Anda di halaman 1dari 19

1

MAKALAH

PENERAPAN BEWUSTE RECHTPOLITIEK


PADA ZAMANHINDIA BELANDA

Oleh Andi Kristiyanto NPM 20302000008


Magister Ilmu Hukum Unissula Semarang

Abstrak

Pemberlakuan hukum kolonial ke wilayah jajahannya khususnya di Hindia Belanda semata-


mata untuk menjamin kepastian hak dan untuk mengarahkan penyatuan sistem dengan asas
konkordansi yaitu unifikasi hukum yang didasarkan pada hukum-hukum yang telah
terkodifikasi. Hal ini semata-mata untuk kepentingan sepihak pemerintahan kolonial.
Pemberlakuan ini ternyata tidak mudah, selain karena perlawanan politik para penentang,
juga adanya pertimbangan realistik, sehingga dilakukan kebijakan kompromistis yang
diambil. Kebijakan yang dimaksud adalah Bewuste Rechtpolitiek atau Kebijakan Hukum
Yang Sadar Berupa Peraturan Pemerintah (Regeringsreglement) tahun 1854.

Kata Kunci : Kebijakan Hukum Yang Sadar, Pemberlakuan Hukum, dan Perlawanan

BAB I
PENDAHULUAN

 Latar Belakang

Konteks sosial, ekonomi, politik, dan hukum yang terjadi di Hindia Belanda selalu

berkaitan langsung dengan konstelasi politik yang terjadi di negeri Belanda. Perubahan

kebijakan-kebijakan politik dan hukum perundang-undangan yang terjadi di Hindia

Belanda selalu dimulai terlebih dahulu dari dalam negeri Belanda. Kebijakan-kebijakan

yang dihasilkan di Belanda juga merupakan hasil konstelasi politik dalam negeri Belanda.

Warna-warna politik yang mencolok di Belanda antara kaum Konservatif dan kaum
2

Liberal, bukan hanya mengenai urusan dalam negeri Belanda saja melainkan juga pada

konstruksi sosial politik yang dipengaruhi dari luar negeri, yaitu Prancis dan Inggris.

Selama 20 tahun sejak 1795 Belanda mendapatkan hak dianggap teman dan sekutu baik

oleh Prancis maupun Inggris, dengan maksud Prancis menaklukkan dan memerintah negeri

Belanda, sementara Inggris mengambil koloni dan perdagangan negeri Belanda.

Misalkan, loyalitas terhadap Prancis begitu tampak pada sosok Gubernur Jenderal H.W.

Daendels, yang kemudian mematrikan kepribadian dan kebijakannya yang kuat di Jawa

antara tahun 1808-1811. Begitu pula pengaruh Inggris Raya (Britania) ada ketika mereka

merebut tanah-tanah koloni milik Belanda dengan menanamkan kuasa di Jawa melalui

Gubernur Letnan Sir T.S. Raffles antara tahun 1811-1816.

Sebagai contoh kebijakan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor di negeri Belanda

dapat dilihat pada pemberlakuan sistem perundang-undangan yang baru, seperti Peraturan

Pemerintah (Regeringsreglement) untuk tata pemerintahan di Hindia Belanda. Peraturan ini

semata-mata berisi instrumen pemerintahan, yaitu bagaimana persoalan koloni-koloni harus

diperintah sebaik-baiknya. Sebagai sebuah kebijakan, Peraturan Pemerintah

(Regeringsreglement) dipengaruhi oleh prinsip-prinsip dalam Revolusi Prancis (1789-

1799) yang berlandaskan pada lima prinsip ekonomi-politik: kepemilikan pribadi atas

tanah, kemerdekaan individu, kebebasan perdagangan, penghapusan kerja paksa, dan

penyelenggaraan hukum yang baik, tidak berpihak, dan berbiaya murah. Hal ini

mengindikasikan bahwa pengaruh Prancis masih begitu kental dalam pemberlakuan

kebijakan di Hindia Belanda. Meskipun demikian, ada pengaruh-pengaruh Inggris pada

konteks yang lain tentang kebijakan administrasi dan perpajakan langsung sebagai wujud

pemberlakuan kebijakan sosial politik kolonial di Hindia Belanda. Namun demikian, sistem
3

ketatanegaraan Belanda juga menonjol berupa pemerintahan tidak langsung (indirect rule)

kepada penduduk Bumiputera melalui kekuasaan para bupati yang membayar upeti kepada

pemerintah kolonial dari hasil-hasil bumi.

