MAKALAH
Abstrak
Kata Kunci : Kebijakan Hukum Yang Sadar, Pemberlakuan Hukum, dan Perlawanan
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konteks sosial, ekonomi, politik, dan hukum yang terjadi di Hindia Belanda selalu
berkaitan langsung dengan konstelasi politik yang terjadi di negeri Belanda. Perubahan
Belanda selalu dimulai terlebih dahulu dari dalam negeri Belanda. Kebijakan-kebijakan
yang dihasilkan di Belanda juga merupakan hasil konstelasi politik dalam negeri Belanda.
Warna-warna politik yang mencolok di Belanda antara kaum Konservatif dan kaum
2
Liberal, bukan hanya mengenai urusan dalam negeri Belanda saja melainkan juga pada
konstruksi sosial politik yang dipengaruhi dari luar negeri, yaitu Prancis dan Inggris.
Selama 20 tahun sejak 1795 Belanda mendapatkan hak dianggap teman dan sekutu baik
oleh Prancis maupun Inggris, dengan maksud Prancis menaklukkan dan memerintah negeri
Misalkan, loyalitas terhadap Prancis begitu tampak pada sosok Gubernur Jenderal H.W.
Daendels, yang kemudian mematrikan kepribadian dan kebijakannya yang kuat di Jawa
antara tahun 1808-1811. Begitu pula pengaruh Inggris Raya (Britania) ada ketika mereka
merebut tanah-tanah koloni milik Belanda dengan menanamkan kuasa di Jawa melalui
Sebagai contoh kebijakan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor di negeri Belanda
dapat dilihat pada pemberlakuan sistem perundang-undangan yang baru, seperti Peraturan
1799) yang berlandaskan pada lima prinsip ekonomi-politik: kepemilikan pribadi atas
penyelenggaraan hukum yang baik, tidak berpihak, dan berbiaya murah. Hal ini
konteks yang lain tentang kebijakan administrasi dan perpajakan langsung sebagai wujud
pemberlakuan kebijakan sosial politik kolonial di Hindia Belanda. Namun demikian, sistem
3
ketatanegaraan Belanda juga menonjol berupa pemerintahan tidak langsung (indirect rule)
kepada penduduk Bumiputera melalui kekuasaan para bupati yang membayar upeti kepada
Parlemen Belanda dan oleh Kaum Pribumi maka Pemerintah Hindia Belanda memilih
menggunakan kebijakan hukum yang sadar. Maka Penulis dalam makalah ini mengambil
Rumusan Masalah
Bagaimanakah Kebijakan-kebijakan Kolonial Hindia Belanda sebelum Pemberlakuan
Peraturan Pemerintah (Regeringsreglement) tahun 1854?
Bagaimanakah Kebijakan Hukum Yang Sadar ( Bewuste Rechtpolitiek) Berupa
Peraturan Pemerintah (Regeringsreglement) tahun 1854?
BAB II
PEMBAHASAN
merujuk pada nama Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada tahun 1808-
1811. Dalam kepentingan negeri Belanda, maka Daendels mendapat instruksi untuk
(era VOC) dan membuat pembaruan di Hindia Belanda sejauh persetujuan dari negeri
Belanda. Dalam “Instruksi untuk Gubernur Jenderal atas Wilayah Asia Milik Raja
yang Mulia” yang dikeluarkan Raja Louis Bonaparte pada 9 Februari 1807,
dari bangsa Eropa. Langkah ini dilakukan oleh Daendels untuk menghentikan rupa-
rupa penyalahgunaan wewenang oleh para bupati Jawa yang memperoleh keuntungan
langsung dari penduduknya. Bahkan, para raja Jawa dan sultan-sultan Cirebon
diturunkan jabatan menjadi setara dengan bupati, sama seperti kaum bangsawan
lainnya. Keputusan ini adalah langkah substansial Daendels untuk mengganti sistem
kabupaten dan setiap prefektorat (di atas kabupaten) pengadilannya sendiri, yang
terdiri atas orang-orang Bumiputera (bupati) dan dengan dua orang Eropa di
untuk setiap Prefektorat, dengan satu majelis bupati dan sang prefek sebagai ketua
memperluas penanaman kopi dan kapas di semua lahan di bukit dan lembah di
mereka untuk membayar hak para petani yang dipekerjakan. Meskipun demikian,
pajak-pajak reguler pun pada akhirnya tetap ditarik justru melalui praktik-praktik
kerja paksa. Hal yang sama ketika ada peraturan untuk menghapus kerja paksa, tetapi
menerapkan kerja paksa untuk membuat jalan utama (post weg) di sepanjang pulau
Jawa untuk memperkuat pos di Banten. Di sisi yang lain lagi, Daendels melawan
kepada pengusaha perkebunan. Akan tetapi untuk kepentingan pasar, Daendels justru
menjual “tanah milik pemerintah” itu, dengan mengklaim telah membuka Jawa bagi
Raya oleh Gubernur-Letnan Sir Thomas Stamford Raffles pada tahun 1811- 1816.
