Anda di halaman 1dari 12

KONSTRUKSI SOSIAL EKOLOGI MASYARAKAT DALAM

MELESTARIKAN CAGAR ALAM MENUJU PEMBANGUNAN


BERKELANJUTAN

JOLE DOWANSIBA

PROGRAM DOKTOR
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PAPUA
MANOKWARI
2021
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masyarakat Arfak menempati wilayah pegunungan Arfak yang berada di


wilayah kepala burung pulau Papua. Masyarakat pegunungan Arfak juga disebut
sebagai masyarakat suku besar Arfak karena terdiri atas beberapa sub suku yakni
suku Hatam, Moile, Sough dan Meyah. Wilayah ini sebelumnya merupakan
bagian dari kabupaten Manokwari namun di tahun 2012 yang lalu ditetapkan
sebagai kabupaten pemekaran baru, terpisah dari wilayah kabupaten Manokwari
berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 2012 tanggal 16 November 2012.
Selama ini, masyarakat pegunungan Arfak relatif terisolir dari pembangunan yang
ada di kabupaten terdekat (Kabupaten Manokwari) yang jaraknya sekitar 40 km
dari Distrik Minyambouw (Kabupaten Pegunungan Arfak) ke Pasar Wosi
(Manokwari). Kondisi ini terjadi karena wilayah Pegunungan Arfak dikelilingi
oleh pegunungan dengan ketinggian mencapai lebih kurang 2.500 m dpl dengan
suhu udara yang relatif rendah 19-22o C membatasi perkembangan yang berasal
dari luar. Sebelum ada akses jalan raya ke pegunungan Arfak, wilayah ini hanya
dapat dicapai dengan berjalan kaki selama 2-4 hari atau mengikuti pesawat
terbang jenis Cesna milik misionaris dan turun di wilayah Minyambouw dan
Anggi.

Secara umum sebagian besar wilayah Pegunungan Arfak masih berupa


hutan baik primer maupun sekunder yang membentang dari gunung yang tinggi
sampai pada lereng dan lembah. Masyarakat menempati sebagian kecil wilayah
lembah dan punggung gunung yang relatif aman untuk pemukiman. Wilayah
bertani (berusaha) bagi masyarakat berada di sebagian kecil dataran dan lereng
gunung yang curam lebih dari 30o. Kemampuan masyarakat dalam mengelola
lingkungan dan sumber daya alamnya menjadi syarat utama untuk bertahan hidup.
Ketergantungan terhadap alam dan lingkungan sangat besar karena hutan menjadi
sumber kehidupan baik sebagai sumber pangan, obat-obatan, konstruksi dan
budaya.
Wilayah pegunungan Arfak memiliki flora dan fauna yang unik
dibandingkan bagian wilayah pegunungan lain di Papua Barat. Ekosistem
pegunungan dengan suhu udara yang rendah menghasilkan flora dan fauna khas
menjadi alasan ditetapkannya wilayah ini menjadi kawasan Cagar Alam
Pegunungan Arfak (CAPA). Sebagian besar wilayah hutan tersebut termasuk ke
dalam kawasan CAPA dengan luas 68.325 ha. Areal berusaha masyarakat adalah
di kawasan penyangga dan daerah lereng yang telah disepakati bersama.
Keberadaan kawasan Cagar Alam (CA) menjadi lebih penting karena masuk
dalam wilayah administratif tiga kabupaten yakni Kabupaten Manokwari,
Kabupaten Pegunungan Arfak dan Kabupaten Manokwari Selatan.

Pemekaran wilayah administratif yang terjadi selama ini diikuti pula


dengan penyediaan sarana prasarana sehingga akan memanfaatkan areal yang ada.
Diperkirakan bahwa di masa mendatang CA akan terancam dan bukan menjadi
areal yang sangat aman untuk melindungi kekayaan flora dan fauna karena
kebutuhan lahan dan kayu akan meningkat, begitu pula kebutuhan akan sumber
daya alam lainnya. Di sisi lain, terjadi berbagai kepentingan atas lahan baik oleh
masyarakat sebagai pemilik ulayat yang memanfaatkan lahan secara tradisional
dan kepentingan pemanfaatan untuk pembangunan oleh pemerintah dan
pemangku kepentingan lainnya. Salah satu faktor pengungkit (leverage factor)
yang dapat menurunkan luas hutan adalah pertumbuhan penduduk yang
berdampak pada penggunaan lahan hutan, erosi lahan pemukiman dan erosi lahan
pertanian (Walukow, 2012).

