Anda di halaman 1dari 14

KAPASITAS PREDASI LABA LABA TERHADAP HAMA EKOSISTEM

PERTANIAN

Oleh
Navizatul Amanah B1J013001
Fajar Husen B1J013002
Annisa Aulia B1J013003
Nurfitriani Rahesti B1J013005
Aulia Apriani S. B1J013015
Silviyatun Ni’mah B1J013016
Tarkinih B1J013019
Halimatus Sadiyah B1J013021
Fajar Rahmawati B1J013023
Moch. Iqbal Sufyan A B1J013025

Kelompok 1
Rombongan I
Asisten : Ani Rahmawati

LAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN HAYATI

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2016
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut pendapat Jumar (2000), menyatakan bahwa ekosistem pertanian


terdiri dari kelompok makhluk hidup yang tergolong predator, parasitoid, dan
patogen. Ketiga kelompok makhluk hidup yang disebut musuh alami tersebut mampu
mengendalikan populasi hama. Tanpa bekerjanya musuh alami, hama akan
memperbanyak diri dengan cepat sehingga dapat merusak tanaman. Predator
merupakan kelompok musuh alami yang sepanjang hidupnya akan memakan
mangsanya. Predator memiliki bentuk tubuh yang relatif besar sehingga mudah
dilihat. Contoh predator yang penting pada ekosistem persawahan adalah laba-laba
(Lycosa pseudoannulata), kumbang (Coccinella arcuata) dan (Paederus fuscipes).
Serangga (insect) merupakan hewan yang dominan di muka bumi bahkan menurut
penelitian jumlahnya jauh lebih besar daripada jumlah manusia. Dominasi yang
demikian disebabkan serangga memiliki kemuampuan adaptasi yang tinggi serta
waktu generasi yang singkat. Anggota kelas insekta ini memiliki bentuk, ukuran dan
warna yang beraneka ragam sehingga membuat banyak orang tertarik untuk
mempelajarinya.
Menurut Otang (2003), menyatakan bahwa pengendalian biologis dengan
memanfaatkan musuh alami merupakan alternatif pengendalian yang paling aman
dan sangat direkomendasikan. Serangga predator merupakan serangga yang
memakan atau memangsa serangga lain. Keberadaannya sangat penting terutama
bagi manusia sebagai musuh alami berbagai jenis hama sehingga bisa mengendalikan
populasi hama tersebut tanpa campur tangan manusia. Karena itu pula serangga
predator banyak diteliti dalam upaya pengendalian hayati. Peningkatan populasi
inang akan ditanggapi secara numerik (respond numerik) yaitu dengan
meningkatnya jumlah predator dan respon fungsional (daya makan per predator)
diharapkan jumlah inang akan berkurang.
Musuh alami yang berperan penting dalam menekan populasi hama adalah
predator dari phylum Arthropoda. Beberapa predator generalis seperti Araneae (laba-
laba) dapat menekan populasi hingga ke tingkat yang tidak merugikan secara
ekonomi (Ooi dan Shepard, 1994). Araneae (laba-laba) adalah agen pengendalian
hayati yang sangat potensial untuk berbagai spesies serangga hama karena bersifat
polyfag. Laba-laba mampu mengkonsumsi 40-50% biomassa serangga pada tanaman
apel, dimana jumlah tersebut melebihi konsumsi burung maupun predator serangga
lain (Meidiwarman, 2012).
Menurut pendapat Meidiwarman (2012), menyatakan bahwa potensi musuh
alami Arthropoda predator sampai saat ini masih menjadi bahan pembicaraan dan
penelitian yang berkelanjutan. Namun pada dasarnya musuh alami ini sangat
potensial untuk dikembangkan mengingat bahwa pengembangan dan penggunaan
musuh alami merupakan jawaban dari permasalahan lingkungan yang diakibatkan
oleh pestisida terutama pestisida organik sintetik. Oleh karena itu, jenis-jenis
predator terutama dari phylum Artropoda sebagai penghuni agroekosistem perlu
diketahui agar dapat dimanfaatkan sebagai pengendalian hayati yang merupakan
komponen utama Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
II. TELAAH PUSTAKA