yang sama dengan Daendels, Raffles ingin melanjutkan apa yang telah dimulai
sebelumnya. Karya Raffles di Jawa terjadi di seputar revisi atas perjanjian yang
dilakukan disimpulkan bahwa banyak tanah di Jawa adalah milik negara. Untuk
mencapai tujuannya, Raffles kemudian mengenakan pajak tanah kepada para petani-
penggarap dengan alasan bahwa para petani merupakan penyewa, yang menyewa
tanah pemerintah. Melalui pengawasan kepala desa, bukan oleh bupati, Raffles
mengandalkan desa sebagai unit administrasi untuk melakukan apa yang menjadi
gagasannya, yaitu tentang sistem pajak tanah atau sewa tanah (landrent). Sewa tanah
itu sendiri ditetapkan menurut nilai tanah dan berkisar dari seperempat (1/4) sampai
setengah (1/2) dari hasil panen. Dengan mengedepankan desa menjadi prinsip politik
kekuasaan dari para bupati kepada para kepala desa. Para kepala desa, yang telah
Dengan demikian, sistem desa dan sistem tanahnya terbentuk sebagai dasar
berfokus pada tiap-tiap desa yang dikepalai oleh seorang kepala desa. Dalam hal
kebebasan dan kepastian hukum bagi perseorangan. Kebijakan yang dimajukan oleh
hasil-hasil tanah dengan harga yang tidak pantas, dan penghapusan semua kerja paksa
tertinggi dan langsung dilakukan oleh pemerintah atas tanah-tanah dengan menarik
terbatas hanya pada pekerjaan umum; dan (3) menyewakan tanah- tanah yang diawasi
pemerintah secara langsung dalam persil-persil besar atau kecil, menurut keadaan
memindahkan persoalan dari pemberian upeti hasil panen kepada mekanisme uang.
Petani yang tidak terbiasa menangani dan menggunakan uang, tetapi tetap
menghadapi tuntutan untuk membayar pajak dengan uang, justru menjaminkan hasil
panen, ternak, dan tanah mereka kepada para perente (pemberi pinjaman uang dengan
dengan sengaja mempertahankan sistem pembayaran pajak dengan kopi, begitu juga
9
dengan hasil kayu-kayu jati. Namun, dalam hal penghapusan kerja paksa, Raffles
Dalam waktu kurang dari lima tahun, Raffles berhasil melakukan perubahan
sehingga kebijakan tentang sistem sewa tanah dan membatasi peran para bupati tetap
diteruskan oleh Gubernur Jenderal G.A. Baron van der Capellen pada tahun 1818-
1826. Bahkan, pada tahun 1819 gubernur jenderal menghapuskan kekuasaan resmi
para bupati atas tanah dan sebagai gantinya mereka diberi gaji berupa uang. Pola-
pola yang dikembangkan Raffles menjadikan desa sebagai unit penerapan sistem
sewa tanah terus dilanjutkan oleh Komisaris Jenderal L.P.J. Viscount Du Bus de
Ghisignies pada tahun 1826-1830. Namun demikian, selama penerapan sistem sewa
tanah sejak era Raffles sampai Du Bus, antara tahun 1811-1830 pemerintah kolonial
perbedaan struktural dan kultural antara masyarakat Jawa dengan masyarakat India.
Berbeda dengan di Jawa, masyarakat India telah memiliki tingkat produksi ekonomi
yang lebih tinggi sehingga sistem pungutan pajak dengan membayarkan uang di India
van den Bosch tahun 1830-1833. Karena sistem ini memerlukan kekuasaan dari
10
kebangsawanan dan hak-hak yang dapat diwariskan, termasuk hak milik dan hak
J. van den Bosch mendapat instruksi untuk meningkatkan produksi hasil bumi
pemerintah Hindia Belanda. Sistem ini pada dasarnya merupakan penyatuan antara
sistem penyerahan wajib hasil bumi dan sistem pajak tanah. Pajak yang dibayarkan
oleh penduduk Bumiputera bukan dalam bentuk uang (pajak uang) melainkan berupa
sistem ini, Bosch dapat mengumpulkan banyak hasil bumi untuk dikirimkan ke
negeri Belanda dan dijual dengan keuntungan besar baik bagi pemerintah maupun
pengusaha Eropa. Hal itu dapat dilakukan dengan cara pemerintah mengadakan
kesepakatan dengan beberapa kepala desa untuk menyuplai hasil bumi berupa kopi,
tebu dan nila sebagai ganti pajak uang, kemudian pemerintah mengadakan perjanjian
dengan beberapa pengusaha Eropa untuk menerima hasil bumi itu dan mengaturnya
agar melaksanakan hal itu dengan memberi mereka dari hasil bumi itu.
