Anda di halaman 1dari 13

STRUKTUR POPULASI

Oleh :
Navizhatul Amanah B1J013001
Fajar Husen B1J013002
Annisa Aulia B1J013003
Nurfitriani Rahesti B1J013005
Aulia Apriani Safitri B1J013015
Silviyatun Ni’mah B1J013016
Tarkinih B1J013019
Halimatus Sa’diya B1J013021
Fajar Rahmawati B1J013023
Moch Iqbal Sufyan A B1J013025

Kelompok : 1
Rombongan : I
Asisten : Ani Rahmawati

LAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN HAYATI

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2016
I. PENDAHULUAN

Populasi merupakan kelompok kolektif organisme-organisme dari spesies


yang sama yang menduduki ruang atau tempat tertentu, memiliki berbagai ciri atau
sifat yang unik dari kelompok itu. Beberapa sifat tersebut antara lain kepadatan, laju
kelahiran, laju kematian, penyebaran umur, potensi biotik, dispersi dan bentuk
pertumbuhan. Kepadatan populasi suatu habitat tertentu dipengaruhi oleh imigrasi
dan natalitas yang memberi penambahan jumlah kepada populasi, sedangkan
emigrasi dan mortalitas akan mengurangi jumlah dari populasi. Setiap populasi
mempunyai struktur atau penyusunan individu yang dikenal dengan pola distribusi
(Darman, 1988).
Pemanfaatan agen pengendali hayati untuk mengendalikan hama
merupakan pilihan yang tepat untuk menekan penggunaan bahan kimia di sektor
pertanian. Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan ragam hayati,
yang dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mengendalikan organisme
pengganggu tanaman (OPT). Organisme berguna tersebut dapat berfungsi sebagai
patogen, parasit, dan predator bagi hama-hama tanaman. Hubungan fungsional
antara hama dan musuh alaminya akan berlangsung dengan baik apabila
memenuhi beberapa persyaratan yaitu: 1) Musuh alami dapat menemukan
inang/mangsa, 2) Jumlah minimal populasi musuh alami mampu membunuh
inang/mangsa, 3) Sinkronisasi dan fenologi antara musuh alami dengan
inang/mangsa, dan 4) Selalu tersedia pakan bagi agens hayati untuk dapat
bertahan hidup (Subagya, 2013).
Keberhasilan pemanfaatan agen hayati sebagai pengendali hama sangat
ditentukan pula oleh keadaan agroekosistem setempat. Hal tersebut berkaitan
dengan keragaman spesies serangga yang hidup pada pertanaman di ekosistem
tersebut. Semakin tinggi keragaman serangga yang ada pada ekosistem tersebut
maka akan meningkatkan peluang keberhasilan dari pemanfaatan agen
pengendali tersebut. Banyak jenis-jenis agen hayati yang memanfaatkan inang
pengganti sebagai cara untuk dapat bertahan hidup (survivorship) di ekosistem
baru. Semakin besar komposisi keragaman serangga maka ekosistem semakin
stabil, karena dominasi salah satu serangga tidak akan terjadi. Serangga-
serangga tersebut saling berinteraksi sehingga menghasilkan suatu kestabilan
ekosistem (Subagya, 2013).
Kutu loncat lamtoro, Heteropsylla cubana Crawford, merupakan hama
eksotik bagi Indonesia (Oka & Bahagiawati, 1986 dalam Yasin, 2013). Untuk
menanggulangi serangan hama itu, pemerintah Republik Indonesia telah
membentuk Tim Kerja Nasional Penanggulangan Hama Kutu Loncat Lamtoro
(TKNPHKLL). Pengendalian HKLL yang dilakukan di Indonesia pada dasarnya
adalah penjabaran sistem pengendalian hama terpadu. Komponen-komponen
pengendalian ini antara lain penggunaan predator yang dipadukan dengan
pestisida. Usaha pengendalian dengan predator dilakukan dengan cara mendatangkan
predator, Curinus coeruleus Mulsant dan Olla abdominalis Say, dari luar negeri
(Hawai) (TKNPHKLL, 1987 dalam Yasin, 2013).
Praktikum kali ini akan mengamati struktur populasi hama kutu loncata
(Heteropsylla cubana) yang ada pada tanaman lamtoro. Heteropsylla cubana adalah
hama yang populer di Indonesia sejak sekitar tahun 1986, karena merusak sebagian
besar tanaman lamtoro yang ditanam sebagai penaung pada perkebunan kopi dan
coklat. Tanaman lamtoro merupakan salah satu komponen yang sering digunakan
dalam wanatani antara lain sebagai penaung, tanaman sela dan tanaman
penghijauan.menjadi sangat popular di setiap daerah di Indonesia dan banyak
mempunyai banyak kegunaan dan telah diperkenalkan pemerintah tahun 1974. Hama
kutu loncat (Heteropsylla cubana) dewasa meletakkan telur pada pucuk tanaman
yang dapat memenuhi seluruh permukaan tunas. Hal tersebut meyebabkan populasi
nimfa yang berkembang pada setiap pucuk sangat tinggi dan menyebabkan anak
daun mengeriting, menggulung dan mengering kemudian gugur. Kutu loncat juga
mengekresikan embun madu yang segera ditumbuhi jamur jelaga (Capnodium sp.)
yang menyebabkan pucuk tanaman dan daun berwarna kehitam-hitaman (Darman,
1986 ).
II. TELAAH PUSTAKA

