Anda di halaman 1dari 14

KAPASITAS PREDASI LABA-LABA TERHADAP HAMA EKOSISTEM PERTANIAN

Oleh: Adven Kristianti Purwaningtias F. Devi Fatkuljanah Khasanah Arbiansyah Adinegara Bunga Khalida Puri Niki Sylvia R. Sindy Lukitasari Gyneaeri Aisyah H. W. Hanifah Kholid Basalamah B1J011124 B1J011131 B1J011132 B1J011133 B1J011137 B1J011140 B1J011141 B1J011148 B1J011153 B1J011156

LAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN HAYATI

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO 2014

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Setiap makhluk hidup menjadi penyusun dan pelaku terbentuknya suatu komunitas yang mampu mengatur dirinya sendiri secara alami, sehingga terjadi keseimbangan numerik antara semua unsur penyusun komunitas. Setiap aktivitas organisme dalam komunitasnya selalu berinteraksi dengan aktivitas organisme lain dalam suatu keterikatan dan ketergantungan yang rumit yang menghasilkan komunitas yang stabil. Interaksi antarorganisme tersebut dapat bersifat antagonistik, kompetitif, atau bersifat positif seperti simbiotik (Untung, 2006). Menurut Flint dan Bosch (2000), ekosistem adalah kesatuan komunitas bersama-sama dengan sistem abiotik yang mendukungnya. Sebagai contoh adalah ekosistem pertanian sawah dibentuk oleh komunitas makhluk hidup bersamasama dengan tanah, air, udara dan unsur-unsur fisik lain yang terdapat di sawah tersebut. Konsep ekosistem, seperti konsep biosfer menekankan hubungan yang tetap antara faktor-faktor hidup dan tak hidup di setiap lingkungan. Arthropoda predator (serangga dan laba-laba) di ekosistem persawahan merupakan musuh alami yang paling berperan dalam menekan populasi hama padi (wereng coklat dan penggerek batang) (Thalib et al., 2002). Hal ini disebabkan predator memiliki kemampuan untuk beradaptasi di ekosistem ephemeral tersebut. Arthropoda predator yang telah terbukti efektif

mengendalikan hama padi adalah laba-laba pemburu, misalnya Pardosa pseudoannulata dan kumbang Carabidae (Kromp dan Steinberger, 1992).

B. Tujuan Tujuan dari praktikum ini yaitu mengetahui kapasitas predasi dari labalaba terhadap hama ekosistem pertanian.

II. TINJAUAN PUSTAKA Agen pengendalian hayati merupakan organisme yang menggunakan spesies hama sebagai sumber daya pakan dan seringkali disebut sebagai musuh alami, organisme bermanfaat atau agen biokontrol (Habazar dan Yaherwandi, 2006). Musuh alami serangga terdiri atas predator, parasitoid, dan entomopatogen. Serangga predator memiliki keunggulan di antara ketiga musuh alami tersebut, yaitu memiliki kemampuan memangsa dengan cepat, dapat membunuh berbagai stadium mangsa dan dapat mengkonsumsi beberapa jenis mangsa (Erawati, 2005). Pengendalian hayati memiliki keuntungan antara lain yaitu aman artinya tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan keracunan pada manusia maupun pada ternak, tidak menyebabkan resistensi hama, musuh alami bekerja secara selektif terhadap inangnya atau mangsanya dan bersifat permanen untuk jangka waktu panjang lebih murah, apabila keadaan lingkungan telah stabil atau telah terjadi keseimbangan antara hama dan musuh alaminya. Hampir semua ordo serangga memiliki jenis yang menjadi predator, tetapi selama ini ada beberapa ordo yang anggotanya merupakan predator yang digunakan dalam pengendalian hayati, ordo-ordo tersebur antara lain Coleoptera, Orthoptera, Diptera, Ordonata, Hemiptera, Neuroptera dan Hyminoptera (Jumar, 2000). Serangga dilihat dari sudut pandang usaha tani, dikelompokkan menjadi serangga hama, serangga berguna, dan serangga netral. Sebagai organisme berguna, serangga ada yang berperan sebagai musuh alami baik sebagai parasitoid maupun predator, serangga penyerbuk, dan dekomposer, sedangkan serangga netral kerap menjadi mangsa predator, sehingga peranannya sangat besar dalam menjaga keseimbangan ekosistem padi sawah. Kebanyakan petani memandang serangga sebagai organisme perusak sehingga harus dikendalikan. Kenyataannya, keragaman jenis serangga mempunyai peran yang sangat penting dalam ekosistem padi sawah. Keanekaragaman hayati serangga berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas produk yang dihasilkan. Umumnya, telah terjadi kestabilan populasi hama dan musuh alaminya di ekosistem alami sehingga keberadaan serangga hama pada pertanaman tidak lagi merugikan. Kenyataan tersebut perlu dikembangkan sehingga mampu menekan penggunaan pestisida untuk

