Anda di halaman 1dari 15

I.

PENDAHULUAN

Dengan kemurahan Tuhan Yang Maha Esa tersusunlah di bawah ini pengertian pokok
salah satu ajaran tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu Ajaran Tri Tunggal Bayu.
Sebagaimana kita maklumi, bahwasanya manusia adalah makhluk hidup yang tertinggi
derajatnya di dunia ini bila dibandingkan dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Sebagai
makhluk yang tertinggi derajatnya di dunia ini sudah selayaknya bila manusia memiliki
banyak dan bermacam-macam ragam kebutuhan hidup untuk memelihara kelangsungan
hidupnya.

Adapun kebutuhan hidup manusia dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
kebutuhan hidup yang bersifat lahir (material) dan kebutuhan hidup yang bersifat batin
(mental-spiritual). Kebutuhan hidup yang bersifat lahir, misalnya kebutuhan akan makan,
minum, pakaian, perumahan dan prasarana hidup yang lain. Adapun kebutuhan hidup yang
bersifat batin misalnya menikmati bermacam-macam kesenian, kebudayaan, kepercayaan,
agama dan sebagainya. Dan kebutuhan yang bersifat batiniah itulah yang tidak dimiliki oleh
makhluk hidup yang lebih rendah derajatnya seperti hewan dan lebih-lebih lagi tumbuh-
tumbuhan dan tumbuh-tumbuhan itu kebutuhan lahiriahnya atau materialnya pun sungguh
sangat terbatas. Mereka hanya butuh akan makan dan minum, butuh akan sex secara insting
dan bersifat musiman. Sedangkan pada hewan-hewan tertentu butuh sarang untuk memelihara
telur dan anak-anaknya. Pada tumbuh-tumbuhan kebutuhannya lebih terbatas lagi.

Mengenai kebutuhan hidup yang bersifat batiniah (mental-spiritual) pun sesungguhnya


tidak sama intensitasnya (kekuatannya) pada tiap-tiap manusia.

a. Ada manusia yang bersifat acuh tak acuh terhadap kepercayaan, agama dan bahkan
terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa.
b. Ada yang anti agama dan kepercayaan serta anti Tuhan dengan penuh kesadaran.
c. Ada lagi yang bimbang, yaitu kadang-kadang merasa perlu mempunyai kepercayaan,
agama dan menyembah Tuhan apabila sedang dalam kesulitan, penderitaan atau “terjepit”,
tetapi nanti bila hidupnya senang mereka lalu bersikap masa bodoh terhadap kepercayaan,
agama dan bahkan dengan Tuhan.
d. Golongan terakhir, dan ini sangat sedikit jumlahnya, yaitu golongan manusia yang di
dalam kehidupan dan hidupnya selalu ingat akan Tuhan, agama dan kepercayaan. Mereka
merasa tidak bahagia hidupnya apabila hanya terpenuhi kebutuhan lahiriahnya saja
(material). Mereka akan selalu mencari dan mencari ajaran, agama atau kepercayaan, yang
dapat dijadikan sebagai pedoman atau pegangan hidup yang akan dapat menuntun atau
membimbing di dalam mengarungi samudera luas kehidupan yang penuh dengan cobaan,
bahaya dan malapetaka ini ke arah pantai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan
lahiriah maupun batiniah di dunia maupun di alam yang terakhir nanti.

Salah satu ajaran atau kepercayaan yang menurut keyakinan kami akan dapat mampu
membimbing kita ke arah pantai keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan lahir maupun

1
batin di dunia dan di alam yang terakhir nanti ialah yang akan kami uraikan lebih lanjut di
bawah ini.

II. NAMA, AZAS/DASAR DAN TUJUAN

Ajaran Tri Tunggal Bayu bertujuan membentuk dan membawa manusia ke jalan hidup
yang sempurna lahir-batin berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang bertanggung jawab
kepada sesama manusia, Bangsa dan Negara Republik Indonesia atas dasar Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945.

III. PENGERTIAN TRI TUNGGAL BAYU

Tri Tunggal Bayu adalah ajaran yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan
berpandangan luas. Artinya, tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Ketuhanan yang lain.
Adanya pertentangan antara ajaran satu dengan ajaran yang lain, antara kepercayaan yang satu
dengan kepercayaan yang lain atau antara sesama warga di dalam satu pangudian, disebabkan
karena manusia di dalam melaksanakan ajarannya masih belum memahami tentang ajaran
Ketuhanan yang sebenarnya. Ajaran Ketuhanan sebenarnya adalah suatu pengakuan yang kuat
bahwa manusia hidup di dunia ini ada yang memberi hidup, ialah Sang Maha Hidup atau
Tuhan Yang Maha Kuasa yang menguasai alam semesta dan seisinya. Sebagai akibatnya
timbullah kepercayaan, pengakuan dan keyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa itu
memang ada. Maka tumbuhlah hasrat pada manusia untuk mencari Tuhannya, dengan cara
kepercayaan dan keyakinan masing-masing, tetapi yang pada hakekatnya dasar dan tujuannya
adalah sama, yaitu mereka berbakti dan menyembah hanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Jadi asalkan kita mengakui bahwa Tuhan itu satu untuk semua dan kita semua menuju satu
(Tuhan Yang Maha Kuasa), maka pertentangan antara bermacam-macam ajaran Ketuhanan
itu sesungguhnya tidak perlu terjadi.