Ekosistem tersusun atas makhluk hidup dan makhluk tak hidup.Misalnya,


ekosistem sawah terdiri atas hewan dan tumbuhan yang hidup bersama-sama. Pada
ekosistem sawah tersebut terdapat rumput, tanaman padi, belalang, ulat, tikus,
burung pemakan ulat, burung elang,dan masih banyak lagi. Dalam ekosistem,
terdapat satuan-satuan makhluk hidup. Individu, populasi, komunitas, biosfer yang
merupakan satuan makhluk hidup dalam satu ekosistem, dan sinar matahari sangat
berperan terhadap kelangsungan hidup satuan-satuan ekosistem tersebut (Suwarno,
2009).
Populasi organisme di alam berada dalam keadaan seimbang pada jenjang
populasi tertentu. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan dan faktor dalam
populasi (Sosromarsono & Untung, 2006, dalam Riyanto & Sudrajat, 2008). Salah
satu faktor lingkungan dalam adalah musuh alami baik berupa predator, parasitoid
dan patogen dikenal sebagai faktor pengatur dan pengendalian populasi serangga
hama. Pengaturan musuh alami ini terhadap populasi serangga hama tergantung pada
kepadatan (density dependent) (Untung, 2001, dalam Riyanto & Sudrajat, 2008).
Wagiman (1996) mengemukakan bahwa hubungan saling tergantung antara
pemangsa dan mangsanya merupakan salah satu sifat predator yang dikehendaki.
Tanggapan pemangsa terhadap perubahan kepadatan populasi mangsa dibedakan
menjadi tanggap fungsional dan tanggap numerical. Tanggap fungsional adalah
perubahan banyaknya mangsa yang dimangsa oleh seekor pemangsa pada kepadatan
populasi mangsa yang berbeda, sedangkan tanggap numerikal adalah perubahan
kepadatan populasi pemangsa pada kepadatan populasi mangsa yang berbeda-beda
(Solomon, 1949 dalam Wagiman, 1996).
Serangga predator sangat berperan dalam biodiversitas dan dalam siklus
energi suatu habitat. Ukuran tubuh serangga predator bervariasi dari mikroskopis
sampai yang besar. Kesuksesan eksistensi kehidupan serangga predator di bumi
diduga berkaitan erat dengan rangka luar atau eksoskeleton yang dimilikinya, yaitu
kulit yang merangkap sebagai rangka penunjang tubuh dan ukurannya relatif kecil
dan besar serta kemampuan terbang sebagian besar jenis serangga predator
(Herlinda, 2000).
Terjadinya ledakan hama pada hampir semua tanaman di dunia adalah fakta
yang tak bisa dipungkiri disebabkan oleh sistem pertanian tersebut. Fakta yang
menunjukkan terjadinya ledakan hama pada berbagai tanaman yang diusahakan
mengindikasikan bahwa control secara alami/musuh alami yang seharusnya terjadi di
rantai makanan tidak bekerja dengan baik. Faktor alami yang mengontrol satu
individu dengan individu yang lain dalam rantai makanan seharusnya dijadikan dasar
untuk dapat menurunkan tingkat populasi OPT pada tahap yang secara ekonomi tidak
merugikan bagi manusia sehingga individu tersebut tidak dikategorikan sebagai
hama atau penyakit (Norris et al., 2003). Intensifikasi dan ekstensifikasi yang telah
lama diterapkan di lahan-lahan pertanian di dunia telah membatasi keanekaragaman
suatu individu di dalam ekosistem yang berdampak terhadap organisme yang
berperan sebagai kontrol alami tidak dapat menjalankan perannya secara optimal di
dalam ekosistem (Tscharntke et al., 2007).
III. MATERI DAN METODE