mengendalikan serangan hama di lapangan, terutama pada tanaman-tanaman berorientasi ekspor dan mempunyai nilai ekonomis tinggi (Widiarta et al., 2006). Ekosistem padi sawah bersifat cepat berubah karena sering terjadi perubahan akibat aktivitas pengolahan tanah, panen, dan bera. Beda antarwaktu tanam tidak hanya menekan populasi hama tetapi juga berpengaruh pada kerapatan populasi musuh alami pada awal musim tanam berikutnya, sehingga pertumbuhan populasi predator tertinggal. Rendahnya kepadatan populasi musuh alami pada saat bera karena mangsa (termasuk hama) juga rendah. Apabila serangga netral cukup tersedia akan berpengaruh baik terhadap perkembangan musuh alami. Peningkatan kelimpahan serangga netral akan meningkatkan pengendalian alami melalui peningkatan aktivitas pada jarring-jaring makanan (Winasa, 2001). Serangga predator adalah serangga yang membunuh dan memakan serangga lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ciri-ciri predator secara umum berukuran lebih besar dan lebih kuat dibandingkan mangsanya. Satu individu predator membutuhkan lebih dari satu mangsa selama hidupnya. Predator dapat mematikan mangsa dalam waktu singkat. Stadium pradewasa maupun dewasa serangga predator dapat bersifat kanibal. Predator pradewasa dan dewasa tidak selalu hidup pada habitat yang sama dengan mangsanya. Biasanya serangga predator memiliki daur hidup lebih lama dibandingkan mangsanya (Habazar dan Yaherwandi, 2006). Berdasarkan penelitian Suana (2006), pada pertanian polikultur dan monokultur ditemukan sebanyak 328 individu laba-laba dari 50 jenis, 30 genera, dan 11 suku telah dikoleksi dengan sumur jebak dan jaring ayun pada ekosistem sawah di Pulau Lombok. Kebanyakan suku laba-laba yang ditemukan dalam penelitian tersebut memiliki penyebaran yang luas, tetapi ada juga suku yang hanya dijumpai pada satu ekosistem sawah. Metidae, Salticidae, Pisauridae, dan Clubionidae hanya dijumpai pada ekosistem sawah polikultur, sedangkan Linyphiidae hanya dijumpai pada ekosistem sawah monokultur. Walaupun kelima suku tersebut hanya dijumpai pada satu ekosistem sawah, tidak berarti bahwa keduanya merupakan suku yang jarang.

III. MATERI DAN METODE

A. Materi Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah timer, kamera digital, dan alat tulis. Bahan-bahan yang digunakan antara lain capung hidup (Anax junius) dan laba-laba (Araneus diadematus) beserta jaring-jaringnya.

