Umum
Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas Angkutan Jalan,
diamanatkan untuk kota Besar dan kota Raya memiliki sistem angkutan massal jalan berlajur
khusus yang harus didukung sistem pengumpan. Namun setelah ditetapkannya undang-
undang ini, hingga saat ini belum ada dokumen resmi sebagai jabaran dari undang-undang ini
yang ditetapkan guna memandu proses perencanaan sistem angkutan massal berbasis jalan
dikawasan perkotaan. Untuk dapat mengembangkan dan menerapkan sistem ini dikawasan
perkotaan sesuai dengan amanat undang-undang, perlu ditetapkan suatu bentuk panduan yang
dapat dijadikan acuan bagi proses perencanaan angkutan massal berbasis jalan untuk kawasan
perkotaan, khususnya kota-kota dengan kategori kota besar dan kota raya.
Basis Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan Ramah Lingkungan Dan Hemat
Energi
Untuk mencapai sistem transportasi yang ramah lingkungan dan hemat energi, ada beberapa
hal yang perlu dijalankan antara lain:
1. Rekayasa lalu lintas; rekayasa lalu lintas khususnya menentukan jalannya sistem
transportasi yang direncanakan. Penghematan energi dan reduksi emisi pencemar
dapat dioptimasi secara terpadu dalam perencanaan jalur, kecepatan rata-rata, jarak
tempuh per kendaraan per tujuan (vehicle mile trip dan passenger mile trip), dan
seterusnya.
2. Pengendalian pada sumber (mesin kendaraan); jenis kendaraan yang digunakan
sebagai alat transportasi merupakan bagian di dalam sistem transportasi yang akan
memberikan dampak bagi lingkungan fisik dan biologi akibat emisi pencemaran udara
dan kebisingan. Kedua jenis pencemaran ini sangat ditentukan oleh jenis dan kinerja
mesin penggerak yang digunakan.
3. Energi transportasi; besarnya intensitas emisi yang dikeluarkan kendaraan bermotor
selain ditentukan oleh jenis dan karakteristik mesin, juga sangat ditentukan oleh jenis
BBM yang digunakan. Seperti halnya penggunaan LPG, akan memungkinkan
pembakaran sempurna dan efisiensi energi yang tinggi.
Mengacu kepada laporan ITNA tahun 2009, diperoleh urutan prioritas dari hasil seleksi
dengan berbasiskan kriteria umum sebagai berikut:
Teknologi kendaraan
a. Continuously Variable Transmission (CVT)
b. Bahan bakar yang di injeksi langsung (gasoline direct injection)
c. Bahan berobot ringan
d. Peningkatan aerodinamis
e. Teknologi bahan bakar berbasis “cell”
Kesimpulan
Dari hasil kajian dan analisis terhadap berbagai literatur dapat ditarik satu kesimpulan sebagai
berikut :
Ada beberapa definisi tentang angkutan massal namun salah satu definisi yang cukup
singkat dan tepat adalah sebagai berikut; angkutan yang mampu mengangkut dan
memindahkan banyak orang dalam waktu yang bersamaan. Begitu pula halnya untuk
definisi “Angkutan Massal Berbasis Jalan”. Salah satu definisi adalah sebegai berikut;
moda angkutan umum cepat yang mampu mengkombinasikan kualitas angkutan
massal berbasis rel dengan tingkat fleksibilitas dari angkutan bis.
Moda transportasi yang ramah lingkungan dapat didefinisikan sebagai moda yang
dapat memberikan manfaat bagi lingkungan, yaitu kendaraan dengan konsumsi bahan
bakar yang rendah (efisien), menghasilkan emisi polutan dan suara yang rendah,
manufaktur yang ramah lingkungan, menggunakan bahan-bahan pembentuk
kendaraan yang optimum dan dapat di daur ulang, serta mempunyai kelebihan lain
yang relevan dengan lingkungan.
Secara umum, kendaraan yang hemat energi adalah kendaraan dengan konsumsi
bahan bakar paling efisien atau ekonomis, dimana efisiensi pengunaan bahan bakar
diukur berdasarkan rasio jarak tempuh perjalanan per unit bahan bakar yang
dikonsumsi, biasanya dalam km/ liter. Namun bagi sistem angkutan massal yang
hemat energi tergantung dari beberapa faktor seperti teknologi peggerak dan jenis
bahan bakar, pola operasional bis, keterpaduan rencana jaringan dengan guna lahan
dan kebijakan pendukung lainnya.
