Trainer
Dr.Eng Puspita Dirgahayani
Dr. I Gusti Ayu Andani
1. Pendahuluan
Program SUTRI NAMA memiliki tujuan untuk memberikan solusi permasalahan di kota besar,
terutama dalam kaitannya dengan kemacetan lalu lintas dan tingginya emisi gas rumah kaca.
Pengembangan Bus Rapid Transit (BRT) di perkotaan dinilai sebagai cara utama yang untuk
menggapai tujuan di atas. Untuk itu, kapasitas sumber daya manusia perlu disiapkan guna
memastikan penerapan BRT yang efektif. Oleh karena itu dilaksanakan Pelatihan
Pengembangan Kapasitas untuk pemangku kepentingan di lima kota yang
mengimplementasikan BRT, yakni Bandung Raya, Semarang, Pekanbaru, Makassar, dan
Batam.
Dengan adanya program pengembangan kapasitas ini, peserta pelatihan diharapkan memiliki
pengetahuan dan/atau keterampilan dasar mengenai konsep, prinsip dasar, preseden, dan
peraturan atau kebijakan berlaku terkait setiap topik yang dibahas pada masing-masing modul.
Selain itu, peserta pelatihan juga diharapkan mampu untuk mengenali isu di Indonesia dan kota
masing-masing dalam penerapan pengetahuan dasar yang diperoleh serta mendiskusikan
solusinya. Untuk mencapai capaian pembelajaran tersebut tersebut, maka salah satu metode
pembelajaran yang digunakan dalam Modul-1 adalah melalui penyelenggaraan workshop.
Workshop pada Modul-1 membahas mengenai integrasi antarmoda, yakni antara (1) BRT dan
angkutan umum dan (2) BRT dan kendaraan bermotor. Pelaksanaan workshop yang pertama
(Workshop Integrasi Antarmoda: BRT dan Angkutan Umum) dari Modul-1 akan dibahas pada
ToR ini.
Tujuan dari dilaksanakan Workshop Integrasi Antarmoda: BRT dan Angkutan Umum adalah:
• Memahami tahapan integrasi BRT dan angkutan umum.
• Mengidentifikasi isu atau hambatan dalam proses integrasi BRT dan angkutan umum di
kota masing-masing, baik secara fisik, tarif/pembayaran, maupun kelembagaan.
• Mengidentifikasi kebijakan eksisting daerah yang mendukung proses integrasi BRT dan
angkutan umum.
2. Tinjauan Materi
Tujuan integrasi antarmoda menurut ITDP1 adalah (1) lebih cepat, dengan memangkas waktu
tunggu dan waktu transfer, (2) lebih mudah, dengan memperpendek jarak kaki, memperjelas
informasi, dan rasa nyaman dalam satu sistem, serta (3) lebih terjangkau, dengan menghemat
biaya dengan tarif dan pembayaran yang terintegrasi.
Untuk dapat mencapai tujuan integrasi antarmoda di atas, penting untuk melakukan integrasi
fisik dan integrasi tarif serta pembayaran.
1) Integrasi fisik
a) Koneksi langsung
Penempatan lokasi halte atau stasiun moda angkutan umum eksisting dengan yang
baru seringkali berada dalam jarak yang relatif dekat. Saat tahap perencanaan perlu
dipastikan tipikal kasus seperti ini disepakati penyediaan koneksi langsung antara
kedua moda. Integrasi infrastruktur ini sangat bermanfaat terutama untuk
penumpang yang akan transfer sehingga bisa mengurangi waktu tunggu, waktu
transfer, dan jarak berjalan kaki.
b) Penyeberangan langsung
Penyeberangan langsung sebidang sebagai akses yang lebih universal dan
penumpang dapat lebih cepat mengakses halte.
c) Aksesibilitas kawasan terutama secara internal (dalam radius jalan kaki 400 – 800
m)
Perbaikan aksesibilitas pejalan kaki dalam radius 500 meter, tidak hanya pada jalan
utama. Penambahan kenyamanan untuk pejalan kaki berupa koridor yang terlindung
dari cuaca, penghijauan, aktivasi trotoar, dan muka bangunan. Selain jalan kaki,
aksesibilitas untuk pengguna sepeda juga menjadi perhatian, baik bersepeda
dengan sepeda pribadi maupun sewa (bike-sharing).
1
ITDP (2019). Pedoman Integrasi Antarmoda Tahun 2019. Jakarta Pusat: Institute for Transportation and
Development Policy (ITDP)
o Pendapatan tambahan bagi operator untuk perjalanan yang tidak
digunakan
Secara fisik, jaringan BRT yang sedang atau akan dikembangkan merupakan bagian dari
jaringan sistem angkutan umum perkotaan secara keseluruhan. Adalah penting untuk
memastikan bahwa jaringan BRT tersebut dapat mengantarkan calon penumpang dari titik
asal hingga titik tujuan secara seamless. Tahapan integrasi antara BRT dan angkutan
umum, secara singkat, adalah sebagai berikut:
1) Mengidentifikasi jalur BRT atau moda kinerja tinggi lainnya sebagai jalur utama
(backbone atau trunk mode). Dapat mengacu pada feasibility study yang sudah disusun
atau langsung dari desire lines. Bila sudah terdapat rencana beberapa jaringan, perlu
ditetapkan satu atau beberapa koridor prioritas sebagai backbone tersebut.
2) Menganalisis jalur angkutan umum eksisting yang tumpang tindih dengan jalur utama
pada poin 1 dengan segmen jalur yang tumpang tindihnya lebih dari 50%.
a. Jika lebih dari 50%, jalur angkutan umum tersebut akan dihapus dan operator
dilibatkan dalam pengelolaan BRT pada koridor yang bersangkutan.
b. Jika kurang dari 50%, rute akan direstrukturisasi menjadi jalur pengumpan BRT.
3) Sebagai bagian dari restrukturisasi rute, ditetapkan terlebih dahulu titik transfer
(interchange point) utama dimana ada perpotongan dua atau lebih moda untuk
meningkatkan efisiensi rute dan meningkatkan dampak stasiun terhadap
pengembangan kawasan sekitarnya.
4) Menganalisis potensi titik transfer utama tersebut dalam penerapan transit oriented
development (TOD) dengan mempertimbangkan peraturan tata ruang dan rencana
pengembangan angkutan umum massal di kota masing-masing.
3. Lingkup Bahasan
4. Kebutuhan Data