bersih dan sanitasi,
2). pangan,
3). sandang,
4). pelayanan psikososial serta
5). penampungan dan tempat hunian.
Penanggulangan masalah kesehatan dalam kondisi bencana ditujukan untuk
menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan bagi korban akibat bencana dan
pengungsi sesuai dengan standar minimal. Secara khusus, upaya ini ditujukan untuk
memastikan:
1). Terpenuhinya pelayanan kesehatan bagi korban bencana dan pengungsi sesuai standar
minimal;
2). Terpenuhinya pemberantasan dan pencegahan penyakit menular bagi korban bencana
dan pengungsi sesuai standar minimal;
3). Terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi bagi korban bencana dan pengungsi
4). Terpenuhinya kesehatan lingkungan bagi korban bencana dan pengungsi sesuai
standar minimal; serta
5). Terpenuhinya kebutuhan papan dan sandang bagi korban bencana dan pengungsi
sesuai standar minimal.

10
BAB III
PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum Penanggulangan Bencana


Dasar hukum penerbitan UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
adalah Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pertimbangan pengesahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana adalah:
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan
pelindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk pelindungan atas bencana,
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila,
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis,
geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang
disebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan
nasional;
c. bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penanggulangan bencana
yang ada belum dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dan menyeluruh serta tidak
sesuai dengan perkembangan keadaan masyarakat dan kebutuhan bangsa Indonesia
sehingga menghambat upaya penanggulangan bencana secara terencana, terkoordinasi,
dan terpadu;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana.

11
B. Manajemen Bencana dan Manajemen Resiko

Pengertian Manajemen Bencana Menurut Para Ahli :


1. University of Wisconsin
Menurut University of Wisconsin, Manajemen Bencana adalah serangkaian
kegiatan yang didesain untuk mengendalikan situasi bencana dan darurat untuk
mempersiapkan kerangka untuk membantu oang yang renta bencana untuk
menghindari atau mengatasi dampak bencana tersebut.
2. Universitas British Columbia
Menurut Universitas British Columbia, Manajemen Bencana adalah proses
pembentukan atau penetapan tujuan bersama dan nilai bersama (common value) untuk
mendorong pihak-pihak yang terlibat (partisipan) untuk menyusun rencana dan
menghadapi baik bencana potensial maupun akual.

Tujuan Manajemen Bencana


Menurut Warfield, manajemen bencana mempunyai tujuan:
(1) Mengurangi, atau mencegah, kerugian karena bencana,
(2) menjamin terlaksananya bantuan yang segera dan memadai terhadap korban bencana,
(3) mencapai pemulihan yang cepat dan efektif. Dengan demikian, siklus manajemen
bencana memberikan gambaran bagaimana rencana dibuat untuk mengurangi atau
mencegah kerugian karena bencana, bagaimana reaksi dilakukan selama dan segera
setelah bencana berlangsung dan bagaimana langkah-langkah diambil untuk pemulihan
setelah bencana terjadi.
Secara garis besar terdapat empat fase manajemen bencana, yaitu:
1. Fase Mitigasi

12
upaya memperkecil dampak negative bencana. Contoh: zonasi dan pengaturan
bangunan (building codes), analisis kerentanan; pembelajaran public.
2. Fase Preparadness
merencanakan bagaimana menaggapi bencana. Contoh: merencanakan kesiagaan;
latihan keadaan darurat, system peringatan.

3. Fase respon
upaya memperkecil kerusakan yang disebabkan oleh bencana. Contoh: pencarian
dan pertolongan; tindakan darurat,
4. Fase Recovery
mengembalikan masyarakat ke kondisi normal. Contoh: perumahan sementara,
bantuan keuangan; perawatan kesehatan.
Keempat fase manajemen bencana tersebut tidak harus selalu ada, atau tidak
secara terpisah, atau tidak harus dilaksanakan dengan urutan seperrti tersebut diatas.
Fase-fase sering saling overlap dan lama berlangsungnya setiap fase tergantung pada
kehebatan atau besarnya kerusakan yang disebabkan oleh bencana itu. Dengan demikian,
berkaitan dengan penetuan tindakan di dalam setiap fase itu, kita perlu memahami
karakteristik dari setiap bencana yang mungkin terjadi.

