Anda di halaman 1dari 22

PEDOMAN PELAYANAN

PASIEN RESIKO TINGGI

2021

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ii


BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG ................................................................................................ 1
1.2 TUJUAN .................................................................................................................... 1
BAB II RUANG LINGKUP .................................................................................................. 2
BAB III LANDASAN HUKUM ............................................................................................ 3
BAB IV KEBUTUHAN TENAGA/KEANGGOTAAN ....................................................... 4
4.1 Kualifikasi Sumber Daya Manusia ............................................................................. 4
BAB V TATALAKSANA PELAYANAN ............................................................................ 5
1. Pasien Gawat Darurat (Emergensi) ........................................................................ 5
2. Pasien koma .......................................................................................................... 6
3. Pasien dengan Alat Bantuan Hidup ....................................................................... 6
4. Pasien dengan risiko bunuh diri............................................................................. 7
5. Pasien dengan penyakit menular dan daya tahan tubuh rendah
(Immunocompromental) ........................................................................................ 7
6. Pasien dialysis....................................................................................................... 8
7. Pasien dengan restrain ........................................................................................... 8
8. Pasien Yang Menerima Kemoterapi ...................................................................... 9
9. Pasien dengan Pemakaian Produk Darah .......................................................... 9
10. Populasi pasien rentan, lansia, anak-anak, dan pasien beresiko tindak kekerasan
atau ditelantarkan ................................................................................................ 10
11. Pelayanan Pasien dengan Resiko Tambahan ................................................... 12
BAB VI KESELAMATAN KERJA .................................................................................. 19
BAB VII PENUTUP ............................................................................................................ 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pelayanan yang beresiko tinggi merupakan pelayanan yang memerlukan peralatan


yang kompleks untuk pengobatan penyakit yang mengancam jiwa, resiko bahaya pengobatan,
potensi yang membahayakan pasien atau efek toksik dari obat beresiko tinggi. Rumah sakit
memberi pelayanan bagi berbagai macam pasien dengan berbagai variasi kebutuhan
pelayanan kesehatan. Beberapa pasien yang digolongkan resiko-tinggi karena umur, kondisi,
atau kebutuhan yang bersifat kritis. Anak dan lanjut usia umumnya dimasukkan dalam
kelompok ini karena mereka sering tidak dapat menyampaikan pendapatnya, tidak mengerti
proses asuhan dan tidak dapat ikut memberi keputusan tentang asuhannya. Demikian pula,
pasien yang ketakutan, bingung atau koma tidak mampu memahami proses asuhan bila
asuhan harus diberikan secara cepat dan efisien. Rumah sakit juga menyediakan berbagai
variasi pelayanan, sebagian termasuk yang beresiko tinggi karena memerlukan peralatan yang
kompleks, yang diperlukan untuk pengobatan penyakit yang mengancam jiwa, sifat
pengobatan (penggunaan darah atau produk darah), potensi yang membahayakan pasien atau
efek toksik dari obat beresiko tinggi (misalnya kemoterapi).

1.2 TUJUAN

Memberikan pelayanan pasien untuk berbagai kebutuhannya atau kebutuhan pada


keadaan kritis. Beberapa pasien digolongkan masuk dalam kategori risiko tinggi karena
umurnya, kondisinya, dan kebutuhan pada keadaan kritis. Anak-anak dan lansia biasanya
dimasukkan ke dalam golongan ini karena mereka biasanya tidak dapat menyampaikan
keinginannya, tidak mengerti proses asuhan yang diberikan, dan tidak dapat ikut serta dalam
mengambil keputusan terkait dirinya. Sama juga halnya dengan pasien darurat yang
ketakutan, koma, dan bingung tidak mampu memahami proses asuhannya apabila pasien
harus diberikan asuhan cepat dan efisien.
Rumah sakit juga memberikan berbagai pelayanan, beberapa dikenal sebagai pelayanan
resiko tinggi karena tersedia peralatan medis yang kompleks untuk kebutuhan pasien dengan
kondisi darurat yang mengancam jiwa (pasien dialisis), karena sifat tindakan (pasien dengan
pemberian darah/ produk darah), mengatasi potrensi bahaya bagi pasien ( pasien restrain),
atau mengatasi akibat intoksikasi obat risiko tinggi (contoh kemoterapi).

1
BAB II
RUANG LINGKUP

Kelompok Pelayanan Pasien yang beresiko tinggi antara lain:

a. Pasien emergensi
b. Pasien koma
c. Pasien dengan alat bantuan hidup
d. Pasien risiko bunuh diri
e. Pelayanan pada pasien dengan penyakit menular dan mereka yang daya tahannya
menurun (Immuno-supresed)
f. Pelayanan pada pasien yang mendapatkan pelayanan dialisis
g. Pelayanan pada pasien yang direstrain
h. Pelayanan pada pasien yang menerima kemoterapi
i. Pasien dengan pemakaian produk darah
j. Pelayanan pada pasien lansia (geriatri), anak-anak, dan pasien beresiko tindak
kekerasan atau ditelantarkan (mis. Gangguan jiwa)

k. Pelayanan pada resiko tambahan

2
BAB III
LANDASAN HUKUM

1. Undang-undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan;


2. Undang-undang Republik Indonesia No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit;
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1419 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan
Praktik Dokter dan Dokter Gigi;
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1438 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan
Kedokteran;
5. Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran;
6. Undang-undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan.