Telah dilakukan penelitian tentang uji daya predasi laba-laba serigala (Pardosa
pseudoannulata) terhadap berbagai stadia larva ulat grayak (Spodoptera litura F.)
yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan daya predasi laba-laba serigala
(Pardosa pseudoannulata) terhadap berbagai stadia larva ulat grayak (Spodoptera
litura F.) dan stadia larva ulat grayak yang paling banyak dimangsa oleh laba-laba
serigala (Pardosa pseudoannulata). Kerusakan tanaman akibat serangan hama ulat
grayak (Spodoptera litura .F) menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi para
petani. Salah satu predator yang cukup potensial adalah laba-laba serigala (Pardosa
pseudoannulata) (Ordo Araneae: Family Lycosidae). Keberadaan laba-laba dapat
membantu mengendalikan hama secara alami, sehingga perlu dilakukan penelitian
tentang daya predasi laba-laba serigala (Pardosa pseudoannulata) terhadap berbagai
stadia larva ulat grayak (Spodoptera litura F.) agar dapat diketahui tingkat daya
predasi laba-laba serigala terhadap hama tersebut, sehingga mampu mengoptimalkan
peran laba-laba di ekosistem pertanian, sehingga akan diperoleh prosedur
pengaplikasian yang tepat terkait pengintroduksian musuh alami di lahan pertanian
(Ridwal et al., 1995).
Predasi adalah interaksi antarindividu/popuasi dimanapopulasi yang satu
memangsa populasi yang lain. Pemangsa di sebut predator, sedangkan yang dimakan
disebut mangsa. Interaksi predasi antarpopilasi ini menyebabkan terjadinya fluktuasi
populasi predator dan mangsa. Misalnya populasi kelinci hutan dengan pemangsanya
yaitu kucing hutan. Ciri yang dari laba-laba adalah badan terdiri dari tiga bagian
yaitu kepala, thorax dan abdomen. Namun bagian kepala dan thorax menyatu
menjadi satu sehingga sering disebut dengan cephalothorax. Bagian cephalothorax
biasanya dilindungi oleh bagian yang keras yang disebut carapace. Alat mulut
dilengkapi dengan chelicera dan pedipalpus. Chelicera berbentuk capit yang berguna
untuk merobek badan mangsanya sehingga kelompok ini kadang disebut chelicerata.
Pedipalpus berbentuk capit namun lebih panjang dan berguna untuk menangkap
mangsa. Karena tidak berantena, sepasang kaki paling depan di beberapa kelompok
berubah fungsi menjadi indra yang berfungsi seperti antena (Herlinda et al., 2004).
Ciri khas yang lain adalah Arachnida mempunyai empat pasang kaki di bagian
cephalothorax, sehingga jumlah kaki menjadi delapan dan sering disebut decapoda.
Bagian abdomen biasanya tidak mempunyai anggota badan (appendages), jika ada
biasanya kecil dan berfungsi sebagai alat reproduksi, pemintal jaring dan tidak
pernah digunakan untuk pergerakan. Hampir semua ordo anggota Arachnida dapat
hidup di dalam gua dan banyak terdapat di gua-gua Indonesia. Kontribusi Arachnida
dalam komunitas Arthropoda gua cukup besar dan mempunyai peran yang bervariasi
dari pemangsa sampai perombak atau scavenger (Foelix, 1996).
Laba-laba terdapat di seluruh dunia dan menempati seluruh lingkungan ekologi
kecuali di udara dan laut terbuka. Kebanyakan laba-laba berukuran kecil (panjang
tubuh 2-10 mm), beberapa di antaranya berukuran cukup besar seperti Tarantula
(panjang tubuh 80-90 mm). Laba-laba jantan selalu lebih kecil dari pada laba-laba
betina dan mempunyai siklus hidup yang lebih pendek. Semua laba-laba bersifat
karnifora, banyak di antaranya membuat jaring dan ada pula yang memburu
mangsanya di tanah. Serangga merupakan mangsa utamanya, di samping Arthropoda
lain. Secara umum, dikenal ada dua kelompok laba-laba, yaitu laba-laba non jaring
dan pembuat jaring. Laba-laba non jaring umumnya hidup di tanah dan pepohonan
serta mendapatkan mangsanya dengan cara berburu, sedangkan laba-laba pembuat
jaring membuat perangkap dari serat di antara ranting-ranting pohon untuk menjebak
mangsa (Jumar, 2000).
III. MATERI DAN METODE

