Anda di halaman 1dari 4

Menelusuri Museum Singhasari: Meski Minim Koleksi, Tetap Berupaya

Inovasi

Ken Angrok tiba di Tumapel untuk mengabdi


kepada Tunggul Ametung. Namun, paras
cantik Ken Dedes, istri majikannya,
membuatnya luluh. Tahu bahwa Ken Dedes
juga diramalkan akan menurunkan raja-raja
di Tanah Jawa, ia hilang kendali.
Dihunuskannya keris buatan Mpu Gandring
ke dada majikannya sampai tewas, dan ia
pun merebut kekuasaan.

Visualisasi kisah itu dapat ditemukan di Museum Singhasari, museum yang diklaim sebagai lumbungnya
artefak di Kabupaten Malang. Lokasinya ada Perumahan Singhasari Residence, Desa Klampok,
Kecamatan Singosari, berselang delapan menit saja berkendara dari Pasar Singosari melalui Jalan
Tumapel. Lokasinya memang agak ke dalam, tetapi cukup mudah ditemukan.

“Saat ini, sudah banyak anak muda yang secara


mandiri menyukai datang ke museum ini, dan itu
artinya banyak yang mulai sadar akan kecintaan
terhadap budaya lokal,” kata Yossi Indra
Herdyanto, Pamong Budaya Ahli Museum
Singhasari, saat menyambut kunjungan saya.
“Rencananya, museum juga akan dibuka pada
Sabtu dan Minggu untuk menggaet pengunjung
umum, bukan hanya didominasi kalangan akademis
atau sekolah.”
Beroperasi perdana pada tahun 2015 lalu,
Museum Singhasari memang cocok dijadikan
lokasi bagi mereka yang ingin mengetahui
seluk-beluk sejarah Kerajaan Tumapel atau
lebih populer dengan nama Kerajaan Singosari.
Di sini, pelancong akan menemukan sejumlah
artefak peninggalan Singosari, termasuk arca
Ganesha, arca Mahisha, dan arca Prajna
Paramita, yang disebut-sebut sebagai wujud
ideal kecantikan perempuan Jawa.

Saat menginjakkan kaki di halaman museum, saya disambut patung Ken Dedes dan Ken Angrok (juga
dikenal dengan nama Ken Arok). Setelah menelusuri jalan setapak, tibalah saya di pendapa yang
‘dikawal’ dua patung Dwarapala. Masih di bagian depan pendapa, ada lingga-yoni, situs berbentuk alat
vital laki-laki dan perempuan. Hal ini bukan bertujuan mengumbar seksualitas, tetapi lingga-yoni
merupakan simbolisasi mengenai asal terciptanya
kehidupan manusia.

Memasuki museum, bukan hanya arca yang dipajang.


Ada pula sejumlah koleksi bersejarah, yang tidak hanya
berasal dari Kerajaan Singosari, tetapi juga dari Kerajaan
Kediri, bahkan Kerajaan Mataram. Lebih dari 300 koleksi
artefak yang dipamerkan di museum tersebut, berbahan
batu, kayu, dan logam. Tak ketinggalan, topeng-topeng
karya Mbah Karimun, maestro Topeng Malangan.

Dijelaskan Pak Yossi, tata pameran museum ini


mengusung tema media komunikasi grafis. Nantinya
akan ditampilkan juga alur kisah berdasarkan zaman
pemerintahan raja-raja Singhasari, mulai dari Ken Arok
sampai Wisnuwardhana. “Ruangan nantinya akan dibagi
menjadi empat bagian, yakni ruang dengan peninggalan sejarah berdasarkan pemerintahan raja,”
sambungnya.

Zaman pemerintahan Ken Arok akan dibuatkan ruangan tersendiri. Sementara itu, ruangan lainnya
menggabungkan zaman pemerintahan Anusapati dan Tohjaya. Zaman kekuasaan Wisnuwardhana juga
akan digabung dengan dua pejabat lainnya di era tersebut, sedangkan eranya Kertanegara akan
dibuatkan satu ruangan khusus. “Nantinya museum juga menampilkan diorama Benteng Ganter,” imbuh
Yossi.

Yossi melanjutkan, pihaknya sudah menyiapkan langkah-langkah


promosi agar Museum Singhasari nantinya ramai pengunjung.
UMKM akan diberi stand khusus untuk berjualan, ada pula undangan
untuk sekolah-sekolah, mengundang para pesohor, memutar film
tentang Kerajaan Singosari, memberi panggung untuk musikus lokal,
dan tentu saja memperbanyak spot untuk selfie.

Upaya promosi tersebut terbilang masuk akal. Pasalnya, koleksi


artefak museum yang terletak di Kawasan Ekonomi Kreatif (KEK)
Singosari itu memang didominasi replika, yang mungkin saja telah
mengurangi daya tarik tempat tersebut. Kabarnya, artefak yang asli
ada yang bercokol di Museum Nasional Indonesia dan Museum
Leiden di Belanda. Sungguh sangat disayangkan.

Memang, ada usaha untuk menambah koleksi,


salah satunya dengan meminta artefak milik
desa dan warga setempat untuk disimpan di
museum. Sosialisasi pun sudah diupayakan,
termasuk memberikan edukasi kepada
masyarakat tentang bagaimana seharusnya
temuan cagar budaya dilaporkan dan disimpan.
Yang jadi pertanyaan, kenapa tidak mencampurkan antara teknologi kekinian (digitalisasi) dan museum?
Digitalisasi adalah solusi untuk museum era kini. Bukan hanya memindahkan media (mengubah analog
menjadi digital), tetapi juga mengaplikasikan teknologi tersebut secara menyeluruh, termasuk membuat
konten digital. Tujuan paripurnanya, museum tidak hanya menyimpan dan memamerkan barang, tetapi
juga bisa ‘berinteraksi’ dengan pengunjung sehingga ilmu dapat disalurkan secara menyenangkan.

Di Indonesia, salah satu museum yang telah


menerapkan digitalisasi ini adalah Museum
Sumpah Pemuda di Jakarta. Melalui layar imersif,
para pengunjung akan disuguhi reka adegan
kongres pemuda sebelum dilahirkannya Sumpah
Pemuda. Sementara itu, Museum Gedung Sate di
Bandung malah telah menawarkan pengalaman
wisata hi-tech berkeliling museum menggunakan
VR (virtual reality) serta menelusuri
pembangunan museum lewat eksibisi AR
(augmented reality).

Berdasarkan hasil musyawarah umum


ICOM (International Council of
Museum) pada 1974, museum
didefinisikan sebagai lembaga bersifat
tetap, non-profit, terbuka untuk umum,
yang memperoleh, merawat,
menghubungi, dan memamerkan
barang-barang pembuktian manusia dan
lingkungannya, bukan hanya untuk
tujuan studi, tetapi juga kesenangan. 1
Yang terakhir, diakui atau tidak, belum
kita miliki.

1
Matitaputy, J. 2007. Pentingnya Museum bagi Pelestarian Warisan Budaya dan Pendidikan dalam Pembangunan.
Kapata Arkeologi Edisi Khusus Balai Arkeologi Ambon, hlm. 38-46.

Anda mungkin juga menyukai