3
BAB IV
KEBUTUHAN TENAGA/KEANGGOTAAN

4.1 Kualifikasi Sumber Daya Manusia


Ketenagaan dalam pelayanan beresiko tinggi di Rumah Sakit terdiri atas tenaga medis
dan tenaga non medis yang bekerja bersama. Pelayanan beresiko tinggi terdiri atas dokter
spesialis, dokter umum, perawat IGD, perawat ICU, perawat ruangan, gizi, farmasi,
fisoterapi, bahkan seluruh ruang lingkup rumah sakit agar menciptakan lingkungan aman
dan nyaman bagi pasien yang beresiko tinggi.

4
BAB V
TATALAKSANA PELAYANAN

Seluruh staf RS harus bekerja sesuai dengan standar profesi, pedoman/panduan dan
standar prosedur opersional yang berlaku, serta sesuai dengan etika profesi, etika RS dan
etiket RS yang berlaku, berorientasi pada mutu dan keselamatan pasien.

Seluruh staf melaksanakan pekerjaannya wajib selalu sesuai dengan ketentuan Kesehatan
dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3), termasuk dalam penggunaan alat pelindung diri
(APD).
Berikut adalah kategori pasien yang termasuk kedalam resiko tinggi di Rumah Sakit
Umum Grha Bhakti Medika.

1. Pasien Gawat Darurat (Emergensi)

Pasien datang pertama kali akan dimasukkan ke dalam ruangan triage terlebih dahulu,
yang bertujuan untuk memilah pasien berdasar beratnya cedera atau penyakit (berdasarkan
yang paling mungkin akan mengalami perburukan klinis segera) untuk menentukan prioritas
perawatan gawat darurat medik serta prioritas transportasi (berdasarkan ketersediaan sarana
untuk tindakan). Sembari pasien diperiksa oleh dokter IGD, keluarga pasien mendaftarkan
pasien ke bagian informasi dan pendaftaran.

Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu : pengkajian primer
dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih
dahulu melakukan survey primer untuk mengidentifikasi masalah- masalah yang mengancam
hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survey sekunder. Tahapan pengkajian primer
meliputi :
A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai control
servikal;
B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar
oksigenasi adekual;
C: Circulation; mengecek system sirkulasi disertai control pendarahan;
D: Disability, mengecek status neurologis;
E: Exposure, environmel control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia.

5
Pengkajian primer bertujuan mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam nyawa
pasien. Pengkajian primer dilakukan secara sekuensial sesuai dengan prioritas. Tetapi dalam
prakteknya dilakukan secara bersamaan dalam tempo waktu yang singkat (kurang dari 10
detik) difokuskan pada Airway Breathing Circulation (ABC). Karena kondisi kekurangan
oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan karena
masalah sistem pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang
lain. Oleh karena itu pengkajian primer pada penderita gawat darurat penting dilakukan secara
efektif dan efisien. Setelah melengkapi survei primer dan setelah memulai fase resusitasi,
kemudian lakukan survey sekunder untuk mengenali semua cedera dengan memeriksa dari
kepala hingga jari kaki. Menilai lagi tanda vital, lakukan survei primer ulangan secara
cepat untuk menilai respons atas resusitasi dan untuk mengetahui perburukan.

2. Pasien koma

Pasien stupor atau koma beresiko tinggi untuk terjadinya aspirasi, yang disebabkan
karena hilangnya refleks batuk dan muntah. Hipoksi, endotracheal tube (ETT) dengan
intubasi merupakan cara yang paling efektif untuk menjaga jalan nafas baik dan oksigensasi
yang adekuat. Bila pasien dalam keadaan koma yang dalam atau adanya tanda gangguan
respirasi lebih baik dilakukan intubasi. Pada pasien stupor dengan pernafasan yang normal
dapat kita berikan 100% oksigen dengan face mask sampai hipoksemia tidak kita temukan.
Pasien koma diobservasi di ruang Intensive Care Unit (ICU)

3. Pasien dengan Alat Bantuan Hidup

Pasien dengan alat bantuan hidup dasar diobservasi di ruang Intensive Care Unit
(ICU). Bila kondisi memburuk dapat dirujuk ke fasilitas yang lebih lengkap atas persetujuan
DPJP. Alat bantuan hidup dasar adalah alat yang dapat mempertahankan fusngi jantung dan
paru agar pasien tetap hidup, salah satu contohnya adalah ventilator. Ada beberapa hal yang
menjadikan tujuan dan manfaat penggunaan ventilasi mekanik ini dan juga beberapa kriteria
pasien yang perlu untuk segera dipasang ventilator yaitu.
a. Mengurangi kerja pernapasan.
b. Meningkatkan tingkat kenyamanan pasien.
c. Pemberian MV yang akurat.
d. Mengatasi ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi.
e. Menjamin hantaran O2 ke jaringan adekuat