III.1. Materi

Alat yang digunakan dalam praktikum struktur populasi ini adalah hand
counter, loup, kamera digital, label, dan alat tulis.
Bahan yang digunakan adalah Kutu Loncat (Heteropsylla cubana) pada
tanaman Lamtoro.
III.2. Metode

Metode yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah :


1. Tangkai daun Lamtoro dipilih 10 secara acak.
2. Label penanda diberikan kepada beberapa sampel pada pangkal tangkai daun
lamtoro.
3. Kutu Loncat yang terdapat pada tangkai daun Lamtoro yang terpilih diperiksa
dan diamati tingkatan hidupnya.
4. Setiap tingkatan hidup (telur, nympha dan sewasa) dari Kutu Loncat dihitung
jumlahnya.
5. Hasil dicatat dan dimasukkan ke dalam tabel pengamatan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Hasil

Tabel 4.1.1 Struktur Populasi Kutu Loncat Heteropsylla cubana

Sampel Tangkai
Tahap
I 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Σ
Telur 14 13 7 2 2 5 19 3 5 68 138
Nimfa 3 8 6 0 2 3 2 4 3 1 32
Dewasa 19 7 4 3 0 4 10 3 5 0 52

Gambar 4.1.1. Daun Lamtoro Gambar 4.1.2. Populasi Kutu Loncat


(Leucaena leucocephala) (Heterpsylla cubana)
IV.2. Pembahasan

Menurut Hakim (1998) dalam Bahagiawati et al., (2010), struktur populasi


merupakan komposisi populasi yang meliputi jenis kelamin (jantan, betina) dan
umur (kategori anak, muda, dewasa, tua) yang merupakan proporsi antara
tahapan hidup suatu jenis fauna. Struktur populasi dipengaruhi empat faktor yaitu
natalis, migrasi, imigrasi, dan mortalitas. Model struktur populasi dibagi menjadi
tiga yaitu :
a. Struktur populasi stabil
Model ini terjadi apabila populasi yang memiliki jumlah individu tingkatan
yang lebih muda selalu lebih banyak dibanding jumlah individu yang lebih
tua. Telur berjumlah banyak daripada larva, larva berjumlah lebih banyak
dari pupa dan pupa berjumlah lebih banyak dari imago.
b. Struktur populasi konstan
Model ini terjadi populasi yang memiliki jumlah individu tingkatan yang
lebih muda sama banyak dibanding jumlah individu yang lebih tua. Telur
berjumlah sama banyak dengan larva, larva berjumlah sama banyak dengan
pupa dan pupa berjumlah sama banyak dengan imago.
c. Struktur populasi tidak stabil
Model ini terjai apabila populasi yang memiliki jumlah individu tingkatan
yang lebih muda selalu lebih sedikit dibanding jumlah individu yang lebih
tua. Telur berjumlah lebih sedikit dari larva, larva berjumlah lebih sedikit dari
pupa dan pupa berjumlah lebih sedikit dari imago.
Hasil yang diperoleh dari praktikum lapangan yaitu struktur populasi kutu
loncat pada daun lamtoro adalah telur yang berjumlah 138 buah, nimfa berjumlah
32 ekor, dan dewasa berjumlah 52 ekor. Jadi dapat disimpulkan bahwa model
struktur populasi kutu loncat pada daun lamtoro yaitu stabil. Hal ini disebabkan
karena jumlah telur lbih banyak dibandingkan dengan jumlah nimfa dan dewasa.
Lamtoro (Leucaena leucocephala) merupakan tanaman serba guna yang
termasuk tanaman kacang-kacangan, berbentuk pohon dan dapat tumbuh dengan
tinggi pohon 8-15 m serta berumur tahunan (17-32 tahun) . Tanaman ini tersebar
luas di seluruh pelosok pedesaan dan mudah tumbuh hampir di semua tempat
yang mendapat curah hujan cukup . Perbanyakan tanaman tersebut dilakukan
secara generatif (biji). Penanaman dengan biji menyebabkan tanaman memiliki
sistem perakaran yang kuat dan dalam sehingga dapat bertahan untuk jangka
waktu yang cukup lama. Manfaat tanaman ini telah banyak dilaporkan, yakni
sebagai tanaman pioner, pupuk hijau (penyubur tanah), bahan bangunan, tanaman
pinggir jalan, sebagai tanaman pelindung (untuk tanaman cacao), pagar hidup,
tanaman pendukung (untuk tanaman vanili dan merica), sebagai pembasmi