Mekanisme Manajemen Bencana


Manajemen bencana terdiri dari 2 mekanisme yaitu mekanisme internal atau informal dan
mekanisme eksternal atau informal.
a. Mekanisme internal atau informal, yaitu unsur-unsur masyarakat di lokasi
bencana yang secara umum melaksanakan fungsi pertama dan utama dalam manajemen
bencana dan seringkali disebut mekanisme manajemen bencana alamiah, ini terdiri dari
keluarga, organisasi sosial informal (pengajian, pelayanan kematian, kegiatan kegotong
royongan, arisan dan sebagainya) serta masyarakat lokal.
b. Mekanisme eksternal atau formal, yaitu organisasi yang sengaja dibentuk untuk
tujuan manajemen bencana, contoh organisasi manajemen bencana di Indonesia
diantaranya seperti Bakornas Pb, Satkorlak Pb, Satlak Pb Dan Bnpb Maupun Bpbd

13
Siklus Manajemen Bencana
Siklus manajemen bencana terbagi menjadi 3 tahapan atau fase, 3 tahap atau fase
manajemen bencana yaitu:
1. Tahap Pra Bencana
Dalam fase pra bencana ini mencakup kegiatan, mitigasi, kesiapsagaan dan
peringatan dini.
2. Pencegahan (Prevention)
Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana jika mungkin dengan
meniadakan bahaya. Contoh kegiatan pencegahan diantaranya melarang pembakaran
hutan dalam perladangan, melarang penambangan batu di daerah curam, melarang
membuang sampah sembarangan dan lain sebagainya.
3. Mitigasi Bencana (Mitigation)
Mitigasi adalah serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko
bencana baik melalui pembangunan fisik, maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana. Kegiatan mitigasi inidapat dilakukan melalui
pelaksanaan penataan ruangan; pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur,
tata bangunan; dan penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, pelatihan baik secara
konvensional maupun modern.
4. Kesiapsiagaan (Preparedness)
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bancana melalui pengorganisasian dan langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
5. Peringatan Dini (Early Warning)
Peringatan Dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera
mungkin pada masyarakat mengenai kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat
oleh lembaga yang berwenang atau upaya untuk memberikan tanda peringatan bahwa
bencana kemungkinan akan segera terjadi. Pemberian peringatan dini ini harus
menjangkau masyarakat (accesible), segera (immediate), tegas tidak membingungkan
(coherent), bersifat resmi (official).

Tahap Saat Terjadi Bencana


Dalam tahap ini mencakup tanggap darurat dan bantuan darurat.

14
Tanggap Darurat (response)
1. Tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada
saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan . Ini
meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan
kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsian dan pemulihan sarana
prasarana. Berikut beberapa kegiatan yang dilakukan pada tahap tanggap darurat,
diantaranya yaitu:
Pengkajian yang tepat terhadap lokasi, kerusakan dan sumberdaya
Penentuan status keadaan darurat bencana
Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana
Pemenuhan kebutuhan dasar
Perlindungan terhadap kelompok rentan
Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital
2. Bantuan Darurat (relief)
Ini merupakan upaya untuk memberikan bantuan berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, tempat tinggal sementara,
kesehatan, sanitasi dan juga air bersih.

Tahap Pasca Bencana


Dalam tahapan ini mencakup pemulihan, rehabilitasi dan juga rekonstruksi.
1. Pemulihan (Recovery)
Pemulihan adalah rangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi
masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan
kembali kelembagaab, prasarana dan sarana dengan melakukan upata rehabilitasi.
2. Rehabilitasi (rehabilitation)
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik
atau masyarakat hingga tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.
3. Rekonstruksi (reconstruction)

15
Rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta langkah-langkah
nyata yang terencana dengan baik, konsisten dan berkelanjutan untuk membangun
kembali secara permanen semua prasarana, sarana dan sistem kelembagaan baik
tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan
ketertiban dan bangkitnya peran dan partisipasi masyarakat sipil dalam segala aspek
kehidupan bermasyarakat di wilayah pasca bencana. Lingkup pelaksanaan
rekonstruksi terdiri atas program rekonstruksi fisik dan program rekonstruksi non
fisik.