6
4. Pasien dengan risiko bunuh diri

Pasien dengan resiko bunuh diri harus dicegah dan diawasi dengan ketat. Pencegahan
bunuh diri meliputi pencegahan primer, sekunder dan tersier:
a. Pencegahan primer adalah tindakan mencegah sebelum orang mempunyai niat
melakukan tindakan bunuh diri dengan memperhatikan faktor-faktor risikonya dan
pengawasan secara ketat oleh petugas jaga.
b. Pencegahan sekunder adalah deteksi dini dan terapi yang tepat pada orang yang telah
melakukan percobaan bunuh diri.
c. Pencegahan tersier adalah tindakan untuk mencegah berulangnya percobaan bunuh
diri.
Bila diperlukan konsultasi dengan psikolog atas persetujuan DPJP

5. Pasien dengan penyakit menular dan daya tahan tubuh rendah


(Immunocompromental)

a. Indikasi Perawatan Terpisah


Untuk mengetahui apakah pasien memiliki indikasi masuk ke ruang perawatan terpisah
atau tidak, dengan prioritas yang harus diberikan kepada pasien yang dicurigai atau
dikonfirmasi:
Prioritas I :
1) Pasien dengan resiko tinggi menularkan penyakit ke orang lain: Tuberkolosis
BTA (+) dan tersangka TB, HIV, varisela dan herpes
2) Pasien dengan daya tahan tubuh rendah (immunocompromental) yang mudah
tertular orang lain; Malignasi hematologi (Leukimia) dengan neutropenia,
Febrile Neutropenia, steven Jhonson.
b. Perawatan pasien di ruang isolasi
Pasien dipisahkan dari pasien lain untuk meminimalkan kemungkinan penyebaran
infeksi. Pada pasien masuk harus dinilai untuk faktor resiko seperti diduga / infeksi
dikonfirmasi dan kehadiran multi resisten organisme. Jika ruang isolasi penuh maka
pasien dirawat di ruang perawatan yang berisi 1 orang.
Immunosuppresed suatu kondisi yang melemahkan sistem imun tidak
berfungsi normal atau gangguan respon imun sistemik yang meningkatkan risiko
infeksi. Imunosupresi juga dapat melemahkan respon inflamasi Penyebab
imunosupresi dapat diklasifikasikan sebagai:

7
1) Penyakit sistemik: Diabetes mellitus, Alkoholisme kronis, Gagal ginjal atau
hati, Gangguan autoimun seperti lupus eritematosus sistemik atau rheumatoid
arthritis
2) Pengobatan imunosupresi: Kortikosteroid, Imunoglobulin poliklonal seperti
globulin antilymphocyte, dan imunoglobulin monoclonal,seperti daclizumab
(imunitas seluler sasaran baik imunoglobulin monoklonal dan poliklonal
sendiri oleh depleting limfosit).
Dampak dari Obat imunosupresif dapat beresiko tinggi meningkatkan risiko
infeksi oleh bakteri, virus, dan jamur. Kelas obat imunosupresif yang baru, siklosporin,
dapat memberikan efek samping berupa keracunan pada sel saraf, keracunan pada
ginjal, keracunan pada hati, dan hiperkalemia. Untuk mengamati dampak-dampak yang
ditimbulkan agar dapat dievaluasi lebih lanjut, pemakaian obat dan terapi
imunosupresif harus terus diawasi dan pemberian sesuai advis dokter.

6. Pasien dialysis

Cuci darah diberikan kepada pasien yang didiagnosa oleh dokter dan berdasarkan
oleh hasil pemeriksaan dokter diperlukan untuk tindakan cuci darah atau dialisis.
Apabila pasien ditentukan oleh dokter untuk cuci darah/dialisis maka pasien tersebut
pasien akan dipersiapkan segera untuk mendapatkan tindakan selanjutnya. Prosedur
pertama kali pasien cuci darah harus membawa surat pengantar dokter, membawa hasil
pemeriksaan laboratorium. Mengetahui protokol untuk cuci darah pada pasien tersebut.
Untuk cuci darah berikutnya sesuai jadwal yang ditentukan oleh dokter.

7. Pasien dengan restrain

Definisi restraint ini berlaku untuk semua penggunaan restraint di unit dalam
rumah sakit. Pada umumnya, jika pasien dapat melepaskan suatu alat yang dengan
mudah, maka alat tersebut tidak dianggap sebagai suatu restraint. Jika suatu tindakan
memenuhi definisi restraint, hal ini tidak secara otomatis dianggap salah/tidak dapat
diterima. Penggunaan restraint secara berlebihan dapat terjadi, tetapi pengambilan
keputusan untuk mengaplikasikan restraint bukanlah suatu hal yang mudah. Suatu
diskusi yang mendalam mengenai aspek etik, hukum, praktik dan profesionalisme
dilakukan untuk membantu tenaga kesehatan (misalnya perawat) memahami
perbedaan antara penggunaan restraint yang salah/tidak dapat ditolerir dengan kondisi

8
yang memang memerlukan tindakan restraint. Tidaklah memungkinkan untuk
membuat suatu daftar mengenai jenis restraint apa saja yang dapat diterapkan kepada
pasien dikarenakan pengapliakasiannya bergantung pada kondisi pasien saat itu. Suatu
pembatasan fisik/mekanis/kimia dapat diterapkan pada suatu kondisi tertentu, tetapi
tidak pada kondisi lainnya.