tanaman herba lalang-alang), pencegah erosi, bahan baku pembuat kertas, bahan
bakar dan sebagai sumber hijauan makanan ternak yang berprotein tinggi
(Mathius, 1993).
Metamorfosis dibagi menjadi dua, yaitu metamorfosis sempurna
(holometabola) dan metamorfosis tidak sempurna (hemimetabola). Beberapa
jenis serangga mengalami metamorfosa sempurna. Metamorfosa ini mempunyai
empat bentuk; mulai dari telur menjadi larva, kemudian kepompong (pupa) baru
dewasa (Mahmud, 2001). Pada tipe ini serangga pradewasa (larva dan pupa)
biasanya memiliki bentuk yang sangat berbeda dengan serangga dewasa (imago).
Larva merupakan fase yang sangat aktif makan, sedangkan pupa merupakan
bentuk peralihan yang dicirikan dengan terjadinya perombakan dan penyusunan
kembali alat-alat tubuh bagian dalam dan luar, contohnya adalah serangga dari
ordo Coleoptera, Diptera, Lepidoptera, Hymenoptera dan lain-lain (Jumar, 2000).
Pada Hemimetabola, bentuk nimfa mirip dewasa hanya saja sayap belum
berkembang dan habitat (tempat tinggal dan makanan) nimfa biasanya sama
dengan habitat stadium dewasanya (Tarumingkeng, 1999). Metamorfosa tidak
sempurna mempunyai tiga bentuk: mulai dari telur, menjadi nimfa, kemudian
dewasa. Metamorfosa tidak sempurna tidak terdapat bentuk kepompong,
contohnya adalah pada ordo Odonata, Ephimeroptera dan Plecoptera (Mamud,
2001).
Heteropsylla cubana ini merupakan hama utama Leucaena leucocephala
(lamtoro), lamtoro ditanam untuk pakan ternak dan kayu bakar. Tanaman ini asli
Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Heteropsylla cubana menyerbu
perkebunan subabul yang terdapat di India pada tahun 1988. Kutu loncat dewasa
bersayap dan berwarna hijau muda, sedangkan untuk nimfa berwarna kuning.
Nimfa mirip dengan kutu dewasa tetapi ukurannya lebih kecil. Selain menyerang
tanaman selain Leucaena leucocephala, hama jenis ini juga meyerang tanaman
L. trichodes, L. pulverulenta, L. diversifolia, L. Salvadorensis dan Samanea
saman. Serangan berulang-ulang dari kutu loncat menyebabkan layu, defoliasi,
dieback cabang atau kematian pohon inang. Tindakan yang bertujuan
mengendalikan kutu loncat pada lamtorodilakukan dengan memberikan agen
kontrol biologis untuk kutu loncat lamtoro pada pengembangan varietas lamtoro.
Agen kontrol biologi untuk kutu loncat pada tanaman lamtoro yaitu Curinus
coeruleus dan Pysllaephagus yaseeni (Shivankar dan Rao, 2010).
Kutu loncat mempunyai tiga stadia hidup, yaitu serangga dewasa, telur,
dan nimfa. Siklus hidupnya mulai dari telur sampai dewasa berlangsung antara
16- 18 hari pada kondisi panas, sedangkan pada kondisi dingin sampai 45 hari.
SeIama setahun serangga ini dapat mencapai 9 - 10 generasi.Stadium dewasa
ditandai dengan terbentuknya sayap dan kutu ini dapat terbang atau meloncat. 
Warna kutu dewasanya coklat muda sampai coklat tua, matanya berwarna kelabu
dan bercak-bercak coklat.Bagian abdomennya berwarna hijau terang kebiruan
dan orange. Panjang tubuhnya sekitar 2 - 3 mm.  Ciri lainnya adalah pada saat
makan, serangga ini posisinya menungging atau membentuk sudut. Kopulasi
segera berlangsung setelah serangga menjadi dewasa. Selanjutnya, serangga
betina mencari ranting-ranting yang bertunas dan peletakan telurnya mulai
berlangsung setelah 8 - 20 jam setelah kopulasi.  Masa bertelur bervariasi, yaitu
antara 10 - 40 hari, sedangkan jumlah telurnya dapat mencapai 800 butir.
Nimfa yang baru menetas hidup berkelompok pada jaringan tanaman muda dan
mengisap cairan tanaman.Setelah nimfa berumur 2 - 3 hari, kemudian menyebar
dan mencari makan pada daun-daun muda di sekitarnya. Periode nimfa
berlangsung selama 12 - 17 hari dan selama ini terjadi 5 kali pergantian kulit
(Piansyah, 2014).
V. SIMPULAN DAN SARAN