3.1 Materi

Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah stopwatch, kamera
dan alat tulis.
Bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah capung dan laba-
laba yang ditemukan di areal perkebunan fakultas Biologi.

3.2 Metode

Metode yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah sebagai berikut :
1. Salah satu tempat di areal perkebunan fakultas Biologi dipilih, dimana terdapat
satu individu laba-laba dalam jaringnya.
2. Laba-laba yang telah ditemukan difoto.
3. Capung yang telah dibawa dilemparkan ke arah jaring laba-laba dalam keadaan
hidup.
4. Pada saat melemparkan capung, waktu mulai dihitung.
5. Mekanisme laba-laba dalam menemukan, melumpuhkan dan menangani mangsa
direkam.
6. Lama waktu laba-laba dalam menemukan, melumpuhkan dan menangani mangsa
dihitung dan dicatat.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil

Tabel 3.1.1 Waktu Predasi Laba-Laba


No Tahapan Pemangsaan Waktu
.
1. Penangkapan Mangsa di Sarang 0 detik
2. Laba-laba Mendekati Mangsa 1 menit 28 detik
3. Laba-laba Melilit Mangsa 2 menit 31 detik

Gambar 1. Laba-Laba dan Capung Gambar 2. Predasi Laba-Laba


IV.2 Pembahasan

Menurut pendapat Herlinda et al,. (2004) dalam Khodijah et al., (2012),


menyatakan bahwa, predator merupakan kelompok musuh alami yang sepanjang
hidupnya akan memakan mangsanya. Predator memiliki bentuk tubuh yang relatif
besar sehingga mudah dilihat. Agen hayati, seperti artropoda predator telah banyak
dilaporkan dapat menekan populasi hama baik pada pertanaman padi maupun pada
pertanaman kedelai. Misalnya, predator generalis seperti laba-laba Lycosidae dapat
menekan populasi wereng coklat hingga ke tingkat yang tidak merugikan secara
ekonomi (Ooi dan Shepard, 1994 dalam Khodijah et al., 2012). Selain serangga
predator, laba-laba predator juga berperan penting dalam menekan populasi hama
padi. Laba-laba pemburu, seperti P. pseudoannulata yang merupakan predator utama
yang memangsa wereng berbagai spesies, baik wereng coklat, hijau, zigzag, dan
punggung putih. Preap et al. (2001) dalam Khodijah et al. (2012), menyatakan P.
pseudoannulata mampu menyebabkan mortalitas (kematian) pada hama wereng
coklat hingga 100%.
Klasifikasi dari Laba-laba Pardosa Preap et al., (2004) dalam Ooi dan
Shepard (1994), yaitu sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Arachnida
Ordo : Araneae
Famili : Nephilidae
Genus : Nephila
Spesies : Nephila pilipes
Laba-laba termasuk hewan dari filum Arthropoda, kelas Arachnida dan ordo
Araneae yang tidak mempunyai antena, tetapi memiliki 8 mata sederhana. Hewan ini
menggunakan paru-paru, trakea, atau keduanya sebagai alat respirasi, tetapi ada juga
yang tidak memiliki alat pernapasan. Arachnoidea dibedakan menjadi tiga ordo,
yaitu Scorpionida, Arachnida, dan Acarina. Scorpionida memiliki alat penyengat
beracun pada segmen abdomen terakhir, contoh hewan ini adalah kalajengking
(Uroctonus mordax) dan ketunggeng (Buthus after). Hewan kelas Arachnida,
abdomen tidak bersegmen dan memiliki kelenjar beracun pada kaliseranya (alat
sengat), contoh hewan ini adalah laba-laba serigala (Pardosa amenata), laba-laba
kemlandingan (Nephila maculata). Acarina memiliki tubuh yang sangat kecil,