Seiring berjalannya waktu, oleh akibat banyaknya perlawanan-perlawanan di

Parlemen Belanda dan oleh Kaum Pribumi maka Pemerintah Hindia Belanda memilih

menggunakan kebijakan hukum yang sadar. Maka Penulis dalam makalah ini mengambil

judul “Penerapan Bewuste pada Zaman Hindia Belanda”

 Rumusan Masalah
 Bagaimanakah Kebijakan-kebijakan Kolonial Hindia Belanda sebelum Pemberlakuan
Peraturan Pemerintah (Regeringsreglement) tahun 1854?
 Bagaimanakah Kebijakan Hukum Yang Sadar ( Bewuste Rechtpolitiek) Berupa
Peraturan Pemerintah (Regeringsreglement) tahun 1854?

 Maksud dan Tujuan


Penulisan makalah ini untuk mengetahui perkembangan hukum dan politik hukum

di zaman Pemerintahan Hindia Belanda dengan tujuan :


 Kebijakan-kebijakan Kolonial Hindia Belanda sebelum Pemberlakuan Peraturan
Pemerintah (Regeringsreglement) tahun 1854
 Kebijakan Hukum Yang Sadar ( Bewuste Rechtpolitiek) Berupa Peraturan Pemerintah
(Regeringsreglement) tahun 1854
4

BAB II

PEMBAHASAN

 Kebijakan-kebijakan Kolonial Hindia Belanda sebelum Pemberlakuan Peraturan

Pemerintah (Regeringsreglement) tahun 1854

 Kebijakan-kebijakan era Daendels dan Raffles

Kebijakan di Hindia Belanda yang masuk ke dalam bagian ini pertama-tama

merujuk pada nama Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada tahun 1808-

1811. Dalam kepentingan negeri Belanda, maka Daendels mendapat instruksi untuk

melakukan reformasi terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pemerintahan lama

(era VOC) dan membuat pembaruan di Hindia Belanda sejauh persetujuan dari negeri

Belanda. Dalam “Instruksi untuk Gubernur Jenderal atas Wilayah Asia Milik Raja

yang Mulia” yang dikeluarkan Raja Louis Bonaparte pada 9 Februari 1807,

Daendels diperintahkan yang pertama-tama adalah untuk melakukan reorganisasi

pertahanan di Hindia Belanda, sedangkan instruksi-instruksi lainnya adalah:

penyelidikan terhadap kemungkinan penghapusan tanam paksa dan penyerahan paksa

kopi, dan perbaikan kondisi kehidupan penduduk Bumiputera. Dalam instruksi

tersebut pengaruh Prancis begitu kuat, sehingga pembaruan-pembaruan yang

diupayakan oleh Daendels dilakukan setelah mendalami gagasan-gagasan Prancis

tentang administrasi dan tata pemerintahan.

Daendels melakukan perubahan total di bidang administrasi pemerintahan.

Daendels mengangkat semua bupati di Jawa menjadi pegawai pemerintahan Hindia

Belanda, dengan maksud menyetarakan mereka dengan para pegawai pemerintahan


5

dari bangsa Eropa. Langkah ini dilakukan oleh Daendels untuk menghentikan rupa-

rupa penyalahgunaan wewenang oleh para bupati Jawa yang memperoleh keuntungan

langsung dari penduduknya. Bahkan, para raja Jawa dan sultan-sultan Cirebon

diturunkan jabatan menjadi setara dengan bupati, sama seperti kaum bangsawan

lainnya. Keputusan ini adalah langkah substansial Daendels untuk mengganti sistem

administrasi perdagangan dan lingkungan ekonomi feodal, yang sebelumnya

terdesentralisasi, menjadi sistem terpusat (sentralistik) melalui pengelolaan oleh para

pegawai negeri kolonial (ambtenaren). Dengan begitu, dalam pembenahan wilayah

administrasi kolonial di Hindia Belanda Daendels membagi negeri menjadi sembilan

Prefektorat dan satu di bawah administrasi perhutanan.

Dalam hal administrasi peradilan, Daendels mengkritik organisasi dan praktik

peradilan di Batavia. Daendels memutuskan untuk melakukan pemisahan kelompok

penduduk yang berbeda dalam urusan peradilan. Daendels memberikan setiap

kabupaten dan setiap prefektorat (di atas kabupaten) pengadilannya sendiri, yang

terdiri atas orang-orang Bumiputera (bupati) dan dengan dua orang Eropa di

pengadilan-pengadilan prefektorat. Dengan demikian, Daendels membentuk kantor

pengadilan, yaitu Pengadilan Wilayah dan Pengadilan Bumiputera (Landgericht)

untuk setiap Prefektorat, dengan satu majelis bupati dan sang prefek sebagai ketua

majelisnya. Sistem pemisahan peradilan menurut kelompok sosial penduduk ini

dipertahankan dan diperbaiki oleh administrasi-administrasi di kemudian hari.