8. Pasien Yang Menerima Kemoterapi


Kemoterapi diberikan kepada pasien yang di diagnosa oleh dokter dan
berdasarkan oleh hasil pemeriksaan dokter diperlukan untuk tindakan
kemoterapi. Apabila pasien ditentukan oleh dokter untuk radiasi / radioterapi
maka pasien tersebut akan dipersiapkan untuk mendapatkan tindakan
selanjutnya. Prosedur pertama kali pasien kemoterapi harus membawa surat
pengantar dokter, membawa hasil pemeriksaan : radiologi, laboratorium.
Mengetahui protokol untuk kemoterapi pada pasien tersebut. Untuk kemoterapi
berikutnya sesuai jadwal yang ditentukan oleh dokter.

9. Pasien dengan Pemakaian Produk Darah


Setiap kali akan dilakukan transfusi darah, perawat IGD atau ruangan akan
menelepon ke PMI setempat untuk mengamprah darah sesuai golongan darah
pasien. Kemudian setelah produk darah tersedia, darah tersebut akan diambil oleh
driver rumah sakit ke PMI dengan menyertakan formulir permintaan darah. Pada
saat menerima produk darah dari PMI yang dibawa oleh petugas driver, perawat mengecek
kebenaran kantong darah, meliputi jenis darah, golongan darah, nomor kantong dan tanggal
kadaluarsa serta mencocokkan dengan formulir permintaan kantong darah. Setiap kali akan
dilakukan pemberian transfusi darah, perawat wajib melakukan identifikasi atas diri pasien,
maupun produk darah yang akan diberikan dengan menanyakan identitas pasien dengan
menanyakan kepada pasien atau keluarga jika pasien tidak sadar “Bapak/Ibu namanya
siapa? Tanggal lahir? dan mencocokkan dengan dokumen rekam medis yang berisi identitas
pasien. Jika proses identifikasi sudah selesai, darah dapat segera diberikan sesuai intruksi
dokter.

9
10. Populasi pasien rentan, lansia, anak-anak, dan pasien beresiko tindak kekerasan atau
ditelantarkan

Pada usia lanjut gejala klinik gangguan jiwa seringkali berbeda dengan penderita usia
lebih muda. Perubahan yang terjadi pada lanjut usia sejalan dengan periode penuaan
menunjukkan adanya kelainan patologi yang multiple merupakan suatu tantangan dalam
menilai gejala klinik, pemberian pengobatan dan rehabilitasi. Menua sehat seringkali
digunakan sebagai sinonim dari bebas dari ketidakmampuan pada lanjut usia. Jadi menua
sehat harus diikuti dengan lanjut usia yang aktif, senantiasa berperan serta pada aktifitas
sosial, budaya, spiritual, ekonomi dan peristiwa di masyarakat. Psikogeriatri adalah cabang
ilmu kedokteran yang memperhatikan pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan
psikologis atau psikiatrik pada lanjut usia. Saat ini disiplin ini sudah berkembang menjadi
suatu cabang psikiatrik, analog dengan psikiatrik anak (Brocklehurts, Allen, 1987).
Diagnosis dan terapi gangguan mental pada lanjut usia memerlukanpengetahuan khusus,
karena kemungkinan perbedaan dalam manifestasi klinis, patogenesis dewasa muda dan
lanjut usia (Weinberg,1995: Kold-Brodie,1982). Faktor penyulit pada pasien lanjut usia
juga perlu dipertimbangkan, antara lain sering adanya penyakit dan kecacatan medis kronis
penyerta, pemakaian banyak obat (polifarmasi) dan peningkatan kerentanan terhadap
gangguan kognitif (Weinberg, 1995; Gunadi, 1984). Oleh karena itu pasien lansia dan cacat
merupakan salah satu pasien yang beresiko tinggi yang perlu mendapat perhatian khusus.

