Anda di halaman 1dari 7

JANGKRIK SEBAGAI BIOINDIKATOR KESEIMBANGAN

EKOSISTEM SAWAH

TUGAS

Oleh
TAMBUN SIHOTANG
140301149
AGROEKOTEKNOLOGI 2

MATA KULIAH ANALISI MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN DAN LIMBAH


PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAK U LTAS

PE R TAN I AN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2016

JANGKRIK SEBAGAI BIOINDIKATOR KESEIMBANGAN


EKOSISTEM SAWAH
Serangga merupakan kelompok hewan yang dominan di muka bumi
dengan jumlah spesies hampir 80 persen dari jumlah total hewan di bumi. Dari
751.000 spesies golongan serangga, sekitar 250.000 spesies terdapat di Indonesia.
Serangga di bidang pertanian banyak dikenal sebagaihama (Kalshoven, 1981) dan
sebagian bersifat sebagai predator, parasitoid, atau musuh alami (Christian &
Gotisberger, 2000).
Sebagian besar spesies serangga memiliki manfaat bagi manusia.
Sebanyak 1.413.000 spesies telah berhasil diidentifikasi dan dikenal, lebih dari
7.000 spesies baru di temukan hampir setiap tahun. Tingginya jumlah serangga
dikarenakan serangga berhasil dalam mempertahankan keberlangsungan hidupnya
pada habitat yang bervariasi, kapasitas reproduksi yang tinggi dan kemampuan
menyelamatkan diri dari musuhnya (Borror, 1992).
Serangga memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Serangga
selalu diidentikkan dengan hama di bidang pertanian , disebabkan banyak
serangga yang bersifat merugikan, seperti walang sangit, wereng, ulat grayak, dan
lainnya

selain itu serangga juga dapat menjadi sumber vektor penyakit pada

manusia. Namun, tidak semua serangga bersifat sebagai hama atau vektor
penyakit. Jenis serangga dari kelompok lain seperti lebah, ulat sutera, kumbang
macan, semut dapat menguntungkan manusia (Metcalfe and William, 1975).
Ekosistem merupakan lingkungan biologi yang berisi organisme hidup,
non-biotik, dan komponen fisik yang saling berinteraksi (Cambell & Neil 2009).
Perbedaan struktur dan komposisi penyusun suatu ekosistem menyebabkan

perbedaan karakter ekosistem yang mempengaruhi keanekaragaman dan


kelimpahan biota yang tinggal di dalamnya. Dataran tinggi biasanya mempunyai
keanekaragaman dan kelimpahan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan
dataran rendah (Wolda 1983). Di daerah padang rumput, kelimpahan dan biomasa
belalang berkurang pada musim semi (Porter & Redak 1996). Setiap kelompok
serangga mempunyai respon yang berbeda terhadap perubahan musim dan iklim
(Wolda 1978, 1983; Kahono 2006). Belalang dan kerabatnya ordo Orthoptera
sangat penting peranan dan fungsinya dalam menjaga eseimbangan ekosistem
hutan (Gwynne et al. 1996; Erniwati 2003).
Ekosistem merupakan penggabungan dari setiap unit biosistem yang
melibatkan interaksi timbal balik antara organisme dan lingkungan fisik sehingga
aliran energi menuju kepada suatu struktur biotik tertentu dan terjadi suatu siklus
materi antara organisme dan anorganisme. Matahari sebagai sumber dari semua
energi yang ada. Dalam ekosistem, organisme dalam komunitas berkembang
bersama-sama dengan lingkungan fisik sebagai suatu sistem. Organisme akan
beradaptasi dengan lingkungan fisik, sebaliknya organisme juga mempengaruhi
lingkungan fisik untuk keperluan hidup. Pengertian ini didasarkan pada hipotesis
Gaia, yaitu: "organisme, khususnya mikroorganisme, bersama-sama dengan
lingkungan fisik menghasilkan sutu sistem kontrol yang menjaga keadaan di bumi
cocok untuk kehidupan". Hal ini mengarah pada kenyataan bahwa kandungan
kimia atmosfer dan bumi sangat terkendali dan sangat berbeda dengan planet lain
di tata surya.

