2021
1
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 TUJUAN
1
BAB II
RUANG LINGKUP
a. Pasien emergensi
b. Pasien koma
c. Pasien dengan alat bantuan hidup
d. Pasien risiko bunuh diri
e. Pelayanan pada pasien dengan penyakit menular dan mereka yang daya tahannya
menurun (Immuno-supresed)
f. Pelayanan pada pasien yang mendapatkan pelayanan dialisis
g. Pelayanan pada pasien yang direstrain
h. Pelayanan pada pasien yang menerima kemoterapi
i. Pasien dengan pemakaian produk darah
j. Pelayanan pada pasien lansia (geriatri), anak-anak, dan pasien beresiko tindak
kekerasan atau ditelantarkan (mis. Gangguan jiwa)
2
BAB III
LANDASAN HUKUM
3
BAB IV
KEBUTUHAN TENAGA/KEANGGOTAAN
4
BAB V
TATALAKSANA PELAYANAN
Seluruh staf RS harus bekerja sesuai dengan standar profesi, pedoman/panduan dan
standar prosedur opersional yang berlaku, serta sesuai dengan etika profesi, etika RS dan
etiket RS yang berlaku, berorientasi pada mutu dan keselamatan pasien.
Seluruh staf melaksanakan pekerjaannya wajib selalu sesuai dengan ketentuan Kesehatan
dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3), termasuk dalam penggunaan alat pelindung diri
(APD).
Berikut adalah kategori pasien yang termasuk kedalam resiko tinggi di Rumah Sakit
Umum Grha Bhakti Medika.
Pasien datang pertama kali akan dimasukkan ke dalam ruangan triage terlebih dahulu,
yang bertujuan untuk memilah pasien berdasar beratnya cedera atau penyakit (berdasarkan
yang paling mungkin akan mengalami perburukan klinis segera) untuk menentukan prioritas
perawatan gawat darurat medik serta prioritas transportasi (berdasarkan ketersediaan sarana
untuk tindakan). Sembari pasien diperiksa oleh dokter IGD, keluarga pasien mendaftarkan
pasien ke bagian informasi dan pendaftaran.
Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu : pengkajian primer
dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih
dahulu melakukan survey primer untuk mengidentifikasi masalah- masalah yang mengancam
hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survey sekunder. Tahapan pengkajian primer
meliputi :
A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai control
servikal;
B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar
oksigenasi adekual;
C: Circulation; mengecek system sirkulasi disertai control pendarahan;
D: Disability, mengecek status neurologis;
E: Exposure, environmel control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia.
5
Pengkajian primer bertujuan mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam nyawa
pasien. Pengkajian primer dilakukan secara sekuensial sesuai dengan prioritas. Tetapi dalam
prakteknya dilakukan secara bersamaan dalam tempo waktu yang singkat (kurang dari 10
detik) difokuskan pada Airway Breathing Circulation (ABC). Karena kondisi kekurangan
oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan karena
masalah sistem pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang
lain. Oleh karena itu pengkajian primer pada penderita gawat darurat penting dilakukan secara
efektif dan efisien. Setelah melengkapi survei primer dan setelah memulai fase resusitasi,
kemudian lakukan survey sekunder untuk mengenali semua cedera dengan memeriksa dari
kepala hingga jari kaki. Menilai lagi tanda vital, lakukan survei primer ulangan secara
cepat untuk menilai respons atas resusitasi dan untuk mengetahui perburukan.
2. Pasien koma
Pasien stupor atau koma beresiko tinggi untuk terjadinya aspirasi, yang disebabkan
karena hilangnya refleks batuk dan muntah. Hipoksi, endotracheal tube (ETT) dengan
intubasi merupakan cara yang paling efektif untuk menjaga jalan nafas baik dan oksigensasi
yang adekuat. Bila pasien dalam keadaan koma yang dalam atau adanya tanda gangguan
respirasi lebih baik dilakukan intubasi. Pada pasien stupor dengan pernafasan yang normal
dapat kita berikan 100% oksigen dengan face mask sampai hipoksemia tidak kita temukan.