Manajemen Risiko Bencana


Adalah pengaturan/manejemen bencana dengan penekanan pada faktor-faktor
yang bertujuan mengurangi risiko saat sebelum terjadinya bencana.
Manajemen risiko ini dilakukan dalam bentuk :
a. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai
upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana.
b. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana.
c. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah
yang tepat guna dan berdaya guna. Kesiapsiagaan ini sebenarnya masuk
manajemen darurat, namun letaknya di pra bencana. Dalam fase ini juga
terdapat peringatan dini yaitu serangkaian kegiatan pemberian peringatan
sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya
bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang
C. Rencana Kontigensi
Kontinjensi adalah suatu keadaan atau situasi yang diperkirakan akan
segera terjadi, tetapi mungkin juga tidak akan terjadi. Rencana Kontinjensi adalah
suatu proses identifikasi dan penyusunan rencana yang didasarkan pada keadaan
kontinjensi atau yang belum tentu tersebut Suatu rencana kontinjensi mungkin tidak

16
selalu pernah diaktifkan, jika keadaan yang diperkirakan tidak terjadi. Rencana
kontinjensi lahir dari proses perencanaan kontinjensi.
Proses perencanaan tersebut melibatkan sekelompok orang atau organisasi
yang bekerjasama secara berkelanjutan untuk merumuskan dan mensepakati tujuan-
tujuan bersama, mendefinisikan tanggung jawab dan tindakan-tindakan yang harus
diambil oleh masing-masing pihak. Rencana kontijensi disusun dalam tingkat yang
dibutuhkan, dan merupakan pra-syarat bagi tanggap darurat yang cepat dan efektif.
Tanpa perencanaan kontinjensi sebelumnya, banyak waktu akan terbuang dalam
beberapa hari pertama menanggapi keadaan darurat tersebut. Perencanaan kontinjensi
akan membangun komitmen dan kapasitas sebuah organisasi dan harus menjadi dasar
bagi rencana operasi dan tanggap darurat.

D. Skematis Tanggap Darurat Medis Bencana

Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk perencanaan tanggap darurat


adalah:

1. Identifikasi keadaan darurat: Langkah pertama menuju perencanaan


tanggap darurat adalah mengidentifikasi semua situasi darurat yang
mungkin dihadapi organisasi selama jam kerja atau setelah jam kerja.

17
Pertimbangkan lokasi perusahaan, sifat pekerjaan perusahaan, mesin atau
bahan kimia yang digunakan, dibuat, atau disimpan di dalam lokasi. Buat
daftar semua potensi keadaan darurat yang mungkin dihadapi perusahaan.
Lakukan penilaian risiko yang terkait dengan keadaan darurat ini.
2. Identifikasi persediaan / sumber daya yang diperlukan untuk menanggapi
keadaan darurat: Anda perlu menilai kemampuan tempat kerja Anda saat
ini untuk merespons keadaan darurat. Ini termasuk sumber daya internal
dan eksternal, persediaan medis atau lainnya yang diperlukan untuk
menanggapi keadaan darurat. Anda mungkin dapat mengendalikan
beberapa keadaan darurat dengan kontrol proaktif, seperti mengurangi
sumber pengapian. Selain kontrol proaktif, identifikasi kontrol reaktif
seperti saluran komunikasi, bantuan medis, generator, peralatan pemadam
kebakaran, dan lain-lain yang mungkin diperlukan saat keadaan darurat
terjadi.
3. Buat rencana tanggap darurat: Rencana Tanggap Darurat yang tepat perlu
dibuat setelah keadaan darurat dan mekanisme tanggapan mereka
diidentifikasi. Ini akan mencakup prosedur untuk menangani keadaan
darurat, lokasi dan instruksi untuk fasilitas darurat, prosedur evakuasi,
alarm dan fasilitas darurat.
4. Komunikasikan dan Latih pekerja / pemangku kepentingan yang relevan
tentang tanggap darurat: Begitu Rencana Tanggap Darurat dibuat, penting
untuk mengkomunikasikan rencana tersebut kepada semua pekerja /
pemangku kepentingan yang relevan. Anda perlu melatih pekerja untuk
menangani situasi darurat. Latihan darurat yang sering dapat dilakukan
untuk mendidik pekerja dari waktu ke waktu.
5. Evaluasi dan revisi prosedur tanggap darurat: Prosedur tanggap darurat
harus dievaluasi setelah latihan atau setelah keadaan darurat dihadapi. Jika
perlu, prosedur darurat ini harus diubah atau direvisi berdasarkan hasil
pengujian atau latihan.