Kembali pada keterangan di atas, bahwa ajaran Tri Tunggal Bayu adalah ajaran
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya, maka
untuk jelasnya akan diuraikan lebih lanjut secara terperinci di bawah ini :

Tri Tunggal Bayu terdiri dari tiga kata, yaitu :

Tri berarti tiga


Tunggal berarti satu
Bayu berarti kekuatan

Jadi apabila diartikan menurut aksaranya (letterlyk), Tri Tunggal Bayu berarti tiga
unsur beserta kekuatannya yang tetap ada pada setiap pribadi manusia di dunia ini
menjadi satu (manunggal). Adapun yang dimaksud dengan tiga unsur tersebut di atas adalah
:

2
1. Bayu Raga
2. Bayu Jiwa
3. Bayu Sukma

Penjelasan :

1. Bayu Raga
“Kekuataning Raga”, ialah zat-zat mutlak yang ada pada tubuh manusia dan terdiri dari
intisari zat-zat alam. Zat-zat tersebut berasal dari alam yang sangat dibutuhkan dan sangat
berguna bagi tubuh jasmaniah di dalam pertumbuhannya dan ketahanannya. Karena itu
manusia wajib berusaha memenuhi kebutuhan tubuh akan intisari zat-zat alam tersebut.
Namun di dalam usaha memenuhi kebutuhan jasmaniah akan zat-zat alam tadi janganlah
hendaknya kita melewati jalan “serong”, jalan sesat, jalan yang terlarang oleh hukum-
hukum Tuhan, seperti yang dapat kita ketahui dari ajaran-ajaran agama dan atau
kepercayaan yang baik. Janganlah hendaknya kita didorong oleh nafsu keangkara-
murkaan. Sebab jika demikian, maka perkembangan tubuh jasmaniah kita, terutama
bayunya (kekuatan) tidak akan murni, tidak sehat. Tetapi bahkan sebaliknya akan
membawa malapetaka dan kehancuran bagi dirinya, keluarganya, sesamanya dan bahkan
keamanan di dunia terancam karenanya.
Adanya ketidak-amanan serta timbulnya peperangan-peperangan, baik besar maupun
kecil dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia adalah akibat dari adanya usaha
pemenuhan kebutuhan tubuh jasmaniah akan intisari zat-zat alam dengan jalan yang
menyalahi norma-norma kebenaran, keluhuran dan kesucian. Bayu raga menuntut zat-zat
alam yang murni untuk tubuh jasmani/raga dengan cara-cara yang bersih dan jujur, cara-
cara yang dibenarkan oleh tata pergaulan umum yang sopan, beradab dan terlebih dari
pada itu adalah cara-cara yang diridlohi Tuhan. Cara-cara yang dibenarkan oleh ajaran
Ketuhanan. Apabila hal demikian ditempuh, maka bayu raga kita akan merupakan
kekuatan yang murni. Kekuatan yang murni yang berada di tubuh kita itu niscaya akan
merupakan manfaat, merupakan berkat bagi pribadi, keluarga dan sesama.
Ajaran Tri Tunggal Bayu membimbing kita ke arah cara pemenuhan kebutuhan
jasmaniah/raga akan zat-zat alam dengan cara-cara yang berdasarkan tindakan kebenaran,
keadilan dan kesucian itu.
Adapun warga Tri Tunggal Bayu diharuskan menyembah kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa serta mengagungkan sifat-sifat-Nya, melaksanakan dan mentaati ajaran-ajaran dan
“dawuh-dawuh-Nya” serta sebaliknya menjauhi larangan-larangan-Nya. Setiap warga
Tri Tunggal Bayu diwajibkan makarti, berbuat sesuai atau mendekati dengan sifat-sifat
ajaran-ajaran serta “dawuh-dawuh” Tuhan Yang Maha Kuasa.

2. Bayu Jiwa
Setiap manusia yang hidup niscaya memiliki rasa atau perasaan. Rasa atau perasaan itu
memiliki dua sifat, yaitu perasaan positif dan perasaan negatif.

Rasa positif

3
Ialah rasa atau perasaan yang mendorong ke arah pelaksanaan perbuatan yang baik,
perbuatan yang didorong oleh hati nurani. Ini mewujudkan perbuatan-perbuatan yang
menjurus ke arah perbuatan perikemanusiaan dan perbuatan kebajikan terhadap sesama
manusia tanpa membeda-bedakan golongan, bangsa, agama, kepercayaan dan warna
kulit, sebab sama-sama sebagai umat ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa.
Adapun dorongan-dorongan ke arah perbuatan yang baik dan berperikemanusiaan itu
selanjutnya akan berkembang menjadi watak luhur.

Rasa negatif
Ialah rasa atau perasaan yang mendorong timbulnya nafsu angkara murka, yang
merupakan perbuatan yang lebih banyak didorong oleh pemenuhan kebutuhan jasmani
untuk kepentingan diri sendiri, dengan tidak mengingat kepentingan orang lain.
Apabila rasa atau perasaan semacam itu selalu diikuti, maka akan mengakibatkan
timbulnya watak-watak manusia jahat, seperti egois (sifat yang mementingkan diri
sendiri), chauvinis (sifat terlalu mendewa-dewakan bangsa sendiri dengan memandang
rendah bangsa lain), anarchis (sifat tidak mau tunduk terhadap segala peraturan termasuk
kekuasaan pemerintahan) dan masih banyak lagi watak-watak manusia yang buruk
seperti itu.
Dengan mengetahui adanya dua sifat perasaan seperti yang tersebut di atas, yaitu yang
positif dan yang negatif, maka ajaran Tri Tunggal Bayu membimbing kita ke arah
pelaksanaan perasaan yang positif, ke arah memiliki watak-watak baik dan watak luhur.
Bersatunya jiwa baik dan jiwa luhur itulah yang disebut Bayu Jiwa; dan Bayu Jiwa inilah
yang menjadi salah satu tuntutan setiap warga Tri Tunggal Bayu. Disamping Bayu Raga
dan Bayu Sukma, dengan jalan menerapkan/melaksanakan sejauh-jauhnya Sumpah/Janji
7 (dari 1 sd. 7 Sumpah/Janji 7) dalam kehidupan sehari-hari.
Kecuali kita telah membedakan rasa/perasaan menjadi dua macam menurut sifatnya, kita
juga membedakan pula menurut jenisnya. Rasa/perasaan menurut jenisnya ada lima, yaitu
:
a. Rasa angan-angan
b. Rasa wirasa
c. Rasa wireksa
d. Rasa tunggal/rasa hati/rasa nurani
e. Rasa jati