Namun demi kepentingan meningkatkan hasil produksi negara, Daendels

memperluas penanaman kopi dan kapas di semua lahan di bukit dan lembah di

seluruh penjuru negeri, khususnya di Priangan. Daendels memerintahkan para


6

pengusaha perkebunan untuk membatasi penggunaan kerja paksa dan mengharuskan

mereka untuk membayar hak para petani yang dipekerjakan. Meskipun demikian,

pajak-pajak reguler pun pada akhirnya tetap ditarik justru melalui praktik-praktik

kerja paksa. Hal yang sama ketika ada peraturan untuk menghapus kerja paksa, tetapi

oleh karena kepentingan pertahanan melawan Inggris, Daendels pun akhirnya

menerapkan kerja paksa untuk membuat jalan utama (post weg) di sepanjang pulau

Jawa untuk memperkuat pos di Banten. Di sisi yang lain lagi, Daendels melawan

pengalihan tanah desa-desa yang disewakan

kepada pengusaha perkebunan. Akan tetapi untuk kepentingan pasar, Daendels justru

menjual “tanah milik pemerintah” itu, dengan mengklaim telah membuka Jawa bagi

perusahaan perkebunan swasta.Pada sisi-sisi inilah kebijakan Daendels di Hindia

Belanda menjadi tidak sejalan dengan gagasan pembaruan yang diinstruksikan

kepadanya untuk membuat perbedaan yang efisien daripada pemerintahan

sebelumnya di era VOC.

Pasca Daendels, peralihan kekuasaan Belanda beralih pada kekuasaan Inggris

Raya oleh Gubernur-Letnan Sir Thomas Stamford Raffles pada tahun 1811- 1816.

Sebagai seorang gubernur letnan, Raffles berusaha memperbaiki sistem pemerintahan

menurut pandangan liberal-modernnya dan melalui pendidikan membawa Jawa

secara komprehensif ke dalam lingkup pengetahuan dunia. Dengan gagasan ideal

yang sama dengan Daendels, Raffles ingin melanjutkan apa yang telah dimulai

sebelumnya. Karya Raffles di Jawa terjadi di seputar revisi atas perjanjian yang

mengatur hubungan pemerintah Batavia dengan raja-raja Jawa, melakukan


7

reorganisasi lembaga-lembaga administrasi dan peradilan, dan berusaha mereformasi

total sistem pajak dan cukai.

Salah satu langkah awal yang dilakukan Raffles adalah memerintahkan

melakukan pemeriksaan terhadap status kepemilikan tanah. Dalam pemeriksaan yang

dilakukan disimpulkan bahwa banyak tanah di Jawa adalah milik negara. Untuk

mencapai tujuannya, Raffles kemudian mengenakan pajak tanah kepada para petani-

penggarap dengan alasan bahwa para petani merupakan penyewa, yang menyewa

tanah pemerintah. Melalui pengawasan kepala desa, bukan oleh bupati, Raffles

mengandalkan desa sebagai unit administrasi untuk melakukan apa yang menjadi

gagasannya, yaitu tentang sistem pajak tanah atau sewa tanah (landrent). Sewa tanah

itu sendiri ditetapkan menurut nilai tanah dan berkisar dari seperempat (1/4) sampai

setengah (1/2) dari hasil panen. Dengan mengedepankan desa menjadi prinsip politik

administratifnya, Raffles memberlakukan pemilihan langsung oleh masyarakat

Bumiputera untuk memilih kepala-kepala desa mereka. Raffles mengalihkan tampuk

kekuasaan dari para bupati kepada para kepala desa. Para kepala desa, yang telah

terbagi dalam wilayah-wilayah kendalinya, akan menyetorkan pajak-pajak tanah dari

para petani dan diserahkan kepada perwakilan pemerintah kolonial di regionalnya.

Dengan demikian, sistem desa dan sistem tanahnya terbentuk sebagai dasar

administrasi publik, yudisial, dan perpajakan.

Dalam administrasi tata pemerintahan, Raffles membuat lebih rinci dan

mengambil-alih Prefektorat cara Daendels dengan mengubah istilah menjadi

keresidenan (residenstie) dan meningkatkannya menjadi 16 keresidenan dan

menjadikan kabupaten di era Daendels hanya menjadi kabupaten “distrik”, yang


8

berfokus pada tiap-tiap desa yang dikepalai oleh seorang kepala desa. Dalam hal

administrasi peradilan, Raffles membentuk Pengadilan Yudisial (Court of Justice),

Pengadilan Permintaan untuk Urusan-urusan Kecil (Court of Requests for Small

Debts), dan Magistrat Pengadilan Polisi, yang memutuskan perkara-perkara

peradilan, sipil, dan militer.