18
Perencanaan tanggap darurat penting bagi setiap perusahaan karena selalu
lebih baik berhati-hati dengan cara aman daripada menyesal. Membuat rencana
respons yang efektif untuk keadaan darurat mungkin membutuhkan usaha yang
lebih, tetapi tentunya akan terbayarkan dalam jangka panjang. Ini memastikan
keselamatan pekerja Anda dan membantu membangun tempat kerja yang sehat
dan aman.

E. Pendekatan Kluster dalam Pengelolaan Bencana

Pengertian Klaster berdasarkan BNPB merupakan model atau bentuk koordinasi


dengan cara mengelompokkan para pelaku penanggulangan bencana dalam penanganan
darurat bencana, berdasarkan gugus tugas. Penanganan bencana skala nasional
dibutuhkan delapan klaster, klaster tersebut berdasarkan Keputusan Kepala BNPB Nomor
173 Tahun 2015 meliputi:
1. Klaster Kesehatan.
Tugasnya adalah Pelayanan Kesehatan, Pengendalian Penyakit,
Penyehatan Lingkungan, Penyiapan Air Bersih dan Sanitasi yang
berkualitas, Pelayanan Kesehatan Gizi, Pengelolaan Obat Bencana,
Penyiapan Kesehatan Reproduksi dalam Situasi Bencana, Penatalaksanaan
Korban Mati, Pengelolaan Informasi dibidang Kesehatan. 
2. Klaster Pencarian dan Penyelamatan.
Tugasnya adalah Mengerahkan, Mengkoordinir, serta mengendalikan
sarana dan personil dalam pelaksanaan operasi pencarian, penyelamatan,
dan evakuasi terhadap korban bencana secara cepat, efisien dan efektif,
Pengelolaan Informasi dibidang Pencarian dan Penyelamatan.
3. Klaster Logistik.
Tugasnya adalah Pengadaan barang, sandang, permakanan dan peralatan,
Bea Cukai (untuk barang yang dibawa dari luar negri/impor),

19
Penyimpanan/Pergudangan, Distribusi Logistik, Keamanan Logistik,
Pengelolaan Informasi dibidang Logistik. 
4. Klaster Pengungsian dan Perlindungan.
Tugasnya adalah Penyiapan Dapur Umum, Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan berbasis Gender, Tempat Pengungsian, Keamanan, Manajemen
Pengungsian dan Penyiapan Hunian Sementara, Perlindungan Kelompok
Rentan, Pengelolaan Informasi dibidang Pengungsian dan Perlindungan. 

5. Klaster Pendidikan.
Tugasnya adalah Pelayanan Belajar Mengajar Formal dan Informal,
Penyiapan Sekolah Darurat, Bimbingan dan Penyuluhan bagi Anak
Dewasa, Kerohanian, Pengelolaan Informasi dibidang Pendidikan. 
6. Klaster Sarana dan Prasarana.
Tugasnya adalah Pembersihan puing-puing/debris clearance, Penyediaan
Alat Transportasi, Telekomunikasi dan Energi, Penyediaan Hunian Tetap,
Penyediaan Air dan Sanitasi, Pengelolaan Informasi dibidang Sarana dan
Prasarana. 
7. Klaster Ekonomi.
Tugasnya adalah Pengelolaan Sektor Pertambangan dan Galian, Listrik,
Gas, dan Air Minum, Industri Pengolah, Konstruksi, Perdagangan, Hotel
dan Restoran, Jasa dan Pertanian, serta Pengelolaan Informasi dibidang
Ekonomi
8. Klaster Pemulihan Dini.

F. Pengelolaan Masalah Kesehatan Pasca Bencana


Setelah Bencana :
a. Fase Pemulihan
Fase Pemulihan sulit dibedakan secara akurat dari dan sampai kapan, tetapi
fase ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat dengan