B. Metode Metode yang digunakan dalam praktikum ini yaitu: 1. Satu individu laba-laba yang sedang berada pada jaring-jaringnya di suatu tempat dipilih sebagai objek pengamatan. Diusahakan laba-laba tersebut belum mendapatkan mangsa, sehingga masih dalam keadaan lapar. 2. 3. Capung hidup ditempelkan pada jaring-jaring laba-laba tersebut. Lama waktu laba-laba dalam menemukan, melumpuhkan, dan menangani mangsanya dihitung.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Tabel 1. Pengamatan Tahapan Predasi Laba-Laba terhadap Capung Tahapan Predasi Menemukan (mendekati mangsa) Melumpuhkan (menginjeksi bisa ke mangsa) Menangani (menggulung mangsa dengan jaring) Waktu 2 detik 24 detik 2 menit 8 detik

Gambar 1. Laba-Laba Menemukan Capung

Gambar 2. Laba-Laba Melumpuhkan Capung

Gambar 3. Laba-Laba Menangani Capung

B. Pembahasan Predator merupakan kelompok musuh alami yang sepanjang hidupnya akan memakan mangsanya. Predator memiliki bentuk tubuh yang relatif besar sehingga mudah dilihat. Agen hayati, seperti artropoda predator telah banyak dilaporkan dapat menekan populasi hama baik pada pertanaman padi maupun pada pertanaman kedelai (Khodijah et al., 2012). Predasi adalah hubungan antara mangsa dan pemangsa (predator). Hubungan ini sangat erat sebab tanpa mangsa, predator tak dapat hidup. Sebaliknya predator juga berfungsi sebagai pengontrol populasi mangsa. Labalaba merupakan salah satu musuh alami hama (predator), terutama terhadap serangga sehingga dapat berperan dalam mengontrol populasi serangga. Laba-laba adalah predator polifag sehingga berpotensi untuk mengendalikan berbagai spesies serangga hama (Chatterjee et al., 2009). Laba-laba mampu menempati berbagai macam habitat sehinggga bisa berpindah dari satu habitat ke habitat lainnya bila mengalami gangguan (Suana, 2006). Laba-laba merupakan binatang yang dapat dijumpai di setiap benua dan hampir semua habitat daratan. Ukuran laba-laba kecil seperti butiran beras sampai dengan ukuran yang paling besar seperti tangan laki-laki dewasa. Laba-laba dapat dibagi menjadi laba-laba beracun dan tidak beracun. Laba-laba beracun biasanya lebih sering melakukan aktivitas di tanah dan berperan sebagai predator, sedangkan laba-laba tidak beracun lebih sering membuat jaring (Borror, 1992). Laba-laba atau labah-labah adalah sejenis hewan berbuku-buku

(arthropoda) dengan dua segmen tubuh yaitu segmen bagian depan cephalothorax atau prosoma, yang sebetulnya gabungan dari kepala dan dada (thorax), sedangkan segmen bagian belakang disebut abdomen (perut) atau opisthosoma. Antara cephalothorax dan abdomen terdapat penghubung tipis yang dinamai pedicle pedicellus. Laba-laba juga memiliki empat pasang kaki, tak bersayap dan tidak memiliki mulut pengunyah. Laba-laba bernapas dengan paru-paru buku atau trakea. Ekskresi laba-laba dilakukan dengan tubula Malpighi. Ekskresi lainnya dilakukan dengan kelenjar koksal (Borror, 1992). Laba-laba mengalami sangat sedikit metamorfosis selama perkembangan mereka. Apabila menetas, mereka kelihatan seperti dewasa-dewasa yang kecil. Bila tungkai-tungkai hilang selama

perkembangan, mereka biasanya dapat beregenerasi. Laba-laba biasanya berganti kulit dari 4 sampai 12 kali selama pertumbuhan mereka sampai mereka dewasa. Kebanyakan laba-laba berumur 1-2 tahun (Borror, 1992). Klasifikasi laba-laba menurut Plantnick (2010), adalah sebagai berikut : Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda : Arachnida : Araneae : Araneidae : Araneus : Araneus diadematus Gambar 4. Araneus diadematus (Plantnick, 2010)