Unsur baru yang dikerjakan melalui kebijakan Raffles ialah pentingnya

kebebasan dan kepastian hukum bagi perseorangan. Kebijakan yang dimajukan oleh

Raffles bersendikan atas dasar-dasar: (1) menghapuskan segala penyerahan paksa

hasil-hasil tanah dengan harga yang tidak pantas, dan penghapusan semua kerja paksa

dengan memberikan kebebasan dalam penanaman dan perdagangan; (2) pengawasan

tertinggi dan langsung dilakukan oleh pemerintah atas tanah-tanah dengan menarik

pendapatan dan sewanya tanpa perantaraan bupati-bupati, yang bekerja secara

terbatas hanya pada pekerjaan umum; dan (3) menyewakan tanah- tanah yang diawasi

pemerintah secara langsung dalam persil-persil besar atau kecil, menurut keadaan

setempat, berdasarkan kontrak untuk waktu yang terbatas.

Namun dalam pemberlakuan pajak tanah, Raffles sesungguhnya sedang

memindahkan persoalan dari pemberian upeti hasil panen kepada mekanisme uang.

Petani yang tidak terbiasa menangani dan menggunakan uang, tetapi tetap

menghadapi tuntutan untuk membayar pajak dengan uang, justru menjaminkan hasil

panen, ternak, dan tanah mereka kepada para perente (pemberi pinjaman uang dengan

riba). Hanya di Priangan dalam Peraturan Priangan (Preangersreglement), Raffles

dengan sengaja mempertahankan sistem pembayaran pajak dengan kopi, begitu juga
9

dengan hasil kayu-kayu jati. Namun, dalam hal penghapusan kerja paksa, Raffles

mampu menghentikan praktik ini di seluruh pulau Jawa.

Dalam waktu kurang dari lima tahun, Raffles berhasil melakukan perubahan

sehingga kebijakan tentang sistem sewa tanah dan membatasi peran para bupati tetap

dipertahankan oleh pemerintah Hindia Belanda berikutnya. Kebijakan Raffles

diteruskan oleh Gubernur Jenderal G.A. Baron van der Capellen pada tahun 1818-

1826. Bahkan, pada tahun 1819 gubernur jenderal menghapuskan kekuasaan resmi

para bupati atas tanah dan sebagai gantinya mereka diberi gaji berupa uang. Pola-

pola yang dikembangkan Raffles menjadikan desa sebagai unit penerapan sistem

sewa tanah terus dilanjutkan oleh Komisaris Jenderal L.P.J. Viscount Du Bus de

Ghisignies pada tahun 1826-1830. Namun demikian, selama penerapan sistem sewa

tanah sejak era Raffles sampai Du Bus, antara tahun 1811-1830 pemerintah kolonial

tidak berhasil memajukan produksi tanaman ekspor dan kemakmuran penduduk

Jawa. Faktor kebijakan politik Inggris di India tidak memperhitungkan adanya

perbedaan struktural dan kultural antara masyarakat Jawa dengan masyarakat India.

Berbeda dengan di Jawa, masyarakat India telah memiliki tingkat produksi ekonomi

yang lebih tinggi sehingga sistem pungutan pajak dengan membayarkan uang di India

telah dapat dilakukan.

 Sistem Budidaya Tanaman (cultuurstelsel) tahun 1830-1870

Pada tahun 1830 kebijakan pemerintah di Hindia Belanda mengalami

perubahan orientasi secara besar-besaran dengan pelaksanaan sistem budidaya

tanaman (cultuurstelsel), yang dicanangkan oleh Gubernur Jenderal Johannes Count

van den Bosch tahun 1830-1833. Karena sistem ini memerlukan kekuasaan dari
10

golongan penguasa sebagai pengantara, yang kepentingannya sejajar dengan

kepentingan pemerintah Belanda, kedudukan para bupati dikembalikan lagi pada

kedudukan semula namun tetap dibatasi dan dalam pengawasan. Gelar-gelar

kebangsawanan dan hak-hak yang dapat diwariskan, termasuk hak milik dan hak

guna tanah, dihidupkan kembali pada tahun 1832.