Penjelasan :

a. Rasa angan-angan; tempatnya di otak, gunanya untuk berpikir yang sehat, yang rasional,
bekerja yang baik, penciptaan-penciptaan yang baik, dsb.
b. Rasa wirasa; tempatnya di mulut (lidah dan langit-langit). Ini disebut juga rasa cecap,
yaitu rasa yang dapat merasakan asin, asam, pahit, manis, gurih, pedas dan sebagainya.
Adapun rasa wirasa ini dapat membantu sesuatu yang enak dimakan, yang bermanfaat
atau sebaliknya. Sehingga dengan adanya rasa wirasa/rasa cecap pada diri kita, akan
berakibat pertumbuhan jasmaniah kita menjadi subur, sehat dan kuat karena kita dapat

4
memilih dan menentukan manakah sesuatu yang enak dimakan, manakah yang
bermanfaat bagi pertumbuhan jasmaniah kita.
c. Rasa wireksa; tempatnya di luar daging di bawah/di dalam kulit. Didalam dunia ilmu,
rasa wireksa itu disebut rasa nyeri, yaitu rasa yang dapat merasakan sentuhan, cubitan,
tusukan, sayatan, gaplokan dan sebagainya. Termasuk didalamnya juga rasa panas dan
dingin.
Dengan adanya rasa wireksa itu maka tubuh jasmani kita akan selalu merasa butuh
bermacam-macam perlengkapan, perlindungan jasmani, seperti pakaian (agar kita tidak
kedinginan atau masuk angin), perumahan (agar kita tidak kehujanan dan tidak
kepanasan), sepatu (agar kaki kita terlindung dari duri, pecahan kaca, kuman-kuman dsb).
Dari namanya saja sudah jelas bahwa rasa wireksa berfungsi untuk melindungi
tubuh/jasmani kita dari bermacam-macam bahaya.
(Wi- berarti me; reksa berarti jaga, njaga; wireksa berarti menjaga). Bayangkan misalnya
kita tidak memiliki rasa wireksa temperatur, anggota badan kita dijilat kobaran api, kita
akan tenang-tenang saja karena tidak merasa sakit. Tahu-tahu anggota badan tersebut
sudah hangus atau lumat dimakan api. Misalnya lagi kita tidak menyadari bahwa tangan
atau kaki kita teriris oleh benda tajam karena tidak merasa sakit, tahu-tahu badan menjadi
lemas karena banyak darah keluar. Maka dari itu rasa wireksa itu sungguh amat penting,
karenanya harus dipelihara dan bahkan dihidupkan. Dengan demikian kita akan selalu
terdorong merasa butuh akan barang-barang yang dapat melindungi tubuh jasmani kita
dari bermacam-macam ancaman dan bahaya.
Usaha dan cara-cara memenuhi kebutuhan manusia akan barang-barang perlindungan
tubuh jasmani itu akhirnya ikut menentukan terjadinya perkembangan peradaban.
d. Rasa tunggal/rasa hati/rasa nurani; tempatnya di kalbu.
Rasa tunggal ini dapat membedakan antara senang, tidak senang, khawatir, was-was dan
sebagainya. Rasa semacam itu dimiliki oleh setiap manusia normal. Disamping itu rasa
tunggal dapat merasakan rasa yang dirasakan oleh orang lain. Apa sebabnya demikian?
Karena orang lain pun sama dengan kita, yaitu sama-sama umat Tuhan Yang Mahakuasa,
sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Tuhan Yang Mahakuasa.
Bahwa selain rasa tunggal itu dapat merasakan rasa yang dirasakan oleh orang lain, rasa
tunggal pada tiap-tiap orang adalah sama; karena hati nurani itu hakekatnya adalah satu.
Itulah sebabnya maka disebut rasa tunggal. Karenanya rasa tunggal/hati nurani, rasa hati
itu, selalu dijadikan pegangan hidup bagi setiap warga Tri Tunggal Bayu dengan landasan
Sumpah/Janji 1 sampai dengan 7.
e. Rasa jati; tempatnya di lajer (alat kelamin, baik pria maupun wanita)
Rasa jati itu dapat dirasakan setelah dua rasa menjadi satu. Rasa tersebut hanya dapat
dirasakan oleh orang yang sudah akil baliq. Rasa jati ini hanya dapat dirasakan, tetapi
tidak dapat digambarkan, sukar dan hampir tidak mungkin digambarkan dengan kata-
kata.
Untuk kebahagiaan rumah tangga, keluarga (suami-istri) dan untuk terpeliharanya
ketertiban pergaulan masyarakat (bebrayan), maka rasa jati ini harus dipelihara,
diarahkan sesuai dengan norma-norma hukum agama maupun kepercayaan dan tata susila
pergaulan yang beradab. Sebab apabila rasa jati tersebut tidak dipelihara dan diarahkan,

5
melainkan dibebaslepaskan, niscaya hal itu akan mengakibatkan rusaknya pribadi,
keturunan di dalam keluarga dan meluas kepada rusaknya pergaulan umum.
Jadi rasa jati itu harus dipelihara, jangan dilepaskan tanpa kendali, tetapi jangan juga
dimatikan atau dihilangkan, sebab kalau dimatikan hal itu menyalahi kodrat hidup
manusia.

Kesimpulan :

Kelima jenis rasa tersebut harus dipelihara dengan dilandasi Sumpah/Janji 1 sampai dengan 7.
Dengan demikian barulah akan timbul Jiwa Luhur dan diperolehlah Bayu Jiwa.