Mangsa laba-laba salah satunya yaitu capung yang merupakan kelompok serangga yang tergolong ke dalam bangsa Odonata. Capung umumnya bertubuh relatif besar dan hinggap dengan sayap terbuka atau terbentang ke samping. Dinamakan capung loreng hijau karena bagian thoraxnya berwarna hijau dengan loreng hitam. Capung jarum umumnya bertubuh kecil (meskipun ada beberapa jenis yang agak besar), memiliki abdomen yang kurus ramping mirip jarum, dan hinggap dengan sayap-sayap tertutup, tegak menyatu di atas punggungnya (Borror, 1992). Capung merupakan hewan semi-akuatik. Siklus hidup capung, dari telur hingga mati setelah dewasa, bervariasi antara enam bulan hingga maksimal enam atau tujuh tahun. Capung meletakkan telurnya pada tumbuhan yang berada di air. Ada jenis yang senang dengan air menggenang, namun ada pula jenis yang senang menaruh telurnya di air yang agak deras. Pasca menetas, larva capung hidup dan berkembang di dalam perairan, mengalami metamorfosis menjadi nimfa dan akhirnya keluar dari air sebagai capung dewasa. Sebagian besar siklus hidup capung dihabiskan dalam bentuk nimfa di bawah permukaan air dengan menggunakan insang internal untuk bernafas. Tempayak dan nimfa capung hidup sebagai hewan karnivora yang ganas. Nimfa capung yang berukuran besar bahkan

dapat memburu dan memangsa berudu dan anak ikan. Capung dewasa hanya mampu hidup maksimal selama empat bulan (Borror, 1992). Klasifikasi: Kingdom Phylum Classis Ordo Familia Genus Species : Animalia : Arhtropoda : Insecta : Odonata : Epiprocta : Anax : Anax junius

Gambar 4. Loreng Hijau (Borror, 1992) Capung adalah kelompok serangga yang tergolong ke dalam bangsa Odonata. Capung umumnya bertubuh relatif besar dan hinggap dengan sayap terbuka atau terbentang ke samping. Dinamakan capung loreng hijau karena bagian thoraxnya berwarna hijau dengan loreng hitam. Capung jarum umumnya bertubuh kecil (meskipun ada beberapa jenis yang agak besar), memiliki abdomen yang kurus ramping mirip jarum, dan hinggap dengan sayap-sayap tertutup, tegak menyatu di atas punggungnya (Borror, 1992). Capung merupakan hewan semi-akuatik. Siklus hidup capung, dari telur hingga mati setelah dewasa, bervariasi antara enam bulan hingga maksimal enam atau tujuh tahun. Capung meletakkan telurnya pada tumbuhan yang berada di air. Ada jenis yang senang dengan air menggenang, namun ada pula jenis yang senang menaruh telurnya di air yang agak deras. Pasca menetas, larva capung hidup dan berkembang di dalam perairan, mengalami metamorfosis menjadi nimfa dan akhirnya keluar dari air sebagai capung dewasa. Sebagian besar siklus hidup capung dihabiskan dalam bentuk nimfa di bawah permukaan air dengan menggunakan insang internal untuk bernafas. Tempayak dan nimfa capung hidup sebagai hewan karnivora yang ganas. Nimfa capung yang berukuran besar bahkan dapat memburu dan memangsa berudu dan anak ikan. Capung dewasa hanya mampu hidup maksimal selama empat bulan (Borror, 1992).