J. van den Bosch mendapat instruksi untuk meningkatkan produksi hasil bumi

di seluruh negeri, terkhusus di Priangan, untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran

pemerintah Hindia Belanda. Sistem ini pada dasarnya merupakan penyatuan antara

sistem penyerahan wajib hasil bumi dan sistem pajak tanah. Pajak yang dibayarkan

oleh penduduk Bumiputera bukan dalam bentuk uang (pajak uang) melainkan berupa

hasil tanaman ekspor yang dapat dipasarkan di pasaran Eropa.Dengan pemberlakuan

sistem ini, Bosch dapat mengumpulkan banyak hasil bumi untuk dikirimkan ke

negeri Belanda dan dijual dengan keuntungan besar baik bagi pemerintah maupun

pengusaha Eropa. Hal itu dapat dilakukan dengan cara pemerintah mengadakan

kesepakatan dengan beberapa kepala desa untuk menyuplai hasil bumi berupa kopi,

tebu dan nila sebagai ganti pajak uang, kemudian pemerintah mengadakan perjanjian

dengan beberapa pengusaha Eropa untuk menerima hasil bumi itu dan mengaturnya

untuk ekspor atas nama pemerintah, kemudian mendorong pegawai-pegawai negeri

agar melaksanakan hal itu dengan memberi mereka dari hasil bumi itu.

Pada sistem kebijakan ini, pemerintah Hindia Belanda hanya mengambil


seperlima (1/5) dalam bentuk hasil panen. Desa yang menyisihkan seperlima (1/5)
sawahnya untuk budidaya tanaman ekspor, yang pengerjaannya tidak lebih berat
daripada padi, dibebaskan dari pembayaran pajak tanah. Pengawasan lebih utama
11

penerapan sistem ini dilakukan oleh pemimpin setempat, sedangkan pekerjaan


pegawai-pegawai negeri Eropa hanya memastikan bahwa pertanian dan perkebunan
dijalankan dengan tepat waktu dan tepat cara, bahwa hasil bumi dipanen pada
waktunya dan dibawa ke pabrik. Karena itulah, semua pegawai negeri kolonial
bekerja keras mempromosikan pertanian dan perkebunan pemerintah. Baik para
pegawai Eropa maupun Bumiputera memperoleh cultuurprocenten (insentif).

Dengan sistem ini, Bosch mengupayakan suatu monopoli perdagangan dan

monopoli produksi. Bosch memerintahkan di seluruh Jawa sejumlah nila, gula, dan
kopi dalam jumlah yang memadai untuk ditanam, dan mengharuskan setiap residen
menyerahkan hasil bumi komoditi ekspor tersebut. Bahkan untuk tanaman kopi,
diusulkan untuk menyerahkan semua kopi, selain yang harus diserahkan sebagai
pembayaran pajak, harus dijual kepada pemerintah dengan harga tetap. Dengan
demikian, praktik ini menghentikan semua perdagangan kopi oleh pengusaha swasta,
dan membuat pemerintah menjadi kuat dalam menerapkan monopoli perdagangan.
Meskipun secara formal tanah yang dituntut pemerintah untuk tanam- tanaman
tersebut hanya (1/5) dari tanah petani, pada praktiknya tanah yang digunakan lebih
dari ketentuan tersebut dan bahkan sering kali mencakup keseluruhan luas tanah
milik petani. Di beberapa daerah, kebijakan ini ditetapkan di bawah tekanan dan
paksaan yang keras. Sewa atas tanah masih diwajibkan sebagai tambahan, di
mana pemerintah yang menentukan jenis komoditi yang harus ditanam dan hasilnya
harus dijual kepada pemerintah.
Penemuan Clifford Geertz mengenai terjadinya involusi pertanian di Hindia

Belanda antara lain menunjukkan ketumpang-tindihan antara sistem pertanian yang

berbasis sawah padi yang merupakan sistem pertanian tradisional dengan sistem

perkebunan tebu yang merupakan sistem pertanian kolonial berorientasi pasar, telah

membentuk kecenderungan budaya yang disebut “sharing poverty”. Ketumpang-


12

tindihan itu juga terjadi dalam sektor politik, yaitu antara sistem birokrasi kolonial

yang modern dengan sistem birokrasi tradisional yang patrimonial menjadi tidak

dapat dielakkan.