BAGAIMANA MASYARAKAT ARFAK MELIHAT HUTAN

BAGAIMANA PERAN-PERAN MASYATAKAT ARFAK DALM


MELSETARIKAN HUTAN

APA SAJA AKTIFITAS MASYARAKAT ARFAK DALAM


KAWASAN HUTAN SELAMA INI

Bicara tentang konstruksi sosial (social construction), tidak lepas dari


pemikiran Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Untuk memahami realitas, ada
upaya yang terkoordinasi dan mengikuti proses pertukaran yang pemikiran yang
menjadi karakteristik manusia. Makna (meaning) diproses dan dimaknai oleh
pelaku sosial dengan menjadikannya sebagai realitas, yang secara terus menerus
dilakukan akan menjadi realitas sosial hasil dari konstruksi makna yang dipahami
oleh pelaku sosial. Asumsi yang dikembangkan oleh Peter L. Berger dan Thomas
Luckmann melalui The Social Construction of Reality: A Treatise in Sociological
of Knowledge adalah proses realitas sosial tidak hadir begitu saja, tetapi diterima
dan dimaknai melalui sebuah proses dialektis, feedback (timbal-balik) yang
berlangsung dalam waktu lama dan berulang kali terjadi antara pelaku sosial.
Dalam rangka memahami realitas sosial dan pengetahuan, menurut Berger
dan Luckmann dalam Samuel (2012:14), seorang sosiolog akan mencari
keterkaitan antara kondisi sosial dengan realitas dan pengetahuan. “An adequate
understanding of the reality sui generis of society requires an inquiry into the
manner which reality constructed” (untuk memahami realitas unik dari
masyarakat secara memadai perlu diketahui bagaimana realitas itu terbentuk).
Ada beberapa asumsi dasar dari Teori Konstruksi Sosial Berger dan Luckmann
(1990). Asumsi-asumsi tersebut adalah :
1. Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan
konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya.
2. Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat
pemikiran itu timbul bersifat berkembang dan dilembagakan.
3. Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus-menerus.
4. Membedakan antara realitas dengan pengetahuan.
Konstruksi sosial merupakan sosiologi pengetahuan, maka implikasinya
harus menekuni pengetahuan yang ada dalam masyarakat dan sekaligus proses-
proses yang membuat setiap perangkat pengetahuan yang ditetapkan sebagai
kenyataan. Sosiologi pengetahuan harus menekuni apa saja yang dianggap sebagai
pengetahuan dalam masyarakat (Manuaba, 2008).
Berger dan Luckmann (1990) mengatakan bahwa terjadi hubungan
dilektika antara Individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan
individu. Proses Dialektika tersebut terjadi melalui tiga tahapan, yaitu
eksternalisasi, objektifasi, dan internalisasi. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri
dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. Pada tahap ini manusia
mencurahkan atau mengekspresikan diri dalam berbagai hal di dunia, baik secara
fisik maupun mental. Objektivasi adalah interaksi sosial dalam dunia
intersubjekrif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi. Objektivasi
merupakan hasil yang telah dicapai baik secara mental maupun fisik dari kegiatan
eksternalisasi, yang menghasilkan realitas objektif dan berada di luar manusia.
Internalisasi adalah suatu tahap di mana individu mengidentifikasikan diri di
tengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut
menjadi anggotanya. Proses internalisasi merupakan proses penyerapan kembali
dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektivitas
individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Melalui internalisasi, manusia
merupakan hasil dari masyarakat atau man is social product.