Pasien koma diobservasi di ruang Intensive Care Unit (ICU)
Pasien dengan alat bantuan hidup dasar diobservasi di ruang Intensive Care Unit
(ICU). Bila kondisi memburuk dapat dirujuk ke fasilitas yang lebih lengkap atas persetujuan
DPJP. Alat bantuan hidup dasar adalah alat yang dapat mempertahankan fusngi jantung dan
paru agar pasien tetap hidup, salah satu contohnya adalah ventilator. Ada beberapa hal yang
menjadikan tujuan dan manfaat penggunaan ventilasi mekanik ini dan juga beberapa kriteria
pasien yang perlu untuk segera dipasang ventilator yaitu.
a. Mengurangi kerja pernapasan.
b. Meningkatkan tingkat kenyamanan pasien.
c. Pemberian MV yang akurat.
d. Mengatasi ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi.
e. Menjamin hantaran O2 ke jaringan adekuat
6
4. Pasien dengan risiko bunuh diri
Pasien dengan resiko bunuh diri harus dicegah dan diawasi dengan ketat. Pencegahan
bunuh diri meliputi pencegahan primer, sekunder dan tersier:
a. Pencegahan primer adalah tindakan mencegah sebelum orang mempunyai niat
melakukan tindakan bunuh diri dengan memperhatikan faktor-faktor risikonya dan
pengawasan secara ketat oleh petugas jaga.
b. Pencegahan sekunder adalah deteksi dini dan terapi yang tepat pada orang yang telah
melakukan percobaan bunuh diri.
c. Pencegahan tersier adalah tindakan untuk mencegah berulangnya percobaan bunuh
diri.
Bila diperlukan konsultasi dengan psikolog atas persetujuan DPJP
7
1) Penyakit sistemik: Diabetes mellitus, Alkoholisme kronis, Gagal ginjal atau
hati, Gangguan autoimun seperti lupus eritematosus sistemik atau rheumatoid
arthritis
2) Pengobatan imunosupresi: Kortikosteroid, Imunoglobulin poliklonal seperti
globulin antilymphocyte, dan imunoglobulin monoclonal,seperti daclizumab
(imunitas seluler sasaran baik imunoglobulin monoklonal dan poliklonal
sendiri oleh depleting limfosit).
Dampak dari Obat imunosupresif dapat beresiko tinggi meningkatkan risiko
infeksi oleh bakteri, virus, dan jamur. Kelas obat imunosupresif yang baru, siklosporin,
dapat memberikan efek samping berupa keracunan pada sel saraf, keracunan pada
ginjal, keracunan pada hati, dan hiperkalemia. Untuk mengamati dampak-dampak yang
ditimbulkan agar dapat dievaluasi lebih lanjut, pemakaian obat dan terapi
imunosupresif harus terus diawasi dan pemberian sesuai advis dokter.
6. Pasien dialysis
Cuci darah diberikan kepada pasien yang didiagnosa oleh dokter dan berdasarkan
oleh hasil pemeriksaan dokter diperlukan untuk tindakan cuci darah atau dialisis.
Apabila pasien ditentukan oleh dokter untuk cuci darah/dialisis maka pasien tersebut
pasien akan dipersiapkan segera untuk mendapatkan tindakan selanjutnya. Prosedur
pertama kali pasien cuci darah harus membawa surat pengantar dokter, membawa hasil
pemeriksaan laboratorium. Mengetahui protokol untuk cuci darah pada pasien tersebut.
Untuk cuci darah berikutnya sesuai jadwal yang ditentukan oleh dokter.
Definisi restraint ini berlaku untuk semua penggunaan restraint di unit dalam
rumah sakit. Pada umumnya, jika pasien dapat melepaskan suatu alat yang dengan
mudah, maka alat tersebut tidak dianggap sebagai suatu restraint. Jika suatu tindakan
memenuhi definisi restraint, hal ini tidak secara otomatis dianggap salah/tidak dapat
diterima. Penggunaan restraint secara berlebihan dapat terjadi, tetapi pengambilan
keputusan untuk mengaplikasikan restraint bukanlah suatu hal yang mudah. Suatu
diskusi yang mendalam mengenai aspek etik, hukum, praktik dan profesionalisme
dilakukan untuk membantu tenaga kesehatan (misalnya perawat) memahami
perbedaan antara penggunaan restraint yang salah/tidak dapat ditolerir dengan kondisi
8
yang memang memerlukan tindakan restraint. Tidaklah memungkinkan untuk
membuat suatu daftar mengenai jenis restraint apa saja yang dapat diterapkan kepada
pasien dikarenakan pengapliakasiannya bergantung pada kondisi pasien saat itu. Suatu
pembatasan fisik/mekanis/kimia dapat diterapkan pada suatu kondisi tertentu, tetapi
tidak pada kondisi lainnya.
