A. Permasalahan Transportasi
5. Kebijaksanaan Dekonsentrasi
6. Pertumbuhan Ekonomi
Kerugian akibat kemacetan lalulintas di perkotaan terutama terkait dengan:
Pada level makro, penataan ruang perkotaan perlu dikembangkan ke arah model-
model perencanaan kota yang bersifat:
Pada level meso, perlu dikembangkan angkutan umum masal dan dilakukan
keterpaduan transportasi antar moda yang mengarah pada seamless transport, sehingga
pengguna angkutan umum dapat berpindah-pindah moda tanpa halangan yang berarti. Selain
itu perlu diterapkan pula skema-skema Transport Demand Management seperti:
1. Park-and-ride, yaitu fasilitas untuk dapat berpindah moda secara nyaman dari kendaraan
pribadi ke angkutan umum (KA atau Busway).
2. High Occupancy Vehicle, yaitu pemberian prioritas bagi kendaraan dengan muatan
penumpang tinggi seperti bus, mikrobus dll.
3. Ride-sharing, yaitu mengembangkan upaya-upaya penyediaan angkutan antar-jemput
atau berkendaraan bersama dalam satu tempat kerja.
4. Car-pooling yaitu pengembangan sistem angkutan shuttle dari lokasi-lokasi hunian yang
disediakan secara swadaya oleh penghuni atau pengembang.
Kebijakan pada level mikro atau street level akan diarahkan pada keterpaduan
penanganan prasarana dan sarana serta penerapan skema-skema traffic management.
Komponen prasarana dan sarana yang perlu ditangani antara lain menyangkut:
Pada akhirnya dalam mengembangkan konsepp TDM, langkah paling jitu adalah
membawa masyarakat perkotaan untuk menggunakan moda transportasi umum. Namun,
masalahnya pada saat ini penggunaan kendaraan pribadi menjadi hal yang sangat disenangi
masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari ketidakmampuan angkutan umum melayani kebutuhan
mobilitas mereka dengan cepat, mudah, dan murah tentunya. Namun, seperti yang telah
disebutkan di awal bahwa pengunaan angkutan pribadi yang berlebihan justru akan
menimbulkan masalah masalah lalulintas. Untuk itulah konsep TDM ini perlu diterapkan.
Adapun secara garis besar penerapan konsep TDM ini dapat dikelompokkan dalam dua
alternatif yaitu:
Tabel 1 menyajikan strategi, metoda, dan teknik TDM yang sudah dikenal cukup luas
dan umumnya sudah diterapkan di berbagai kota di dunia. Dilihat dari stategi-strategi yang bisa
diadopsi, strategi tertentu berfokus pada sisi penyediaan, strategi tertentu lainya berfokus pada
sisi demand.
1. DKI Jakarta
DKI Jakarta merupakan kota dengan tingkat kesibukan paling tinggi di Indonesia.
Salah satu hal yang dapat membuktikan pernyataan di atas adalah dengan terlihatnya volume
kendaraan yang ada di Jakarta. Di Jakarta sendiri terdapat sekitar 5,5 juta kendaraan. Dari segi
komposisi kendaraan, saat ini lalulintas di perkotaan didominasi oleh kendaraan roda dua
(61%), sedangkan kendaraan roda empat atau lebih berkisar 39%. Pertumbuhan kendaraan roda
dua ini di beberapa kota mencapai hampir 20% per tahun, sementara kendaraan lainnya
umumnya hanya tumbuh sekitar 5-10%.
Imbas dari volume kendaraan yang besar tersebut, terjadi kemacetan di kota ini. Secara
tipikal kemacetan lalulintas di perkotaan diakibatkan oleh 3 hal pokok yaitu:
Salah satu penyebab masalah transportasi Jakarta adalah kenyataan bahwa masyarakat
lebih cenderung memilih angkutan umum dengan segala keuntungan dan kemudahannya.
Transjakarta merupakan angkutan umum yang terintegrasi di Jakarta. Angkutan ini mampu
melayani kebutuhan perjalanan masyarakat di kawasan Jakarta. Dengan tarif Rp 3500,00
diharapkan masyarakat mampu menggunakan fasilitas transportasi ini. Selain itu yang menjadi
kekhasan transjakarta adalah bahwa angkutan ini memiliki jalur khusus sehingga waktu
perjalanan akan menjadi semakin pendek.
Kebijakan ini ditujukan untuk menggantikan kebijakan three in one yang dinilai tidak
efektif dalam mengendalikan laju penggunaan mobil pribadi sebagai penyebab kemacetan lalu
lintas dan polusi udara di Jakarta. Pada prinsipnya, ERP adalah upaya mengatur aliran
kendaraan dan kemacetan melalui mekanisme penarifan. ERP dibedakan sesuai dengan waktu,
zona berkendaraan, dan jenis kendaraan. Dana yang diperoleh dari penerapan sistem ERP
tersebut digunakan untuk mengembangkan transportasi publik (Infrastructure Watch, 2005).
Karena ERP ini belum sepenuhnya diterapkan, maka perlu dilakukan analisis lalulintas untuk
menentukan lokasi yang benar benar layak untuk diberi ERP.
2. Semarang
Seperti halnya Jakarta dan kota kota besar lainnya, masalah transportasi juga ada di
Semarang. Ada beberapa titik rawan kemacetan di Semarang diantaranya ada di Jatingaleh,
Kaligawe dan bahkan simpang lima. Sementara itu, kinerja angkutan umum di Semarang bisa
dikatakan belum optimal. Dalam penelitian oleh Balitbang yang dilakukan di Kedungsepur
komposisi kendarannya adalah 90% merupakan angkutan pribadi, 10% angkutan umum.
Sedangkan komposisi moda transportasinya adalah 54% Mobil, 37%sepeda motor, 6% Bus,
dan 3% untuk bus kecil. Sementara itu untuk transportasi dalam kota Semarang, kendaraan
jenis sepeda motor mendominasi setiap ruas ruas jalan dengan proporsi rata rata 45% dari ruas
jalan yang ditinjau, angkutan bus memiliki kontribusi sekitar 4% dan angkutan kota 13%.
Sedangkan untuk kendaraan pribadi jenis mobil memiliki proporsi 28% dan sisa lainnya adalah
kendaraan tak bermotor.Berdasarkan hasil analisis serta hasil survey pada beberapa responden,
maka dirumuskan suatu alternatif skenario pengaturan moda transportasi sebagai berikut:
1. Angkutan kereta api dapat di kembangkan untuk melayani perjalanan antar kota (
Pantura)
2. Bus Antarkota (AKDP/AKAP) hanya dibatasi sampai Terminal Bawen, dengan
demikian Terminal Bawen akan berkembang menjadi terminal terpadu.
3. Jalur Ungaran-Semarang dilayani dengan menggunakan bus sedang yang direncanakan
akan dapat berkembang menjadi angkutan umum terpadu seperti transjakarta
4. Angkutan kota dapat dioperasikan sebagai feeder dari perumahan atau daerah bangkitan
yang tidak dilewati jalur utama bus.
5. Adanya penerapan road pricing bagi kendaraan yang masuk kota, pemberian tarif parker
yang cukup mahal,dan cara lainnya untuk mengurangi minat masyarakat menggunakan
kendaraan pribadi.
Gambar 3. Skema pengaturan transportasi Semarang