3. Bayu Sukma/Sang Hidup


Sukma/Sang Hidup, pada dasarnya sudah suci, karena ia mencerminkan sifat-sifat Sang
Maha Hidup (Tuhan Yang Mahakuasa). Dengan “panggula wentah” pribadi, Sang
Hidup menguasai Jiwa Luhur dan Raga sebagai alatnya (alatnya Sang Hidup). Dan
selanjutnya dapat membimbing kita untuk dapat melaksanakan tugas hidup (mission) di
dunia dan di semesta alam ini dengan sebaik-baiknya, berdasarkan kebenaran, keluhuran
dan kesucian serta dengan rasa aman tenteram dan dengan rasa kasih sayang terhadap
sesama manusia, sesama titah Tuhan Yang Mahakuasa.
Perlu diterangkan di sini, bahwa kita manusia semenjak dilahirkan dari “guwa garba” itu
sudah dilengkapi dengan daya-daya atau kekuatan-kekuatan tiga pokok (tiga komponen)
yang ada di pribadi manusia. Ini diakui atau tidak, terserah manusia masing-masing
menurut keyakinannya. Memang pada umumnya manusia hanya mengakui adanya dua
pokok (dua komponen) bagian pribadi manusia, yaitu raga dan jiwa (lahir dan batin). Hal
itu disebabkan karena mereka belum mempelajari secara mendalam hakekat dan makrifat
di dalam diri pribadi manusia, yang sesungguhnya memiliki Hidup/Sukma, yaitu dzat
yang dapat menerima kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.
Adapun Raga dan Jiwa adalah alatnya Sang Hidup. Sang Hidup inilah yang dapat
berhubungan denan Sang Maha Hidup (Tuhan Yang Mahakuasa).
Agar raga dan jiwa betul-betul dapat menjadi alatnya Sang Hidup, kita harus
melaksanakan/mengetrapkan Sumpah/Janji 1 sampai dengan 7 di dalam kehidupan dan
hidup sehari-hari dan dengan ketekunan berlatih (menurut ajaran Tri Tunggal Bayu).
Tri Tunggal Bayu mendidik manusia ke arah sifat-sifat luhur, dengan landasan
Sumpah/Janji 1 sampai dengan 7 disertai “Karep, Manteb, Madhep”. “Karep” berarti
kemauan yang baik untuk hidup di dalam masyarakat. “Manteb” berarti tekad yang
luhur. “Madhep”, berarti “sawiji” kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Dengan “karep”, “Manteb” dan “Madhep” itu niscaya usaha menyatukan jiwa dan raga
menjadi alatnya Sang Hidup dan menjadi watak budi pekerti yang baik, akan berhasil atas
kemurahan Tuhan Yang Mahakuasa.

6
IV. LAMBANG TRI TUNGGAL BAYU DAN ARTINYA

A
3

1 2

B
C

Keterangan gambar :

A. Dasar/Latar Belakang :
Menggambarkan semesta alam menurut kodratnya, yang dilengkapi oleh Tuhan Yang
Maha Kuasa dengan : - Matahari

7
- Bintang-bintang beserta swasana di alam semesta berikutnya segala
keindahannya.
- Bulan dan sebagainya.
Adapun warna latar belakang tersebut adalah warna alam semesta yang sebenarnya.

B. Gendogo Kencana
Gendogo Kencana yang berwarna kuning keemasan tersebut terbuat dari tanah. Ini
melambangkan raga/tubuh jasmani kita yang berasal dari intisari zat-zat alam termasuk
zat bumi. Jasmani kita digambarkan lakssana wadah dari semacam tumbuh-tumbuhan
yang terdiri dari tiga daun berwarna putih. Agar tumbuh-tumbuhannya dapat hidup
dengan baik dan berkembang, maka wadah itu harus dipelihara dengan baik pula.
Gendogo itu terbuat dari tanah, tetapi kencana berwarna keemasan.
Tubuh jasmani kita pun berasal dari intisari zat-zat alam, termasuk zat bumi, tetapi
dengan jalan mengudi harus berkembang menjadi tubuh yang berbayu raga. Tumbuh-
tumbuhan yang terdiri dari tiga helai daun dan berwarna putih menggambarkan bahwa
pribadi manusia itu mempunyai tiga kemanuan pokok yang disebut :
1. Cipta
2. Rasa Tunggal
3. Karsa Tunggal

1. Daun putih di sebelah kiri itu menggambarkan Cipta. Cipta adalah penemuan untuk
“nggayuh” atau mencapai tata kesempurnaan lahir. Untuk mencapai atau
memperoleh kesempurnaan lahir, manusia harus menempuh cara-cara kebenaran
supaya selamat dan aman. Jadi daun putih di sebelah kiri itu sebenarnya
menggambarkan Bayu Raga.
2. Daun putih di sebelah kanan menggambarkan rasa tunggal atau “kekarepan”,
kemauan dan tekad yang kuat yang merupakan sarana untuk “nggayuh”/ mencapai
kesempurnaan jiwa. Untuk mencapai kesempurnaan jiwa, seseorang manusia harus
menempuh jalan hidup yang berdasarkan keluhuran, yaitu jalan hidup yang sesuai
dengan Sumpah/Janji 1 sampai dengan 7. Jadi daun putih di sebelah kanan adalah
melambangkan Bayu Jiwa.
3. Daun putih yang menjulang tegak lurus (vertikal) menggambarkan Karsa Tunggal,
ialah karsa kang sawiji terhadap yang menitahkan atau yang memberi hdiup, yaitu
Sang Maha Hidup atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Untuk dapat nyawiji/menyatukan
diri dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, kita harus memiliki sifat-sifat dari Tuhan Yang
Maha Kuasa, yaitu Sifat Kesucian.
Sukma berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa, juga bersifat suci. Jadi daun putih yang
menjulang tegak lurus ke atas adalah menggambarkan Bayu Sukma.