9
10. Populasi pasien rentan, lansia, anak-anak, dan pasien beresiko tindak kekerasan atau
ditelantarkan
Pada usia lanjut gejala klinik gangguan jiwa seringkali berbeda dengan penderita usia
lebih muda. Perubahan yang terjadi pada lanjut usia sejalan dengan periode penuaan
menunjukkan adanya kelainan patologi yang multiple merupakan suatu tantangan dalam
menilai gejala klinik, pemberian pengobatan dan rehabilitasi. Menua sehat seringkali
digunakan sebagai sinonim dari bebas dari ketidakmampuan pada lanjut usia. Jadi menua
sehat harus diikuti dengan lanjut usia yang aktif, senantiasa berperan serta pada aktifitas
sosial, budaya, spiritual, ekonomi dan peristiwa di masyarakat. Psikogeriatri adalah cabang
ilmu kedokteran yang memperhatikan pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan
psikologis atau psikiatrik pada lanjut usia. Saat ini disiplin ini sudah berkembang menjadi
suatu cabang psikiatrik, analog dengan psikiatrik anak (Brocklehurts, Allen, 1987).
Diagnosis dan terapi gangguan mental pada lanjut usia memerlukanpengetahuan khusus,
karena kemungkinan perbedaan dalam manifestasi klinis, patogenesis dewasa muda dan
lanjut usia (Weinberg,1995: Kold-Brodie,1982). Faktor penyulit pada pasien lanjut usia
juga perlu dipertimbangkan, antara lain sering adanya penyakit dan kecacatan medis kronis
penyerta, pemakaian banyak obat (polifarmasi) dan peningkatan kerentanan terhadap
gangguan kognitif (Weinberg, 1995; Gunadi, 1984). Oleh karena itu pasien lansia dan cacat
merupakan salah satu pasien yang beresiko tinggi yang perlu mendapat perhatian khusus.
1. Tata laksana perlindungan terhadap pasien usia lanjut dan gangguan kesadaran:
2) Perawat poli umum, spesialis dan gigi wajib mendampingi pasien untuk
dilakukan pemeriksaan sampai selesai.
b. Pasien Rawat Inap
3) Perawat memastikan bel pasien mudah dijangkau oleh pasien dan dapat
digunakan
10
4) Meminta keluarga untuk menjaga pasien baik oleh keluarga atau pihak yang
ditunjuk dan dipercaya.
2. Tata laksana perlindungan terhadap penderita cacat
a. Petugas penerima pasien melakukan proses penerimaan pasien penderita cacat baik
rawat jalan maupun rawat inap dan wajib membantu serta menolong sesuai dengan
kecacatan yang disandang sampai proses selesai dilakukan.
b. Bila diperlukan, perawat meminta pihak keluarga untuk menjaga pasien atau pihak
lain yang ditunjuk sesuai dengan kecacatan yang disandang.
c. Memastikan bel pasien mudah dijangkau oleh pasien dan memastikan pasien dapat
menggunakan bel tersebut.
d. Perawat memasang dan memastikan pengaman tempat tidur pasien.
3. Tata laksana perlindungan terhadap anak-anak
a. Ruang perinatologi harus dijaga minimal satu orang perawat atau bidan, ruangan
tidak boleh ditinggalkan tanpa ada perawat atau bidan yang menjaga.
b. Perawat meminta surat pernyataan secara tertulis kepada orang tua apabila akan
dilakukan tindakan yang memerlukan pemaksaan.
c. Perawat memasang pengamanan tempat tidur pasien.
d. Pemasangan CCTV di ruang perinatologi hanya kepada ibu kandung bayi bukan
kepada keluarga yang lain.