Kerangka Berpikir
Gambaran sosial budaya masyarakat di Kawasan CAPA secara tidak langsung
menciptakan secara terus-menerus suatu kenyataan yang dimiliki bersama yang
dialami secara faktual objektif dan penuh arti secara subjektif. Pemuda Desa
Sitemu memiliki definisi subjektif dalam memandang keberadaan pekerjaan
bidang pertanian, karena jarang sekali yang berminat di dalam pekerjaan bidang
pertanian.
Setiap individu mempunyai kebebasan untuk memilih berbagai alternatif tindakan
untuk mencapai tujuannya. Demikian juga setiap individu mempunyai kebebasan
memilih pekerjaan dalam memenuhi kebutuhan, sebagai tujuannya. Hal ini juga
berlaku pada para pemuda desa Sitemu dalam memilih atau meninggalkan
pekerjaan di sektor pertanian, guna memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan-
tujuannya.
Dalam penelitian ini pemuda desa Sitemu mengkonstruksikan apa yang telah
menjadi pilihannya. Sebelum mereka bertindak, mereka melalui beberapa tahap
proses dialektika menurut teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger dan Thomas
Luckmann. Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas
sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu, yang merupakan
manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi
berdasarkan kehendaknya, yang dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk
bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya serta biasanya
dihubungkan dengan pengaruh sosial dalam pengalaman hidup setiap individudi
mana nanti akhirnya di ketahui alasan untuk memilih bekerja di bidang pertanian
atau memilih bekerja di sektor non pertanian atau industri. Pemuda juga memiliki
berbagai alasan rasional diawali dengan pandangan para pemuda desa Sitemu
terhadap pekerjaan di bidangpertanian.
Pandangan pemuda pedesaan mengenai nilai suatu pekerjaan merupakan
hasil seleksi dari pengalaman hidup yang prosesnya berlangsung sepanjang hidup
(longlife process). Proses munculnyapandangan terhadap suatu pekerjaan
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Pandangan yang positif tentang
pekerjaan pertanian, akan diikuti oleh keputusan tindakan memilih pekerjaan
tersebut sebagai alat untuk meraih tujuan hidup. Pemuda akan memutuskan untuk
bekerja di pertanian,di dalam atau diluar komunitasnya. Sebaliknya, jika
pandangan terhadap pekerjaan pertanian negatif, maka pemuda memutuskan
untuk bekerja keluar sektor pertanian, di dalam atau diluar komunitasnya.
Kelangkaan sumberdaya pertanian dan kelangkaan pekerjaan menjadi faktor
pendorong untuk bertindak dalam rangka memperluas medan sosial. Namun
demikian keterbatasan kualifikasi pendidikan, ketrampilan dan akses terhadap
sektor pertanian menjadi kondisi yang membatasi individu dalam meraih tujuan-
tujuan.
Pemuda, sebagai kelompok yang berada pada usia produktif dan dinamis dalam
masyarakat sehingga dapat mengejar tujuan-tujuan sebagai alternatif dalam
pemecahan persoalan di keluarga. Pemuda juga mempunyai kesadaran dan
mengenal tujuan-tujuan yang ingin diraih sehingga dapat termotivasi.
Pengambilan keputusan mengenai pekerjaan oleh seseorang sangat
dipengaruhi oleh keluarga, ekosistem, maupun masyarakat. Strategi bertahan
hidup dalam lingkungan yang berbeda nilai dan normanya akan
menyebabkan konstruksi dan orientasi kerja serta tindakan yang berbeda pula.
Setelah para pemuda mengkonstruksi pekerjaan di bidang pertanian, mereka
tertarik dan terdorong untuk bekerja di bidang pertanian tersebut atau malah
sebaliknya. Berawal dari pandangan dan faktor yang mempengaruhi, munculah
alasan rasional yang kemudian akan memutuskan pekerjaan yang dipilih guna
mencapai tujuan.
Secara ringkas kerangka berfikir ini dapat dilihat sebagai berikut :

Gambar 1. Kerangka Berpikir


BAB III
Metode Penelitian

Penelitian ini dirancang dengan menggunakan pendekatan kualitatif etnografi dengan


tujuan untuk mendapatkan detil kehidupan masyarakat mengenai nilai dan makna
kearifan lokal setempat dalam konteks holistic atau‘a whole way of life’. Penelitian
etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat,
mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara-cara yang berbeda. Penelitian
etnografi tidak hanya mempelajari masyarakat, lebih dari itu etnografi berarti belajar dari
masyarakat (Spradley, 1997).

Sejalan dengan hal itu, Berger dan Kellner (Samuel, 2012:44) mengemukakan bahwa
metode sosiologi harus memperhitungkan makna yang mengalir di antara para aktor yang
terlibat dalam gejala sosial. Ini merupakan hal yang prinsipil, sebagaimana dijelaskan
Berger dan Kellner, “human phenomena don’t speak from themselves; they must be
interpreted” (fenomena manusia tidak berbicara dengan sendirinya; ia harus ditafsirkan).
Analisis data dalam pendekatan etnografi sebagaimana dikemukakan Spradley (1997)
meliputi, analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, dan analisis tema
budaya.