1. Tata laksana perlindungan terhadap pasien usia lanjut dan gangguan kesadaran:

a. Pasien Rawat Jalan

1) Pendampingan oleh petugas penerimaan pasien dan mengantarkan sampai


tempat periksa yang dituju dengan memakai alat bantu bila diperlukan

2) Perawat poli umum, spesialis dan gigi wajib mendampingi pasien untuk
dilakukan pemeriksaan sampai selesai.
b. Pasien Rawat Inap

1) Penempatan pasien di kamar rawat inap sedekat mungkin dengan kamar


perawat

2) Perawat memastikan dan memasang pengaman tempat tidur

3) Perawat memastikan bel pasien mudah dijangkau oleh pasien dan dapat
digunakan

10
4) Meminta keluarga untuk menjaga pasien baik oleh keluarga atau pihak yang
ditunjuk dan dipercaya.
2. Tata laksana perlindungan terhadap penderita cacat
a. Petugas penerima pasien melakukan proses penerimaan pasien penderita cacat baik
rawat jalan maupun rawat inap dan wajib membantu serta menolong sesuai dengan
kecacatan yang disandang sampai proses selesai dilakukan.
b. Bila diperlukan, perawat meminta pihak keluarga untuk menjaga pasien atau pihak
lain yang ditunjuk sesuai dengan kecacatan yang disandang.
c. Memastikan bel pasien mudah dijangkau oleh pasien dan memastikan pasien dapat
menggunakan bel tersebut.
d. Perawat memasang dan memastikan pengaman tempat tidur pasien.
3. Tata laksana perlindungan terhadap anak-anak
a. Ruang perinatologi harus dijaga minimal satu orang perawat atau bidan, ruangan
tidak boleh ditinggalkan tanpa ada perawat atau bidan yang menjaga.
b. Perawat meminta surat pernyataan secara tertulis kepada orang tua apabila akan
dilakukan tindakan yang memerlukan pemaksaan.
c. Perawat memasang pengamanan tempat tidur pasien.
d. Pemasangan CCTV di ruang perinatologi hanya kepada ibu kandung bayi bukan
kepada keluarga yang lain.
4. Tata laksana perlindungan terhadap pasien yang beresiko disakiti (resiko penyiksaan,
napi,korban dan tersangka tindak pidana, korban kekerasan dalam rumah tangga)
a. Pasien ditempatkan di kamar perawatan sedekat mungkin dengan kantor perawat.
b. Pengunjung maupun penjaga pasien wajib lapor dan mencatat identitas di kantor
perawat, berikut dengan penjaga maupun pengunjung pasien lain yang satu kamar
perawatan dengan pasien beresiko.
c. Perawat berkoordinasi dengan satuan pengamanan untuk memantau lokasi
perawatan pasien, penjaga maupun pengunjung pasien.
d. Koordinasi dengan pihak berwajib bila diperlukan

11
11. Pelayanan Pasien dengan Resiko Tambahan
Resiko tambahan yang dimaksud merupakan hasil dari tindakan atau rencana asuhan
seperti kebutuhan mencegah thrombosis vena dalam, luka dekubitus, infeksi terkait
penggunaan ventilator pada pasien, infeksi pada pembuluh darah pada pasien hemodialisa,
infeksi saluran atau selang sentral, dan pasien jatuh. Tata laksana yang harus dilakukan
adalah petugas melakukan pengawasan ketat pada pasien, melakukan tata laksana sesuai
dengan keluhan, melakukan monitoring dan evaluasi pelayanan sebagai berikut.
a. Thrombosis Vena Dalam
Deep vena thrombosis (DVT) juga biasa disebut trombo emboli vena adalah
terbentuknya satu atau lebih bekuan darah pada vena dalam pada tubuh. DVT dapat
menyebabkan terjadinya emboli pulmonal (Pulmonary embolism/PE), dimana bekuan
darah terlepas atau terbawa dalam sistem sirkulasi darah menuju paru-paru sehingga
menyumbat suplai darah paru dan menyebabkan nekrosis jaringan paru.
Peran Perawat sangat diperlukan dalam upaya pencegahan terjadinya stasis vena dan
koagulasi untuk mencegah terjadinya DVT, meliputi;
1) Monitor dan observasi dalam tindakan kolaborasi; Pemberian terapi
antikoagulan (warfarin, Low Molecular Weight Heparin/LMWH)
2) Intervensi non-drug; Pada umumnya dilakukan pada pasien pembedahan
dengan; mobilisasi dini post operasi, latihan Range Of Motion (ROM),
penggunaan stoking elastik kompresi, dan penggunaan kompresi mekanik
devices yang mencegah stasis vena dengan posisi plantar fleksi dan ekstensi
kaki.

b. Dekubitus

Dekubitus adalah kerusakan jaringan yang terlokalisir yang disebabkan karena


adanya kompresi jaringan yang lunak diatas tulang yang menonjol (bony prominence)
dan adanya tekanan dari luar dalam jangka waktu yang lama. Kompresi jaringan akan
menyebabkan gangguan suplai darah pada daerah yang tertekan. Apabila berlangsung
lama, hal ini akan menyebabkan insufisiensi aliran darah, anoksia atau iskemia jaringan
dan akhirnya dapat menyebabkan kematian sel. Walaupun semua bagian tubuh bisa
mengalami dekubitus, bagian bawah dari tubuhlah yang terutama beresiko tinggi dan
membutuhkan perhatian khusus.