Periode dua puluh tahun pertama antara tahun 1830-1850 saat pemberlakuan

sistem budidaya tanaman (cultuurstelsel) di Hindia Belanda adalah periode yang

paling berat. Pemberlakuan sistem ini lambat laun semakin tidak efektif dan justru

makin menghambat kemajuan ekonomi bagi negeri Belanda. Faktor lain pemicunya

adalah banyak terjadi gagal panen dan bencana di Jawa, sehingga karena kebutuhan

hasil bumi untuk diekspor berkurang maka panen padi pun dimasukkan menjadi

tergolong tanaman budidaya yang diperlukan pemerintah. Namun, secara keseluruhan

melalui sistem cultuurstelsel ini, kesulitan ekonomi negeri Belanda memang di

awal-awal dapat diatasi, tetapi kemudian tingkat kehidupan ekonomi masyarakat

Bumiputera menjadi turun drastis. Tahun-tahun antara 1840-1860 adalah tahun-tahun

perubahan dalam kebijakan kolonial di Hindia Belanda, ditandai pemberlakuan

Grondwet 1848 di negeri Belanda dan Regeringsreglement 1854. Politik eksploitasi

yang kasar, ditandai oleh monopoli- monopoli usaha baik dahulu di era VOC maupun

dalam cultuurstelsel, mengalami kritik-kritik yang tajam pada tahun-tahun itu. Pada

tahun-tahun itu juga kekuatan politik berhaluan Liberal di negeri Belanda mencoba

mengupayakan perubahan- perubahan mendasar di dalam tata hukum kolonial.

Karena itu, pada tahun 1863, pemerintahan baru berhaluan Liberal mulai

menghapuskan sistem budidaya tanam (cultuurstelsel) sampai pada pemberlakuan

Undang-undang Agraria (Agrarisch Wet) tahun 1870.


13

 Kebijakan Hukum Yang Sadar ( Bewuste Rechtpolitiek) Berupa Peraturan


Pemerintah (Regeringsreglement) tahun 1854

 Regeringsreglement 1854 sebagai landasan konstitusional

Pengaruh haluan politik kaum Liberal di negeri Belanda membuahkan perubahan

arah kebijakan hukum dan perkembangan praktik hukum di daerah- daerah koloni

Hindia Belanda. Kebijakan kaum Liberal ini dikenal dengan sebutan bewuste

rechtspolitiek (‘kebijakan hukum yang sadar’). Kebijakan untuk membuat tata hukum

kolonial secara sadar ini berakibat di satu sisi mengontrol kekuasaan dan kewenangan

raja dan aparat eksekutif atas daerah jajahan, dan di sisi lain akan ikut mengupayakan

diperolehnya perlindungan hukum yang lebih pasti bagi seluruh lapisan penduduk

yang bermukim di daerah jajahan. Pemberlakuan Undang- undang Dasar (Grondwet)

yang baru di negeri Belanda tahun 1848 menandai pemberlakuan peraturan

pemerintah yang baru tentang sistem ketatanegaraan dan administrasi kolonial di

Hindia Belanda. Grondwet 1848 berisi ketentuan agar peraturan-peraturan hukum

kolonial mengenai pemerintahan daerah jajahan, untuk selanjutnya mesti dibuat

dalam bentuk Undang-undang (Wet), yang berarti harus melibatkan Parlemen

Belanda (Tweede Kamer) dalam menentukan arah kebijakan, karena tidak cukup

hanya dibuat dalam bentuk Keputusan Raja (Koninklijk Besluit). Pada September

1854 peraturan mengenai pemerintahan di Hindia Belanda diratifikasi dengan

persetujuan raja Belanda, setelah selesai dalam pembahasan di Parlemen Belanda.

Peraturan tentang tata pemerintahan di Hindia Belanda tersebut dinamakan Het

Reglement op Het Beleid der Regering van Nederlandsch-Indie atau disingkat

Regeringsreglement 1854, yang berisi 130 pasal. Sebelum pemberlakuan

Regeringsreglement 1854 akibat pembaruan Grondwet 1848, sudah terdapat dua


14

peraturan pemerintah serupa yaitu Regeringsreglement 1818 dan Regeringsreglement

1830, yang keduanya dirancang hanya sebatas sebagai Keputusan Raja (Koninklijk

Besluit), yang tidak diratifikasikan sebagai Undang-undang (Wet).

Regeringsreglement 1854 adalah suatu landasan konstitusional yang untuk

pertama kali mengintroduksikan ide rechtsstaat (atau yang di negeri-negeri bertradisi

common law disebut rule of law), yang hendak direalisasikan di Hindia Belanda.

Peraturan Pemerintah ini menjadi titik penting penegakan konstitusional Hindia Belanda

yang jelas-jelas mengakui supremasi hukum. Semisal, van den Bosch dalam memulai

pemberlakuan cultuurstelsel 1830 mendasarkan sistemnya itu pada kekuasaan (machtsstaat).