20
kemampuannya sendiri dapat memulihkan fungsinya seperti sedia kala
(sebelum terjadi bencana). Orang-orang melakukan perbaikan darurat tempat
tinggalnya, pindah ke rumah sementara, mulai masuk sekolah ataupun bekerja
kembali sambil memulihkan lingkungan tempat tinggalnya. Kemudian mulai
dilakukan rehabilitasi life line dan aktivitas untuk membuka kembali
usahanya. Institusipemerintah juga mulai memberikan kembali pelayanan
secara normal serta mulai menyusun rencana-rencana untuk rekonstruksi
sambil terus memberikan bantuan kepada para korban. Fase ini bagaimanapun
juga hanya merupakan fase pemulihan dan tidak sampai mengembalikan
fungsi-fungsi normal seperti sebelum bencana terjadi. Dengan kata lain, fase
ini merupakan masa peralihan dari kondisi darurat ke kondisi tenang.
b. Fase Rekonstruksi/Rehabilitasi
Jangka waktu Fase Rekonstruksi/Rehabilitasi juga tidak dapat ditentukan,
namun ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat berusaha
mengembalikan fungsifungsinya seperti sebelum bencana dan merencanakan
rehabilitasi terhadap seluruh komunitas. Tetapi, seseorang atau masyarakat
tidak dapat kembali pada keadaan yang sama seperti sebelum mengalami
bencana, sehingga dengan menggunakan pengalamannya tersebut diharapkan
kehidupan individu serta keadaan komunitas pun dapat dikembangkan secara
progresif.

SK Menkes Nomor 1357/Menkes/SK/XII/2001 tentang Standar Minimal


Penanggulangan Masalah Kesehatan akibat Bencana dan Penanganan Pengungsi.
Dalam dokumen tersebut, Rekomendasi terkait pelayanan kesehatan masyarakat,
meliputi:
a). merencanakan kegiatan Puskesmas Keliling sebagai dukungan sementara
b). perlu tenaga fisioterapi untuk perawatan bagi penduduk yang cedera,
c). ketersediaan pangan penduduk kelompok rentan, khususnya program
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bagi balita dan ibu hamil,
d). revitalisasi pelayanan Bidan Desa untuk mendukung program Kesehatan lbu
dan Anak,
e). revitalisasi tenaga sanitarian untuk menangani kondisi lingkungan yang tidak
sehat, serta
f). perlu penanganan psikiatri bagi masyarakat yang mengalami trauma.

21
Selain itu, rekomendasi juga dikeluarkan terkait pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular, yaitu :
1). melakukan surveilans penyakit menular untuk memperkuat sistem surveilans
rutin; serta
2). Mempertimbangkan langkah antisipasi munculnya penyakit diare, typhus
abdominalis, DHF, campak, dan tetanus (http:/ /bondankomunitas.blogspot.com).

Standar minimal yang harus dipenuhi meliputi berbagai aspek:


1. Pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan masyarakat, kesehatan
reproduksi dan kesehatan jiwa. Terkait dengan sarana pelayanan kesehatan, satu
Pusat Kesehatan pengungsi idealnya digunakan untuk melayani 20.000 orang,
sedangkan satu Rumah Sakit untuk 200.000 sasaran. Penyediaan pelayanan
kesehatan juga dapat memanfaatkan partisipasi Rumah Sakit Swasta, Balai
Pengobatan Swasta, LSM lokal maupun intemasional yang terkait dengan bidang
kesehatan.

2. Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, seperti vaksinasi,


penanganan masalah umum kesehatan di pengungsian, manajemen kasus,
surveilans dan ketenagaan. Berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM),
Kementerian Kesehatan telah menetapkan jumlah kebutuhan tenaga kesehatan
untuk penanganan 10.000-20.000 pengungsi, terdiri dari :
pekerja kesehatan lingkungan (10-20 orang), bidan (5-10 orang), dokter (1 orang),
paramedis (4-5 orang), asisten apoteker (1 orang), teknisi laboratorium ( 1 orang),
pembantu umum ( 5-l 0 orang), pengawas sanitasi (2-4 orang), asisten pengawas
sanitasi (1 0-20 orang).

4. Gizi dan pangan, termasuk penanggulangan masalah gizi di pengungsian,


surveilans gizi, kualitas dan keamanan pangan. Identifikasi perlu dilakukan
secepat mungkin untuk mengetahui sasaran pelayanan, seperti jumlah pengungsi,
jenis kelamin, umur dan ke1ompok rentan (balita, ibu hamil, ibu menyusui, lanjut
usia). Data tersebut penting diperoleh, misalnya untuk mengetahui kebutuhan
bahan makanan pada tahap penyelamatan dan merencanakan tahapan surveilans
berikutnya. Selain itu, pengelolaan bantuan pangan perlu melibatkan wakil
masyarakat korban bencana, termasuk kaum perempuan, untuk memastikan
kebutuhan-kebutuhan dasar korban bencana tetpenuhi.