Peter L. Berger dan Thomas Luckmann mengatakan bahwa antara fenomena sosial dalam
pemikiran dan tindakan sosial, pada akhirnya muncul realitas sosial. Lebih jauh Peter L.
Berger dan Thomas Luckmann mengatakan bahwa proses sosial tercipta melalui tindakan
dan interaksi individu, dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang
dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Konstruksi hadir melalui tindakan dan
interaksi individu, secara terus menerus terhadap kenyataan (realitas) yang dimiliki dan
dialami bersama dengan individu lain secara subjektif (Parera & Frans, 1990). Makna
terkonstruksi secara terus menerus, dan menjadi pijakan bagi individu dalam bertindak,
dan makna inilah kemudian yang dipahami sebagai konstruksi sosial. Kenyataan sosial
didekati dengan berbagai pengetahuan atau pendekatan, seperti mitologis yang tidak
rasional, filosofis yang bercorak moralitas, pengetahuan praktis yang bersifat fungsional,
dimana karena penanaman yang dilakukan secara terus menerus, pada akhirnya
pengetahuan tersebut membangun struktur dunia akal sehat. Semisal, pekerjaan
membersihkan rumah-menyapu, pemahaman bahwa anak perempuan harus
menyelesaikan membersihkan rumah-menyapu. Orang tua menciptakan
mitologis yang tidak rasional, yang mengatakan bahwa jika anak perempuan tidak
menyelesaikan pekerjaan rumah akan jauh dari jodohnya
Gejala sosial yang bersifat intersubjektif memiliki dua dimensi, yaitu obyektif dan
subjektif. Masyarakat sebelum memiliki pengetahuan atau pemahaman tentang
kehidupannya sendiri, masih berada pada dimensi obyektif. Semua pandangan yang
dilihat
dalam kehidupan sehari-hari berangkat dari pemikiran pribadi, tanpa ada pengaruh
pemikiran luar. Sedangkan pemahaman subjektif merupakan pemahaman dari individu
lain
di luar pemikiran individu. Ketika individu sudah melakukan interaksi dengan orang lain,
dan menghasilkan pemahaman berdasarkan kepada pemikiran orang lain, maka itulah
yang
disebut pemahaman intersubjektif. Kenyataan intersubjektif dalam proses sosialisasi tidak
selamanya berlangsung sempurna, karena tidak semua perubahan atau proses mampu
diserap individu dengan sempurna. Setiap individu menyerap satu bentuk tafsiran tentang
kenyataan-kenyataan sosial secara terbatas, sebagai cermin dari dunia obyektif.
Berger dan Luckmann mengatakan bahwa institusi masyarakat tercipta dan
dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat
dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataannya semuanya
dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi
melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki
subjektivitas yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia
menciptakan
dunia dalam makna simbolik yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang
menyeluruh,
yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada
berbagai bidang kehidupan. Intinya, terjadi dialektika antara individu menciptakan
masyarakat dan masyarakat menciptakan individu.
Proses pemaknaan individu terhadap lingkungan dan diluar diri individu adalah
sebuah proses eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi yang terjadi antara individu di
dalam masyarakat. Berger dan Luckmann menemukan konsep yang menghubungkan
antara
kenyataan subjektif dan obyektif melalui konsep dialektika, yang dikenal dengan
eksternalisasi-objektivasi-internalisasi. Eksternalisasi merupakan penyesuaian diri dengan
dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. Individu-individu dalam proses
eksternalisasi
mengidentifikasikan dirinya dengan peranan-peranan sosial yang sudah dilembagakan
dalam institusi yang sudah ada. Obyektivasi merupakan interaksi sosial yang
dilembagakan
atau mengalami proses institusionalisasi atau penanaman simbol. Obyektivasi terjadi
melalui penegasan berulang-ulang oleh orang lain, yang memiliki defenisi subjektif yang
sama. Individu menciptakan makna simbolik universal, yang digunakan sebagai
pandangan
hidup secara menyeluruh. Sebagai contoh, pemahaman keagamaan yang melembaga
secara
terus menerus, pada akhirnya menjelma menjadi ideologi, yang digunakan masyarakat
atau
individu didalam bertindak dan bersosialisasi dalam kehidupan sehari-hari. Internalisasi
sebagai suatu pemahaman atau penafsiran yang langsung dari peristiwa obyektif atau
suatu
pengungkapan makna, sebagai titik awal individu memahami kehidupan sosial dan
menjadi
anggota masyarakat. Titik awal dari proses ini adalah kesadaran individu selama
internalisasi, dan diikuti dengan proses sosialisasi.
Eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi yang terjadi antara individu di dalam
masyarakat, kemudian menghasilkan realitas sosial berupa pengetahuan umum, konsep,
kesadaran umum, dan wacana publik. Pengetahuan didefenisikan sebagai kepastian
bahwa
fenomena adalah riil adanya dan memiliki karakteristik khusus dalam kehidupan kita
sehari-hari. Masyarakat menciptakan, membangun dan memelihara makna atau realitas
sosial yang disepakati bersama, dan menjadikannya sebagai sebuah pegangan bagi
kehidupan sehari-hari. Ini menjadikan individu ataupun masyarakat sebagai bagian
penting
pencipta konstruksi sosial juga menjadi bagian yang terkonstruksi oleh pemikirannya. Ini
sejalan dengan pemikiran Waters, bahwa manusia membangun realitas sosial (Basrowi &
Sukidin, 2002), yang menjadi unsur paksaan pada dirinya sendiri
Fungsi CA yang melarang adanya aktifitas dalam areal sehingga sulit
untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat di masa depan. Saat penetapan
sebagai CA, masyarakat merasa kehilangan otoritas akan tanah dan sumber daya
milik mereka karena hutan bukan hanya milik mereka namun milik pemerintah
(Laksono dkk., 2001). Perubahan fungsi kawasan dari CA menjadi taman nasional
dipandang dapat menjadi solusi (Hastanti dan Yeny, 2009). Dengan demikian
kondisi kelestarian hutan dan CA dihadapkan pada kenyataan tentang pemekaran
wilayah, kebutuhan lahan dan kelestarian kawasan itu sendiri. Analisa SWOT
(Strength, Weaknesses, Opportunities and Threat) dimaksudkan untuk melihat
kelestarian kawasan CA ini di masa mendatang karena keberadaannya yang
mencakup tiga wilayah kabupaten yang dua di antaranya merupakan kabupaten
pemekaran baru yang membutuhkan dukungan sarana dan prasarana yang
memadai. Keberadaan nilai-nilai tradisional perlu digali lebih dalam guna
mengatur peruntukkan pemanfaatan hutan yang lebih baik, menghindarkan
konflik dan memberi sumbangsih bagi kemaslahatan masyarakat asli dan
pemangku kepentingan lain serta menjaga kelestarian hutan dan sumberdaya alam
di dalamnya. Kawasan yang dilindungi merupakan tempat yang tepat untuk
belajar menilai hubungan yang harmonis antara kawasan hutan dengan
masyarakat karena hubungan yang baik tercermin lewat hutan yang lestari (West
dkk., 2006). Adapun tujuan penelitian ini adalah merumuskan strategi-strategi
yang tepat dalam membangun dan menjaga kelestarian hutan cagar alam
Pegunungan Arfak.