V.1. Simpulan

Hasil yang diperoleh dari praktikum lapangan yaitu struktur populasi


kutu loncat pada daun lamtoro adalah telur yang berjumlah 138 buah, nimfa
berjumlah 32 ekor, dan dewasa berjumlah 52 ekor. Jadi dapat disimpulkan
bahwa model struktur populasi kutu loncat pada daun lamtoro yaitu stabil.
Hal ini disebabkan karena jumlah telur lbih banyak dibandingkan dengan
jumlah nimfa dan dewasa.

V.2. Saran

Sebaiknya pada saat penghitungan strukur populasi kutu loncat,


dihitung lebih teliti lagi. Hal ini disebabkan karena jumlah populasi setiap
siklus hidup kutu loncat mempengaruhi jenis model struktur populasi.
DAFTAR REFERENSI

Bahagiawati, Dwinita W., Utami, dan Damayanti B. 2010. Pengelompokan dan


Struktur Populasi Parasitoid Telur Trichogrammatoidea armigea pada Telur
Helicoverpa armigera pada Jagung Berdasarkan Karakter Molekuler. Journal
Entomology Indonesia. 7 (1) : pp 54-65.

Darman . 1988. Faktor Ketahanan Leucaena Terhadap Kutu Loncat Lamtoro (H.
cubana). Seminar Penanggulangan Hama Kutu Loncat Lamtoro. Balitan
Bogor. p. 18.

Darman, J. 1986. Kasus Penampakan Hama Ganas Yang Menyerang Lamtoro.


Laporan Khusus Balitnak. Ciawi. p. 17.

Herlinda, S. 2000. Analisis komunitas arthropoda predator lanskap persawahan di


daerah Cianjur. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Jakarta. Penerbit Rineka Cipta.

Mathius, I. W. 1993. Tanaman Lamtoro Sebagai Bank Pakan Hijauan yang


Berkualitas Untuk Kambing-Domba. Wartazoa. 3 (1) : pp 24-29.

Mahmud, 2001. Musuh Alami Hama dan Penyakit Tanaman Lada.


http://www.mamud.com/docs/peper.pdf. Diakses 8 Mei 2016.

Norris, R.F., Caswell-Chen, dan E.P., Kogan, M., 2003. Concepts in integrated pest
management. Prentice Hall.

Piansyah, A. 2014.  Pengendalian Hayati  Hama Kutu Loncat Pada Tanaman


Lamtoro (Leucaena leucocephala). Fakultas Pertanian. Universitas Syiah
Kuala Darussalam. Banda Aceh.

Shivankar, J. dan C. N. Rao. 2010. Psyllids And Their Management. Pest


Management in Hort icultural Ecosystems. 16 (1): pp 1- 4

Suwarno, 2009. Panduan Pembelajaran Biologi. Karya Mandiri Nusantara. Jakarta

Tarumingkeng, R.C. 1999. Serangga dan Lingkungan.


http//www.Tumoutou.net/Serangga-Lingk.htm 85-K. Institut Pertanian
Bogor. Diakses 8 Mei 2016.

Tscharntke, T., Bommarco, R., Clough, Y., Crist, T.O., Kleijn, D., Rand, T.A.,
Tylianakis, J.M., Nouhuys, S. van, dan Vidal, S., 2007. Conservation
biological control and enemy diversity on a landscape scale. Biological
Control 43, 294–309.

Wagiman, F.X. 1996. Respon Fungsional Menochilus sexmaculatus Fabricus


Terhadap Aphis gossypii Glover. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia.
2 : pp 38-43.
Yasin, N. 2013. Perkembangan Hidup dan Daya Memangsa Curinus coeruleus
Mulsant pada Beberapa Kutu Tanaman. Jurnal Hama Penyakit Tanaman. 6
(2) : pp 64-75.

Anda mungkin juga menyukai