C. Pita yang bertuliskan “Tri Tunggal Bayu” adalah sebagai identitas ajaran.

8
V. DASAR-DASAR PENGERTIAN AJARAN SUMPAH/JANJI TUJUH
(SUMPAH/JANJI 1 SAMPAI DENGAN 7)

Sumpah/Janji Tujuh adalah Dasar Pangudian Tri Tunggal Bayu. Sumpah/Janji Tujuh
ialah suatu Sumpah/Janji terhadap diri pribadi yang disaksikan oleh Tuhan Yang Maha Suci.
Kemudian dari pada itu Sumpah/Janji tersebut harus dilaksanakan dan diterapkan sejauh
kemampuan kita di dalam kehidupan kita. Atau dengan kata lain kehidupan kita harus
berjalan di atas rel Sumpah/Janji Tujuh. Dari pelaksanaan Sumpah/Janji Tujuh itulah
seseorang dapat diukur sampai dimana kesungguhan mengudinya. Dan Sumpah/Janji Tujuh
yang diucapkan oleh seseorang warga sebagai sumpah atau janji yang disaksikan oleh Tuhan
Yang Maha Suci, adalah tidak sembarangan, tidak boleh dipakai sebagai “lip service”, buah
bibir atau pemanis omongan saja.
Jadi kalau sudah berjanji atau bersumpah, haruslah dilaksanakan sebaik-baiknya.
Sedangkan sekiranya masih belum mampu melaksanakannya, lebih baik jangan bersumpah
atau berjanji. Sebab segai misal, Sumpah/Janji Tujuh itu sebagai “kendali rangah”. Kendali
rangah biasanya digunakan/dikenakan pada kuda yang galak dan nakal. Selama kuda tersebut
menurut kemauan “kusir”, akan selamatlah kuda tersebut. Akan tetapi apabila kuda tersebut
mencoba melawan kehendak kusir dan akan berbuat sekehendak hatinya, atau menuruti nafsu-
nafsunya, maka akan robeklah mulut kuda tadi karena kendali rangah tersebut.
Jelaslah kiranya perumpamaan di atas itu bahwa Pangudian Tri Tunggal Bayu
membimbing warga agar segala langkahnya, kehendaknya dilandasi dengan pelaksanaan
Sumpah/Janji Tujuh dengan sebaik-baiknya, agar dapat memperoleh keselamatan lahir batin
di dunia sampai akhirnya nanti (di alam yang terakhir). Adapun Sumpah/Janji Tujuh adalah
sebagai berikut :
Sumpah/Janji Tujuh
Allah Tuhanku (3x)
Saya berjanji dan bersumpah pada diri pribadiku dengan disaksikan oleh Tuhanku Yang Maha
Suci :
1. Saya tetap melindungi diri pribadiku selama hidupku di dunia ini sampai di alam yang
terakhir nanti.
2. Saya tetap berbuat kebaikan sesama manusia.
3. Saya tetap sayang-menyayangi sesama manusia yang ada di dunia ini.
4. Saya tetap menuruti hidupku yang suci.
5. Saya tetap menghendaki persaudaraan yang seluas-luasnya sesama manusia yang ada
di dunia ini.
6. Saya tetap menghendaki perdamaian yang seluas-luasnya sesama manusia yang ada di
dunia ini.
7. Saya tetap mengikuti jejak jalan hidupku yang suci.
Ya Tuhanku Yang Maha Suci (3x)

Penjelasan :
“Saya berjanji dan bersumpah pada diri pribadiku yang disaksikan oleh Tuhanku Yang
Maha Suci”, mengandung pengertian suatu kesungguhan dan kesanggupan yang amat
dalam.

9
a. Pribadi kita merupakan totalitas/keseluruhan yang terdiri dari raga, jiwa dan sukma.
Selama kita masih hidup, sukma akan selalu menyertai jiwa dan raga kemanapun
pergi, sehingga karenanya akan mengetahui “tumindaknya”, yaitu tumindaknya raga
dan jiwa dalam arti tumindaking nafsu-nafsu dan watak-watak. Disamping itu
sumpah/janji terhadap pribadi berarti pula adanya kepercayaan yang sangat besar
terhadap diri pribadi sebagai kesatuan dari raga, jiwa dan sukma. Dan adanya rasa
percaya pada diri pribadi adalah merupakan modal dan syarat mutlak untuk percaya
kepada Tuhan Yang Maha Suci sebagai Pencipta alam semesta beserta isinya,
termasuk manusia.
Jadi kepercayaan terhadap diri pribadi adalah merupakan kunci manembah kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan Yang Maha Suci.
b. “...dengan disaksikan oleh Tuhanku Yang Maha Suci”, berarti bahwa Sumpah/Janji ini
tidak main-main. Barang siapa yang sudah percaya bahwa Tuhan Yang Maha Suci
sebagai Maha Pencipta, Maha Kuasa serta Maha Agung, tetapi berani
mempermainkan ke-Agung-an-Nya tanpa rasa takut dan was-was, niscaya akan
menerima resiko yang bakal menimpanya.
Jadi ditinjau dari kalimat pendahuluannya yang berbunyi : “Saya berjanji dan
bersumpah pada diri pribadiku dengan disaksikan oleh Tuhanku Yang Maha Suci”,
Sumpah/Janji Tujuh ini adalah Sumpah/Janji yang menuntut kesungguhan
pelaksanaannya.
Marilah selanjutnya kita bahas Sumpah/Janji Tujuh itu dari nomor 1 sampai dengan
nomor 7, masing-masing beserta penjelasannya.