4. Tata laksana perlindungan terhadap pasien yang beresiko disakiti (resiko penyiksaan,
napi,korban dan tersangka tindak pidana, korban kekerasan dalam rumah tangga)
a. Pasien ditempatkan di kamar perawatan sedekat mungkin dengan kantor perawat.
b. Pengunjung maupun penjaga pasien wajib lapor dan mencatat identitas di kantor
perawat, berikut dengan penjaga maupun pengunjung pasien lain yang satu kamar
perawatan dengan pasien beresiko.
c. Perawat berkoordinasi dengan satuan pengamanan untuk memantau lokasi
perawatan pasien, penjaga maupun pengunjung pasien.
d. Koordinasi dengan pihak berwajib bila diperlukan
11
11. Pelayanan Pasien dengan Resiko Tambahan
Resiko tambahan yang dimaksud merupakan hasil dari tindakan atau rencana asuhan
seperti kebutuhan mencegah thrombosis vena dalam, luka dekubitus, infeksi terkait
penggunaan ventilator pada pasien, infeksi pada pembuluh darah pada pasien hemodialisa,
infeksi saluran atau selang sentral, dan pasien jatuh. Tata laksana yang harus dilakukan
adalah petugas melakukan pengawasan ketat pada pasien, melakukan tata laksana sesuai
dengan keluhan, melakukan monitoring dan evaluasi pelayanan sebagai berikut.
a. Thrombosis Vena Dalam
Deep vena thrombosis (DVT) juga biasa disebut trombo emboli vena adalah
terbentuknya satu atau lebih bekuan darah pada vena dalam pada tubuh. DVT dapat
menyebabkan terjadinya emboli pulmonal (Pulmonary embolism/PE), dimana bekuan
darah terlepas atau terbawa dalam sistem sirkulasi darah menuju paru-paru sehingga
menyumbat suplai darah paru dan menyebabkan nekrosis jaringan paru.
Peran Perawat sangat diperlukan dalam upaya pencegahan terjadinya stasis vena dan
koagulasi untuk mencegah terjadinya DVT, meliputi;
1) Monitor dan observasi dalam tindakan kolaborasi; Pemberian terapi
antikoagulan (warfarin, Low Molecular Weight Heparin/LMWH)
2) Intervensi non-drug; Pada umumnya dilakukan pada pasien pembedahan
dengan; mobilisasi dini post operasi, latihan Range Of Motion (ROM),
penggunaan stoking elastik kompresi, dan penggunaan kompresi mekanik
devices yang mencegah stasis vena dengan posisi plantar fleksi dan ekstensi
kaki.
b. Dekubitus
Peran Perawat sangat diperlukan dalam upaya pencegahan terjadinya dekubitus adalah,
meliputi
12
1) Mengurangi/meratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah pasien,
yaitu : Alih posisi/alih baring/tidur selang seling, paling lama tiap dua jam.
Kelemahan pada cara ini adalah ketergantungan pada tenaga perawat yang
kadang-kadang sudah sangat kurang, dan kadang-kadang mengganggu istirahat
penderita bahkan menyakitkan.
2) Kasur khusus untuk lebih membagi rata tekan yang terjadi pada tubuh pasien,
misalnya; kasur dengan gelembung tekan udara yang naik turun, kasur air yang
temperatur airnya dapat diatur (keterbatasan alat canggih ini adalah harganya
mahal, perawatannya sendiri harus baik dan dapat rusak).
3) Pemeriksaan dan perawatan kulit dilakukan dua kali sehari (pagi dan sore), dan
dapat lebih sering diperiksa pada daerah yang potensial terjadi ulkus dekubitus.
3) Menjaga kebersihan mulut atau oral hygiene dan melakukan gosok gigi setiap 12
jam
Arteriovenous Shunt (AV Shunt) atau disebut juga cimino merupakan tindakan
operasi menyambungkan (anastomosis) arteri dan vena pada lengan dengan tujuan
menjadikan sambungan tersebut sebagai akses hemodialisis. AV Shunt adalah gold
standart dalam membuat akses vascular untuk hemodialisis pada pasien penyakit ginjal
kronik. Hal ini dibuat untuk meningkatkan efektivitas fungsi dialisis dan mengurangi
risiko serta komplikasi yang dapat terjadi pada akses vaskuler lainnya.