Peran Perawat sangat diperlukan dalam upaya pencegahan terjadinya dekubitus adalah,
meliputi

12
1) Mengurangi/meratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah pasien,
yaitu : Alih posisi/alih baring/tidur selang seling, paling lama tiap dua jam.
Kelemahan pada cara ini adalah ketergantungan pada tenaga perawat yang
kadang-kadang sudah sangat kurang, dan kadang-kadang mengganggu istirahat
penderita bahkan menyakitkan.

2) Kasur khusus untuk lebih membagi rata tekan yang terjadi pada tubuh pasien,
misalnya; kasur dengan gelembung tekan udara yang naik turun, kasur air yang
temperatur airnya dapat diatur (keterbatasan alat canggih ini adalah harganya
mahal, perawatannya sendiri harus baik dan dapat rusak).

3) Pemeriksaan dan perawatan kulit dilakukan dua kali sehari (pagi dan sore), dan
dapat lebih sering diperiksa pada daerah yang potensial terjadi ulkus dekubitus.

4) Perawatan kulit termasuk pembersihan dengan memandikan setiap hari. Sesudah


mandi keringkan dengan baik lalu digosok dengan lotion yang mengandung
emolien, terutama dibagian kulit yang ada pada tonjolan-tonjolan tulang.
Sebaiknya diberikan massase untuk melancarkan sirkulasi darah, semua
ekskreta/sekreta harus dibersihkan dengan hati-hati agar tidak menyebabkan
lecet pada kulit penderita. Menjaga kulit tetap bersih dari keringat, urin dan
feces. Kulit yang kemerahan dan daerah di atas tulang yang menonjol
seharusnya tidak dipijat karena pijatan yang keras dapat mengganggu perfusi ke
jaringan.

c. Infeksi Terkait Penggunaan Ventilator (Ventilator-associated pneumonia)

Ventilator-associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang terjadi lebih dari


48 jam setelah pemasangan intubasi endotrakeal. Ventilator-associated pneumonia
(VAP) terjadi dari mikroorganisme yang masuk saluran pernapasan bagian bawah
melalui aspirasi sekret orofaring yang berasal dari bakteri endemik di saluran
pencernaan atau patogen eksogen yang diperoleh dari peralatan yang terkontaminasi
atau petugas kesehatan. Pneumonia terjadi apabila mikroba masuk ke saluran nafas
pernapasan bagian bawah. Ada empat cara masuknya mikroba tersebut ke dalam saluran
nafas bagian bawah yaitu:aspirasi, inhalasi secara langsung, penyebaran hematogen dan
penyebaran langsung.

1) Melakukan 6 langkah mencuci tangan

Melakukan cuci tangan merupakan langkah awal dan wajib dilakukan


13
oleh seluruh tenaga kesehatan untuk mencegah terjadinya penularan atau
penyebaran penyakit. Praktik hand hygiene dengan tepat terbukti mampu
mengurangi infeksi terkait perawatan kesehatan. Mencuci tangan dilakukan
setelah kontak dengan pasien, lingkungan sekitar pasien, cairan pasien, serta
sebelum dan setelah prosedur invasif.

2) Memposisikan tempat tidur 30°-45° bila tidak ada kontra indikasi

Intubasi endotrakeal yang membuat mulut tetap terbuka dapat


mengakibatkan kekeringan pada mulut sehingga timbul bakteri gram negatif
(plak bakteri) untuk berkoloni di dalam mulut dan faring yang berpengaruh pada
predisposisi pasien ICU terhadap pneumonia (Haghighi et al, 2017). Untuk
mencegah terjadinya kolonisasi orofaring dan kolonisasi lambung maka
diperlukan rindakan pencegahan diantaranya Head elevation of bed dengan
tujuan mengurangi terjadinya aspirasi aerodigesif (oroparingeal dan
gastrointestinal), meningkatkan volume dan ventilasi paru pasien, serta
memberikan keamanan pada saat pemberian makan melalui NGT. Dalam sebuah
penelitian Bakhtiari et al (2015) mengatakan kejadian VAP berkurang secara
signifikan pada kelompok intervensi mengangkat kepala tempat tidur sekitar
45°, drainase skresi subglot, oral hygine menggunakan chlorhexidine 2%. Sesuai
dengan hasil penelitian Najafi et al (2016) mengatakan kejadian VAP secara
signifakan lebih rendah dengan pasien yang diberi intervensi mengangkat bagian
kepala tempat tidur 45° dari pada 30°. Berdasarkan 19 studi yang ditinjau,
kejadian VAP, biaya rumah sakit, tingkat kematian, dan durasi penggunaan
ventilator mekanik pada pasien yang tempat tidurnya cenderung pada 45°atau
30-45° secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang
berbaring dalam posisi terlentang (Najafi Ghezeljeh, T & Kalhor, L. 2016)

3) Menjaga kebersihan mulut atau oral hygiene dan melakukan gosok gigi setiap 12
jam

Perawatan Oral hygiene merupakan tindakan yang tepat dilakukan untuk


mencegah kejadian VAP. Oral hygiene merupakan tindakan mandiri
keperawatan yang memiliki dampak besar dalam keberhasilan pencegahan VAP
pada pasien dengan ventilator mekanik. Pada pasien di ICU, plak gigi terbentuk
lebih cepat dari pada pasien lain (Kaya et al, 2017). Hasil beberapa penelitian
telah mengungkapkan bahwa bakteri yang ada dalam plak gigi adalah penyebab
14
pneumonia terkait venilator (VAP) (Hillier et al, 2013). Bathia et al (2015)
mengatakan tingkat pneumonia terkait ventilator (VAP) berkurang hingga 50%
dan angka kematian berkurang dari 20% menjadi 13,9% dengan mengikuti
pedoman perawatan mulut.