Jangrik yang dianggap sebagian orang adalah serangga yang menjijikkan,


ternyata keberadannya sangatlah penting bagi keseimbangan ekosistem. Selain
sebagai serangga indikator kebersihan lingkungan dari berbagai macam polusi,
ternyata ada satu

jenis jangrik yang keberadaannya sangatlah ditakuti oleh

sebagian besar serangga kecil penggerek penghuni daun ataupun batang.Metioche


vittaticollis adalah jangrik predator yang handal dalam mengendalikan populasi
penggerek.
Peran

Metioche vittaticollis sebagai

musuh alami dalam keseimbangan

ekosistem.
Harmoni alam dalam bidang pertanian sangat indah dimana ada hama
sesungguhnya disana juga ada penyeimbang yang akan mengendalikan hama itu
secara alamiah. Musuh alami sering kita pandang sebelah mata, bahkan kita sering
lebih akrab dengan musuh kita yaitu hama daripada dengan sahabat kita yaitu
musuh alami.
BJB telah dikenal sebagai penyeimbang ekosistem si sawah yaitu sebagai
predator dari berbagai penggerek batang padi, penggerek daun, wereng sampai
dengan ulat penggulung daun ataupun ulat tentara (Spodoptera litura). BJB
berkembang biak di pelepah daun gulma suku rumput - rumputan. Selama ini BJB
masih dikenal sebagai musuh alami OPT tanaman padi, padahal sebenarnya BJB
sangat berpotensi menjadi predator bagi hama tanaman paerkebunan yang perlu
dikembangkan baik informasinya ataupun percobaan/ penelitian mengenai daya
mangsanya terhadap OPT perkebunan.

The silent leaf runner ( Metioche vittaticolis ) adalah sebutan BJB


dalam bahasa Inggris. Termasuk generalist predator yang dapat hidup pada
habitat persawahan ataupun perkebunan. Mangsa utamanya adalah serangga
berukuran kecil seperti penggerek (telur dan nympha) ataupun telur dari ulat
daun dan dapat juga memangsa nympha dari plant hopper dan green leaf
hopper. Memiliki ukuran tubuh yang sangat kecil

yaitu

kurang lebih 10

milimeter (mm).
Berdasarkan Saussure ( 1878 ), klasifikasinya adalah sebagai berikut:
Klas: Insecta; Ordo: Orthoptera; Famili: Gryllidae; Sub Famili: Trigonidiinae;
Genus: Metioche; Spesies: M. vittaticollis. Di bebrapa daerah di Indonesia BJB
juga dikenal dengan nama jangrik

ekor pedang karena memiliki ekor yang

bentuknya menyerupai pedang. Ciri - ciri lain yang membedakan dari jangkrik
lainnya adalah memiliki antena yang panjangnya melebihi panjang tubuhnya.
Warna tubuh

BJB

dewasa

dominan cokelat tua sampai kehitaman dengan

tungkai berwarna cokelat terang sedangkan nympha (BJB remaja) memiliki tubuh
yang

transparan. Dalam

tahapan perkembangannya, BJB mengalami

metamorfosis tidak sempurna, yaitu telur- nympha (4 stadia) - dewasa. Habitat


utama BJB adalah semak - semak (gulma rumput - rumputan), pohon atau bahkan
pernah juga ditemukan di pekarangan rumah, dimana terdapat mangsanya.
Biologi dan perilaku memangsa BJB telah dipelajari di laboratorium oleh
Karindah, S., B. Yanuwiadi, L. Sulistyowati (2012).

Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa rata- rata siklus hidup BJB adalah 40 sampai 61 hari dengan
suhu optimal perkembangannya antara 26 sampai 28 Celcius. Telur - telur akan

diletakkan betina BJB pada pelepah daun (terutama pada tanaman Gramineae)
dan akan menetas setelah 15 hari.

DAFTAR PUSTAKA
Borror, D.J., C.a. Triplehorn dan N.F. Johnson. 1992.

Pengenalan pelajaran

serangga edisi keenam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.


Erniwati. 2003. Belalang (Orthoptera) dan kekerabatannya. Di dalam: Amir M,
Kahono S (ed.). Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat.
Biodiversity Conservation Project. Hal. 63-76.
Karindah, S., B. Yanuwiadi, L. Sulistyowati. 2012. Biology and predatory
behavior of Metioche vittaticollis (Stal.) (Orthoptera: Gryllidae). Journal
Tropical Plant Protection 1(1): 1-9. Brawijaya University. Malang.
Wolda H. 1978. Seasonal fluctuation in rainfall, food and abundance of tropical
insects. Journal of Animal Ecology 47:369-381.

Anda mungkin juga menyukai