5. Pelayanan kesehatan reproduksi setidaknya meliputi kesehatan ibu dan anak


(KIA), keluarga berencana (KB), deteksi dini infeksi menular seksual (IMS) dan
HN/AIDS serta kesehatan reproduksi remaja.

6. Penanggulangan penderita stres paska trauma antara lain bisa dilakukan dalam
bentuk penyuluhan kelompok besar (lebih dari 20 orang) dengan melibatkan ahli
psikologi serta kader masyarakat yang telah dilatih.

22
7. Lingkungan, meliputi pengadaan air, kualitas air, pembuangan kotoran manusia,
pengelolaan limbah padat dan limbah cair dan promosi kesehatan. Beberapa tolok
ukur kunci yang perlu diperhatikan adalah :
• persediaan air harus cukup minimal 15 liter per orang per hari,
• jarak pemukiman terjauh dari sumber air tidak lebih dari 500 meter,
• satu kran air untuk 80-100 orang,
• satu jamban digunakan maksimal 20 orang, dapat diatur menurut rumah
tangga atau menurut jenis kelamin,
• jamban berjarak tidak lebih dari 50 meter dari pemukian atau tempat
pengungsian,
• bak atau lubang sampah keluarga berjarak tidak lebih dari 15 meter dan
lubang sampah umum berjarak tidak lebih dari 100 meter dari pemukiman
atau tempat pengungsian,
• bak/lubang sampah memiliki kapasitas 100 liter per 10 keluarga, serta
• tidak ada genangan air, air hujan, luapan air atau banjir di sekitar
pemukiman atau tempat pengungsian. Hal-hal yang berkaitan dengan
kebutuhan dasar kesehatan, seperti penampungan keluarga, sandang dan
kebutuhan rumah tangga. Ruang tertutup yang tersedia, misalnya,
setidaknya tersedia per orang rata-rata berukuran 3,5-4,5 m2
• Kebutuhan sandang juga perlu memperhatikan kelompok sasaran
tertentu, seperti pakaian untuk balita dan anak-anak serta pembalut untuk
perempuan remaja dan dewasa.

Selain piranti-piranti legal di atas, Peraturan Kepala BNPB Nomor 7 Tahun 2008
juga mengatur pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, meliputi bantuan tempat
penampungan/hunian sementara, pangan, non-pangan, sandang air bersih dan sanitasi
serta pelayanan kesehatan.

Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa bantuan pelayanan kesehatan


diberikan dalam bentuk :

1). pelayanan kesehatan umum, meliputi pelayanan kesehatan dasar dan klinis;
2). pengendalian penyakit menular, meliputi pencegahan umum, campak,
diagnosis dan pengelolaan kasus, kesiapsiagaan kejadian luar biasa (KLB),
deteksi KLB, penyelidikan dan tanggap serta HIV/AIDS; serta
3). pengendalian penyakit tidak menular, meliputi cedera, kesehatan reproduksi,
aspek kejiwaan dan sosial kesehatan serta penyakit kronis.

Bentuk-bentuk pelayanan kesehatan tersebut dilengkapi dengan standar minimal


bantuan yang harus dipenuhi dalam situasi bencana alam (BNPB, 2008). Terkait upaya
pemenuhan kebutuhan dasar pada kondisi bencana, di tingkat global sebenarnya juga
sudah banyak pedoman-pedoman yang dapat menjadi rujukan. Pedoman yang disusun

23
The Sphere Project, misalnya, merinci prinsip-prinsip perlindungan dan standar minimal
dalam empat aspek, yakni :
1). Air bersih, sanitasi dan promosi terkait higienitas,
2). Keamanan pangan dan gizi,
3). Tempat penampungan atau hunian sementara dan kebutuhan non-pangan, serta
4). Pelayanan kesehatan. Dalam dokumen ini, disebutkan bahwa pelayanan kesehatan
esensial yang perlu diperhatikan meliputi: pengendalian penyakit menular,
kesehatan anak, kesehatan seksual dan reproduksi, cedera, kesehatan mental dan
penyakit tidak menular.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dasar hukum penanggulangan bencana di Indonesia adalah Undang-undang
Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. Dalampenanggulangan
bencana, kegiatannya juga mengikuti siklus bencana yang dibagi menjadi tiga fase
yaitu fase pra bencana, fase bencana dan fase pasca bencana.
Fase pra bencana yaitu: kesiapsiagaan yang terdiri dari pencegahan dan
mitigasi (prevention and mitigation);
Fase bencana meliputi: tanggap darurat (response) yang terdiri dari fase akut
(acute phase) dan fase sub akut (sub acute phase);
Fase pasca bencana terdiri dari: rekonstruksi yang terdiri dari fase pemulihan
(recovery phase) dan fase rehabilitasi/rekonstruksi (rehabilitation/reconstruction
phase).
Kesiapsiagaan (preparedness) adalah aktivitas-aktivitas dan langkah-langkah
yang diambil sebelumnya untuk memastikan respons yang efektif terhadap dampak
bahaya, termasuk dengan mengeluarkan peringatan dini yang tepat dan efektif dan
dengan memindahkan penduduk dan harta benda untuk sementara dari lokasi yang
terancam.
Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman
bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.