monopoli produksi. Bosch memerintahkan di seluruh Jawa sejumlah nila, gula, dan
kopi dalam jumlah yang memadai untuk ditanam, dan mengharuskan setiap residen
menyerahkan hasil bumi komoditi ekspor tersebut. Bahkan untuk tanaman kopi,
diusulkan untuk menyerahkan semua kopi, selain yang harus diserahkan sebagai
pembayaran pajak, harus dijual kepada pemerintah dengan harga tetap. Dengan
demikian, praktik ini menghentikan semua perdagangan kopi oleh pengusaha swasta,
dan membuat pemerintah menjadi kuat dalam menerapkan monopoli perdagangan.
Meskipun secara formal tanah yang dituntut pemerintah untuk tanam- tanaman
tersebut hanya (1/5) dari tanah petani, pada praktiknya tanah yang digunakan lebih
dari ketentuan tersebut dan bahkan sering kali mencakup keseluruhan luas tanah
milik petani. Di beberapa daerah, kebijakan ini ditetapkan di bawah tekanan dan
paksaan yang keras. Sewa atas tanah masih diwajibkan sebagai tambahan, di
mana pemerintah yang menentukan jenis komoditi yang harus ditanam dan hasilnya
harus dijual kepada pemerintah.
Penemuan Clifford Geertz mengenai terjadinya involusi pertanian di Hindia
berbasis sawah padi yang merupakan sistem pertanian tradisional dengan sistem
perkebunan tebu yang merupakan sistem pertanian kolonial berorientasi pasar, telah
tindihan itu juga terjadi dalam sektor politik, yaitu antara sistem birokrasi kolonial
yang modern dengan sistem birokrasi tradisional yang patrimonial menjadi tidak
dapat dielakkan.
Periode dua puluh tahun pertama antara tahun 1830-1850 saat pemberlakuan
paling berat. Pemberlakuan sistem ini lambat laun semakin tidak efektif dan justru
makin menghambat kemajuan ekonomi bagi negeri Belanda. Faktor lain pemicunya
adalah banyak terjadi gagal panen dan bencana di Jawa, sehingga karena kebutuhan
hasil bumi untuk diekspor berkurang maka panen padi pun dimasukkan menjadi
yang kasar, ditandai oleh monopoli- monopoli usaha baik dahulu di era VOC maupun
dalam cultuurstelsel, mengalami kritik-kritik yang tajam pada tahun-tahun itu. Pada
tahun-tahun itu juga kekuatan politik berhaluan Liberal di negeri Belanda mencoba
Karena itu, pada tahun 1863, pemerintahan baru berhaluan Liberal mulai
arah kebijakan hukum dan perkembangan praktik hukum di daerah- daerah koloni
Hindia Belanda. Kebijakan kaum Liberal ini dikenal dengan sebutan bewuste
rechtspolitiek (‘kebijakan hukum yang sadar’). Kebijakan untuk membuat tata hukum
kolonial secara sadar ini berakibat di satu sisi mengontrol kekuasaan dan kewenangan
raja dan aparat eksekutif atas daerah jajahan, dan di sisi lain akan ikut mengupayakan
diperolehnya perlindungan hukum yang lebih pasti bagi seluruh lapisan penduduk
Belanda (Tweede Kamer) dalam menentukan arah kebijakan, karena tidak cukup
hanya dibuat dalam bentuk Keputusan Raja (Koninklijk Besluit). Pada September
1830, yang keduanya dirancang hanya sebatas sebagai Keputusan Raja (Koninklijk
common law disebut rule of law), yang hendak direalisasikan di Hindia Belanda.