Bahkan, sejak 1815 raja selalu berdiri lebih tinggi daripada hukum, dan pernah dua kali

memberikan wewenang kepada wakilnya (gubernur jenderal) di Hindia Belanda untuk

menempatkan diri lebih tinggi daripada hukum. Hal ini tidak akan diperbolehkan lagi pada

pemberlakuan peraturan pemerintah ini. Demikianlah, secara prinsip Regeringsreglement

1854 memutus hubungan dengan doktrin van den Bosch sebelumnya. Dengan begitu pula,

Regeringsreglement 1854 kemudian benar-benar menjadi landasan konstitusional yang tidak

boleh diabaikan demi terlegitimasi suatu pemerintahan daerah jajahan di hadapan kaum

Liberal di negeri Belanda yang berslogan kebebasan, persaudaraan, dan persamaan di antara

sesama manusia.

 Tata Pemerintahan menurut Regeringsreglement 1854

Regeringsreglement 1854 berisi peraturan pemerintah perihal komposisi

pemerintahan Hindia Belanda (pasal 1-19), perihal kewenangan dan tanggung jawab

pemerintah Hindia Belanda (pasal 20-63), perihal pemerintahan secara umum (pasal

64-66), perihal kewenangan pemerintahan daerah dan setempat (pasal 67-73), perihal

sistem peradilan (pasal 74-104), perihal kewargaan (pasal 105-118), perihal agama
15

(pasal 119-124), perihal pendidikan (pasal 125-128), dan perihal pedoman dan

perutusan (pasal 129-130), serta dilengkapi aturan peralihan.

Berdasarkan Grondwet 1848, raja Belanda memegang kekuasaan tertinggi atas

tanah jajahannya di Hindia Belanda. Di tanah jajahan ini, kekuasaan pemerintah

berada di tangan Gubernur Jenderal yang berpusat di Batavia dengan suatu Dewan

Hindia yang memberikan nasihat dan turut bertanggung jawab, dan tetap semuanya di

bawah pengawasan raja, yang berwenang sebagai pengawas tertinggi atas jalannya

pemerintahan di negeri jajahan itu. Menteri Daerah Jajahan sebagai agen raja tidak

bertanggung jawab kepada Parlemen Belanda. Akan tetapi, sistem komunikasi antara

negeri jajahan dengan negeri Belanda pada saat itu masih buruk, sehingga upaya

intervensi oleh pusat kekuasaan di negeri Belanda terhadap kebijakan yang dilakukan

oleh para pegawai pemerintahan di Hindia Belanda menjadi sulit dilakukan. Hal ini

mengakibatkan pemerintahan di Hindia Belanda menjadi terdesentralisasi – walaupun

tidak secara yuridis tetapi secara teknis. Dengan demikian, Regeringsreglement 1854

tetap harus dipandang sebagai konstitusi tata pemerintahan yang berlaku efektif di

Hindia Belanda.

Regeringsreglement 1854 memuat peraturan pokok tentang kebijakan pemerintah

Hindia Belanda yang bertumpu pada Gubernur Jenderal sebagai penguasa tunggal

dan tertinggi di pusat pemerintahan negeri jajahan. Dalam Pasal 1

Regeringsreglement 1854 pelaksanaan pemerintahan secara umum di Hindia Belanda

dilakukan oleh Gubernur Jenderal atas nama Raja, dan semua penduduk yang berada

di tanah jajahan ini, tanpa terkecuali, wajib mengakui Gubernur Jenderal sebagai

wakil Raja, dan oleh sebab itu juga mereka wajib menghormati dan menaatinya.
16

Begitupula, pada pasal-pasal lain dalam Regeringsreglement 1854 memaklumatkan

bahwa Gubernur Jenderal (sebagai pembuat ordonansi) adalah pemegang kekuasaan

legislatif yang sekaligus juga pelaksana eksekutifnya, yang berwenang mengangkat

dan memberhentikan pejabat-pejabat tinggi dalam jajaran pemerintahan kolonial,

berkedudukan sebagai panglima tertinggi angkatan darat dan angkatan laut di Hindia

Belanda.

Dalam pelaksanaan kewenangannya, Gubernur Jenderal dibantu oleh organisasi

pemerintahan, dengan pejabat-pejabat yang tidak memiliki kekuasaan administratif

yang mandiri. Menurut pasal 64 dan 68 Regeringsreglement 1854, mereka hanyalah

pelaksana-pelaksana yang harus mematuhi segala kebijakan dan keputusan Gubernur

Jenderal. Organisasi pemerintahan yang dimaksud ini sering dikenal dengan nama

Binnelandsch Bestuur (pemerintahan dalam negeri), yaitu administrasi pemerintahan

yang diselenggarakan di tanah jajahan Hindia Belanda dengan pejabat-pejabat yang

seluruhnya terdiri dari orang-orang Eropa, khususnya Belanda. Peranan mereka dan

relasinya dengan Gubernur Jenderal semakin mengukuhkan pemerintahan yang

sentralistik.