1. Saya tetap melindungi diri pribadiku selama hidupku di dunia ini sampai di
alam yang terakhir nanti.
Sumpah/Janji nomor 1 ini mewajibkan kita agar di dalam segala perkataan, langkah,
perbuatan dan kerja, tetap kita tujukan ke arah tercapainya keselamatan pribadi kita
lahir dan batin, jasmaniah-rokhaniah di dunia yang fana ini sampai di alam yang
terakhir nanti (alam baqa).
Jadi kehidupan kita harus berjalan di atas rel kebenaran, baik kebenaran obyektif yang
diakui oleh pergaulan umum dalam masyarakat dan dunia yang beradab maupun
terlebih lagi kebenaran mutlak yang berasal dari Tuhan Yang Maha Suci sebagai yang
terwujud dari dawuh-dawuh-Nya. Kalau kita sudah senantiasa berusaha sedapat-
dapatnya di dalam kehidupan kita berjalan di atas rel atau di jalan yang benar dan
sebaliknya berusaha menjauhi segala ucapan, langkah atau tindak perbuatan dan kerja
yang tidak benar, maka kita yakin diri kita akan terlindung di dalam keselamatan di
dunia dan di alam yang terakhir nanti.
Dengan mudah dapat dikatakan : Janganlah engkau melanggar hukum, agar engkau
tidak terkena tindakan hukum. Hukum yang dimaksud di atas adalah baik hukum
duniawi, yaitu hukum di dalam masyarakat dan negara, maupun hukum mutlak, yaitu
hukum Tuhan Yang Maha Kuasa, yang dapat kita ketahui dari bermacam-macam
ajaran agama, kepercayaan ataupun ajaran Ke-Tuhanan yang ada. Tempuhlah
kehidupan yang tidak melanggar hukum itu dengan tekad dan kemauan yang teguh
dalam keadaan apapun dan bagaimanapun. Itu baru dapat dikatakan bahwa kita

10
melindungi pribadi kita, karenanya kita akan selamat atas kehendak Tuhan Yang Maha
Kuasa.

2. “Saya tetap berbuat kebaikan terhadap sesama manusia”.


Sumpah/Janji nomor 2 ini mewajibkan kita untuk dalam keadaan apapun dan
bagaimanapun juga kita harus berusaha berbuat kebaikan terhadap sesama manusia,
tanpa membedakan yang kaya maupun yang miskin, yang tinggi derajatnya maupun
yang rendah derajatnya, yang menganut kepercayaan ini maupun kepercayaan itu dan
yang berlainan warna kulit. Bagaimanapun mereka adalah sesama manusia.
Kepada mereka itu kita harus berbuat kebaikan, kita naungi/payungi mereka yang
kepanasan, kita beri suluh/obor mereka yang kegelapan, kita beri tongkat mereka
yang susah berjalan. Inilah Sumpah/Janji kita nomor 2, janji akan tetap memanfaatkan
diri kita bagi sesama manusia. Sungguh sumpah/janji perikemanusiaan yang tiada
taranya. Berbahagialah manusia yang mempunyai sumpah/janji yang demikian itu dan
dapat melaksanakannya, karena orang lain/sesama manusia akan merasakan
manfaatnya.

3. “Saya tetap sayang-menyayangi sesama manusia yang ada di dunia ini”.


Sumpah/Janji nomor 3 ini mewajibkan kita untuk sayang-menyayangi sesama manusia
dengan tidak pula membedakannya atas dasar golongan kasta, bangsa, kepercayaan
dan warna kulit.
Perkataan “sayang” di sini mengandung arti sedikit adanya peningkatan dari pada
sekadar berbuat kebaikan. Perkataan “sayang” memiliki intensitas yang lebih dari
pada sekadar berbuat kebaikan.
Berbuat kebaikan dapat terdorong oleh adanya rasa wajib, sedangkan “sayang”
umumnya bersumber dari rasa yang lebih mendalam, yaitu dari hati nurani atau dari
adanya rasa tunggal.
Adanya rasa tunggal dapat menimbulkan rasa “welas asih”, “tepa slira” dan sayang-
menyayangi sesama manusia. Dengan demikian Sumpah/Janji nomor 3 ini merupakan
pula sumpah kemanusiaan yang sangat tinggi nilainya. Ini berarti bahwa setiap warga
Tri Tunggal Bayu betul-betul tetap turut “MEMAYU HAYUNING BAWANA”. Dunia
yang penuh dengan kasih sayang adalah merupakan dunia yang damai. Dan Tri
Tunggal Bayu turut berusaha ke arah dunia yang demikian itu.

4. “Saya tetap menuruti hidupku yang suci”.


Sumpah/Janji nomor 4 ini mewajibkan kita untuk tetap menuruti/mengikuti Sang
Hidupku yang suci. Sang Hidup/Sukma kita yang terpancar dari (dipancarkan oleh)
Sang Maha Hidup (Tuhan Yang Maha Suci) adalah bersifat suci pula. Pancaran dari
hidup (Sang Hidup) kita adalah hati nurani kita, “SUPER EGO” kita atau “Das
UBERICH” kita. Dari pancaran itu saja sudah terbukti dan ternyata bahwa Sang
Hidup kita memang suci, seperti sifat-sifat Sang Maha Hidup atau Tuhan Yang Maha
Suci. Sesuatu yang suci, sudah dengan sendirinya memiliki kebenaran dan keluhuran.
Maka dari itu Sang Hidup kita selalu membimbing kita ke arah yang benar dan yang
baik, walaupun mungkin pada saat perasaan dan rasio (pikiran) kita ingin berkata dan