15
Perawatan harian AV Shunt
1) Kurangi risiko infeksi dengan mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan
2) Jaga kulit di sekitar AV Shunt bersih dengan segera mencucinya dengan sabun
antibakteri, terutama sebelum dialisis. Bersihkan fistula dengan cara mencuci dan
menepuknya dengan lembut
3) Setelah luka sayatan sembuh, perkuat lengan dengan latihan sesuai dengan
dan malam) dengan cara mendengarkan dan Apabila ada perubahan suara dan
perubahan aliran darah diatas AV Shunt harus segera dilaporkan ke dokter yang
menangani
8) Pastikan nutrisi yang tepat dan bergizi agar kesehatan tetap optimal
Kateter vena sentral (central venous catheter/CVC) adalah sebuah alat yang
dimasukkan ke dalam pembuluh darah besar dan dapat digunakan dalam pemberian
obat-obatan, cairan dan nutrisi parenteral yang tidak dapat diberikan secara aman
melalui jalur perifer serta sebagai cara untuk pemantauan hemodinamik.
Salah satu komplikasi tersering akibat pemasangan CVC adalah infeksi aliran
darah, yang dikenal sebagai Central Line Associated Bloodstream Infection (CLABSI)
dan merupakan salah satu sumber infeksi terbesar dari rumah sakit (Hospital Acquired
Infection) di ruang rawat intensif setelah ventilator asscociated pneumonia (VAP).
Kolonisasi kuman patogen pada CVC merupakan syarat terjadinya infeksi aliran darah.
Kolonisasi kuman tersebut membentuk lapisan biofilm, yang memegang peranan
penting dalam terjadinya infeksi aliran darah. Kuman patogen tersering penyebab
CLABSI adalah coagulase-negative Staphylococci, Staphylococcus aureus,
Enterococcus, dan Candida spp. Hal ini terjadi akibat kontaminasi melalui jalur
16
ekstraluminal (flora normal pada kulit di tempat penusukan) dan jalur intraluminal
(melalui kateter hub CVC, cairan infus yang tidak steril, serta dari tenaga medis pada
saat proses pemasangan dan perawatan selama CVC terpasang. Faktor-faktor risiko
terjadinya CLABSI pada anak sakit kritis berhubungan dengan jenis CVC, jumlah
lumen CVC, jenis dressing, lokasi insersi vena, lama pemakaian CVC, serta pemberian
nutrisi parenteral dan produk darah.
Central Line Bundle ini merupakan suatu rangkaian langkah pencegahan yang
telah terbukti efektif dan signifikan dalam menurunkan terjadinya CLABSI, yang terdiri
dari langkah pencegahan sebelum insersi CVC dan pemeliharaan saat CVC terpasang.
Langkah pencegahan saat proses insersi CVC, terdiri dari :12
4) Penggantian set administrasi tidak lebih dari 96 jam setelah pemberian prroduk
darah dan lipid, penggunaan antikoagulan
f. Resiko Jatuh
17
3) Pastikan rem roda tempat tidur terkunci
18
BAB VI
KESELAMATAN KERJA
A. Peralatan di instalasi harus selalu dilakukan pemeliharaan dan kaliberasi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, untuk menjamin semua peralatan tetap dalam kondisi yang baik.
B. Perbaikan peralatan dilaksanakan dengan memperhatikan kontinuitas pelayanan RS
terutama pada pelayanan yang menyangkut emergency dan bantuan hidup.
C. Dalam melaksanakan tugasnya setiap petugas wajib mematuhi ketentuan dalam K3
(Keselamatan dan Kesehatan Kerja)
D. Penggunaan APD lengkap saat melakukan asuhan pelayanan pasien.
19
BAB VII
PENUTUP
Ditetapkan di : Klungkung
Pada Tanggal : 30 Oktober 2021
Direktur RSU Grha Bhakti Medika
20