Berdasarkan pengamatan mekanisme predasi laba-laba terhadap capung didapatkan hasil yaitu waktu yang dibutuhkan laba-laba untuk menemukan capung pada jaring-jaringnya hanya 2 detik. Laba-laba selanjutnya mendekati mangsanya dan mulai melumpuhkannya pada detik ke 24 dengan menginjeksikan bisa menggunakan taring di mulutnya. Capung yang sudah lemas kemudian mulai dibungkus dengan jaring-jaring yang keluar dari bagian belakang tubuh laba-laba pada 2 menit 8 detik. Laba-laba tersebut tidak langsung mengonsumsi capung pada saat itu juga tetapi justru meninggalkannya. Menurut Tarakanova et al., (2012), mekanisme predasi laba-laba dimulai dari menunggu mangsa yang terbang dan terperangkap di jaringnya. Laba-laba mendekati serangga tersebut dengan cepat, melumpuhkan mangsa dengan menusukkan racun, kemudian memakannya dengan menghisap cairan tubuh mangsanya. Kebanyakan laba-laba memang merupakan predator (pemangsa). Labalaba penenun (misalnya anggota suku Araneidae) membuat jaring-jaring sutera berbentuk kurang lebih bulat di udara, di antara dedaunan dan ranting-ranting, di muka rekahan batu, di sudut-sudut bangunan, di antara kawat telepon, dan lainlain. Helaian benang sutra tersebut berasal dari kelenjar spinneret yang terletak di bagian belakang tubuh laba-laba. Benang sutra tersebut berupa serat protein yang tipis tetapi kuat dan berguna bagi kelangsungan hidup hewan ini. Jaring ini bersifat lekat, untuk menyergap serangga terbang yang menjadi mangsanya. Jaring sutra membantu pergerakkan laba-laba untuk berayun dari satu tempat ke tempat lain, menangkap mangsa, dan mencari tempat persembunyian. Jaring laba-laba juga membantu pembuatan kantung telur dan melindungi lubang sarang dari musuh. Beberapa laba-laba penenun memiliki kemampuan membungkus tubuh mangsanya dengan lilitan benang-benang sutera. Kemampuan ini sangat berguna terutama jika si mangsa memiliki alat pembela diri yang berbahaya, seperti lebah yang mempunyai sengat atau jika laba-laba ingin menyimpan mangsanya beberapa waktu sambil menanti saat yang lebih disukai untuk menikmatinya belakangan (Harmer et al., 2011). Begitu serangga terperangkap jaring, laba-laba segera mendekat dan menusukkan taringnya kepada mangsa untuk melumpuhkan dan sekaligus mengirimkan enzim pencerna ke dalam tubuh mangsanya. Bisa yang disuntikkan

laba-laba melalui taringnya biasanya sekaligus mencerna dan menghancurkan bagian dalam tubuh mangsa. Racun laba-laba memiliki fungsi primer yaitu melumpuhkan mangsanya dan fungsi sekunder yaitu mematikan mangsanya. Selanjutnya, perlahan-lahan cairan tubuh beserta hancuran organ dalam itu dihisap oleh laba-laba yang bermulut tipe penghisap. Berjam-jam laba-laba menyedot cairan itu hingga bangkai mangsanya mengering. Laba-laba yang memiliki rahang (chelicera) kuat, bisa lebih cepat menghabiskan makanannya dengan cara merusak dan meremuk tubuh mangsa dengan rahang dan taringnya itu. Tinggal sisanya berupa bola-bola kecil yang merupakan remukan tubuh mangsa yang telah mengisut (Goff et al., 2010). Kraftt dan Cookson (2012) dalam artikelnya menjelaskan hubungan antara produksi sutra laba-laba dan perilaku mereka. Sutra laba-laba memungkinkannya untuk mengubah lingkungan fisik yang pada gilirannya menyebabkan perubahan perilaku dan dampak dalam lingkungan yang baru. Sutra dapat bertindak sebagai sarana perlindungan terhadap stres lingkungan, jerat mangsa, alat gerak, dan juga sebagai dukungan sinyal kimia atau bertindak sebagai vektor sinyal getaran. Sebagian besar ulasan ini menggambarkan sutra sebagai kepala agen yang mengarahkan pembangunan perangkap, komunikasi, kohesi sosial, dan kerjasama antara produsennya.

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa: 1. Mekanisme predasi laba-laba terhadap mangsanya yaitu laba-laba segera mendekat serangga yang terperangkap jaring, menusukkan taring untuk melumpuhkan dan sekaligus mengirimkan racun dan enzim pencerna ke dalam tubuh mangsanya. Cairan tubuh beserta hancuran organ dalam mangsa dapat langsung dihisap oleh laba-laba atau dapat pula mangsa dibalut sutra untuk dimakan nanti. 2. Waktu yang dibutuhkan laba-laba dalam menemukan capung yaitu 2 detik, melumpuhkan mangsa 24 detik, dan menangani mangsanya pada 2 menit 8 detik.