Peraturan Pemerintah ini menjadi titik penting penegakan konstitusional Hindia Belanda
yang jelas-jelas mengakui supremasi hukum. Semisal, van den Bosch dalam memulai
Bahkan, sejak 1815 raja selalu berdiri lebih tinggi daripada hukum, dan pernah dua kali
menempatkan diri lebih tinggi daripada hukum. Hal ini tidak akan diperbolehkan lagi pada
1854 memutus hubungan dengan doktrin van den Bosch sebelumnya. Dengan begitu pula,
boleh diabaikan demi terlegitimasi suatu pemerintahan daerah jajahan di hadapan kaum
Liberal di negeri Belanda yang berslogan kebebasan, persaudaraan, dan persamaan di antara
sesama manusia.
pemerintahan Hindia Belanda (pasal 1-19), perihal kewenangan dan tanggung jawab
pemerintah Hindia Belanda (pasal 20-63), perihal pemerintahan secara umum (pasal
64-66), perihal kewenangan pemerintahan daerah dan setempat (pasal 67-73), perihal
sistem peradilan (pasal 74-104), perihal kewargaan (pasal 105-118), perihal agama
15
(pasal 119-124), perihal pendidikan (pasal 125-128), dan perihal pedoman dan
berada di tangan Gubernur Jenderal yang berpusat di Batavia dengan suatu Dewan
Hindia yang memberikan nasihat dan turut bertanggung jawab, dan tetap semuanya di
bawah pengawasan raja, yang berwenang sebagai pengawas tertinggi atas jalannya
pemerintahan di negeri jajahan itu. Menteri Daerah Jajahan sebagai agen raja tidak
bertanggung jawab kepada Parlemen Belanda. Akan tetapi, sistem komunikasi antara
negeri jajahan dengan negeri Belanda pada saat itu masih buruk, sehingga upaya
intervensi oleh pusat kekuasaan di negeri Belanda terhadap kebijakan yang dilakukan
oleh para pegawai pemerintahan di Hindia Belanda menjadi sulit dilakukan. Hal ini
tidak secara yuridis tetapi secara teknis. Dengan demikian, Regeringsreglement 1854
tetap harus dipandang sebagai konstitusi tata pemerintahan yang berlaku efektif di
Hindia Belanda.
Hindia Belanda yang bertumpu pada Gubernur Jenderal sebagai penguasa tunggal
dilakukan oleh Gubernur Jenderal atas nama Raja, dan semua penduduk yang berada
di tanah jajahan ini, tanpa terkecuali, wajib mengakui Gubernur Jenderal sebagai
wakil Raja, dan oleh sebab itu juga mereka wajib menghormati dan menaatinya.
16
berkedudukan sebagai panglima tertinggi angkatan darat dan angkatan laut di Hindia
Belanda.
Jenderal. Organisasi pemerintahan yang dimaksud ini sering dikenal dengan nama
seluruhnya terdiri dari orang-orang Eropa, khususnya Belanda. Peranan mereka dan
sentralistik.
telah berlangsung sejak dulu kala, namun tetap dalam pengawasan Gubernur Jenderal
Terjemahannya:
Sejauh memungkinkan, penduduk Bumiputera tetap dibiarkan berada di
bawah arahan langsung oleh para kepalanya sendiri, yang ditunjuk atau diakui
oleh pemerintah, dan tunduk pada tingkat yang lebih tinggi sebagaimana telah
atau akan ditentukan oleh peraturan umum atau khusus oleh Gubernur
Jenderal.
18
BAB III
PENUTUP
peraturan, dan ketentuan yang berlaku di Hindia Belanda pada era Pemerintahan kolonial
Belanda, dengan tugas dan tanggung jawabnya untuk menangani daerah jajahan pada
DAFTAR PUSTAKA
A. Daliman, 2012,Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX: Sistem politik kolonial dan
administrasi pemerintahan Hindia Belanda ,Yogyakarta: Penerbit Ombak
J.S. Furnivall,2016. Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk ,Jakarta: Freedom
Institute
Joan Hardjono,1990, Tanah, Pekerjaan, dan Nafkah di Pedesaan Jawa Barat, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
James R. Rush, 2012, Jawa Tempo Doeloe: 650 tahun bertemu Dunia Barat 1330-1985 ,Jakarta:
Komunitas Bambu
Lih. Frances Gouda, 2007, Dutch Culture Overseas: Politik Kolonial di Hindia Belanda 1900-
1942 Jakarta: Serambi
Mona Lohanda,2011, “The British Rule in Java, 1811-1816 Glimpses at the archives” dalam
Mona Lohanda, Membaca Sumber Menulis Sejarah, Yogyakarta: Penerbit Ombak
Mubyarto, 1992,Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial Ekonomi ,Yogyakarta:
Aditya Media