Namun dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah dan regional tertentu,

Regeringsreglement 1854 memberikan ketentuan tentang kebebasan penduduk

Bumiputera untuk melibatkan peranan para kepala pemerintahan tradisional yang

telah berlangsung sejak dulu kala, namun tetap dalam pengawasan Gubernur Jenderal

dan pegawai negeri kolonial, seperti termuat pada pasal 67 berikut:

Zooveel de omstandigheden het toelaten, wordt de inlandsche bevolking


gelaten onder de onmiddellijke leiding van hare eigene, van regeringswege
aangestelde of erkende hoofden, onderworpen aan zoodanig hooger toezigt
17

als bij algemeene of bijzondere voorschriften door den Gouverneur-Generaal


is of zal worden bepaald.

Terjemahannya:
Sejauh memungkinkan, penduduk Bumiputera tetap dibiarkan berada di
bawah arahan langsung oleh para kepalanya sendiri, yang ditunjuk atau diakui
oleh pemerintah, dan tunduk pada tingkat yang lebih tinggi sebagaimana telah
atau akan ditentukan oleh peraturan umum atau khusus oleh Gubernur
Jenderal.
18

BAB III
PENUTUP

Dinamika sosial politik yang terjadi dalam perkembangan kebijakan, hukum,

peraturan, dan ketentuan yang berlaku di Hindia Belanda pada era Pemerintahan kolonial

Hindia Belanda (periode 1854-1920) memberikan gambaran perubahan dan pembaruan

untuk mencapai berbagai tujuan tertentu. Perkembangan tahapan-tahapan tersebut

dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan liberalisme yang mencoba membuka peluang lebar

untuk menerapkan model-model Eropa guna diterapkan di daerah jajahan. Namun,

kebijakan yang juga alih-alih hendak menjamin perlindungan kepentingan penduduk

Bumiputera, justru menghasilkan pola-pola kebijakan yang memprioritaskan kepentingan

kolonial. Aktor-aktor yang terlibat dalam penetapan kebijakan-kebijakan kolonial di

bidang pemerintahan adalah tokoh-tokoh berperadaban Eropa dan berkebangsaan

Belanda, dengan tugas dan tanggung jawabnya untuk menangani daerah jajahan pada

pilihan-pilihan yang mempertimbangkan eksistensi dan esensi peradaban Barat.


19

DAFTAR PUSTAKA

A. Daliman, 2012,Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX: Sistem politik kolonial dan
administrasi pemerintahan Hindia Belanda ,Yogyakarta: Penerbit Ombak

Faruk,2007, Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia


Yogyakarta: Pustaka Pelajar

J.S. Furnivall,2016. Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk ,Jakarta: Freedom
Institute

Bernard H.M. Vlekke, 2 0 0 9 , Nusantara: Sejarah Indonesia (,akarta: Kepustakaan Populer


Gramedia

Joan Hardjono,1990, Tanah, Pekerjaan, dan Nafkah di Pedesaan Jawa Barat, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press

James R. Rush, 2012, Jawa Tempo Doeloe: 650 tahun bertemu Dunia Barat 1330-1985 ,Jakarta:
Komunitas Bambu

Lih. Thomas Stamford Raffles,2014, The History of Java ,Yogyakarta: Narasi

Lih. Frances Gouda, 2007, Dutch Culture Overseas: Politik Kolonial di Hindia Belanda 1900-
1942 Jakarta: Serambi

Mona Lohanda,2011, “The British Rule in Java, 1811-1816 Glimpses at the archives” dalam
Mona Lohanda, Membaca Sumber Menulis Sejarah, Yogyakarta: Penerbit Ombak

Mubyarto, 1992,Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial Ekonomi ,Yogyakarta:
Aditya Media

Teguh Prasetyo, 2013,Kadarwati Budiharjo, dan Purwadi, Hukum dan Undang-undang


Perkebunan, Bandung: Nusa Media

Sri Harini, 1994,Sejarah Hukum Indonesia Masa Pemerintahan Daendels-Raffles, Salatiga:


UKSW

Soetandyo Wignjosoebroto,2014, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Jakarta: HuMa-


Jakarta

Anda mungkin juga menyukai