B. Saran Sebaiknya dilakukan pengamatan kapasitas predasi predator lain selain laba-laba.

DAFTAR REFERENSI

Borror, Donal J. 1992. Pengantar Pengolahan Hama Terpadu. Yogyakarta: Gajah Mada University. Borror, D.J. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi Keenam. Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada University. Chatterjee, S. Isaia, M. Venturino, E. 2009. Spiders as Biological Controllers in The Agroecosytem. Journal of Theoretical Biology. Vol. 258: 352-362. Erawati, W. 2005. Perilaku dan Siklus Hidup Sycanus annulicornic Dohrn. Asal Tanaman Kedelai pada Mangsa Larva Spodoptera litura (F.), Skripsi. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Flint L. M dan V. den Bosch. R. 2000. Pengendalian Hama Terpadu, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius. Goff, G. J. L., A. C. Mailleux, C. Detrain, J. L. Deneubourg, G. Clotuche, and T. Hance. 2010. Group Effect on Fertility, Survival and Silk Production in The Web Spinner Tetranychus urticae (acari: Tetranychidae) During colony foundation. Behaviour. Vol. 147(9): 11691184. Habazar, T. dan Yaherwandi. 2006. Pengendalian Hama dan Penyakit Tumbuhan. Padang: Andalas University Press. Harmer, Aaron M. T., T. A. Blackledge, J. S. Madin, and M. E. Herberstein. 2011. High-Performance Spider Webs: Integrating Biomechanics, Ecology and Behaviour. J. R. Soc. Interface. Vol. 8: 457471. Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Jakarta: Rineka Cipta. Khodijah, Herlinda, Siti, Irsan, Chandra, Pujiastuti, Yulia, dan Rosdah Thalib. 2012. Artropoda Predator Penghuni Ekosistem Persawahan Lebak dan Pasang Surut Sumatera Selatan. Jurnal Lahan Suboptimal. Vol. 1(1): 57-63. Krafft, Bertrand and L. J. Cookson. 2012. The Role of Silk in the Behaviour and Sociality of Spiders. Psyche. Vol. 1: 1-25. Kromp, B. and K.H. Steinberger. 1992. Grassy Field Margins and Arthropod Diversity: A Case Study on Ground Beetles and Spiders in Eastern Austria (Coleoptera: Carabidae; Arachnidae: Aranei, Opiliones). Agric. Ecosyst. Environ. Vol. 40: 71-93. Plantnick, Norman. 2010. The World Spider Catalog. USA: American Museum of Natural History.

Suana, I. W. 2006. Kolonisasi dan Suksesi Laba-Laba (Araneae) pada Pertanaman Padi. Jurnal Biologi. Vol. 9: 1-7. Tarakanova, Anna and M. J. Buehler. 2012. The Role of Capture Spiral Silk Properties in The Diversification of Orb Webs. R. Soc. Interface. Vol. 9: 32403248. Thalib, R., Effendy T.A., Herlinda S. 2002. Struktur Komunitas dan Potensi Artropoda Predator Hama Padi Penghuni Ekosistem Sawah Dataran Tinggi di Daerah Lahat, Sumatera Selatan. Makalah Seminar Nasional Dies Natalis Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya & Peringatan Hari Pangan Sedunia, Palembang, 7-8 Oktober 2002. Untung. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yoyakarta: Gajah Mada University Press. Widiarta, I., Y. Kusdiaman, D. Suprihanto. 2006. Keragaman Arthropoda pada Padi Sawah dengan Pengelolaan Tanaman Terpadu. Jurnal HPT Tropika. Vol. 6(2): 61-69. Winasa, I.W. 2001. Arthropoda Predator Penghuni Permukaan Tanah di Pertanaman Kedelai : Kelimpahan, Pemangsaan, dan Pengaruh Praktek Budidaya Tanaman, Disertasi. Program Pascasarjana. IPB.

Anda mungkin juga menyukai