4) Manajemen sekresi oroparingeal dan tracheal/suction

Pengisapan sekret endotrakheal merupakan salah satu prosedur yang


paling umum dilakukan pada pasien dengan ETT. Terpasangnya ETT dapat
menjadi jalan masuk bakteri secara langsung menuju saluran nafas bagian
bawah. Selain itu reflek batuk berkurang karena adanya pemasangan ETT, dan
gangguan pada pertahanan silia mukosa saluran nafas karena adanya cidera pada
mukosa pada saat intubasi sehingga akan menjadi tempat bakteri untuk
berkolonisasi pada trakea dan akan mengakibatkan peningkatan produksi sekret.
Adanya ETT akan mencegah mukosiliar dalam pembersihan sekret kemudian
sekret menumpuk diatas manset ETT dan akhirnya dapat menyebabkan
microaspiration dan pneumonia.

5) Pengkajian sedasi dan ekstubasi

Karena intubasi dan ventilator mekanik membuat pasien rentan terhadap


kejadian VAP, mengurangi durasi penggunaan ventilator mekanik dapat
mengurangi resiko terjadinya VAP. Terdapat dua strategi yang dapat digunakan
untuk mengurangi durasi penggunaan ventilator mekanik yaitu interupsi sedasi
harian (DSI) dan uji pernapasan spontan harian (SBT). Daily Sedation
Interruption (DSI) merupakan komponen utama untuk mencegah penyebaran
VAP diantara pasien yang menggunakan ventilasi mekanik. DSI dapat
mempercepat ekstubasi dan mencegah kebocoran sekresi, mengurangi kejadian
VAP dan juga mengurangi durasi penggunaan ventilator mekanik.

d. Infeksi Pada Pembuluh Darah Pada Pasien Hemodialisa

Arteriovenous Shunt (AV Shunt) atau disebut juga cimino merupakan tindakan
operasi menyambungkan (anastomosis) arteri dan vena pada lengan dengan tujuan
menjadikan sambungan tersebut sebagai akses hemodialisis. AV Shunt adalah gold
standart dalam membuat akses vascular untuk hemodialisis pada pasien penyakit ginjal
kronik. Hal ini dibuat untuk meningkatkan efektivitas fungsi dialisis dan mengurangi
risiko serta komplikasi yang dapat terjadi pada akses vaskuler lainnya.

15
Perawatan harian AV Shunt

1) Kurangi risiko infeksi dengan mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan

sesudah menyentuh AV Shunt

2) Jaga kulit di sekitar AV Shunt bersih dengan segera mencucinya dengan sabun

antibakteri, terutama sebelum dialisis. Bersihkan fistula dengan cara mencuci dan
menepuknya dengan lembut

3) Setelah luka sayatan sembuh, perkuat lengan dengan latihan sesuai dengan

instruksi dokter. Contoh : Latihan meremas bola karet

4) Periksa denyut nadi/desiran (getaran/thrill) di AV Shunt 3 kali sehari (pagi, siang

dan malam) dengan cara mendengarkan dan Apabila ada perubahan suara dan
perubahan aliran darah diatas AV Shunt harus segera dilaporkan ke dokter yang
menangani

5) Gunakan akses AV Shunt hanya untuk dialysis

6) Pastikan tidak ada kemerahan atau bengkak di sekitar area AV Shunt

7) Hindari luka pada lengan dan jaga tetap aman

8) Pastikan nutrisi yang tepat dan bergizi agar kesehatan tetap optimal

e. Infeksi Saluran atau Selang Sentral / (CVC)

Kateter vena sentral (central venous catheter/CVC) adalah sebuah alat yang
dimasukkan ke dalam pembuluh darah besar dan dapat digunakan dalam pemberian
obat-obatan, cairan dan nutrisi parenteral yang tidak dapat diberikan secara aman
melalui jalur perifer serta sebagai cara untuk pemantauan hemodinamik.