11
berbuat lain. Sebagai konsekuensi dari Sumpah/Janji yang menyatakan “Tetap
menuruti hidupku yang suci” maka kita warga Tri Tunggal Bayu berkewajiban di
dalam keadaan apapun dan bagaimanapun harus memilih dan menjalankan segala
yang benar, yang luhur dan yang suci. Jangan kita menjalankan/melakukan perbuatan
atau apa saja yang berlawanan dengan kehendak hati nurani kita, karena ia adalah
pancaran Sang Hidup kita. Pupuklah kemauan dan tekad yang kuat agar senantiasa
dapat menuruti Sang Hidup kita, sukma kita yang suci. Hal ini dapat dicapai dengan
tekun berlatih, karena berlatih berarti memupuk kekuatan pribadi, untuk dapat
menyingkirkan/menyingkapkan selubung-selubung gelap yang membungkus Sang
Hidup kita, sukma kita. Ketekunan berlatih yang terus-menerus (continue) akan
mendapatkan daya-daya atau kekuatan-kekuatan yang memungkinkan Sang Hidup kita
memancarkan sinarnya keluar, menembus menyinari jiwa dan raga kita. Ini berarti
bahwa Sang Hidup kita sudah menguasai seluruh pribadi kita dan dapat berhubungan
dengan Sang Maha Hidup, Tuhan Yang Maha Suci, dalam arti dapat menerima
getaran-getaran-Nya serta dawuh-dawuh-Nya. Apabila sudah demikian, itu berarti
bahwa kita akan lebih tahu arah di dalam usaha tetap menuruti Sang Hidup kita yang
suci, seperti Sumpah/Janji nomor 4 tersebut.
Hal itu berarti pula bahwa Sang Hidup kita sudah menjadi ibarat kusir yang sudah
mampu mengusiri/menguasai, mengendalikan “kereta” pribadi kita. Atau dapat
dikatakan : Pribadi kita tetap menuruti “Sang Hidupku yang suci”.

5. “Saya tetap menghendaki persaudaraan yang seluas-luasnya sesama manusia


yang ada di dunia ini”
Sumpah/Janji nomor 5 ini mewajibkan kita untuk tetap menghendaki persaudaraan
yang ada di dunia ini tanpa pandang bulu. Sebagaimana kita ketahui, kita manusia
disamping sebagai makhluk individu (makhluk pribadi atau orang-seorang), sekaligus
juga merupakan makhluk sosial (makhluk yang menjadi anggota masyarakat).
Manusia sebagai makhluk individu dan sekaligus sebagai makhluk sosial, adalah
sudah merupakan kodrat hidupnya yang tidak dapat diingkari.
Sebagai makhluk individu, manusia yang satu pasti berbeda dengan manusia yang
lain. Berbeda wajahnya, berbeda sifat-sifatnya, berbeda cara berpikirnya dan berbeda
hampir segala-galanya, kecuali Sang Hidupnya.
Sebagai makhluk sosial, manusia itu tidak akan dapat hidup dengan terus-menerus
terpisah dari manusi-manusia yang lain. Setiap manusia di dalam hidup dan
kehidupannya langsung ataupun tidak langsung pasti membutuhkan manusia-manusia
yang lain, baik untuk kelangsungan hidupnya maupun untuk
perkembangan/pertumbuhan dirinya. Memang manusia adalah makhluk sosial.
Apabila kita menyadari dan meyakini adanya kodrat hidup yang demikian itu, apalagi
kita yang sudah mengikuti dan mengudi ajaran Ketuhanan Tri Tunggal Bayu yang
selalu mengudi kebenaran, keluhuran dan kesucian sudah seharusnya bila kita selalu
tetap mencari persaudaraan yang seluas-luasnya diantara umat manusia. Bukan untuk
keperluan sesama saja, tetapi untuk perkembangan diri pribadi dan untuk
kelangsungan hidupnya sendiri.

12
Dengan adanya persaudaraan yang seluas-luasnya diantara sesama umat manusia, akan
terhindarlah umat manusia dari bencana dan mala petaka yang ditimbulkan karena
tidak adanya persaudaraan diantara sesama umat manusia dan terlebih-lebih lagi
apabila ada permusuhan diantara golongan manusia yang satu dengan golongan yang
lain.
Jelaslah bahwa persaudaraan diantara sesama umat manusia yang ada di dunia ini
sangat penting/perlu, kalau kita menyadari bahwa kita adalah sesama titah Tuhan
Yang Maha Suci, yaitu asal dan sesembahan kita bersama.
6. “Saya tetap menghendaki perdamaian yang abadi lahir maupun batin sesama
manusia yang ada di dunia ini”
Sumpah/Janji nomor 6 ini mewajibkan kita untuk tetap menghendaki perdamaian yang
abadi lahir maupun batin terhadap sesama manusia yang ada di dunia ini. Jikalau kita
sebagai titah Tuhan Yang Maha Suci, sebagai manusia sudah menganut garis-garis
atau rel kehidupan berdasarkan kepada azas-azas kemanusiaan, azas-azas kebenaran,
keluhuran dan kesucian maka hal itu akan menyebabkan kita menghargai dan
menghormati satu sama lain sebagai sesama manusia dan sesama titah Tuhan. Kita
tidak usah dan tidak perlu lagi cekcok (cecongkrahan), bertentangan dan bermusuhan
satu sama lain, sebab yang demikian itu akan bertentangan dengan hati nurani
kemanusiaan dan sifat-sifat Ke-Tuhanan yang ada “welas asih”.
Jadi sesungguhnya memang harus hanya ada satu kemungkinan, yaitu : “Kita tetap
menghendaki perdamaian yang abadi lahir maupun batin sesama manusia yang ada di
dunia ini”. Dalam perdamaian yang abadi lahir maupun batin itulah manusia akan
memperoleh ketentraman dan kesejahteraan hidup yang sesungguhnya, baik lahir
maupun batin.
Kita manusia yang mengudi ajaran Ke-Tuhanan, apapun namanya, selalu mencari-cari
dan mengejar ketentraman serta kesejahteraan hidup lahir dan batin. Dan seyogyanya
orang yang sudah mencapai kesejahteraan hidup lahir dan batin dan ketenteraman itu
akan selalu merasa dengan dengan Tuhannya, yaitu Sang Maha Pencipta.