contohnya adalah caplak atau tungau (Acarina sp.) (Jutje, 2006).
Menurut pendapat Meidiwaraman (2012), menyatakan bahwa laba-laba
bukan termasuk serangga karena semua serangga mempunyai 6 kaki, sedangkan
laba-laba berkaki 8. Laba-laba tidak mengalami metamorfosa. Setelah telur menetas,
keluarlah laba-laba kecil dan berganti kulit beberapa kali. Laba-laba kecil bentuknya
sama dengan laba-laba dewasa. Laba-laba betina biasanya jauh lebih besar daripada
laba-laba jantan. Laba-laba jantan harus mendekati betina dengan hati-hati karena
berbahaya. Kadang-kadang laba-laba jantan tidak jadi kawin, tetapi dimakan oleh
laba-laba betina. Sering pula terjadi bahwa laba-laba betina memakan jantan setelah
selesai kawin
Menurut pendapat Triharsono (1994), menyatakan bahwa ciri yang lain dari
laba-laba adalah badan terdiri dari tiga bagian yaitu kepala, thorax dan abdomen.
Namun bagian kepala dan thorax menyatu menjadi satu sehingga sering disebut
dengan cephalothorax. Bagian cephalothorax biasanya dilindungi oleh bagian yang
keras yang disebut carapace. Alat mulut dilengkapi dengan chelicera dan
pedipalpus. Chelicera berbentuk capit yang berguna untuk merobek badan
mangsanya sehingga kelompok ini kadang disebut chelicerata. Pedipalpus berbentuk
capit namun lebih panjang dan berguna untuk menangkap mangsa. Karena tidak
berantena, sepasang kaki paling depan di beberapa kelompok berubah fungsi menjadi
indra yang berfungsi seperti antena.
Ciri khas yang lain adalah Arachnida mempunyai empat pasang kaki di
bagian cephalothorax, sehingga jumlah kaki menjadi delapan dan sering disebut
decapoda. Bagian abdomen biasanya tidak mempunyai anggota badan (appendages),
jika ada biasanya kecil dan berfungsi sebagai alat reproduksi, pemintal jaring dan
tidak pernah digunakan untuk pergerakan. Hampir semua ordo anggota Arachnida
dapat hidup di dalam gua dan banyak terdapat di gua-gua Indonesia. Kontribusi
Arachnida dalam komunitas Arthropoda gua cukup besar dan mempunyai peran yang
bervariasi dari pemangsa sampai perombak atau scavenger (Purnomo, 2012).
Menurut Ridwan et al. (1995) dalam Sanjaya et al. (2006), laba-laba
terdapat di seluruh dunia dan menempati seluruh lingkungan ekologi kecuali di udara
dan laut terbuka. Kebanyakan laba-laba berukuran kecil (panjang tubuh 2-10 mm),
beberapa di antaranya berukuran cukup besar seperti Tarantula (panjang tubuh 80-90
mm). Laba-laba jantan selalu lebih kecil dari pada laba-laba betina dan mempunyai
siklus hidup yang lebih pendek. Semua laba-laba bersifat karnifora, banyak di
antaranya membuat jaring dan ada pula yang memburu mangsanya di tanah.
Serangga merupakan mangsa utamanya, di samping Arthropoda lain. Secara umum,
dikenal ada dua kelompok laba-laba, yaitu laba-laba non jaring dan pembuat jaring.
Laba-laba non jaring umumnya hidup di tanah dan pepohonan serta mendapatkan
mangsanya dengan cara berburu, sedangkan laba-laba pembuat jaring membuat
perangkap dari serat di antara ranting-ranting pohon untuk menjebak mangsa (Foelix,
1996 dalam Sanjaya et al., 2006).
Menurut Sanjaya et al., (2006), menyatakan bahwa terdapat tiga komponen
yang membentuk sarang laba-laba, yaitu benang jenis kuat dan tegang yang