Penelitian yang keempat yaitu penelitian yang dilakukan oleh Triman Tapi, dkk
yang berjudul “Konstruksi Sosial Petani Dalam Pembentukan Tani Di Kabupaten
Manokwari” dalam penelitiannya menyebutkan bahwa konstruksi sosial petani
dalam pembentukan kelompok tani, sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya
dan tradisi masyarakat setempat. Konsep “igya ser hanjop” sebagai produk dunia
sosiokultur masyarakat Arfak mengalami proses eksternalisasi dalam sendi-sendi
kehidupan sosial masyarakat secara turun temurun, kemudian diinternalisasi
melalui tindakan dan perilaku sosial yang lebih mengutamakan kepentingan
kolektif kekerabatan. Dampaknya tiap invidu dalam komunitas masyarakat Arfak
memandang bahwa keikutsertaan dalam kelompok tani hanya dimungkinkan bila
sesame anggota saling memiliki hubungan kekeluargaan (proses objektivasi).
Keterbatasan pengetahuan dan pemahaman dari pengurus dan anggota akan
manfaat kelompok tani serta tidak adanya pendampingan oleh pelaksana program
menyebabkan kinerja kelompok tani sangat rendah. Selain itu kelompok tani
dianggap merupakan kebutuhan pemerintah (stakeholder) dan bukan kebutuhan
mereka. Untuk itu perlu diperhatikan kesesuaian nilai dan sifat-sifat inovasi
dengan nilai-nilai adat setempat.

Anda mungkin juga menyukai