7. “Saya tetap mengikuti jejak jalan hidupku yang suci”


Sumpah/Janji nomor 7 ini mewajibkan kita untuk tetap mengikuti jejak jalan Sang
Hidup yang suci. Jalan “hidup yang suci” ialah jalan hidup yang penuh kebenaran,
penuh keluhuran dan penuh kesucian.
Jalan hidup yang demikian itulah yang akan sanggup dan mampu membawa “hidup,
Sang Hidup/Sukma” kita manusia yang berasal dari Tuhan Yang Maha Suci dan
kelak kembali ke hadapan Tuhan Yang Maha Suci lagi. Sebaliknya, kalau kita tidak
mengikuti jalan “hidup yang suci”, Hidup/Sang Hidup/Sukma kita kelak akan dapat
tersesat jauh dari jalan kembali ke hadapan Tuhan Yang Maha Suci itu. Bahkan
“Hidup/Sang Hidup/Sukma” kita tersebut akan gagal atau tidak mampu sama sekali
untuk kembali ke asal-Nya.
Dikarenakan jalan hidup yang selama kehidupannya di dunia itu jauh dari kebenaran,
apalagi keluhuran dan kesucian, maka Sang Hidup atau Sukmanya yang sudah terlepas
dari raganya (badan jasmani) itu kelak (kalau sudah mati) akan masih diselubungi
(digubel) oleh jiwa berikut watak-wataknya.

13
Adanya unsur jiwa yang masih menyelubungi (nggubel Sang Hidup/Sukma) itulah
yang menyebabkan bahwa Sang Hidupnya atau Sukmanya tidak mampu kembali ke
asalnya (asaling dumadi), yaitu Sang Maha Hidup atau Tuhan Yang Maha Suci.
Akibatnya Sang Hidup/Sukma yang demikian itu akan “mrayang”, “mblayang”
(sukma ngumbara). Betapa ngerinya hidup yang ngelamrangan mrayang demikian
itu. Padahal entah untuk berapa puluh atau ratus bahkan ribuan tahun. Akan lebih
mengerikan lagi apabila hidup yang tidak kembali atau belum kembali kepada Sang
Maha Hidup itu mampir atau diambil oleh “wewengkonnya”, kerajaan-kerajaan
pangreh gaib dengan segala tugas-tugasnya.
Contoh semacam itu misalnya : Ada manusia yang katanya percaya dan yakin kepada
Tuhan Yang Maha Suci, tetapi didalam kenyataan pelaksanaan kehidupannya ia
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hati nuraninya, umpamanya dengan
jalan “nyupang” (mencari pesugihan/kekayaan dengan pertolongan pangreh gaib,
penguasa gaib), seperti juga “pasang susuk”, menenung orang dan masih banyak lagi.
Kelak arwah orang yang melakukan hal demikian bakal diambil oleh pangreh gaib
tempat mereka itu meminta pertolongan. Pangreh gaib akan menuntut balas jasa.
Masih banyak gambaran-gambaran yang lebih mengerikan lagi apabila akan diuraikan
satau persatu.
Dengan tekun berlatih didalam pangudian serta melaksanakan Sumpah/Janji 1 sampai
dengan 7, kita akan mengetahui lebih banyak tentang hal itu. Yang penting bagi kita
ialah kita harus mengikuti jejak jalan hidup (Sang Hidup/Sukma) yang suci, karena
jalan yang demikian itulah yang diridlohi Tuhan Yang Maha Suci. Sebab kita
menuruti dan melaksanakan dawuh-dawuh-Nya dan mengikuti sifat-sifat-Nya. Tidak
ada alternatif lain atau kemungkinan lainnya.

Kesimpulan
Sumpah/Janji nomor 1 sampai dengan 3; untuk mengendalikan nafsu panca
indera/jasmaniah, mencari keselamatan di dunia (mencapai kebenaran) – Tingkat
Raga
Sumpah/Janji nomor 4; untuk mengendalikan 5 rasa dan mempersatukan jiwa guna
mewujudkan “Rasa Tunggal” agar Sang Hidup/Sukma dapat memancarkan sinarnya
dan berfungsi untuk mencapai kesempurnaan hidup lahir dan batin di dunia dan di
alam yang terakhir nanti. Didalam segala langkah dan perbuatan sehari-hari harus
dapat menuruti Sang Hidup yang suci. Sedangkan Jiwa dan Raga harus dapat menjadi
alatnya Sang Hidup.
Kesemuanya itu harus dilandasi “panggulawentah” pribadi dan “laku-pinuku”.
Pelaksanaan Sumpah/Janji nomor 5 dan 6 sebagai landasan mencapai Jiwa Luhur
(keluhuran) – Tingkat Kejiwaan.
Sumpah/Janji nomor 7; Sang Hidup yang asalnya dari Sang Maha Hidup/Tuhan
Yang Maha Suci, mempunyai sifat kesucian, pada saat Sang Hidup/Sukma diturunkan
kepada manusia dengan sinar-sinar kesucian.
Manusia yang pada saat matinya nanti ingin kembali ke asalnya, ke alam kesucian
yaitu Tuhan Yang Maha Suci, haruslah mengikuti jejak jalannya Sang Hidup/Sukma,
seperti pada saat Sang Hidup/Sukma diturunkan kepada manusia, yaitu melalui

14
kesucian. Untuk mencapai kesucian, tentunya harus dengan landasan kebenaran dan
keluhuran (pelaksanaan Sumpah/Janji nomor 1 sampai dengan nomor 6). -Kesucian
tingkatan kasukman.
Sumpah/Janji nomor 1 sampai dengan nomor 7, merupakan suatu ikatan yang
tidak terpisahkan, yang menjadi landasan dan pegangan hidup warga Tri Tunggal
Bayu di dalam menggulawentah pribadi guna mencapai tujuan sempurnanya hidup
lahir dan batin di dunia dan di alam yang terakhir nanti.

Semarang, 27 Februari 1983


Disusun oleh :
Tri Tunggal Bayu Cabang
Semarang

(Diketik ulang secara digital oleh Damar Kuncoro, Temanggung, 16 November 2018)

15

Anda mungkin juga menyukai