mengarah ke luar (radial threads) yang berpotongan pada titik pusat sebagai
porosnya (hub), benang yang menjadi kerangka bagian luar sarang (frame threads),
dan benang jenis kendur dan lengket berbentuk spiral yang mampu menjebak mangsa
(capture radial). Beberapa jenis laba-laba, misalnya orb-weaver, membuat
perangkap jaring yang terbuat dari benang sutra halus. Sutra itu dihasilkan oleh
kalenjar pada bagian belakang abdomen lalu keluar dari saluran yang disebut
spineret. Sutra halus kemudian mengeras menjadi benang yang kuat. Benang tersebut
ditempelkan pada pohon terdekat atau penyangga lainnya untuk membuat struktur
jaring. Laba-laba kemudian menambahkan bentuk spiral pada jaring menggunakan
jenis sutra berbeda yang lengket untuk menangkap mangsa.
Setelah membuat jaring, laba-laba akan menunggu di bagian tengah jaring
atau bersembunyi didekatnya. Tahap-tahap predasi laba-laba meliputi menemukan,
melumpuhkan dan menangani mangsa. Sehelai benang penanda akan membuat laba-
laba merasakan getaran akibat mangsa yang terperangkap dalam jaring. Laba-laba
akan segera menghampiri dan menggigit mangsa. Jika mangsa masih hidup, laba-
laba akan menggigit bagian kepala atau lehenya untuk melumpuhkan mangsa,
sedangkan jika mangsanya sudah mati laba-laba akan menggigit bagian ekornya.
Selanjutnya laba-laba akan membungkusnya dengan lilitan benang sutra untuk
mencegahnya melarikan dirinya. Ini diperlukan jika mangsa memiliki alat pertahanan
yang berbahaya, seperti lebah. Cara membungkus ini juga dilakukan laba-laba untuk
menyimpan mangsanya sambil menuggu waktu yang tepat untuk makan. Dengan
demikian mangsanya dapat dimakan kapan saja (Ridwan et al., 1995).
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa setelah capung yang
masih hidup dilemparkan ke arah jaring, laba-laba langsung mendekati capung dalam
waktu 1 menit 28 detik. Tahap selanjutnya adalah menangani capung dengan cara
membalut capung dengan benang-benang sutra yang dihasilkan oleh laba-laba dalam
waktu 2 menit 31 detik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ridwan et al. (1995) yang
menyatakan bahwa saat ada mangsa yang terperangkap dalam jaring, secara cepat
laba-laba tersebut akan mendekati mangsa dan melakukan tahap predasi. Tahap-
tahap predasi laba-laba meliputi menemukan, melumpuhkan dan menangani mangsa
Cara kerja racun laba-laba yaitu melemahkan mangsa atau dikenal dengan
efek primer kemudian mematikan atau efek sekunder (Foelix, 1996 dalam Sanjaya et
al., 2006). Racun laba-laba bersifat neurotoksin dan nekrotoksin. Neurotoksin
menggangu penjalaran impuls saraf pada saluran ion (ion channels) dan sinaps,
sedangkan nekrotoksin bekerja pada reaksi yang sistematik misalnya pada ginjal dan
darah (Ori dan Ikeda, 1998 dalam Sanjaya et al., 2006). Racun laba-laba yang
bersifat neurotoksin lebih banyak dibandingkan nekrotoksin. Yosioka et al., (1997)
dalam Sanjaya et al., (2006), menduga bahwa racun laba-laba mengandung
penghambat neuron, penghambat tersebut berisi glutamat sebagai transmitor dan
menimbulkan efek paralisis pada serangga, yakni kondisi tidak dapat bergerak
(lumpuh) akibat terganggunya sistem saraf serangga.
V. SIMPULAN

Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang didapatkan tahap-tahap predasi laba-


laba meliputi menemukan (terperangkap dalam sarang laba-laba), melumpuhkan
(melilit atau meracuni) dan menangani mangsa (memakan atau melilit). Waktu yang
didapatkan saat praktikum, laba-laba dalam mendekati mangasa adalah 1 menit 28
detik, sementara laba-laba mulai melilit mangsa (capung) yaitu 2 menit 31 detik.

Saran

Saran untuk praktikum selanjutnya adalah agar dalam penjelasan materi lebih
ditekankan lagi pada proses praktikumnya, selanjutnya agar praktikan lebih
memahami lagi apa yang sudah dijelaskan oleh asisten dan mencatat semua yang
sudah dijelaskan.
DAFTAR REFERENSI

Foelix, R.F. 1996. Biology of Spiders. 2nd Edition. New York: Oxford University
Press, Inc. and George Thieme Verlag.

Herlinda S, Rauf A, Kartosuwondo U, Budihardjo. 1997. Biologi dan Potensi


Parasitoid Telur, Trichogrammatoidea bactrae bactrae Nagaraja
(Hymnoptera: Trichogrammatidae) Untuk Pengendalian Hama Penggerek
Polong Kedelai. Bul. HPT, 9:19-25.

Herlinda S, Rauf A, Sosromarsono S, Kartosuwondo U, Siswadi, Hidayat P. 2004.


Artropoda Musuh Alami Penghuni Ekosistem Persawahan di Daerah
Cianjur, Jawa Barat. J. Entomol. Indon,1:9-15.

Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Jakarta: Rineka cipta.

Jutje,  S. L. 2006. Zoologi Invetebrata. Universitas Negeri Makassar, Makassar.

Khodijah, Herlinda, Siti, Irsan, Chandra, Pujiastuti, Yulia, dan Rosdah Thalib. 2012.
Artropoda Predator Penghuni Ekosistem Persawahan Lebak dan Pasang
Surut Sumatera Selatan. Jurnal Lahan Suboptimal, 1(1): 57-63.

Meidiwarman. 2012. Studi Arthropoda Predator pada Ekosistem Tanaman


Tembakau Virginia di Lombok Tengah. Mataram: Universitas Mataram,
Fakutas Pertanian.

Ooi P.A.C. dan B.M. Shepard. 1994. Predators and Parasitoids of Rice Insect Pests.
In. E.A. Heinreich (Ed) Biology and Management of Rice Insect. New
Delhi: Wiley Eastern Limited.

Ori, M and Ikeda, H. 1998. Spider Venom and Spider Toxin.


http://village.infoweb.ne.jp/~fwgd9084/spidervenom.txt.

Otang, Hidayat. 2003. Dasar-Dasar Entomologi. Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA


: UPI, Bandung.

Preap, V., Zalucki, M.P., Jahn, G.C., Nesbitt, H.J. 2001. Effectiveness of Brown
Planthopper Predators: Population Suppression by Two Species of Spider,
Pardosa pseudoannulata (Araneae, Lycosidae) and Araneus inustus
(Araneae, Araneidae). Journal of Asia-Pacific Entomology 4:187-193.

Purnomo, Bambang. 2012. Penuntun Praktikum Dasar-Dasar Perlindungan


Tanaman. Bengkulu: Universitas Bengkulu.

Ridwan, A., S. Suhandono, dan D. Goenarso. 1995. Identifikasi Jenis Laba-Laba


yang Berpotensi sebagai Faktor Pengendali Serangga Hama pada
Beberapa Agrosistem. [Laporan Penelitian]. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.

Sanjaya, Y., Tin, Safaria. 2006. Toksisitas Racun Laba-laba Nephila sp. pada Larva
Aedes aegypti L. Jurnal Biodiversitas. 7: 191-194.
Triharsono.1994. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.

Yoshioka, M., T. Chiba, M. Matsukawa, M. Nishimura, and T. Akizawa. 1997.


Diversity of Joro Spider Toxin. http://neo.pharm.hiroshima_u.ac.jp/
ccab/2nd/mini_reveiew/mr121/yoshioka.html.

Anda mungkin juga menyukai