Salah satu komplikasi tersering akibat pemasangan CVC adalah infeksi aliran
darah, yang dikenal sebagai Central Line Associated Bloodstream Infection (CLABSI)
dan merupakan salah satu sumber infeksi terbesar dari rumah sakit (Hospital Acquired
Infection) di ruang rawat intensif setelah ventilator asscociated pneumonia (VAP).
Kolonisasi kuman patogen pada CVC merupakan syarat terjadinya infeksi aliran darah.
Kolonisasi kuman tersebut membentuk lapisan biofilm, yang memegang peranan
penting dalam terjadinya infeksi aliran darah. Kuman patogen tersering penyebab
CLABSI adalah coagulase-negative Staphylococci, Staphylococcus aureus,
Enterococcus, dan Candida spp. Hal ini terjadi akibat kontaminasi melalui jalur

16
ekstraluminal (flora normal pada kulit di tempat penusukan) dan jalur intraluminal
(melalui kateter hub CVC, cairan infus yang tidak steril, serta dari tenaga medis pada
saat proses pemasangan dan perawatan selama CVC terpasang. Faktor-faktor risiko
terjadinya CLABSI pada anak sakit kritis berhubungan dengan jenis CVC, jumlah
lumen CVC, jenis dressing, lokasi insersi vena, lama pemakaian CVC, serta pemberian
nutrisi parenteral dan produk darah.

Central Line Bundle ini merupakan suatu rangkaian langkah pencegahan yang
telah terbukti efektif dan signifikan dalam menurunkan terjadinya CLABSI, yang terdiri
dari langkah pencegahan sebelum insersi CVC dan pemeliharaan saat CVC terpasang.
Langkah pencegahan saat proses insersi CVC, terdiri dari :12

1) Tindakan cuci tangan yang efektif

2) Memaksimalkan alat perlidungan diri

3) Penggunaan antiseptik kulit dengan chlohexidine 2%

4) Menghidari insersi pada daerah femoral

5) Melakukan penilaian harian (daily assesment).

Sedangkan langkah-langkah pencegahan pada pemeliharaan CVC terdiri dari

1) Penggunaan dressing trasparan berbasis klorhexidin

2) Desinfeksi hub kateter vena sentral dengan larutan antiseptik klorhexidine


alkoholi atau povidon iodine selama 15 detik

3) Penggunaan larutan “flushing” untuk mempertahankan patensi kateter

4) Penggantian set administrasi tidak lebih dari 96 jam setelah pemberian prroduk
darah dan lipid, penggunaan antikoagulan

5) Sistem akses kateter tertutup (closed cathteter access system)

6) CVC yang mengandung antimikroba, dan penggunaan antimicrobial lock

f. Resiko Jatuh

Cara pencegahan resiko jatuh pada pasien resiko tinggi

1) Pastikan lingkungan atau lantai tidak licin

2) Pastikan pengaman tempat tidur terpasang dengan baik

17
3) Pastikan rem roda tempat tidur terkunci

4) Singkirkan arang berbahaya seperti barang pecah belah

5) Lampu menyala terang pada saat malam / gelap

6) Pasang gelang penanda resiko jatuh

7) Pastikan brankard atau kursi roda terkunci saat stasioner

8) Keselamatan pasien menjadi tanggung jawab kita bersama

18
BAB VI
KESELAMATAN KERJA

A. Peralatan di instalasi harus selalu dilakukan pemeliharaan dan kaliberasi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, untuk menjamin semua peralatan tetap dalam kondisi yang baik.
B. Perbaikan peralatan dilaksanakan dengan memperhatikan kontinuitas pelayanan RS
terutama pada pelayanan yang menyangkut emergency dan bantuan hidup.
C. Dalam melaksanakan tugasnya setiap petugas wajib mematuhi ketentuan dalam K3
(Keselamatan dan Kesehatan Kerja)
D. Penggunaan APD lengkap saat melakukan asuhan pelayanan pasien.

19
BAB VII
PENUTUP

Seluruh informasi yang diberikan/dijelaskan kepada pasien maupun keluarga,


seluruh tindakan yang dilakukan kepada pasien, seluruh persetujuan maupun
penolakan terhadap tindakan atau prosedur yang akan diberikan ke pasien tercatat
dalam status rekam medis pasien dan tersimpan sebagai berkas rekam medis
pasien. Hal tersebut merupakan bukti telah memberikan pelayanan catatan
perkembangan pasien secara terintegrasi, dan berkas tersebut akan menjadi bukti
legal jika terjadi kasus hukum. Pencatatan tersebut dapat dilakukan pada form
catatan perkembangan pasien terintegrasi dan formulir observasi pasien. Semua
catatan tersebut akan menjadi bukti semua asuhan pelayanan yang telah diberikan
para pemberi pelayanan asuhan kepada pasien di RSU Grha Bhakti Medika. Di
kemudian hari jika hal-hal tersebut dibutuhkan oleh hukum maka hasil dokumentasi di
berkas rekam medis tersebut dapat menjadi bukti hukum untuk semua asuhan
pelayanan yang telah diberikan kepada pasien selama dirawat di RSU Grha Bhakti
Medika.

Ditetapkan di : Klungkung
Pada Tanggal : 30 Oktober 2021
Direktur RSU Grha Bhakti Medika

dr. Agus Donny Susanto, MARS


NIK. 002/D/RSUGBM/2020

20

Anda mungkin juga menyukai