24
Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera
mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu
tempat oleh lembaga yang berwenang.
Mitigasi (mitigation) adalah langkah-langkah struktural dan non struktural
yang diambil untuk membatasi dampak merugikan yang ditimbulkan bahaya alam,
kerusakan lingkungan dan bahaya teknologi. Tindakan mitigasi dilihat dari sifatnya
dapat digolongkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif.
Tahap tanggap darurat merupakan tahap penindakan atau pengerahan
pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa bencana, guna menghindari
bertambahnya korban jiwa. dari sudut pandang pelayanan medis, bencana lebih
dipersempit lagi dengan membaginya menjadi “fase akut” dan “fase sub akut”.
Dalam fase akut, 48 jam pertama sejak bencana terjadi disebut “fase penyelamatan
dan pertolongan/pelayanan medis darurat”. Pada fase ini dilakukan penyelamatan
dan pertolongan serta tindakan medis darurat terhadap orang-orang yang terluka
akibat bencana. Kira-kira satu minggu sejak terjadinya bencana disebut dengan “fase
sub akut”. Dalam fase ini, selain tindakan “penyelamatan dan pertolongan/pelayanan
medis darurat”, dilakukan juga perawatan terhadap orang-orang yang terluka pada
saat mengungsi atau dievakuasi, serta dilakukan tindakan-tindakan terhadap
munculnya permasalahan kesehatan selama dalam pengungsian.
Fase pemulihan merupakan fase dimana individu atau masyarakat dengan
kemampuannya sendiri dapat memulihkan fungsinya seperti sedia kala (sebelum
terjadi bencana). Tahap pemulihan meliputi tahap rehabilitasi dan rekonstruksi.
Upaya yang dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk mengembalikan kondisi
daerah yang terkena bencana yang serba tidak menentu ke kondisi normal yang lebih
baik, agar kehidupan dan penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali. Tahap
rekonstruksi merupakan tahap untuk membangun kembali sarana dan prasarana yang
rusak akibat bencana secara lebih baik dan sempurna.
Penanganan bencana skala nasional dibutuhkan delapan klaster, klaster
tersebut berdasarkan Keputusan Kepala BNPB Nomor 173 Tahun 2015 meliputi :
a. Klaster Kesehatan
b. Klaster Pencarian dan Penyelamatan

25
c. Klaster Logistik
d. Klaster Pengungsian dan Perlindungan
e. Klaster Pendidikan
f. Klaster Ekonomi
g. Klaster Pemulihan Dini

B. Saran
Diharapkan dengan disusunnya makalah ini, para pembaca bisa
lebih mengetahui dan mengerti tentang pentingnya pengelolaan bencana
tanggap darurat terutama dalam bidang pelayanan kesehatan itu sendiri
secara khusus kesehatan reproduksi.
Adapun kekurangan dari makalah ini, kami sebagai penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar dikemudian hari kami bisa
menyusun makalah ini lebih baik lagi.

26
27
DAFTAR PUSTAKA

http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/08/Kespro-dan-KB-
Komprehensif.pdf

https://www.researchgate.net/publication/330904282_KAJIAN_KESEHATAN_REPRODU
KSI_BENCANA_DAN_IDENTIFIKASI_ANCAMAN_KAPASITAS_SERTA_KERENTA
NAN_BENCANA_GEMPA_BUMI_DI_DESA_POTORONO_KECAMATAN_BANGUNT
APAN_KABUPATEN_BANTUL_DIY

iii

Anda mungkin juga menyukai