Dengan asumsi ketersediaan dari sumber energi dan kebijakan perlindungan
lingkungan, maka sumber energi penggerak dari moda angkutan massal berbasis jalan
yang ramah lingkungan adalah tenaga listrik, gas alam dan Solar bersih.
DKI Jakarta telah menerapkan sistem BRT, sedangkan Palembang, Bandung dan
Semarang baru menerapkan sistem semi BRT (sistem Transit). Namun seluruh kota
yang diobservasi telah memiliki konsep perencanaan sistem angkutan massal pada
tataran makro.
Kondisi faktual di tujuh kota yang dijadikan sampel dalam studi ini, jaringan
angkutan umumnya tidak terstruktur dan tumpang tindih serta tidak terintegrasi secara
fisik maupun sistem.
Angkutan kereta api yang beroperasi di DKI Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan
merupakan bagian dari sistem angkutan massal regional namun dalam pelaksanaanya
sebagian besar berjalan sendiri-sendiri. Seringkali akses menuju ke stasiun kurang
didukung moda angkutan umum lainnya.
Berdasarkan analisis terhadap data teknis yang diperoleh dari observasi lapangan, Kota
Jakarta, Medan, Bandung dan Surabaya sudah layak dilayani oleh angkutan massal berbasis
Rel pada koridor-koridor yang sesuai
Penerapan angkutan massal jalan raya lebih sesuai pada koridor-koridor yang perkembangan
intensitas guna lahannya linierPenetapan struktur jaringan layanan (Trunk-Feeder atau Direct
Service) bisa ditinjau dari perbedaan kepadatan penduduk antar wilayah, jarak antara pusat
dan pinggir kota dan besaran permintaan pada koridor yang dikaji.
Regulasi yang mewajibkan penerapan lajur khusus (terproteksi) untuk angkutan massal jalan
raya merupakan kendala utama untuk kota-kota besar di IndonesiaSecara substansi, lajur
khusus baru perlu diterapkan bila kecepatan tempuh rata-rata pada koridor yang dikaji kurang
dari 20 km/jam
Dalam studi ini telah dikembangkan konsep pedoman pengembangan angkutan massal
berbasis jalan yang mempertimbangkan konsep ramah lingkungan dan hemat energi
Karena luasnya lingkup definisi dari istilah “pengembangan”, maka pedoman yang
dikembangkan difokuskan pendalamannya untuk prosedur perencanaan angkutan massal
perkotaan berbasis jalan.
Dari hasil uji coba perencanaan sistem BRT di kota Surabaya dengan prosedur analisis skala
penuh dapat ditarik beberapa kesimpulan:
Rekomendasi
Urutan prioritas untuk kebijakan penggunaan bahan bakar angkutan massal perkotaan
berbasis jalan adalah moda dengan teknologi penggerak berbasiskan: tenaga listrik,
bahan bakar gas alam dan Solar bersih
Dalam konteks penggunaan energi alternatif untuk sumber tenaga listrik bisa mulai
mempertimbangkan penggunaan teknologi nuklir
Kebijakan penggunaan bahan bakar gas alam untuk sistem BRT di Indonesia harus
merupakan kebijakan yang bersifat transisional untuk sampai pada penggunaan
teknologi penggerak listrik baik yang didasarkan dari tenaga pembangkit
konvensional maupun tenaga pembangkit berbasiskan tenaga nuklir
Kriteria (teknis) utama untuk penetapan sistem operasional Angkutan Massal Jalan
Raya adalah besarnya permintaan (demand) dan kecepatan tempuh rata-rata
(operasional) pada masing-masing koridor
Pola operasional sistem Transit atau BRT di Indonesia harus menggunakan
pendekatan jejaring dan sistem teknologi pintar (ITS).
Pengelolaan angkutan massal jalan raya (BRT) harus diserahkan pada suatu lembaga
pengelola yang terpisah dari Regulator/Otorita & Operator.
Rencana Operasional sistem BRT di kota-kota Indonesia mutlak harus memiliki
rencana usaha (Bisnis Plan)
Regulator/Otorita harus memberikan kewenangan penuh pada lembaga pengelola
untuk mengelola secara profesional & menerapkan pendekatan bisnis pada skala
penuh
Perlu adanya satu standar baku karena beberapa standar faktor emisi yang
dikembangkan untuk Indonesia masih kurang (terutama untuk kendaraan dan moda
transportasi dengan standar teknologi baru ).
Perlu adanya standarisasi komponen dan unit harga satuan untuk perhitungan BOK
mengingat hingga saat ini komponen-komponen dan unit harga satuan tiap komponen
tidak banyak dipublikasikan.